UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA DAERAH MEDAN 2006

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISA STRUKTURAL CERITA NA MORA PANDE BOSI LUBIS JHONSON PARDOSI. Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara BABI PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian yang pernah menganalisis tokoh utama

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini

BAB II KAJIAN TEORITIS. Penelitian tentang Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Telaga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan

BAB IV KESIMPULAN. Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. ungkapannya (Sudjiman, 1990:71). Sastra juga dapat digunakan oleh semua yang

SMP kelas 9 - BAHASA INDONESIA BAB 4. Ketrampilan BersastraLatihan Soal 4.2. Pengenalan. Klimaks. Komplikasi. Penyelesaian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan dengan bahasa dan gaya bahasa yang menarik.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

Prosa Tradisional (Hikayat Indera Nata)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. sudah banyak yang meneliti, diantaranya : unsur-unsur intrinsik dalam novel 鸿 三代中国女人的故事

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi dua subbab, sub bab pertama berisi tentang tinjauan pustaka berupa

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.3

SMA/MA IPS kelas 11 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 1. MEMAHAMI CERPEN DAN NOVELLatihan Soal 1.3

ANALISIS AMANAT DAN PENOKOHAN CERITA PENDEK PADA BUKU ANAK BERHATI SURGA KARYA MH. PUTRA SEBAGAI UPAYA PEMILIHAN BAHAN AJAR SASTRA DI SMA

Asal Mula Candi Prambanan

TRILOGI NOVEL MARITO

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disusun telah diperhitungkan segi-segi pementasannya dan sewaktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. skripsi dan tesis ini dapat diketahui dari pemaparan skripsi dan tesis. Kajian yang

Buku Teks Bahasa Indoneia Siswa Kelas VII SMP Negeri 11 Kota Jambi. Oleh Susi Fitria A1B1O0076

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

KIRNILAI MORAL DALAM NOVEL PELANGI DI ATAS CINTA KARYA CHAERUL AL-ATTAR DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI KELAS XI SMA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian

BAB I PENDAHULUAN. mamak atau pulang ka bako (Navis,1984: ). Dengan kata lain dikenal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

Nomor: 0177/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,

P U T U S A N Nomor xxxx/pdt.g/2012/pa.tse

BAB IV KESIMPULAN. efikasi diri. Teori struktural digunakan untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik cerpen

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

SMA/MA IPS kelas 10 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 11. KETERAMPILAN BERSASTRALatihan Soal 11.4

NILAI NILAI DIDAKTIS DALAM NOVEL CINTA SUCI ZAHRANA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY. Oleh : Rice Sepniyantika ABSTRAK

KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI)

BAB I PENDAHULUAN. dituangkan dalam sebuah karya. Sastra lahir dari dorongan manusia untuk

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI

KAJIAN NILAI DIDAKTIS CERITA RAKYAT SEBAGAI KONSTRIBUSI PENYUSUNAN BAHAN BACAAN PESERTA DIDIK DALAM BUKU TEKS BAHASA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar sas instruksi atau

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

P U T U S A N. Nomor: 0178/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

UNSUR INTRINSIK PADA CERPEN MENJELANG LEBARAN, MBOK JAH, DAN DRS CITRAKSI DAN DRS CITRAKSA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya

PUTUSAN Nomor : 201/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 16 April 1988 film Grave of the Fireflies mulai beredar di

ANALISIS PERWATAKAN TOKOH UTAMA NOVEL NI WUNGKUK KARYA ANY ASMARA

Putri Sinar Alam dan Putri Sinar Kaca (Cerita Rakyat dari daerah Jabung)

BAB II KAJIAN TEORI. cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik

P U T U S A N. Nomor: 0043/Pdt.G/2011/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

PUTUSAN Nomor: 125/Pdt.G/2011/PA.Pkc

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak

P U T U S A N. Nomor: 0211/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Nomor: 0217/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

Nomor: 0220/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

Nomor: 0148/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENOKOHAN, ALUR, LATAR, TEMA, DAN AMANAT DALAM NOVEL SURAT KECIL UNTUK TUHAN KARYA AGNES DAVONAR

PUTUSAN. Nomor : 1202/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0087/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

LEGENDA GUNUNG TANGKUBAN PARAHU

P U T U S A N Nomor : XXX/Pdt.G/2012/PA.GM

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TULISAN NARASI Inayah Hanum Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PERANG BERUJUNG MAKAN BUAH SIMALAKAMA

BAB V KESIMPULAN. menggunakan teori struktur novel Robert Stanton yang meliputi fakta-fakta cerita,

P U T U S A N. Nomor: 0072/Pdt.G/2010/PA.Spn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 391/Pdt.G/2014/PA.Lt BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penokohan, plot/alur, latar/setting, sudut pandang dan tema. Semua unsur tersebut

BAB V PENUTUP. Dari hasil pembahasan analisis struktur ketiga cerita Sage yaitu Kobold in

PUTUSAN Nomor : 80/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Nomor : 1027/Pdt.G/2012/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor : 117 /Pdt.G/2009/PA/Pkc

PUTUSAN. Nomor 0387/Pdt.G/2015/PA.Plg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. , umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan Mengurus Rumah

Drama Cempaka Berdarah (A.Rahim Abdullah)

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat di mana penulisnya hadir, tetapi ia juga ikut terlibat dalam pergolakanpergolakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

P U T U S A N. Nomor : 36/Pdt.G/2012/PA. Sgr. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP CERITA

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.6

PUTUSAN Nomor 017/Pdt.G/2014/PA.Mtk

Liburan 63. Bab 6. Liburan

Nomor : 80/Pdt.G/2010/PA.Sgr BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang pada umumnya mempunyai nilai budaya yang tersendiri. Dalam kehidupan

PUTUSAN. Nomor : 0977/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN

Transkripsi:

