PENGKAJIAN POLA PEMBIBITAN TERNAK MENDUKUNG IMPLEMENTASI LEGISLASI PENGEMBANGAN WILAYAH SUMBER BIBIT SAPI POTONG Nyak Ilham Pendahuluan 01. Kendala peningkatan populasi sapi adalah keterbatasan jumlah bibit sapi. Salah satu penyebabnya adalah banyak pemotongan sapi betina produktif untuk kebutuhan konsumsi. Tiap tahun sekitar 10 persen sapi yang dipotong merupakan sapi betina produktif. Bahkan di sentra produksi Denpasar dan Badung di Bali, Mataram di NTB, dan Kupang di NTT pemotongan sapi betina produktif masing-masing 88 persen, 30 persen dan 91 persen. 02. Penundaan dan pelarangan pemotongan sapi betina produktif merupakan upaya untuk meningkatkan produksi daging sapi tetapi sulit diimplementasikan. Kebijakan yang mendasar dan strategis yang telah dilakukan adalah pengembangan wilayah sumber bibit sapi potong lokal. Efektivitas dan efisiensi implementasi kebijakan yang diambil membutuhkan dukungan kebijakan terkait, sistem logistik, sistem perdagangan antar daerah dan antar pulau yang efisien. Permasalahan 03. Undang-undang No. 41/2014, tentang peternakan dan kesehatan hewan, pada Pasal 13 mengamanahkan bahwa penyediaan dan pengembangan benih dan/atau bibit dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri. Permasalahan perbibitan sapi potong di Indonesia adalah: (1) tidak tersedianya bibit ternak dalam jumlah cukup dan bermutu baik; (2) konsep pembangunan perbibitan masih parsial, belum terkait erat baik jenis maupun sebarannya di Indonesia; (3) kelembagaan perbibitan belum mampu memenuhi semua permintaan kebutuhan bibit; (4) sumber-sumber perbibitan ternak masih menyebar, sehingga menyulitkan pembinaan produksi, pengumpulan dan distribusi bibit dalam jumlah yang sesuai; (5) pengembangan pembibitan swasta belum berkembang karena iklim usaha tidak kondusif. Temuan-Temuan Pokok Konsep, Respons, dan Implementasi Legislasi Wilayah Sumber Bibit 04. Berbagai legislasi di tingkat pusat dan lokasi penelitian dinilai sudah memadai. Untuk tingkat pusat terdapat satu Undang-undang, satu Peraturan pemerintah, 15 Peraturan Menteri, satu Pedoman dari Badan Sertifikasi Nasional, dua Pedoman Pelaksana Dirjen PKH, dan satu Pedoman Pelaksanaan Karantina. Pada 1
empat provinsi lokasi penelitian dijumpai dua Perda, empat Pergub, dua Kepgub, dua Surat Keputusan Kepala Dinas, satu Juklak, dan satu Nota Kesepahaman. Pada enam kabupaten lokasi penelitian terdapat dua Perda, satu Perbup, satu Kepgub, enam Surat Keputusan Kepala Dinas dan satu Juknis. 05. Konsepsi legislasi wilayah sumber bibit dinilai sudah komprehensif dimana ternak ruminansia besar betina produktif merupakan SDG harus dijaga kelestariannya untuk mencukupi ketersediaan bibit. Atas dasar itu, perlu dikembangkan wilayah sumber bibit dan pengendalian pemotongan sapi betina produktif. 04. Terbitnya berbagai legislasi direspons dengan berbagai kegiatan pendukung, seperti penguatan kelembagaan dan kapasitas kelompok tani ternak (KTT) melalui beberapa program baik dari pusat dan daerah, perbaikan mutu bibit berupa kegiatan Uji Performan menuju bibit sapi bersertifikat, penetapan dan pelepasan rumpun atau galur, dan berkembangnya jabatan fungsional terkait. 05. Implementasi legislasi di lapangan belum semuanya berjalan dengan baik, masih dijumpai berbagai inkonsistensi dan disharmoni yang menghambat perkembangan program perbibitan sapi nasional, yaitu: (1) sapi calon bibit yang dihasilkan KTT dijual untuk penggunaan non bibit; (2) distribusi semen beku produksi BBIB/BIB berbenturan dengan produksi BIBD; (3) harga bibit sapi bibit sapi yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Bali dan NTB belum efektif; (4) penjaringan bibit sapi berkualitas oleh pemerintah, proses pengadaannya harus melalui tender umum dengan kriteria penawaran termurah saja, sehingga kriteria kualitatif bibit sapi sering tidak terpenuhi; (5) ada kecenderungan melemahnya konsistensi dalam mengembangkan wilayah sumber bibit, termasuk di Pulo Raya, Pulau Nusa Penida, dan Pulau Sapudi. Pola Pembibitan Sapi Unggul Lokal dan Tingkat Keberhasilannya 06. Ditemui tiga pola pembibitan sapi, yaitu pola KTT intensif dan semi intensif, pola perusahaan, dan pola pemerintah pusat dan daerah. Karakter masing-masing pola akan menentukan tingkat produksi, keuntungan dan keberlanjutan usaha. 