PEMAHAMAN DASAR METODE PENELITIAN KUALITATIF

dokumen-dokumen yang mirip
ANTARA KUALITATIF DAN KUANTITATIF

1. Institusi : FISIP Jurusan Ilmu Komunikasi 2. Tahun Akademik : 2013/ Semester : II 4. Nama dan Kode Mata Kuliah : Teori Komunikasi

1. : FISIP 2. : : II

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PENELITIAN KUALITATIF

SEPUTAR PARADIGMA INTERPRETIF

1. Institusi : FISIP Jurusan Ilmu Komunikasi 2. Tahun Akademik : 2011/ Semester : II 4. Nama dan Kode Mata Kuliah : Teori Komunikasi

Etika dan Filsafat. Komunikasi

MENGAWALI PENELITIAN

Metodologi Penelitian Kuantitatif

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

TULI SAN POPULER & ARTI KEL I LMI AH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan Penelitian, Metode Penelitian Dan Teknik Pengumpulan Data

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian

Teori Komunikasi. Pemahaman Konseptual MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Beberapa Isu Penting di dalam. Bahan kuliah pertemuan ke 2 dan 3 Disajikan oleh: Agus Taufiq Sumber : Furqon dan Emilia (2009)

Teori-teori Umum (LittleJohn) Drs. Alex Sobur, M.Si. Tine A. Wulandari, S.I.Kom.

peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatiannya untuk

Qualitative Research: Samiaji Sarosa

Ringkasan Paper Nama : Agung Firmansyah ( X), Muhammad Ilman Akbar ( ) Kelompok : 316

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif, dimana penelitian

Paradigma dalam Penelitian Kualitatif (Pertemuan Ke-7) Oleh : Dr. Heris Hendriana,M.Pd

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Selayang Pandang Penelitian Kualitatif

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sulawesi Tengah. Dengan judul penelitian Kajian bentuk dan makna simbolik

BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN DAN ETIKA PENELITIAN. Fakultas Teknik Elektro 1

Paradigma adalah suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari atau

METODE PENELITIAN. atau dengan menggunakan alat kuantifikasi yang lain, melainkan melakukan

METODOLOGI PENULISAN ILMIAH

METODE-METODE DALAM PENELITIAN ILMU SOSIAL

Oleh: Prof. Dr. Unti Ludigdo, Ak., CA. Universitas Brawijaya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

Etika dan Filsafat. Komunikasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. 84 popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena

MENDESAIN PENELITIAN KUALITATIF

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder. Pada proses pengumpulan data primer, penulis melakukan observasi.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menjawab persoalan-persoalan dalam penelitian tersebut. Paradigma merupakan

PRADIGMA PENELITIAN SOSIAL. Bahan Kuliah 1. Universitas Andalas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian sastra, seorang peneliti harus memiliki kemampuan

BAB III METODE DAN SAMPEL PENELITIAN. Dalam bab ini diuraikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kesinambungan pelanggan dengan potensi profitable dengan membangun sebuah

Kuantitatif. penelitian. Kualitatif

Modul ke: TEORI INTERPRETIF 15FIKOM INTERAKSIONAL SIMBOLIK. Fakultas. Dr. Edison Hutapea, M.Si. Program Studi Public Relations

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. (Mulyana, 2002: 145) merupakan proses, prinsip, dan prosedur yang kita

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Paradigma Peneliti yang menggunakan metode penelitian studi kasus harus

Modul ke: TEORI KOMUNIKASI. Pemahaman Konseptual. Fakultas ILMU KOMUNIKASI SOFIA AUNUL, M.SI. Program Studi BROADCASTING

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Bab ini akan menguraikan jenis dan pendekatan penelitian, tempat dan waktu

Turnomo Rahardjo Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

C. BERBAGAI TIPE PENELITIAN KUALITATIF

KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitiaan yang digunakan dalam penelitiaan Nasionalisme

