BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

DONNY RAHMAN KHALIK FORMULASI MIKROEMULSI MINYAK KELAPA MURNI UNTUK SEDIAAN NUTRISI LENGKAP PARENTERAL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelarutan Ibuprofen dalam Minyak, Surfaktan, dan Kosurfaktan Formulasi Self-nanoemulsifying Drug Delivery System

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 3 PERCOBAAN. 3.3 Mikroorganisme Uji Propionibacterium acnes (koleksi Laboratorium Mikrobiologi FKUI Jakarta)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB IV PROSEDUR KERJA

FORMULASI DAN EVALUASI MIKROEMULSI KETOKONAZOL DENGAN BASIS MINYAK ZAITUN SKRIPSI

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

Pembuatan Basis Krim VCO (Virgin Coconut Oil) Menggunakan Microwave Oven

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Landasan Teori 1. Tetrahidrokurkumin

LISA AYU LARASATI FORMULASI MIKROEMULSI DL-ALFA TOKOFEROL ASETAT DENGAN BASIS MINYAK KELAPA MURNI DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA I

FORMULASI SEDIAAN SEMISOLIDA

Kode Bahan Nama Bahan Kegunaan Per wadah Per bets

Fransiska Victoria P ( ) Steffy Marcella F ( )

BAB 3 PERCOBAAN. 3.3 Hewan Percobaan 3 ekor Kelinci albino galur New Zealand dengan usia ± 3 bulan, bobot minimal 2,5 kg, dan jenis kelamin jantan.

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA

SUSPENSI DAN EMULSI Mata Kuliah : Preskripsi (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B., S.Farm., M.Farm., Apt.

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

COSMETIC STABILITY. Rabu, 18 Nopember 2004, Hotel Menara Peninsula, Slipi, Jakarta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Kimia Fisika Penentuan Tegangan Permukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak fenomena-fenomena alam yang kurang kita perhatikan akan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Alat-alat gelas, Neraca Analitik (Adam AFA-210 LC), Viskometer

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

FORMULASI DAN UJI STABILITAS FISIK KRIM SUSU KUDA SUMBAWA DENGAN EMULGATOR NONIONIK DAN ANIONIK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

SURFACE TENSION ( Tegangan Permukaan )

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Tanaman ini termasuk jenis tumbuhan dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum

A. LATAR BELAKANG MASALAH

IDA FARIDA SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi Sediaan Mikroemulsi Ekstrak Beras Hitam (Oryza sativa L.) dan Evaluasi Efektivitasnya sebagai Antikerut

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB V PEMBUATAN SABUN TRANSPARAN

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

BAB I PENDAHULUAN. Propofol adalah obat intravena paling sering digunakan anestesi saat ini

PENDAHULUAN. peningkatan mutu, penggunaan bahan pembentuk rasa dan warna, serta

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. induksi anestesi maupun pemeliharaan anestesi/ Total Intra Vena Anesthesi (TIVA) dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.1 Hasil Formulasi Nanopartikel Polimer PLGA Sebagai Pembawa Deksametason Natrium Fosfat.

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini telah dihasilkan homopolimer emulsi polistirena

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan dari formula Hair Tonic sari lidah buaya (Aloe vera L.) dengan

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM BIOKIMIA. (Uji Pembentukan Emulsi Lipid)

I. PENDAHULUAN. Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian utama dan

1. Formula sediaan salep dengan golongan basis salep hidrokarbon atau berlemak

BAB I PENDAHULUAN. gugus hidrofilik pada salah satu sisinya dan gugus hidrofobik pada sisi yang

39 HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Struktur Liposom

BAB II 2. STUDI PUSTAKA Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA II

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

4 Hasil dan Pembahasan

MAGDA LILIANNA FORMULASI SOLID LIPID NANOPARTIKEL DENGAN VITAMIN E ASETAT PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. turunan asam amino fenil alanin yaitu 2-acetyl-1-pyrroline (Faras et al., 2014).

