10 PRINSIP MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI (Perspektif David Osborne Dan Ted Gaebler Tentang Pelayanan Publik)



dokumen-dokumen yang mirip
REFORMASI BIROKRASI DAN REINVENTING GOVERNMENT: Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Oleh Arisman 1

REINVENTING GOVERNMENT DAN PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH. Annisa Citra Fatikha 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BIROKRASI. Andhyka Muttaqin, S.AP, MPA

MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

EVALUASI PROGRAM BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) DENGAN MENGGUNAKAN AUDIT SOSIAL

I. PENDAHULUAN. yang terdapat dalam organisasi tersebut. Keberhasilan untuk mencapai

Sejarah Perkembangan Ilmu Administrasi Publik (Negara)

Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER

BAB I. PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi

Kebutuhan Pelayanan Publik

STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN DAERAH

KONTRAK PEMBELAJARAN. I. Identitas Mata Kuliah. : Dra. Sri Yuliani, M.Si Dra. Retno Suryawati, M.Si

SISTEM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK YANG OPTIMAL DALAM BIROKRASI PERIZINAN

PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI (STRUKTUR, KUALIFIKASI APARATUR, DAN REMUNERASI) Muryanto Amin 1

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini, organisasi pemerintahan berada dalam tekanan. lingkungan yang sangat kompleks. Meningkatnya tekanan itu tidak hanya

GAMBARAN UMUM. Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke

I. PENDAHULUAN. aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani. Seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

DEREGULASI DAN DEBIROKRATISASI PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIJINAN

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sistem manajemen pemerintahan dan pembangunan antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu SDM harus dibina dengan baik agar terjadi peningkatan efesiensi,

Perkembangan Sistem Anggaran Publik Anggaran Tradisional dan Anggaran New Public Management

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal

JURNAL EKONOMI Volume 21, Nomor 4 Desember 2013 REINVENTING KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAERAH YANG RAMPING DAN EFISIENSI. Zulkarnaini

Pelayanan Publik yang Berorientasi pada Pelanggan. Oleh: Marita Ahdiyana

BAB I PENDAHULUAN. unsur kekuatan daya saing bangsa, sumber daya manusia bahkan sebagai

Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis

SILABUS AP 416 KEWIRAUSAHAAN DAN PEMASARAN JASA PENDIDIKAN

Implementasi E-Government Dalam Peningkatan Pelayanan Publik

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik. Dilingkungan birokrasi juga telah dilakukan sejumlah inisiatif

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan proses yang sangat strategis

Peran, Kegiatan, Tujuan dan Perbedaan Ilmu Administrasi Publik (Negara) dengan Administrasi Bisnis (Niaga)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

Program Studi Magister Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENGEMBANGAN POTENSI PARIWISATA DALAM PERSPEKTIF REINVENTING GOVERNMENT (Studi di Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Lamongan)

PERTANYAAN UNTUK TUGAS PRAUJIAN UPKP VI

Membangun WIRAUSAHA BIROKRASI Meningkatkan DAYA SAING DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

Implikasi Perubahan Lingkungan Bagi Organisasi Pemerintahan Lokal

UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DALAM ERA OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Bergulirnya reformasi membawa perubahan dalam segala bidang. kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman mengenai good governance mulai dikemukakan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dengan keanekaragaman budaya maupun keyakinan. Dasar Negara

DEMOKRATISASI BIROKRASI DALAM PERSPEKTIF MEMINIMALISIR TINDAKAN KORUPTIF *

KONSOLIDASI DEMOKRASI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT

Standar Pelayanan Minimal sebuah Keniscayaan. Dalam Penerapan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Bank, Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi yang ditandai dengan tidak adanya batas-batas negara (

BAB I PENDAHULUAN. semangat para Penyelenggara Negara dan pemimpin pemerintahan. 1 Penyelenggara

