Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek: Indonesia, 1996-1999. Simon Bambang Sumarno Alumnus Magister Manajemen UGM



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan dilema serta kontroversial. Industri rokok kretek memegang

BAB 1 PENDAHULUAN. Begitu besarnya dampak krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat secara

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste),

SPESIALISASI DAN KONSENTRASI SPASIAL INDUSTRI TPT DI KOTA SURAKARTA DAN KARANGANYAR

Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

MUSLIKAH SUCIATI B

Economics Development Analysis Journal

ANALISIS PENGARUH AKUISISI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN (Studi Empiris pada PT. Sampoerna TBK di Bursa Efek Indonesia)

Kementerian Pertanian

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB 1 PENDAHULUAN. seperti buku, block note, buku hard cover, writing letter pad, dan lainnya. Industri

BAB I PENDAHULUAN. penghasil tembakau terbanyak di dunia setelah Cina, Brazil, India, Amerika

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. Di era perdagangan bebas seperti sekarang ini persaingan usaha diantara

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Objek Studi PT. Gudang Garam Tbk PT. Handjaya Mandala Sampoerna Tbk.

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Perusahaan Sejarah PT. Gudang Garam, Tbk

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan. Namun dengan semakin menipisnya sumber devisa migas yang secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012

BAB I PENDAHULUAN. dan pada dunia bisnis. Keadaan ini yang menuntut suatu perusahaan untuk selalu

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang sama yaitu mencari keuntungan atau laba. Usaha menjaga. perusahaan dengan kuat, perusahaan dapat mempertahankannya baik

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

DAMPAK PERTUMBUHAN INDUSTRI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI KABUPATEN SIDOARJO

I. PENDAHULUAN. Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi. perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara

ANALISA MANAGEMENT STRATEGY PT.GUDANG GARAM, TBK. Oleh : Iyan Gustiana Staf Dosen Sistem Informasi UNIKOM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA ATAU STRUCTURE- CONDUCT-PERFORMANCE

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

BAB I PENDAHULUAN. yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah

TUGAS LAPORAN. Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur. PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian Indonesia. Perusahaan rokok mempunyai multiplier effect

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

BAB I PENDAHULUAN. sedang terjadi, tetapi tidak dapat dipungkiri indonesia menjadi salah satu dari

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia

BAB I PENDAHULUAN. corporate governance ini diharapkan ada regulasi serta aturan mengenai

PAPARAN PUBLIK TAHUNAN KINERJA KUARTAL PERTAMA April 2015

BAB I PENDAHULUAN. stabilisasi harga masih menjadi hal yang serius hingga saat ini, khususnya

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. PT. HANJAYA MANDALA SAMPOERNA, Tbk (PT. HMS)

BABI PENDAHULUAN. alamnya. Di era industri yang terus berkembang, Indonesia turut pula

BAB I PENDAHULUAN. Entrepreneurship capital..., Eduardus Chrismas P., FE UI, Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. mengembangkan penelitian yang berkaitan. telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1.1 Perkembangan Cukai Rokok di Indonesia Tahun Pendapatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

Analisis Biplot pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Variabel-variabel Komponen Penyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hubungan antara Struktur-Perilaku-Kinerja atau Structure-Conduct-Performance

P E N U T U P P E N U T U P

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya dilakukan oleh kaum pria saja melainkan kaum wanita juga tidak

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Memasuki pasar bebas perdagangan dunia, aktivitas perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan ekonomi di Indonesia, Indonesia telah memasuki

BAB III OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada industri rokok

Kabupaten Temanggung merupakan salah satu daerah penghasil. rokok, tembakau Temanggung dikenal memiliki kualitas paling baik

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PROFIL PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

Bab V. Kesimpulan dan saran

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi

PAPARAN PUBLIK TAHUNAN KINERJA April 2013

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan, pengeringan tembakau dan cengkeh, perajangan tembakau dan pelintingan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

2. JUMLAH USAHA PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016

BAB II DESKRIPSI INDUSTRI MANUFAKTUR Sekilas Tentang Perusahaan Manufaktur

Oleh : Nita Indah Mayasari Dosen Pembimbing : Dra. Ismaini Zain, M.Si

Summary Report of TLAS Trainings in Community Forest on Java Year of Implementation :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan perekonomian dewasa ini mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, efisiensi biaya, maupun kinerja yang makin tinggi. Dengan demikian,

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

PERBANDINGAN DAYA SERAP TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN PERUSAHAAN PMA DAN PMDN DI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era sekarang ini, berbagai perusahaan berlomba-lomba untuk menjadi

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. berskala menengah dan kecil (home industry) dan memproduksi rokok kretek.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan industri manufaktur dan sebagai sumber devisa negara. Pengembangan

KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

DAMPAK PRODUKTIVITAS TERHADAP LABA (Studi Kasus pada Perusahaan Tekstil PT. Pismatex di Pekalongan)

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

ANALISIS INPUT OUTPUT PENGOLAHAN TEMBAKAU DI PROVINSI JAWA TIMUR. Input Output Analysis of Tobacco Proccessing in Jawa Timur Regency

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pesat di Indonesia. Sampai dengan tahun 1998, jumlah industri TPT di Indonesia

Transkripsi:

Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek: Indonesia, 1996-1999 Simon Bambang Sumarno Alumnus Magister Manajemen UGM Mudrajad Kuncoro Fakultas Ekonomi UGM ABSTRACT This paper attempts to illuminate the dynamics of Indonesia s clove cigarette industry using Structure-Conduct-Performance (SCP) paradigm and industrial cluster approach. We employed concentration ratios (CR4, CR8, and IHH) and performance ratios in SCP analysis. To identify industrial clusters, we used Geographic Information System (GIS) and some tools of analysis, mainly size and specialization index. The structure of clove cigarette industry suggested that an oligopoly with high concentration has been found, albeit declined slightly over the period 1996-1999. As far as geographic concentration is concerned, we found that this industy has clustered overwhelmingly in and around Kudus, Kediri, Surabaya, and Malang. Key words: oligopolistic industry, concentration ratio, cluster PENDAHULUAN Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi ia diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi lainnya dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja. Dalam 10 tahun terakhir industri rokok di Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal. Resesi ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter sejak Juli 1997 tidak terlalu berpengaruh dalam kegiatan industri tersebut. Pada Tahun 1994 penerimaan negara dari cukai rokok saja mencapai Rp 2,9 triliun, Tahun 1996 meningkat lagi menjadi Rp 4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp 4,792 triliun dan tahun 1998 melonjak lagi menjadi Rp 7,391 triliun (Indocommercial, 1999: 1). Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup dikenal. Pada tiga tahun terakhir (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok, yaitu PT.Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Djarum, selalu masuk dalam jajaran Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik di antara 200 Top Companies di Asia yang disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER) (Tabel 1). Di tengah krisis ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 200 1

