PENGKAJIAN POLA PEMBIBITAN TERNAK MENDUKUNG IMPLEMENTASI LEGISLASI PENGEMBANGAN WILAYAH SUMBER BIBIT SAPI POTONG. Nyak Ilham.

dokumen-dokumen yang mirip
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI BIDANG PETERNAKAN MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 KERAGAAN, PERMASALAHAN DAN UPAYA MENDUKUNG AKSELERASI PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

RENCANA KINERJA TAHUNAN BPTU-HPT DENPASAR TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

DAN. Oleh: Nyak Ilham Edi Basuno. Tjetjep Nurasa

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

ALTERNATIF KEBIJAKAN PERBIBITAN SAPI POTONG DALAM ERA OTONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

Impor sapi (daging dan sapi hidup) maupun bakalan dari luar negeri terns. meningkat, karena kebutuhan daging sapi dalam negeri belum dapat dipenuhi

KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN RANCANGAN RENCANA KERJA DITJEN PKH TAHUN 2018

CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014

KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN TERNAK

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

REKOMENDASI OMBUDSMAN BRIEF T AT A NIAGA SAPI SALURAN PANJANG, NIAGA INFRAST SAPI RUKTUR DI NT T T IDAK MENUNJANG, PET ERNAK T IDAK SEJAHT ERA

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak pemanfaatan sumberdaya pakan berupa limbah pert

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Rencana Strategis. Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak DUMMY RENSTRA

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

KINERJA BERBAGAI POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI LOKAL DI BEBERAPA DAERAH PENGEMBANGAN SAPI POTONG

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN

PEDOMAN PELAKSANAAN OPTIMALISASI FUNGSI UNIT PEMBIBITAN DAERAH TAHUN 2015

RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

LAKIP. Direktorat Perbibitan Ternak Tahun 2014 DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

LAPORAN REFLEKSI AKHIR TAHUN 2014 DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

I. PENDAHULUAN. mengandangkan secara terus-menerus selama periode tertentu yang bertujuan

DI KECAMATAN AMARASI TIMUR SEJAK Bambang.P/HP

Pengembangan Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PETERNAKAN MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DAGING

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

RENCANA KINERJA TAHUNAN

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 35/permentan/OT.140/7/2011 PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEGISLASI 1 KEDOKTERAN HEWAN UB SISTEM KESEHATAN HEWAN NASIONAL DAN KEBIJAKAN BIBIT

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 62 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGELUARAN BIBIT SAPI BALI SENTRA TERNAK SOBANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan.

I. PEDAHULUAN. sekitar 2-5 ekor ternak per rumah tangga peternak (RTP). Skala yang kecil

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

KATA PENGANTAR. Ir. Ali Rachman, M.Si NIP

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

KESIAPAN DAN PERAN ASOSIASI INDUSTRI TERNAK MENUJU SWASEMBADA DAGING SAPI ) Oleh : Teguh Boediyana 2)

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. subsektor peternakan. Suatu negara dapat dikatakan sistem

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2014 DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN, SYUKUR IWANTORO

PENDAHULUAN. Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang peternakan.