07. Untuk dapat memproduksi bibit berkualitas, Pola KTT intensif berpotensi dijadikan basis pengembangan pembibitan sapi Pola KTT, sedangkan pola KTT semi intensif lebih berpotensi sebagai pusat pembiakan untuk menghasilkan sapi bakalan untuk diusahakan oleh KTT penggemukan. Pola perusahaan dan Pola Pemerintah mampu menghasilkan bibit berkualitas kelas utama dan dapat membina pola KTT. 08. Berdasarkan karakteristik masing-masing pola, dapat dibangun keterkaitan antar pola dalam pemanfaatan produk masing-masing pola untuk mengoptimalkan sistem produksi bibit sapi nasional. 2
Kinerja Pola Pembibitan Sapi 09. Jejaring kerja sistem perbibitan sapi potong yang ada di masyarakat melalui intervensi pemerintah selama ini sudah terbangun dengan baik dengan melibatkan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pembinaan; pelaku usaha produksi terdiri dari unsur KTT, perusahaan dan pemerintah; dan lembaga pendukung terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi. 10. NTB, Jawa Tengah dan Bali masih mampu mengirim bibit sapi potong ke luar provinsi, sedangkan Aceh, kondisi saat ini tidak lagi mengirim bibit sapi ke luar provinsi seperti di masa lalu, tetapi sebaliknya memasukan dari luar provinsi. 11. Usaha pembibitan sapi potong KTT masih merupakan usaha sampingan yang digunakan untuk tabungan. Penjualan sapi dilakukan atas dasar kebutuhan rumah tangga, bukan atas dasar kualitas dan umur ternak. Pada Pola KTT intensif, usaha ini masih menguntungkan jika biaya tenaga kerja dalam keluarga tidak diperhitungkan, dan sebaliknya jika biaya tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan. Akan tetapi pada Pola KTT semi intensif, baik memperhitungkan maupun tidak biaya tenaga kerja dalam keluarga, usaha ini masih menguntungkan. Strategi Kebijakan Pengembangan Pola Pembibitan Sapi 12. Berdasarkan kekuatan yang dimiliki berupa pengalaman memelihara sapi bibit, akses ke pasar output dan kualitas organisasi, usaha pembibitan pola KTT intensif berada dalam kondisi pertumbuhan. Namun masih diperlukan upaya agar KTT ini dapat: (1) mengakses kredit program untuk menambah modal usaha guna meningkatkan skala usaha; dan (2) menjamin kelangsungan usahanya dengan mengendalikan perdagangan antar daerah dan impor ternak dan daging sapi. 13. KTT semi intensif di Aceh juga berada dalam kondisi pertumbuhan dan memiliki kekuatan karena ketersediaan lahan penggembalaan dan lahan perkebunan kelapa sawit untuk dikembangkan sebagai pusat pembiakan sapi unggul lokal, bahkan ke depan dapat dijadikan pusat pembibitan. Namun demikian ancaman pengembangan masih terbatasnya akses pada kredit program dan bibit sapi. 14. Pengembangan pola pembibitan perusahaan dapat dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang perusahaan berupa pendidikan dan pengalaman, kemampuan mengakses pasar input dan output, jejaring kerja dan komitmen menghasilkan bibit yang berkualitas, mengakses sumber modal. Kekuatan dan peluang tersebut masih perlu didukung sehingga mudah mengakses informasi teknologi dan pendampingan dari instansi terkait mengenai bagaimana melakukan budi daya pembibitan sapi yang tidak hanya berkualitas 3
