ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C34104028

dokumen-dokumen yang mirip
ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT)

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu sumber protein yang mudah diperoleh dan harganya

BAB III BAHAN DAN METODE

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Ikan Tuna

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Sosis ikan SNI 7755:2013

BAB III BAHAN DAN METODE

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus sp.) Sumber :

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

Gambar 1. Ikan Tongkol (Ethynnus affinis) (Sumber: Anonim b 2010 )

ANALISIS TINGKAT KESEGARAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) SELAMA PENYIMPANAN DINGIN BERDASARKAN UJI HISTAMIN dan ph

Siomay ikan SNI 7756:2013

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT)

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

Tugas Manajemen Mutu Terpadu. 3. Penanganan dan pengolahan Penanganan dan pengolahan cumi-cumi beku sesuai SNI :2010.

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupan. Bahan makanan terdiri

Tuna dalam kemasan kaleng

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan

Gambar 1 Ikan Tuna (Kardarron 2007).

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 1-5 ISSN :

Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C

MENGENAL LEBIH JAUH SKOMBROTOKSIN

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

Tuna loin segar Bagian 2: Persyaratan bahan baku

HASIL DAN PEMBAHASAN

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C

HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tuna ( Thunnus sp )

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuna Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna ( Thunnus sp.)

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK

BABI PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh Samudera

Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB IV PEMBAHASAN. Nama Produk Nama Spesies. Asal Ikan. Alur Proses. Kemasan Produk. Daya Tahan Produk. Penggunaan Produk Negara Tujuan Ekspor

Bakso ikan SNI 7266:2014

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Deskripsi Produk cakalang precooked loin beku di PT.GEM

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September - Desember 2013 di

Analisa Mikroorganisme

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PEMANFAATAN KARAGENAN DAN KITOSAN DALAM PEMBUATAN BAKSO IKAN KURISI (Nemipterus nematophorus) PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN DAN BEKU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI KEONG MATAH MERAH (Cerithidea obtusa)

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. lainnya, karena jenis tersebut yang paling banyak di tangkap dan di

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat mutu susu segar menurut SNI tentang Susu Segar

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP.61/MEN/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN WAJIB STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

Uji Organoleptik Ikan Mujair

ANALISIS PERENCANAAN PENGADAAN PERSEDIAAN TUNA PADA PT TRIDAYA ERAMINA BAHARI MUARA BARU JAKARTA

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

ANALISIS HACCP DAN UJI BAKTERI PRODUKSI BAKSO DAGING SAPI DI SLEMAN, YOGYAKARTA SKRIPSI

Udang beku Bagian 1: Spesifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN

Studi Kelayakan Unit Pengolahan Udang Putih Beku Tanpa Kepala di PT. XX Gorontalo

MELDA ANIYALISA DAHYAR C

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

Terasi udang SNI 2716:2016

Transkripsi:

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN Oleh: Dhias Wicaksono C34104028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Selama Proses Pengolahan pada Industri Tuna Loin adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Dhias Wicaksono NIM C34104028

RINGKASAN DHIAS WICAKSONO. C34104028. Asesmen Risiko Histamin Selama Proses Pengolahan pada Industri Tuna Loin (Dibawah bimbingan WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN). Industri tuna di Indonesia memiliki beberapa kendala yaitu persaingan ekspor ikan tuna yang semakin ketat, isu global keamanan pangan (food safety) dan isu lingkungan. FAO melalui Codex Alimentarius merekomendasikan melakukan risk analysis (risk assesment, risk management, dan risk communication) untuk mengendalikan bahaya keamanan pangan. Evaluasi risiko bahaya keamanan pangan di industri tuna diawali dengan menganalisis kelayakan dasar yang terdapat pada proses pengolahan tuna, dilanjutkan dengan melakukan asesmen risiko. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah memperkirakan risiko perkembangan histamin pada proses pengolahan ikan tuna loin di PT., Kawasan Industri Muara Baru, Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan pengolahan tuna loin di Muara Baru, Jakarta. Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pengamatan proses pengolahan tuna loin beku dan tahap analisis risiko bahaya histamin. Proses pengolahan tuna loin beku diamati berdasarkan tahap-tahapnya, kemudian digambarkan dalam bentuk diagram alir (flow chart). Asesmen risiko bahaya peningkatan kadar histamin dan kontaminasi mikroba dilakukan secara semi kuantitatif dengan cara melihat hazard identification, hazard characterization, exposure assessment dan risk characterization. Proses pengolahan dilakukan dengan waktu cukup cepat dan dalam kondisi dingin (0 10 o C). Penilaian kelayakan dasar terhadap unit pengolahan ikan (UPI) menunjukkan adanya beberapa penyimpangan, antara lain terdapat 11 penyimpangan minor, 6 penyimpangan mayor dan 4 penyimpangan serius. Berdasarkan penyimpangan tersebut, maka PT. dikategorikan sebagai UPI dengan nilai kelayakan dasar C (cukup). Identifikasi bahaya (hazard identification) dalam bidang industri tuna pada penelitian ini, dilakukan terhadap bahaya histamin. Hasil penelitian penaksiran bahaya (exposure assesment) yang dilakukan menunjukkan rata-rata kadar histamin pada saat penerimaan bahan baku adalah sebesar 8,03 ppm, tahap pembentukan tuna loin adalah 9,16 ppm dan tahap pembungkusan produk adalah 9,18 ppm. Jumlah bakteri secara umum pada tahapan penerimaan bahan baku ratarata (log TPC) sebesar 4,58 (3,6x10 4 CFU/ml), pada tahapan pembentukan loin sebesar 5,33 (2,1x10 5 CFU/ml) dan pada tahap pembungkusan sebesar 5,88 (4,5x10 5 CFU/ml). Jumlah bakteri penghasil histamin pada tahapan penerimaan bahan baku rata-rata (log TPC) sebesar 3,51 (3,3x10 3 CFU/ml), pada tahapan pembentukan loin sebesar 3,65 (4,5x10 3 CFU/ml) dan pada tahap pembungkusan sebesar 4,29 (1,9x10 4 CFU/ml). Hasil karakterisasi bahaya dari tahap penerimaan bahan baku sampai proses pembungkusan menunjukkan bahwa produk tuna loin yang diproduksi masih aman untuk dikonsumsi. Hasil karakterisasi risiko menunjukkan bahwa ranking risiko bahaya histamin bagi penduduk Amerika Serikat masih tergolong dalam kategori sedang dengan perkiraan dari 290 juta penduduk Amerika Serikat jumlah penduduk yang dapat terkena bahaya adalah sebesar 24.400 jiwa.

