Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah
2
3 Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah
4
5 Daftar Isi Kata pengantar 7 Ucapan Terima Kasih 9 Ringkasan eksekutif 11 1. Konteks pertumbuhan rendah karbon 15 2. Estimasi garis dasar emisi saat ini dan di masa mendatang 17 3. Peluang-peluang pengurangan 17 4. Mengembangkan sumber penghidupan berkelanjutan 23 5. Faktor-faktor Pendukung kelembagaan 29 6. Pendanaan yang diperlukan dan sumber-sumber potensial 40 7. Pendekatan pelaksanaan 42 A1. Perkiraan emisi gas rumah kaca 45 Lampiran 45 A2. Perkiraan potensi pengurangan 46 A3. Emisi dari lahan gambut 49 A4. Pembentukan unit persiapan pencegahan perusakan lahan gambut, perusakan deforestasi hutan di Kalimantan Tengah 53 A5.Perhitungan biaya pengurangan 53 A6. Menilai dampak ekonomi terhadap strategi pertumbuhan rendah karbon 56 Daftar pustaka 63
6 Pemikiran tradisional yang ada saat ini adalah pengurangan emisi karbon harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi, yakni dengan pembiayaan lingkungan dan bantuan internasional yang menyediakan suatu bentuk pembayaran kesejahteraan untuk mengkompensasi masyarakat setempat atas kerugian yang mereka alami. Pemikiran tersebut membatasi.
7 Kata pengantar Di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah memberikan beberapa kontribusi penting di dalam perdebatan global perubahan iklim. Sukses menjadi tuan rumah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/United Nations Framework Climate Change Convention (UNFCCC) Konferensi Para Pihak (COP 13) di Bali pada akhir tahun 2007, Indonesia juga menyelenggarakan atau berpartisipasi dalam rangkaian pertemuan tingkat tinggi untuk menjawab isu mengenai penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan sektor kehutanan (LULUCF). Pertemuan Kelompok Kehutanan-11 (Forestry-11 grouping) juga diadakan oleh Indonesia, Kelompok Kerja Informal Pendanaan Sementara REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/Penurunan Emisi dari Pembalakan dan Perusakan Hutan), dan Pertemuan Kepala- Kepala Negara pada bulan April tahun 2009 yang disponsori Prince s Rainforest Project. Pada KTT G-20 yang diselenggarakan pada bulan September 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat, Presiden Yudhoyono menyatakan secara sukarela komitmen Indonesia dengan peta jalan (roadmap) yang disusun pemerintah, akan menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Komitmen ini menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang terbesar pertama yang melakukan hal tersebut. Indonesia mengulangi komitmen target penurunannya pada putaran perundingan COP-15 di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, dan kemudian mengikatkan dirinya dengan Copenhagen Accord bulan Januari 2010. Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim, yang akan menjelaskan secara detil bagaimana Indonesia memenuhi komitmen 26% tersebut. Pemikiran yang umum berkembang saat ini adalah program pengurangan emisi karbon harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi, diikuti pula pemikiran bahwa pembiayaan di bidang lingkungan hidup dan bantuan internasional akan memberikan semacam bentuk pembayaran kesejahteraan, untuk mengkompensasi kerugian masyarakat lokal. Hal ini tidak harus terjadi, karena pada kenyataannya, skema untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan pengrusakan hutan (REDD) yang dimandatkan dalam Konferensi Perubahan Iklim Bali dua tahun lalu dapat membawa Indonesia pada jalur pembangunan yang lebih berkelanjutan, atau yang kita sebut sebagai kesejahteraan rendah karbon. Pemerintah provinsi Indonesia merupakan jantung dari kesejahteraan rendah karbon ini. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, di bawah kepemipinan Gubernur A. Teras Narang dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah menjalankan analisis kesejahteraan rendah karbon, untuk memberikan dasar kuantitatif pada diskusi mengenai peluang-peluang untuk menurunkan emisi GRK pada tingkat provinsi, dan pada saat yang bersamaan masih mampu mencapai sasaran pembangunan ekonomi daerah. Laporan ini mengevaluasi potensi kesejahteraan rendah karbon di Kalimantan Tengah yang menerapkan tiga langkah pendekatan. Pertama, memberikan penilaian berdasarkan fakta atas emisi GRK saat ini dan kemungkinan di masa mendatang untuk provinsi. Kedua, menguraikan aksiaksi potensial untuk menurukan emisi, volume relatif dari tiap aksi pengurangan tersebut dan sebuah indikasi dari biaya (pencapaian) dari tiap tindakan tersebut. Ketiga, dan yang terpenting, menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan baru yang akan memberikan sumber penghidupan berkelanjutan jangka panjang bagi penduduk setempat, yaitu penghidupan beremisi karbon yang lebih rendah daripada penghidupan saat ini, dan mengurangi tekanan terhadap kemampuan asli provinsi.
