BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kemampuan tersebut diistilahkan sebagai kontrol diri. Kontrol diri

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. konsekuensi bahaya atas tindakan yang dilakukan. Individu yang memiliki kontrol

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

AGRESIVITAS DAN KONTROL DIRI PADA REMAJA DI BANDA ACEH Mohammad Arif Sentana. Intan Dewi Kumala

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan. Dari tahun ketahun menikah memiliki mode, misal saja di zaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemandirian yang dimiliki oleh setiap manusia berawal dari masa anak anak. Proses

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DENGAN KENAKALAN REMAJA (JUVENILE DELINQUENCY) PADASISWA DI SMA NEGERI 2 BABELAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah amanah bagi orangtua. Namun, anak juga. bisa menjadi cobaan bagi orangtua. Sebagaimana dalam

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan masa remaja, kemudian masa dewasa. Masa remaja adalah masa. fisik, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003).

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin mengedepankan pendidikan sebagai salah satu tolak ukur dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB 2 TINJAUAN TEORI. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa Latin adolescere (kata

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan. ketidakseimbangan, yang tercakup dalam storm dan stres, sehingga remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bebas terlepas dari paksaan fisik, individu yang tidak diambil hak-haknya,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORITIS

DAN LINGKUNGAN PERGAULAN DENGAN SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA S1 KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

An Nafs, Vol. 08, No.01,Th 2013 ==============================================================

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self regulated learning. (Najah, 2012) mendefinisikan self regulated learning adalah proses aktif dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana seseorang menghadapi banyak. persoalan dan konflik, termasuk diantaranya kebingungan dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap hari orang-orang menolak dorongan untuk melakukan hal-hal

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB 5. Simpulan, Diskusi & Saran

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2015 POLA ASUH KELUARGA PEDAGANG IKAN DI PASAR CIROYOM KOTA BANDUNG

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

BAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak.

BAB I PENDAHULUAN. remaja awal/early adolescence (10-13 tahun), remaja menengah/middle

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. karenaremaja pada umumnya berada pada masa badai dan tekanan (Arnett, 1999

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. perkembangan pada masa dewasa akhir. Kehidupan pada fase perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan kemampuan untuk dapat menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan individu pada bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif, kemampuan tersebut diistilahkan sebagai kontrol diri. Kontrol diri menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu sesuai dengan yang diinginkan (Goldfried dan Merbaum, dalam Ghufron & Risnawita, 2011). Papalia, Olds, & Feldman (2013) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan individu untuk menyesuaikan tingkah laku dengan apa yang dianggap diterima secara sosial oleh masyarakat. Kontrol diri merupakan cara individu untuk untuk mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 2004). Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan oleh individu dalam proses hidup, termasuk dalam menghadapi kondisi yang ada di lingkungan sekitar. Kontrol diri merupakan salah satu kapasitas yang perlu dimiliki oleh individu karena perilaku akan lebih terarah secara positif. Kapasitas ini tidak terbentuk secara langsung, melainkan terbentuk melalui proses kehidupan (Ghufron & Risnawita, 2011). Lebih lanjut, kontrol diri merupakan kapasitas diri 1

2 untuk mengubah respon-respon dominan dalam diri dan untuk mengatur perilaku, pikiran, dan emosi (Ridder, Mulders, Finkenauer, Stok, & Baumeister, 2012). Kontrol diri secara luas dianggap sebagai kapasitas diri dalam mengubah dan beradaptasi untuk menghasilkan kesesuaian yang lebih baik dan lebih optimal antara diri dan lingkungan (Rothbaum et al., dalam Tangney, Baumeister, dan Boone, 2004). Ainslie (1975) menyebut kontrol diri sebagai pilihan individu untuk menunda hasil yang dapat dimiliki lebih cepat namun kurang bernilai, dalam rangka mendapatkan hasil yang lebih bernilai. Pengaruh kontrol diri mencakup ruang lingkup yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan karena berhubungan dengan berbagai perilaku. Bukti empiris menunjukkan bahwa individu dengan kontrol diri yang tinggi lebih baik dalam meregulasi pikiran dan emosinya, juga lebih baik dalam menghambat impuls negatif dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat kontrol diri yang rendah. Mereka juga memiliki psychological well-being, kesuksesan akademis, dan relasi interpersonal yang lebih baik (Baumeister, Bratslavsky, Muraven, & Tice, dalam Ridder, dkk., 2012). Kontrol diri yang baik saat dewasa salah satunya dimediasi oleh kemampuan dalam mengontrol diri dan keputusan yang diambil pada masa remaja. Utamanya, individu yang memiliki kontrol diri yang baik cenderung tidak merokok, tidak mengalami Married by Accident (MBA),

