WURIE GURITNO The Deepest Secret Diterbitkan secara mandiri Melalui nulisbuku.com
THE DEEPEST SECRET Oleh: Wurie Guritno Copyright 2016 by Wurie Guritno Penerbit Wurie Guritno https://www.facebook.com/wurie.guritno wurie_guritno@ymail.com Desain Sampul: Wurie Guritno Diterbitkan melalui: 2 www.nulisbuku.com
Ucapan Terima Kasih Teruntuk: Ayah bunda tercinta Kedua kakakku tersayang Dan sahabat-sahabatku terkasih 3
DAFTAR ISI Ucapan Terima Kasih Prolog... 7 Chapter 1... 11 Chapter 2... 41 Chapter 3... 77 Chapter 4... 107 Chapter 5... 133 Epilog... 147 Catatan Penulis Tentang Penulis 4
Tidakkah kau lihat betapa sulitnya berada di dekatmu tanpa bisa mengatakan bahwa..., Ryu Matsushita Aku juga berharap, di kehidupan berikutnya, aku bukan adikmu, tapi..., Rya Matsushita 5
6
Prolog Suatu hari di rumah, 08:07 Aku masih mengunci diri di kamar, berdiri di depan cermin. Memandangi wajahku sendiri yang kuyu dengan kedua mata membengkak karena menangis semalaman. Saat ini aku sudah memakai baju dan sepatu. Bahkan rambut hitamku yang lurus sepinggang sudah terkepang. Namun entah mengapa rasanya aku ingin membolos kuliah saja hari ini. Jengah dan jenuh, aku menoleh ke arah jam dinding. Astaga! Ternyata sudah jam delapan lebih! Kak Ryu pasti akan memarahiku lagi. Belum hilang sisa rasa takutku akibat pertengkaran kami semalam karena dia melarangku berpacaran dengan Rocky, teman kuliahku. Sekarang malah aku membuatnya terlambat ke kampus. 7
Sontak aku menyambar tas selempang dan tabung gambarku, lalu membuka pintu kamar dan segera keluar. Dengan langkah tergesa-gesa aku menuruni anak tangga. Beruntung tangga di rumahku dilapisi karpet yang cukup tebal. Jadi bisa meredam suara berisik dari derap langkah kakiku yang bersepatu. Se-selamat pagi, Kak Ryu..., sapaku begitu melihatnya sedang duduk menungguku di ruang tamu saat aku menapaki anak tangga paling bawah. Hn! Rupanya kau masih ingat kuliah juga, Rya! desis Kak Ryu dengan nada sinis. Aku langsung terdiam, tersindir mendengar kata-katanya yang tajam itu. Tubuhku mendadak membeku di tempatku berdiri saat ini. Kak Ryu menoleh ke arahku, menatapku dengan wajah dingin, tapi bermakna ambigu. Tak berani kontak mata dengannya, aku menundukkan kepalaku. Ayo cepat! Aku sudah terlambat, ajak Kak Ryu dengan suara pelan bernada tegas sambil beranjak dari sofa, lalu melangkah menuju pintu tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Ma-maaf..., bisikku lirih, entah Kak Ryu mendengarnya atau tidak. Masih bisa kurasakan aura dingin Kak Ryu saat kami bertengkar semalam hingga sekarang. Kakak laki-lakiku yang pendiam itu bahkan nyaris 8
menamparku saat menepiskan tanganku ketika aku mencoba untuk menggenggam tangannya. Segan, dan sedikit enggan, aku berjalan agak pelan, mengikutinya dari belakang. Ayah, kami berangkat! pamit Kak Ryu tanpa basa-basi sambil memutar kenop pintu. Tunggu dulu, anak-anak! cegah Ayah tibatiba keluar dari ruang kerja. Hari ini Ayah akan pergi ke luar kota untuk suatu urusan dinas, sambung Ayah kemudian. Urusan dinas apa, Ayah? Kenapa mendadak sekali? tanyaku penasaran. Sementara Kak Ryu urung membuka pintu. Ada workshop dan seminar bisnis selama seminggu. Ayah ditugaskan mengikutinya sebagai wakil perusahaan, jawab Ayah menjelaskan. Rya, kau bertanggung jawab mengurus keperluan rumah. Ryu, kau bertanggung jawab menjaga rumah dan adikmu, pesan Ayah kemudian, sambil memberiku beberapa lembar uang dan sebuah kartu kredit sebagai pegangan selama Ayah tidak ada di rumah. Baik, sahut Kak Ryu singkat. Baiklah, Ayah, sahutku pelan, sambil memasukkan uang dan kartu itu ke dalam dompet, lalu kembali memasukkan dompetku ke dalam tas. Oya! Kalian bawa duplikat kunci rumah sekalian saja! Ayah nanti berangkat setelah makan 9
siang, kata Ayah menambahkan, sekaligus berpamitan Kak Ryu mengambil duplikat kunci rumah dari gantungan kunci di dalam lemari kecil dekat pintu keluar tanpa merespon ucapan Ayah terlebih dulu. Kemudian dia membuka pintu dan berjalan keluar tanpa berpamitan lagi. Sementara aku menghampiri Ayah untuk berpamitan. Dan seperti biasanya, Ayah mengecup keningku dengan lembut. Semoga perjalanan dinasnya menyenangkan ya, Ayah? ucapku sambil tersenyum. Kalau begitu, kami berangkat dulu, pamitku sekali lagi, sekaligus mewakili Kak Ryu yang sudah menyalakan mesin sepeda motor matic-nya yang dia beli dari upah kerja paruh waktu selama masih SMU. Cepat! perintah Kak Ryu sambil mengenakan helm-nya. Aku mempercepat langkahku untuk menghampirinya. Mengambil helm yang ada di atas kursi teras, lalu memakainya dengan tergesa-gesa. Setelah itu, aku segera duduk ke atas jok motor, di belakang Kak Ryu. Detik berikutnya, benda berroda dua itu melesat meninggalkan tempat, membuatku memeluk erat kakakku secara refleks secepat kilat. *** 10