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

RILIS HASIL PSPK2011

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PENGKAJIAN POLA PEMBIBITAN TERNAK MENDUKUNG IMPLEMENTASI LEGISLASI PENGEMBANGAN WILAYAH SUMBER BIBIT SAPI POTONG Nyak Ilham Pendahuluan 01. Kendala peningkatan populasi sapi adalah keterbatasan jumlah bibit sapi. Salah satu penyebabnya adalah banyak pemotongan sapi betina produktif untuk kebutuhan konsumsi. Tiap tahun sekitar 10 persen sapi yang dipotong merupakan sapi betina produktif. Bahkan di sentra produksi Denpasar dan Badung di Bali, Mataram di NTB, dan Kupang di NTT pemotongan sapi betina produktif masing-masing 88 persen, 30 persen dan 91 persen. 02. Penundaan dan pelarangan pemotongan sapi betina produktif merupakan upaya untuk meningkatkan produksi daging sapi tetapi sulit diimplementasikan. Kebijakan yang mendasar dan strategis yang telah dilakukan adalah pengembangan wilayah sumber bibit sapi potong lokal. Efektivitas dan efisiensi implementasi kebijakan yang diambil membutuhkan dukungan kebijakan terkait, sistem logistik, sistem perdagangan antar daerah dan antar pulau yang efisien. Permasalahan 03. Undang-undang No. 41/2014, tentang peternakan dan kesehatan hewan, pada Pasal 13 mengamanahkan bahwa penyediaan dan pengembangan benih dan/atau bibit dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri. Permasalahan perbibitan sapi potong di Indonesia adalah: (1) tidak tersedianya bibit ternak dalam jumlah cukup dan bermutu baik; (2) konsep pembangunan perbibitan masih parsial, belum terkait erat baik jenis maupun sebarannya di Indonesia; (3) kelembagaan perbibitan belum mampu memenuhi semua permintaan kebutuhan bibit; (4) sumber-sumber perbibitan ternak masih menyebar, sehingga menyulitkan pembinaan produksi, pengumpulan dan distribusi bibit dalam jumlah yang sesuai; (5) pengembangan pembibitan swasta belum berkembang karena iklim usaha tidak kondusif. Temuan-Temuan Pokok Konsep, Respons, dan Implementasi Legislasi Wilayah Sumber Bibit 04. Berbagai legislasi di tingkat pusat dan lokasi penelitian dinilai sudah memadai. Untuk tingkat pusat terdapat satu Undang-undang, satu Peraturan pemerintah, 15 Peraturan Menteri, satu Pedoman dari Badan Sertifikasi Nasional, dua Pedoman Pelaksana Dirjen PKH, dan satu Pedoman Pelaksanaan Karantina. Pada 1

empat provinsi lokasi penelitian dijumpai dua Perda, empat Pergub, dua Kepgub, dua Surat Keputusan Kepala Dinas, satu Juklak, dan satu Nota Kesepahaman. Pada enam kabupaten lokasi penelitian terdapat dua Perda, satu Perbup, satu Kepgub, enam Surat Keputusan Kepala Dinas dan satu Juknis. 05. Konsepsi legislasi wilayah sumber bibit dinilai sudah komprehensif dimana ternak ruminansia besar betina produktif merupakan SDG harus dijaga kelestariannya untuk mencukupi ketersediaan bibit. Atas dasar itu, perlu dikembangkan wilayah sumber bibit dan pengendalian pemotongan sapi betina produktif. 04. Terbitnya berbagai legislasi direspons dengan berbagai kegiatan pendukung, seperti penguatan kelembagaan dan kapasitas kelompok tani ternak (KTT) melalui beberapa program baik dari pusat dan daerah, perbaikan mutu bibit berupa kegiatan Uji Performan menuju bibit sapi bersertifikat, penetapan dan pelepasan rumpun atau galur, dan berkembangnya jabatan fungsional terkait. 05. Implementasi legislasi di lapangan belum semuanya berjalan dengan baik, masih dijumpai berbagai inkonsistensi dan disharmoni yang menghambat perkembangan program perbibitan sapi nasional, yaitu: (1) sapi calon bibit yang dihasilkan KTT dijual untuk penggunaan non bibit; (2) distribusi semen beku produksi BBIB/BIB berbenturan dengan produksi BIBD; (3) harga bibit sapi bibit sapi yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Bali dan NTB belum efektif; (4) penjaringan bibit sapi berkualitas oleh pemerintah, proses pengadaannya harus melalui tender umum dengan kriteria penawaran termurah saja, sehingga kriteria kualitatif bibit sapi sering tidak terpenuhi; (5) ada kecenderungan melemahnya konsistensi dalam mengembangkan wilayah sumber bibit, termasuk di Pulo Raya, Pulau Nusa Penida, dan Pulau Sapudi. Pola Pembibitan Sapi Unggul Lokal dan Tingkat Keberhasilannya 06. Ditemui tiga pola pembibitan sapi, yaitu pola KTT intensif dan semi intensif, pola perusahaan, dan pola pemerintah pusat dan daerah. Karakter masing-masing pola akan menentukan tingkat produksi, keuntungan dan keberlanjutan usaha. 07. Untuk dapat memproduksi bibit berkualitas, Pola KTT intensif berpotensi dijadikan basis pengembangan pembibitan sapi Pola KTT, sedangkan pola KTT semi intensif lebih berpotensi sebagai pusat pembiakan untuk menghasilkan sapi bakalan untuk diusahakan oleh KTT penggemukan. Pola perusahaan dan Pola Pemerintah mampu menghasilkan bibit berkualitas kelas utama dan dapat membina pola KTT. 08. Berdasarkan karakteristik masing-masing pola, dapat dibangun keterkaitan antar pola dalam pemanfaatan produk masing-masing pola untuk mengoptimalkan sistem produksi bibit sapi nasional. 2