3 juga tidak mengalami drop out dalam proses pendidikan. Tiga contoh permasalahan tersebut menjelaskan beberapa pengaruh kontrol diri (Moffit dkk., dalam Duckworth, 2011). Hasil penelitian lain juga mendukung mendapatkan temuan terkait korelasi antara kapasitas kontrol diri dengan tingkat perilaku disiplin. Individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi memiliki tingkat kedisiplinan yang juga tinggi, begitu pula sebaliknya (Alfarabi, A., 2011; Faizah, R. N., 2015; Muniroh, N. L., 2013; Wibowo, G. J. K., 2015). Keberhasilan remaja dalam menyelesaikan tugas perkembangan akan mengantarkannya ke dalam suatu kondisi penyesuaian sosial yang baik dalam keseluruhan kehidupannya. Namun, apabila remaja gagal dalam proses perkembangannya maka kemungkinan mereka akan melakukan tindakan-tindakan kriminal, kurang mampu bergaul dengan orang lain dan melakukan dominasi secara sewenang-wenang. Tindakan-tindakan yang dilakukan cenderung mengarah kepada perilaku agresif, baik secara individu maupun kelompok (Salmiati, 2015). Salah satu faktor yang menyebabkan individu berperilaku agresif adalah rendahnya empati, tidak memiliki toleransi dan tidak mampu memahami perasaan orang yang dianiaya. Lebih lanjut, individu yang melakukan kekerasan atau agresi adalah individu yang memiliki kontrol diri yang rendah, kemampuan perspective taking yang rendah, empati pada orang lain yang tidak berkembang (Brotoseno dalam Ahyani dan Astuti, 2014).

4 Sesuai dengan pernyataan diatas, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kontrol diri dengan perilaku agresif remaja (Auliya & Nurwidawati, 2014; Aroma & Suminar, 2012; Dewall, Finkel, Denson, 2011). Denson, DeWall, & Finkel (2012) menyatakan bahwa saat perilaku agresif teraktivasi, kontrol diri dapat membantu seseorang untuk merespon sesuai standard norma yang tidak mendukung perilaku agresif. Kontrol diri yang kurang menyebabkan munculnya tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan norma. Berbagai permasalahan yang dialami remaja menunjukkan kontrol diri yang dimiliki masih lemah, jika remaja memiliki kontrol diri yang baik maka remaja mampu untuk menahan kebutuhan akan kesenangan sesaat dan mampu memikirkan resiko atas perbuatan yang sudah dilakukan (Auliya & Nurwidawati, 2014). Hasil penelitian Zulhidayati (2015); dengan data awal yang didapat dari Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan yang melibatkan 1.660 responden dengan hasil 97,5% telah melakukan perilaku seksual beresiko, menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kontrol diri dan perilaku seksual pada remaja, yang menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi tingkat kontrol diri yang dimiliki maka semakin rendah kecenderungan untuk melakukan perilaku seksual beresiko. Kurangnya kemampuan dalam mengontrol diri, yang bersumber pada masa kanak-kanak merupakan hal yang banyak ditemukan dalam berbagai gangguan psikologis (Sanders & Mazzucchelli, 2013). Kontrol diri tidak terbentuk secara langsung, namun melalui tahap perkembangan yang