perusahaan terbaik di kawasan Asia. Menariknya, di antara 10 besar tersebut, tiga di antaranya merupakan raksasa kretek Indonesia. Tabel 1 Peringkat Sepuluh Besar Perusahaan Indonesia Versi Far Eastern Economic Review, 1999-2001 Th 2001 Th 2000 Th 1999 Perusahaan Point 1 1 2 Astra 6.06 2 2 3 Indofood 5.9 3 3 6 Sampoerna 5.72 4 4 1 Gudang Garam 5.55 5 5 5 Indosat 5.42 6 8 7 Djarum 5.1 7 9 - Telkomsel 5.03 8 - - Satelindo 4.97 9 7 - Sosro 4.95 10 10 - SCTV 4.94 Sumber: FEER, http://www.feer.com, 23 April 2002 Uniknya, lokasi empat perusahaan rokok kretek yang mengusai pasar di Indonesia PT. Gudang Garam Tbk, PT. HM. Sampoerna Tbk, PT Djarum dan PT. Bentoel masingmasing amat terkonsentrasi secara geografis. Secara regional, masing-masing perusahaan ini berperanan dalam tumbuh dan berkembangnya kluster industri rokok di Kabupaten Kediri, Kota Surabaya, Kabupaten Kudus dan Kota Malang. Artikel ini mencoba menelusuri sejarah industri rokok, dilanjutkan dengan identifikasi profil para pemain utama dalam industri ini, analisis struktur, kinerja, dan kluster. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab oleh studi ini adalah: (1) apakah struktur dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia mengalami perubahan pada periode sebelum dan selama krisis ekonomi?; (2) di manakah lokasi kluster industri rokok di Indonesia?. SEJARAH SINGKAT ROKOK KRETEK INDONESIA Tulisan awal tentang tembakau berasal dari Christophorus Columbus tahun 1492, yang melaporkan penduduk asli Benua Amerika senang menghisap tembakau untuk mengusir rasa letih. Daun tembakau juga digunakan untuk keperluan upacara ritual dan bahan pengobatan di kalangan Suku Indian. Kemudian para penakluk dan penjelajah dari Eropa mulai menghisap daun tembakau sehingga kebiasaaan ini menyebar keseluruh penjuru dunia (Budiman & Onghokham,1987). Rokok merupakan benda yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia malahan keberadaan rokok di Indonesia sudah mengakar. Legenda percintaan antara Roro Mendut dan Pranacitra yang menampilkan ikon rokok sebagai obyek dari cerita yang ada di Jawa tersebut membuktikan bahwa keberadaan rokok di tanah Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya sudah mapan. Legenda tersebut mengkisahkan Roro Mendut yang dibebani pajak oleh Tumenggung Wiraguna sebesar tiga real sehari yang disebabkan cintanya ditolak oleh Roro Mendut. Untuk membayar pajak yang dibebankan oleh Tumenggung Wiraguna maka Roro Mendut membuka home industry rokok. Rokok produksi Mendut 2

diserbu peminat khususnya kaum pria, salah satunya adalah Pranacitra yang kemudian menjalin cinta dengan Mendut. Kebiasaan merokok mulai menyebar di pulau Jawa karena adanya kabar bahwa kebiasaan merokok dapat menyembuhkan sakit bengek atau sesak napas. Mula-mula Haji Djamari penduduk Kudus yang menderita sakit di bagian dadanya mempelopori penggunaan minyak cengkeh dalam mengobati penyakitnya dan ternyata penyakitnya mulai sembuh. Dengan naluri bisnisnya maka Haji Djamari mulai membuat rokok obat yang diproduksi dalam skala industri rumah tangga dan laku di pasaran. Pada saat itu rokok obat lebih dikenal dengan nama rokok cengkeh, kemudian sebutan tersebut berganti menjadi rokok kretek karena bila rokok ini dibakar maka berbunyi berkemeretekan. (Budiman & Onghokham,1987) Perkembangan rokok kretek Indonesia dimulai di Kudus pada tahun 1890 kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa Tengah antara lain Magelang, Surakarta, Pati, Rembang, Jepara, Semarang juga ke Daerah Istimewa Yogyakarta (Gatra, 2000: 54). Perkembangan industri rokok di Indonesia ditandai dengan lahirnya perusahaan rokok besar yang menguasai pasar dalam industri ini, yaitu PT. Gudang Garam,Tbk yang berpusat di Kediri, PT. Djarum yang berpusat di Kudus, PT.HM Sampoerna, Tbk yang berpusat di Surabaya, PT. Bentoel yang berpusat di Malang dan PT. Nojorono yang berpusat di Kudus. Rokok Indonesia memiliki cita rasa yang berbeda dengan rokok luar negeri yang biasa dikenal dengan nama rokok putih. Rokok Indonesia, yang dikenal dengan rokok kretek (clove cigarette), mempunyai cita rasa yang berbeda karena adanya pemanfaatan bahan baku cengkeh (sebagai tambahan aroma) selain tembakau sebagai bahan pokoknya. Dalam sejarah perkembangannya produksi rokok cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, salah satu sebabnya adalah makin dikenalnya rokok kretek sehingga permintaan untuk rokok kretek meningkat. Sebelum tahun 1975 industri rokok Indonesia masih didominasi oleh rokok putih yang diimpor. Setelah tahun 1975 industri rokok kretek mampu menjadi primadona di negerinya sendiri. Industri rokok di Indonesia merupakan industri yang banyak menyerap tenaga kerja (sumber daya manusia, SDM). SDM dibutuhkan mulai dari penanaman tembakau dan cengkeh di perkebunan, pengeringan tembakau dan cengkeh, perajangan tembakau dan pelintingan rokok di pabrik-pabrik sampai pedagang asongan yang memasarkan rokok di jalanan. Industri rokok di Indonesia menyerap tenaga kerja sekitar 500.000 karyawan, yang bekerja langsung pada pabrik dan pada seluruh level struktur organisasi (Swasembada, 1999: 44). Penyerapan tenaga kerja tidak hanya ada di pabrik rokok saja tetapi bila ditambah dengan jumlah orang yang terlibat dari hulu sampai hilir yang diawali dengan petani tembakau dan cengkeh, karyawan produksi kertas pembungkus rokok, sampai karyawan dalam jalur distribusi (ritel, outlet dan pedagang asongan), jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri ini sekitar 18 juta jiwa (Gatra, 2000: 48). Perkembangan teknologi memacu juga modernisasi industri rokok di Indonesia diawali dengan mesinisasi yang dipelopori oleh PT. Bentoel pada tahun 1968 sehingga produksinya disebut dengan sigaret kretek mesin (SKM). Walaupun ada modernisasi tetapi kebutuhan tenaga kerja masih tetap tinggi yang diserap oleh proses produksi pelintingan rokok yang dikerjakan oleh tenaga manusia dan kita kenal produknya selama ini dengan nama sigaret kretek tangan (SKT). 3

