SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Elly Herwana Departemen Farmakologi dan Terapi FK Universitas Trisakti

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan tubuh nyamuk.

Sambiloto Artemisin

ABSTRAK. Pembimbing I : Susy Tjahjani, dr., M.Kes. Pembimbing II : Ronald Jonathan, dr., M.Sc., DTM&H

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria terjadi bila eritrosit diinvasi oleh salah satu dari empat spesies

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksius. yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina.

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Malaria Definisi Malaria merupakan infeksi protozoa genus Plasmodium yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2009 mencapai 1,85% per 1000 penduduk. Penyebab malaria yang tertinggi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar hampir di beberapa Negara tropis dan subtropis saat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang. masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya perbaikan kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negaranegara

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

Malaria merupakan penyakit yang terdapat di daerah Tropis. Penyakit ini. sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit infeksi yang bersifat akut maupun kronis

Malaria disebabkan parasit jenis Plasmodium. Parasit ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi.

A. Pengorganisasian. E. Garis Besar Materi

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI MALARIA DI LABORATORIUM RUMAH SAKIT UMUM PANGLIMA SEBAYA TANAH GROGOT KALIMANTAN TIMUR PERIODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh 4 spesies plasmodium, yaitu

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI PARASIT. dr. Agung Biworo, M.Kes

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I P E N D A H U L U A N. A. Latar Belakang

TATALAKSANA MALARIA. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

EFFECT OF ANTIMALARIA HERBAL SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) ON MORPHOLOGY CHANGES OF DEVELOPMENT AND PARASITE Plasmodium Falciparum

AKTIVITAS ANTIPLASMODIUM FRAKSI SEMIPOLAR EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU MANGGA (Curcuma mangga Val.) TERHADAP Plasmodium berghei SECARA In Vivo SKRIPSI

EFFECT OF ANTIMALARIA HERBAL SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) ON MORPHOLOGY CHANGES OF DEVELOPMENT AND PARASITE Plasmodium Falciparum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI PARASIT

DEFINISI KASUS MALARIA

Epidemiologi dan aspek parasitologis malaria. Ingrid A. Tirtadjaja Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

BAB I PENDAHULUAN. Separuh penduduk dunia berisiko tertular malaria karena hidup lebih dari 100

ABSTRAK. PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

ABSTRAK. PENGARUH FRAKSI AIR KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana) DAN ARTEMISININ TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Medan Diduga Daerah Endemik Malaria. Umar Zein, Heri Hendri, Yosia Ginting, T.Bachtiar Pandjaitan

2 TINJAUAN PUSTAKA Jenis dan Gejalanya

Project Status Report. Presenter Name Presentation Date

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA. Ar11l ELVIEN LAHARSYAH

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

TATALAKSANA MALARIA. Dhani Redhono

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh parasit Protozoa genus Plasmodium dan ditularkan pada

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

Plasmodium falciparum is the cause of

Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

ABSTRAK. Helendra Taribuka, Pembimbing I : Dr. Felix Kasim, dr., M.Kes Pembimbing II : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Penelitian...26

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit parasit yang tersebar

Tanaman Artemisia Penakluk Penyakit Malaria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray].

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

STATUS HEMATOLOGI PENDERITA MALARIA SEREBRAL

BAB I PENDAHULUAN. penularan malaria masih ditemukan di 97 negara dan wilayah. Saat ini sekitar 3,3

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

Profilaksis Malaria di Perbatasan Indonesia-Timor Leste

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

Gambaran Infeksi Malaria di RSUD Tobelo Kabupaten Halmahera Utara Periode Januari Desember 2012

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi perhatian masyarakat dunia termasuk didalamnya negara Indonesia. Di

Transkripsi:

PERBANDINGAN EFIKASI ANTIMALARIA EKSTRAK HERBA SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES) TUNGGAL DAN KOMBINASI MASING-MASING DENGAN ARTESUNAT DAN KLOROKUIN PADA PASIEN MALARIA FALSIPARUM TANPA KOMPLIKASI DISERTASI UMAR ZEIN 028102014/KD SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

PERBANDINGAN EFIKASI ANTIMALARIA EKSTRAK HERBA SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES) TUNGGAL DAN KOMBINASI MASING-MASING DENGAN ARTESUNAT DAN KLOROKUIN PADA PASIEN MALARIA FALSIPARUM TANPA KOMPLIKASI ABSTRAK Latar Belakang: Meningkatnya resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat antimalaria membutuhkan jenis obat lokal yang terdapat di Indonesia yang mempunyai potensi sebagai antimalaria yang dapat dikembangkan. Herba Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) adalah salah satu dari tanaman obat yang terdapat hampir di seluruh daerah Indonesia. Jenis herbal ini telah digunakan selama beberapa abad untuk berbagai penyakit infeksi di Asia. Bahan dan Cara: Penelitian in vitro telah dilakukan dengan menggunakan kultur Plasmodium falciparum strain Papua di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang dengan obat uji klorokuin, artemisinin, ekstrak sambiloto, dan kombinasi ekstrak sambiloto masing-masing dengan klorokuin dan artemisinin. Penelitian klinis juga dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara dengan metode randomized, double-blind control dengan empat kelompok pengobatan terhadap pasien malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi. Kepada pasien diberikan pengobatan dengan ekstrak sambiloto tunggal 250 mg (n = 40) dan sambiloto 500 mg (n = 38) tiga kali sehari selama lima hari serta kombinasi sambiloto 250 mg masing-masing dengan klorokuin 1000 mg hari I dan II dan 500 mg hari III (n = 37) dan artesunat 200 mg perhari selama 3 hari (n = 40). Diamati penurunan parasitemia mulai hari pertama sampai ke tujuh, kemudian hari ke 14, 21, dan 28. Juga dimonitor efek samping obat, pemeriksaan darah rutin dan kimia darah sebelum dan sesudah pengobatan serta pemeriksaan kadar TNF-α dan IFN-γ untuk menilai efek imunomudulasinya. Hasil: Secara in-vitro efikasi klorokuin dengan efek membunuh parasitnya sudah terlihat pada sel kultur berupa crisis form, yaitu pecahnya sitoplasma Plasmodium falciparum setelah 48 jam pada dosis 0,5 ug/ml, sementara pada kelompok sambiloto, efek membunuhnya baru terlihat pada dosis yang lebih besar (1 ug/ml). Kombinasi sambiloto dengan klorokuin maupun artemisinin, efek membunuhnya tetap terlihat pada dosis 0,5 ug/ml. Efikasi antimalaria sambiloto tunggal 250 mg, 500 mg, kombinasi sambiloto 250 mg masing-masing dengan klorokuin dan artesunat adalah 90,9%, 90,5%, 90,2% dan 95,2% (p>0,3). Kadar TNF-α plasma meningkat pada hari ke 7 pengobatan dengan sambiloto 500 mg (p<0,05). Pemberian sambiloto selama lima hari tidak menimbulkan efek samping, fungsi hati dan ginjal serta komponen hematologi lain dalam batas normal pada hari ketujuh (p>0,3). Kesimpulan: Penelitian in vitro dan in vivo membuktikan bahwa ekstrak sambiloto mempunyai efek antimalaria. Efikasi ekstrak sambiloto 250 mg dan 500 mg adalah sama. Kombinasi sambiloto dengan artesunat menunjukkan efikasi paling tinggi. Ekstrak sambiloto 500 mg mempunyai efek imunomodulasi. Kata Kunci : Sambiloto artesunat - antimalaria - TNF-α - efek imunomodulasi