Kata Pengantar BAB 4 P E N U T U P. Laporan Kinerja Pemerintah Provinsi

TUGAS AKHIR. Oleh : AHMAD NURDIN L2D

Prof.Dr.A.Y.Andi Gani,MS GOVERNMENT ENTERPRENEURSHIP

Jangka Panjang Nasional Tahun

SATUAN ACARA PERKUALIAHAN

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

DOKUMEN RENCANA STRATEGIS TAHUN PENGADILAN AGAMA KOTABUMI

BAB I PENDAHULUAN. pada perubahan di segala aspek. Mulai dari sistem pemerintahan, peraturan

B. Maksud dan Tujuan Maksud

BAB 1 PENDAHULUAN. paradigma administrasi negara atas; (a) dikotomi politik administrasi, (b) paradigma

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan dijalankan oleh suatu mesin birokrasi. Birokrasi

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. reformasi diindikasikan dengan adanya perombakan di segala bidang kehidupan,

BAB 1 PENDAHULUAN. publik. Pemahaman mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2012 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi sekarang ini, mewujudkan pemerintahan yang baik (good

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tujuan akhir dari para

MAKALAH AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK JENIS JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (RPJMN) tahun , program reformasi birokrasi dan tata kelola

: 1 (satu) kali tatap muka pelatihan selama 100 menit. : Untuk menanamkan pemahaman praja mengenai. Konsep Rencana Strategis Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi pada abad ke-21 ini, ternyata telah terjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian

PEMBENAHAN KINERJA APARATUR PEMERINTAH

LAPORAN REVIEW SOP SEMESTER II 2016

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan. Pada Instansi pemerintahan kinerja biasa disebut sebagai sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia saat ini sedang memasuki masa pemulihan akibat krisis

TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN PENGGUNA TERHADAP JUMLAH KUNJUNGAN JASA PELAYANAN FISIOTERAPI PADA OKTOBER 2009 DI PUKESMAS SE- KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada era-era yang lalu tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan biaya pelayanan tidak jelas bagi para pengguna pelayanan. Hal ini terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Dunia telah memasuki era perubahan dan transformasi yang sangat cepat.

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

BAB I PENGANTAR. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta pelayanan

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2013 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Pengadaan barang/jasa pemerintah diperlukan untuk menunjang

Manajemen Strategis. Novia Kencana, S.IP., MPA

LAPORAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG TAHUN 2014

Transkripsi:

10 PRINSIP MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI (Perspektif David Osborne Dan Ted Gaebler Tentang Pelayanan Publik) Drs. Mahmun Syarif Nasution M.AP* Abstract Mahmun Sharif. This study discusses the principles of public service quality improvement with the 10 principles of entrepreneurship according to the thinking of government David Osborne and Ted Gaebler. The idea of two men known as the Reinventing Government set out in his work entitled Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, published in 1992 and Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, the last book written by David Osborne and Peter Plastics, published in 1997. This idea emerged in response to poor public services that occurred in the U.S. government so that the resulting crisis of confidence in the government. How these principles of bureaucracy and its implementation for the improvement of the quality of public services, the following study will attempt to explain. Pendahuluan Sampai saat ini kinerja pelayanan publk masih menjadi sorotan masyarakat karena belum mampu memberikan pelayanan prima. Buruknya pelayanan public antara lain disoroti oleh Governance Development Survey (GDS). GDS menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan publik masih dipengaruhi oleh hubungan kesamaan afiliasi partai politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini masih terjadi begitu kental walaupun telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN dan Undang-Undang Nomor: 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang secara tegas menyatakan bahwa dalam pelayanan public dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip kesetaraan dan persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih

menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidak pastian tadi. Kendala Sosial Budaya Upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat pembaharuan tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial dahulu. Prosedur dan etika pelayanan di Indonesia sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai masyarakat sebagai pelanggan yang seharusnya memiliki posisi sebagai raja. Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit.tidak hanya itu, mulai masa orde baru hingga kini, eksistensi PNS merupakan jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan publik, khususnya jawa, sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik (public servant) dalam arti riil menghadapi kendala untuk direalisasikan. Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh raja (pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menunjukkan bahwa mereka siap dilayani bukan siap untuk melayani. Di samping itu, kendala sarana dan prasarana pelayanan belum mendukung pola pelayanan prima sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Terbukti dengan belum tersedianya Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku pelanggan di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. SOP pada masing-masing instansi pemerintah belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah kepada masyarakat. Tulisan berikut ini ingin mengulas tentang teori yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya Reinventing Government untuk dijadikan sebagai solusi alternatif dalam melakukan optimalisasi pelayanan public terutama di lingkungan lembaga diklat. Teori ini sudah terbukti mampu menjadi solusi atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan Amerika sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap pemerintah di penghujung tahun 1980-an.

10 Prinsip Mewirausahakan Birokrasi Sebenarnya perdebatan mengenai optimalisasi pelayanan publik oleh pemerintah telah lama berkembang dalam studi administrasi publik. Sejak beberapa dekade lalu, polemik sudah terjadi dikalangan para pakar mengenai cara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efisien, tanggap, dan akuntabel. Masing-masing pakar memaparkan teori dan atau membantah dan memperbaiki teori yang ada sebelumnya. Teori Reinventing Government tergolong pada The New Public Management merupakan suatu pembaharuan atas The Old Public Management. Dan sebenarnya sekarang telah muncul pula perbaikan atas The New public Management dengan munculnya konsep The New Public service. Dinamika konsep administrasi publik dari The Old Public Management, lalu menjadi The New Public Management, dan terakhir The New Public service beserta ulasan detail tentang konsep dan kritik atas konsep tersebut dapat dilihat dalam Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public service: Serving, not Steering, New York: ANSI, 2002. Khusus untuk gagasan-gagasan The Old Public Administration dapat dilihat dalam Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Classics of Public Administration, USA: Harcourt Brace & company, 1978. John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty, Consideration on Representative Government, Vermont: Everyman, 1993. Uraian secara detail dan lengkap tentang teori-teori kalsik tersebut dapat dilihat dalam Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Op. Cit., USA: Harcourt Brace & company, 1978; Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, cet. keviii, 2003; dan Inu Kencana Syafi'I, dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka cipta, 1999. Para ilmuwan politik, misalnya, telah memperdebatkan kemungkinan mengembangkan good government dan representative government, sejak awal abad 20an.Bahkan tidak hanya itu, Woodrow Wilson pada tahun 1887 dalam The Study of Administration telah mengemukakan konsep dikotomi politik dan administrasi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien. Selain Wilson, ada Max Weber (1922) dengan teori The Ideal Type of Bureucracy, Luther gullick (1937) dengan konsep POSDCORB, Frank J. Goodnow (1900) dengan konsepnya yang tertuang dalam makalahnya Politics and Administration, Frederick W. Taylor (1912) dengan konsepnya Scientific Management, Herbert A. Simon (1946) dengan konsepnya The Proverbs of Administration dan masih banyak lagi yang ikut memberikan kontribusi konsep dan teori dalam optimalisasi pelayanan publik.