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

perumusan dan pelaksanaan kebijakan program kerja PGRI, (c) peluang

TEORI KOMUNIKASI. Teori Berdasarkan Pendekatan Obyektif. SUGIHANTORO, S.Sos, M.IKom. Modul ke: Fakultas ILMU KOMUNIKASI

PERSPEKTIF METODE PENELITIAN KUANTITATIF & KUALITATIF

METODOLOGI PENELITIAN Pertemuan 3 JENIS DAN METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bermaksud memperoleh gambaran tentang Implementasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan dengan mengamati teks online

BAB III METODE PENELITIAN

TEORI KOMUNIKASI. Pendekatan dan Pengertian Ilmu Komunikasi. SUGIHANTORO, S.Sos, M.IKom. Modul ke: Fakultas ILMU KOMUNIKASI

BAB III METODOLOGI. Pada bab ini dijelaskan mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian ini,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dasarnya penelitian adalah upaya mengumpulkan data yang akan dianalisis.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

BAB III Metodologi Penelitian. waktu, merupakan suatu upaya untuk menemukan

BAB III METODE PENELITIAN

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak

Penelitian di Bidang Manajemen

Ada 4 jenis penyajian triangulasi sebagai berikut: 1. Triangulasi Data (Data Triangulation)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

27 Universitas Indonesia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. akhlakul karimah peserta didik di SMP IT Ar Raihan. Untuk mencapai tujuan,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

PEMAHAMAN DASAR METODE PENELITIAN KUALITATIF Dikotomi metode penelitian mengarah pada dataran upaya pemahaman secara kuantitatif dan kualitatif. Para peneliti yang memanfaatkan ukuran-ukuran pasti, seperti logika matematika, prinsip penomeran, penyekalaan numerik, dan analisis statistik biasanya menggunakan metode penelitian kuantitatif (Griffin, 2003: 14-15; dan Anderson dan Meyer, 1988: 247). Termasuk dalam strategi pemakaian metode penelitian kuantitatif ini adalah penelitian eksperimen dan survey (Marsh, 1982; dan Vaus, 1991). Di lain pihak, pengguna pendekatan interpretive menganggap adanya hal penting dalam memahami perbedaan manusia yang diabaikan oleh pemakai pendekatan objective. Mereka kemudian mengembangkan metode penelitian kualitatif, yang pada tingkatan ini, etnografi dan analisis tekstual membantu para peneliti saat mencoba memahami makna. (Griffin, 2003: 15; Anderson, 1998: 205-236; Wimmer dan Dominick, 1997: 82-109; Lindlof, 1995; dan Jensen, 1991: 17-43). Pada sejumlah bab nantinya, tulisan ini akan membedah metode penelitian kualitatif dengan mendiskusikan keberadaannya, proses-proses pelaksanannya, serta bentuk-bentuk terapannya yang lebih dikaitkan dengan penelitian dan kajian ilmu komunikasi. Urutan-urutan pembahasan ini sengaja disusun agar mempermudah pemahaman tentang metode penelitian kualitatif yang dipakai dalam disiplin ilmu komunikasi. Penelitian pada dua dekade 1950 dan 1960-an, yang ditandai dengan beragam ukuran matematis statistik, dipandang memiliki banyak "lubang" yang tak bisa menjawab tuntas beberapa hal. Secara umum, lubang-lubang tak terjawab itu mencakup kesulitankesulitan, anomali-anomali, serta adanya celah akibat retak atau patahan dalam upaya pemahaman fenomena karena adanya pengabaian terhadap pertimbangan relativitas waktu (ephemeral judgments), lintas batas negara, perbedaan individual, deskripsi pra-ilmiah, serta kompleksitas keadaan. Dengan kata lain, pendekatan objective yang mengeksploitasi alatalat ukur kuantitatif dianggap terlalu menyederhanakan fenomena yang hendak dipahami. Pada tahun 1970-an terjadi titik balik terhadap hal-hal di atas. Titik balik ini, yang kemudian dikenal dengan "the interpretive turn" atau "the qualitative turn" atau "hermeneutic empiricism", kembali mengedepankan metode kualitatif dengan ditandai beberapa pergeseran formula dalam ilmu-ilmu humanistik (Anderson, 1998: 206; dan Jensen, 1991: 1). Sebagai landasan, Carey (1975, 190) menyebut titik balik ini sebagai sebuah proses untuk pemahaman besar terhadap hal-hal kecil seperti lagu, puisi dan mitos, dalam hubungan menyeluruhnya pada suatu budaya atau pandangan hidup. Penelitian kualitatif oleh Erickson ditandai dengan empat ciri khasnya (Wimmer dan Dominick, 1997: 83). Pertama, dilakukannya partisipasi yang intensif dan dalam jangka Universitas Gadjah Mada 1

