BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Pendahuluan. Universitas Sumatera Utara

BAB SIMULASI PERHITUNGAN HARGA BARANG. Bab 4 Simulasi Perhitungan Harga barang berisikan :

PENDUGAAN DATA RUNTUT WAKTU MENGGUNAKAN METODE ARIMA

Data Tingkat Hunian Hotel Rata-Rata di Propinsi DIY Tahun Tahun Bulan Wisman

Pemodelan Autoregressive (AR) pada Data Hilang dan Aplikasinya pada Data Kurs Mata Uang Rupiah

Analisis Time Series Pada Penjualan Shampoo Zwitsal daerah Jakarta dan Jawa Barat di PT. Sara Lee Indonesia. Oleh : Pomi Kartin Yunus

4 BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN EVALUASI. lebih dikenal dengan metode Box-Jenkins adalah sebagai berikut :

PERAMALAN PENJUALAN PRODUKSI TEH BOTOL SOSRO PADA PT. SINAR SOSRO SUMATERA BAGIAN UTARA TAHUN 2014 DENGAN METODE ARIMA BOX-JENKINS

PERAMALAN INDEKS HARGA KONSUMEN DAN INFLASI INDONESIA DENGAN METODE ARIMA BOX-JENKINS

ANALISIS POLA HUBUNGAN PEMODELAN ARIMA CURAH HUJAN DENGAN CURAH HUJAN MAKSIMUM, LAMA WAKTU HUJAN, DAN CURAH HUJAN RATA-RATA

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun akademik 2014/2015

PEMODELAN ARIMA DALAM PERAMALAN PENUMPANG KERETA API PADA DAERAH OPERASI (DAOP) IX JEMBER

FORECASTING INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) DENGAN MENGGUNAKAN METODE ARIMA

PEMODELAN AUTOREGRESSIVE INTEGRATED MOVING AVERAGE PADA DATA REDAMAN HUJAN DI SURABAYA. Nur Hukim

Prediksi Laju Inflasi di Kota Ambon Menggunakan Metode ARIMA Box Jenkins

PERAMALAN BANYAKNYA OBAT PARASETAMOL DAN AMOKSILIN DOSIS 500 MG YANG DIDISTRIBUSIKAN OLEH DINKES SURABAYA

BAB 2 LANDASAN TEORI

PERAMALAN PERMINTAAN PRODUK SARUNG TANGAN GOLF MENGGUNAKAN METODE AUTOREGRESSIVE INTEGRATED MOVING AVERAGE (ARIMA) DI PT. ADI SATRIA ABADI ABSTRAK

Penerapan Model ARIMA

BAB 2 LANDASAN TEORI

PERAMALAN KUNJUNGAN WISATA DENGAN PENDEKATAN MODEL SARIMA (STUDI KASUS : KUSUMA AGROWISATA)

PERAMALAN SAHAM JAKARTA ISLAMIC INDEX MENGGUNAKAN METODE ARIMA BULAN MEI-JULI 2010

BAB III PEMBAHASAN. Pada bab ini, dibahas mengenai model Vector Error Correction (VEC),

BAB 2 LANDASAN TEORI

Bab IV. Pembahasan dan Hasil Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. perubahan harga yang dibayar konsumen atau masyarakat dari gaji atau upah yang

ANALISIS PERAMALAN PENDAFTARAN SISWA BARU MENGGUNAKAN METODE SEASONAL ARIMA DAN METODE DEKOMPOSISI

PEMODELAN DAN PERAMALAN DATA PEMBUKAAN IHSG MENGGUNAKAN MODEL ARIMA

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Data Suhu Udara Rata-rata

Lampiran 1. Jumlah Deposito, Suku Bunga Deposito, dan Inflasi di Indonesia Tahun

PERAMALAN PENYEBARAN JUMLAH KASUS VIRUS EBOLA DI GUINEA DENGAN METODE ARIMA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Adapun langkah-langkah pada analisis runtun waktu dengan model ARIMA

BAB II LANDASAN TEORI

Pemodelan Konsumsi Listrik Berdasarkan Jumlah Pelanggan PLN Jawa Timur untuk Kategori Rumah Tangga R-1 Dengan Metode Fungsi Transfer single input

Metode Variasi Kalender untuk Meramalkan Banyaknya Penumpang Kereta Api

II. TINJAUAN PUSTAKA. Analisis ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) umumnya

PERBANDINGAN MODEL ARIMA DAN MODEL REGRESI DENGAN RESIDUAL ARIMA DALAM MENERANGKAN PERILAKU PELANGGAN LISTRIK DI KOTA PALOPO

BAB 2 LANDASAN TEORI

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS RUNTUN WAKTU. Laporan VI ARIMA Analisis Runtun Waktu Model Box Jenkins

MODEL AUTOREGRESSIVE (AR) ATAU MODEL UNIVARIATE

model Seasonal ARIMA

Diagnostik Model. Uji Ljung-Box-Pierce (modified Box-Pierce)

III. METODE PENELITIAN

BAB IV STUDI KASUS. Indeks merupakan daftar harga sekarang dibandingkan dengan

Analisa Performansi Dan Peramalan Call Center PT.INDOSAT, Tbk dengan Menggunakan Formula Erlang C