8 Harapan kami, pekerjaan ini akan membangun momentum penurunan karbon dioksida (CO2) di Indonesia, dan menjadikan Kalimantan Tengah sebagai contoh kasus,untuk mengkombinasikan pengurangan karbon dengan pertumbuhan ekonomi dan kemudian memberikan inspirasi kepada provinsi-provinsi lain di Indonesia dan di kawasan lain, tentang potensi kesejahteraan rendah karbon. Lebih praktisnya, rancangan sebuah model yang dapat dilaksanakan untuk mencapai pengurangan karbon dan pertumbuhan ekonomi akan membantu Indonesia dan Kalimantan Tengah menjadi lebih baik dalam mengidentifikasi dan menentukan tahapan investasi yang dibutuhkan, serta jauh lebih efektif dalam menggalang dana dari sumber-sumber dana mitigasi iklim global.
9 Ucapan Terima Kasih Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan DNPI ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Agence Française de Développement (AFD), the Climate Works Foundation, Pemerintah Norwegia, dan Packard Foundation yang mendanai sebagian upaya pengembangan strategi pertumbuhan rendah karbon di Provinsi Kalimantan Tengah. Pemerintah Kalimantan Tengah dan DNPI juga ingin memberikan ucapan terima kasih yang dalam terhadap McKinsey & Company atas dukungan analisisnya terkait dengan studi ini, khususnya pada penerapan metode pengurangan gas rumah kaca, untuk konteks provinsi dan tingkat nasional. Pemerintah Kalimantan Tengah dan DNPI juga ingin berterimakasih kepada lebih dari 100 staf pemerintah, sektor swasta, dan LSM yang kontribusi penting terhadap proyek ini, melalui berbagai lokakarya dan pertemuan. Walaupun metode pengurangan gas rumah kaca ini adalah milik McKinsey, tetapi data dan masukan berasal dari banyak pemangku kepentingan dan sumber informasi. Kesimpulan dan hasil yang dijabarkan dalam laporan ini menjadi milik eksklusif DNPI dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. AKHIR KATA KAMI JUGA MENYAMPAIKAN RASA TERIMA KASIH YANG BESAR KEPADA BRR NAD NIAS UNTUK IZIN PENGGUNAAN GAMBAR-GAMBAR PADA SAMPUL DEPAN.
10 Dalam rangka menempatkan ekonomi Kalimantan Tengah ke lintasan pertumbuhan karbon rendah, upaya-upaya mitigasi harus digabungkan dengan pengembangan sumber tambahan pertumbuhan ekonomi untuk menyediakan mata pencaharian berkelanjutan bagi penduduk setempat.
11 Ringkasan eksekutif Dalam skenario bisnis seperti biasa/business As Usual (BAU), Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor emisi gas rumah kaca yang signifikan di Indonesia sampai tahun 2030. Emisi GHG tahunan Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 setara dengan sekitar 15 persen dari total emisi Indonesia. Penggunaan Lahan dan Gambut, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (LULUCF) sejauh ini adalah kontributor emisi terbesar Kalimantan Tengah, mewakili 98 persen dari total emisi provinsi ini. Apabila tidak terdapat perubahan dalam cara pengelolaan sektor-sektor beremisi tinggi, emisi netto Kalimantan Tengah diperkirakan akan meningkat sampai dengan 18 persen antara tahun 2005 dan 2030 dari 292 menjadi 340 MtCO2e. Kalimantan Tengah memiliki potensi pengurangan karbon yang besar. Kalimantan Tengah memiliki potensi penurunan emisi GRK hingga mencapai 282 MtCO2e, dengan perpaduan yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional. Dari kemungkinan-kemungkinan penurunan ini, 50 persen datang dari upaya-upaya terkait konservasi lahan gambut dan 48 persen berasal dari sektor LULUCF. Lima peluang penurunan karbon terbesar mewakili 80 persen total potensi pengurangan Kalimantan Tengah, adalah: (1) Mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut; (2) Mengurangi deforestasi hutan melalui penggunaan lahan yang lebih efektif, kebijakan-kebijakan alokasi lahan dan dengan meningkatkan produktivitas pertanian; (3) Merehabilitasi lahan gambut yang tidak digunakan atau yang rusak; (4) Mengelola hutan secara lestari; dan (5) Melakukan