5 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi kontrol diri merupakan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain usia dan kematangan, sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan, yang salah satunya adalah pola asuh orangtua (Hurlock, dalam Ghufron & Risnawita, 2011). Mengacu pada General Theory of Crime, Gottfredson & Hirschi mengatakan bahwa penyebab utama terjadinya perilaku menyimpang merupakan kontrol diri yang rendah, yang merupakan hasil dari pola asuh yang tidak memadai (dalam Jo & Bouffard, 2014). Keluarga merupakan tempat pertama dimana anak mendapatkan pengajaran yang didapatkan melalui pola asuh yang diberikan oleh orangtua. Eisenberg (dalam Lam, Solmeyer, & McHale, 2012) menyatakan bahwa banyak studi yang telah mengidentifikasi bahwa keluarga merupakan sumber utama dari sosialisasi untuk perkembangan sosioemosional remaja. Sesuai dengan Surbakti (2009), yang mengatakan bahwa permulaan anak dalam tumbuh dan berkembang ditengah-tengah keluarganya mengikuti pola asuh yang diterapkan keluarga. Pola asuh merupakan sikap dan cara orangtua dalam mempersiapkan anggota keluarga agar dapat menjadi pribadi yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab. Lebih lanjut, Diana Baumrind (dalam Santrock, 2011) menjelaskan bahwa terdapat 4 tipe parenting, yaitu otoritarian, otoritatif, indulgent atau permisif, dan neglectful atau menolak-mengabaikan. Tipe otoritarian memberi batasan yang sangat tegas dan memiliki kontrol yang tinggi dalam hidup anak. Authoritarian parenting berasosiasi dengan

6 kompetensi sosial anak yang buruk. Sedangkan tipe otoritatif mendorong anak untuk dapat mandiri namun tetap memberikan batasan-batasan tertentu dan memiliki kontrol terhadap anak, orangtua juga lebih bersikap hangat dalam mengasuh anak. Authoritative tipe otoritatif berasosiasi dengan kompetensi sosial anak yang baik. Sementara itu, dalam tipe neglectful atau menolak-mengabaikan, orangtua sangat tidak terlibat perihal kehidupan anak, tipe parenting seperti ini berkorelasi dengan kompetensi sosial anak yang buruk, terutama kurangnya kontrol diri. Sedangkan, dalam tipe indulgent atau permisif, orangtua sangat terlibat dalam hidup anak, namun memiliki sedikit tuntutan ataupun kontrol pada anak. Tipe parenting ini berkorelasi dengan kompetensi sosial anak yang buruk, terutama kurangnya kontrol diri. Mengingat pernyataan Moffit (dalam Duckworth, 2011) yang menyebutkan bahwa kontrol diri yang baik saat dewasa salah satunya dimediasi oleh kapasitas kontrol diri dan keputusan yang diambil pada masa remaja, memiliki kontrol diri yang baik merupakan hal yang perlu dimiliki dalam rangka menjalani kehidupan, baik di masa ini, maupun di masa mendatang. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, kontrol diri merupakan salah satu hal krusial yang berkaitan dengan berbagai perilaku, dan permulaan anak dalam tumbuh dan berkembang mengikuti pola asuh yang diterapkan keluarga, sehingga peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai seberapa tinggi peran pola asuh

7 orangtua sebagai prediktor kontrol diri, dan untuk menjawab pertanyaan tersebut peneliti mengajukan judul Pola Asuh Orangtua sebagai Prediktor Kontrol Diri B. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dengan kontrol diri. 2. Untuk mengetahui seberapa besar peran pola asuh orangtua dalam memberikan sumbangan efektif terhadap kapasitas kontrol diri. 3. Untuk mengetahui taraf pola asuh yang diterapkan oleh orangtua mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 4. Untuk mengetahui kapasitas kontrol diri mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru mengenai pola asuh dan kontrol diri, yang dapat membantu perkembangan ilmu psikologi, serta dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian-penelitian lain dalam bidang ini. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Mahasiswa Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengetahui kontrol diri, dan peran pola asuh sebagai salah satu prediktor terbentuknya kapasitas kontrol diri.

8 b. Bagi Orangtua Penelitian ini diharap dapat membantu orangtua menyadari peran penting terkait penerapan pola asuh dalam proses perkembangan individu. c. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan hasil dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan dasar penelitian lain terkait pola asuh dan kontrol diri.