Lampiran 1. Hasil Analisa Laboratorium Kualitas Air Sungai

Analisys Time Series Terhadap Penjualan Ban Luar Sepeda Motor di Toko Putra Jaya Motor Bangkalan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Eksplorasi Data

PEMODELAN ARIMA UNTUK PREDIKSI KENAIKAN MUKA AIR LAUT DAN DAMPAKNYA TERHADAP LUAS SEBARAN ROB DI KOTA AMBON

KAJIAN METODE BOOTSTRAP DALAM MEMBANGUN SELANG KEPERCAYAAN DENGAN MODEL ARMA (p,q)

VI PERAMALAN PENJUALAN AYAM BROILER DAN PERAMALAN HARGA AYAM BROILER

Lampiran 1. Struktur Organisasi PTP Nusantara VIII Kebun Cianten

iii Universitas Sumatera Utara

ESTIMASI PARAMETER MODEL ARMA UNTUK PERAMALAN DEBIT AIR SUNGAI MENGGUNAKAN GOAL PROGRAMMING

Peramalan Jumlah Penumpang Kereta Api Kelas Bisnis Eksekutif Jurusan Madiun Jakarta di PT. Kereta Api (Persero) DAOP VII Madiun

Pemodelan dan Peramalan Penjualan Sepeda Motor di Surabaya dengan ARIMAX Variasi Kalender

Seasonal ARIMA adalah model ARIMA yang mengandung faktor musiman.

PEMODELAN TIME SERIES DENGAN PROSES ARIMA UNTUK PREDIKSI INDEKS HARGA KONSUMEN (IHK) DI PALU SULAWESI TENGAH

Sedangkan model fungsi transfer bentuk kedua adalah sebagai berikut :

PREDIKSI HARGA SAHAM PT. BRI, Tbk. MENGGUNAKAN METODE ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PEMULUSAN EKSPONENSIAL HOLT-WINTER DAN METODE DEKOMPOSISI KLASIK

Pemodelan ARIMA Non- Musim Musi am

PENGGUNAAN MODEL GENERALIZED AUTOREGRESSIVE CONDITIONAL HETEROSCEDASTICITY (P,Q) UNTUK PERAMALAN HARGA DAGING AYAM BROILER DI PROVINSI JAWA TIMUR

Oleh : Dwi Listya Nurina Dosen Pembimbing : Dr. Irhamah, S.Si, M.Si

PERBANDINGAN MODEL PADA DATA DERET WAKTU PEMAKAIAN LISTRIK JANGKA PENDEK YANG MENGANDUNG POLA MUSIMAN GANDA ABSTRAK

PERAMALAN PEMAKAIAN ENERGI LISTRIK DI MEDAN DENGAN METODE ARIMA

MODEL ARMA (AUTOREGRESSIVE MOVING AVERAGE) UNTUK PREDIKSI CURAH HUJAN DI KABUPATEN SEMARANG JAWA TENGAH - INDONESIA. Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia

KAJIAN TEORI. atau yang mewakili suatu himpunan data. Menurut Supranoto (2001:14) Rata rata (μ) dari distribusi probabilitas

PENGENDALIAN KUALITAS DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM KONTROL EWMA RESIDUAL (STUDI KASUS: PT. PJB UNIT PEMBANGKITAN GRESIK)

BAB 3 PRAKIRAAAN dan PERAMALAN PRODUKSI. Dalam Manajemen Operasional, mengapa perlu ada peramalan produksi?

Peramalan Permintaan Pengujian Sampel Di Laboratorium Kimia Dan Fisika. Baristand Industri Surabaya)

MODEL TERBAIK ARIMA DAN WINTER PADA PERAMALAN DATA SAHAM BANK

MA(q) AR(p) MA(q) jika ACF cuts off lebih tajam, AR(p) jika PACF cuts off lebih tajam ARMA(0,0)

Penerapan Model ARIMA

ANALISIS VAR (VECTOR AUTOREGRESSIVE) UNTUK MEKANISME PEMODELAN PRODUKSI, KONSUMSI, EKSPOR, IMPOR, DAN HARGA MINYAK BUMI AGUS WAHYULI

EFEKTIVITAS METODE BOX-JENKINS DAN EXPONENTIAL SMOOTHING UNTUK MERAMALKAN RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DISHUB KLATEN

The 4 th Univesity Research Coloquium 2016 PERBANDINGAN MODEL ARIMA DAN WINTER PADA PERAMALAN DATA SAHAM BANK

PERAMALAN JUMLAH PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA DENPASAR MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI TRANSFER MULTIVARIAT

Prediksi Wisatawan Mancanegara Ke Jawa Barat Melalui Pintu Masuk Bandara Husein Sastranegara dan Pelabuhan Muarajati Menggunakan Metode SARIMA

HASIL DAN PEMBAHASAN. mengalami fluktuasi antar waktu. Data tersebut mengindikasikan adanya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan Metode Fuzzy Time Series Cheng dan Metode Box-Jenkins untuk Memprediksi IHSG

PEMODELAN DAN PERAMALAN DATA DERET WAKTU DENGAN METODE SEASONAL ARIMA

PERAMALAN INDEKS HARGA KONSUMEN MENGGUNAKAN MODEL INTERVENSI FUNGSI STEP

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) I. PENDAHULUAN II. METODOLOGI