ANALISA STRUKTURAL CERITA NA MORA PANDE BOSI LUBIS KARYA ILMIAH Dikerjakan O l e h Drs. IRWAN NIP. 131925646 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA DAERAH MEDAN 2006

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkatnya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya Ilmiah ini berjudul Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, sebuah certia rakyat Angkota / Mandailing yang berisi pendidikan, nasehat, hiburan dan percintaan. Walaupun Karya Ilmiah ini masih sederhana tetapi banyak bantuan dan jerih payah yang penulis peroleh dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Sastra dan semua pihak yang telah membantu pembuatan Karya Ilmiah ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar Karya Ilmiah dapat bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan sastra daerah. 2006 Medan, Penulis, Desember Drs. I R W A N NIP. 131925646

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Batasan Masalah... 2 1.3. Tujuan Penulisan... 2 1.4. Landasan Teori... 2 BAB II UNSUR UNSUR INTRINSIK... 4 2.1. Tema... 4 2.2. Alur... 5 2.3. Latar atau setting... 6 2.4. Perwatakan... 7 BAB III PEMBAHASAN... 9 3.1. Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis... 9 3.1.1 Sinopsis... 9 3.2. Tema... 11 3.3. Latar atau setting... 13 3.4. Perwatakan... 16 BAB IV KESIMPULAN... 24 4.1. Kesimpulan... 24 4.2. Saran... 25 DAFTAR PUSTAKA

BAB II UNSUR UNSUR INTRINSIK 2.1. Tema Setiap karya sastra harus mempunyai dasar cerita atau tema yang merupakan persoalan utama dari sejumlah permasalahan yang ada. Tema dapat menjalin rangkaian cerita keseluruhan. Penggambaran tokoh, latar maupun alur semuanya mengacu pada pokok pikiran yang sama. Penggambaran tokoh, latar maupun alur semuanya mengacu pada pokok pikiran yang sama. Hartoko dan Rahmanto (1986 : 142) menyatakan, Tema adalah gagasan dasar umum yang terdapat dalam sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan dan perbedan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif konkrit yang menuturkan urutan peristiwa atau situasi tertentu. Bila dalam sebuah cerita tampil motif mengenai suka duka pernikahan, perceraian dan pernikahan kembali maka kita dapat menyaring tema mengenai tak lestarinya pernikahan. Purwadarminta, (1984 : 104) mengatakan,. Tema adalah pokok pikiran, dasar cerita atau sesuatu yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar untuk mengarang. Tema pada suatu karya sastra dapat ditentukan dengan beberapa langkah. Esten, (1984:88) menyatakan, Untuk menentukan tema dalam sebuah karya sastra ada tiga cara yang bisa ditempuh, yakni : 1. Melihat persoalan yang paling menonjol 2. Secara kualitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik-konfilk yang melajirkan peristiwa-peristiwa. 3. Menghitung waktu perceritaan Cara yang paling umum dan sering digunakan adalah cara kedua yaitu melihat persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik-konflik dengan melihat peristiwa-peristiwa. Selalu berulang-ulang dalam keseluruhan cerita sehingga tema akan selalau terkait pada tokoh, alur dan latar.

Uraian-uraian di atas telah banyak menerangkan pengertian tema sehingga dapat disimpulkan bahwa tema merupakan salah satu unsur penting dalam suatu karya sastra. Menetukan tema suatu cerita hanya dapat dilakukan bila telah memahami karya sastra tersebut secara keseluruhan. 2.2. Alur Alur merupakan unsur yang sangat penting dalam cerita. Alur berperan mengatur hubungan peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita. Karena peristiwaperistiwa dalam suatu cerita mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Suatu peristiwa atau kejadian dalam cerita dapat terjadi justru disebabkan oleh adanya peristiwa sebelumnya. Rangkaian peristiwa yang terdapat dalam suatu cerita inilah yang disebut alur. Seperti apa yang diungkapkan oleh Semi (1984:35). Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah inter-relasi fungsional yang sekaligus fiksi. Dengan demikian, alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita. Dalam pengertian ini alur merupakan rangkaian suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya. Alur suatu certia sangat erat hubungannya dengan unsur-unsur yang lain seperti perwatakan, setting, suasana lingkungan begitu juga dengan waktu. Berdasarkan hubungan antara tokoh-tokoh dalam cerita, yang biasanya ditentukan oleh jumlah waktu. Berdasarkan maka alur terbagi atas dua bagian seperti yng dikemukakan oleh Semi (1984:36). Alur yang bagian-bagiannya diikat dengan erat disebut alur erat, sedangkan yang diikat dengan longgar disebut alur longgar. Biasanya alur erat ditemui pada cerita yang memiliki jumlah pelaku menjadi lebih sering dan membentuk jaringan yang lebih rapat.

Bila dilihat menurut urutan peristiwa, alur dapat dibagi atas dua bagian, yaitu alur maju dan alur sorot balik. Alur maju ialah rangkaian peristiwa dijalin secara kronologis.s edangkan alur sorot balik (flash bach) ialah rangkaian peristiwa dijalin tidak berurutan, tidak kronologis. Lebih lanjut S. Tafsrif dalam Tarigan (1984:128) menyatakan, 1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan) 2. Generating circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak) 3. Rising action (keadaan mulai memuncak) 4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks) 5. Dedoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa) Pendapat Tafsrif di atas, mengungkapkan beberapa tahap dalam alur maju. 2.3. Latar atau Setting Suatu cerita dapat terjadi pada suatu tempat atau lingkungan tertentu. Tempat dalam hal ini mempunyai ruang lingkup yang sangat luas termasuk nama kota, desa, sungai, gunung, lembah, sekolah, rumah, toko, dan lain-lain. Seseorang yang hidup di lingkungan sekolah tentu secara umum akan mempunyai watak yang berbeda dengan orang yang tinggal di lingkungan kebun. Atau seseorang yang dibesarkan di desa tentu akan memiliki watak yang berbeda dengan orang yang lahir dan dibesarkan di kota (secara umum). Unsur waktu juga bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu cerita. Suatu cerita dapat terjadi pada suatu saat tertentu misalnya pada abad XX, pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, ketika musim hujan, ketika musim semi, tahun, bulan, hari dan sebagainya. Lingkungan terjadinya peristiwa-persitiwa atau suasana cerita seperti orang di sekitar tokoh atau juga benda-enda di sekitar tokoh termasuk ke dalam latar atau setting.