reboisasi. Meskipun keseluruhan kebutuhan pendanaan adalah hal yang substansial, biaya tco2e terkurang adalah relatif rendah. Sebagai contoh, di tahun 2030, total biaya rata-rata per tco2e berada pada kisaran USD 2,40 dan 3,90. Dari total peluang pengurangan yang ada pada tahun 2030, 19 persen adalah peluang-peluang pengurangan yang siap dicapai (dengan potensi penurunan untuk direalisasi hingga tahun 2015) dan sebagian bahkan berasal dari biaya kemasyarakatan yang negatif, 54 persen dicapai dengan mengambil peluang yang sedikit lebih sulit untuk dicapai (tetapi dengan potensi penurunan untuk direalisasi sampai hingga tahun 2020); dan sisanya 27 persen dicapai dengan mengambil peluang-peluang yang sangat menantang, yang kemungkinan relatif mahal dan sulit untuk dicapai. Sumber-sumber pertumbuhan (rendah karbon) akan diperlukan untuk memastikan perkembangan yang berkelanjutan, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja di Kalimantan Tengah Untuk menjadikan perekonomian Kalimantan Tengah ke lintasan pertumbuhan rendah karbon, maka upaya-upaya mitigasi harus dipadukan dengan pengembangan sumber-sumber tambahan pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan penghidupan yang berkelanjutan kepada penduduk lokal. Tujuh peluang pertumbuhan diberikan prioritas berdasarkan potensi dampak 1 Emisi gas rumah kaca biasanya diukur dalam juta ton CO2 setara atau MtCO2e
12 mereka (arti pentingnya saat ini bagi PDB, pertumbuhan masa mendatang, kualitas pekerjaan, dan implikasi untuk emisi karbon) dan kelayakan mereka (yaitu, sesuai dengan kekuatan dan kelemahan lingkungan usaha saat ini): (1) Hasil perkebunan pada lahan non-hutan; (2) Kehutanan lestari; (3) Pertambangan ramah lingkungan; (4) Tanaman pangan pada lahan nonhutan; (5) Budidaya perikanan; (6) Layanan keuangan; dan (7) Ekowisata. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rendah karbon yang sukses, diperlukan transformasi yang signifikan dan lebih luas, baik di dalam pemerintahan maupun di dalam masyarakat Kalimantan Tengah. Gubernur Kalimantan Tengah menerbitkan keputusan tanggal 16 November 2009 tentang pembentukan tim persiapan baru untuk mengkoordinir REDD dan upaya-upaya rehabilitasi lahan gambut di provinsi tersebut. Tim persiapan ini menjadi awal yang sangat baik untuk mengkoordinir kegiatan pertumbuhan rendah karbon yang lebih luas di daerah tersebut. Institusi ini bertanggungjawab secara langsung kepada Gubernur untuk memastikan pandangan dan mandatnya. Sementara institusi baru ini berkembang, maka perlu juga melibatkan representasi dari berbagai tingkat pemerintahan, menetapkan secara jelas hubungan dan hak pengambilan keputusan dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dan mengembangkan manajemen kinerja yang tepat atas beberapa hasil prioritas. Institusi baru ini juga akan perlu untuk mendukung Kalimantan Tengah dalam enam fungsi kunci: (1) Menarik, mengelola dan mendistribusikan pembiayaan internasional untuk pembangunan rendah karbon secara transparan, adil dan efisien; (2) Memberikan dukungan teknis untuk menetapkan garis dasar/baseline tingkat provinsi dan standar yang tepat untuk pemantauan, pelaporan dan verifikasi; (3) Mengembangkan tanggapan pengaturan untuk menangani isu-isu penting seperti perencanaan tata ruang dan kepemilikan lahan; (4) Memulai proses-proses untuk melibatkan masyarakat lokal, mendorong perubahan perilaku dan membangun penyelenggaraan oleh masyarakat lokal; (5) Mengembangkan prasarana penting untuk mendukung penurunan emisi dan penghidupan yang berkelanjutan; dan (6) Merancang strategi-strategi dengan sektor swasta untuk mendukung pertumbuhan dan investasi sesuai prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi. Kalimantan tengah akan memerlukan dukungan internasional yang signifikan dalam jangka waktu dekat agar sukses dalam rencana-rencananya untuk