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: Dhias Wicaksono C34104028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

LEMBAR PENGESAHAN Judul : ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN Nama : Dhias Wicaksono Nomor Pokok : C34104028 Menyetujui: Komisi Pembimbing, Ir. Wini Trilaksani M.Sc Ir. Winarti Zahiruddin MS NIP. 131 578 851 NIP. 130 422 706 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799 Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Asesmen Risiko Kadar Histamin selama Proses Pengolahan Pada Industri Tuna Loin yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini dengan penuh ketulusan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan, serta penjelasan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku dosen penguji tamu, atas segala bimbingan, pengarahan, serta penjelasan yang telah diberikan kepada penulis. 3. Bapak Redjani Kartoatmojo selaku kepala Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan Ibu Sri Hartati serta Bapak Malik serta seluruh pegawai yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian. 4. Bapak pimpinan PT. dan Mas Aziz serta Mas Fajar serta seluruh karyawan PT. yang telah mengizinkan dan memberikan bantuan kepada penulis selama melakukan penelitian. 5. Ibunda dan Ayahanda tercinta atas segala ketulusan cinta, kasih sayang, kesabaran, ketegaran, jerih payah, pengorbanan, dan doanya, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. 6. Kakakku tersayang Mas Arief Kurniadi dan Mbak Nurhasanah serta adikku Putri Rahayuningtyas dan Dian Hapsari. Dan Bulik Ani dan Om Yadi atas segala dorongan, bantuan, dan doanya.

7. Teman-teman THP 41, Nuzul, Alim, Feri, Erlangga, Anim, Anang, Windy, Fahmi, Ubit, Nia, Andi, Ika, Ima, Vera, Bay, Dwi, Bobi, Ranti, Iis, Dila, Deslina dan teman-teman lainnya atas segala persaudaraan, keakraban, keceriaan, doa, serta cinta kasihnya. 8. Teman-teman THP 40 Juhli, Iqbal, Deden, Rama dan lain-lain. Temanteman THP 39, 42, 43, dan 44. Mas Zacky atas segala bantuan, persaudaraan, keceriaan, dan doanya. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih banyak atas bantuannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Januari 2009 Dhias Wicaksono

RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Dhias Wicaksono, dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Agustus 1986, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Soedono dan Ibu Sri Dijati. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1991 di TK. Pertiwi 1 Bogor sampai tahun 1992, kemudian pada tahun 1992 penulis melanjutkan di SDN Panaragan 2 Bogor dan tamat pada tahun 1998. Pada tahun 1998 penulis meneruskan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bogor sampai tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama kuliah penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai pengurus aktif pada periode 2006- Fisheries Processing Club (FPC) THP sebagai manajer bagian operasional. Penulis juga aktif sebagai koordinator asisten mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan pada tahun 2007-2008 dan koordinator asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Limbah dan Hasil Samping pada tahun 2007-2008. Penulis juga aktif dalam bidang penulisan karya ilmiah. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul Asesmen Risiko Kadar Histamin selama Proses Pengolahan Pada Industri Tuna Loin dibimbing oleh ibu Ir. Wini Trilaksani MSc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin MS.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1 Ikan tuna... 4 2.2 Tuna Loin... 8 2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan... 10 2.3.1 Pre-rigor... 10 2.3.2 Rigor mortis... 11 2.3.3 Aktivitas enzim... 11 2.3.4 Aktivitas mikroba... 12 2.4 Histamin... 13 2.5 Sanitasi dan Higiene... 15 2.6 Asesmen Risiko... 16 3. METODOLOGI... 20 3.1 Waktu dan Tempat... 20 3.2 Metode Penelitian... 20 3.2.1 Tahapan pengamatan proses pengolahan tuna loin... 20 3.2.2 Tahap evaluasi risiko histamin... 20 3.3 Prosedur Pengujian Sampel... 22 3.3.1 Kadar histamin... 23 3.3.2 Uji mikrobiologi (Total Plate Count)... 23 3.3.3 Uji mikrobiologi penghasil histamin... 24 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 25 4.1 Tahapan Proses Produksi Tuna Loin... 25 4.2 Penilaian Kelayakan Dasar Perusahaan... 32 4.3 Penilaian risiko bahaya histamin pada tahapan proses pengolahan... 36 4.3.1 Hazard identification (identifikasi bahaya)... 36 4.3.2 Exposure assesment (Penaksiran bahaya)... 40 4.3.2.1 Perkembangan kadar histamin produk selama proses pengolahan tuna loin... 41 a. Kandungan histamin pada produk tuna loin PT..... 41 b. Jumlah bakteri pada produk tuna loin PT..... 43 c. Jumlah bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase) pada produk tuna loin PT..... 45 x

4.3.2.2 Informasi konsumsi ikan yang mengandung histamin... 47 4.3.3 Hazard characterization (Karakterisasi bahaya)... 48 4.3.4 Risk characterization (Karakterisasi risiko)... 50 5. KESIMPULAN DAN SARAN... 54 5.1 Kesimpulan... 54 5.2 Saran... 55 DAFTAR PUSTAKA... 56 LAMPIRAN... 59

