BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Danan (2007) melakukan penelitian yang berjudul Hubungan Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) di Politeknik Kesehatan Banjarmasin. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian cross sectional dengan subyek penelitian adalah karyawan Politeknik Kesehatan Banjarmasin. Organizational Citizenship Behavior (OCB) diteliti dengan menggunakan instrumen penelitian The Origin Organizational Citizenship Behaviors Quesionnare oleh Morrison (1994) yang digunakan oleh Muchiri (2002). Kepuasan kerja diukur menggunakan alat ukur kuesioner Minnesota satisfaction. Komitmen organisasi diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990); Panggabean (2004). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan positif dan signifikan kepuasan kerja dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Terdapat hubungan positif komitmen organisasi dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Terdapat hubungan positif kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dickinson (2009) dengan judul An Examination of the Factors Affecting Organizational Citizenship Behavior. Penelitian yang dilakukan oleh Dickinson menguji berbagai sikap karyawan yang berhubungan dengan OCB. Variabel yang digunakan adalah kepuasan kerja, hubungan dengan atasan, persebsi keadilan, komitmen organisasi, stres kerja dan stres diluar pekerjaan. Dickinson dalam melakukan penelitiannya, menggunakan survei secara online dengan jumlah
respoden sebanyak 269 karyawan di sebuah bank kecil di Midwestern United States. Skala pengukuran menggunakan skala Likert. Hasilnya menunjukkan adanya tiga variabel yang berhubungan positif dengan OCB yaitu hubungan dengan atasan, komitmen organisasi, dan stress kerja. Sedangkan tiga variabel lainnya yaitu kepuasan kerja, persebsi keadilan, dan stres diluar pekerjaan tidak ditemukan hubungan dengan OCB. B. Pengertian Kepuasan Kerja Pada pikiran yang paling mendasar, kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang (Malthis dan Jackson, 2001 : 98). Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan karena adanya perbedaan pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya, dan sebaliknya (As ad, 1998 : 104). Locke memberikan defenisi komprehensive dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006 : 243).
Malayu (2005 : 202), menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan adalah kepuasan yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperolah pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan dan suasana lingkungan kerja yang baik. Kepuasan di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang dinikmati di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar dia dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Handoko (2001 : 193) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para keryawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Kepuasan kerja adalah tingkat perasaan seseorang akan kesukaan dan ketidaksukaannya dalam memandang pekerjaannya, artinya seorang karyawan akan menyukai atau tidak menyukai pekerjaannya dapat terlihat dari sikapnya terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Smith, Kendall dan Hulin (Munandar, 2004 : 74), menyatakan ada lima dimensi dari kepuasan kerja yaitu : a. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, dimana hal itu terjadi bila pekerjaan tersebut memberikan kesempatan individu untuk belajar sesuai dengan minat serta kesempatan untuk bertanggung jawab. b. Kepuasan terhadap imbalan, dimana sejumlah uang gaji yang diterima sesuai dengan beban kerjanya dan seimbang dengan karyawan lain pada organisasi tersebut. c. Kesempatan promosi yaitu kesempatan untuk meningkatkan posisi pada struktur organisasi. d. Kepuasan terhadap supervis, bergantung pada kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi. e. Kepuasan terhadap rekan kerja yaitu seberapa besar rekan sekerja memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial. Luthans (2006, 243) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja yaitu : a. Kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi kerja. b. Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan. c. Kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Robbins (2001 : 149), menyatakan bahwa faktor-faktor yang lebih penting yang mendorong kepuasan kerja adalah :
a. Kerja yang secara mental menantang Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. b. Ganjaran yang pantas Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka. c. Kondisi kerja yang mendukung Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan fisik sekitar yang tidak berbahaya dan merepotkan. d. Rekan sekerja yang mendukung Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari pekerjaan mereka. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja.