menciptakan kesejahteraan rendah karbon. Kalimantan Tengah dalam waktu dekat akan membutuhkan dukungan internasional yang signifikan agar sukses dalam rencana-rencananya untuk menciptakan kesejahteraan rendah karbon. Pada tahun pertama, antara USD 143 dan 236 juta akan diperlukan untuk menetapkan fungsi-fungsi kesiapan dasar, untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Selama periode tahun 2011-2030 biaya operasional akan terus meningkat dan mencapai antara USD 0,78 dan 1,32 milyar di tahun 2030, untuk mendukung implementasi pengurangan karbon dan peluang penghidupan yang berkelanjutan. Walaupun keseluruhan kebutuhan dana merupakan hal yang substansial, biaya per tco2e terkurang relatif rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2030 total biaya pengurangan per tco2e terkurang (termasuk biaya pelaksanaan) berkisar antara USD 2,40 dan 3,90. Sebaliknya, Kurva Biaya Global McKinsey 2 mengestimasi biaya teknis rata-rata globalnya saja 3 (misal, terlepas dari biaya pelaksanaan) berkisar antara USD 3,75 per tco2e terkurang. 2 McKinsey & Company (2009) Pathways to a Low-Carbon Economy: Version 2 of the Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve 3 Makalah ini memperhitungkan berbagai biaya dalam mengevaluasi opsi-opsi pengurangan. Biaya teknis didefinisikan sebagai biaya tambahan teknologi rendah emisi dibandingkan dengan kasus yang menjadi acuan, diukur dengan USD per tco2e emisi terkurang. Biaya teknis mencakup pelunasan tahunan untuk biaya investasi dan biaya operasional dan dengan demikian merupakan biaya proyek murni untuk memasang dan mengoperasikan teknologi rendah karbon. Biaya ini tidak mencakup biaya transaksi maupun
13 Estimasi awal menunjukkan bahwa tanpa dukungan keuangan atau sumber-sumber pertumbuhan ekonomi tambahan, pelaksanaan usaha pengurangan karbon ini dapat menurunkan pendapatan riil per kapita di Kalimantan Tengah hingga 10 persen pada tahun 2030. Hal ini disebabkan usaha tersebut akan menahan sektor-sektor yang menghasilkan karbon ditambah dengan biaya pelaksanaannya. Apabila diperoleh dukungan keuangan yang diperlukan dan dengan mengasumsikan berhasilnya pengambilan peluang-peluang pertumbuhan sektor baru, maka pendapatan rata-rata (riil per kapita) pada tahun 2030 di Kalimantan Tengah dapat meningkat sekitar 13 sampai 17 persen di atas kasus dasar. Implementasi pertumbuhan rendah karbon harus dilakukan secara bertahap. Fase I melibatkan finalisasi strategi pertumbuhan rendah karbon (diringkas dalam laporan ini) yang mengidentifikasi peluang-peluang besar untuk pengurangan dan pertumbuhan sektor baru, tindakantindakan penting yang diperlukan untuk keberhasilan, dan estimasi biaya-biaya terkait. Fase 2 (Mar Des 2010) melibatkan pengembangan struktur-struktur kesiapan dasar untuk menarik pembiayaan internasional dan mendukung pertumbuhan rendah karbon, sementara dilakukan peluncuran beberapa inisiatif pengurangan prioritas. Kegiatan-kegiatan ini mencakup finalisasi struktur organisasi, perekrutan staf unit pelaksana rendah karbon dan penetapan indikator-indikator kinerja kunci (KPI). Fase 3 (Jan Des 2011) melibatkan peluncuran program percontohan untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Setelah percontohan dan tinjauan pelajaran-pelajaran yang diperoleh, digambarkan bahwa akan terdapat pembangunan progresif percontohan-percontohan lain pada tahun 2012, dengan transisi yang menuju pendekatan di tingkat provinsi pada tahun 2013. biaya masyarakat (mis. Hilangnya layanan biosistem seperti pasokan air bersih dan segar dari hutan).biaya pengurangan total mencakup biaya teknsi seperti yang disebutkan di atas dan biaya implementasi, namun tidak termasuk biaya masyarakat. Pada akhirnya biaya peluang mengacu kepada total pendapatan sebuah badan yang hilang karena berpindah menggunakan teknologi, perilaku, alternatif dan teknologi rendah emisi.