OUTLINE. Pendahuluan. Tinjauan Pustaka. Metodologi Penelitian. Analisis dan Pembahasan. Kesimpulan dan Saran

Peramalan Aset dengan Memperhatikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia dengan Metode Fungsi Transfer

BAB II LANDASAN TEORI. nonstasioneritas, Autocorrelation Function (ACF) dan Parsial Autocorrelation

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4.1 nilai tukar kurs euro terhadap rupiah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pemodelan Inflasi Nasional dengan Self-Exciting Threshold Autoregressive

TREND ANALYSIS INFANT MORTALITY RATE DENGAN AUTOREGRESIVE INTEGRATED MOVING AVERAGE (ARIMA)

BAB III PERBANDINGAN MODEL ARIMA DAN MODEL VAR PADA PERAMALAN VOLUME PENJUALAN DAN HARGA INTI SAWIT

BAB III HASIL ANALISIS

1. Latar Belakang. Gambar 1 Plot Produksi Tembakau Indonesia. Gambar 2 Plot Harga Tembakau Indonesia

Transkripsi:

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Peramalan curah hujan di Kota Medan menggunakan data curah hujan dari tahun 2004 sampai tahun 2015 dengan total data berjumlah 144 data yang terdiri dari 12 periode per musim. Tabel 3.1 Data Curah Hujan Kota Medan Tahun 2004 Tahun 2015 Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 2004 103 108 288 170 179 228 317 441 547 460 192 221 2005 423 46 95 86 319 189 192 123 223 177 157 314 2006 10 132 122 223 300 252 110 148 387 272 147 347 2007 168 9 62 277 347 99 243 222 374 251 380 296 2008 163 135 188 215 224 119 154 283 263 420 225 169 2009 252 180 512 264 385 61 258 253 372 285 217 115 2010 171 84 269 80 302 164 196 329 166 194 442 152 2011 183 64 376 205 219 128 205 233 164 475 211 235 2012 181 102 202 172 470 88 317 185 288 432 275 222 2013 158 267 116 174 157 125 91 421 374 509 243 499 2014 20 33 129 140 326 62 161 206 266 322 184 299 2015 353 154 144 254 250 86 161 199 234 345 499 124 Dari Tabel (3.1), data 10 musim yaitu periode Januari 2004 sampai Desember 2013 digunakan dalam metode Seasonal ARIMA dan metode Dekomposisi. Data dari 2 musim terakhir yaitu periode Januari 2014 sampai Desember 2015 digunakan untuk proses evaluasi metode. Berikut ini histogram dan deskripsi data 10 musim pertama yang digunakan dalam metode Seasonal ARIMA dan metode Dekomposisi.

16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 Series: CURAH_HUJAN Sample 2004M01 2013M12 Observations 120 Mean 231.6917 Median 216.0000 Maximum 547.0000 Minimum 9.000000 Std. Dev. 116.9603 Skewness 0.639225 Kurtosis 2.904014 Jarque-Bera 8.218236 Probability 0.016422 Gambar 3.1 Histogram Data Curah Hujan di Kota Medan Selama periode Januari 2004 sampai Desember 2013 untuk jumlah curah hujan tertinggi adalah 547 dan untuk jumlah curah hujan terendah adalah 9. Rata-rata jumlah curah hujan selama periode yaitu 231,69 seperti terlihat pada Gambar (4.1). 3.1 Pengolahan Data dengan Metode Seasonal ARIMA Tahapan yang akan dilakukan pada bagian ini dimulai dengan pemeriksaan kestasioneran data, jika data telah stasioner dilanjutkan dengan proses identifikasi model-model yang cocok untuk data input, dan dari model-model tersebut ditentukan model terbaik untuk digunakan dalam peramalan. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software Minitab 17. 3.1.1 Pemeriksaan Kestasioneran Data 600 Time Series Plot of Curah Hujan 500 Curah Hujan 400 300 200 100 0 1 12 24 36 48 60 Index 72 84 96 108 120 Gambar 3.2 Plot Data Curah Hujan di Kota Medan

Pemeriksaan kestasioneran data dapat dilakukan secara visual dengan menggunakan plot data. Berdasarkan Gambar (3.2) terlihat bahwa adanya fluktuasi yang beraturan yang mengindikasikan kemungkinan adanya faktor musiman di dalamnya. Terlihat juga plot data telah stasioner pada rata-rata dan juga variansnya karena pola data bergerak secara fluktuatif di sekitar nilai ratarata. Untuk memastikan apakah data sudah stasioner secara statistik dilakukan uji Augmented Dickey-Fuller. Tabel 3.2 Tabel Uji Augmented Dickey-Fuller Data Curah Hujan t-statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9,592308 0,0000 Test critical values: 1% level -3,486064 5% level -2,885863 10% level -2,579818 Tabel (3.2) memperlihatkan bahwa dengan taraf signifikansi sebesar 5% diperoleh nilai Augmented Dicky-Fuller yang lebih kecil dibandingkan nilai kritisnya 9,592308 > 2,885863 maka HH oo ditolak sehingga dapat diartikan bahwa data sudah stasioner dan dapat dilanjutkan ke langkah selanjutnya. 3.1.2 Proses Identifikasi Model Setelah memastikan bahwa data telah stasioner, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi model berdasarkan plot ACF dan PACF. Model yang tepat akan memberikan peramalan yang lebih akurat. Menurut Gaynor dan Kirkpatrick (1994), model Seasonal ARIMA dapat dipilih dengan kriteria sebagai berikut: a. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, lag musiman tidak signifikan dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh model non seasonal MA(qq = 1 atau qq = 2). b. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag musiman LL, lag non musiman tidak signifikan dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh model non seasonal MA(QQ = 1). c. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag musiman LL, lag non musiman terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, maka diperoleh model non seasonal MA(qq = 1atau qq = 2; QQ = 1).

d. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down) dan PACF terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, lag musiman tidak signifikan, maka diperoleh model non seasonal AR(pp = 1 atau pp = 2). e. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down) dan PACF terpotong (cut off) setelah lag musiman LL, lag non musiman tidak signifikan, maka diperoleh model seasonal AR(PP = 1). f. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down), PACF terpotong (cut off) setelah lag musiman LL, dan non musiman terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, maka diperoleh model non seasonal dan seasonal AR(pp = 1 atau pp = 2; PP = 1). Jika ACF dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh model campuran (ARMA). Autocorrelation Function for Curah Hujan (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8 0.6 Autocorrelation 0.4 0.2 0.0-0.2-0.4-0.6-0.8-1.0 2 4 6 8 10 12 14 16 Lag 18 20 22 24 26 28 30 Gambar 3.3 Plot ACF Data Curah Hujan Pada Gambar (3.3) plot ACF menunjukkan cut off (terpotong) pada lag musiman (lag ke-12 dan lag ke-24). Hal ini mengindikasikan secara kuat adanya proses SMA (Seasonal Moving Average).

Gambar 3.4 Plot PACF Data Curah Hujan Terlihat juga pada Gambar (3.4), plot PACF menunjukkan cut off pada lag musiman (lag ke-12 dan lag ke-24). Hal ini mengindikasikan adanya proses SAR (Seasonal Autoregressive). Dari Gambar (3.3) dan Gambar (3.4), dapat dilihat bahwa beberapa kriteria di bawah ini terpenuhi, yaitu: a. Plot ACF dan PACF menunjukkan cut off pada lag musiman. Hal ini mengindikasikan adanya proses SMA(1) dan SAR(1). b. Plot ACF lag non musiman menunjukkan cut off setelah lag ke-2, sedangkan plot PACF lag non musiman menunjukkan cut off setelah lag ke-2. Hal ini mengindikasikan adanya proses MA(2), AR(2), atau gabungan keduanya yaitu ARMA(2,2). Berdasarkan dua kriteria yang terpenuhi di atas, maka diperoleh beberapa model yang dinyatakan dalam notasi ARIMA(pp, dd, qq)(pp, DD, QQ) ss sebagai berikut: 1. ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 2. ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 3. ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 4. ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12

3.1.3 Estimasi Parameter dan Pengujian Model Setelah beberapa model sementara diperoleh, langkah selanjutnya adalah mengestimasi parameter dari model-model sementara, lalu dilakukan pengujian terhadap parameter hasil estimasi tersebut yang terdiri dari uji asumsi keberartian koefisien, uji asumsi white noise, dan diakhiri dengan memilih model yang memiliki nilai MSE terkecil. Setelah model-model terpilih diestimasi nilai parameternya, selanjutnya diuji apakah model tersebut sesuai dengan data. 3.1.3.1 Estimasi Parameter dan Uji Keberartian Koefisien Pengujian terhadap parameter hasil estimasi tersebut yang salah satunya adalah uji asumsi keberartian koefisien dengan hipotesis sebagai berikut: HH oo : koefisien tidak berarti HH 1 : koefisien berarti dengan αα = 0,05 dan kriteria uji yaitu tolak HH oo jika p-value < αα yang artinya koefisien berarti. Hasil estimasi parameter beserta nilai p-value untuk menguji keberartian koefisien model adalah sebagai berikut: 1. Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 Tabel 3.3 Penaksiran Parameter Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 Type Coef SE Coef T P SAR 12 (ΦΦ 11 ) 0,9890 0,0241 41,06 0,000 SMA 12 (ΘΘ 11 ) 0,8652 0,0757 11,43 0,000 Constant ( δδ) 2,417 1,576 1,53 0,128 Berdasarkan Tabel (3.3) diperoleh hasil penaksiran parameter model ARIMA (0,0,0)(1,0,1) 12 yaitu ΦΦ 1 = 0,989; ΘΘ 1 = 0,8652; dan δδ = 2,417. Dengan menggunakan operator backshift, model umum ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 dapat dinyatakan oleh: (1 ΦΦ 1 BB 12 )ZZ tt = δδ + (1 ΘΘ 1 BB 12 )aa tt Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh, (1 0,989BB 12 )ZZ tt = 2,417 + (1 0,8652BB 12 )aa tt