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipilih sebagai cara pengolahan makanan karena mampu meningkatkan

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

4. Emulsifikasi dan homogenisasi

Transkripsi:

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Orientasi formula mikroemulsi dilakukan untuk mendapatkan formula yang dapat membentuk mikroemulsi dan juga baik dilihat dari stabilitasnya. Pemilihan emulgator utama serta ko-emulgator yang tepat dalam formulasi mikroemulsi VCO merupakan suatu hal yang sangat penting. Emulgator yang umum digunakan dalam formula suatu emulsi tidak otomatis dapat digunakan untuk membentuk mikroemulsi. Emulgator yang sering digunakan dalam formula mikroemulsi adalah emulgator golongan surfaktan non-ionik, seperti polysorbate 80, Cremophor RH, Inwitor dan brij. Sedangkan ko-emulgator yang banyak digunakan adalah senyawa amphiphile, yaitu senyawa-senyawa yang memiliki gugus hidrofilik dan lipofilik seperti alkohol rantai pendek (Ryoo et al., 2005). Orientasi awal dengan memvariasikan perbandingan emulgator utama polysorbate 80 dan lesitin kedelai dilakukan untuk mendapatkan formula mikroemulsi VCO yang berwarna kuning, jernih dan tembus cahaya. Hasil orientasi awal ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 4.1 Orientasi Perbandingan Emulgator Utama Formula Komposisi (%) Hasil Pengamatan Polysorbate 80: add VCO Gliserol (24 jam) Lesitin Kedelai I 5 33 (1:1) 16 100 Sediaan kuning susu II 5 33 (2:1) 16 100 Sediaan kuning susu III 5 33 (5:1) 16 100 Sediaan kuning susu IV 5 33 (9:1) 16 100 Sediaan kuning susu V 5 33 (10:1) 16 100 Sediaan kuning jernih Rasio konsentrasi polysorbate 80 dan lesitin kedelai yang berhasil membentuk mikroemulsi adalah 10:1, sedangkan rasio lain dari emulgator utama yang dicoba dalam penelitian ini tidak berhasil membentuk mikroemulsi yang ditandai dengan terbentuknya emulsi yang tidak jernih. 14

15 Kebutuhan kalori pasien yang berasal dari lemak dalam sediaan TPN adalah sebesar 30-40 % (600-800 kkal) yang didasarkan atas kebutuhan kalori total 2000 kkal/hari. Beberapa pilihan kandungan kalori untuk IVLE yang sering digunakan secara klinis adalah 500 kkal/ hari dan 550 kkal/ hari (Dipiro et al., 1997). Kandungan kalori dalam VCO adalah 8,571 kkal/g (Darmoyuono, 2006). Apabila dibuat sediaan TPN sebanyak 500 ml, maka dalam 100 ml dibutuhkan 14-19 g atau 14-19 % VCO. Dalam penelitian ini dipilih nilai tengah yaitu 17% VCO untuk setiap formula mikroemulsi. Dengan menggunakan rasio polysorbate 80 dan lesitin kedelai (10:1) dilakukan orientasi jumlah emulgator yang sesuai untuk membentuk mikroemulsi VCO 17%. Hasil orientasi ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 4.2 Orientasi Jumlah Emulgator untuk Minyak Kelapa Murni 17% Formula VCO Polysorbate 80 Komposisi (%) Lesitin kedelai Add Gliserol + (1:1) Hasil Pengamatan (24 jam) A 17 15 1,5 100 Sediaan kuning susu B 17 25 2,5 100 Sediaan kuning susu C 17 30 3,0 100 Sediaan kuning susu D 17 35 3,5 100 Sediaan kuning jernih E 17 40 4,0 100 Sediaan kuning jernih F 17 50 5,0 100 Sediaan terpisah menjadi dua bagian Selanjutnya dilakukan orientasi untuk menentukan jumlah optimal gliserol sebagai koemulgator dari formula D dan E (Tabel 2) yang merupakan formula yang berhasil membentuk mikroemulsi VCO 17%. Hasil orientasi konsentrasi koemulgator ditunjukkan dalam Tabel 3.