DAFTAR TABEL Halaman 1. Standar mutu tuna loin beku (SNI 01-4104.1-2006)... 11 2. Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut... 15 3. Penilaian risiko secara semi kuantitatif dari bahaya histamin pada tuna loin bagi penduduk Amerika Serikat.... 51

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Ikan tuna Albacore (Thunnus alalunga)... 5 2 Ikan tuna Madidihang (Thunnus albacore)... 5 3 Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)... 6 4 Ikan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii)... 6 5 Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin... 13 6 Diagram alur proses microbiological risk assessment... 21 7 Diagram alur proses produksi tuna loin pada perusahaan PT.... 25 8 Proses katabolisme histamin pada tubuh manusia... 39 9 Degradasi histidin menjadi urocanic acid dan amonia oleh HAL... 40 10 Grafik rata-rata kadar histamin selama proses pengolahan (ppm)... 41 11 Grafik rata-rata kadar histamin tuna loin PT. selama bulan Agutus sampai Oktoberr 2008 dari analisis LPPMHP... 42 12 Grafik rata-rata jumlah bakteri (log TPC) selama proses pengolahan... 43 13 (a) media Niven s agar... 45 (b) media Niven s agar dengan koloni bakteri penghasil histamin... 45 (c) koloni bakteri penghasil histamin pada media Niven s agar... 45 14 Grafik rata-rata jumlah bakteri penghasil histamin (log TPC) dengan media Niven s agar selama proses pengolahan... 46 15 Grafik perbandingan rata-rata jumlah bakteri secara umum dengan bakteri penghasil histamin (log TPC) selama proses pengolahan... 47

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Denah lokasi Unit Pengolahan Ikan (UPI) PT..... 60 2 Tabel penilaian kelayakan dasar unit pengolahan ikan (UPI)... 61 3 Data hasil analisis kadar histamin dan TPC... 83 4 Gambar hasil analisis bakteri... 84 5 Gambar program analisis risk characterization (risk ranger)... 87

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan di laut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton (Ditjen Perikanan Tangkap 2007). Salah satu produk perikanan tangkap unggulan Indonesia adalah ikan tuna. Ikan tuna merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang potensial, terbesar kedua setelah udang (DKP 2005). Volume ekspor tuna pada periode 1999-2004 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 2,72 ton per tahun yakni dari 87.581 ton pada tahun 1999 menjadi 94.221 ton pada tahun 2004. Nilai ekspor tuna mengalami kenaikan rata-rata sebesar 5,56% per tahun, yaitu dari US$189.397 pada tahun 1999 menjadi US$243.937 pada tahun 2004 (DKP 2005). Produksi hasil tangkapan tuna yang semakin meningkat menyebabkan berkembangnya industri pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang merupakan sentra pendaratan tuna yaitu Muara Baru (Jakarta), Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Benoa (Bali) dan Bitung (Sulawesi Utara). Industri pengolahan yang dimaksud pada umumnya mengolah tuna menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted), produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin), steak (frozen steak) dan produk dalam kaleng (canned tuna) (DKP 2005). Produk-produk itu sebagian besar diekspor ke manca negara dan hanya sebagian kecil saja yang dipasarkan di dalam negeri. Industri tuna di Indonesia memiliki beberapa kendala yaitu persaingan ekspor ikan tuna yang semakin ketat, isu global keamanan pangan (food safety) dan isu lingkungan. Bulan Mei 2004, komisi kesehatan dan perlindungan konsumen Uni Eropa melarang ekspor sementara ikan tuna segar dari 16

perusahaan Indonesia, karena mengalami pembusukan atau kadar histamin yang melebihi batas standar yang ditetapkan (Anonim 2005). Kadar histamin dapat dijadikan indikasi mutu tuna dan histamin juga merupakan indikator standar keamanan pangan produk tersebut. Hal ini disebabkan kandungan histamin dapat menyebabkan efek keracunan. Keracunan histamin terjadi di seluruh dunia dan kemungkinan pada umumnya disebabkan oleh racun yang dihasilkan pada ikan. Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK) merupakan negara dengan jumlah penduduk tertinggi yang menderita keracunan histamin (Sumner et al. 2004). Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim decarboxylase. Amina biogenik diproduksi pada jaringan ikan oleh bakteri dari famili Enterobacteriaceae, seperti Morganella, Klebsiella, dan Hafnia yang menghasilkan enzim histidin decarboxylase. Bakteri yang secara alami terdapat pada insang dan usus ikan akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan (Sumner et al. 2004). Kontaminasi bakteri pada penanganan hasil perikanan dapat terjadi mulai dari proses penangkapan, pengolahan, sampai dengan distribusi ke tangan konsumen. Kontaminasi dan aktivitas bakteri dapat dihambat dengan adanya usaha penanganan secara benar dengan memperhatikan sanitasi dan penerapan sistem penanganan pada suhu rendah. Sanitasi merupakan serangkaian proses yang dilakukan untuk menjaga kebersihan. Sanitasi dan higiene dalam perusahaan dituangkan dalam bentuk suatu standar sistem operasional. Perdagangan pangan internasinal menuntut jaminan keamanan pangan sehingga melahirkan standar internasional bagi komoditas produk pangan. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Risk Analysis merupakan standar sistem manajemen keamanan pangan yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius Commision (CAC) dan sarana untuk menerapkan konsep higiene dalam penanganan bahan pangan (Henrik et al. 2004). Risk analysis terdiri dari tiga komponen yaitu risk asessment, risk management, dan risk communication. Secara sederhana, risk assessment merupakan pengukuran risiko dan identifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Risk management merupakan pengembangan dan implementasi strategi untuk mengontrol risiko tersebut, dan risk communication merupakan pertukaran informasi yang relevan dengan risiko dan hal-hal yang mendukungnya (Sumner et al. 2004). Industri tuna di Indonesia telah diwajibkan untuk menerapkan sistem HACCP, tetapi risk analysis belum banyak dilakukan. Risk analysis dapat dilakukan dengan menganalisis kelayakan dasar pada Unit Pengolahan Ikan (UPI), mengantisipasi permasalahan bahaya peningkatan kadar histamin akibat adanya kontaminasi bakteri penghasil histamin dan sanitasi yang kurang baik pada proses pengolahan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dan memperkirakan risiko perkembangan histamin pada proses pengolahan ikan tuna loin di PT., kawasan Industri Muara Baru, Jakarta.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tuna Tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari jenis tuna besar (Thunnus spp, seperti yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, dan albacore), dan jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) yaitu marlins, sailfish, dan swordfish. Skipjack tuna sering digolongkan sebagai cakalang, sedangkan tongkol umumnya digunakan untuk jenis eastern little tuna (Euthynnus spp), frigate and bullet tuna (Auxis spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol). Potensi pelagis besar (termasuk tuna) secara nasional mencapai 1.165.360 ton. Sumberdaya tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dimasa mendatang bagi kepentingan pembangunan perikanan nasional (DKP 2005). Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Genus : Thunnus Spesies : Thunnus albacares Thunnus allalunga Thunnus maccoyii Thunnus obesus Thunnus tonggol Menurut Tampubolon (1983) ikan tuna meliputi 13 jenis ikan tuna yang terdiri dari 7 jenis tuna besar (large tuna) dan 6 jenis tuna kecil (small tuna). Ketujuh jenis ikan tuna besar tersebut adalah: 1 Albacore (Thunnus alalunga) biasanya hidup di laut lepas dan berada di bawah thermocline (lapisan air yang perbedaannya suhunya mencolok). Panjang ikan bisa mencapai 137 cm, namun yang umum antara 40-100 cm.