COMPARISON OF ANTIMALARIAL EFFICACY OF HERBAL SAMBILOTO EXTRACT (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES) AS A SINGLE AND IN COMBINATION WITH ARTESUNATE AND CHLOROQUIN FOR UNCOMPLICATED FALCIPARUM MALARIA ABSTRACT Background: The increase of Plasmodium falciparum resistance to antimalarial drugs compelled us to look for alternative treatment that may be locally available in Indonesia and could posses an antimalarial action and eventually be developed later on. The sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is one of the herbals that could be found in all parts of Indonesia. This herbal has been used for infectious diseases in Asia for centuries. Materials and Methods: An in vitro study was conducted using the Plasmodium falciparum Papua strain culture at Biomedical Laboratory, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang with trial drugs like chloroquin, artemisinin, sambiloto extract, and combination of sambiloto extract with either chloroquin or artemisinin. A clinical study was also conducted in Mandailing Natal District of North Sumatera Province in randomized, double-blind controlled manner with four groups of treatment regimens in adult falciparum malarial patients without complications. Patients were administered the extract of herbal sambiloto 250 mg (n = 40) or 500 mg (n = 38) monotherapy thrice daily for five days or in combination of sambiloto extract 250 mg with either chloroquin 1.000 mg on day 1 and day 2 and 500 mg on day 3 (n = 37) or artesunate 200 mg daily for three days (n = 40). We also monitored the adverse effects, hematology and blood chemistry and plasma levels of TNF-α and IFN- γ to assess the immunomodulatory actions. Results: In vitro study of chloroquin showed that the killing effect of parasite by its crisis form in culture cells occurred after 48 hour in a dosage of 0.5 ug/ml. In the sambiloto group the killing effect was seen at a higher dosage (1 ug/ml). The combination of sambiloto and artemisinin has also the killing effect in a dosage of 0.5 ug/ml. The antimalarial efficacy of sambiloto 250 mg or 500 mg, respectively, and the combination of sambiloto 250 mg and chloroquin or artesunate were 90.9%, 90.5%, 90.2% and 95.2%, respectively (p>0.3). The plasma level of TNF-α increased on day 7 with sambiloto 500 mg (p<0.05). Sambiloto extract for five days had no adverse effects on liver and kidney functions and on hematological post treatment effect as well (p>0.3). Conclusions: Sambiloto extract has an antimalarial effect in in vitro and in vivo studies. The efficacy of sambiloto extract 250 mg and 500 mg was equivalent. The combination of sambiloto and artesunate showed the highest efficacy. Sambiloto extract 500 mg had an immunomodulatory action. Keywords: Sambiloto artesunate antimalaria - TNF-α imunomodulatory effect

DAFTAR ISI Halaman UCAPAN TERIMA KASIH... SUMMARY... RINGKASAN... ABSTRACT... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR SINGKATAN. DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... i vii BAB 1 : PENDAHULUAN.... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 11 1.3. Hipotesis... 11 1.4. Tujuan Penelitian... 12 1.5. Manfaat Penelitian... 12 1.6. Kerangka Konsep Penelitian... 13 BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA... 16 2.1. Siklus Hidup Parasit Malaria... 17 2.1.1.Siklus Aseksual... 17 2.1.2.Siklus Seksual... 18 2.2. Prinsip Transmisi Malaria... 20 2.3. Patobiologi Plasmodium falciparum... 22 2.4. Mekanisme Pembunuhan Parasit... 23

2.5. Tumor Necrozing Factor (TNF) dan Interferron (IFN)... 24 2.6. Obat Antimalaria... 26 2.7. Resistensi Terhadap Obat Malaria... 30 2.8. Mekanisme Terjadinya Resistensi... 30 2.9. Peranan Tumbuhan Obat di Indonesia... 34 2.10. Obat Tradisional dan Profesi Dokter... 35 2.11. Sambiloto... 38 2.12. Uraian Tumbuhan... 39 2.13. Klasifikasi Tumbuhan. 40 2.14. Kandungan Kimia 41 2.15. Penelitian Sambiloto 42 2.16.Farmakokinetik Ekstrak Sambiloto... 46 BAB 3 : BAHAN DAN CARA PENELITIAN 48 3.1.Desain Penelitian 48 3.2.Waktu dan Tempat Penelitian 48 3.3.Populasi Terjangkau 49 3.4.Kriteria Inklusi... 49 3.5.Kriteria Eksklusi... 49 3.6.Perkiraan Besar Sampel.... 50 3.7.Cara Kerja.. 51 3.8.Penyediaan Sedian Ekstrak Herba Sambiloto Standard... 54 3.9.Perhitungan Dosis Ekstrak herba sambiloto... 54 3.10. Uji In-vitro... 54 3.11. Definisi Operasional... 55 3.12. Kelompok Perlakuan... 56 3.13. Analisa Data. 57 3.13. Keluaran 57 3.14. Daftar Urut Kegiatan Penelitian Pada Penderita Malaria. 58

3.15. Persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan... 58 BAB 4 : HASIL PENELITIAN... 59 4.1. Penyediaan Kapsul Sambiloto... 59 4.1.1. Budidaya Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)... 59 4.1.2. Penyediaan dan Standardisasi Simplisia Sambiloto... 61 4.1.3. Pembuatan Ekstrak Sambiloto... 68 4.1.4. Standarisasi Ekstrak Sambiloto (Extractum Andrographidis)... 70 4.1.5. Pembuatan Sediaan Kapsul Ekstrak Sambiloto 73 4.1.6. Evaluasi Sediaan Kapsul Sambiloto... 75 4.1.7. Pembuatan Kapsul Klorokuin, Artesunat, dan Plasebo... 77 4.1.8. Dasar Perhitungan Dosis Kapsul Ekstrak Sambiloto... 79 4.2. Uji In-vitro... 79 4.2.1.Persiapan obat... 80 4.2.2.Kultur malaria... 82 4.3. Hasil Penelitian Uji Klinis... 90 4.3.1. Daerah Penelitian.. 90 4.3.2. Rekruitmen Pasien. 92 4.3.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium... 97 4.4.Hasil Pemeriksaan TNFα DAN IFNγ... 102 4.4.1. Prosedur Pemeriksaan... 102 4.4.2.Prosedur Kerja Pemeriksaan TNFα HS (R&D Systems)... 104 4.4.3.Prosedur Kerja Pemeriksaan IFNγ (R&D Systems)... 106 BAB 5 : PEMBAHASAN 113 5.1. Uji Rapid Tes Malaria... 113

5.2. Keamanan Sambiloto... 113 5.3. Efek Antimalaria... 117 5.4. Respon Immun Terhadap Malaria... 120 5.5. Pengamatan Efek Samping... 125 5.6. Pengamatan Laboratorium... 126 BAB 6 : KESIMPULAN... 127 BAB 7 : SARAN... 128 KEPUSTAKAAN... 129 LAMPIRAN... 140