Kinerja Pola Pembibitan Sapi 09. Jejaring kerja sistem perbibitan sapi potong yang ada di masyarakat melalui intervensi pemerintah selama ini sudah terbangun dengan baik dengan melibatkan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pembinaan; pelaku usaha produksi terdiri dari unsur KTT, perusahaan dan pemerintah; dan lembaga pendukung terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi. 10. NTB, Jawa Tengah dan Bali masih mampu mengirim bibit sapi potong ke luar provinsi, sedangkan Aceh, kondisi saat ini tidak lagi mengirim bibit sapi ke luar provinsi seperti di masa lalu, tetapi sebaliknya memasukan dari luar provinsi. 11. Usaha pembibitan sapi potong KTT masih merupakan usaha sampingan yang digunakan untuk tabungan. Penjualan sapi dilakukan atas dasar kebutuhan rumah tangga, bukan atas dasar kualitas dan umur ternak. Pada Pola KTT intensif, usaha ini masih menguntungkan jika biaya tenaga kerja dalam keluarga tidak diperhitungkan, dan sebaliknya jika biaya tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan. Akan tetapi pada Pola KTT semi intensif, baik memperhitungkan maupun tidak biaya tenaga kerja dalam keluarga, usaha ini masih menguntungkan. Strategi Kebijakan Pengembangan Pola Pembibitan Sapi 12. Berdasarkan kekuatan yang dimiliki berupa pengalaman memelihara sapi bibit, akses ke pasar output dan kualitas organisasi, usaha pembibitan pola KTT intensif berada dalam kondisi pertumbuhan. Namun masih diperlukan upaya agar KTT ini dapat: (1) mengakses kredit program untuk menambah modal usaha guna meningkatkan skala usaha; dan (2) menjamin kelangsungan usahanya dengan mengendalikan perdagangan antar daerah dan impor ternak dan daging sapi. 13. KTT semi intensif di Aceh juga berada dalam kondisi pertumbuhan dan memiliki kekuatan karena ketersediaan lahan penggembalaan dan lahan perkebunan kelapa sawit untuk dikembangkan sebagai pusat pembiakan sapi unggul lokal, bahkan ke depan dapat dijadikan pusat pembibitan. Namun demikian ancaman pengembangan masih terbatasnya akses pada kredit program dan bibit sapi. 14. Pengembangan pola pembibitan perusahaan dapat dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang perusahaan berupa pendidikan dan pengalaman, kemampuan mengakses pasar input dan output, jejaring kerja dan komitmen menghasilkan bibit yang berkualitas, mengakses sumber modal. Kekuatan dan peluang tersebut masih perlu didukung sehingga mudah mengakses informasi teknologi dan pendampingan dari instansi terkait mengenai bagaimana melakukan budi daya pembibitan sapi yang tidak hanya berkualitas 3