Berdasarkan Tabel (3.3) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter SMA(12) lebih kecil dari αα sehingga HH 0 ditolak. Jadi, model ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 memenuhi asumsi keberartian koefisien. 2. Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 Tabel 3.4 Penaksiran Parameter Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 Type Coef SE Coef T P AR 1 ( 11 ) -0,0112 0,0966-0,12 0,908 AR 2 ( 22 ) 0,1257 0,0959 1,31 0,192 SAR 12 (ΦΦ 11 ) 0,9906 0,0234 42,32 0,000 SMA 12 (ΘΘ 11 ) 0,8796 0,0773 11,38 0,000 Constant ( δδ) 2,014 1,453 1,39 0,168 Berdasarkan Tabel (3.4) diperoleh hasil penaksiran parameter model ARIMA (2,0,0)(1,0,1) 12 yaitu 1 = 0,0112; 2 = 0,1257; ΦΦ 1 = 0,9906; ΘΘ 1 = 0,8796; dan δδ = 2,014. Dengan menggunakan operator backshift, model umum ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 dapat dinyatakan oleh: (1 1 BB 2 BB 2 )(1 ΦΦ 1 BB 12 )ZZ tt = δδ + (1 ΘΘ 1 BB 12 )aa tt Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh, (1 + 0,0112BB 0,1257BB 2 )(1 0,9906BB 12 )ZZ tt = 2,014 + (1 0,8796BB 12 )aa tt Berdasarkan Tabel (3.4) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter AR(1) dan AR(2) lebih besar dari αα sehingga HH 0 diterima. Jadi, model ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 tidak memenuhi asumsi keberartian koefisien. 3. Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 Tabel 3.5 Penaksiran Parameter Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 Type Coef SE Coef T P SAR 12 (ΦΦ 11 ) 0,9899 0,0238 41,59 0,000 MA 1 (θθ 11 ) 0,0010 0,0966 0,01 0,992 MA 2 (θθ 22 ) -0,0875 0,0957-0,91 0,363 SMA 12 (ΘΘ 11 ) 0,8765 0,0778 11,26 0,000 Constant ( δδ) 2,397 1,596 1,50 0,136

Berdasarkan Tabel (3.5) diperoleh hasil penaksiran parameter model ARIMA (0,0,2)(1,0,1) 12 yaitu ΦΦ 1 = 0,9899 ; θθ 1 = 0,001 ; θθ 2 = 0,0875 ; ΘΘ 1 = 0,8765 dan δδ = 2,397. Dengan menggunakan operator backshift, model umum ARIMA(0,0,2)(0,0,1) 12 dapat dinyatakan oleh: (1 ΦΦ 1 BB 12 )ZZ tt = δδ + (1 θθ 1 BB θθ 2 BB 2 )(1 ΘΘ 1 BB 12 )aa tt Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh, (1 0,9899BB 12 )ZZ tt = 2,397 + (1 0,001BB + 0,0875BB 2 )(1 0,8765BB 12 )aa tt Berdasarkan Tabel (3.5) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter MA(1) dan MA(2) lebih besar dari αα sehingga HH 0 diterima. Jadi, model ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 tidak memenuhi asumsi keberartian koefisien. 4. Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 Tabel 3.6 Penaksiran Parameter Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 Type Coef SE Coef T P AR 1 ( 11 ) -1,2263 0,2551-4,81 0,000 AR 2 ( 22 ) -0,5816 0,2179-2,67 0,009 SAR 12 (ΦΦ 11 ) 0,9850 0.0288 34,17 0,000 MA 1 (θθ 11 ) -1,3029 0,2080-6,26 0,000 MA 2 (θθ 22 ) -0,7709 0,1674-4,61 0,000 SMA 12 (ΘΘ 11 ) 0,8520 0,0869 9,80 0,000 Constant ( δδ) 9,908 4,991 1,98 0,050 Berdasarkan Tabel (3.6) diperoleh hasil penaksiran parameter model ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 yaitu 1 = 1,2263; 2 = 0,5816; ΦΦ 1 = 0,985; θθ 1 = 1,3029 ; θθ 2 = 0,7709 ; ΘΘ 1 = 0,852 dan δδ = 9,908. Dengan menggunakan operator backshift, model umum ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 dapat dinyatakan oleh: (1 1 BB 2 BB 2 )(1 ΦΦ 1 BB 12 )ZZ tt = δδ + (1 θθ 1 BB θθ 2 BB 2 )(1 ΘΘ 1 BB 12 )aa tt Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh, (1 + 1,2263BB + 0,5816BB 2 )(1 0,985BB 12 )ZZ tt = 9,908 + (1 + 1,3029BB + 0,7709BB 2 )(1 0,852BB 12 )aa tt

Berdasarkan Tabel (3.6) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter AR(1), AR(2), SAR(1), MA(1), MA(2), dan SMA(12) lebih kecil dari αα sehingga HH 0 ditolak. Jadi, model ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 memenuhi asumsi keberartian koefisien. 3.1.3.2 Uji Asumsi White Noise Uji asumsi white noise terdiri dari 2 tahap yaitu uji keacakan residu dan uji kenormalan residu. Di bawah ini adalah plot ACF residu dan nilai statistik Ljung- Box masing-masing model untuk menguji keacakan residu serta plot probabilitas residu masing-masing model untuk menguji kenormalan residu. 1. ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 ACF of Residuals for Curah Hujan (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8 0.6 Autocorrelation 0.4 0.2 0.0-0.2-0.4-0.6-0.8-1.0 3 6 9 12 15 Lag 18 21 24 27 30 Gambar 3.5 Plot ACF Residu ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 Dari Gambar (3.5) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat pada Tabel (3.7). Tabel 3.7 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 13,3 17,9 28,6 41,2 DF 9 21 33 45 P-Value 0,150 0,654 0,685 0,632