DAFTAR GAMBAR No. Keterangan Gambar Hal. 1. Gambar 1 Keseimbangan Antara Diagnosis Dini dari Malaria, Pengobatan yang Tepat dan Segera, serta Upaya Mengurangi Kejadian Resistensi Parasit Terhadap Obat Antimalaria... 5 2. Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian... 15 3. Gambar 3 Skema Siklus Hidup Plasmodium...... 19 4. Gambar 4 Tanaman Obat Sambiloto... 39 5. Gambar 5 Rumus Kimia Andrografolid dan Neoandrografolid... 42 6. Gambar 6 Struktur Kimia dari Beberapa Komponen yang dapat Diisiolasi dari akar Andrographis paniculata... 45 7. Gambar 7 Empat Fraksi Andrografolid yang mempunyai efek Skizontosida... 45 8. Gambar 8 Daun Herba Sambiloto... 62 9. Gambar 9 Serbuk Herba Sambiloto... 62 10. Gambar 10 Mikroskopik Serbuk Herba Sambiloto... 62 11. Gambar 11 Bagan Pembuatan Ekstrak Serbuk Simplisia Herba Sambiloto secara Perkolasi :... 69 12. Gambar 12 Hasil Kromatografi Lapis Tipis Crude Ekstrak. 72 13. Gambar 13 : Granul Kapsul Andrographidis... 73 14. Gambar 14 : Kapsul Sambiloto... 77 15. Gambar 15 : Skema Pembuatan Larutan Obat Uji In-vitro... 80 16. Gambar 16 : Alur Penelitian In-vitro... 87 17. Gambar 17 : Grafik Penurunan Kepadatan Parasit P.falciparum Dengan Peningkatan Dosis Obat Uji... 89

18. Gambar 18 : Skema Pembagian Obat Uji Klinik Tersamar Ganda... 94 19. Gambar 19 : Penurunan Jumlah Parasit P.falciparum pada 4 Kelompok Uji Pengobatan...` 100 20. Gambar 20 : Alur Pengambilan Darah Pasien untuk Pemeriksaan TNF-α dan IFN-γ... 103 21. Gambar 21 : Proses menyiapkan larutan standard untuk pemeriksaan TNF-α... 104 22. Gambar 22 : Proses menyiapkan larutan standard untuk pemeriksaan IFN-γ... 107

DAFTAR TABEL No. Judul Halaman 1. Jenis Obat Antimalaria, Mekanisme Kerja dan Cara Pemakaian... 27 2. Keluaran Penelitian. 55 3. Daftar Urut Kegiatan.. 55 4. Data Standarisasi Serbuk Simplisia... 65 5. Data Penyimpangan Bobot Kapsul... 73 6. Data Uji Waktu Hancur... 73 7. Preparasi Working Solution... 77 8. Kultur Malaria... 80 9. Penurunan Kepadatan Parasit P.falciparum dengan Peningkatan Dosis Obat Uji... 83 10. Frekwensi Jenis Penyakit Infeksi di Kabupaten Madina... 87 11. Jenis Kelamin dan Umur pada Kelompok Penelitian... 91 12. Keluhan Utama Pasien... 91 13. Berat Badan rata-rata pada masing-masing Kelompok Uji... 92 14. Parameter Laboratorium pada Hari ke 0 dan Hari ke 7 Pengobatan... 93 15. Rata-rata Penurunan Kepadatan Parasit dari H0 H28 pada Masing-masing Kelompok Uji Pengobatan.... 95 16. Efikasi Masing-masing Kelompok Uji Pengobatan... 96 17. Perbandingan Efikasi antara Kelompok ES 250 dengan ES 500.. 96 18. Perbandingan Efikasi antara Kelompok ES+K dengan ES+A 96 19. Kadar TNF-α pada masing-masing kelompok Uji Sebelum Pengobatan dan pada Hari ke 7 pengobatan 104

20. Perbandingan mean kadar TNF-α sebelum pengobatan dan pada hari ke 7 pengobatan pada masing-masing kelompok uji Pengobatan...... 105 21.Kadar IFN-γ pada Kelompok Uji Pengobatan. 106

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Untuk pertahanan menghadapi serbuan Inggeris, Daendels membangun benteng untuk mengawasi perairan Selat Sunda. Tetapi pembangunan benteng tersebut gagal total. Baik para pekerja paksa pribumi, serdadu infanteri maupun kesatuan-kesatuan artileri disapu habis oleh malaria (Ananta Toer, 2005). Malaria merupakan penyakit infeksi menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan di negara tropis dan subtropis di dunia sampai saat ini. Di wilayah Indonesia yang tergolong tropis, malaria merupakan penyakit yang cukup banyak penderitanya. Penyakit menular ini disebabkan oleh protozoa yang bernama Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu. Jenis nyamuk yang sering menularkannya adalah nyamuk Anopheles. Bila penyebabnya Plasmodium vivax, penyakitnya disebut malaria tertiana. Malaria ini ditandai dengan munculnya demam hingga tiga hari sekali. Plasmodium. malariae menyebabkan malaria kuartana yang ditandai dengan demam muncul tiap empat hari. Sedangkan, Plasmodium. falciparum mengakibatkan malaria falsiparum. Jenis malaria terakhir ini paling serius, bahkan bisa berakhir dengan kematian. Disamping itu, gejala yang ditimbulkannya dapat menurunkan produktivitas penderitanya. Penyakit ini ditandai dengan gejala-gejala dingin/menggigil, demam, berkeringat ( trias malaria ), sakit kepala dan badan terasa tidak enak. Demam atau peningkatan suhu tubuh dapat

mencapai 40 o C. Jenis keadaan yang berat dikenal dengan nama malaria tropika, yaitu malaria falsiparum dengan komplikasi. Malaria import saat ini menjadi problem baru di seluruh dunia karena meningkatnya mobilitas international travelers dan menjadi ancaman bagi traveler yang mengunjungi daerah endemik malaria. (Zein, dkk., 2002). Beberapa daerah endemik malaria di Indonesia, seperti di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Provinsi Sumatera Utara, angka morbiditas dan mortalitas malaria, terutama malaria falsiparum masih cukup tinggi. Akibat dari perpindahan penduduk dan arus transportasi yang cepat, penderita malaria bisa ditemukan di daerah yang tidak ada penularan malaria, tidak jarang ditemukan penderita malaria sampai meninggal dunia karena tidak pasti diagnosisnya, terlambat didiagnosis atau salah pengobatan (Zein dkk., 2003). Di Kota Medan, selama kurun waktu tahun 2000 2001 ditemukan 155 kasus malaria di 5 Rumah Sakit dengan jenis parasit Plasmodium falciparum dan Plasmodim vivax (Zein, dkk., 2001). Sementara itu obat-obat anti malaria konvensional seperti klorokuin, pirimetamin-sulfadoksin, dan kina yang masih banyak digunakan masyarakat menunjukkan efektivitasnya sudah mulai menurun. Sedangkan penemuan obat-obat baru antimalaria alternatif di Indonesia sampai saat ini masih sangat terbatas. Penelitian efek antimalaria dari bahan tanaman obat masih terbatas pada uji in-vitro di laboratorium atau uji in-vivo pada hewan coba. Diagnosis dini dan pengobatan segera merupakan salah satu dari prinsip strategi global dalam mengendalikan malaria. Hasil guna dari intervensi ini sangat tergantung pada obat antimalaria yang digunakan, tidak hanya aman dan efektif, tetapi juga mudah didapat (available), terjangkau harganya (affordable), dan dapat diterima oleh populasi

