BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Koping Taylor (2012) mendefinisikan koping sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal dari situasi yang menekan. Koping merupakan usaha-usaha baik kognitif maupun perilaku yang bertujuan untuk mengelola tuntutan lingkungan dan internal, serta mengelola konflik-konflik yang mempengaruhi individu melampaui kapasitas individu. Neil R. Carlson (2007) mengungkapkan bahwa strategi koping adalah rencana yang mudah dari suatu perbuatan yang dapat kita ikuti, semua rencana itu dapat digunakan sebagai antisipasi ketika menjumpai situasi yang menimbulkan stres atau sebagai respon terhadap stres yang sedang terjadi, dan efektif dalam mengurangi level stres yang kita alami. Dari definisi di atas maka strategi koping dapat diartikan sebagai usaha, proses atau respon individu untuk mengubah kognisi, intrapsikis dan juga tingkah laku dalam tingkatan tertentu, agar dapat mengendalikan, menguasai, mengurangi atau memperkecil pengaruh lingkungan, tuntutan internal, konflik-konflik atau situasi yang dianggap menimbulkan stres atau 10
mengatasi sesuatu terutama yang diperkirakan akan menyita dan melampaui kemampuan seseorang. Flokman & Lazarus (dalam Sarafino, 2006) secara umum membedakan bentuk dan fungsi koping dalam dua klasifikasi yaitu: a. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk koping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan, artinya koping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari caracara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah. b. Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk koping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol, narkoba, mencari dukungan emosional dari teman-teman dan mengikuti berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain 11
yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan. B. Strategi Koping EFC (Emotion Focused Coping) 1. Pengertian Strategi Koping EFC (Emotion Focused Coping) Emotion focused coping adalah bentuk koping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosional dengan pendekatan behavioral dan kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah mencari dukungan emosional dari teman-teman dan mengikuti berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan pendefinisian terhadap situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika merekapercaya bahwa mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan (Sarafino, 2006). 12
Emotion focused coping merupakan strategi untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh stresor atau sumber stres tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Emotion focused coping dapat dikatakan pula sebagai upaya untuk mengurangi atau mengatur ketidaknyamanan emosi yang berhubungan atau diakibatkan oleh suatu situasi. Emotion focused coping memungkinkan individu mencoba melihat sisi kebaikan dari sesuatu yang terjadi, mengharapkan simpati dan pengertian dari orang lain atau mencoba melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang menekan emosinya. Individu belajar mencoba dan mengambil hikmah atau nilai dari segala usaha yang telah dilakukan sebelumnya dan dapat dijadikan sebagai latihan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah berikutnya (Lazarus & Folkman, 1984). Hasil penelitian yang dilakukan Menurut Khoiroh (2011), menjelaskan bahwa individu yang menggunakan emotion focused coping dalam penyelesaian masalah cenderung menunjukkan perilaku dengan lebih mengutamakan introspeksi diri daripada sibuk menyalahkan orang lain dan memandang positif masyarakat atau lingkungan di sekitar. Menurut pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa strategi koping stres berfokus emosi (emotional focused coping)merupakan strategi yang digunakan oleh seseorang untuk dapat meredakan emosi akibat dari adanya stresor, tanpa mengubah situasi yang 13
dapat menjadi sumber stres. Sehingga, dengan menggunakan strategi koping berfokus pada emosi ini, seorang dapat memandang kehidupan dari sudut pandang yang lebih positif dan secara tidak langsung akan mengurangi tingkat stres di dalam diri. 2. Klasifikasi Bentuk Emotional Focused Coping Dari uraian pendapat beberapa tokoh di atas, dapat dikatakan bahwa emotion focused coping adalah bentuk koping yang digunakan individu dalam menghadapi situasi yang menekan dengan cara mengontrol atau mengatur respon emosi yang muncul sehingga individu mampu menilai secara positif situasi yang terjadi.lazarus, Folkman, dan rekannya (dalam Sarafino, 1998) telah menyebutkan beberapa strategi coping yang bisa dikelompokkan kedalam kelompok emotion focused coping, yaitu: a. Distancing Individu mencoba membuat suatu pola pemikiran (berpikir) yang lebih positif terhadap masalah yang dihadapinya. Individu bisa mencoba bertingkah laku seakan-akan tidak pernah terjadi apapun. Individu mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh dengan cara tidak terlalu memikirkan masalahnya. Carver, Scheier dan Weintraub (dalam Sarafino, 1998) menyebutkanbahwa bentuk koping ini sebagai suatu usaha individu untuk menyangkal bahwa dirinya dihadapkan pada suatu masalah. 14