D FT RA 14
15 1. Konteks pertumbuhan rendah karbon Kekayaan alam di Kalimantan Tengah menghadapi tantangan yang besar yaitu bagaimana mencapai pembangunan sosial dan manusia yang berkelanjutan. Penghasilan rata-rata di Provinsi Kalimantan Tengah lebih rendah daripada penghasilan rata-rata Indonesia, dan sangat bergantung pada industri-industri galian (misalnya, lebih dari sepertiga pertumbuhan PDB saat ini berasal dari sektor pertambangan). Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila Pemerintah Kalimantan Tengah meletakkan fokus pada pembangunan ekonomi dan perbaikan penghidupan masyarakatnya. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, Kalimantan tengah mengambil peran yang besar dalam memberantas sumber-sumber antropogenik (yang disebabkan oleh manusia) perubahan iklim, terutama yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan. Kalimantan Tengah memiliki komitmen untuk bergerak menuju jalur pembangunan yang selaras dengan iklim, yang menyesuaikan pembangunan ekonomi dengan penurunan perubahan iklim. Pembangunan yang selaras dengan iklim memiliki potensi untuk memperluas dasar perekonomian Kalimantan Tengah, mengurangi ketergantungan pada ekspor sumber daya primer dan meningkatkan penghidupan yang berkelanjutan bagi pada petani rakyat dan masyarakat hutan. Untuk mencapai pembangunan yang selaras dengan iklim akan diperlukan perubahan yang besar terhadap struktur perekonomian Kalimantan Tengah, perencanaan penggunaan lahan dan kebijakan pemerintah. Diperlukan pula pola pikir yang baru yang terfokus pada pembangunan ramah lingkungan jangka panjang di dalam pemerintahan, masyarakat bisnis, dan sektor nirlaba. Strategi pertumbuhan rendah karbon yang dijelaskan dalam laporan ini merupakan langkah awal dalam proses yang jauh lebih panjang untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Tengah yang berkelanjutan. Terdapat tiga elemen inti (Gambar 1) yaitu: 1. Mitigasi CO2: Mengestimasi ukuran emisi saat ini dan masa mendatang; menilai potensi pengurangan teknis dan kelayakan sarana pengurangan; mengembangkan rencana aksi untuk menangkap peluang-peluang pengurangan prioritas. 2. Pembangunan Ekonomi: Menganalisis kekuatan dan kelemahan kompetitif yang ada; memprioritaskan peluang-peluang pertumbuhan berdasarkan dampak (termasuk dampak ekonomi dan lingkungan) dan kelayakan; mengembangkan rencana aksi untuk menangkap peluang-peluang pertumbuhan prioritas. 3. Faktor-faktor pendukung kelembagaan: Mengembangkan strategi bagi pendukungpendukung penting yang akan menyokong keberhasilan strategi pertumbuhan rendah karbon (misalnya, lembaga-lembaga baru, pemantauan dan evaluasi, mekanisme distribusi keuangan, perencanaan tata ruang). Selebihnya dari laporan ini menguraikan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Kalimantan Tengah saat ini dalam ketiga wilayah tersebut dan mengidentifikasi beberapa wilayah prioritas tindakan.
16 Kotak 1 Kotak 2 Kunci elemen dari Rencana Pertumbuhan Karbon Rendah Kerangka Rencana Pertumbuhan Rendah Karbon Pembangun an ekonomi Mitigasi CO2 Rencana pertumbuh an karbon rendah Faktorfaktor kelembaga an Elemen kunci Mitigasi CO2 Memperkirakan besar emisi saat ini dan mendatang Menilai teknis potensi pengurangan dan kelayakan, serta biaya pelaksanaan proyek mitigasi individu. Pembangunan Ekonomi Menganalisa kekuatan dan kelemahan kompetitif yang ada Jelajahi sumber-sumber potensi pertumbuhan yang baru (membutuhkan emisi karbon lebih sedikit) Faktor-faktor Kelembagaan Mengembangkan strategi untuk faktor-faktor pendorong penting (misalnya, pemantauan dan evaluasi, perencanaan tata ruang, pelibatan masyarakat) Menghitung biaya total untuk mewujudkan peluang tersebut. Emisi Kalimantan Tengah diperkirakan meningkat dari 292 menjadi 340 MtCO 2 e antara tahun 2005 hingga 2030 Proyeksi emisi bersih, Juta ton CO 2 e Transportasi Listrik Kehutanan 1 Gambut 340 313 0 4 6 1 292 0 2 5 1 4 1 1 0 88 94 101 214 230 185 1 Semen Pertanian 2 Bangunan 4 PRELIMINARY 2005 1 Emisi bersin memungkinkan penyerapan kapasitas hutan SOURCE: DNPI Indonesia Cost Curve; team analysis 2020 Pembagian emisi total Indonesia 2030 15.0% 10.8%