yang berisiko menderita penyakitnya (acceptable). Penggunaan yang rasional dan efektif dari obat antimalaria tidak hanya mengurangi risiko penyakit menjadi berat dan kematian, tetapi juga memperpendek masa sakit, dan menghambat perkembangan resistensi parasit malaria terhadap obat antimalaria yang digunakan. Cepatnya penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria yang konvensional merupakan tantangan yang serius dalam strategi mengendalikan penyakit malaria (WHO, 2001). Demikian juga halnya di Indonesia, resistensi plasmodium terhadap obat antimalaria merupakan masalah serius dan kendala dalam pemberantasan penyakit malaria, dimana klorokuin salah satu obat antimalaria yang utama dilaporkan telah mengalami resistensi (Tjitra, 1996). Parasit malaria yang resisten terhadap obat antimalaria di Indonesia, terutama klorokuin penyebarannya tidak merata, namun semua propinsi telah melaporkan kasus yang tergolong resisten terhadap obat tersebut. Salah satu daerah di Indonesia yang dinyatakan sebagai daerah resisten klorokuin yang bersifat sporadis pada tahun 1994 adalah Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara (Depkes RI, 1995). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2001, mencatat resistensi in-vivo terhadap klorokuin sebesar 47,5% dan terhadap pirimetamin sulfadoksin 50% di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal (Ginting dkk., 2001). Resistensi terhadap obat antimalaria telah menyebar secara intensif selama 15 20 tahun (Bloland et al, 1993, 1998; Marsh, 1998). Sementara perkembangan obat-obat antimalaria baru, sangat terbatas dan tidak merata. Problem obat-obat baru berhubungan dengan distribusi dan penggunaannya yang berkaitan dengan situasi daerah atau negara tertentu. Di beberapa daerah endemik malaria, ternyata sulit untuk mendapatkan obat

antimalaria untuk pengobatan maupun pencegahan. Obat sering diperoleh dari sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan kualitas yang bervariasi dan dosis yang tidak ditetapkan secara tepat (Bloland, 2001). Untuk mengatasi kasus resistensi terhadap obat klorokuin pemerintah telah menyediakan obat alternatif yang sudah tersedia di Indonesia seperti pirimetaminsulfadoksin dan kina, namun kedua obat tersebut telah mengalami penurunan sensitivitas terhadap parasit Plasmodium falciparum (Sungkar, Pribadi, 1992). Gambar 1. Keseimbangan antara Diagnosis Dini dari Malaria, Pengobatan yang Tepat dan Segera, serta Upaya Mengurangi Kejadian Resistensi Parasit Terhadap Obat Antimalaria (WHO, 2001). Kebijakan nasional dalam pengobatan malaria mengupayakan populasi yang mempunyai risiko penyakit dapat mengakses obat yang berkualitas baik, efektiv, tidak

menimbulkan efek samping, mudah penggunaannya, dan dapat diterima secara luas, sehingga dapat dicapai keadaan sebagai berikut : 1) Penyembuhan klinis yang cepat dan bertahan lama. 2) Mencegah malaria tanpa komplikasi menjadi berat dan kemungkinan terjadinya kematian. 3) Memperpendek episode malaria dan mengurangi kejadian anemia yang berhubungan dengan tingginya tingkat transmisi malaria. 4) Mengurangi kemungkinan terjadinya malaria plasental yang berhubungan dengan pencegahan infeksi pada ibu hamil. 5) Memperlambat perkembangan dan penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria. Secara diagramatik, kebijakan strategi penanggulangan malaria dapat dicermati pada Gambar 1 (WHO, 2001). Berbagai penelitian terus dilakukan dalam rangka mengatasi resistensi parasit malaria terhadap obat antimalaria. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menggunakan pengobatan kombinasi beberapa obat antimalaria (Radlofi et al, 1990, WHO, 2000). Beberapa terapi kombinasi telah dilaporkan dalam usaha mengatasi malaria dengan resistensi obat, tetapi sampai saat ini belum ada yang efektiv dan aman. Dalam menanggulangi malaria yang resisten terhadap klorokuin di daerah endemis, WHO pada tahun 2001 menganjurkan kombinasi antimalaria dengan basis artemisinin (Bloland, 2001). Artemisinin telah direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan R.I. dan telah beredar dalam jumlah terbatas, berupa kombinasi artesunat atau derivatnya dengan meflokuin atau amodiakuin. Uji klinik kedua obat kombinasi ini di Indonesia belum banyak dilakukan.

Keuntungan dari kombinasi obat antimalaria dengan artemisinin atau derivatnya adalah: 1. Diharapkan efektivitas penanggulangan malaria dapat lebih meningkat, mengingat pengobatan dengan lini pertama obat antimalaria telah menunjukkan penurunan efektivitasnya. 2. Efikasi yang tinggi dari artemisinin atau derivatnya untuk membersihkan parasit dari dalam darah serta menghilangkan simptom malaria. 3. Belum ada laporan resistensi terhadap artemisinin dan derivatnya hingga saat ini. 4. Memperlambat perkembangan dan penyebaran resistensi jika dilakukan pengobatan kombinasi. 5. Efek artemisin terhadap gametosit dapat menghambat penularan malaria didaerah dengan tingkat transmisi rendah dan sedang (WHO, 2001). Program Roll Back Malaria yang merupakan gagasan WHO mengupayakan untuk menurunkan kasus malaria sebanyak 50% pada tahun 2010. Indonesia juga harus dapat menerima program tersebut termasuk penggunaan obat antimalaria jenis baru. Permasalahan dari obat antimalaria ini terdapat pada penyediaan bahan baku yang belum dapat mengikuti kebutuhan dunia. Untuk melancarkan secara operasional kebutuhan ini, maka dibentuk Malaria Medicine and Supply Service. Diluar usaha ini, semakin luas daerah yang memerlukan pengamanan penduduk terhadap gigitan nyamuk penular malaria, maka jumlah kebutuhan kelambu yang telah dicelup dengan insektisida juga harus dalam jumlah yang cukup, sementara menyiapkan

seluruh obat-obatan yang akan dibutuhkan beserta tes-tes diagnostik yang memadai (Nelwan, 2005). Oleh karena hal-hal tersebut di atas dan ancaman terhadap makin meningkatnya resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria di seluruh dunia, maka perlu dicari jenis obat lain yang mungkin terdapat di Indonesia dan mempunyai potensi sebagai antimalaria yang dapat dikembangkan di kemudian hari. Pemikiran global dan aksi lokal sangat diperlukan dalam penanganan masalah malaria secara nasional maupun internasional. Menurut UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sediaan obat tradisional yang digunakan masyarakat yang berasal dari bahan tumbuhan obat saat ini sangat perlu diteliti dan dikembangkan agar dapat disebut sebagai Herbal Medicine atau Fitofarmaka yang selanjutnya dapat dipakai di sarana pelayanan kesehatan dasar dan menambah jenis obat-obatan yang akan dipilih. Menurut Keputusan Menkes R.I. No.761 Tahun 1992, fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Pemilihan ini didasarkan atas kemudahan memperoleh bahan bakunya, dapat disesuaikan pada pola penyakit di Indonesia dan diperkirakan bermanfaat cukup besar terhadap penyakit tertentu, memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita dan merupakan salah satu alternatif pengobatan (Depkes RI, 1983). Potensi yang besar ini, jika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya pasti tidak akan