Dalam hal ini Atar Semi (1984:38) mengatakan : Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di kampus, di sebuah puskesmas, di dalam penjara, di Paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau kurmunan orang yang berada di sekitar tokoh, juga dapat dimasukkan ke dalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tentu tidak termasuk. Latar atau setting bukanlah hanya sebagai pelengkap dalam suatu cerita. Unsur ini sangat mendukung terhadap unsur yang lain seperti tema, perwatakan. Tempat terjadinya peristiwa, waktu terjadinya peristiwa dalam suatu cerita tentu tidak dipilih begitu saja oleh pengarang tetapi juga disesuaikan dengan tindakan tokoh cerita, pesan yang hendak disampaikan pengaran, atau hal lain. Keberhasilan suatu certia tentu sangat tergantung kepada keharmonisan (keterpaduan) unsur-unsur tadi. 2.4. Perwatakan Biasanya di dalam suatu cerita fiksi terdapat tokoh cerita atau pelaku cerita. Tokoh cerita bisa satu atau lebih. Tokoh yang paling banyak peranannya di dalam suatu cerita di sebut tokoh utama. Antara yang satu dengan yang lain ada keterkaitan. Tindakan tokoh cerita ini merupakan rangkaian peristiwa antara satu kesatuan waktu dengan waktu yang lain. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tokoh tentu ada penyebabnya, dalam hal ini adalah tindakan-tindakan atau peristiwa sebelumnya. Jadi mengikuti atau menelusuri jalannya cerita, sama halnya dengan mengikuti perkembangan tokoh melalui tindakan-tindakan.robert Stanton dalam Semi (1984:31) menyatakan : Yang dimaksud dengan perwatakan dalam suatu fiksi biasanya di pandang dari dua segi. Pertama : mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain dalam cerita, yang kedua adlah mengacu kepada perbauran dari minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita.

Jadi perwatakan mengacu kepada dua hal yaitu tokoh itu sendiri dan bagaimana watak atau kepribadian yang dimiliki oleh tokoh tersebut. Dalam suatu cerita fiksi, pengarang menggambarkan atau memperkenalkan bagaimana watak sang tokoh melalui dua cara yaitu dengan terus terang pengarang menyebutkan bagaimana sifat tokoh dalam cerita misalnya keras kepala, tekun, sabar, tinggi hati atau yang lain, dan yang kedua yaitu pengarang menggambarkan watak tokoh melalui beberapa hal seperti pemilikan nama, penggambaran melalui dialog antara tokoh dalam cerita.

BAB III PEMBAHASAN 3.1. Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis 3.1.1. Sinopsis Daeng Mela yang kemudian digelari Na Mora Pande Bosi Lubis adalah seorang pahlawan. Pada waktu Malaka jatuh ke tangan Portugis, Daeng Mela mundur, dan ingin kembali ke negrinya Bugis. Namun dia harus menempuh jalan darat demi keselamatan dirinya sendiri. Dia memulai perjalanan dari Labuhan Ruku, dan sampai di Negeri Barus, yang saat ini terkenal sebagai pelabuhan besar. Di sana Daeng Mela melapor kepada Raja Hatongga, dan menceritakan kepandaiannya sebagai pandai besi, sekaligus mendemonstrasikan bagaimana cara membuat cangkul, kampak, bajak, parang, tombak dan macam-macam lagi. Caranya bekerja bukanlah seperti orang biasa, besi yang sudah dibakar bisa dibengkokkan, dan ditipiskan tanpa alat, cukup dengan menggunakan tangannya. Raja Hatongga sangat heran, dan takjub. Akhirnya Daeng Mela sangat disegani di kampung itu, sampai raja merestui perkawinannya dengan adik perempuan Raja, yang bernama Lenggana. Sesuai dengan adat Tapanuli Selatan, maka Daeng Mela diberi marga yaitu Lubis. Daeng Mela kini berganti nama menjadi Na Mora Pande Bosi. Sebagai maharnya, Na Mora Pande Bosi Lubis hanya memberi tiga helai kain tenun petani. Demikianlah kedua insan ini membentuk keluarga di Lobu Hatongga dengan sebidang tanah, dan perumahan yang diberikan raja. Mereka cukup berbahagia setelah lahir putra kembar, yaitu Sultan Bugis, dan Sulatan Berayun.

Suatu ketika Na Mora Pande Bosi Lubis pergi berburu ke tempat yang lebih jauh dari sebelumnya, di Hamaya Jonggi yang terkenal angker. Sampai enam kali dia menyumpit burung, kena dan jatuh ke tanah, namun tak pernah jumpa. Begitu pula pada penyumpitan yang ke tujuh kali membuat dia kesal dan marah. Tiba-tiba muncullah seorang gadis cantik terjadilah dialog. Na Mora Pande Bosi Lubis begitu terpesona melihat gadis itu, akhirnya dia mengikuti gadis tadi sampai ke tempat tinggalnya, dan keduanya menjadi suami istri. Kerajaan Hatongga menjadi heboh, raja memerintahkan semua orang untuk mencari Na Mora Pande Bosi Lubis. Terakhir gong sakti dipukul (dibunyikan). Na Mora Pande Bosi Lubis sadar, dan dia kembali pulang menemui istrinya dengan membawa keris tidak bersarung lagi. Di negeri bunian istri kedua Na Mora Pande Bosi Lubis melahirkan anak kembar dan diberi nama Si Langkitang dan Si Baetang. Setelah besar, kedua anak ini pergi mencari ayahnya sesuai dengan petunjuk ibunya, dan ternyata impian mereka terkabul. Keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis menerima kedua anak itu sebagai anggota keluarga, sama seperti anaknya kandung. Suatu ketika terjadi perkelahian antara Sultan Bugis dengan Si Langkitang, gara-gara berebut putri paman, yang akhirnya dimenangkan oleh Si Langkitang. Karena mereka saling berkelahi, maka sang ibu membela anak kandungnya, serta menyuruh kedua anak itu pergi. Kedua anak itu pergi, dan mereka sampai di Singengu. Singengu adalah daerah pegunungan yang tinggi dan apabila menatap dari puncaknya, masih tampak Lobu Hatongga. Di sana dengan suara yang keras si Langkitang bersumpah agar keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis di Lobu Hatongga akan punah.