PRODUKSI ROKOK DI INDONESIA Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus ternyata di masa krismon tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Tabel 2 menyajikan perkembangan produksi rokok di Indonesia dari tahun 1996 2001 terdiri dari rokok kretek, rokok putih, dan klobot/klembak. Pada tabel 2 terlihat bahwa perkembangan produksi rokok mengalami kenaikan dari tahun 1996 hingga pada puncaknya pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi rokok secara total mengalami penurunan, penurunan produksi secara signifikan diakibatkan menurunnya produksi rokok kretek yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan produksi rokok putih. Tabel 2 Perkembangan Produksi Rokok di Indonesia (1996-2001) (dalam juta batang) Tahun Rokok Kretek Rokok Putih Klobot/Klembak Total 1996 159.500 53.640 6.146 219.286 1997 169.121 55.973 7.900 232.994 1998 167.005 69.464 8.510 244.979 1999 163.665 67.380 7.400 238.445 2000 164.483 66.706 6.700 237.889 2001 168.071 69.423 6.500 243.994 Sumber : Indocommercial (1999; 2002) 300000 Gambar 1. Perkembangan Produksi Rokok di Indonesia 250000 200000 150000 100000 50000 Rokok Kretek Rokok Putih Klobot/Klembak Total 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Sumber: Diolah dari data Indocommercial (1999; 2002) Produksi rokok kretek di Indonesia tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat Indonesia saja, tetapi sudah diekspor ke mancanegara. Pada Tabel 3 dapat dilihat 4

perkembangan ekspor rokok di Indonesia dari tahun 1996 2001 (sampai bulan Juni). Pada tahun 1997 volume ekspor rokok mencapai puncaknya tetapi dalam US$ yang terbesar adalah pada tahun 2000. Ekspor rokok khususnya rokok kretek Indonesia sudah mencapai berbagai negara tujuan. Negara yang paling besar menjadi tujuan ekspor rokok kretek Indonesia adalah Malaysia dengan volume 5.041.217 kg dengan nilai US$ 61.184.464. dan beberapa negara di kawasan Asia, di antaranya adalah Thailand, Kamboja dan Jordan. Tabel 3 Perkembangan Ekspor Rokok di Indonesia, 1996-2001 Rokok Kretek Rokok Putih Total Tahun Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai (Ton) (US$'000) (Ton) (US$'000) (Ton) (US$'000) 1996 26.918 127.198 Tda Tda 26.918 127.198 1997 32.327 136.927 300 490 32.627 137.417 1998 23.931 99.978 87 978 24.018 100.956 1999 23.799 112.514 121 1005 23.920 113.519 2000 22.473 139.222 31 501 22.504 139.723 2001*) 13.123 78.400 39 462 13.162 78.862 Sumber : Indocommercial (1999; 2002) *) sampai bulan juni 160000 140000 Gambar 2 Perkembangan Ekspor Rokok di Indonesia 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001* Kretek Putih Total Sumber: Diolah dari Indocommercial (1999; 2002) Bila dibandingkan dengan ekspor, volume impor rokok Indonesia relatif lebih kecil. Volume impor tertinggi terjadi pada tahun 2000 yang mencapai 562 ton dengan nilai sebesar US$ 1,7 juta. 5

Tabel 4 Perkembangan Impor Rokok di Indonesia 1996-2000 Rokok Kretek Rokok Putih Total Tahun Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai (Ton) (US$'000) (Ton) (US$'000) (Ton) (US$'000) 1996 126 652 1 14 127 666 1997 118 629 2 16 120 645 1998 22 239 Tda tda 22 239 1999 170 638 11 23 181 649 2000 560 1693 2 22 562 1.715 Sumber : Indocommercial (1999; 2002) Gambar 3 Perkembangan Impor Rokok di Indonesia 1996-2000 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1996 1997 1998 1999 2000 Kretek Putih Total Sumber: Diolah dari Indocommercial (1999; 2002) DATA Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari datadata industri yang diterbitkan oleh BPS dalam format CD ROM. Data yang dipakai adalah data yang menggunakan sistem penggolongan industri yang ditetapkan oleh Organisasi Industri pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO). Penggolongan ini dikenal dengan nama International Standard Industrial Classification (ISIC). Data yang diambil menurut standar ISIC adalah data industri rokok kretek seluruh Indonesia pada tahun 1996 dan 1999. Data tahun 1996 sengaja diambil untuk melihat kondisi struktur perilaku dan kinerja industri rokok kretek Indonesia sebelum krisis 6

ekonomi yang menimpa Indonesia. Sedangkan data industri rokok kretek Indonesia tahun 1999 diambil sebagai pembanding keadaan industri rokok kretek sesudah krisis. Kode ISIC untuk industri rokok kretek Indonesia pada tahun 1996 adalah 31420 (5 digit) sedangkan kode ISIC untuk industri rokok kretek Indonesia pada tahun 1999 adalah 16002 (5 digit). Data-data yang diambil dalam penelitian ini adalah: (1) Nilai output, yaitu diperoleh dari barang-barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan pihak lain; (2) Nilai input, atau dapat disebut dengan biaya input adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam proses produksinya; (3) Jumlah tenaga kerja, data yang diambil merupakan jumlah tenaga kerja total baik tenaga kerja produksi maupun tenaga kerja non produksi; (4) Nilai tambah (value added) adalah selisih dari nilai output dan nilai input; (5) R & D, adalah data jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam melakukan penelitian dan pengembangan; (6) Daerah baik itu kabupaten, kota, maupun propinsi yang mempunyai industri rokok kretek. ANALISIS STRUKTUR INDUSTRI ROKOK KRETEK Dalam studi empiris mengenai struktur industri, dua indikator konsentrasi perusahaan umumnya digunakan, yaitu: rasio konsentrasi dan Indeks Herfindahl-Hirschman (IHH) (Church & Ware, 2000: 428-30; Blair & Kaserman, 1985: 235-7). Rasio konsentrasi perusahaan n menunjukkan pangsa penjualan n perusahaan terbesar terhadap total penjualan industri. Rasio konsentrasi yang umum digunakan adalah CR4 dan CR8, yang masing-masing menunjukkan pangsa 4 perusahaan terbesar dan pangsa 8 perusahaan terbesar dalam industri. Struktur pasar suatu industri dapat juga dianalisis dengan menggunakan IHH, yang merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap-tiap perusahaan dalam suatu industri. Indeks ini bernilai antara lebih dari 0 hingga 1. Jika IHH mendekati nilai 0, berarti struktur industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan, sementara jika indeks bernilai mendekati 1 maka struktur industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Struktur industri rokok kretek yang diamati dari indikator konsentrasi industri dengan menggunakan metode CR4, CR8, maupun Indeks Herfindahl (lihat Tabel 6). Berdasarkan analisis standar dalam ekonomi industri, struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila 4 perusahaan terbesar menguasai minimal 40% pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan (CR4 = 40%) (Kuncoro, et al., 1997: bab 22). Apabila kekuatan keempat perusahaan tersebut dianggap sama, maka pangsa penjualan/produksi masingmasing perusahaan adalah 10% dari nilai penjualan/produksi suatu industri. Sedangkan, menurut Stigler, suatu industri dikatakan berstruktur oligopoli bila mempunyai konsentrasi industri lebih dari 60% (Hasibuan,1993). 7