mempunyai arti, sehingga harus dipikirkan agar penggunaan tanaman obat dapat menunjang kebutuhan akan obat-obatan yang semakin mendesak dan untuk mendapatkan obat pengganti jika resistensi parasit terhadap obat terjadi secara meluas dan tidak tersedia jenis obat baru lainnya. Penelitian akan tanaman obat ini telah berkembang luas di beberapa negara, seperti Cina, India, Thailand, Korea, dan Jepang (Andrographis in Depth Review, 2005). Herba sambiloto/sambilata (Andrographis paniculata Nees) adalah satu dari tanaman obat yang terdapat hampir di seluruh daerah Indonesia (Kloppenburg,1988). Andrographis paniculata (AP) yang juga dikenal sebagai King of Bitters adalah sejenis tumbuhan famili Acanthaceae telah digunakan selama beberapa abad di Asia untuk mengobati beberapa penyakit termasuk malaria. Penelitian di Surabaya menemukan bahwa ekstrak dari herba sambiloto dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium falciparum secara in-vitro dan mempunyai efektifitas yang sama dengan klorokuin difosfat (Widyawaruyanti dkk., 2000). Penelitian di Kuala Lumpur, Malaysia, yang membandingkan efek antimalaria dari AP dengan dua jenis herbal lainnya, yaitu daun sirih (Piper sarmentosum) dan brotowali (Tinospora crispa), didapatkan efek antimalaria dari AP lebih besar secara in-vivo pada hewan (Nik Najib et al, 1999). Pada penelitian di Mandailing Natal membandingkan efek antimalaria klorokuin tunggal dan klorokuin dengan ekstrak sambiloto 250 mg tiga kali sehari selama lima hari dengan jumlah sampel masing-masing 50 dan 56 pasien, ditemukan parasite clearance time pada kombinasai ekstak herba sambiloto dengan klorokuin lebih cepat dibanding dengan klorokuin tunggal pada penderita malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi. Efikasi pengobatan antara kedua kelompok berbeda bermakna. Efikasi pada

kelompok kombinasi klorokuin dan herba sambiloto sebesar 87,5%. Pemantauan parasitemia dilakukan sampai hari ke 14 pengobatan. Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin di Kabupaten Madina adalah 48% dan resisten terhadap kombinasi klorokuin dan herba sambiloto sebesar 12,5% (Umar Zein dkk., 2004). Pada penelitian ini juga diberikan sambiloto tunggal 250 mg ekstrak tiga kali sehari selama lima hari terhadap 11 penderita malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi, diperoleh hasil tujuh penderita membaik demamnya dan parasite clearance tercatat pada hari ke tujuh (Zein, 2004). Penelitian lainnya, terhadap penderita malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi dengan parasit malaria yang resisten terhadap klorokuin, diberikan kombinasi sambiloto dengan sulfadoksin-pirimetamin dengan jumlah sampel 60 pasien pada masing-masing kelompok. Didapat hasil efikasi 92,6% (parasitemia negatip) pada hari ke tujuh pada kelompok sambiloto - sulfadoksin-pirimetamin, dan 47,3% pada kelompok tunggal sulfadoksin-pirimetamin, dan pada hari ke 14, didapati 100% efikasi pada kelompok kombinasi sambiloto+sulfadoksin-pirimetamin, dan 54,5% pada kelompok sulfadoksin-pirimetamin saja (Fauzy M, 2004). Dosis ekstrak sambiloto yang diberikan kepada pasien pada penelitan yang telah dilakukan adalah 250 mg per kapsul. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk dilakukan penelitian sambiloto tunggal dengan dosis ganda (250 mg dan 500 mg) dan kombinasi dengan artesunat sebagai derivat dari artemisinin yang telah dianjurkan oleh WHO sebagai basis terapi kombinasi terhadap malaria falsiparum. Tujuan pemberian seperti ini adalah untuk mengetahui sejauh mana efikasi antimalaria dari sambiloto dengan dosis 500 mg terhadap pasien malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi, dan untuk

mengetahui apakah kombinasi sambiloto dengan obat antimalaria standar mempunyai efikasi yang tidak berbeda dengan kombinasi bersama artesunat, yang pada masa yang akan datang dapat mengatasi masalah resistensi di daerah multidrug resistance malaria. 1.2. Perumusan Masalah 1.2.1. Apakah efek antimalaria dari ekstrak sambiloto 500 mg lebih baik dari segi efikasi dan aman dari segi efek samping, dibandingkan dengan ekstrak sambiloto 250 mg, pada pasien malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi? 1.2.2. Apakah kombinasi ekstrak sambiloto dengan artesunat mempunyai efikasi yang lebih baik dibanding dengan kombinasi ekstrak sambiloto dengan klorokuin? 1.2.3. Apakah eksrak sambiloto mempunyai efek imunomodulasi? 1.3. Hipotesis 1.3.1. Efek antimalaria ekstrak sambiloto 500 mg lebih baik (lebih cepat) dalam menurunkan kepadatan parasit Plasmodium falciparum dibandingkan dengan ekstrak sambiloto 250 mg pada penderita malaria dewasa. 1.3.2. Kombinasi ekstrak sambiloto dengan artesunat mempunyai efikasi yang kebih baik dalam menurunkan kepadatan parasit Plasmodium falciparum dibanding dengan kombinasi ekstrak sambiloto dengan klorokuin pada penderita malaria dewasa.1.3.3. Efek imunomodulasi ekstrak sambiloto lebih besar dari efek plasebo.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Untuk menetapkan apakah ekstrak sambiloto tunggal mempunyai efek antimalaria dan aman digunakan dengan memperbesar dosis ekstrak sambiloto tanpa meningkatkan efek sampingnya. 1.4.2. Untuk menetapkan apakah kombinasi ekstrak sambiloto dengan obat malaria standar dan artesunat masing-masing dapat digunakan terhadap Plasmodium falciparum yang telah resisten terhadap obat standar di daerah endemis. 1.4.3. Untuk menetapkan apakah ekstrak sambiloto mempunyai efek imunomodulasi terhadap Plasmodium falciparum. 1.5. Manfaat penelitian 1.5.1. Dengan diketahuinya efektivitas dan keamanan ekstrak sambiloto sebagai obat tradisional terhadap penderita malaria falsiparum/tropika tanpa komplikasi, maka ekstrak sambiloto dapat digunakan sebagai terapi alternatif terhadap penderita malaria yang resisten terhadap obat standar di daerah endemis. 1.5.2. Dengan diketahuinya efikasi kombinasi ekstrak sambiloto dengan obat antimalaria standar dan artesunat terhadap pasien malaria falsiparum tanpa komplikasi, maka obat kombinasi tersebut dapat dijadikan sebagai obat alternatif terhadap malaria tropika. 1.5.3. Tumbuhan berkhasiat yang terdapat di Indonesia dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka untuk menunjang program penanggulangan malaria yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