Pemakan segala macam organisme, khususnya ikan, cumi-cumi, dan udang terdapat diperairan barat Sumatera, selatan Jawa, dan selatan Sumbawa. Morfologi ikan tuna albacore dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Ikan tuna Albacore (Thunnus alalunga) (BBPMHP 1999). 2 Madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacore), hidup dilaut lepas dan dekat dengan permukaan. Panjang maksimum mencapai 195 cm, tetapi umumnya antara 50-150 cm. Pemakan ikan, cumi-cumi, dan udang. Banyak terdapat diperairan selatan Makasar, utara Sulawesi, Laut Banda, dan utara Irian Jaya. Morfologi ikan tuna madidihang dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Ikan tuna Madidihang (Thunnus albacore) (BBPMHP 1999). 3 Tongkol atau litle tuna (Euthynnus affins) hidup diperairan dekat pantai yang mempunyai dasar karang. Panjang maksimum 100 cm, tetapi kebanyakan 50-60 cm. Jenis makanannya adalah dari jenis decapoda, cephalopoda, dan ikan-ikan kecil. Penyebaran hampir sama dengan cakalang.

4 Tuna mata besar atau big eye (Thunnus obesus) hidup diperairan laut lepas mulai dari permukaan sampai ke dalaman 250 cm. Panjang ikan tuna mata besar bisa mencapai 236 cm, namun yang umum antara 60-180 cm. Pemakan cumi-cumi dan udang. Banyak terdapat di perairan barat Sumatera, laut Banda, utara Sulawesi, dan utara Irian Jaya. Morfologi ikan tuna mata besar dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) (BBPMHP 1999). 5 Tuna sirip biru atau southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), hidup di perairan lepas pantai di bawah thermocline. Panjang maksimum 222 cm tetapi kebanyakan antara 40-180 cm. Pemakan binatang berkulit lunak seperti cumicumi, udang serta berbagai jenis ikan mackarel terdapat di perairan Samudera Hindia. Morfologi ikan tuna sirip biru dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Ikan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) (BBPMHP 1999). Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia, karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna

yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera tersebut. Beberapa wilayah perairan pantai dan teritorial memiliki sumberdaya perikanan tuna yang besar. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi atas kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari jenis ikan tuna mata besar (bigeye - Thunnus obesus), madidihang (yellowfin - Thunnus albacares), tuna albakora (albacore - Thunnus alalunga), tuna sirip biru selatan (southern blue-fin - Thunnus maccoyii), dan tuna abu-abu (longtail tuna - Thunnus tonggol), sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (skipjack - Katsuwonus pelamis) (DKP 2003). Ikan tuna memiliki protein dengan asam amino yang lengkap. Pada ikan ini juga terdapat iodine dan 18 komponen mineral lainnya (Na, K, Ca, Mg, Fe, Zn, Cd, Co, Cr, Sr, As, Cu, Mn, Mo, Pb, Sn, Ni, dan Hg). Jenis asam lemak yang terdapat pada ikan ini adalah docosahexaenoic acid (DHA), eicosapentaenoic acid (EPA), asam palmitat (palmitoleic acid), arachidonic acid (ARA) dan asam oleat (oleic acid) (Anonim 2006). 2.2 Tuna Loin Tuna loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan dan penyimpanan (BSN 2006). Syarat mutu dan keamanan pangan tuna loin beku sesuai dengan SNI 01-4104.1-2006 dapat dilihat pada Tabel 1. Penanganan dan pengolahan ikan tuna loin menurut BSN (2006) melalui SNI 01-4104.3-2006 adalah sebagai berikut: 1 Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 o C (untuk bahan baku tuna segar) atau -18 o C (untuk bahan baku tuna beku).