Dari Tabel (3.7) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih besar dari αα maka HH 0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari model ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 bersifat acak. 99.9 Normal Probability Plot (response is Curah Hujan) 99 Percent 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1-400 -300-200 -100 0 Residual 100 200 300 400 Gambar 3.6 Plot Probabilitas Residu ARIMA(0,0,0)(1,0,1) 12 Gambar (3.6) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi normal, maka residu memenuhi asumsi white noise. 2. ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 ACF of Residuals for Curah Hujan (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8 0.6 Autocorrelation 0.4 0.2 0.0-0.2-0.4-0.6-0.8-1.0 3 6 9 12 15 Lag 18 21 24 27 30 Gambar 3.7 Plot ACF Residu ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12

Dari Gambar (3.7) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.8 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 12,4 18,1 29,9 41,1 DF 7 19 31 43 P-Value 0,089 0,517 0,521 0,554 Dari Tabel (3.8) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih besar dari αα maka HH 0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari model ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 bersifat acak. 99.9 Normal Probability Plot (response is Curah Hujan) 99 95 90 Percent 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1-400 -300-200 -100 0 100 200 300 400 Residual Gambar 3.8 Plot Probabilitas Residu ARIMA(2,0,0)(1,0,1) 12 Gambar (3.8) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.

3. ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 ACF of Residuals for Curah Hujan (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8 0.6 Autocorrelation 0.4 0.2 0.0-0.2-0.4-0.6-0.8-1.0 3 6 9 12 15 Lag 18 21 24 27 30 Gambar 3.9 Plot ACF Residu ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 Dari Gambar (3.9) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.9 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 12,3 17,7 29,2 41,0 DF 7 19 31 43 P-Value 0,092 0,539 0,561 0,556 Dari Tabel (3.9) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih besar dari αα maka HH 0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari model ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 bersifat acak.

Normal Probability Plot (response is Curah Hujan) 99.9 99 Percent 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1-400 -300-200 -100 0 Residual 100 200 300 400 Gambar 3.10 Plot Probabilitas Residu ARIMA(0,0,2)(1,0,1) 12 Gambar (3.10) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi normal, maka residu memenuhi asumsi white noise. 4. ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 ACF of Residuals for Curah Hujan (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8 0.6 Autocorrelation 0.4 0.2 0.0-0.2-0.4-0.6-0.8-1.0 3 6 9 12 15 Lag 18 21 24 27 30 Gambar 3.11 Plot ACF Residu ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 Dari Gambar (3.11) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu

bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.10 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 7,0 12,0 23,0 33,7 DF 5 17 29 41 P-Value 0,224 0,803 0,776 0,784 Dari Tabel (3.10) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih besar dari αα maka HH 0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari model ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 bersifat acak. 99.9 Normal Probability Plot (response is Curah Hujan) 99 95 90 Percent 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1-300 -200-100 0 100 200 300 400 Residual Gambar 3.12 Plot Probabilitas Residu ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 Gambar (3.12) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi normal, maka residu memenuhi asumsi white noise. 3.1.4 Pemilihan Model Terbaik Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai MSE dari setiap model untuk menentukan model terbaik yang akan digunakan dalam peramalan. Berikut adalah tabel dari setiap model yang teridentifikasi:

Tabel 3.11 Nilai MSE Model ARIMA Nilai Model DF SSE MSE ARIMA(00, 00, 00)(11, 00, 11) 1111 117 1.251.989 10.701 ARIMA(22, 00, 00)(11, 00, 11) 1111 115 1.227.498 10.674 ARIMA(00, 00, 22)(11, 00, 11) 1111 115 1.233.590 10.727 ARIMA(22, 00, 22)(11, 00, 11) 1111 113 1.186.131 10.497 Pada Tabel (3.11) terlihat nilai MSE terkecil dimiliki oleh model ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 yaitu sebesar 10.497. Di bawah ini adalah rangkuman diagnosis model Seasonal ARIMA yang telah diuji. Tabel 3.12 Rangkuman Diagnosis Model Seasonal ARIMA Keberartian White Noise Model Koefisien Acak Normal MSE ARIMA(00, 00, 00)(11, 00, 11) 1111 Ya Ya Ya 10.701 ARIMA(22, 00, 00)(11, 00, 11) 1111 Tidak Ya Ya 10.674 ARIMA(00, 00, 22)(11, 00, 11) 1111 Tidak Ya Ya 10.727 ARIMA(22, 00, 22)(11, 00, 11) 1111 Ya Ya Ya 10.497 Berdasarkan Tabel (3.12), model yang memenuhi semua tahapan diagnosis yaitu memenuhi asumsi keberartian koefisien, asumsi white noise, dan memiliki nilai MSE terkecil di antara semua model yang teridentifikasi adalah model ARIMA (2,0,2)(1,0,1) 12. Jadi, model ARIMA (2,0,2)(1,0,1) 12 dipilih sebagai model yang digunakan untuk peramalan. 3.1.5 Peramalan dengan Model Seasonal ARIMA Terpilih untuk Evaluasi Setelah model terbaik dari beberapa model dugaan sementara dipilih, selanjutnya dilakukan peramalan untuk data input 2 musim terakhir yaitu periode Januari 2014 Desember 2015. Model ARIMA (2,0,2)(1,0,1) 12 yang diperoleh akan digunakan untuk peramalan yaitu: (1 + 1,226BB + 0,582BB 2 )(1 0,985BB 12 )ZZ tt = 9,908 + (1 + 1,303BB + 0,778BB 2 )(1 0,852BB 12 )aa tt