Sedangkan gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh David osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsepkonsep dan teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan public sesuai dengan perkembangan di lingkungan birokrasi. Gagasan David Osborne dan Ted Gaebler tentang Reinventing Government tertuang dalam karyanya yang berjudul Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun 1992 dan Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, buku terakhir ini ditulis oleh David Osborne dan Peter Plastik yang dipublikasikan pada tahun 1997. Gagasan ini muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan Amerika sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Bahkan di penghujung tahun 1980-an, majalah Time pada sampul mukanya menanyakan: "Sudah Matikah Pemerintahan?". Di awal tahun 1990-an, jawaban yang muncul bagi kebanyakan orang Amerika adalah "Ya". Buruknya pelayanan publik ini dibuktikan dengan menurunya kualitas pendidikan, sekolah-sekolah di negeri AS adalah yang terburuk di antara negara-negara maju. Sistem pemeliharaan kesehatan tidak terkendali. Pengadilan dan rumah tahanan begitu sesak, sehingga banyak narapidana menjadi bebas. Banyak kota dan negara bagian yang dibanggakan pailit dengan defisit multi-milyaran dolar sehingga ribuan pekerja diberhentikan dari kerja. Ulasan tentang krisis kepercayaan yang terjadi di AS bisa dilihat dalam David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector; karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Rasyid, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1996. Ulasan 10 prinsip Reinventing Government ini secara utuh bisa dilihat dalam David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing; atau terjemahannya Mewirausahakan, hlm. 29-343. sebagai bahan pelengkap juga baca David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj. Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000. Gagasan-gagasan Osborne dan Gaebler tentang Reinventing Government mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi. Adapun 10 prinsip tersebut adalah pertama, pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh. Artinya, jika pemerintahan diibaratkan sebagai perahu, maka peran pemerintah seharusnya sebagai pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan

kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan (mengayuh).cara ini membiarkan pemerintah beroperasi sebagai seorang pembeli yang terampil, mendongkrak berbagai produsen dengan cara yang dapat mencapai sasaran kebijakannya. Wakil-wakil pemerintah tetap sebagai produsen jasa dalam banyak hal, meskipun mereka sering harus bersaing dengan produsen swasta untuk memperoleh hak istimewa. Tetapi para produsen jasa publik ini terpisah dari organisasi manajemen yang menentukan kebijakan. Upaya mengarahkan membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Upaya mengayuh membutuhkan orang yang secara-sungguh-sungguh memfokuskan pada satu misi dan melakukannya dengan baik. Kedua, pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan rakyat akan pemerintah. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketika pemerintah mendorong kepemilikan dan kontrol ke dalam masyarakat, tanggung jawabnya belum berakhir. Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi. Ketiga, pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, bila pemerintah berperan sebagai pelayan tidak hanya menyebabkan sumberdaya pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif. Di antara keuntungan paling nyata dari kompetisi adalah efisiensi yang lebih besar sehingga mendatangkan lebih banyak uang, kompetisi memaksa monopoli pemerintah (atau swasta) untuk merespon segala kebutuhan

pelanggannya, kompetisi menghargai inovasi, dan kompetisi membangkitkan rasa harga diri dan semangat juang pegawai negeri. Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Artinya, pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban dan bertele-tele. Oleh karena itu, pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan, aparatur pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut. Di antara keunggulan pemerintah yang digerakkan oleh misi adalah lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, dan lebih mempunyai semangat yang tinggi ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh aturan. Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan. Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah dibiayai berdasarkan masukan (income), maka sedikit sekali alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai berdasarkan hasil (outcome), mereka menjadi obsesif pada prestasi. Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat otoritas. Tanpa orientasi hasil, pemerintahan yang birokratis jarang sekali mencapai keberhasilan. Mereka lebih banyak mengeluarkan dana untuk pendidikan, namun nilai tes dan angka putus sekolah nyaris tidak berubah. Mereka mengeluarkan lebih banyak untuk polisi dan penjara, namun angka kejahatan terus meningkat. Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan boirokrasi. Artinya, pemerintah harus belajar dari sektor bisnis di mana jika tidak fokus dan perhatian pada pelanggan (customer), maka warga negara tidak akan puas dengan pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu, pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan secara cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan berbagai metode yang lain. Tradisi pejabat birokrasi selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani warga masyarakat yang datang kepadanya. Tradisi ini harus diubah dengan menghargai mereka sebagai warga negara yang berdaulat dan harus diperlakukan dengan baik dan wajar. Di antara keunggulan sistem berorientasi pada pelanggan adalah memaksa pemberi jasa untuk bertanggung jawab kepada pelanggannya, mendepolitisasi keputusan terhadap