Demikianlah sumpah Si Langkitang di dengan Ompu Mula Jadi Nabolon sehingga keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis tidak berkembang menurunkan marga Lubis di daerah itu. 3.2. Tema Tema pada cerita Na Mora Pande Bosi Lubis dapat ditentukan dengan mengamati alurnya yang mengungkapkan persoalan-persoalan yang paling klimaks dari keseluruhan cerita tersebut. Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mempunyai alur konflik mulai memuncak dan klimaks ketika Na Mora Pande Bosi Lubis diperdaya putri bunian yang sedang berburu, dimana semua hasil buruannya hilang tidak kelihatan. Akhirnya putri bunian menampakkan diri dan mengakui bahwa semua hasil buruannya diambilnya. Melihat kecantikan putri bunian itu, Na Mora Pande Bosi Lubis terpesona dan memperistrikannya di negeri bunian. Ketika putri bunian lagi hamil, Na Mora Pande Bosi Lubis tersadar setelah mendengar suara gong yang memanggilnya bahwa dia berada di negeri bunian. Na Mora Pande Bosi Lubis akhirnya kembali pulang ke Lobu Hatongga menemui istrinya setelah menitip sarung kerisnya kepada putri bunian. Putri bunian pun melahirkan anak kembar, kedua anak itu diberi nama Si Langkitang dan Baetang. Setelah mereka besar, kedua anak itu pergi mengembara, mencari ayah mereka. Pada suatu tempat mereka menemukan pekerjaan membuat peralatan dari bahan besi yang kebetulan milik Na Mora Pande Bosi Lubis. Kedua anak kembar itu mempunyai ketrampilan yang diwarisi dari ayah mereka. Melihat itu Na Mora Pande Bosi Lubis sangat simpati lalu menawarkan agar mereka tinggal bersama keluarganya. Panggil mereka masuk dan beri makan! Kata Na Mora Pande Bosi Lubis. Kedua anak itu sangat menarik perhatian Na Mora Pande Bosi Lubis. Timbullah rasa kasihan pada kedua anak itu, dan Na Mora Pande Bosi Lubis menawarkan supaya tak usah meneruskan perjalanan tetapi

tetap tinggal bersama keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis (Sukapiring dan Jhonson Pardosi, 1990:127). Si Langkitang dan Baetang kini sudah dianggap menjadi anggota keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis. Pada mulanya hubungan mereka sangat harmonis tetapi keharmonisan itu lama kelamaan berubah menjadi pertengkaran antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Pasalnya karena perebutan cinta dari pariban Sutan Bugis. Perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada suatu hari Lenggana ibu mereka memanggil Si Baetang karena tidak tahan lagi melihat perkelahian. Lenggana menanyakan maksud dan tujuan mereka berkelana. Si Baetang menjawab, bahwa tujuan mereka untuk berkelana untuk mencari ayah mereka dan sebagai tanda identitasnya, dia menunjukkan sarung keris milik ayah mereka. Lenggana lalu memberitahukannya kepada suaminya, Na Mora Pande Bosi Lubis terkejut melihat sarung keris itu karena sarung keris itu tertinggal ketika bersama putri bunian. Na Mora Pande Bosi Lubis sangat senang dan haru bahwa dia telah berjumpa dengan anaknya. Dengan parau ia pun berkata kepada Si Baetang: Sarung keris ini adalah milik saya dan kamu berdua adalah anak kandungku!!. Kedua makhluk Tuhan itu pun berpelukan sambil mencucurkan air mata tanda gembira (Sukapiring dan Jhonson Pardosi, 1990 : 128). Pada suatu hari, terjadi lagi perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Perkelahian itu sangat seru yang menyebabkan Sutan Bugis lukaluka yang mengena keris Si Langkitang. Lenggana ibu Sutan Bugis merasa tidak senang melihat kejadian itu. Lenggana menyuruh Si Langkitang dan Si Baetang meninggalkan Lobu Hatongga. Mendengar perkataan itu Na Mora Pande Bosi Lubis tidak dapat memberi komentar dan menyetujuinya. Si Langkitang dan Si Baetang berakngkat dengan dendam membara di hati mereka, hingga tiba pada suatu tempat mengutuk agar keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis punah!! Dengan suara yang keras dan lantang berserulah