waktu yang panjang. Kedua, pencatatan secara hati-hati terhadap hal-hal yang berlangsung hingga diperoleh bukti-bukti terrekam dan terdokumentasi. Ketiga, dilakukannya analisis terhadap data yang diperoleh di lapangan. Keempat, pelaporan basil yang memasukkan di dalamnya seluruh detil, kutipan dan komentar. Secara sepintas, keempat karakter yang dikemukakan Erickson di atas tak berbeda jauh dengan karakter umum penelitian kuantitatif. Bahkan bisa disebut mirip, jika hanya memperhatikan proses yang dilakukan: ke lapangan, pengumpulan data, analisis data temuan dan pelaporan hasil. Perbedaan besar baru terlihat dan terasakan pada saat mencermati dan melakukan penelitian langsung. Pada tingkat pelaksanaan ini, kecenderungan langkah-langkah penelitian kuantitatif dan kualitatif akan nampak berbeda secara nyata. Upaya memahami perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatif ini secara umum dapat dikaji dari dua pokok dasarnya. Pertama, hermeneutic foundations yang mengasumsikan sebuah dunia dengan beragam domain fenomenanya tanpa landasan yang sama atau umum (Anderson, 1998: 207). Dalam bahasa Ricoeur (1977), dasar metode ini adalah menginterpretasi makna sebuah teks melalui referensi yang berkelanjutan pada konteksnya. Kedua, objective foundations yang didukung pemahaman tentang fenomena dunia yang bebas, ditentukan dan dipersatukan. Fenomena pada landasan kedua ini adalah obyek-obyek analisis yang bebas (tak terkait dengan kultur atau perbedaan individual, sebagai contoh) yang kemudian menjadi subyek (ditentukan dan dipersatukan) pencermatan (Griffin, 2003: 8; dan Anderson, 1998: 206). 1 Lebih lanjut Lindlof (1995: 21-26) menjelaskan, penelitian kualitatif berusaha mencermati bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitasnya. Dalam hal ini, percakapan, gerak tubuh dan tindakan-tindakan sosial yang lain bisa disebut sebagai bahan dasar analisis perilaku manusia tersebut. Pada tingkatan tertentu, metode kualitatif memiliki persamaan dengan etnografi dan penelitian lainnya dalam hal penggunaan pendekatan untuk memahami manusia. Tesch (1990) dalam hal ini mengidentifikasi sejumlah pendekatan yang terkategori kualitatif, antara lain studi kasus, penelitian 1 Lebih dalam tentang kedua landasan yang membedakan penelitian kualitatif dan kuantitatif ini dapat dilihat pada bab selanjutnya. Universitas Gadjah Mada 2

kolaboratif, penelitian fenomenologik, dan interaksionisme interpretif. Pendekatanpendekatan ini oleh Lindlof (1995: 22) dikenali dari karakter-karakternya yang: memiliki landasan teoritik dalam proses interpretasi manusia memperhatikan tindakan dan artifak manusia yang secara sosial dibentuk menjadikan penelitinya sebagai instrumen penelitian yang utama, dan mendasarkan diri utamanya pada bentuk-bentuk naratif untuk pengodingan data dan untuk melaporkannya. Sejumlah metode ini pada dasarnya berusaha mengangkat permasalahan tentang cara manusia mengartikulasi dan menginterpretasikan kepentingan sosial dan personalnya. Gambaran awal yang dipaparkan di atas kiranya dapat mempermudah cara memahami metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pada bagian selanjutnya akan disajikan lebih lanjut tentang perbedaan antara kualitatif dan kuantitatif. Universitas Gadjah Mada 3

