TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id email: mlg@jasatirta1.go.id 1. PENDAHULUAN Kali Brantas yang terletak di Provinsi Jawa Timur mempunyai panjang 320 km dan memiliki DAS seluas 12.000 km 2 yang mencakup kurang lebih 25% luas Provinsi Jawa Timur. Curah hujan rerata di DAS Kali Brantas sebesar 2.000 mm/tahun yang menghasilkan potensi air permukaan sebesar 12 miliar m 3 per-tahun. Pengembangan SDA di DAS Kali Brantas dimulai tahun 1961 dilakukan dengan pendekatan yang terencana, terpadu, menyeluruh, berkesinambungan dan berwawasan lingkungan serta dengan sistem pengelolaan terpadu berlandaskan prinsip satu sungai, satu rencana terpadu, satu manajemen terkoordinasi. Pengembangan SDA di DAS Kali Brantas dilaksanakan berdasar pada suatu Rencana Induk (Master Plan) yang ditinjau kembali pada setiap jangka waktu kurang lebih 10 tahun sekali, dimulai dari Rencana Induk I (tahun 1961). Sampai dengan saat ini telah disusun 4 (empat) buah Rencana Induk. Yang terakhir adalah Rencana Induk IV (tahun 1998) yang dititikberatkan pada manajemen dan konservasi SDA guna meningkatkan kelestarian dan optimalisasi penggunaannya. Hasil pembangunan, berupa sejumlah prasarana sumber daya air antara lain: waduk/ bendungan (Sengguruh, Sutami, Lahor, Wlingi, Selorejo, Bening dan Wonorejo), bendung (Lodoyo, Mrican, Lengkong Baru, Gunungsari, Gubeng, Segawe dan Tiudan) dan bendung karet (Menturus dan Jatimlerek), terowong, tanggul, dan lain sebagainya. Prasarana sumber daya air yang telah dibangun di DAS Kali Brantas adalah sebesar total investasi yang tertanam untuk pengembangan wilayah sungai Kali Brantas sejak tahun 1960 2000 telah mencapai Rp 7,9 triliun. Manfaat yang diperoleh antara lain dapat mengendalikan banjir 50 tahunan di sungai utama seluas 60.000 ha, mengairi sawah seluas 121.000 ha yang di jamin dari waduk (dari total sawah seluas 304.000 ha), menghasilkan energi listrik setara 1 miliar kwh/tahun, menyediakan air baku untuk industri 120 juta m 3 /tahun dan PDAM 269 juta m 3 /tahun. Manfaat lain adalah penyediaan sarana pariwisata dan lain sebagainya. 2. PERMASALAHAN POKOK Pengembangan DAS Kali Brantas di samping memberikan hasil yang positif namun ditemui pula hal-hal yang kurang menggembirakan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan terbatasnya lapangan kerja yang tersedia, maka dampaknya adalah eksploitasi sumber daya 1 Disampaikan pada Diskusi Terbatas Masalah dan Model Penanganan Daerah Kritis di Jawa Timur tanggal 15 Nopember 2005, Balitbang Propinsi Jawa Timur 1
alam tanpa memperhatikan akibat yang akan ditimbulkan pada lingkungan sehingga terjadi degadrasi DAS. Kondisi daerah tangkapan hujan di bagian hulu memburuk akibat penebangan liar dan pengelolaan lahan yang tidak mengindahkan aspek konservasi tanah. Hal ini menyebabkan peningkatan erosi lahan yang kemudian akan mengakibatkan peningkatan sedimentasi di waduk, berkurangnya volume efektif waduk, penurunan base-flow pada musim kemarau panjang, kekeringan pada musim kemarau, dan terjadinya banjir bandang di musim penghujan. Permasalahan pokok lain yang terjadi adalah degradasi dasar sungai di Brantas Tengah dan Kali Porong, penurunan kualitas air dan pencemaran di waduk dan badan sungai di daerah perkotaan. 