1.5.4. Dengan diketahuinya ekstrak sambiloto mempunyai efek imunomodulasi terhadap Plasmodium falciparum, maka ekstrak sambiloto dapat digunakan sebagai obat suplemen terhadap penderita yang diduga malaria di daerah endemis. 1.6. Kerangka Konsep Penelitian Penyakit malaria, terutama malaria falsiparum sebagai salah satu penyakit infeksi menular di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sampai saat ini belum dapat ditanggulangi secara efektif dan dikontrol secara baik, bahkan diberbagai daerah di Indonesia, sering menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa. Salah satu masalah penanggulangannya adalah terjadinya resistensi parasit Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria standar yang digunakan di Indonesia, seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Ekstrak herba sambiloto bersumber dari tanaman obat tradisonal yang telah digunakan bertahun-tahun terbukti aman dan efektiv, diketahui mempunyai efek antimalaria secara in-vitro dan in-vivo pada hewan coba, dirasa perlu untuk diteliti secara uji klinik untuk membuktikan efikasinya sebagai antimalaria dan kemungkinan juga sebagai imunomodulator. Ekstrak herba sambiloto ini dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasi dengan antimalaria standar atau antimalaria baru lainnya, seperti artesunat. Persediaan obat antimalaria yang terbatas, untuk jangka lama, terutama di Indonesia, memperluas daerah resistensi parasit malaria. Sambiloto sebagai tumbuhan obat yang mempunyai efek antimalaria dari kandungan Andrographis paniculata yang sudah teruji aman dan efektif, mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi fitofarmaka sebagai alternatif pengobatan malaria di Indonesia (Gambar 2).

Problem kesehatan masyarakat Pengembangan obat antimalaria terbatas Resistensi parasit terhadap obat standar Perlu alternatif antimalaria baru Tunggal dan Kombinasi dengan Antimalaria lain Malaria falsiparum di I d i Ekstrak Herba Sambiloto

Perlu Penelitian Bahan tumbuhan obat Indonesia Mempunyai efek antimalaria Keamanan terpantau pada penggunaan sebagai obat tradisional Potensi menjadi Fitofarmaka Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Malaria merupakan infeksi protozoa genus plasmodium yang dapat menjadi serius dan selalu menjadi salah satu masalah besar kesehatan dunia (Winstanley, 2001; Greenwood, 2002). Setiap tahun hampir 10 persen dari seluruh populasi dunia menderita malaria. Dari jumlah itu sebanyak 500 juta penderita dengan gejala klinis dan diantaranya menimbulkan 1-3 juta kematian yang tersebar di lebih dari 90 negara (Sachs, 2002). Penyakit ini ditandai dengan adanya dingin/menggigil, demam, berkeringat ( trias malaria ), sakit kepala dan dapat menimbulkan komplikasi serebral, anemia berat, gastroenteritis, hipoglikemia, edema paru, ruptur limpa, gagal ginjal dan kematian. Malaria juga ancaman bagi traveler yang mengunjungi daerah endemik malaria (Mandell, 2000; Zein dkk,, 2002). Di Indonesia sendiri angka kejadian malaria meningkat semenjak terjadinya krisis moneter di tahun 1997. Di pulau Jawa misalnya, angka kejadian parasit tahunan (annual parasite incidence rate - API) meningkat dari 0.1 ke 0.8 infeksi per 1000 tahun orang antara tahun 1996 dan 2000. Pada tahun 2002, angka ini meningkat lagi hampir 70% (Barcus, 2002). Disamping melalui gigitan nyamuk Anopheles, malaria juga dapat ditularkan melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi malaria. Pada tahun 2001, ditemukan 5 kasus malaria falsiparum pada penderita hemodialisis reguler di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan yang pernah mendapat transfusi darah, dan dua kasus meninggal akibat malaria berat (Zein & Lubis, 2001).

2.1. Siklus Hidup Parasit Malaria Dalam siklus hidupnya plasmodium mempunyai dua hospes yaitu manusia dan nyamuk. Siklus aseksual yang berlangsung pada manusia disebut skizogoni dan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk disebut sporogoni (Nugroho, 2000). 2.1.1.Siklus aseksual Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina masuk dalam darah manusia melalui tusukan nyamuk tersebut. Dalam waktu tiga puluh menit jasad tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulainya stadium eksoeritrositik daur hidupnya. Di dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas, sebagian mengalami fagositosis. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka disebut stadium pre-eritrositik atau ekso-eritrositik. Siklus eritrositik dimulai saat merozoit menerobos masuk sel-sel darah merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit. Tropozoit berubah menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri menjadi beberapa merozoit. Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan bebas berada dalam plasma darah. Merozoit dapat masuk sel darah merah lainnya lagi untuk mengulangi siklus skizogoni. Selain dapat memasuki eritrosit kembali dan membentuk skizon, merozoit dapat juga membentuk gametosit yaitu bentuk seksual parasit plasmodium (Nugroho, 2000).

2.1.2. Siklus seksual Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang ada di darah tidak dicerna oleh sel-sel tubuh lain. Pada gamet jantan, kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa filamen dibentuk seperti cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membran basal dinding lambung nyamuk. Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Di dalam ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar ludah nyamuk dan bila nyamuk menggigit/ menusuk manusia memungkinkan sporozoit masuk ke dalam darah dan mulailah siklus pre eritrositik (Nugroho, 2000 ; Scheme Life Cycle Malaria).

Gambar 3. Skema Siklus Hidup Plasmodium ( Farmedia CD-ROM) The malaria parasite life cycle involves two hosts. During a blood meal, a malaria-infected female Anopheles mosquito inoculates sporozoites into the human host. Sporozoites infect liver cells and mature into schizonts, which rupture and release merozoites. (Of note, in P. vivax and P. ovale a dormant stage [hypnozoites] can persist in the liver and cause relapses by invading the bloodstream weeks, or even years later.) After this initial replication in the liver (exo-erythrocytic schizogony ), the parasites undergo asexual multiplication in the erythrocytes (erythrocytic schizogony ). Merozoites infect red blood cells. The ring stage trophozoites mature into schizonts, which rupture releasing merozoites. Some parasites differentiate into sexual erythrocytic stages (gametocytes). Blood stage parasites are responsible for the clinical manifestations of the disease. The gametocytes, male (microgametocytes) and female (macrogametocytes), are ingested by an Anopheles mosquito during a blood meal. The parasites multiplication in the mosquito is known as the sporogonic cycle. While in the

mosquito's stomach, the microgametes penetrate the macrogametes generating zygotes. The zygotes in turn become motile and elongated (ookinetes) which invade the midgut wall of the mosquito where they develop into oocysts. The oocysts grow, rupture, and release sporozoites, which make their way to the mosquito's salivary glands. Inoculation of the sporozoites into a new human host in the malaria life cycle. 2.2.Prinsip transmisi malaria Malaria menyebar dari seorang ke orang lain melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Nyamuk ini mengalami infeksi dengan bentuk seksual parasit yaitu gametosit, ketika menghisap darah manusia yang terinfeksi malaria. Gametosit berkembang dalam tubuh nyamuk selama 6 12 hari, setelah itu nyamuk ini akan dapat menginfeksi manusia sehat bila ia menghisap darahnya. Intensitas transmisi malaria di suatu daerah adalah kecepatan inokulasi parasit malaria oleh gigitan nyamuk di daerah tersebut. Keadaan ini menunjukkan angka annual entomological inoculation rate (EIR), yaitu jumlah rata-rata infeksi akibat gigitan nyamuk yang terinfeksi pada penduduk di area tersebut selama periode satu tahun. Angka EIR ini menentukan seberapa besar perluasan dan epidemiologi malaria serta pola klinis penyakit secara lokal. Pada daerah dengan transmisi tinggi angka EIR bisa mencapai 500 1000, seperti beberapa daerah di Afrika, dan daerah transmisi rendah dengan angka EIR 0,01, yang terdapat di daerah temperate zone seperti Caucasus dan Central Asia dimana transmisi malaria sedikit dan terbatas. Diantara kedua daerah ekstrim ini, ada daerah dengan musim yang tidak stabil seperti daerah Asia dan Amerika Latin dengan EIR 10, dan selalu berkisar antara 1 2, dan situasi dengan musim yang stabil di daerah Afrika Barat dengan EIR antara 10 100. Proporsi nyamuk yang terinfeksi secara lokal berhubungan dengan jumlah manusia yang terinfeksi di daerah tersebut. Oleh karena itu, dengan mengurangi jumlah orang