Antara Kualitatif dan Kuantitatif Secara umum, pemahaman terhadap perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatif dapat dilihat dari perbedaan penting antara pendekatan interpretive dan objective untuk ilmu komunikasi yang tersaji pada bagian berikut ini (Griffin, 2003: 6-15): Bagan 1 Perbedaan Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Kualitatif Interpretive Kuantitatif Objective Rhetorician Behavioral Humanities Empirical Research Interpret Tets Eperiments Seperti halnya peneliti yang menggunakan pendekatan objective, pendekatan interpretive dipergunakan untuk menjajagi dan menemukan kebenaran. Namun, pengguna pendekatan interpretive cenderung melihat kebenaran sebagai sesuatu yang tentatif dalam mengungkap realitas obyektif. Dasar dari pandangan mereka tentang kebenaran adalah sebagai sesuatu yang subyektif sehingga makna yang dilihat darinya bersifat interpretif. Kondisi seperti ini mengantar Anderson (1996: 120) untuk menyatakan kebenaran sebagai sebuah upaya perjuangan dan bukan status. Di lain pihak, kebenaran dalam pandangan pengguna pendekatan objective bersifat tunggal. Mereka memiliki keyakinan bahwa bila satu prinsip kebenaran berhasil dipetakan dan divalidasi, hal ini akan berlangsung untuk seterusnya sepanjang kondisinya tetap. Dari hal di atas kemudian bisa terlihat beda antara pendekatan interpretive yang banyak dipakai para rhetoricians dan pendekatan objective yang dianut kelompok behavioralis. Menurut para rhetorician, kebenaran adalah sesuatu yang melekat secara unik pada tempat, waktu dan komunitas tertentu atau, dengan kata lain, kebenaran memiliki banyak makna. Sedangkan kelompok behavioralis menganggap kebenaran dapat diberlakukan secara umum karena bermakna tunggal. Contoh paling sederhana untuk hal ini adalah bila seseorang berkata pada satu orang lainnya, "Matahari akan segera terbit," yang oleh kelompok behavioralis kalimat Universitas Gadjah Mada 4

tersebut hams dimaknai sebagai kebenaran tentang `matahari yang belum terbit'. Sedangkan bagi kelompok lainnya harus dicermati dulu waktu, suasana, kondisi, tujuan serta motif dari kalimat yang terucap. Makna kalimat itu bagi mereka bisa berarti pengingat waktu yang terbatas di antara dua agen rahasia yang sedang menggarap dokumen yang hendak mereka curi, berarti keluhan terhadap sempitnya waktu yang dimiliki pasangan selingkuh, berarti sebuah harapan terbitnya matahari berwarna indah di balik gunung dalam perbincangan para pendaki, atau sekadar hanya pernyataan belaka bahwa matahari akan segera terbit. Lebih lanjut, pendekatan interpretive di atas menjadi perhatian dalam ilmu humanities, sementara pendekatan objective banyak dilakukan dalam penelitian-penelitian empiris. Secara praktis, pendekatan interpretive dilakukan dengan melakukan interpretasi terhadap teks, yang tidak sekadar teks tertulis tetapi juga aksi sosial atau aksi manusia menurut inner connections-nya (Carey, 1995: 371; and Ricoeur, 1977: 322), sedangkan pendekatan objective dijalankan dengan melakukan sejumlah eksperimen. Dengan berdasar pada pemilahan pendekatan interpretive dan objective di atas, dan kemudian dikaitkan dengan tujuan penelitian yang dilakukan, akan diperoleh gambaran tentang cakupan penelitian kualitatif dan kuantitatif beserta bidang besar aktivitas penelitiannya. Hal ini dapat disederhanakan seperti pada bagan berikut: Universitas Gadjah Mada 5