e. Kesesuaian antara kepribadian-pekerjaan Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan pekerjaan akan menghasilkan individu yang lebih terpuaskan. Pada hakikatnya logika adalah : orang-orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka; dengan demikian lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut; dan karena sukses ini, mempunyai probabilitas yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari pekerjaan mereka. D. Konsekuensi Kepuasan Kerja Menurut Robbins (2001 : 151) konsekuensi dari kepuasan kerja ada tiga yaitu : a. Kepuasan dan produktivitas Seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif. Jika karyawan melakukan suatu pekerjaan yang baik, secara intrinsik karyawan merasa senang dengan hal itu. Lagi pula, dengan mengandaikan bahwa organisasi memberikan ganjaran untuk produktivitas, produktivitas yang lebih tinggi seharusnya meningkatkan pengakuan verbal, tingkat gaji, dan probabilitas untuk dipromosikan. Ganjaran-ganjaran ini, selanjutnya, menaikkan kepuasan karyawan pada pekerjaan. b. Kepuasan dan kemangkiran Seorang karyawan yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki tingkat absensi yang rendah, namun tidak menutupi kemungkinan bahwa karyawan yang
memiliki kepuasan dalam bekerja juga dapat memiliki absensi yang tinggi. Supaya tidak terjadi hal demikian, sebaiknya perusahaan memberikan kompensasi yang menarik seperti pemberian cuti masa kerja di luar hari besar / hari libur nasional. c. Kepuasan dan tingkat keluar-masuknya karyawan Salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mempertahankan karyawannya yang handal yaitu dengan memberikan kepuasan dalam bekerja kepada karyawan tersebut. Dengan demikian, karyawan yang mempunyai kepuasan kerja tinggi tidak akan keluar / meninggalkan perusahaan itu. Menurut Robbins (2001 : 151) konsekuensi dari kepuasan kerja ada tiga yaitu : d. Kepuasan dan produktivitas Seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif. Jika karyawan melakukan suatu pekerjaan yang baik, secara intrinsik karyawan merasa senang dengan hal itu. Lagi pula, dengan mengandaikan bahwa organisasi memberikan ganjaran untuk produktivitas, produktivitas yang lebih tinggi seharusnya meningkatkan pengakuan verbal, tingkat gaji, dan probabilitas untuk dipromosikan. Ganjaran-ganjaran ini, selanjutnya, menaikkan kepuasan karyawan pada pekerjaan. e. Kepuasan dan kemangkiran Seorang karyawan yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki tingkat absensi yang rendah, namun tidak menutupi kemungkinan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan dalam bekerja juga dapat memiliki absensi yang tinggi. Supaya tidak terjadi hal demikian, sebaiknya perusahaan memberikan
kompensasi yang menarik seperti pemberian cuti masa kerja di luar hari besar / hari libur nasional. f. Kepuasan dan tingkat keluar-masuknya karyawan Salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mempertahankan karyawannya yang handal yaitu dengan memberikan kepuasan dalam bekerja kepada karyawan tersebut. Dengan demikian, karyawan yang mempunyai kepuasan kerja tinggi tidak akan keluar / meninggalkan perusahaan itu. E. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasi paling sering didefenisikan yaitu (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2006 : 249). Griffin (2004 : 15), menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Karyawan-karyawan yang merasa lebih berkomitmen pada organisasi memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bisa diandalkan, berencana untuk tinggal lebih lama di dalam organisasi, dan mencurahkan lebih banyak upaya dalam bekerja.
Malthis dan Jackson (2001 : 99), menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut. Mowday, Porter & Steers dalam Munandar (2004 : 75), menyebutkan bahwa komitmen organisasi adalah sifat hubungan seorang individu dengan organisasi dengan memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Mempunyai keinginan berbuat untuk organisasinya. 3. Mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama dengan organisasinya. Griffin & Bateman dalam Munandar (2004) menyebutkan bahwa komitmen organisasi adalah : 1. Dambaan pribadi untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. 2. Keyakinan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi. 3. Kemauan secara sadar untuk mencurahkan usaha demi kepentingan organisasi. Robbins (2001 : 140), menyatakan komitmen pada organisasi didefenisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. Blau & Global dalam Muchlas (2005 : 161), mendefenisikan komitmen organisasi sebagai orientasi seseorang terhadap organisasi dalam arti kesetiaan, identifikasi, dan keterlibatan. Dalam hal ini, karyawan mengidentifikasikan secara khusus organisasi/perusahaan beserta tujuannya dan berharap dapat bertahan sebagai anggota dalam organisasi/perusahaan tersebut.