2 Penyiangan atau tanpa penyiangan Ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut, apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemara pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 o C (untuk bahan baku tuna segar) atau -18 o C (untuk bahan baku tuna beku). 3 Pencucian Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 o C (untuk bahan baku tuna segar). 4 Pembuatan loin Pembuatan loin dilakukan sesuai dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 o C (untuk bahan baku tuna segar) atau -18 o C (untuk bahan baku tuna beku). 5 Pengulitan dan perapihan Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 o C (untuk bahan baku tuna segar) atau -18 o C (untuk bahan baku tuna beku). 6 Sortasi mutu Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hatihati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 o C (untuk bahan baku tuna segar). 7 Pembungkusan (Wrapping) Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual yakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 o C (untuk bahan baku tuna segar). 8 Pembekuan

Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku (freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal -18 o C dalam waktu maksimal 4 jam (untuk bahan baku tuna segar). Loin dengan bahan baku tuna beku dibekukan dengan cara disusun dalam pan pembekuan, lalu dibekukan dengan freezer hingga suhu pusat ikan mencapai -18 o C secara cepat. 9 Penimbangan Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 o C. 10 Pengepakan Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. 11 Pengemasan Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk. 12 Pelabelan dan pemberian kode Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap; bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan dan tahun produksi; dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. 13 Penyimpanan Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -25 o C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2 o C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran. Tabel 1. Standar mutu tuna loin beku (SNI 01-4104.1-2006)

Jenis Uji Satuan Persyaratan a Organoleptik, minimum Angka (1-9) 7 b Cemaran mikroba - ALT Koloni/gram maksimal 5,0x10 5 - Escheria coli APM/gram maksimal <2 - Salmonella APM/gram Negatif - Vibrio cholerae APM/gram Negatif c Cemaran Kimia - Raksa (Hg) Mg/kg maksimal 1 - Timbal (Pb) Mg/kg maksimal 0,4 - Histamin Mg/kg maksimal 100 - Kadmium (Cd) Mg/kg maksimal 0,5 d Fisika - Suhu pusat o C maksimal - 18 e Parasit Ekor maksimal 0 Sumber : BSN (2006) Keterangan: ALT : Angka Lempeng Total APM : Angka paling memungkinkan 2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan Kerusakan ikan diawali dengan terjadinya autolisis yang disebabkan oleh enzim yang berasal dari ikan itu sendiri, yang diikuti dengan kerusakan secara mikrobiologis, fisik, atau secara kimiawi. Kerusakan autolisis pada ikan dimulai segera setelah ikan mati (Huss 1986). Proses penurunan mutu ikan meliputi perubahan fisik, kimia, dan organoleptik dengan urutan mulai dari perubahan pra-rigormortis, rigormortis, aktifitas enzim, aktivitas mikroba, dan oksidasi. Semua perubahan ini akan mengarah ke pembusukan (Junianto 2003). 2.3.1 Pre-rigor Ikan yang telah mati akan secara cepat memasuki tahap pre-rigor, yang ditunjukkan dengan adanya glikolisis anaerobik dan penurunan adenosine triphosphate (ATP) dan creatine phosphate (Setiyono 2006). Pre-rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan.

Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Junianto 2003). 2.3.2 Rigor mortis Rigor-mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan ph tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis. Fase rigor mortis ditandai dengan perubahan ph tubuh ikan menjadi 6,2-6,6 dari mula-mula ph 6,9-7,2. Nilai ph awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap (Junianto 2003). Proses rigor-mortis berlangsung selama beberapa jam atau hari, tergantung spesies, ukuran ikan, cara penangkapan dan penanganan, suhu serta kondisi fisik ikan. Proses rigor-mortis ditandai dengan otot ikan yang mengejang dalam beberapa jam sehingga ikan menjadi kaku karena perubahan senyawa nukliotida akibat terhentinya pasokkan oksigen dan energi setelah ikan mati (Huss 1986). Tahap rigor-mortis merupakan indikator mutu ikan yang perlu dipertimbangkan untuk dikonsumsi. Tahap rigor-mortis ditandai dengan terjadinya proses autolisis dan pertumbuhan mikroba serta aktivias enzim setelah beberapa hari pada suhu sekitar 5 o C (Setiyono 2006). 2.3.3 Aktivitas enzim Tahap autolisis dimulai dengan terjadinya pemecahan senyawa-senyawa penyusun ikan menjadi senyawa lain dengan berat molekul yang lebih kecil. Pemecahan penyusun jaringan ikan ini akan berakibat pada penurunan sifat organoleptik seperti bau, rasa, tekstur, dan kadang-kadang warna (Huss 1986). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Enzim yang berperan dalan proses autolisis, antara lain: katepsin (dalam daging), enzim

tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan (Junianto 2003). 2.3.4 Aktivitas mikroba Penelitian terhadap ikan yang ditangkap pada perairan yang terbebas dari polusi hanya mengandung sedikit mikroba pada permukaannya. Kebanyakan kontaminasi bakteri pada ikan adalah pada saat pendaratan ikan dan juga proses penanganan serta pada saat proses penyimpanan (Elinor et al. 1985 diacu dalam Alfred 1998). Kerusakan mikrobiologis mulai intensif setelah proses rigor-mortis selesai. Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa pembusuk berupa indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lain-lain. Kerusakan mikrobiologis ini merupakan yang terberat dan dianggap paling bertanggung jawab dalam pembusukan ikan, baik segar maupun olahan. Kerusakan mikrobiologis lain yang perlu diperhatikan adalah yang menyebabkan penyakit, keracunan, atau alergi pada konsumen walaupun ikan tidak mengalami pembusukan (Huss 1986). Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai busuk. Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia dan Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium dan Streptococcus (Junianto 2003).