Hasil peramalan ini (Lampiran 1) akan dibandingkan dengan hasil peramalan dari metode Dekomposisi untuk evaluasi. 3.2 Pengolahan Data dengan Metode Dekomposisi Tahapan yang akan dilakukan pada bagian ini dimulai dengan pemisahan (Dekomposisi) data dengan menghitung indeks musiman dan menentukan garis trend yang tepat. Metode yang akan digunakan adalah metode Dekomposisi ratarata bergerak secara aditif dan multiplikatif sehingga ada dua model yang dihasilkan pada tahap ini. Model terbaik akan digunakan untuk peramalan. 3.2.1 Menghitung Indeks Musiman Sebelum masuk ke dalam proses menghitung indeks musiman, terlebih dahulu dihitung rata-rata bergerak sepanjang musiman data. Pada penelitian ini data memiliki musiman sepanjang 12 periode. Jadi, rata-rata musiman dihitung merataratakan 12 data berurutan dan hasilnya diletakkan pada periode tengahnya. Hasil perhitungan rata-rata bergerak dan rasio antara data aktual dengan rata-rata bergerak dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 3.13 Indeks Musiman Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni 2004 - - - - - - 2005 152,158 17,191 39,405 40,171 167,454 100,755 2006 5,393 73,915 67,528 114,751 148,331 125,114 2007 84,956 4,309 28,837 129,489 163,551 42,749 2008 69,608 59,536 81,093 96,593 94,648 53,184 2009 95,454 66,0147 189,513 94,539 143,657 22,818 2010 79,844 40,191 124,923 40,370 158,461 78,344 2011 82,743 28,839 175,769 95,906 92,340 58,738 2012 79,328 42,947 86,509 70,539 195,629 35,833 2013 69,808 128,675 51,064 74,253 65,213 52,503 Rata2 Medial 80,249 46,948 89,470 83,850 138,349 60,301 Faktor 1,026 1,026 1,026 1,026 1,026 1,026 Penyesuaian Indeks Musiman (%) 82,346 48,175 91,809 86,042 141,965 61,877

Lanjutan Tabel (3.13) Tahun Juli Agustus September Oktober November Desember Total 2004 116,902 148,069 186,902 166,315 71,221 78,578 2005 98,293 76,437 132,672 103,914 86,382 174,283 2006 53,877 68,098 186,881 134,598 71,158 164,846 2007 106,891 97,833 157,529 101,244 156,539 127,312 2008 72,244 128,296 117,236 167,109 88,091 62,864 2009 98,161 98,796 149,949 125,091 102,118 55,938 2010 92,271 154,158 78,394 87,915 191,273 67,807 2011 91,179 103,709 71,982 222,656 100,198 101,51 2012 129,652 76,262 112,353 173,377 110,294 99,440 2013 34,844 - - - - - Rata2 Medial 91,227 104,200 133,574 138,807 102,121 100,336 1.169,4 Faktor Penyesuaian 1,026 1,026 1,026 1,026 1,026 1,026 Indeks Musiman (%) 93,612 106,924 137,065 142,435 104,789 102,959 1.200 Tabel (3.13) adalah tabel indeks musiman. Untuk rata-rata bergerak bulan Juli 2004 dihitung dari jumlah total curah hujan bulan Januari hingga Desember, data awal dibagi 12. Untuk rata-rata bergerak bulan Agustus dihitung dari jumlah total curah hujan bulan Februari 2004 hingga januari 2005 dibagi 12, dan seterusnya. Rasio ini kemudian disusun sesuai dengan periodenya masing-masing yaitu pada bulan yang sama di tiap tahun dan dihitung rata-rata medialnya (ratarata dari data yang telah dikeluarkan nilai terbesar dan terkecil) untuk setiap periode yang bersesuaian. Rata-rata medial ini kemudian dikali dengan faktor penyesuaian agar jumlah rata-rata medial untuk semua periode menjadi nn (panjang musiman). Seasonal factor atau seasonal index atau indeks musiman dihitung dari mencari rata-rata median dari data rasio original indeks dengan rata-rata bergerak pada bulan yang sama di tiap tahun selain nilai yang tertinggi dan yang terendah. Kemudian dihitung dengan penyesuaian dari rata-rata medial sehingga jumlahnya sama dengan 1.200. 3.2.2 Pencocokan Trend Deseasonalized dari data aktual yaitu membagi data asli dengan indeks musiman. Data ini lah yang akan menjadi data dasar untuk menentukan persamaan garis