Komitmen organisasi mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat dengan tujuantujuannya (Kreitner & Kinicki, 2003 : 274). Komitmen organisasi adalah sejauh mana karyawan itu mengenal, mengidentifikasi dan memihak pada suatu organisasi, serta berkeinginan untuk tetap tinggal dan selalu aktif berpartisipasi di dalam organisasi guna mencapai tujuan organisasi tersebut. F. Bentuk-Bentuk Komitmen Organisasi Allen dan Meyer (Panggabean, 2004 : 135), mendefenisikan komitmen organisasi sebagai sebuah konsep yang memiliki tiga dimensi (bentuk) yaitu affective, normative, dan continuance commitment. Affective commitment adalah tingkat seberapa jauh seorang karyawan secara emosi terikat, mengenal, dan terlibat dalam organisasi. Continuance commitment adalah suatu penilaian terhadap biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Normative commitment merujuk kepada tingkat seberapa jauh seseorang secara psychological terikat untuk menjadi karyawan dari sebuah organisasi yang didasarkan kepada perasaan seperti kesetiaan, affeksi, kehangatan, pemilikan, kebanggan, kesenangan, kebahagiaan, dan lain-lain. Sedangkan menurut Greenberg (2005 : 182), bentuk-bentuk komitmen organisasi adalah : a. Affective commitment; the strength of a person s desire to work for an organization because he or she agrees with its goals and want to do so.
Affective commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam bekerja bagi organisasi atau perusahaan disebabkan karena dia setuju dengan tujuan-tujuan organisasi tersebut dan ingin melakukannya. b. Conituance commitment; the strength of a person s desire to continue working for an organization because he or she needs to and cannot afford to do other wise. Continuance commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia membutuhkan pekerjaan tersebut dan tidak dapat melakukan pekerjaan yang lain. c. Normative commitment; the strength of a person s desire to continue working for an organization because he oe she feels obligation from others to remain. Normative commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia merasa berkewajiban dari orang lain untuk dipertahankan. G. Konsekuensi dari Komitmen Organisasi Menurut Greenberg (2005 : 184), konsekuensi dari komitmen yaitu : a. Commited employees are less likely to withdraw Karyawan yang memiliki komitmen mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk mengundurkan diri. Semakin besar komitmen karyawan pada organisasi, maka semakin kecil kemungkinan untuk mengundurkan diri. Komitmen mendorong orang untuk tetap mencintai pekerjaannya dan akan bangga ketika dia sedang berada di sana.