Sagan 2 Pemilahan Pendekatan dan Tujuan Penelitian Dengan bahasa yang lain, Wimmer dan Dominick (1997: 83-84) melakukan pembedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif berdasar pada dimensinya. Pertama, kedua metode memiliki perbedaan filosofi tentang realitas. Bagi peneliti kualitatif, tidak ada realitas tunggal. Masing-masing peneliti menciptakan realitasnya sendiri sebagai bagian dari suatu proses penelitian yang dilakukannya. Mereka menguji keseluruhan proses dan meyakini realitas bersifat holistic dan tidak dapat dibagi-bagi. Sebaliknya bagi peneliti kuantitatif, realitas adalah obyektif. Realitas dapat dilihat oleh semua orang dan berada di luar peneliti. Mereka beranggapan bahwa realitas dapat dibagi menjadi sejumlah komponen, dan mereka yakin dapat memahami keseluruhannya hanya dengan melihat sejumlah komponen tadi. Kedua, metode kualitatif dan kuantitatif memiliki sudut pandang yang berbeda tentang individu. Peneliti kualitatif menganggap individu secara berbed-beda dan tidak bisa disamaratakan. Sebaliknya, peneliti kuantitatif memandang bahwa individu pada dasarnya sama saja dan cenderung mencari kategori umum untuk mewujudkan perilaku atau mengungkapkan perasaannya. Ketiga, peneliti kualitatif berusaha mendapatkan penjelasan yang unik tentang situasi dan invidu. Mereka mencoba mendalami hal-hal itu. Sedangkan peneliti kuantitatif mencoba mendapatkan rumusan umum tentang perilaku dengan menjelaskan banyak hal untuk sejumlah settings. Dalam hal ini, mereka berusaha melebarkannya (breadth) dan bukan pada depth seperti yang dilakukan peneliti kualitatif. Lebih lanjut Wimmer dan Dominick (1997: 84-85) menggambarkan perbedaan signifikan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif atas dasar perbedaan praktisnya: peran Universitas Gadjah Mada 6

peneliti, desain penelitian, setting, instrumen ukur dan pengembangan teori. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah bagian dari data (bahkan dikatakan, tanpa partisipasi aktif peneliti, data tidak akan ada), desain penelitian berkembang selama proses penelitian dan dapat diubah serta disesuaikan sejalan dengan berlangsungnya proses penelitian, peneliti mengadakan studi lapangan, berusaha memperoleh gambaran natural serta menangkap peristiwa-peristiwa yang terjadi tanpa melakukan pengontrolan variabel, peneliti adalah instrumen penelitian itu sendiri yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, serta pengembangan teori terjadi bersamaan dengan berlangsungnya proses penelitian sehingga teori disusun dari data yang tengah mereka kumpulkan. Sebaliknya, dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha mengejar obyektivitas dan berada di luar data dan desain penelitian disusun sebelum penelitian dilakukan. Selain itu, setting diupayakan terkontrol sehingga bisa membatasi variabel-variabel yang dipakainya, instrumen penelitian terlepas dari keberadaan peneliti dan dapat dilakukan oleh orang lain. Terakhir, secara umum penelitian kuantitatif berusaha menguji, mendukung atau menolak teori. Perbedaan lainnya dikemukakan oleh Jensen (1991: 4-5) dengan melihat bentukbentuk knowledge yang biasanya diasosiasikan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan mendasar antara metode kualitatif dan kuantitatif menurutnya adalah sebagai berikut: Bagian 3 Perbedaan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Menurut Klaus Bruhn Jensen Kualitatif Geisteswissenschaften (Humanitis) meaning internal occurrence eperience eegesis (penjelasan, penafsiran) process Kuantitatif Naturwissenschaften (Natural) information eternal recurrence eperiment measurement product Lebih lanjut ia menjelaskan, metode kualitatif memiliki latar belakang ilmu-ilmu humanitis atau Geisteswissenschaften, dengan kultur dan komunikasi bisa dipahami sebagai sumber makna (meaning) dalam batasan-batasan fenomenologis dan kontekstual. Sebagai akibatnya, analisis kualitatif berfokus pada munculnya (occurrence) obyek analitik pada konteks tertentu. Implikasi lainnya, analisis kualitatif menggunakan pendekatan internal untuk dalam memahami budaya, menginterpretasikan dan mungkin hingga melibatkan diri Universitas Gadjah Mada 7