16 Tabel 4.3 Orientasi Jumlah Gliserol Komposisi (%) Formula VCO Polysorbate 80 Hasil Pengamatan Add + lesitin Gliserol (24 jam) kedelai D 1 17 38,5 15,00 100 Sediaan kuning keruh D 2 17 38,5 17,00 100 Sediaan kuning keruh D 3 17 38,5 22,25 100 Sediaan kuning jernih D 4 17 38,5 31,00 100 Sediaan kuning keruh E 1 17 44,0 15,00 100 Sediaan kuning jernih E 1 17 44,0 17,00 100 Sediaan kuning jernih E 3 17 44,0 24,00 100 Sediaan kuning jernih E 4 17 44,0 31,00 100 Sediaan kuning keruh Hasil orientasi dan beberapa pembuatan formula lainnya kemudian disusun menjadi diagram Pseudoternary (Gambar 1). 0.0 1.0 0.1 0.9 0.2 0.8 0.3 0.7 0.4 0.6 0.5 0.5 0.6 0.4 0.7 0.3 0.8 0.2 0.9 0.1 1.0 0.0 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 Gliserin n Polysorbate p orba 80 : l: esi lesitin n (10 :1)(10:1) Gambar 4.1 Diagram Pseudoternary untuk minyak kelapa murni 17% dari gliserol, polysorbate 80 : lesitin dan aquadest. (+) = titik yang menjadi mikroemulsi. ( ) = titik yang tidak menjadi mikroemulsi. Dari diagram fase diperoleh batas pemakaian emulgator adalah 38,5-44,0 % dan koemulgator 15-24 % untuk dapat menghasilkan mikroemulsi.

17 Rasio yang tinggi dari polysorbate 80 terhadap lesitin (10:1) dibutuhkan untuk menghasilkan mikroemulsi. Hal ini disebabkan karena lesitin kedelai terlalu lipofil untuk membuat mikroemulsi VCO (Moreno et al., 2003). Polysorbate 80 dan lesitin kedelai merupakan emulgator yang bersifat surfaktan non-ionik, walupun demikian kedua surfaktan tersebut berbeda sifat lipofilnya. Lesitin kedelai lebih bersifat lipofil dibandingkan dengan polysorbate 80. Oleh karena itu lesitin kedelai dalam mikroemulsi yang dibuat sebagai surfaktan lipofil sedangkan polysorbate 80 merupakan surfaktan yang bersifat hidrofil. Penggunaan lesitin secara tunggal tidak mampu menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih dan transparan, karena lesitin kedelai terlalu lipofil untuk membentuk lapisan surfaktan dengan tegangan permukaan hampir nol secara spontan sehingga menstabilkan droplet mikroemulsi (Moreno et al., 2003). Mikroemulsi umumnya hanya menggunakan satu jenis emulgator utama untuk membentuk lapisan pada permukaan globul fasa dalam dan koemulgator yang memperkecil ukuran dari globul tersebut. Polysorbate 80 merupakan surfaktan non-ionik yang secara tunggal dapat membuat mikroemulsi tanpa penambahan koemulgator tetapi dengan konsentrasi minyak yang sangat terbatas yaitu 8% (Moreno et al., 2003). Dengan penggunaan VCO sebanyak 17% penggunaan polysorbate 80 sebagai emulgator tunggal tidak berhasil membentuk mikroemulsi. Penambahan lesitin sebagai emulgator kedua bertujuan untuk membantu polysorbate 80 dalam mensolubilisasi fase dalam (minyak) dari mikroemulsi sehingga jumlah minyak yang digunakan dapat memenuhi kebutuhan energi pasien, yang dalam hal VCO jumlah yang harus digunakan adalah 17%. Polysorbate 80, dengan kemampuan sebagai surfaktan dan struktur kimianya, mampu secara bersamaan menurunkan tegangan permukaan dari sistem mikroemulsi yang terbentuk serta menaikkan nilai hydrophilic-lipophilc balance (HLB) dari lesitin. Selain itu lesitin juga berperan dalam menaikkan jumlah minyak kelapa murni yang dapat disolubilisasi dalam sistem mikroemulsi (Moreno et al., 2003). Gliserol dalam percobaan ini digunakan sebagai koemulgator yang mempunyai peranan dalam menaikan nilai HLB dari lesitin serta menurunkan kehidrofilan dari pelarut polar (fasa luar).