yang terinfeksi di suatu daerah, akan menurunkan tingkat transmisi malaria di daerah tersebut, dan juga menurunkan angka prevalensi dan insidensi secara lokal. Hubungan antara EIR dan prevalensi malaria dipengaruhi oleh imunitas alami dan ada tidaknya pengobatan yang efektif. Obat antimalaria dapat menurunkan transmisi karena efeknya kepada infektivitas parasit. Efek ini dapat secara langsung pada gametosit, sebagai bentuk infektiv yang ditemukan pada manusia (gametocytocidal effect) atau ketika obat memasuki tubuh nyamuk sewaktu menghisap darah penderita, akan mempunyai efek terhadap perkembangan parasit di dalam tubuh nyamuk (sporonticidal effect). Klorokuin dapat membunuh gametosit muda, tetapi tidak mempunyai efek menekan bentuk infektiv yang immature. Malah klorokuin menunjukkan kemampuan memperbesar infektivitas gametosit terhadap nyamuk. Sebaliknya, sulfadoksinpirimetamin meningkatkan jumlah gametosit, tetapi infektivitasnya berkurang terhadap nyamuk. Artemisinin mempunyai efek gametositosidal yang paling poten di antara antimalaria saat ini. Obat ini dapat merusak gametosit immatur sehingga mencegah masuknya gametosit yang infektif kedalam sirkulasi. Tetapi efeknya terhadap gametosit yang matang kurang dan tidak mempengaruhi infektivitasnya yang tetap ada dalam sirkulasi selama pengobatan (WHO, 2006). 2.3. Patobiologi Plasmodium falciparum Semua gejala klinis yang khas ditemukan pada pasien malaria, baik tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi, dasar patologinya adalah perubahan-perubahan akibat eritrosit yang terinfeksi oleh plasmodium aseksual atau blood stage parasite. Ketika plasmodium berkembang di dalam eritrosit, maka sejumlah substansi yang telah diketahui maupun yang belum diketahui yang merupakan bahan-bahan produk parasit,

seperti pigment hemozoin dan bahan-bahan toksik lainnya terakumulasi di dalam sel eritrosit yang terinfeksi. Ketika eritrosit ini mengalami lisis untuk melepaskan merozoit, maka bahan-bahan toksik ini akan hanyut ke dalam aliran darah. Hemozoin dan bahan toksik lainnya seperti GPI (Glucose Phosphate Isomerase) akan merangsang makrofag dan sel lain untuk memproduksi sitokin dan mediator lainnya yang memicu terjadinya demam, menggigil serta mekanisme lainnya yang menimbulkan patofisiologi yang berkaitan dengan malaria berat (CDC, 2004). Plasmodium falciparum, seperti organisme lainnya, memperoleh nutrisi dari lingkungan dan mengubah nutrisi tersebut menjadi bentuk molekul lain atau berupa energi. Molekul-molekul dan bentuk energi ini kemudian digunakan untuk mengatur homeostasis parasit, proses pertumbuhan serta proses reproduksi. Asam amino yang digunakan untuk sintesis protein diperoleh melalui sintesis de novo yaitu dengan cara : 1. Fiksasi CO 2, dengan sedikit penggabungan ke dalam protein. 2. Plasma hospes dengan pengambilan (uptake) semua asam amino yang dibutuhkan untuk pertumbuhan seperti metionin, sistein dan glutamat. 3. Penghancuran dan pencernaan Hb penjamu (Wiser, 2002). Proses degradasi Hb hospes pada plasmodium terjadi dalam vakuol makanan yang bersifat asam, disamping proses katabolisme Hb yang melibatkan beberapa protease, antara lain plasmapepsin I, plasmapepsin II. Hb dipecah menjadi bentuk globin dan heme oleh protease yang berada dalam vakuol makanan. Plasmapepsin akan memecah Hb menjadi globin. Sistein, falsipain (protease karakteristik Plasmodium falciparum) yang kemudian memecah globin menjadi peptida yang lebih kecil. Oleh

serin, peptida kecil ini dipecah lagi menjadi asam amino yang akan di transportasi dari vakuol makanan ke sitoplasma plasmodium (Schineder, 2003). 2.4.Mekanisme Pembunuhan Parasit 2.4.1.Sistim imun Mekanisme kerja tubuh terhadap parasit malaria sangat kompleks, karena melibatkan hampir semua komponen imun, baik imunitas yang timbul secara alami maupun didapat, karena adanya infeksi yang spesifik maupun non spesifik, humoral maupun seluler. Adanya toksin malaria yang dominan berupa GPI (Glucose Phosphate Isomerase), yang merupakan komponen dari protein membran plasmodium dan dapat mengaktifkan makrofag dan endotelium vaskuler, merangsang TNF, IL-1, NO dan ekspresi ICAM yang mengakibatkan timbulnya berbagai mekanisme patogenesis malaria (Enger, 2001). Kadar TNF-α mempunyai implikasi terhadap patogenesis malaria dengan komplikasi. Korelasi yang positip ditemukan antara kadar TNF-α dengan beratnya malaria. Interleukin 10 (IL-10) bersifat imunosupresor yang kuat pada malaria dan bekerja mengurangi respon imunoproliferatif dan inflamasi (Nyangoto, 2005). Efek peningkatan TNF-α pada malaria mencakup juga pelepasan radikal bebas dan NO serta meningkatkan fagositosis oleh makrofag dan netrofil. Tumor Necrozing Factor α (TNF-α) dapat merangsang netrofil untuk menghasilkan radikal bebas dalam jumlah besar sebagai respon terhadap parasit. Radikal oksigen bebas berupa super oksida (O - 2 ), peroksida (O 2-2 ) dan radikal hidroksi (HO - ) yang dapat meningkatkan penghancuran makromolekul seluler dan lipid. Radikal O 2 bersama-sama dengan INOS