17 2. Estimasi garis dasar emisi saat ini dan di masa mendatang Dalam skenario bisnis seperti biasa, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia sampai tahun 2030. Emisi gas rumah kaca tahunan Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 4 setara dengan sekitar 15 persen dari total emisi Indonesia. Gambut dan LULUCF sejauh ini adalah kontributor terbesar terhadap emisi Kalimantan Tengah, mewakili sampai 98 persen total emisi provinsi yang bersangkutan. 5 Emisi-emisi yang berasal dari LULUCF dan lahan gambut tersebut dihasilkan oleh deforestasi dan perusakan hutan juga dari kebakaran dan dekomposisi gambut. Apabila tidak terdapat perubahan dalam cara pengelolaan sektor-sektor tersebut, emisi netto Kalimantan Tengah diperkirakan akan meningkat sampai dengan 18 persen antara tahun 2005 dan 2030 - dari 292 menjadi 340 MtCO2e, sebagian besar dari peningkatan emisi yang berasal dari pengrusakan lahan gambutnya (Gambar 2). 3. Peluang-peluang pengurangan Kalimantan Tengah memiliki potensi yang besar dalam pengurangan karbon. Kalimantan Tengah memiliki potensi untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya sampai dengan sebanyak 282 MtCO2e, 6 dengan perpaduan yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional. Dari kemungkinan-kemungkinan penurunan ini, 50 persen dapat berasal dari upaya-upaya terkait dengan konservasi lahan gambut dan 48 persen berasal dari sektor LULUCF (Gambar 3). Lima peluang penurunan karbon mewakili lebih dari 95 persen dari total potensi pengurangan Kalimantan Tengah (Gambar 4). Peluang-peluang ini dideskripsikan secara lebih mendetil di bawah. 1. Mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut (86 MtCO2): Pencegahan kebakaran hutan memiliki potensi terbesar untuk menurunkan emisi Kalimantan Tengah dimana biaya kemasyarakatannya relatif rendah, yaitu dibawah USD 1 setiap tco2e yang terkurangi (belum termasuk biaya-biaya pelaksanaan). Penurunan emisi yang utama dapat dicapai melalui mengurangi emisi dari pembakaran hutan dengan melarang pembakaran sebagai alat untuk persiapan lahan, menyediakan peralatan yang tepat dan praktis (dan dimungkinkan pula insentif keuangan) untuk pembersihan lahan manual, mengembangkan sistem-sistem peringatan dini yang sesuai berdasarkan status risiko kebakaran dan deteksi kebakaran berbasis lapangan, memperkuat pasukan pemadam kebakaran, memastikan pelaksanaan yang kuat dan denda yang besar untuk pelanggaran aturan, dan membangun kesadaran publik akan akibat-akibat ekonomi dan sosial dari pembakaran hutan. Rencana-rencana yang telah ada untuk mengatasi kebakaran, seperti Deklarasi Palangkaraya 2006 tentang Pembakaran Hutan dan Lahan (yang menghasilkan rencana aksi yang berfokus 4 Emisi gas rumah kaca umumnya diukur dalam jutaan ton setara karbon dioksida atau MtCO2e. 5 Lampiran 1 berisi deskripsi metodologi yang digunakan untuk mengestimasi emisi Kalimantan Tengah saat ini dan di masa mendatang. 6 Secara teknis, potensi keseluruhan pengurangan yang dicapai bahkan bisa lebih tinggi lagi dan bisa sampai 340 MtCO2e, namun hal tersebut membutuhkan investasi tambahan yang sangat besar di infrastruktur dan dalam peningkatan kapasitas pemerintah
18 Kotak 3 Kotak 4 Potensi pengurangan terbesar adalah di gambut dan LULUCF Gambut LULUCF Pertanian Transportasi Daya Bangunan Semen Potensi pengurangan MtCO 2 e / tahun 1 1 0 0 4 SOURCE: DNPI Indonesia Cost Curve; team analysis 141 135 PRELIMINARY Pembagian total potensi pengurangan; Persen Kalimantan Tengah Indonesia 49.9 35.8 47.9 0.3 0.1 0.0 45.9 1.3 4.0 3.7 0.5 8.4 Tertuju pada 5 peluang pengurangan terbesar dapat berpotensi mengubah Kalimantan Tengahmenjadi net absorber emisi Proyeksi potensi pengurangan, Juta ton CO2e 341 86 78 53 42 13 59 9 1 2 3 4 5 1.8 0.4 PRELIMINARY 2030 BAU Pencegahan Penggunaan Rehabilitasi Pengelolaan Reboisasi kebakaran lahan lahan hutan gambut berkesinambungan Lainnya Emisi rendah 2030 Persentase total potensi pengurangan 30 28 19 15 5 3 SOURCE: DNPI Indonesia Cost Curve; team analysis