Si Langkitang : Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga.. Punahlah.kamu sekalian.. (sukapiring dan Jhonson Pardosi, 1990:129). Melihat dari uturan dari konflik sampai klimaks dapatlah diambil kesimpulan bahwa tema dari cerita Na Mora Pande Bosi Lubis ini adalah Kasih Sayang Orang Tua yang berpihak akan merusak hubungan anak. 3.3. Alur/Plot Alur merupakan rangkaian kejadian atau peristiwa dalam suatu cerita. Sebelum menentukan bagaimana alur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, terlebih dahulu digambarkan bagaimana cerita ini berjalan, sesuai dengan pembagian cerita oleh S. Tasrif. Pembagian itu meliputi lukisan keadaan, peristiwa mulai bergerak, keadaan mulai memuncak, peristiwa memuncak dan penyelesaiannya. Mula-mula pengarang melukiskan suatu keadaan, disebut situation. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka daeng Mela sebagai seorang pejuang yang kalah dalam perang terpaksa mundur dan berencana pulang ke kampungnya di Bugis. Di tengah perjalanan, setelah meninggalkan negeri Barus yang pada saat itu terkenal sebagai pelabuhan besar, dia melapor kepada raja setempat yaitu kerajaan Hatongga. Dia menceritakan keahliannya dan sekaligus mendemonstrasikan caranya menempa alat-alat pertanian dan alat perang secara menakjubkan. Raja heran dan takjub, senang terhadap Daeng Mela, karena senangnya raja merestui perkawinan Daeng Mela dengan adik perempuannya, Lenggana. Mereka hidup bahagia apalagi setelah dikaruniai dua orang anak (kembar) Sutan Bugis dan Sutan Berayun. Portugis pada masa itu mempunyai alat perang yang sempurna sehingga Daeng Mela dan pahlawan-pahwalan lainnya terpaksa menyerah. Dan bermaksud pulang kembali ke negerinya Bugis (Peraturen dan Jhonson, 1990:121).

Na Mora Pande Bosi Lubis sangat banyak jasanya sehingga akhirnya raja pun mengizinkan dan merestui perkawinannya dengan adiknya perempuan (Peraturen dan Jhoson, 1990:122). Setelah setahun berlalu, perkawinan mereka dikaruniai oleh tuhan dua orang putra kembar. Dua orang putra kembar itu dinamai Sutan Bugis dan Sutan Berayun (Peraturen dan Jhonson, 1990 : 123). Keadaan mulai bergerak atau disebut Generating Circumastance, yaitu setelah daeng Mela (Na Mora Pande Bosi Lubis) pergi berburu dan berjumpa dengan seorang putri bunian yang cantik dan mempesona yang akhirnya dikawininya. Kerajaan Hatongga heboh, istrinya cemas. Setelah gong sakti dipukul akhirnya Na Mora Pande Bosi Lubis dapat kembali ke rumah, berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Di negeri bunian, tempat istrinya putri bunian, telah melahirkan dua orang anak kembar Si Langkitang dan Si Baentang. Setelah besar, Si Langkitang dan Baetang pergi mencari ayahnya ke arah matahari terbenam, kemudian mereka berjumpa dengan ayahnya. Mereka ini diterima dengan baik oleh keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis Pada mulanya mereka cukup bahagia atas kedatangan kedua anak ini, namun kemudian mulailah terjadi perselisihan antara Si Langkitang (anak putri bunian) dengan Sutan Bugis karena saling merebut putri pamannya yang cantik. Selama ini Sutan Bugis telah berpacaran dengan putri pamannya, tetapi dengan kedatangan Si Langkitang, membuat Sutan Bugis membenci Si Langkitang. Si Langkitang lebih menarik perhatian putri raja yang mengakibatkan pindah cintanya pada anak dari istri bunian itu. Hal ini diketahui oleh Sutan Bugis. Hal ini menimbulkan benci dan marah Sutan Bugis pada Si Langkitang. (Peraturen dan Jhonson, 1990:127).

Kebencian dan perasaan dendam memang tidak selamanya dapat dipendam. Demikianlah Sutan Bugis semakin hari semakin berang dan membenci Langkitang, dia tidak ingin kalau putri pamannya jatuh dalam pelukan Si Langkitang. Akhirnya terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Sutan Bugis kalah, hal ini membuat dia semakin ganas. Peristiwa ini dapat digolongkan ke dalam rising action. (keadaan mulai memuncak). Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Tetapi perkelahian ini Sutan Bugis kalah, ia menderita luka-luka. (Peraturen dan Johonson, 1990:127). Kebencian semakin membara, perselisihan semakin memanas apalagi setelah Sutan Bugis kalah dalam perkelahian. Dia semakin berang dan ganas. Terjadilah perkelahian sengit. Sutan Bugis kalah dan menderita luka-luka akibat tusukan keris. Peristiwa ini merupakan klimaks (puncak) dalam cerita ini. Tak lama setelah itu, terjadi lagi perkelahian yang lebih mengkhawatirkan. Mengakibatkan Sutan bugis menderita luka-luka yang mengena keris yang di tangannya sendiri. (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). Kejadian tadi membuat istri Na Mora Pande Bosi Lubis tidak senang dan untuk menjaga suasana damai dalam rumahnya sendiri, dia menyuruh kedua anak dari putri bunian itu (Si Langkitang dan Baetang) untuk pergi. Kedua anak itu diberi perbekalan tombak untuk menjaga diri, tanduk untuk serunai, dan sumpit untuk menangkap burung. Sebelumnya, istri Na Mora Pande Bosi Lubis telah bersabar dan menasehati supaya mereka jangan berkelahi, mereka adalah satu ayah. Nasehat itu tidak mereka indahkan, akhirnya anak-anak itu harus pergi dari rumah itu. Menurut Na Mora Pande Bosi Lubis dan istrinya, keputusan ini merupakan suatu penyelesaian yang tepat. Namun bagi Si Langkitang, keputusan ini sangat menyakitkan. Dia berusaha agar keturunan