secara total. Pada tingkat ini, isi media dan bentuk budaya dapat dipandang sebagai sesuatu yang membangkitkan keunikan, sebuah pengalaman (eperience) yang utuh tak terbagi agar dapat memberi penjelasan atau penafsiran (eegesis) padanya. Pendekatan kualitatif menguji produksi makna sebagai sebuah proses (process) yang dikontekstual dan diintegrasikan dengan praktek-praktek sosial dan budaya yang lebih luas. Sebaliknya, metode kuantitatif diyakini memiliki latar belakang ilmu-ilmu natural atau Naturwissenschaften, dengan kultur dan komunikasi bisa dipahami sebagai sumber informasi (information) dalam pengertian suatu pesan bermakna yang dibawa melalui media. Sebagai akibatnya, analisis kuantitatif berfokus pada muncul kembalinya (recurrence) hal-hal yang sama meskipun pada konteks yang berbeda. Implikasi lainnya, analisis kuantitatif menggunakan pendekatan eternal untuk menjaga jarak terhadap nilainilai budaya yang ada. Pada tingkat ini, isi media dan bentuk budaya dapat dipandang sebagai suatu set stimuli yang dapat dimanipulasi melalui eperiment dan menghasilkan variabel-variabel yang dapat diukur (measured). Pendekatan kuantitatif berfokus pada halhal konkrit hasil dari suatu produksi makna. Seperti telah disinggung di muka, Anderson (1998: 206) secara spesifik menjelaskan perbedaan antara metode kualitatif dan kuantitatif atas dasar landasan kelompok objectivist dan landasan hermeneutic. Lebih lanjut Anderson menjelaskan bahwa hermeneutic empiricism menempatkan wilayah studi manusia beserta penjelasanpenjelasannya dalam domain tanda (sign). Domain ini mempertemukan hermeneutic empiricism dengan fenomena yang ditujunya; suatu fenomena yang merupakan konstruksi manusia, yang secara ontologis tergantung pada perspektif yang diikutinya, dan yang berada pada suatu hubungan yang keefektifannya ditentukan oleh pencapaian manusia. Universitas Gadjah Mada 8