Tabel 5 Konsentrasi Industri Rokok Kretek di Indonesia 1996-1999 Tahun CR4 CR8 IHH Total Firm 1996 0.8109 0.9174 0.3131 191 1997 0.8216 0.9071 0.3207 190 1998 0.6807 0.8206 0.2056 204 1999 0.7891 0.8812 0.2716 206 rata - rata 0.7756 0.8815 0.2778 Sumber : Diolah dari data BPS Dari hasil perhitungan ternyata rata-rata konsentrasi industri rokok kretek di Indonesia di atas 40% yaitu 77,56% untuk perhitungan konsentrasi industri menurut metode CR4, dan 88,15% untuk perhitungan konsentrasi industri menurut metode CR8. Dengan demikina, struktur industri rokok kretek di Indonesia dapat digolongkan berstruktur oligopoli. Dari hasil perhitungan IHH ternyata rata-rata nilainya adalah sebesar 0,27 yang berarti struktur dari industri rokok kretek di Indonesia tidak berstruktur monopoli karena nilai rata-rata IHH tidak mendekati satu. Dari nilai rata-rata CR4 ternyata industri rokok kretek di Indonesia mempunyai nilai konsentrasi sebesar 77% sedangkan nilai rata-rata CR8 menunjukkan nilai konsentrasi sebesar 88,15%. Maka berdasarkan klasifikasi struktur industri yang ditetapkan oleh Bain (1956), struktur industri rokok kretek di Indonesia masuk dalam tipe II yaitu oligopoli dengan tingkat konsentrasi tinggi. Artinya 4 perusahaan terbesar menguasai sekitar 72% atau 8 perusahaan menguasai 88% dari total penawaran suatu barang ke pasar. Pada tahun 1998 ada pertambahan jumlah perusahaan sebanyak 14 buah sehingga menjadi 204 perusahaan rokok kretek. Nilai konsentrasi industri baik itu CR4 dan CR8 mengalami penurunan yang tajam (CR4 mengalami penurunan sebesar 14% sedangkan CR8 mengalami penurunan sebesar 8%). Menurut klasifikasi strukur industri yang disusun oleh Bain, pada tahun 1998 struktur industri rokok kretek di Indonesia masuk dalam tipe III, yaitu tipe oligopoli dengan tingkat konsentrasi moderat tinggi, artinya 4 perusahaan terbesar menguasai sekitar 61% atau 8 perusahaan menguasai 77% dari total penawaran suatu barang ke pasar. CR4 1998 sebesar 68% sedangkan CR8 sebesar 82%. Penurunan konsentrasi industri pada tahun 1998 dapat disebabkan oleh 2 hal: (1) karena bertambahnya perusahaan sehingga mengurangi pangsa pasar dari 4 perusahaan terbesar (CR4) yang berarti hambatan masuk (barrier of entry) menjadi berkurang; (2) karena pada tahun 1998 merupakan puncak krisis ekonomi sehingga roda perekonomian menjadi tersendat. Pada tahun 1999 jumlah perusahaan rokok kretek di Indonesia bertambah menjadi 206, dengan konsentrasi industri cenderung meningkat dari tahun 1998 (CR4 meningkat sebesar 10%, CR8 meningkat sebesar 6%). Bila kita bandingkan kondisi tahun 1999 dengan tahun 1996 yaitu perbandingan konsentrasi industri sesudah krisis (masa recovery) dengan sebelum krisis ternyata konsentrasi industri sesudah krisis mengalami penurunan sehingga puncak krisis yang terjadi pada 1998 mempengaruhi pangsa pasar industri rokok kretek di Indonesia yang pada akhirnya mempengaruhi konsentrasi industri rokok kretek di Indonesia 8

Gambar 4 Konsentrasi Industri Rokok Kretek di Indonesia 1.0000 0.8000 0.6000 0.4000 0.2000 0.0000 1996 1997 1998 1999 CR4 CR8 IHH Sumber: Diolah dari data BPS Hasil ini konsisten dengan studi Hornaday (1994: 129-132) dan laporan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) yang menunjukkan dominasi 4 perusahaan rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan PT Bentoel. Menurut GAPPRI pada tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek terbesar dalam negeri memproduksi 164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri dari rokok kretek yang digulung dengan tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar batang, rokok kretek yang dihasilkan dengan mesin (SKM) sebesar 109 miliar batang dan rokok klobot 253 juta batang. Berikut ini akan dikupas profil dan penguasaaan pasar keempat perusahaan tersebut. 1. PT. Gudang Garam, Tbk Perusahaan ini didirikan pada tahun 1958 di Kediri, pertama kali memproduksi klobot kretek. Berkat sistem manajemen yang profesional terutama menjelang tahun tahun awal 1980-an perusahaan ini melejit mendahului perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan ini menjadi perusahaan publik terbesar dalam industri rokok. PT Gudang Garam, Tbk adalah penguasa pangsa pasar terbesar industri rokok kretek di Indonesia yang menghasilkan 74,4 miliar batang rokok atau 45,4 % dari jumlah produksi 22 perusahaan terbesar yang bergabung dalam GAPPRI. Porsi sigaret kretek tangan (SKT) yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut terus menurun, pada tahun 1998 dari 74,4 miliar batang rokok yang dihasilkan 61,2 miliar batang rokok (82,1%) adalah sigaret kretek mesin (SKM), sementara produksi SKT dan klobot hanya 13,1 miliar (Indocommercial, 1999:1) Melalui merek andalannya, Gudang Garam hingga kini menguasai pangsa pasar hingga 50%. Sumbangan terbesar Gudang Garam diperoleh dari SKM dengan merek Gudang Garam Filter International. Merek dalam segmen SKM yang dimiliki oleh Gudang Garam antara lain Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang Garam Filter International Merah 12, Gudang Garam Filter International Merah 16. Sedangkan merek dalam segmen SKT yang dimiliki Gudang Garam adalah Gudang Garam King Size 12, Gudang Garam King Size 16, dan Gudang Garam Surya Pro (Indocommercial, 2002: 4) 9