dapat melakukan oksidasi fagosit yang dalam fagosom asidik menghasilkan radikal peroksinitrit yang sangat reaktif dan dapat membunuh parasit (Abbas et al, 2000). 2.5. Tumor Necrozing Factor (TNF) dan Interferon (IFN) Tumor Necrozing Factor (TNF) merupakan mediator utama pada radang akut sebagai respon terjadinya infeksi. TNF disebut juga TNF-α untuk suatu alasan sejarah dan membedakannya dari TNF-β atau limfotoksin. Fungsi utama TNF adalah untuk menstimulasi penerimaan neutrofil dan monosit serta mengaktivkan sel-sel tersebut untuk menghancurkan mikroba (Abbas et al, 2000). Aktivitas TNF-α sebenarnya terjadi pada konsentrasi rendah. Pada konsentrasi rendah TNF-α meningkatkan perlekatan endotel terhadap leukosit neutrofil. Rendahnya konsentrasi TNF-α juga memicu produksi IL-1, IL-6 dan IL-8 yang berperan dalam proses inflamasi, menghambat pertumbuhan stadium darah plasmodium dengan mengaktivkan sistim imunitas seluler, juga dapat membunuh parasit secara langsung namun aktivitasnya hanya lemah. Peninggian konsentrasi TNF-α menyebabkan TNF-α dapat masuk ke sirkulasi sistemik. Munculnya demam merupakan reaksi TNF-α pada hipotalamus akibat peningkatan sintesis prostaglandin oleh sel-sel hipotalamus yang distimulasi sitokin (Abbas et al, 2000; Kasper et al, 2001). Level TNF-α sampai 8 pg/ml digolongkan pada level yang rendah, yang secara klinis sangat menguntungkan dalam meningkatkan respon imun seluler pada infeksi Plasmodium falciparum, karena dengan kadar yang rendah ini, TNF-α dapat meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I, sehingga mengoptimalkan kerja limfosit T-sitotoksik (CD8) dalam melisis hepatosit pada fase intra hepatik. Kadar TNF-α yang rendah ini juga mengaktivasi

monosit/makrofag serta natural killer (NK) sel sehingga mengoptimalkan kerja sel-sel tersebut dalam proses ADCC (antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity) terhadap skizon dalam eritrosit (Grau et al, 1989; Torre et al, 2002). Jika TNF-α berada dalam konsentrasi sangat tinggi, misalnya pada konsentrasi serum 100 500 ugm/l atau lebih, akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan otot polos vaskular sehingga terjadi penurunan tekanan darah atau shock (Abbas et al, 2000). Respon imun akibat infeksi malaria sangat kompleks dan spesifik. Seperti pada stadium hepatik, yang berperan penting adalah CD8 +. Efek protektif CD8 + mungkin diperantarai oleh lisisnya sporozoit atau sekresi IFN-γ dan aktivasi hepatosit memeroduksi nitrik oksida dan zat-zat lain yang dapat membunuh parasit. Kebanyakan manifestasi patologi infeksi malaria disebabkan aktivasi sel T, makrofag dan produksi TNF (Fried et al, 1998; Abbas et al, 2000). Penelitian di India menunjukkan bahwa kadar IL-1β yang tinggi berasosiasi dengan kejadian malaria serebral, sedangkan kadar IL-12 dan IFN-γ yang tinggi berasosiasi dengan malaria berat yang non serebral (Prakash et al, 2006). 2.6. Obat antimalaria Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun tetapi dapat menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan atabrin (quinacrine hydrocloride) yang pada saat itu lebih efektiv daripada kinin dan toksisitasnya lebih ringan. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin

dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektiv dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan atabrin atau kinin. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah dibandingkan obatobat lain yang terdahulu dan terbukti efektiv tanpa perlu digunakan secara terus menerus. Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Indonesia, Vietnam, Thailand dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain Plasmodium falciparum. Seiring dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, serta fakta bahwa jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di berbagai negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria mengalami peningkatan pada para turis Amerika dan Eropa Barat yang berkunjung ke Asia, Afrika dan Amerika Tengah dan juga di antara para pengungsi dari daerah itu sendiri (www.infeksi.com). Sampai tahun 2003, obat antimalaria yang tersedia di Indonesia terbatas pada klorokuin, pirimetamin- sulfadoksin, kina dan primaquin (Tjitra, 2000). Antibiotika yang bersifat antimalaria adalah tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, kloramfenikol, sulfametoksazol-trimetropim dan kuinolon. Obat-obat ini pada umumnya bersifat skizontosida darah untuk Plasmodium falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang efektiv. Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu misalnya dengan kina (Tjitra, 1996).

berikut. 3 4 Beberapa obat antimalaria yang ada dan kombinasinya terlihat pada Tabel Tabel 1. Jenis Obat Antimalaria, Mekanisme Kerja dan Cara Pemakaian No Nama Obat Mekanisme Kerja Efek antimalaria Dosis 1 Klorokuin Mengikat feriprotoporfirin IX Skizontosid darah 25 mg basa/ kg BB diberi dalam 3 hari yaitu suatu cincin yaitu hari I dan II hematin yang masing-masing 10 merupakan hasil mg basa /kg BB dan metabolisme pada hari III 5 mg hemoglobin didalam basa/kg BB parasit. Ikatan feriprotoporfirin IXklorokuin ini bersifat melisiskan membran parasit sehingga parasit 2 mati (Taylor, 2000) Pirimetamin- Kina Primakuin Inhibitor enzim tetrahidrofolat, akibatnya parasit tidak mampu melanjutkan siklus hidupnya dan akhirnya difagosit, sedangkan sulfadoksin bekerja berkompetisi dengan PABA (para amino benzoic acid) dalam memperebutkan enzim dihidrofolat sintetase sehingga pembentukan asam dihidropteroat terganggu dan asam folat yang diperlukan parasit tidak terbentuk (Tjitra, 2000 ; Taylor, 2000). Membentuk ikatan dengan DNA yang akan menghambat sintesa sehingga pembelahan dan perubahan menjadi Skizontosida jaringan, darah dan sporontosidal (Tjitra, 2000) Skizontosida darah untuk semua jenis plasmodium manusia dan gametosida P. vivax dan P. Malariae Skizontosida jaringan, gametosida dan sporontosida untuk plasmodium pada manusia. Sulfadoksin 25mg/ kg BB dan pirimetamin 1,25 mg/kg BB Membentuk ikatan hidrogen dengan DNA yang akan menghambat sintesa protein sehingga pembelahan DNA dan perubahan menjadi RNA tidak terjadi Falciparum : 0,5-0,75 mg basa/kg BB, tunggal, vivax,

5 Meflokuin Menghambat proses respirasi mitochondrial didalam parasit malaria melalui metabolitnya bersifat sebagai Skizontosida jaringan dan darah malariae dan ovale adalah 0,25 mg / kg BB, dosis tunggal selama 5 14 hari atau 0,75 mg /kg BB, dosis tunggal tiap mgg selama 8 12 mgg 6 Belum jelas Skizontosid darah 25 mg basa /Kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 3 hari Artemisinin 7 Menghambat calcium adenosine Pase 6 Idem 200 mg sehari selama 3 hari dikombinasi dengan antimalaria lain 8 Artesunat Idem Skizontosid darah Idem Lumefantrin 9 Sama dengan kina Skizontosid darah dan jaringan Tablet berisi 20 mg artemeter dan a 120 mg lumefantrin. Atovakon 10 Menghambat ritrosit pada hati dan t dalam tubuh nyamuk Untuk pencegahan 250 mg/hari dikombinasikan dengan proguanil 100 mg/hari. Skizontosid darah Proguanil Menghambat dihydrofolate reductase plasmodium. Untuk pengobatan atovakon 1000 mg/hari dan proguanil 400