b. Commited employees are less willing to sacrifice for the organization Karyawan yang memiliki komitmen bersedia untuk berkorban demi organisasinya. Karyawan yang memiliki komitmen menunjukkan kesadaran tinggi untuk membagikan dan berkorban yang diperlukan untuk kelangsungan hidup perusahaan. H. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku diskresioner yang bukan merupakan bagian dari persyaratan persyaratan jabatan formal seorang karyawan, meskipun demikian hal itu mempromosikan pemfungsian efektif atas organisasi (Robbins, 2003 : 30) L. Daft (2003 : 7) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku kerja yang melebihi persyaratan kerja dan turut berperan dalam kesuksesan organisasi. Seorang karyawan mendemonstrasikan OCB dengan cara membantu rekan sekerja dan pelanggan, melakukan kerja ekstra jika dibutuhkan, dan mencari jalan untuk memperbaiki produk dan prosedur. Organ (1988) dalam Novliandi (2007) mendefenisikan OCB sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. Organ (1997) dalam Novliandi (2007) juga mencatat bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) ditemukan sebagai alternatif perjelasan pada hipotesis kepuasan berdasarkan performance. Selain itu menurut Organ (1988) dalam Novliandi (2007) juga mendefenisikan OCB sebagai perilaku dan sikap menguntungkan
organisasi yang tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk kontrak atau rekompensasi. Berdasarkan defenisi mengenai OCB di atas dapat ditarik beberapa pokok pikiran penting, yaitu: a. Bukan merupakan bagian dari persyaratan persyaratan jabatan formal seorang karyawan b. Tindakan bebas, sukarela, tidak untuk kepentingan diri sendiri namaun untuk pihak lain (rekan kerja, kelompok, atau organisasi) c. tidak diakui degnan kompensasi atau penghargaan formal. Dapatlah disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah kontribusi pekerja diatas dan lebih dari deskripsi kerja formal, yang dilakukan secara sukarela, yang secara formal tidak diakui oleh sistem reward, dan memberi kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi. I. Dimensi dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dimensi yang paling sering digunakan untuk mengkonseptualisasi OCB adalah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Organ (1988) dalam Brahmana & Sofyandi (2007). Menurut Organ, OCB dibangun dari empat dimensi yang masing-masing bersifat unik, yaitu: 1. Altruism adalah perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas tugas yang berkaitan erat dengan operasional organisasi. 2. Civic virtue adalah menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi fungsi organisasi secara professional maupun social alamiah.
3. Conscientiousness adalah berisi tentang kinerja dari prasarat peran yang melebihi standart minimum 4. Sportmanship adalah berisi tentang pantangan membuat isu isu yang dapat merusak nama baik perusahaan, karyawan, dan diri sendiri meskipun dalam keadaan jengkel. J. Implikasi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Menurut Novliandi (2007) ada hubungan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli dengan beberapa aspek dalam organisasi. a. Keterkaitan OCB dengan kualitas pelayanan Podsakoff, et al. (1997) secara khusus meneliti tentang OCB dengan kualitas pelayanan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa organisasi yang tinggi tingkat OCB dikalangan karyawannya, tergolong rendah dalam menerima komplain dari konsumen. Lebih lanjut, penelitian tersebut membuktikan keterkaitan yang erat antara OCB dengan kepuasan konsumen: semakin tinggi tingkat OCB dikalangan karyawan sebuah organisasi, semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen pada organisasi tersebut. b. Keterkaitan OCB dengan kinerja kelompok Dalam penelitiannya, George dan Bettenhausen (1990), menemukan adanya keterkaitan yang erat antara OCB dengan kinerja kelompok. Adanya perilaku antruistik memungkinkan sebuah kelompok bekerja secara kompak dan efektif untuk saling menutupi kelemahan masing-masing. Senada dengan temuan
George dan Bettenhausen adalah temuan dari Podsakoff, et al. (1997), juga menemukan keterkaitan erat antara OCB dengan kinerja kelompok. Keterkaitan erat terutama terjadi antara OCB degnan kinerja kelompok. Keterkaitan erat terutama terjadi antara OCB dengan tingginya hasil kerja kelompok dengan kuantitas, sementara kualitas hasil kerja tidak ditemukan keterkaitan yang erat. c. Keterkaitan OCB dengan turnover Penelitian yang mencoba menghubungkan OCB dengan turnover karyawan dilakukan oleh Chen, et al. (1998). Mereka menemukan adanya hubungan terbalik antara OCB dengan turnover. Dari penelitian tersebut bisa disimpulkan bahwa karyawan yang memiliki OCB rendah memiliki kecendrungan untuk meninggalkan organisasi (keluar) dibandingkan dengan karyawan yang memiliki tingkat OCB tinggi. Dari paparan diatas disimpulkan bahwa OCB menimbulkan dampak positif bagi organisasi, seperti meningkatkan kualitas pelayanan, meningkatkan kinerja kelompok, dan menurunkan tingkat turnover. Karenanya, menjadi penting bagi sebuah organisasi dengan menganalisis persepsi mereka terhadap dukungan organisasional untuk keperluan modifikasi intervensi organisasi dan kepemimpinan demi menghasilkan OCB yang tinggi.