2. PT. HM. Sampoerna,Tbk Perusahaan ini didirikan oleh almarhum Liem Seng Tee sejak tahun 1913 yang memproduksi kretek merek Djie Sam Soe. Merek ini berarti angka 234 dengan filosofi bila dijumlahkan akan menghasilkan angka sembilan, yang dianggap keberuntungan menurut kepercayaan Cina. Pada tahun 1930 status usahanya berubah menjadi PT dengan nama Handel Maatschappij Liem Seng Tee. Pada tahun 1963 nama perusahaan ini diubah menjadi PT. PD & I Panamas atau disingkat PT. Panamas dengan pemegang sahamnya Mr. Aga Sampoerna dan Mr Liem Swie Hwa. Pada tahun 1977 terjadi lagi perubahan dengan masuknya Mr. Putera Sampoerna anak dari Mr. Aga Sampoerna. Pada tahun 1988 namanya berubah menjadi PT. Hanjaya Mandala Sampoerna sekaligus dengan memasukkan beberapa pemegang saham baru. PT. HM Sampoerna telah go public pada bulan Juli 1990 dengan menjual 15% sahamnya ke masyarakat atau sebanyak 27 juta lembar. (Indocommercial, 2002: 4). PT. HM. Sampoerna,Tbk merupakan perusahaan yang memegang pangsa pasar kedua setelah PT. Gudang Garam,Tbk. Dengan jumlah produksi 25 miliar batang rokok, poduksi SKMnya mencapai 9,4 miliar batang rokok atau hanya 37,6% dari total produknya. Produk SKT yang dimiliki Sampoerna saat ini adalah Djie Sam Soe dan Sampoerna Hijau. Di segmen SKM adalah Djie Sam Soe Filter, A King Merah dan A King Hijau, Serta A International yang menggunakan teknologi twin wrap. Untuk produksi SKM LTLN Sampoerna mempunyai merek unggulan yaitu A Mild Merah 12 dan 16, A Mild Hijau 12 dan 16. 3. PT. Djarum PT. Djarum merupakan perusahaan rokok kretek terkemuka di Indonesia dan menguasai pangsa pasar industri rokok kretek terbesar ke tiga di Indonesia. Didirikan oleh Oei Wie Gwan dari sebuah pabrik rokok kecil di Kudus yang dibelinya pada tahun 1951. Nyaris punah pada saat terbakar dan saat Oei Wie Gwan wafat. Karena kegigihan dari dua bersaudara putra dari Oei Wie Gwan yang membangun kembali puing-puing yang tersisa sehingga PT Djarum dapat tetap bertahan. Mengawali sukses dengan sigaret kretek tangan (SKT), Djarum kemudian sukses juga merambah sigaret kretek mesin (SKM) (http:// www. Djarum.com, 23 April 2002). PT. Djarum menempati posisi ketiga dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan jumlah produksi 20,9 miliar batang rokok dengan porsi SKM 9,3 miliar batang (44,5%). Pada tahun 1985 dan 1986 PT. Djarum pernah menduduki tempat teratas dalam produksi rokok kretek dalam negeri meninggalkan PT. Gudang Garam. Produk-produk Djarum disalurkan ke seluruh pelosok Indonesia dan mancanegara melalui jaringan distribusi terpadu dan terkomputerisasi yang dibangun untuk memberikan layanan profesional dan tepat waktu kepada para pelanggan. Distribusi pasar nasional dikelola oleh tiga perusahaan yaitu PT. Anindita Multiniaga Indonesia untuk wilayah Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. PT. Lokaniaga Adipermata untuk Jawa Tengah dan Jawa Barat dan PT. Adiniaga Sentrapersada untuk wilayah Jabotabek, sebagian Jawa Barat, Sumatera serta Kalimantan Barat (http://www.djarum.com, 23 April 2002). 10

4. PT. Bentoel PT. Bentoel didirikan di Malang, Jawa Timur pada tahun 1920. Produk pertamanya adalah rokok klobot dengan merek Burung. PT. Bentoel pernah menduduki posisi ketiga industri rokok kretek di Indonesia, tetapi beberapa tahun lalu mengalami masalah karena besarnya beban hutang di perusahaan tersebut. Tepatnya pada bulan Juni 1991 lalu, perusahaan tersebut tidak dapat membayar pinjaman setelah jatuh tempo sebesar US$ 45 juta kepada sindikasi bank international. Masalah ini timbul karena kesalahan dalam pengendalian keuangan sehingga PT. Bentoel terpaksa mengundang pihak luar yaitu PT. Rajawali Wira Bhakti Utama (RWBU). (Indocommercial, 2002: 6). Sumbangan PT. Bentoel dalam industri rokok kretek di Indonesia yaitu dengan mempelopori dan mengembangkan sistem rolling otomatis pertama pada tahun 1968. Produk Bentoel di segmen SKT adalah Bentoel Merah, sedangkan untuk SKM adalah Bentoel International 12, untuk segmen SKM LTLN Bentoel mengeluarkan dua produk yaitu Star Mild dan Bentoel Mild. ANALISIS KINERJA INDUSTRI ROKOK KRETEK Kinerja industri rokok kretek di Indonesia dapat kita amati dari sumbangan industri rokok kretek terhadap total industri manufaktur. Sumbangan industri rokok kretek di Indonesia terhadap total industri manufaktur pada tahun 1996 dan 1999 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sumbangan Industri Rokok Kretek TerhadapTotal Industri Manufaktur di Indonesia (%) Sumbangan 1996 1999 1 Tenaga kerja 4,15 4,65 2 Nilai Tambah 8,79 10,15 3 Unit usaha 0,83 0,93 Sumber: Diolah dari data BPS Dari Tabel 6 dapat kita lihat bahwa sumbangan industri rokok kretek terhadap total industri manufaktur mengalami peningkatan padahal pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi, pada tahun 1999 (masa recovery) kinerja industri rokok kretek di Indonesia mengalami pertumbuhan dalam memberikan sumbangan terhadap total industri manufaktur di Indonesia. Pertumbuhan sumbangan tenaga kerja sebesar 0,5% menunjukkan bahwa ada penyerapan tenaga kerja didalam industri rokok kretek di Indonesia seiring dengan peningkatan jumlah unit usaha. Pertumbuhan tenaga kerja dan nilai tambah tiap daerah pada tahun 1996 dan 1999 dapat dilihat pada Tabel 7. 11

Tabel 7 Perkembangan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Rokok Kretek di Indonesia pada Tahun 1996 dan 1999 Tenaga Kerja Nilai Tambah (Rp.000) 1996 1999 %* %** 1996 1999 %* %** Sumut 599 tda tda tda 6.250.840 tda tda tda Jabar 60 tda tda tda 186.559 tda tda tda Jateng 55.976 65.636 17,257 5,752 901.676.430 1.788.049.463 98,303 32,768 Jatim 117.936 131.398 11,415 3,805 7.291.000.000 17.603.000.000 141,435 47,145 Bali 133 tda tda tda 287.673 tda tda tda Sulut 42 tda tda tda 36.074 tda tda tda Total 174.746 197.034 12,755 4,252 8.199.437.576 19.391.049.463 136,492 45,497 Keterangan : * = Pertumbuhan absolut ** = Pertumbuhan pertahun tda = tidak ada data Sumber : Diolah dari data BPS Dari tabel 7 dapat kita lihat bahwa wilayah daerah industri rokok kretek di Indonesia pada tahun 1996 dan 1999 mengalami perbedaan. Pada tahun 1996 masih ada daerah industri rokok kretek yang ada di luar Jawa seperti Bali, Sumut, Sulut. Sedangkan daerah industri rokok kretek pada tahun 1999 hanya menyisakan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gambar 5 Pertumbuhan Tenaga Kerja Industri Rokok Kretek di Indonesia Tahun 1996 dan 1999 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 Sumut Jabar Jateng Jatim Bali Sulut 1996 1999 Pada tahun 1999 terjadi peningkatan absolut tenaga kerja dan nilai tambah di wilayah Jawa Tengah yaitu sebesar 17,26% untuk tenaga kerja dan 98,3% untuk nilai tambah. Jadi per tahun mengalami pertumbuhan masing-masing untuk tenaga kerja dan nilai tambah sebesar 5,75% dan 32,77%. Daerah industri rokok kretek di Jawa Timur juga mengalami pertumbuhan absolut untuk tenaga kerja dan nilai tambah sebesar 11,41% dan 141,43%. 12