Na Mora Pande Bosi Lubis punah. Peristiwa ini merupakan akhir dari cerita ini yang disebut Donoument. Untuk menjaga suasana damai berkatalah istri Na Mora Pande Bosi Lubis supaya kedua anak yang datang itu meninggalkan Lobu Hatongga. Hal ini disetujui oleh Na Mora Pande Bosi Lubis. (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). Si Langkitang dan Si Baetang kini telah berada di Singengu yaitu nama tempat yang sangat tinggi. Dari tempat ini Lobu Hatongga kelihatan sangat indah. Dendam sangat membara di hati Si Langkitang, maka dengan lancang dia berkata : Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis, yang berada di Lobu Hatongga Punahlah sekalian!. Perkataan Si Langkitang di dengar Tuhan Yang Maha Esa maka semua perkataan dan kutukan Si Langkitang dikabulkan. Dengan suatu yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah : Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga punahlah. Kamu sekalian.! Kalimat ini diucapkan tiga kali. Rupanya sumpah di terima oleh Tuhan. Hingga sampai sekarang keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis, Sutan Bugi yang kawin dengan boru tulangnya itu tinggal seorang lagi, itu pun anak perempuan yang tinggal di Sagalangan sekarang. Dari urutan peristiwa dalam cerita ini, dapat dilihat bahwa peristiwa berjalan terus dari awal sampai akhir. Tidak ada peristiwa yang kembali ke belakang, hal ini seperti ini dapat digolongkan ke dalam alur lurus. Begitu juga hubungan peristiwa yang satu dengan yang lainnya sangat erat, semua peristiwa dalam cerita mendukung terhadap jalannya cerita dan juga tema cerita. Dalam hal ini tegolong kepada alur erat. 3.4. Latar atau Setting Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa latar atau setting meliputi tempat, ruang, waktu, termasuk juga lingkungan dan suasana

terjadinya peristiwa. Termasuk benda-benda yang ada dalam peristiwa tersebut. Dalam cerita Na Mora Pande Bosi Lubis juga dijumpai beberapa latar seperti tempat, waktu, suasana, ruang juga benda-benda (alat-alat) yang berhubungan dengan cerita saatu sama lain mempunyai hubungan atau keterkaitan. Satu persatu latar tersebut akan diuraikan dibawah ini. Mula-mula dilukiskan bagaimana Daeng Mela seorang Bugis terdampar di suatu tempat setelah mengalami kekalahan perang, dan juga kapan peristiwa itu terjadi. Kata yang empunya cerita tersebutlah seorang pahlawan yang bernama Daeng Mela. Ia terdampar di tepi pantai kualuh dalam perjalanannya pulang ke negeri Bugis. Pada masa itu terjadi peperangan Malaka melawan Portugis, pada tahun 1511 (Peraturen dan Jhonson, 1990:121). Apa yang melatarbelakangi kekalahan Daeng Mela dan kawan-kawannya dalam menghadapi Portugis, adalah peralatan perang yang tidak seimbang. Portugis pada masa itu mempunyai alat perang yang sempurna sehingga Daeng Mela dan pahlawan-pahlawan lainnya terpaksa menyerah. (Peraturen dan Jhonson, 1991:121). Dapat dimengerti bagaimana seorang pahlawan yang kalah dalam perang masih dapat menyelamatkan diri dengan cara sembunyi-sembunyi supaya terhindar dari pandangan musuh. Kata yang empunya cerita tersebutlah seorang pahlawan yang bernama Daeng Mela. Ia terdampar di tepi sungai kualuh dalam perjalanannya pulang ke negeri Bugis. Pada masa itu terjadi peperangan Malaka melawan Portugis pada tahun 1951 (Peraturen dan Jhonson, 1991:121). Di kerajaan hatongga Daeng Mela harus melaporkan diri, karen adia seorang pendatang ke kampung teresbut, Daeng Mela pun sampai ke tempat itu, orang harus melaporkan diri pada raja Hatongga yang pada waktu itu bertempat tinggal di Parniakan (Peraturen dan Jhonson, 1991:122).

Daeng Mela adalah seorang pandai besi yang dapat menempa alat-alat pertanian seperti tertera pada kutipan di bawah lain : Ia membuat cangkul, kampak, bajak, parang, tombak, pedang dan alatalat pertanian serta alat-alat perang dalam sekejap saja. Caranya setelah besi dibakarnya dengan api ia lalu membentuknya dengan tangannya (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). Dapat dipahami betapa pentingnya alat-alat pertanian untuk bertani pada waktu itu. Apalagi pada masa itu merupakan masa-masa yang sulit untuk mendapatkan peralatan tersebut mengingat belum begitu majunya teknologi. Justru itu raja sangat sayang pada Daeng Mela. Raja sangat sayang pada Daeng alias Na Mora Pande Bosi Lubis hingga pada masa kekuasaannya ia sangat disegani oleh raja yang ada disekitarnya (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). Dengan kepandaiannya menempa alat-alat pertanian raja sangat kepada Daeng Mela. Tidak hanya sampai di situ saja, raja pun merestui perkawinan Daeng Mela dengan adik perempuannya yang bernama Lenggana. Kemudian Daeng Mela diberi marga Lubis sesuai dengan adat yang berlaku di Tapanuli Selatan, namanya menjadi Na Mora Pande Bosi Lubis. Pesta perkawinan mereka berlangsung cukup lama dan waktu itu Na Mora Pande Bosi Lubis hanya memberi tiga helai kain tenunan petani sebagai maharnya (ganti emas). Pada perkawinan itu Pande Bosi tidak mempunyai emas sebagai maharnya, dan sebagai gantinya diserahkanlah tiga helai tenunan petani pada perkawinan itu dilaksanakan di rumah raja di Parmiakan dan berlangsung selama satu bulan lamanya (Peraturen dan Jhonson, 1990:123). Padang si Genduk, tor Sumulak-mulak anjing, dan hanya Jonggi adalah tempat perburuan bagi Na Mora Pande Bosi Lubis. Suatu saat dimana dia dipermainkan oleh seorang putri bunian.