trend linier (Lampiran 4). Dari data yang telah dideseasonalized dilakukan proyeksi dengan menggunakan regresi sederhana hingga mendapatkan hasil persamaan garis trend. Terlebih dahulu menghitung nilai aa dan bb dalam persamaan garis trend sebagai berikut: bb = nn ttxx tt tt XX tt 120(1.713.968,591) 7.260(27.837,270) nn tt 2 ( tt) 2 = 120(583.220) (7.260) 2 = 0,207 aa = XX tt nn tt bb nn = 27.837,270 (0,207) 7.260 120 120 = 219,451 sehingga diperoleh persamaan garis trend: TT tt = 219,451 + 0,207tt 3.2.3 Peramalan dengan Metode Dekomposisi untuk Evaluasi Selanjutnya dilakukan peramalan untuk data input 2 musim terakhir yaitu periode Januari 2014 Desember 2015. Pada periode tt akan dilakukan proyeksi dengan terlebih dahulu melakukan coding secara berurutan sesuai urutan proyeksi. Hasil prediksi diperoleh dari mengalikan persamaan trend TT tt dengan indeks musimannya. Hasil peramalan ini (Lampiran 2) akan dibandingkan dengan hasil peramalan dari metode Seasonal ARIMA untuk evaluasi. 3.3 Evaluasi Hasil Peramalan Metode Seasonal ARIMA dan Metode Dekomposisi Kriteria keakuratan hasil peramalan dengan menggunakan kedua model tersebut dalam penelitian ini adalah dengan menghitung nilai Mean Absolute Percentage Error (MAPE). Digunakan MAPE karena MAPE mengenal secara pasti signifikansi hubungan diantara data hasil ramalan dengan data aktual melalui persentase dari data aktual dan indikator positif atau negatif pada error diabaikan. Jika MAPE lebih kecil berarti metode tersebut lebih akurat. Model peramalan dikatakan baik jika nilai MAPE kurang dari 20%. Berdasarkan hasil peramalan curah hujan dengan data input periode Januari 2014 sampai Desember 2015 menggunakan model Seasonal ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 dan metode Dekomposisi diperoleh nilai MAPE masing-

masing metode yaitu 18,051% dan 26,559% (Lampiran 5 dan Lampiran 6). Nilai MAPE yang dihasilkan metode Seasonal ARIMA lebih kecil dibandingkan MAPE metode Dekomposisi. Sehingga peramalan dengan menggunakan metode Seasonal ARIMA lebih baik dibandingkan dengan menggunakan jaringan saraf tiruan metode Dekomposisi. 3.4 Peramalan Curah Hujan Tahap terakhir pada penelitian ini adalah melakukan peramalan curah hujan dengan metode yang terpilih yaitu model Seasonal ARIMA (2,0,2)(1,0,1) 12. Berikut adalah peramalan curah hujan di Kota Medan periode Januari 2017 Desember 2018. Tabel 3.14 Peramalan Curah Hujan Kota Medan Tahun 2017 Tahun 2018 Periode Ramalan Pembulatan (t) (ZZ tt ) Januari 2017 186,902 187 Februari 2017 149,468 150 Maret 2017 220,146 220 April 2017 194,157 194 Mei 2017 276,630 277 Juni 2017 150,100 150 Juli 2017 203,555 204 Agustus 2017 276,591 277 September 2017 291,863 292 Oktober 2017 358,284 358 November 2017 253,290 253 Desember 2017 259,916 260

Lanjutan Tabel (3.14) Periode Ramalan Pembulatan (t) (ZZ tt ) Januari 2018 187,678 188 Februari 2018 150,767 151 Maret 2018 220,337 220 April 2018 194,820 195 Mei 2018 275,985 276 Juni 2018 151,391 151 Juli 2018 204,037 204 Agustus 2018 275,965 276 September 2018 291,031 291 Oktober 2018 356,438 356 November 2018 253,027 253 Desember 2018 259,552 260

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Curah hujan berpola musiman sehingga metode Seasonal ARIMA dan metode dekomposisi dapat digunakan untuk meramalkan curah hujan di Kota Medan dengan jumlah periode per musimnya adalah 12 bulan. 2. Dari pengolahan data dengan metode Seasonal ARIMA, diperoleh model yang paling sesuai dengan data yaitu model ARIMA(2,0,2)(1,0,1) 12 : (1 + 1,226BB + 0,582BB 2 )(1 0,985BB 12 )ZZ tt = 9,908 + (1 + 1,303BB + 0,778BB 2 )(1 0,852BB 12 )aa tt dengan nilai MSE sebesar 10.497. 3. Dari pengolahan data dengan metode dekomposisi, diperoleh persamaan garis trend: TT tt = 219,451 + 0,207tt 4. Dari evaluasi hasil peramalan, diperoleh nilai MAPE sebesar 18,051% untuk metode Seasonal ARIMA dan sebesar 26,559% untuk metode dekomposisi. Nilai MAPE metode Seasonal ARIMA lebih kecil dari metode dekomposisi dan berada di bawah 20%, sehingga dalam penelitian ini metode Seasonal ARIMA jauh lebih baik dibandingkan metode dekomposisi dalam meramalkan curah hujan di Kota Medan. 4.2 Saran 1. Model ARIMA yang lain perlu diteliti untuk mendapatkan nilai error ramalan yang lebih kecil. 2. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tingkat keakuratan ramalan menggunakan metode ARIMA maupun Seasonal ARIMA, pembaca dapat membandingkan dan juga mengombinasikan metode tersebut dengan metode deret waktu lainnya dan juga metode jaringan syaraf tiruan.