pilihan pemberi jasa, merangsang lebih banyak inovasi, memberi kesempatan kepada warga untuk memilih di antara berbagai macam pelayanan, tidak boros karena pasokan disesuaikan dengan permintaan, mendorong untuk menjadi pelanggan yang berkomitmen, dan menciptakan peluang lebih besar bagi keadilan. Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan. Artinya, sebenarnya pemerintah mengalami masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit tersebut. Dengan melembagakan konsep profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh menetapkan biaya untuk public service dan dana yang terkumpul digunakan untuk investasi membiayai inoasi-inovasi di bidang pelayanan publik yang lain. Dengan cara ini, pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil, meski dalam situasi keuangan yang sulit. Kedelapan, pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati. Artinya, pemerintahan tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi. Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan, untuk mencegah kebakaran. Pola pencegahan (preventif) harus dikedepankan dari pada pengobatan mengingat persoalan-persoalan publik saat ini semakin kompleks, jika tidak diubah (masih berorientasi pada pengobatan) maka pemerintah akan kehilangan kapasitasnya untuk memberikan respon atas masalah-masalah publik yang muncul. Kesembilan, pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. Artinya, pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan pekerja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi sangat diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan. Tak ada waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke rantai komando dan keputusan untuk turun. Beban keputusan harus dibagi kepada lebih banyak orang, yang

memungkinkan keputusan dibuat "ke bawah" atau pada "pinggiran" ketimbang menngonsentrasikannya pada pusat atau level atas. Kerjasama antara sektor pemerintah, sektor bisnis dan sektor civil socity perlu digalakkan untuk membentuk tim kerja dalam pelayanan publik. Terakhir, prinsip yang kesepuluh adalah pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. Artinya, daripada beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama. Dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik, 10 prinsip di atas seharusnya dijalankan oleh pemerintah sekaligus, dikumpulkan semua menjadi satu dalam sistem pemerintahan, sehingga pelayanan publik yang dilakukan bisa berjalan lebih optimal dan maksimal. 10 prinsip tersebut bertujuan untuk menciptakan organisasi pelayanan publik yang smaller (kecil, efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif) cheaper (operasionalnya murah) dan kompetitif. Dengan demikian, pelayanan publik oleh birokrasi kita bisa menjadi lebih optimal dan akuntabel. Kesimpulan Buruknya pelayanan public seperti mengguritanya pungli, korupsi, kolusi, nepotisme, diskriminasi pelayanan, proseduralisme dan sebagainya, telah mengakibatkan terpuruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintahan kita. Buruknya pelayanan publik tidak hanya pada masa orde baru yang sentralistik, tapi juga masih menggurita pada masa reformasi sebagaimana hasil penelitian dan penilaian Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002 di atas. Reinventing Government yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler menggagas sebuah solusi dalam konteks optimalisasi pelayanan publik. 10 prinsip yang terkandung di dalamnya, yakni pemerintah seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh,

memberi wewenang ketimbang melayani, menyuktikkan persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan, digerakkan oleh misi bukan peraturan, berorientasi pada hasil (outcome) bukan masukan (income), berorientasi pada pelanggan bukan pada birokrasi, menghasilkan ketimbang membelanjakan, mencegah ketimbang mengobati, desentralisasi dan pemerintah berorientasi pasar, seharusnya diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Reinventing Government, tentu harus disesuaikan dengan sosiokultur kita, bisa menjadi solusi alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas pelayannan public sesuai dengan harapan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, terj. Abdul Rasyid, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1996. David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj. Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000. 2. Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public Service: Serving, not Steering, New York: ANSI, 2002. Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Classics of Public Administration, USA: Harcourt Brace & company, 1978. 3. Waluyo, S.Sos, M.Si, Manajemen Publik, Konsep, Aplikasi dan Implemenasinya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Bandung, Mandar Maju, 2007 4. Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, cet. keviii, 2003. 5. Inu Kencana Syafi'i, dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka cipta, 1999. 6. Yeremias T. Keban, Prof. Dr. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu, Yogyakarta, Gaya Media, 2008 *Penulis adalah Widyaiswara Madya di Balai Diklat Keagamaan Medan