3. KONDISI DAS KALI BRANTAS BAGIAN HULU DAS Kali Brantas Hulu merupakan daerah tangkapan hujan yang kondisinya sangat memprihatinkan. DAS Kali Brantas Hulu terdiri dari sub DAS Brantas hulu (182 km 2 ), Amprong (348 km 2 ), Bango (262 km 2 ), Metro (309 km 2 ), Lahor (188 km 2 )dan Lesti (608 km 2 ). Dalam Watershed Conservation Master Plan yang disusun pada Pebruari 2005 sebagai bagian dari Water Resources Existing Facilities Rehabilitation and Capacity Improvement Project (JBIC Loan No. IP-510) ada 4 (empat) sub DAS yang menjadi target program konservasi yaitu Kali Brantas hulu, Kali Brangkal, Kali Lekso dan Kali Konto. Keempat sub DAS tersebut merupakan daerah yang mempunyai potensi tinggi terjadinya erosi. Di Kali Brantas dan Kali Brangkal bagian hulu telah mengalami kejadian banjir lumpur yang sangat parah karena hujan deras yang terjadi pada tanggal 3-4 Pebruari 2004. Sub DAS Brantas Hulu Gambar 1 Lokasi DAS Kali Brantas Hulu 2
Tata Guna Lahan Tata guna lahan di DAS Kali Brantas bagian hulu sangat bervariasi yang tersebar pada seluruh wilayah tersebut. Tata guna lahan di DAS Kali Brantas bagian hulu adalah hutan, semak belukar, perkebunan, lahan kering, daerah genangan dan pemukiman. Kondisi tata guna lahan di Brantas hulu dapat dilihat pada Gambar 2. Tata guna lahan di Brantas Hulu terdiri dari lahan fungsi hutan 42,41 km 2 (23%), semak 29,67 km 2 (16%), lahan rumput 1,66 km 2 (1%), perkebunan 9,10 km 2 (5%), lahan kering 52,23 km 2 (29%), lahan kering 1,62 km 2 (1%), sawah 24,72 km 2 (14%) dan pemukiman 20,95 km 2 (12%). Kondisi hutan yang ada di DAS Kali Brantas bagian hulu sudah sangat memprihatinkan karena banyaknya kegiatan illegal logging yang dilakukan di wilayah ini. Di sub DAS Brantas hulu, sejak tahun 1980 an, luas area hutan telah berkurang sebesar 33% seperti terlihat pada Gambar 3. Erosi Gambar 2 Kondisi Tata Guna Lahan di DAS Brantas Bagian Hulu Erosi pada sub DAS Amprong, Bango dan Brantas Bagian Hulu berdasarkan studi BRLKT Brantas tahun 2003 diketahui bahwa erosi tertinggi sebesar 2.268 ton/ha/tahun terjadi di DAS Amprong. Jika dibandingkan dengan kondisi tahun 1980 an, pada sub DAS Amprong, Bango dan Brantas Bagian Hulu menunjukkan erosinya meningkat hampir 300%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut telah mengalami degradasi yang sangat signifikan. Secara lengkap besarnya erosi yang terjadi di DAS Kali Brantas Bagian Hulu dapat dilihat pada Tabel 1. 3
Tabel 1 Erosi di DAS Kali Brantas Bagian Hulu Luas Laju Erosi No. Sub DAS (km 2 A=RKLSCP ) ton/ha/tahun m 3 /km 2 /tahun mm/tahun m 3 /tahun 1 Brantas Hulu 182 108,20 6.009,20 6,00 1.093.679 2 Bango-Sari 262 60,10 3.337,60 3,30 874.454 3 Amprong 348 172,50 9.585,60 9,60 3.335.779 4 Manten 217 61,70 3.430,20 3,40 744.359 5 Lesti Hulu 258 195.80 10.879,20 10,90 2.806.825 6 Genteng 131 152,50 8.472,00 8,50 1.109.827 7 Lesti Hilir 219 69,70 3.874,70 3,90 848.553 Keterangan: A = besarnya kehilangan tanah persatuan luas lahan, R = faktor erosivitas curah hujan dan air, K = faktor erodibilitas tanah, L = faktor panjang kemiringan lereng, S = faktor gradien (beda) kemiringan, C = faktor (pengelolaan) cara bercocok tanam, P = faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik). Sumber: Water Resources Existing Facilities Rehabilitation and Capacity Improvement Project, Pebruari 2005 Gambar 3 Perubahan Kondisi Hutan di Sub DAS Brantas hulu 4. SEDIMENTASI Seperti dijelaskan diatas, sedimentasi merupakan salah satu masalah pokok yang terjadi di DAS Brantas. Kerusakan hutan yang terjadi di daerah hulu sulit diperbaiki dan memerlukan waktu lama untuk pemulihannya. Waduk Sengguruh dibangun untuk melindungi Waduk Sutami dari sedimentasi. Sebelum Waduk Sengguruh dibangun, Waduk Sutami sempat mengalami sedimentasi sebesar 6,93 juta m 3 /tahun. Setelah Sengguruh dibangun tingkat sedimentasi waduk Sutami turun menjadi 1,79 juta m 3 /tahun. Setelah berfungsi, Waduk Sengguruh menangkap sejumlah besar sedimen, sehingga kapasitas tampungan airnya semakin menyusut. Karena Waduk Sengguruh sudah tidak dapat menampung sedimen lagi, maka sebagian besar sedimen terbawa kembali ke Waduk Sutami dan mengendap di sana. 4