Demikianlah hari itu setiap burung yang disumpitnya kena dan jatuh ke tanah. Tetapi setelah dicarinya burung itu tidak pernah berjumpa, sampai burung ke enam (Peraturen dan Jhonson, 1990:124). Kemudian dalam cerita ini suatu latar tempat seorang putri bunian tinggal, dimana Na Mora Pande Bosi Lubis terperdaya untuk tinggal di tempat itu dalam waktu yang agak lama. Tiga bulan sudah berlalu Na Mora Pande Bosi Lubis itu tidak pulang ke rumahnya, dan dia pun telah memperistri putri bunian yang cantik itu (Peraturen dan Jhonson, 1990:125). Dari peristiwa tersebut di kerajaan Hatogga, istri Na Mora Pande Bosi Lubis itu menjadi sangat cemas, kemudian raja memerintahkan untuk gong sakti agar Na Mora Pande Bosi Lubis segera pulang ke rumahnya. Akhirnya setelah lelah mencari tidak juga bersua, raja memerintahkan untuk memalu gong sakti untuk memanggilnya (Peraturen dan Jhonson, 1990:125). Istri Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di negeri bunian melahirkan anak kembar. Setelah besar kedua anak kembar itu pergi mencari ayahnya. Suasana dalam rumah tangga Na Mora Pande Bosi Lubis atas kedatangan anak tadi, pada mulanya berjalan dengan tenang. Kedua anak itu pun tinggallah bersamanya dan kalau dulunya hanya dua orang anaknya sekarang sudah bertambah dua orang lagi, setiap harinya mereka membantu di ladang dan mereka hidup bahagia (Peraturen dan Jhonson, 1990:127). Kebahagiaan itu tidak bertahan lama, situasi kacau balau dalam keluarganya. Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Tetapi dalam perkelahian itu Sutan Bugis kalah, ia menderita luka-luka. Ibunya sangat sedih (Peraturen dan Jhonson, 1990:127).

Satu lagi latar belakang tempat, kedua anak putri bunian mengucapkan sumpah kebenciannya kepada Sutan Bugis, setelah mereka berdua diusir dari rumahnya oleh Ibu Sutan Bugis. Demikianlah mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu tebing ke tebing lain, dari tebing yang sangat tinggi mereka melihat ke bawah, tebing yang bernama Singengu lebih ataslah Hatongga.Dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah : Hai keturunan. (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). 3.5. Perwatakan Berbicara tentang perwatakan berarti harus berbicara dengan tokoh dan tingkah lakunya dan sifat-sifatnya dalam suatu cerita. Di dalam cerita Na Mora Pande Bosi Lubis terdapat beberapa orang tokoh yang akan diuraikan satu persatu. Mereka itu adalah Daeng Mela yang kemudian diberi nama Na Mora Pande Bosi Lubis, Lenggana, Sutan Bugis, Si Langkitang, Putri paman, Sutan Berayun dan raja Hatongga. Na Mora Pande Bosi Lubis dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau sebagai tokoh utama dalam cerita ini, dari awal cerita sampai akhir, namanya paling sering disebut, bahkan untuk mengetahui jalan cerita ini sama halnya dengan mengikuti atau menelusuri perkembangan tokoh ini. Hanya saja pada akhir cerita kedudukan tokoh ini digantikan oleh anaknya Sutan Bugis. Na Mora Pande Bosi Lubis adalah seorang pejuang (pahlawan) pada masa kedatangan dan kedudukan Portugis di Malaka. Sebagai seorang bekas pejuan dia memiliki keberanian seperti berburu ke hutan ke suatu tempat yang jauh dari Labuhan Ruku, bahkan sampai ke negeri Barus. Dia tidak gentar menghadapi apa yang terjadi ketika sedang berburu. Jarak yang begitu jauh, lautan yang hendak dilalui begitu luas dan sudah dikuasai pula oleh Portugis hingga Daeng Mela terpaksa memutuskan memilih jalan darat. Dia memulai perjalanannya dari Labuhan Ruku ke negeri Barus (Peraturen dan Jhonson, 1990:12).

Daerah pemburuannya ialah ke padang Sigenduk, tor Simulak-mulak anjing dan Hananya Jonggi (Peraturen dan Jhonson, 1990:124). Setiap burung yang disumpitnya kena dan jatuh ke tanah.namun burung itu tidak dijumpainya di tanah lalu dia pun berkata Siapa yang berani mengambil undanku, berani mengambil sumpitanku keluarlah!!!(peraturen dan Jhonson, 1990:124). Daeng Mela adalah seorang yang mempunyai kelebihan dari yang lain, terbukti dia dapat menempa alat-alat pertanian secara praktis dan ajaib. Ia membuat cangkul, kampak, bajak, tombak, pedang dan alat-alat pertanian serta alat alat perang dalam sekejab sja. Caranya setelah besi dibakarnya dengan api dia lalu membentuknya dengan tangannya. Ia tidak mempergunakan alat (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). Sebagai seorang pendatang baru di kerajaan Hatongga dan ia berasal dari daerah yang berbeda, Na Mora Pande Bosi Lubis termasuk orang yang pandai beradaptasi. Ia sangat disenangi oleh raja Hatongga dan seluruh masyarakatannya. Raja sangat sayang pada Daeng Mela alias Na Mora Pande Bosi Lubis hingga pada amsa kekuasaannya ia sangat disegani oleh raja yang ada di sekitarnya Na Mora Pande Bosi Lubis sangat banyak jasanya sehingga akhirnya dia dinikahkan dengan adik perempuan raja atau iboto raja (Peraturen dan Jhonson, 1990 : 123). Tak ada gading yagn tak retak, begitu juga dengan Na Mora Pande Bosi Lubis, di samping mempunyai kelebihan juga memiliki kelemahan-kelemahan. Ia dapat diperdaya putri bunian, begitu juga ketika anak-anaknya berkelahi dia tidak dapat mengatasinya, akhirnya kedua anaknya harus pergi. Karena terpesona akan kecantikan paras putri bunian itu dengan tiada disadarinya diikutkannyalah putri bunian itu sampai ke tempat tinggalnya (Peraturen dan Jhonson, 1990:125). Untuk menjaga suasana damai, berkatalah istri Na Mora Pande Bosi Lubis supaya kedua anak yang datang itu meninggalkan Lobu Hatongga.