Dengan kata lain, per tahun mengalami pertumbuhan masing-masing untuk tenaga kerja dan nilai tambah sebesar 3,8% dan 47,14%. Daerah Jawa Tengah mempunyai pertumbuhan tenaga kerja rata-rata pertahun lebih besar dari Jawa Timur yaitu mempunyai selisih sebesar 1,95%. Namun pertumbuhan nilai tambah di Jawa Timur rata-rata lebih besar dari Jawa Tengah yaitu mempunyai selisih sebesar 14,38%. Gambar 6 Pertumbuhan Nilai Tambah Industri Rokok Kretek di IndonesiaTahun 1996 dan 1999 20,000,000,000 15,000,000,000 10,000,000,000 5,000,000,000 1996 1999 0 Sumut Jabar Jateng Jatim Bali Sulut Sumber : Diolah dari data BPS Untuk melihat lebih mendalam sumbangan industri rokok kretek terhadap industri manufaktur, pada Tabel 8 dan 9 disajikan sumbangan tenaga kerja dan nilai tambah tiap daerah (propinsi) industri rokok kretek di Indonesia. Dari tabel tersebut kita dapat melihat daerah (propinsi) industri rokok kretek yang memberikan sumbangan terbesar di antara daerah (propinsi) industri rokok kretek lainnya. Tabel 8 Sumbangan Tenaga Kerja Industri Rokok Kretek Terhadap Industri Manufaktur di Indonesia 1996 % 1999 % Sumut 599 0,014 tda Tda Jabar 60 0,001 tda Tda Jateng 55.976 1,328 65636 1.549 Jatim 117.936 2,798 131398 3.100 Bali 133 0,003 tda Tda Sulut 42 0,001 tda Tda Total 174.746 4,146 197.034 4,649 Industri lain 4.040.221 95,854 4.041.267 95,351 Total Ind 4.214.967 100 4.238.301 100 Sumber : Diolah dari data BPS 13

Gambar 7 Sumbangan Tenaga Kerja Industri Rokok Kretek Terhadap Industri Manufaktur di Indonesia 4.000 3.000 2.000 1.000 1996 1999 0.000 Sumut Jabar Jateng Jatim Bali Sulut Sumber : Diolah dari Data BPS Sumbangan tenaga kerja pada tahun 1996 paling besar diberikan oleh daerah (propinsi) Jawa Timur merupakan 65% dari sumbangan industri rokok kretek Indonesia terhadap industri manufaktur. Sumbangan tenaga kerja industri rokok kretek propinsi Jawa Timur pada tahun 1996 terhadap tenaga kerja industri manufaktur adalah sebesar 2,798%. Pada tahun 1999 mengalami peningkatan menjadi 3,1% (meningkat sebesar 0,302%) Jawa Tengah merupakan daerah industri rokok kretek yang memberikan sumbangan terbesar kedua setelah Jawa Timur terhadap tenaga kerja industri manufaktur di Indonesia. Industri rokok kretek di Jawa Tengah memberikan sumbangan tenaga kerja 31,88% industri rokok kretek Indonesia terhadap industri manufaktur pada tahun 1996. Sumbangan tenaga kerja di Jawa Tengah mengalami peningkatan dari 1,33% pada tahun 1996 menjadi 1,55% pada tahun 1999 (meningkat sebesar 0,22%). Bukan hanya tenaga kerja yang mengalami peningkatan tetapi juga nilai tambah industri rokok kretek di Indonesia juga mengalami peningkatan terhadap nilai tambah industri manufakur di Indonesia (lihat gambar 8). Industri rokok kretek di Jawa Timur memberikan sumbangan nilai tambah terbesar terhadap industri manufaktur dibandingkan industri rokok kretek lain di daerah lain. Jawa Timur memberikan sumbangan sebesar 7,81% pada tahun 1996 dan meningkat menjadi 9,22% jadi mengalami peningkatan sebesar 1,41%. Jawa Tengah mengalami penurunan dalam memberikan sumbangan terhadap industri manufaktur di Indonesia walaupun jumlah nilai tambah industri rokok kretek di Jawa Tengah mengalami peningkatan. Berarti peningkatan nilai tambah di Jawa Tengah tidak mampu meningkatkan sumbangan industri rokok kretek di Jawa Tengah terhadap industri manufaktur. Pada tahun 1996 Jawa Tengah memberikan sumbangan sebesar 0,9661% sedangkan pada tahun 1999 memberikan sumbangan sebesar 0,9362% jadi ada penurunan sebesar 0.0299%. Dari Tabel 8 dan 9 dapat kita simpulkan bahwa propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah memberikan sumbangan yang berarti dalam pangsa tenaga kerja maupun nilai tambah industri rokok kretek di Indonesia terhadap tenaga kerja dan nilai tambah industri manufaktur di Indonesia. 14

Tabel 9 Sumbangan Nilai Tambah Industri Rokok Kretek Terhadap Industri Manufaktur di Indonesia 1996 dan 1999 1996 1999 (Rp 000) % (Rp. 000) % Sumut 6.250.840 0,00670 Tda Tda Jabar 186.559 0,00020 Tda Tda Jateng 901.676.430 0,96609 1.788.049.463 0,936 Jatim 7.291.000.000 7,81186 17.603.000.000 9,216 Bali 287.673 0,00031 Tda Tda Sulut 36.074 0,00004 Tda Tda Total 8.199.437.576 8,78519373 19.391.049.463 10,15238 Industri lain 85.133.024.124 91,2148063 171.608.950.537 89,84762 Total Ind 93.332.461.700 100 191.000.000.000 100 Sumber : Diolah dari data BPS Gambar 8 Sumbangan Nilai Tambah Industri Rokok Kretek Terhadap Industri Manufaktur di Indonesia 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 1996 1999 0,000 Sumut Jabar Jateng Jatim Bali Sulut Sumber : Diolah dari Data BPS Tabel 10 memperlihatkan kinerja industri rokok kretek Indonesia pada tahun 1996 dan 1999 dilihat dari sudut profit (keuntungan). Dari Tabel 10 kita dapat menyimpulkan kinerja perusahaan dari segi laba mengalami sedikit penurunan bila dibagi dengan jumlah perusahaan yang ada. Pada tahun 1996 industri rokok kretek mempunyai keuntungan/perusahaan sebesar 0,345% sedangkan pada tahun 1999 menjadi 0,342%. Jadi mengalami penurunan sebesar 0,003%. Dapat kita lihat bahwa keuntungan/perusahaan mempunyai korelasi yang positif dengan konsentrasi industri dengan indikator turunnya nilai CR4. Sedangkan keuntungan/perusahaan mempunyai korelasi yang negatif terhadap jumlah perusahaan. Bila dilihat keuntungan/output industri rokok kretek di Indonesia secara total pada tahun 1999 mengalami kenaikan sebesar 4,1% bila dibandingkan dengan keutungan /output pada tahun 1996. Tetapi keuntungan/output yang meningkat diiringi dengan bertambahnya jumlah perusahaan sehingga menyebabkan keuntungan/perusahaan menjadi menurun. 15