2.4 Histamin Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim decarboxylase (Sumner et al. 2004). Histamin merupakan salah satu grup dari komponen amina biogenik. Amina biogenik adalah komponen biologi aktif yang secara normal diproduksi melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas dan ada dalam berbagai makanan seperti ikan, produk dari ikan, daging merah, keju, dan makanan fermentasi. Keberadaan amina biogenik dalam makanan ini merupakan indikator makanan itu sudah busuk (Keer et al. 2002). Histidin bebas yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi kandungan histidin bebasnya. Kandungan histidin bebas dalam daging ikan tuna segar berkisar dari 745 sampai 1460 mg%. Ikan-ikan berdaging putih kandungan histidin bebasnya rendah dan ketika busuk tidak menghasilkan histamin sampai 10 mg% setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 25 o C (Keer et al. 2002). Ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan gelap, dagingdaging putih yang memiliki kadar histamin yang tinggi. Daging merah lebih aman untuk dionsumsi manusia daripada daging putih bila dipandang dari segi histamin. Daging merah memiliki kandungan histamin yang rendah karena daging merah memiliki kandungan trimetil amina oksida (TMAO) yang tinggi, berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin (Winarno 1993). Perubahan struktur kimia dari histidin menjadi histamin dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5. Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002 )

Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri. Sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar. Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor (Winarno 1993). Amina biogenik diproduksi pada jaringan ikan oleh bakteri dari famili Enterobacteriaceae, seperti Morganella, Klebsiella, dan Hafnia yang menghasilkan enzim histidin decarboxylase. Apabila telah diproduksi enzim decarboxylase, maka akan terus menerus dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu dingin hingga 4 o C. Produksi histamin akan semakin meningkat meskipun telah disimpan pada ruangan pendingin (Sumner et al. 2004). Bakteri utama yang merupakan bakteri histidin dekarboksilase, yang dapat meningkatkan kandungan histamin pada ikan, yaitu Proteus morganii, Klebsiella pneumonia dan Hafnia alvei (Taylor 1983). Keer et al (2002) menambahkan jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu Proteus morganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack), Clostridium perfringens (skipjack). Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang. Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku dan dapat bereaksi dengan sangat cepat setelah thawing. Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (Keer et al. 2002). Jenis bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2. Hampir semua bakteri tersebut dari golongan gram negatif dan bersifat anaerobik fakultatif sehingga mempu tumbuh pada kondisi aerobik maupun anaerobik.

Tabel 2. Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut Bakteri Spesifikasi Hafnia sp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Hafnia alvei) Klebsiella sp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Klebsiella pneumoniae) Escherichia coli Gram-negatif, fakultatif anaerobik Clostridium sp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Clostridium perfringens) Lactobacillus sp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Lactobacillus 30a) Enterobacter spp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Enterobacter aerogenes) Proteus sp. Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Proteus morganii) Sumber: Martin et al. (1982) 2.5 Sanitasi dan Higiene Pengertian sanitasi dalam industri pangan yaitu mencakup kebiasaan, sikap hidup, tindakan aseptik, dan bersih terhadap benda termasuk manusia yang akan kontak langsung dengan bahan pangan. Dalam industri pangan, sanitasi meliputi pengendalian pencemaran, pembersihan dan tindakan aseptik yang merupakan rantai dalam produksi. Sanitasi yang baik dalam industri tidak hanya terletak pada kebersihan bahan baku, peralatan, ruangan dan pekerja tetapi juga dalam penanganan dan pembuangan limbah ( Deptan 1997). Standar higiene dalam suatu perusahaan umumnya dituangkan dalam Good Higiene Practices (GHP) atau Good Manufacturing Practices (GMP). Penerapan GMP digunakan sebagai pedoman untuk semua tindakan dengan memperhatikan kondisi dan ukuran yang diperlukan untuk menjamin keamanan selama proses pengolahan makanan. Penerapan GMP merupakan suatu konsep sistem modern untuk mengontrol keamanan makanan dari peralatan pengolahan dan pekerja dengan memperhatikan kondisi lingkungan yang mengacu pada sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) (Henrik et al. 2004). Sanitation standard operating procedures (SSOP) merupakan dokumen dari GMP untuk higiene dan sanitasi yang disertakan untuk mengatur dan mengontrol cara pengolahan yang baik. Perusahaan dapat memonitor kondisi dan penanganan untuk mengetahui kondisi dan penanganan yang tidak sehat pada waktu tertentu dan memelihara sanitasi dengan selalu mengontrolnya. Prosedur kontrol sanitasi ini telah terintegerasi ke dalam peraturan HACCP, namun tidak termasuk dalam program HACCP (Henrik et al. 2004).

2.6 Asesmen Risiko Asesmen risiko (risk assessment) merupakan karakterisasi dari potensi risiko yang mempengaruhi bahaya, termasuk menyangkut perkiraan besarnya risiko, efek dari keluaran atau hasil yang ada dan melibatkan suatu indikasi dari suatu ketidakpastian. Analisis risiko ini juga harus mencakup informasi mengenai faktor yang berkontribusi terhadap bahaya makanan (Forsythe dan Hayes 1998). Analisis risiko (risk analysis) merupakan suatu proses yang terdiri dari tiga komponen yaitu asesmen risiko (risk asessment), managemen risiko (risk management) dan komunikasi risiko (risk communication) (Sumner et al. 2004). Tiga komponen risk analysis (risk assessment, risk management dan risk communication) tidak sepenuhnya berbeda, tetapi saling melengkapi, karena pertukaran informasi dan data diantara semua subjek yang berpartisipasi dalam proses. Risk assessment dapat dikatakan sebagai suatu struktur ilmu berdasarkan proses untuk menduga kemungkinan dan keparahan risiko yang tidak pasti. Elemen utama dari risk assessment yaitu hazard identification, hazard characterization, exposure assessment dan risk characterization (Giacone dan Ferri 2005). Menurut Sumner et al. (2004) terdapat beberapa tipe dari risk assessment yang dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu qualitative risk assessment, semiquantitative risk assessment, dan quantitative risk assessment. Ketiga kategori tersebut menghasilkan informasi yang berguna dan pemilihan kategori bergantung pada kecepatan dan kompleksitas dari kebutuhan yang dinilai (assessment). Qualitative risk assessment, semi-quantitative risk assessment, dan quantitative risk assessment, dapat dijelaskan sebagai berikut: 2. Qualitative risk assessment Analisis bahaya atau risiko didasarkan pada data yang pembentukannya tidak cukup secara kuantitatif, namun dapat menggolongkan data atau kategori risiko tersebut secara deskriptif. Metode Risk assessment secara kualitatif ini sangat sederhana dan cepat untuk dilakukan, tetapi dilakukan secara subjektif, yang dapat mengurangi nilainya. Setiap dokumen rencana HACCP berisi qualitative risk assessment sederhana dalam lembar kerja HACCP