Hal ini disetujui oleh Na Mora Pande Bosi Lubis (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). Lenggana adalah tokoh yang bertindak sebagai istri Na Mora Pande Bosi Lubis. Dia adalah seorang istri yang mencintai suaminya. Ketika suaminya tidak pulang rumah, akibat godaan putri bunian, dia merasa cemas dan segera melapor kepada raja supaya cepat dicari. Begitu juga terhadap anak dia penuh dengan kasih sayang, dan selalu memberi nasehat. Bahkan kedua anak dari putri bunian juga diterima dan diperlakukan sebagai anak sendiri. Akhirnya memang kedua anak itu disuruh pergi, tetapi sebagai tanda kasih sayang terhadap anak, mereka memberi peralatan untuk menjaga diri dan mencari makan. Hal ini sangat mengkhawatirkan istri Na Mora Pande Bosi Lubis. Ia melapor pada raja. Raja pun memerintahkan semua orang mencari Na Mora Pande Bosi Lubis. (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). Berangkatlah kedua anak itu dengan dibekali tombak yang gunanya untuk menjaga diri, tanduk serunai bila mereka berpisah di dalam hutan, sumpit untuk menyumpitkan makanan mereka. (Peraturen dan Jhonson, 1990: 129). Raja Hatoggan seorang raja yang berkuasa pada saat itu di kerajaan Hatongga. Dia termasuk orang yang terbuka sifatnya dan sangat mengagumi seseorang yang ahli seperti Na Mora Pande Bosi Lubis seorang pandai besi yagn dapat menempa berbagai macam alat pertanian dan alat perang. Raja pun takjub serta heran melihat Daeng Mela. Setelah hal tersebut Daeng Mela dinamai orang kampung Hatongga Na Pande Bosi (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). Tokoh lain yaitu Sutan Bugis (Anak dari Na Mora Pande Bosi Lubis), adalah seorang anak yang sangat mencintai putri pamannya, sehingga di rela meneteskan darah karena sering berkelahi dengan Si Langkitang agar putri pamannya tidak lepas dari genggamannya.

.. Sampai pada suatu ketika terjadilah hal yang tidak disangka-sangka karena perebutan putri hatongga mempunyai seorang gadis yang sangat cantik.. Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dan Si Langkitang. Tapi dalam perkelahian ini Sutan Bugis kalah, dia menderita luka-luka (Peraturen dan Jhonson, 1990:127). Si Langkitang adalah seorang tokoh yang berani dan kuat. Bersama saudaranya dia mencari ayahnya tanpa memperdulikan bahaya dan resiko di tengah perjalanan yang begitu jauh, begitu juga dengan perkelahiannya dengan Sutan Bugis, dia selalu menang. Di samping itu dia memiliki sifat dendam yang begitu dalam dengan menyumpah keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis agar punah,.. Dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah, Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga. Punahlah. (Peraturen dan Jhonson, 1990 : 129). Putri Paman adalah seorang gadis yang cantik yang tidak memiliki pendirian yagn menetap, terbukti dia mengalihkan cintanya kepada Si Langkitang yang kebetulan lebih ganteng dari Sutan Bugis.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis adalah Cerita rakyat berasal dari Tapanuli Selatan, mengisahkan perjalanan hidup seorang bugis yang diangkat menjadi bagian dari masyarakat setempat karena telah menikah dengan saudara kandung raja. Cerita ini mempunyai struktur konvensional sebagai ciri-ciri dari cerita rakyat. Hal ini dapat dilihat dari Tema, alur, latar dan karakter saling mendukung dan mengikat satu dengan yang lainnya. Keterpaduan unsur-unsur pembentuk tersebut menjadikan cerita tersebut mudah dimengerti oleh masyarakat luas. Tema cerita Na Mora Pande Bosi Lubis adalah Kasih sayang orang tua yang berpihak akan merusak hubungan anak. Tema ini dapat disimpulkan dengan cara menganalisa alur cerita tersebut dimana klimaknya berada pada keperpihakan kasih sayang orang tua. Alur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mengikuti pola alur maju dimana perkenalan, konlfik mulai memuncak, klimaks dan penyelesaian uraiakan secara bertahap sampai akhir cerita. Latar atau setting cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mengungkapkan suatu tempat dan waktu yang ada di Tapanuli Selatan seperti Pardomuan, Lobu Hatongga dan Padang Sidempuan serta waktu kejadian-kejadian yang berlaku pada masyarakat setempat. Perwatakan cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mengungkapkan tokoh protagonis dan antagonis serta mengungkapkan sifat-sifat dari semua tokoh yang terdapat pada cerita tersebut.

4.2. Saran Diharapkan kepada seluruh masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam hal penggalian, pembinaan dan pendokumentasian hasil karya sastra daerah agar keberadaannya dapat diwakilkan kepada generasi yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA Aruan, Stephanus. 1974. Turi-turian Ni Halak Batak. Sipoholon. Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta:Grafiti. Pers. Erlina, Ririen. 1991, Aji Pamasa dan Aji Panurat. Medan : Firma Maju. Esten, Mursal. Kritik Sastra Indonesia. Padang : Angkasa. Poerwadaminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Semi, Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa., 1988. Anatomi Sastra. Padang : Angkasa Raya. Shangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige. Sidjabat, W.B. 1982. Ahu Sisingamangaraja. Jakarta : Sinar Harapan. Sihombing, T.M. 1985. Jampar Hala. Jakarta : Tulus Jaya. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Leksikal Sastra. Jakarta : Gramedia. Sumardjo, Jakob. 1979. Fiksi Indonesia Dewasa ini. Bandung : Gramedia., 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia. Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Batak Toba dan Kebudayaannya. Bandung : Tarsito. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Usman, Zuber. 1963. Kesusastraan Indonesia Lama. Jakarta : Gunung Agung., 1973. Ensiklopedia Umum Indonesia. Yogyakarta : Kanisius.