18 Dari diagram pseudoternary yang terbentuk dipilih 2 formula yang masuk dalam daerah mikroemulsi untuk di uji stabilitasnya. Tabel 4.4 Formula Mikroemulsi F I F II Minyak Kelapa Murni 17 17 Polysorbate 80 35 40 Lesitin kedelai 3,5 4 Gliserol 22,25 15 22,25 24 Formula I dan II tersebut dapat menghasilkan mikroemulsi VCO dalam air dengan warna kuning jernih dan tembus cahaya dan memiliki reprodusibilitas yang tinggi. Formula I mempunyai jumlah emulgator yang terkecil dan formula II mempunyai persentase jumlah koemulgator (gliserol) yang paling kecil dibanding formula yang lain. Pengamatan uji stabilitas pada minggu ke-4 menunjukkan adanya serabut putih yang diduga sebagai kontaminasi dari mikroorganisme sehingga pengukuran viskositas dan ph untuk minggu ke-4 ini tidak dilakukan karena dapat menganggu hasil pengukuran. Hasil uji stabilita untuk formula I menunjukkan peningkatan viskositas selama 48 jam pertama dan kemudian menurun pada minggu pertama dan stabil selama 3 minggu berikutnya. Viskositas formula I pada minggu ke-2 dan ke-3 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dibandingkan dengan viskositas pada minggu pertama (p>0,05; uji-t berpasangan). Sedangkan untuk formula II terjadi peningkatan viskositas setelah 48 jam pertama, kemudian viskositas menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam penyimpanan selama 3 minggu secara signifikan (p<0,05; uji-t berpasangan). Penurunan viskositas formula II kemungkinan disebabkan pengaruh dari pertumbuhan mikroorganisme. Viskositas sediaan steril dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4 tidak terjadi perubahan secara signifikan (p>0,05; uji-t berpasangan) dan dari hasil uji sterilitas dan penampakan makrokopis juga tidak menunjukan adanya pertumbuhan bakteri. Maka penurunan nilai viskositas pada sediaan non-steril diakibatkan karena pertumbuhan bakteri dan bukan karena ketidakstabilan sediaan.

19 cps 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 24 jam 48 jam 1 minggu 2 minggu 3 minggu Gambar 4.2 Stabilitas viskositas ( ) = formula I dan ( ) = formula II selama 4 minggu penyimpanan. Peningkatan viskositas pada 48 jam pertama kemungkinan disebabkan adanya interaksi antara rantai panjang dari polysorbate 80 dan dari lesitin kedelai akibat pengadukan yang tinggi selama proses pembuatan. Proses pengadukan membuat rantai-rantai panjang dari poysorbate 80 dan lesitin tersusun teratur. Kemudian setelah 48 jam, rantai-rantai dari kedua emulgator tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain, membentuk pola yang tidak teratur. Setelah dibiarkan selam 1 minggu, rantai-rantai panjang tersebut mulai memisah dan mulai menyusun kembali keteraturannya sehingga viskositas dari sediaan akan terus menurun (Moreno et al., 2003). Nilai viskositas dari sediaan mikroemulsi pada umumya memiliki harga antara 10 hingga 100 cps (Rossano et al., 1983). Tetapi hasil penelitian ini menunjukkan nilai viskositas yang hampir 30 kali lipat dari sediaan mikroemulsi umumnya. Hal ini dimungkinkan karena penggunaan dua emulgator utama yang sama-sama berantai panjang dan memiliki gugus hidrofilik dan lipofilik. Rantai panjang lipofilik dari emulgator kedua yaitu lesitin kedelai akan bereaksi dengan gugus hidrofilik dari emulgator utama (polysorbate 80) sehingga memperpanjang misel yang ada di antar permukaan globul minyak dan fase airnya. Hal ini akan mengakibatkan globul akan membentuk rangkaian seperti bulu babi dan akan menimbulkan halangan