Tabel 10 Keuntungan Industri Rokok Kretek di Indonesia 1996 dan 1999 Tahun Keuntungan/ Keuntungan/ CR4 Jumlah Output Perusahaan Perusahaan 1996 0.6589 0.00345 0.8109 191 1999 0.7038 0.00342 0.7891 206 Keterangan : CR4 = Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar Keuntungan = Profit atau nilai tambah Keuntungan/perusahaan = (Keuntungan/Output)/Perusahaan Sumber : Diolah dari data BPS Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bertambahnya jumlah perusahaan mempengaruhi pangsa pasar industri rokok kretek di Indonesia dan menyebabkan nilai konsentrasi industri mengalami perubahan yang pada akhirnya mem-pengaruhi keuntungan tiap perusahaan. Produktivitas dan efisiensi dapat dijadikan sebagai indikator kinerja industri. Produktivitas adalah hasil yang dicapai tiap tenaga kerja atau unit faktor produksi dalam jangka waktu tertentu. Efisiensi merupakan ukuran dari hasil yang dicapai dengan pengorbanan tertentu. Produktivitas dan efisiensi yang paling tinggi terdapat di propinsi Jawa Timur baik pada tahun 1996 maupun tahun 1999. Produktivitas dan efisiensi secara total Indonesia mengalami peningkatan. Produktivitas meningkat sebesar 96,41% sedangkan efisiensi meningkat sebesar 23,19%. Di Jawa Tengah pada Tahun 1996 Kabupaten yang menempati peringkat teratas dalam segi produktivitas adalah Karanganyar, Magelang, Kudus dan Sukoharjo. Sedangkan di Jawa Timur adalah Kediri, Surabaya, Mojokerto, Malang. Pada tahun 1999 peringkat teratas dalam segi produktivitas di Jawa Timur tidak berubah, sedangkan di Jawa Tengah mengalami perubahan menjadi Boyolali, Kudus, Magelang, dan Kendal.(lihat lampiran 1). Tabel 11 Produktivitas dan Efisiensi Industri Rokok Kretek Tiap Propinsi di Indonesia 1996 dan 1999 Thn 1996 Thn 1999 Produktivitas Efisiensi Produktivitas Efisiensi Sumut 30.895,66 0,51 tda Tda Jabar 5.180 1,5 tda tda Jateng 34.242,27 0,89 60.356,1 0,82 Jatim 89.026,54 2,27 179.451,8 2,96 Bali 6.885,92 0,46 tda tda Sulut 1.812,95 0,9 tda tda Indonesia 71.166,08 1,94 139.778,7 2,39 Keterangan : Produktivitas = Output/Tenaga kerja Efisiensi = Nilai Tambah/ Input Sumber : Diolah dari data BPS 16

ANALISIS KLUSTER INDUSTRI ROKOK KRETEK Industri merupakan suatu aktivitas ekonomi yang tidak terlepas dari kondisi konsentrasi geografis. Konsentrasi aktivitas ekonomi dalam suatu negara menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses selektif dipandang dari dimensi geografis. Kluster (pengelompokan) menurut teori lokasi tradisonal terjadi karena adanya minimisasi biaya transpor atau biaya produksi. Pemilihan lokasi suatu industri merupakan suatu upaya dari industri tersebut untuk menguasai areal pasar terluas melalui maksimisasi penjualan. Kluster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktifitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada satu atau dua industri saja (Kuncoro, 2002: bab 7). Penjelasan klasik konsentrasi aktifitas ekonomi secara spasial mengacu pada dua macam eksternalitas ekonomi, yang dinamakan penghematan lokalisasi (localization economies) dan penghemat-an urbanisasi (urbanization economies). Kedua macam penghematan ini yang sering disebut agglomeration economies. Penghematan akibat lokalisasi (localization economies) terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat. Jadi dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam suatu industri yang sama, suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Penghematan lokalisasi yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki aktifitas yang berhubungan satu sama lain telah memunculkan fenomena kluster industri atau yang sering disebut dengan industrial clusters (Kuncoro, 2001b). Menurut Kuncoro (2002: bab 1), urbanization economies terjadi bila biaya produksi suatu perusahaan menurun ketika produksi seluruh perusahaan dalam wilayah perkotaan yang sama meningkat. Penghematan karena berlokasi di wilayah perkotaan ini terjadi akibat dari skala perekonomian kota yang besar, dan bukan akibat skala suatu jenis industri. Penghematan urbanisasi ini memberi manfaat bagi semua perusahaan di seluruh kota tidak hanya memberi manfaat pada perusahaan dalam Dalam menganalisis sebaran geografis dan kluster (pengelompokan) industri rokok kretek di Indonesia digunakan metode analisis Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG bermanfaat untuk mengidentifikasikan lokasi industri dan mengidentifikasi di daerah mana mereka cenderung mengelompok (Kuncoro, 2001b). SIG mentransformasikan data menjadi informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisis fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan keputusan. SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk mengidentifikasikan di mana industri manufaktur cenderung mengumpul atau membentuk kluster. SIG pada dasarnya adalah suatu tipe informasi yang memfokuskan pada penyajian dan analisis realitas geografis. Karakteristik pokok dari SIG seperti yang disarikan oleh Martin (1996) sebagai berikut: a. Geografis, berhubungan dengan pengukuran skala geografi, dan direferensikan oleh beberapa koor-dinat sistem pada lokasi diatas permukaan bumi b. Informasi, mencakup pengambilan informasi yang spesifik dan bermakna dari sejumlah data yang beragam, dan ini hanya mungkin karena data telah diorganisasi dalam suatu model dunia nyata. c. Sistem, lingkungan yang memungkinkan data dikelola dan pertanyaan ditempatkan. 17

Industri rokok kretek pada tahun 1996 terdapat dalam 6 propinsi yaitu Sumut, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulut meliputi 32 kabupaten dengan jumlah perusahaan sebanyak 191. Pada tahun 1999 industri rokok kretek hanya terdapat pada 2 propinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur meliputi 35 kabupaten dengan jumlah perusahaan sebanyak 206. Hasil analisis Frequencies dengan menggunakan SPSS Versi 10 ternyata pada tahun 1996 dan 1999 tenaga kerja dan nilai tambah industri rokok kretek di Indonesia berdistribusi tidak normal. Indikator tersebut dapat dilihat dari hasil uji nilai skewness dan kurtosis yang tidak berada diantara 2 dan +2. Tabel 12 Nilai Skewness dan Kurtosis Industri Rokok Kretek Tenaga Kerja Nilai Tambah Thn 96 Thn 99 Thn 96 Thn 99 Skewness 2,596 2,776 4,306 4,184 Kurtosis 5,8 7,041 19,954 17,895 Hasil dari uji tersebut memperlihatkan bahwa distribusi tenaga kerja dan nilai tambah industri rokok kretek tidak merata. Gambar histogram (lihat lampiran 2) memperlihatkan distribusi tenaga kerja dan nilai tambah yang tidak normal dan mempunyai kecondongan positif yang berarti ada beberapa daerah yang mempunyai tingkat kepadatan industri rokok kretek yang tinggi dilihat dari jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkannya, sedang dilain pihak kebanyakan ada daerah kabupaten/kota yang memiliki kepadatan industri rokok kretek yang rendah. Jadi dari uji ini dapat diindikasikan ada kluster industri rokok kretek di Indonesia. Ciri utama daerah industri rokok kretek adalah daerah yang memiliki tingkat kepadatan industri yang sangat tinggi, tinggi, maupun rendah baik dalam jumlah pekerja maupun nilai tambah. Kriteria kabupaten/kota yang memiliki daerah kepadatan industri adalah : Sangat tinggi untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 6000 orang, sedangkan untuk nilai tambah bila menghasilkan nilai lebih dari Rp100 miliar. Tinggi untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja antara 1000-6000 orang, sedangkan untuk nilai tambah bila menghasilkan nilai antara Rp.15-100 miliar. Rendah untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari 1000, sedangkan untuk nilai tambah bila menghasilkan nilai kurang dari Rp.15 miliar. Peringkat dan klasifikasi kabupaten/kota menurut jumlah tenaga kerja dan nilai tambah pada Tahun 1996 dan 1999 dapat dilihat pada Lampiran 3 Pada Tahun 1996 dan 1999 daerah (kabupaten/kota) yang memperoleh predikat yang sangat tinggi dalam jumlah tenaga kerja dan nilai tambah adalah adalah Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Keempat 18