Dari perhitungan, diketahui Waduk Sengguruh dan Sutami mengalami sedimentasi sekitar 5,4 juta m 3 sedimen setiap tahun (1988-2003). Tangkapan sedimen di Waduk Sengguruh (1997-2003) telah menurun menjadi 1,28 juta m 3 /tahun, yang berarti lebih kecil dari perhitungan JICA (1998) sebesar 2,24 juta m 3 /tahun. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah beroperasi selama 31 tahun (s.d. tahun 2003), Waduk Sutami telah kehilangan tampungan efektif-nya sebesar 43,6% (dari 253 juta m 3 menjadi 145,2 juta m 3 ) dengan total sedimen yang masuk waduk sebesar 167,4 juta m 3. Ternyata laju sedimentasi terus meningkat sehingga Waduk Sengguruh yang direncanakan dapat menampung sedimen sebesar 19 juta m 3 dalam kurun waktu 20 tahun, ternyata telah penuh hanya dalam kurun waktu 6 tahun. Kesulitan semakin lengkap, karena yang masuk waduk tidak hanya sedimen, tetapi juga sampah perkotaan dan pokok-pokok kayu dari daerah hulu sungai. Tabel 2 Perubahan Waduk Sutami Tahun Total Persen (%) Efektif Persen (%) Mati Persen (%) 1973 343,00 100,0 253,00 100,0 90,00 100,0 1977 261,68 76,3 194,48 76,9 67,20 74,7 1982 221,29 64,5 167,20 66,1 54,09 60,1 1987 192,41 56,1 152,87 60,4 39,54 43,9 1989 192,39 56,1 152,63 60,3 39,76 44,2 1992 189,97 55,4 154,13 60,9 35,84 39,8 1994 186,27 54,3 151,13 59,7 35,14 39,0 1995 184,59 53,8 149,15 59,0 35,44 39,4 1997 183,42 53,5 147,82 58,4 35,60 39,6 1999 180,45 52,6 147,09 58,1 33,36 37,1 2002 176,00 51,3 145,43 57,5 30,57 34,0 2003 174,57 50,9 145,20 57,4 29,36 32,6 Catatan : tampungan didasarkan pada beberapa sumber antara lain : 1) Kapasitas tampungan desain, 2) The Study on Comprehensive Management Plan for the Water Resources of the Brantas River Basin, Final Report, Ill, and Supporting Report I (JICA, 1998), 3) Data survey oleh PJT-1 (1992-2003). Tabel 3 Perubahan Waduk Sengguruh Tahun Total Persen (%) Efektif Persen (%) Mati Persen (%) 1988 21,50 100,0 2,50 100,0 19,00 100,0 1993 5,36 24,9 1,21 48,3 4,15 21,8 1996 2,16 10,0 1,24 49,8 2,16 11,4 1997 5,35 24,9 1,20 47,9 4,16 21,9 2001 3,52 16,4 1,09 43,7 2,42 12,8 2002 3,20 14,9 1,13 45,2 2,07 10,9 2003 2,32 10,8 1,04 41,5 1,28 6,7 5. KONDISI HUJAN 5
Di DAS Kali Brantas bagian hulu, musim hujan pada umumnya mulai pada bulan Oktober sampai Mei, dan musim kemarau berlangsung dari bulan Juni sampai September. Curah hujan bulanan terbesar biasanya terjadi pada bulan Januari-Pebruari dengan rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara 283 sampai 407 mm. Curah hujan tahunan yang tercatat pada berbagai stasiun pengukur curah hujan yang terdapat di DAS Brantas Hulu selama kurun waktu 1994-2003 dapat dilihat pada Tabel 4. Dari data tersebut terlihat bahwa curah hujan tahunan di bagian hulu seperti Tangkil, Poncokusumo, Wagir dan Dampit menunjukkan nilai yang tinggi. Tabel 4 Curah Hujan Tahunan pada Berbagai Stasiun di DAS Brantas Hulu No. Tahun Sengguruh Sutami Tangkil Poncokusumo Wagir Dampit Pujon 1 1994 1,451 1,681 1,849 3,271 2,198 1,947 2,112 2 1995 2,578 2,339 2,689-2,763 3,163 2,518 3 1996 1,568 1,940 2,195 2,535 2,343 1,963 1,729 4 1997 860 1,053 1,370 1,348 1,352 1,388 1,257 5 1998 2,633 2,703 2,926 3,274 3,243 3,623 2,026 6 1999 1,890 1,576 2,322 2,479 2,515 2,179 1,947 7 2000 2,068 1,747 2,505 2,513 1,968 2,392 1,969 8 2001 1,962 1,767 1,957 2,104 2,171 1,883 1,012 9 2002 2,032 1,696 2,159 2,012 2,194 2,007 1,168 10 2003 1,756 1,479 1,888 1,636 2,211 1,773 1,382 Mean 1,880 1,798 2,186 2,117 2,296 2,232 