Empirisme hermeneutic menempatkan perlakuan interpretif di antara obyek analisis dan subyek klaim. Wilayah fenomena empirisme jenis ini terdiri dari fakta-fakta dan perlakuan interpretif yang diupayakan agar bermakna bagi tindakan-tindakan manusia. Dalam hal ini, klaim (claim) dipandang sebagai hadirnya upaya mencapai kebenaran, dan ilmu adalah bagian dari upaya manusia ke arah itu. Fungsi awal hermeneutic empiricism adalah mengantar analisis ke sisi produksi makna. Patut diingat, studi atau penelitian berbasis empirisme jenis ini biasanya diawali dengan sejumlah "kegelisahan" tentang `bagaimana hal itu dilakukan?', `nilai sosial apa yang ada dalam rujukan simbolik dan aktivitasnya?', `apa makna tindakan atau teks?', dan `persyaratan-persyaratan apa yang diperlukan untuk upaya pencapaiannya (Anderson, 1998: 208). Bila langkah awal ini sudah dijalankan dan berhasil dimasuki, peneliti kemudian melakukan aktivitas berulang dan berganti-ganti antara "membaca" dan "menulis". Lebih lanjut Anderson menjelaskan, terjun berpartisipasi dalam dunia yang ditelitinya adalah sebuah aktivitas "membaca". Melakukan interview jangka lama (long-form interviews atau conversation) serta lewat sambil melihat (walking one through atau protocol analysis) adalah jenis membaca secara interaktif. Mengumpulkan sejumlah artifak dapat dipandang sebagai aktivitas noninteractive reading. Sedangkan aktivitas melakukan pemotretan, perekaman, transkripsi serta pencatatan adalah aktivitas "menulis". Hasil dari aktivitas "membaca" dan "menulis" ini yang kemudian menjadi kumpulan pengalaman dan bahan untuk dideskripsikan, diinterpretasikan, dianalisis, dimaknai dan dikritik. Dalam kalimat yang lebih singkat, Griffin (2003: 508) menyebut hermeneutic sebagai suatu studi dan sekaligus praktek interpretasi. Hermeneutic sendiri pada dasar dan awalnya lebih terkait dengan studi yang menginterpretasikan naskah-naskah kuno. Fokus terhadap ini kemudian mengarah pada studi tekstual setelah Dilthey dan Gadamer membakukan dan memperluas cakupannya (Palmer, 1969). Metode hermeneutic lebih jauh dapat diterapkan pada segala situasi saat seorang peneliti berusaha mencermati ulang makna-makna kesejarahan, sehingga hermeneutic kemudian dianggap sebagai metode yang aplikabel untuk pendekatan interpretif kalangan antropolog dan mereka yang terjun dalam cultural studies. 1 1 Beragam nama muncul dan diklaim oleh peneliti yang memakai pendekatan interpretif. Di antaranya: hermeneuticists, poststructuralists, deconstructivists, phenomenologists, cultural studies researchers dan social action theorists. Lihat Griffin (2003: 9). Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, rentang peta antara empirisme objective dan hermeneutic (interpretive) digambarkan dengan baik oleh Griffin (2003: 508-511). Ia Universitas Gadjah Mada 9

memetakan permasalahan itu dalam suatu skala dengan hermeneutic pada akhir skala. Seperti telah disinggung di depan, penganut objective berpegang pada realitas social yang tunggal, bebas dan otonom. Prinsip-prinsip teoritik utama dalam pandangan mereka adalah ahistoris dan tidak tergantung pada kondisi lokal. Penganut interpretive, di sisi lain, menganggap realitas sebagai keadaan yang dibuat (conferred status). Interpretasi adalah upaya manusia yang menjadikannya sebagai data, dan teks tidak pernah menginterpretasikan dirinya sendiri. Pengetahuan harus dilihat dari sudut pandang tertentu, yang konsekuensinya tidak bisa secara sembarangan melintasi batas waktu dan ruang. Griffin (2003: 510) lebih lanjut mencoba membuat klasifikasi sejumlah teori komunikasi atas dasar pandangan objective dan interpretive. Klasifikasinya dapat dilihat pada bagan berikut: Universitas Gadjah Mada 10

Bagan 4 Teori Komunikasi dan Pandangan Objective dan Interpretive Teori Interpersonal Communication Symbolic Interactionism Coordinated Management of Meaning Epectancy Violations Theory Interpersonal Deception Theory Constructivism Social Penetration Theory Uncertainty Reduction Theory The Interactional View Relational Dialectics Social Judgment Theory Elaboration Likelihood Model Cognitive Dissonance Theory Group and Public Communication Functional Perspective on Group Decision Making Adaptive Structuration Theory Symbolic Convergence Theory Information Systems Approach Cultural Approach Critical Theory of Communication Approach The Rhetoric Dramatism Narrative Paradigm Mass Communication Technological Determinism Semiotics Cultural Studies Cultivation Theory Agenda-Setting Theory The Media Equation Cultural Contet Aniety/Uncertainty Management Theory Face-Negotiation Theory Speech Codes Theory Genderlect Styles Standpoint Theory Muted Group Theory Objective Interpretive Skala 1 2 3 4 5 Universitas Gadjah Mada 11

Sejumlah paparan di atas kiranya dapat mempermudah dan melengkapi pemahaman terhadap perbedaan yang ada antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pada bagian selanjutnya akan disajikan lebih lanjut tentang paradigma interpretif (interpretive paradigm). Universitas Gadjah Mada 12