daerah tersebut memberikan sumbangan tenaga kerja dan nilai tambah yang sangat besar untuk industri rokok kretek di Indonesia. Pada Tahun 1996, empat daerah tersebut memberikan sumbangan sebesar 81,08% untuk tenaga kerja sedangkan daerah lain hanya memberikan sumbangan sebesar 18,92% Sumbangan empat daerah untuk industri rokok kretek di Indonesia pada nilai tambah di tahun 1996 adalah sebesar 98,23% sedangkan daerah lain hanya memberikan Sumbangan sebesar 1,77%. Pada Tahun 1999, empat daerah tersebut tetap memberikan Sumbangan yang lebih besar dari daerah lain di Indonesia. Untuk tenaga kerja pada tahun 1999, empat daerah tersebut memberikan Sumbangan sebesar 77.78% sedangkan daerah lain hanya memberikan sumbangan 22.22%. Untuk nilai tambah, empat daerah tersebut memberikan sumbangan sebesar 97,88% sedangkan daerah lain hanya memberikan sumbangan sebesar 2,12%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sumbangan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Daerah dengan Kelas Sangat Tinggi Terhadap Industri Rokok Kretek di Indonesia. 1996 (%) 1999 (%) 4 Daerah Daerah lain 4 Daerah Daerah Lain Tenaga Kerja 81,09 18,91 77,78 22,22 Nilai Tambah 98,23 1,77 97,88 2,12 Keterangan : 4 Daerah meliputi : Kudus, Kediri, Surabaya, dan Malang Sumber : Diolah dari data BPS Kita lihat dari tabel 13 bahwa ada penurunan sumbangan dari daerah dengan kelas sangat tinggi terhadap industri rokok kretek di Indonesia walaupun jumlah tenaga kerja dan nilai tambah di empat daerah tersebut sebenarnya meningkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan tenaga kerja dan nilai tambah di daerah lain yang tidak termasuk dalam kelas yang sangat tinggi, sehingga mengurangi sumbangan empat daerah tersebut di industri rokok kretek di Indonesia. Tabel 14 Sumbangan Jumlah Perusahaan dengan Level Sangat Tinggi Terhadap Total Perusahaan Rokok Kretek di Indonesia Jumlah Daerah Perusahaan Propinsi Kabupaten/Kota 1996 1999 Jateng Kudus 51 53 Jatim Kediri 2 2 Jatim Surabaya 3 3 Jatim Malang 30 28 Total 86 86 % Terhadap Perusahaan Rokok Kretek di Indonesia 45,03% 41,75% Tabel 14 memperlihatkan pada kita sumbangan jumlah perusahaan dengan kelas Sangat Tinggi terhadap jumlah perusahaan rokok kretek di Indonesia. Ternyata sumbangan keempat daerah tersebut dalam jumlah perusahaan mencapai angka 45,03 % pada tahun 1996 dan 41,75% pada tahun 1999. Hal ini 19

menunjukkan bahwa banyak perusahaan rokok yang beroperasi di daerah tersebut dari pada di daerah lain, sehingga dapat kita simpulkan bahwa kluster industri rokok kretek ada di daerah yang mempunyai kelas sangat tinggi yaitu Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Dari empat daerah tersebut, Kudus dan Malang merupakan daerah yang mempunyai jumlah perusahaan yang cukup banyak (masing-masing 53 dan 28 perusahaan). Suatu kluster industri terjadi karena biasanya terjadi minimisasi biaya transpor atau biaya produksi. Sedangkan, menurut Marshall (1919), kluster industri muncul karena adanya konsentrasi pekerja trampil, berdekatannya para pemasok spesialis dan tersedianya fasilitas untuk mendapatkan pengetahuan, sehingga karena keuntungan ekonomis tersebut membuat perusahaan-perusahaan dalam satu industri cenderung mengelompok. Sesuatu yang wajar bila kluster industri rokok terdapat di empat daerah tersebut karena dilihat dari sisi historis, perkembangan rokok di Indonesia dimulai dari keempat daerah itu sehingga pekerja trampil dalam industri rokok mudah ditemui di daerah tersebut, para pemasok spesialis telah lama memusatkan kegiatannya di daerah tersebut. Menurut Hayter (1997) penentuan lokasi industri merupakan suatu proses strategi pengembangan. Strategi diartikan sebagai posisi kompetitif dari suatu industri dalam suatu rencana jangka panjang seperti mendirikan pabrik baru. Empat daerah tersebut merupakan lokasi perusahaan rokok yang menguasai pangsa pasar industri rokok kretek di Indonesia yaitu PT. Djarum di Kudus, PT. Gudang Garam di Kediri, PT HM Sampoerna di Surabaya dan PT Bentoel di Malang. Indeks spesialisasi merupakan salah satu ukuran konsentrasi suatu industri dalam suatu kluster. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa kluster industri rokok kretek di Indonesia ada di pulau Jawa yaitu di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya di daerah Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Indeks spesialisasi digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam menciptakan kesempatan kerja. Indeks spesialisasi yang tinggi pada suatu industri diasumsikan akan mempercepat pertumbuhan industri tersebut. Nilai rata-rata indeks spesialisasi industri rokok kretek di Indonesia adalah sebesar 4,15. Nilai ini melebihi satu sehingga dapat disimpulkan bahwa industri rokok kretek di Indonesia memberikan kesempatan pangsa tenaga kerja yang besar. Daerah-daerah yang memberikan sumbangan tenaga kerja dan nilai tambah yang besar atau masuk dalam kelas sangat tinggi ternyata mempunyai indeks spesialisasi yang lebih dari satu, Kudus mempunyai indek spesialisasi 15,75, Kediri 18,81, Surabaya 3,94 dan Malang 15,19 (lihat Tabel 15). Tabel 15. Indeks Spesialisasi Industri Rokok Kretek tahun 1999 T. Kerja T. Kerja Industri Industri Eir Eit Sirt Rokok Manufaktur Jateng Kudus 50523 68983 0.73 0.0465 15.75 Blora 1004 1927 0.52 0.0465 11.21 Magelang* 374 2188 0.17 0.0465 3.68 Pekalongan* 1988 13670 0.15 0.0465 3.13 Pati 1639 14780 0.11 0.0465 2.39 Batang 1200 12393 0.10 0.0465 2.08 Surakarta* 1514 15722 0.10 0.0465 2.07 20