19 2. pada pembangunan kesadaran, pengembangan pengetahuan lokal dalam persiapan lahan, mengembangkan sistem peringatan dini, dan memperkenalkan sistem penghargaan bagi desa-desa yang bebas pembakaran) menggarisbawahi kebutuhan untuk melibatkan masyarakat setempat sejak awal melalui interaksi yang sudah berlangsung sampai saat ini, sumber daya keuangan yang tepat dan mekanisme pendanaanya, tanggung jawab yang jelas, dan kepemimpinan yang kuat untuk memastikan dampaknya. 7 Perlu dicatat bahwa potensi teknis maksimum untuk penurunan CO2e melalui pencegahan kebakaran dapat mencapai 140 Mt CO2e apabila semua kebakaran antropogenik di Kalimantan Tengah dapat ditekan. Namun demikian, hal ini akan memerlukan investasi yang sangat besar dalam bidang prasarana dan program-program pencegahan kebakaran lintas provinsi yang sangat luas dan terpencil secara geografis. Mengurangi pembalakan hutan dengan kebijakan-kebijakan alokasi dan penggunaan lahan yang lebih efektif dan meningkatkan produktivitas pertanian (78 MtCO2): Penurunan emisi yang disebabkan oleh pembalakan hutan dapat dicapai melalui dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang pertama pada dasarnya merupakan pendekatan REDD. Pendekatan ini mentargetkan para pemilik lahan dan membayar mereka untuk tidak memulai kegiatan ekonomi, seperti mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman pertanian lainnya. Pendekatan ini memerlukan biaya yang relatif tinggi, misalnya, berkisar USD 30 per tco2e terhindari dalam kasus kelapa sawit. Sebuah pendekatan alternatif adalah dengan mengurangi emisi dari pembalakan hutan melalui alokasi lahan yang lebih efisien dan lestari sebagai contoh dengan menggunakan lahan yang telah rusak dan bukan lahan hutan untuk lahan pertanian yang baru dan dengan membatasi atau menghentikan ekspansi pertanian ke lahan gambut yang lebih dalam lagi. Pendekatan ini juga akan menekankan peningkatan produktivitas pertanian pada lahan-lahan yang ada melalui pelatihan para petani atas teknik-teknik intensifikasi pertanian dan dengan melakukan diversifikasi terhadap pilihan tanaman. Sementara kegiatan-kegiatan ini juga membutuhkan biaya, tetapi diasumsikan jauh lebih rendah daripada membayar pemilik lahan atas penghasilan mereka yang tidak mereka terima. Keuntungan lainnya adalah bahwa kegiatan-kegiatan ini akan membantu mempertahankan atau meningkatkan pembangunan ekonomi di provinsi terkait. Memastikan alokasi lahan yang efektif merupakan tantangan tersendiri, karena adanya isu-isu sifat lintas yurisdiksi kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang. 8 Peningkatan kolaborasi antara pemerintah tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota akan menjadi penting untuk memperbaiki perencanaan ruang dan harus didukung oleh analisis teknis yang mendetil, yang dapat memberikan penilaian yang akurat tentang alokasi lahan saat ini dan menilai potensi manfaat ekonomi penggunaan jenis-jenis lahan berbeda untuk kegiatan-kegiatan yang berbeda. Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem penetapan kepemilikan lahan untuk mendaftar akta-akta dan wilayah-wilayah peta, dengan dukungan keterlibatan masyarakat yang kuat. 9 Untuk menciptakan dampak jangka pendek, Kalimantan Tengah harus mengganti izin pertanian yang tidak aktif menjadi wilayah-wilayah non-gambut. Produktivitas lahan-lahan yang ada dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pembagian pengetahuan tentang praktik- 7 Lihat juga Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah EMRP Laporan Teknis 1: Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Eks-Wilayah Proyek Mega Rice, yang memberikan deskripsi status pengelolaan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah dan wilayah EMRP termasuk tindakan-tindakan yang direkomendasikan. 8 Pemerintah Kalimantan Tengah baru-baru ini telah menyerahkan proposal perencanaan tata ruang kepada Departemen Kehutanan yang saat ini sedang dalam peninjauan. 9 Analisis lebih lanjut atas isu-isu kepemilikan lahan dan perencanaan ruang diberikan dalam Bagian 4 Pendukung-Pendukung Kelembagaan.