Setiap bahaya akan dikategorikan atau dimasukkan ke dalam tingkatan rendah, sedang dan tinggi untuk menganalisanya. Penilaian risiko ini didasarkan pada hubungan antara exposure assessment yang di dalamnya terkait kemungkinan dan kejadian yang timbul dengan karakterisasi dari bahaya dan efek yang timbul. 2 Semi-quantitative risk assessment Metode kualitatif dapat memperkirakan bahaya atau risiko yang ada dan menggolongkannya ke dalam level rendah, sedang, dan tinggi, sedangkan dalam risk assessment secara semi-kuantitatif, dapat dipadukan analisis kuantitatif dan kualitatif serta mengekspresikannya ke dalam bilangan numerik. Penggolongan (level rendah, sedang dan tinggi) tersebut dapat diekspresikan dalam angka-angka (numerik) sebelum data-data tersebut diolah lebih lanjut. Analisis ini merupakan gabungan dari analisis kualitatif dan kuantitatif untuk menganalisa bahaya yang ada. 3 Quantitative risk assessment Analisis bahaya yang menunjukkan bilangan numerik dari risiko dan indikasi dari semua hal yang tidak diinginkan. Analisis bahaya kuantitatif ini telah digunakan untuk menganalisis konsumsi ikan asap di Swedia, dengan perkiraan jumlah yang terserang penyakit tiap tahun bervariasi antara 47 sampai 2800 dengan risiko yang tinggi. Quantitative risk assessment (QRA) digunakan untuk tujuan yang spesifik dan memberikan perkiraan risiko secara numerik Menurut Sumner et al. (2004) Penggunaan risk assessment sangat penting dan sudah dikenal di berbagai negara. Selama beberapa tahun ini di dunia terjadi peningkatan risiko dalam hubungannya terhadap kemanan pangan secara umum dan keamanan dari produk-produk perikanan. Tahapan dalam melakukan risk assesment yaitu: 1 Hazard identification Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia dan fisika yang mampu menyebabkan efek kerugian bagi kesehatan dan mungkin ada pada makanan khusus atau kelompok dari berbagai makanan. Hazard identification dapat dikatakan sebagai langkah pertama dalam menganalisa risiko yang

merupakan proses pencarian untuk menganalisa bahaya yang nyata pada makanan tertentu, seperti misalnya bakteri pembentuk histamin yang ada pada ikan golongan scombroid. Identifikasi bahaya (hazard identification) merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari sumber-sumber bahaya 2 Hazard characterization Hazard characterization merupakan penelusuran mengenai efek merugikan bagi kesehatan yang disebabkan oleh histamin dan juga mengenai kadar histamin yang dapat menyebabkan bahaya bagi manusia. Risiko mikrobilogi dari bahaya mikrobiologi perhatiannya tertuju pada mikroorganime atau racun toksin dari mikroorganime tersebut. Ada dua faktor penting dalam hazard characterization yaitu pengertian dari efek bahaya (mikroorganisme atau toksinnya) juga dosis yang dapat diterima. 3 Exposure assessment Exposure assessment merupakan evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari kemungkinan adanya agen kimia, biologi dan fisika yang masuk melalui makanan seperti halnya dari sumber lain yang terkait. Dalam penjelasannya diperlukan data dalam dua area, yaitu ukuran konsumsi makanan yang memiliki potensi bahaya dan tingkatan kontaminasi dari mikroorganisme atau toksin pada saat konsumsi. Untuk mendapatkan data tersebut, kita harus mengetahui mikroorganisme atau toksin mulai dari persiapan sampai pengolahan dan memperkirakan perubahan yang masuk dari rantai bahaya secara keseluruhan. 4 Risk characterization Risk characterization merupakan proses dari penentuan perkiraan kualitatif dan kuantitatif yang mencakup ketidakpastian tentang kemungkinan kejadian dan kepelikan dari pengetahuan atau potensi yang merugikan bagi kesehatan dalam populasi yang ditentukan berdasarkan hazard identification, hazard characterization dan exposure assessment.. Menurut Voysey dan Brown (2000) qualitative risk assessment merupakan teknik yang telah biasa digunakan untuk menilai suatu bahan kimia yang terkandung dalam makanan, tetapi teknik tersebut kurang efektif untuk menganalisis cemaran mikrobiologi dikarenakan beberapa hal, yaitu:

1 Risiko mikrobiologi bukan hanya dari satu penyebab saja, tetapi risiko kimia yang ditimbulkan dapat terakumulasi dari tiap perlakuan. 2 Respon yang diterima dari terinfeksinya patogen lebih bervariasi daripda hanya racun bahan kima. 3 tingkat racun dari komponen pada bahan makanan relatif stabil, sedangkan pertumbuhan bakteri akan semakin bertambah yang dapat menyebabkan efek pathogenik. 4 Mikroorganisme dapat beradaptasi dan dapat bekerja sama dengan mikroorganisme lain dan menghasilkan racun pada makanan.