1,712 Sumber: Water Resources Existing Facilities Rehabilitation and Capacity Improvement Project, Pebruari 2005 Sedangkan berdasarkan data dan peta curah hujan tahunan rata-rata menurut Isohyets seperti terlihat pada Gambar 4, curah hujan tahunan rerata di DAS Brantas pada Brantas bagian hulu, Bango dan Amprong termasuk tinggi, berkisar antara 2.400 mm sampai 3.400 mm. Curah hujan terendah hampir merata pada ketiga hilir sub DAS sedangkan curah hujan tertinggi terjadi pada sub DAS Amprong. Di wilayah Sub DAS Lesti, curah hujan rata-rata yang ada 10 tahun terakhir sebesar 1.950 mm/tahun dengan curah hujan tahunan tertinggi sebesar 2.425 mm dan terendah 1.458 mm. Sedangkan di wilayah Sub DAS Metro-Lahor, curah hujan rata-rata yang ada 10 tahun terakhir sebesar 2.011 mm/tahun dengan curah hujan tahunan tertinggi sebesar 2.991 mm dan terendah 1.032 mm. 6. EVALUASI Dari data curah hujan dan besarnya erosi yang terjadi di DAS Brantas Hulu seperti yang tercantum pada Tabel 1 dan Tabel 4 dapat dievaluasi bahwa semakin tinggi curah hujan maka semakin tinggi pula erosi yang terjadi. Di beberapa sub DAS seperti Amprong, Lesti dan Genteng memiliki curah hujan tahunan yang tergolong tinggi dan erosi yang terjadi juga tergolong tinggi jika dibandingkan sub DAS yang lain. Dengan kondisi seperti ini, maka apabila kondisi lahan semakin kritis maka ke depan, erosi yang terjadi akan semakin besar dan sedimentasi yang akan terjadi di Waduk-waduk Sengguruh dan Sutami akan semakinparah sehingga dapat mengurangi persediaan air secara signifikan. Sedangkan antara curah hujan yang terjadi dengan debit inflow yang masuk ke dalam waduk, belum bisa diketahui secara jelas hubungan antara keduanya seperti dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Untuk itu masih diperlukan penelitian yang mendalam untuk mempelajari hal ini. 6
Gambar 4 Peta Isohyet DAS Brantas Hulu CURAH HUJAN dan DEBIT INFLOW RERATA TAHUNAN MUSIM HUJAN SUB DAS SUTAMI-LAHOR ) 2,800 140 2,400 120 2,000 100 Curah Hujan (mm) 1,600 1,200 80 60 Debit (m 3 /dtk) 800 40 400 20 0 0 90/91 91/92 92/93 93/94 94/95 95/96 96/97 97/98 98/99 99/00 00/01 01/02 02/03 03/04 04/05 Catatan : Data Tahun 04/05 debit inflow bulan Desember 2004 s.d. Mei 2005 Tahun Curah hujan Debit Inflow Sutami Gambar 5 Grafik Hubungan Curah Hujan dan Debit Inflo Rerata Tahunan Musim Hujan pada Sub DAS Sutami-Lahor CURAH HUJAN dan DEBIT INFLOW RERATA TAHUNAN MUSIM KEMARAU SUB DAS SUTAMI-LAHOR 1,400 140 1,200 120 7 1,000 100
Gambar 6 Grafik Hubungan Curah Hujan dan Debit Inflow Rerata Tahunan Musim Kemarau pada Sub DAS Sutami-Lahor 7. KESIMPULAN DAS Brantas Hulu yang terletak di dataran tinggi mempunyai curah hujan yang tergolong tinggi. Dengan kondisi daerah tangkapan hujan di bagian hulu yang semakin memburuk dan kritis akibat penebangan liar dan pengelolaan lahan yang tidak mengindahkan aspek konservasi tanah, hal ini menyebabkan peningkatan erosi lahan yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan sedimentasi di Waduk Sengguruh dan Sutami. Selain itu di musim penghujan, resiko terjadinya debris flow sangat besar seperti yang telah terjadi pada tanggal 3-4 Pebruari 2004. Walapun data yang ada masih belum bisa menunjukkan adanya hubungan antara kondisi hidrologi, luas hutan yang berkurang dan terjadinya erosi serta sedimentasi yang besar, tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut Untuk mengatasi masalah ini yang berkaitan dengan erosi dan sedimentasi, perlu dilakukan upaya-upaya konservasi yang serius dengan melibatkan semua pihak untuk mempertahankan luasan hutan serta melakukan penghijauan di daerah-daerah kritis. 8