secara teknis, tetapi juga layak secara ekonomi dan berdaya saing untuk perdagangan antar pulau dan menghadapi produk impor. Selain itu perlu insentif usaha dengan cara mengefektifkan ketetapan harga bibit sapi oleh Gubernur untuk kasus Bali dan NTB. 15. Pusat pembibitan pemerintah, Balai Pembibitan Ternak Unggul-Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT), memiliki kekuatan utama berupa pendidikan formal dan pengalaman pegawai dengan jejaring kerja dan aturan main yang jelas sehingga memiliki reputasi menghasilkan bibit sapi bersertifikat. Namun demikian aturan administrasi keuangan dan kesehatan hewan mengancam kemampuan maksimal lembaga ini menghasilkan volume bibit sapi menjadi lebih banyak dan efisien. Implikasi Kebijakan 16. Melakukan tinjau ulang terhadap adanya inkonsistensi dan disharmoni implementasi legislasi di lapangan, kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengoptimalkan upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini, antara lain: a. Sapi calon bibit yang dihasilkan KTT dan dijual untuk penggunaan non bibit sebaiknya dibeli oleh lembaga yang berperan membesarkan dengan dukungan dana pemerintah, seperti dana talangan. b. Distribusi semen beku produksi BBIB/BIB memperhatikan kapasitas produksi BIBD di wilayah tersebut. Jika terjadi kelebihan sebaiknya diarahkan untuk ekspor. c. Mengefektifkan harga bibit sapi sesuai kelas: Surat Keterangan Layak Bibit (SKLB), sertifikat dari LSPro, dan Estimate Breeding Value (EBV). Pada tahap awal dimulai dari transaksi bibit sapi untuk program pemerintah. d. Untuk menjaring bibit sapi berkualitas oleh pemerintah, proses pengadaan tidak harus melalui tender umum dengan kriteria penawaran termurah saja, tetapi juga kriteria kualitas sapi baik kuantitatif maupun kualitatif dengan melibatkan selektor yang ditunjuk. e. Meningkatkan konsistensi pengembangan wilayah sumber bibit, termasuk di P. Raya, P. Nusa Penida, dan P.ulau Sapudi, sehingga memberikan hasil nyata. 17. Perlu membangun sinergitas kerja berbagai pola pembibitan sapi yang ada: KTT intensif, KTT semi intensif, KTT penggemukan, Perusahaan, BPTU-HPT/UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Pembibitan dalam satu kawasan regional dimana BPTU-HPT/UPTD selain berperan sebagai produsen bibit sapi juga sebagai pembina pada KTT dan perusahaan (Gambar 1). 18. Jejaring kerja sistem perbibitan sapi potong yang sudah terbangun dengan baik tidak hanya membina aspek teknis, tetapi aspek kelembagaan, kebijakan, dan ekonomi, sehingga keberlanjutan usaha dan jumlah produksi bibit dalam negeri menjadi meningkat. Selama ini semua kegiatan masih harus didanai oleh dana 4

pemerintah. Salah satu lembaga yang perlu ditingkatkan keberadaan dan perannya adalah asosiasi peternak pembibit. 19. Angka kelahiran sapi di tingkat KTT masih rendah dan perlu diperbaiki dengan meningkatkan pelayanan perkawinan sapi. Program Sapi Indukan Wajib Bunting (SIWAB) diharapkan dapat berperan. Hanya saja, harus diperhatikan untuk sapi yang dipelihara dengan cara semi intensif, perkawinan menggunakan sapi pejantan lebih baik dibandingkan menggunakan inseminasi buatan (IB). 20. Jika ingin mempertahankan keberadaan usaha pembibitan sapi Pola KTT yang masih merupakan usaha sambilan, perlu dukungan kebijakan insentif kelahiran anak, keikutsertaan program uji performans sapi, dan upaya meningkatkan skala usaha dari 2-3 ekor menjadi 4-5 ekor induk. Upaya lain yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan akses KTT pada dana kredit program dan ketersediaan bibit sapi dan pengendalian impor ternak dan daging sapi. 21. Keberadaan perusahaan pembibitan sapi, masih membutuhkan dukungan kebijakan permodalan, pendampingan teknis, kemudahan dan pengawalan perdagangan antar daerah dan penetapan harga bibit sapi berdasarkan kualitas. 22. Pada pembibitan pemerintah, sebaiknya proses penghapusan asset sapi tidak produktif dapat dilakukan lebih sederhana, sehingga tidak mengganggu pengelolaan asset sapi yang masih produktif. Persyaratan harus bebas 12 jenis PHMS (Penyakit Hewan Menular Strategis) dapat ditinjau ulang, disarankan lebih selektif pada penyakit tertentu yang endemis pada masing-masing daerah. Gambar 1. Keterkaitan antar Pola Pembibitan Sapi dan Lembaga Terkait 5