20 3. praktik pertanian yang berkelanjutan dan berproduktivitas tinggi. Rencana induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks-Wilayah Mega Rice (Kotak 1) 10 mencatat bahwa saat ini terdapat pembagian pengetahuan yang terbatas antara para petani dan penyerapan yang relatif kecil tentang penelitian pertanian terbaru mengenai layanan tambahan. Akses kepada layanan tambahan juga nampaknya terbatas di wilayah-wilayah yang lebih terpencil (misalnya rencana induk untuk Eks-Wilayah Mega Rice memperkirakan bahwa saat ini terdapat satu pekerja layanan tambahan per 17.000 hektar atau seluas area bagi 1.000 rumah tangga petani). 11 Serupa dengan kasus pencegahan kebakaran, potensi pengurangan teknis maksimum untuk menurunkan emisi yang disebabkan oleh deforestasi hutan melalui penggunaan lahan yang lebih efektif dan alokasi lahan lebih tinggi daripada estimasi potensi yang digunakan dalam laporan ini, dan dapat mencapai 97 MtCO2e pada tahun 2030. Namun demikian, karena sebagian besar peluang pengurangan ini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan petani rakyat, maka terdapat tantangan yang besar yang harus diatasi untuk mencapai potensi teknis penuh. Melihat jumlah, penyebaran dan tingkat keterpencilan petani di Kalimantan Tengah, maka potensi teknis penuh nampaknya tidak dapat dicapai pada tahun 2030. Merehabilitasi lahan gambut yang tidak digunakan atau rusak (53 MtCO2): Mengurangi emisi lahan gambut melalui reboisasi dan rehabilitasi fungsi hidrologi dari lahan gambut yang rusak yang tidak memiliki nilai produksi makanan dan untuk lahan-lahan yang dilindungi oleh hukum. 12 Di sini, para pendukung kunci akan menetapkan pedoman untuk proses-proses pembasahan kembali, mensponsori riset lokal terhadap manfaat dan biaya proses-proses rehabilitasi gambut alternatif (dengan potensi untuk menciptakan pusat keunggulan lokal), dan berkoordinasi dengan pemerintah nasional untuk memastikan bahwa emisi gambut dimasukkan ke dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim internasional. Dalam praktiknya, supaya usaha ini berkelanjutan di jangka panjang, penurunan emisi melalui pembasahan kembali lahan gambut yang rusak juga harus disertai oleh pencegahan dan pengelolaan kebakaran yang efektif serta upaya-upaya untuk mendorong proses-proses reboisasi. Kotak 1: Rencana induk untuk Eks-Proyek Mega Rice (EMRP) Pada awal tahun 1995, Proyek Mega Rice ditujukan untuk meningkatkan produksi beras di lahan gambut dan dataran rendah Kalimantan Tengah. Wilayah tersebut mencakup 1,4 juta hektar (sekitar 10 persen dari total wilayah Kalimantan Tengah) dan permukiman untuk 25 persen penduduk provinsi itu. Pengeringan ekstensif lahan-lahan gambut dan deforestasi hutan untuk proyek tersebut, telah merusak lahan gambut dan menimbulkan risiko tinggi kebakaran. Kebakaran luas yang terjadi di wilayah tersebut selama musim kering yang berkepanjangan tahun 1997-1998, 2002, dan 2006. Mematuhi Instruksi Presiden (Inpres), Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks-Wilayah Proyek Mega Rice dikembangkan dengan dukungan dari pemerintah Belanda untuk memberikan kerangka kerja strategis untuk merevitalisasi daerah dan menurunkan kerusakan lingkungan hidup. Rencana Induk memiliki enam program utama: (1) Pencegahan dan pengelolaan kebakaran; (2) Pengelolaan ruang dan prasarana; (3) pengelolaan dan konservasi lahan gambut yang berkelanjutan; (4) Revitalisasi pertanian; (5) Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan sosial ekonomi; (6) Pengembangan kelembagaan dan pengembangan kapasitas. 10 Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks-Wilayah Proyek Mega Rice Kalimantan Tengah, Oktober 2008. 11 Indonesia secara keseluruhan diperkirakan memiliki 1 ahli layanan tambahan untuk setiap 1.667 petani, versus, sebagai contoh, 1:625 di Cina dan 1:476 di Ethiopia. 12 Lampiran 3 memberikan tinjauan tentang emisi gambut dan terkait gambut.