20 sterik. Semakin panjang gugus lipofil yang dimiliki emulgator kedua dibandingkan jarak antar droplet minyak untuk membentuk halangan sterik, akan semakin tinggi pula nilai viskositas dari suatu sistem mikroemulsi tersebut (Rossano et al.,1983). Evaluasi ph formula I dan formula II selama 3 minggu menunjukkan ph sediaan berada pada rentang 6,4 6,8 dan ini masih dalam rentang yang diperbolehkan (ph 6-9) (Driscoll et al., 2006) sehingga kedua formula memenuhi kriteria ph yang dibutuhkan. Uji stabilitas dengan metode Freeze-Thaw menunjukkan tidak terjadi perubahan yang berarti untuk viskositas dan ph dari siklus ke-0 dan setelah siklus ke-6 pada formula I dan formula II (p>0,05; uji-t berpasangan). Hal ini berarti formula I dan II stabil secara fisika dan kimiawi berdasarkan uji Freeze-Thaw. Tabel 4.5 Pengamatan Uji Stabilitas dengan Metode Freeze-thaw F I Makroskopis Viskositas (cps) ph Siklus 0 Kuning, jernih, tembus cahaya 2680,00 ± 277,24 6,52 ± 0.05 Siklus 6 Kuning, jernih, tembus cahaya 3310,00 ± 287,83 6,61 ± 0,05 F II Makroskopis Viskositas (cps) ph Siklus 0 Kuning, jernih, tembus cahaya 1647,50 ± 218,95 6,60 ± 0,08 Siklus 6 Kuning, jernih, tembus cahaya 1432,50 ± 243,53 6,52 ± 0,08 Formula I dipilih untuk diukur diameter globulnya menggunakan alat Zetasizer Nano yang bekerja berdasarkan prinsip Dynamic Light Scattering karena formula I cenderung memiliki nilai viskositas dan ph yang stabil selama penyimpanan 4 minggu dibandingkan formula II. Alat ini bekerja dengan mengukur kecepatan hilangnya sinar pantul oleh globul-globul yang bergerak ketika mikroemulsi disinari dengan sinar laser. Semakin besar ukuran globul maka kecepatan hilangnya sinar pantul akan semakin lambat. Diameter globul mikroemulsi untuk formula I adalah 7,1 nm dan sebaran ukuran globul (Polydispersity Index) 0,498. Rentang ukuran globul antara 4,9 nm sampai 10,1 nm. Ukuran diameter globul yang dihasilkan memenuhi persyaratan dari emulsi lemak untuk injeksi yaitu harus dibawah 500 nm (Driscoll et al., 2000).

21 Diameter (nm) Gambar 4.3 Ukuran globul fasa minyak untuk formula I. Hasil evaluasi kecepatan aliran pada sistem infus menunjukkan bahwa sediaan masih dapat mengalir dengan kecepatan aliran 38,43 ± 0,41 ml/menit walaupun evaluasi viskositas menunjukkan nilai viskositas yang jauh lebih tinggi dari sediaan mikroemulsi umumnya (Rossano et al., 1983). Sediaan mikroemulsi yang dihasilkan dari penelitian masih memenuhi persyaratan kecepatan aliran untuk sediaan TPN jika diberikan selama 10 jam yaitu 50 ml/jam atau 0,833 ml/menit.