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Asesmen Risiko Histamin Selama Proses Pengolahan pada Industri Tuna Loin dilakukan pada bulan Agustus - Oktober 2008, bertempat di PT., kawasan Industri Muara Baru, Jakarta dan Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), Pluit, Jakarta Utara. 3.2 Metode Penelitian Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pengamatan proses pengolahan tuna loin beku dan tahap analisis risiko (risk assessment) bahaya histamin. 3.2.1 Tahapan pengamatan proses pengolahan tuna loin beku Proses pengolahan tuan loin beku diamati berdasarkan tahap-tahapnya, kemudian digambarkan dalam bentuk diagram alir (flow chart) tahapan proses produksi tuna loin beku. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah mikroba penghasil histamin diamati untuk menentukan tahapan yang berisiko terhadap peningkatan jumlah histamin dan bakteri penghasil histamin. Penentuan tahap-tahap tersebut dilakukan dengan cara melihat waktu, suhu, dan aktivitas penanganan dan pengolahan ikan pada masing-masing tahapan proses. 3.2.2 Tahap evaluasi risiko histamin Evaluasi risiko bahaya histamin dalam penelitian ini menggunakan konsep risk assessment berdasarkan Ross dan Sumner (2002). Risk assessment bahaya peningkatan kadar histamin dan kontaminasi mikroba yang dilakukan secara semi kuantitatif dengan cara melihat hazard identification, hazard characterization, exposure assessment dan risk characterization dari bahaya peningkatan kontaminasi mikroba dan peningkatan kadar histamin selama proses penerimaan bahan baku. Diagram alur evaluasi risiko mikroba penghasil histamin dapat dilihat pada Gambar 6.

Pernyataan maksud Hazard identification Identifikasi agen yang dapat merugikan kesehatan Exposure assessment Evaluasi tingkat penyerapan makanan yang mungkin terjadi Hazard characterisation Evaluasi sumber merugikan yang berhubungan dengan bahaya yang terdapat dalam makanan. Termasuk dose-response assessment. Risk characterisation Pendugaan efek merugikan yang mungkin terdapat dalam populasi, termasuk adanya ketidakpastian Laporan resmi Gambar 6. Diagram alur proses microbiological risk assessment (Komisi Eropa 1997 diacu dalam Voysey et al. 2000) a) Hazard identification Hazard identification merupakan proses pencarian dan identifikasi masalah khususnya keberadaan histamin dan mikroba penghasil histamin pada ikan tuna selama proses pengolahan ikan tuna loin. Hazard identification meliputi identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan histamin, peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin serta risiko histamin terhadap tubuh manusia. Identifikasi dilakukan dengan studi literatur dari berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan histamin dan bahayanya bagi tubuh serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan bakteri penghasil histamin.

b) Exposure assessment Exposure assessment bertujuan untuk mengevaluasi level histamin dan mikroorganisme yang terdapat pada tuna. Informasi mengenai level kandungan bakteri total, bakteri penghasil histamin dan kandungan histamin diperoleh dengan cara melakukan pengambilan sampel ikan tuna. Pengambilan sampel dilakukan pada proses penerimaan bahan baku, proses pembentukan tuna loin dan proses pembungkusan tuna loin untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Sampling dilakukan sebanyak tiga kali pada bulan September sampai November 2008. Tahap exposure assessment dilakukan pengambilan data sekunder dari hasil analisis histamin PT. yang dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), Pluit, Jakarta Utara. c) Hazard characterization Hazard characterization merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif alami dari efek yang berhubungan dengan peningkatan dan bahaya histamin. Komponen paling penting dari langkah hazard characterization adalah penetapan dose respone. Dose respone merupakan kadar tertinggi histamin yang terdapat pada bahan baku (ikan tuna) yang dapat menyebabkan bahaya dalam tubuh manusia. Hazard characterization mengevaluasi besarnya kadar histamin yang mungkin dikonsumsi dari produk tuna loin yang mengandung histamin. d) Risk characterization Risk characterization merupakan perkiraan secara semi kuantitatif untuk menentukan risiko histamin berdasarkan hazard identification, hazard characterization dan exposure assessment. Hasil keluaran dari risk characterization ini adalah risk estimate atau perkiraan risiko yang dapat timbul dari peningkatan kadar histamin. Penilaian risk estimate menggunakan program risk ranger dari Ross dan Sumner (2002). 3.3 Prosedur Pengujian Sampel Analisis yang dilakukan meliputi kadar histamin, total plate count bahan baku ikan tuna, serta uji total mikroba penghasil histamin.

3.3.1 Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) Tahap ekstraksi Sampel ditimbang sebanyak 10 gram lalu ditambahkan dengan methanol sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan homogenizer (blender). Setelah homogen maka sampel tersebut dipanaskan dalam water bath pada suhu 60 o C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sampel yang sudah dalam keadaan suhu ruang dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan methanol sampai tanda tera dan dihomogenkan. Larutan sampel kemudian disaring dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Tahap clean up Pertama-tama disiapkan kolom, kemudian ke dalam kolom tersebut dimasukkan glass woll secukupnya (tingginya 1 cm), setelah itu dimasukkan resin penukar ion ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan resin tidak kering dengan cara dibilas menggunakan aquades karena akan mempengaruhi daya kerja ion pada resin). Langkah terakhir adalah melewatkan sampel ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml yang telah diberi 5 ml HCL 1 N. Tahap pembentukan Masing-masing tabung reaksi dimasukkan sebanyak 10 ml HCL 0.1 N kemudian ditambahkan 5 ml sampel, 5 ml standar histamin (untuk larutan sekunder) dan 5 ml HCL 0.1 (untuk blanko). Ditambahkan 3 ml NaOH, setelah itu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan sebanyak 1 ml orto-ftalatdikarboksilaldehid (OPT), lalu dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Sampel kemudian ditambahkan 3 ml H 3 PO4 3 5,7 N dan dihomogenkan, setelah selesai sampel siap untuk dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm. 3.3.2 Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2360-1991) Pertama-tama ditimbang sampel sebanyak 25 gram secara aseptik, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disterilkan, setelah itu ditambahkan sebanyak 225 ml larutan garam 0.85%. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 gram sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 % steril,