secara teknis, tetapi juga layak secara ekonomi dan berdaya saing untuk perdagangan antar pulau dan menghadapi produk impor. Selain itu perlu insentif usaha dengan cara mengefektifkan ketetapan harga bibit sapi oleh Gubernur untuk kasus Bali dan NTB. 15. Pusat pembibitan pemerintah, Balai Pembibitan Ternak Unggul-Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT), memiliki kekuatan utama berupa pendidikan formal dan pengalaman pegawai dengan jejaring kerja dan aturan main yang jelas sehingga memiliki reputasi menghasilkan bibit sapi bersertifikat. Namun demikian aturan administrasi keuangan dan kesehatan hewan mengancam kemampuan maksimal lembaga ini menghasilkan volume bibit sapi menjadi lebih banyak dan efisien. Implikasi Kebijakan 16. Melakukan tinjau ulang terhadap adanya inkonsistensi dan disharmoni implementasi legislasi di lapangan, kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengoptimalkan upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini, antara lain: a. Sapi calon bibit yang dihasilkan KTT dan dijual untuk penggunaan non bibit sebaiknya dibeli oleh lembaga yang berperan membesarkan dengan dukungan dana pemerintah, seperti dana talangan. b. Distribusi semen beku produksi BBIB/BIB memperhatikan kapasitas produksi BIBD di wilayah tersebut. Jika terjadi kelebihan sebaiknya diarahkan untuk ekspor. c. Mengefektifkan harga bibit sapi sesuai kelas: Surat Keterangan Layak Bibit (SKLB), sertifikat dari LSPro, dan Estimate Breeding Value (EBV). Pada tahap awal dimulai dari transaksi bibit sapi untuk program pemerintah. d. Untuk menjaring bibit sapi berkualitas oleh pemerintah, proses pengadaan tidak harus melalui tender umum dengan kriteria penawaran termurah saja, tetapi juga kriteria kualitas sapi baik kuantitatif maupun kualitatif dengan melibatkan selektor yang ditunjuk. e. Meningkatkan konsistensi pengembangan wilayah sumber bibit, termasuk di P. Raya, P. Nusa Penida, dan P.ulau Sapudi, sehingga memberikan hasil nyata. 17. Perlu membangun sinergitas kerja berbagai pola pembibitan sapi yang ada: KTT intensif, KTT semi intensif, KTT penggemukan, Perusahaan, BPTU-HPT/UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Pembibitan dalam satu kawasan regional dimana BPTU-HPT/UPTD selain berperan sebagai produsen bibit sapi juga sebagai pembina pada KTT dan perusahaan (Gambar 1). 18. Jejaring kerja sistem perbibitan sapi potong yang sudah terbangun dengan baik tidak hanya membina aspek teknis, tetapi aspek kelembagaan, kebijakan, dan ekonomi, sehingga keberlanjutan usaha dan jumlah produksi bibit dalam negeri menjadi meningkat. Selama ini semua kegiatan masih harus didanai oleh dana 4
pemerintah. Salah satu lembaga yang perlu ditingkatkan keberadaan dan perannya adalah asosiasi peternak pembibit. 19. Angka kelahiran sapi di tingkat KTT masih rendah dan perlu diperbaiki dengan meningkatkan pelayanan perkawinan sapi. Program Sapi Indukan Wajib Bunting (SIWAB) diharapkan dapat berperan. Hanya saja, harus diperhatikan untuk sapi yang dipelihara dengan cara semi intensif, perkawinan menggunakan sapi pejantan lebih baik dibandingkan menggunakan inseminasi buatan (IB). 20. Jika ingin mempertahankan keberadaan usaha pembibitan sapi Pola KTT yang masih merupakan usaha sambilan, perlu dukungan kebijakan insentif kelahiran anak, keikutsertaan program uji performans sapi, dan upaya meningkatkan skala usaha dari 2-3 ekor menjadi 4-5 ekor induk. Upaya lain yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan akses KTT pada dana kredit program dan ketersediaan bibit sapi dan pengendalian impor ternak dan daging sapi. 21. Keberadaan perusahaan pembibitan sapi, masih membutuhkan dukungan kebijakan permodalan, pendampingan teknis, kemudahan dan pengawalan perdagangan antar daerah dan penetapan harga bibit sapi berdasarkan kualitas. 22. Pada pembibitan pemerintah, sebaiknya proses penghapusan asset sapi tidak produktif dapat dilakukan lebih sederhana, sehingga tidak mengganggu pengelolaan asset sapi yang masih produktif. Persyaratan harus bebas 12 jenis PHMS (Penyakit Hewan Menular Strategis) dapat ditinjau ulang, disarankan lebih selektif pada penyakit tertentu yang endemis pada masing-masing daerah. Gambar 1. Keterkaitan antar Pola Pembibitan Sapi dan Lembaga Terkait 5