b. Escape- avoidance Individu menghindari untuk menghadapi masalah yang dihadapinya. Contohnya, individu berkhayal bahwa akan ada suatu keajaiban yang bisa membuat masalahnya selesai. Biasanya individu mengambil tindakan pengalihan perhatian yang negatif (menghindar) terhadap masalahnya dengan tidur terus menerus, keluar rumah, lebih sering menonton televisi, merokok atau minum-minuman beralkohol. c. Self control Individu mencoba untuk mengatur emosinya supaya tidak diketahui oleh orang lain dan mengatur tindakannya dalam menghadapi masalahnya. d. Accepting responsibility Individu menyadari perannya sebagai salah satu penyebab dari masalah yang dihadapinya dan mencoba mengambil tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Individu merasa bertanggung jawab atas munculnya masalah tersebut. e. Positive repprasial Individu berusaha mengambil sisi positif dari permasalahan yang dihadapinya yang dapat membantu pertumbuhan pribadinya. Menurut Carver, Scheire dan Weintraub (dalam Sarafino, 1998) 15
terkadang hal ini disertai dengan meningkatnya kesadaran sisi religius individu (turnind to religion). Lebih jelasnya, Carver, Scheire dan Weintraub (dalam Sarafino, 1998) menyebut cara coping ini penting bagi beberapa individu, karena agama (keyakinan terhadap tuhan) dapat dijadikan sebagai dukungan sosial pribadi, individu terkadang menganggap hal ini sebagai sebuah alat untuk dapat mencapai pertumbuhan pribadi yang positif dan strategi coping yang aktif. f. Seeking for social support (for emotional reason) Jenis coping ini lebih mengarah kepada dukungan moral yang diperoleh individu, simpati ataupun pengertian dari orang lain terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Menurut Carver, Scheier, and Weintraub (1989) aspek-aspek strategi koping stres berfokus pada emosi, antara lain adalah: a. Positive reinterpretation and growth (Penafsiran ulang dan Pertumbuhan Positif) Respon yang dilakukan individu dengan cara mengadakan perubahan dan pengembangan pribadi dengan pengertian yang baru dan menumbuhkan kepercayaan akan arti makna kebenaran yang utama yang dibutuhkan dalam hidup atau mencoba mengambil pandangan positif dari sebuah masalah (hikmah). 16
b. Acceptance (Penerimaan) Individu menerima keadaan yang terjadi apa adanya, karena individu menganggap sudah tidak ada yang dapat dilakukan lagi untuk merubah keadaan serta membuat suasana lebih baik. Penerimaan juga diartikan sebagai derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, kemudian individu mampu hidup dengan karakteristik tersebut. c. Denial (Penyangkalan) Denial atau penyangkalan adalah mekanisme pertahanan psikologis yang membantu seseorang menghindari kebenaran yang berpotensi menimbulkan kesedihan. Hal ini juga dilihat sebagai bentuk penyangkalan atau penghindaran yang merupakan istilah psikologis lain dimana itu menunjukkan seseorang melakukan semua yang mereka bisa upayakan untuk tidak berurusan dengan situasi tertentu. Namun, lebih baik untuk memilih mengenali saja situasi tersebut dan mengakui keberadaannya bahwa situasi itu benar-benar ada didalam kehidupannya. Semua orang pada suatu titik tertentu akan mengalami denial/penyangkalan ini. Hal ini merupakan cara normal untuk melindungi ego kita dimana itu bisa membawa kita melalui beberapa situasi yang sulit. Contohnya dalam situasi berolahraga, kita mungkin akan begitu saja menerima perasaan lelah dalam tubuh kita dan tidak ingin menyelesaikan sebuah latihan. Dalam hal seperti inilah 17
denial/penyangkalan akan sangat berfungsi untuk mengabaikan fakta bahwa kita sudah kelelahan. Kalau kita tidak denial/penyangkalan, maka proses latihan tidak akan terselesaikan dengan baik. Contoh lain misalkan kita sedang belajar sesuatu, maka denial sangat diperlukan ketika kita sudah lelah, karena disaat kita mengalami kesulitan saat belajar, kelelahan dan frustasi maka kita akan berhenti belajar begitu saja. Namun, ketika kita mampu untuk denial/penyangkalan maka kita mencoba terus hingga akhirnya bisa. d. Turning to Religion (Kembali kepada Ajaran Agama) Merupakan usaha untuk melakukan dan meningkatkan ajaran agama yang dianut. Aspek ini meliputi menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar, berdoa, memperbanyak ibadah untuk meminta bantuan pada Tuhan dan lain sebagainya. e. Seeking emotional social support Merupakan upaya untuk menerima dukungan sosial seperti mendapat dukungan moral, simpati atau pengertian. Contoh dukungan secara emosional adalah mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian. Dukungan secara emosional akan membuat seseorang yang menerima merasa berharga, nyaman, aman, dan disayangi. 18
Menurut pendapat para ahli, dapat diambil kesimpulan bahwa remaja dengan orangtua bercerai dapat menggunakan berbagai model koping berfokus emosi untuk memberikan respon positif atau merubah sudut pandang seseorang terhadap permasalahan yang sedang dihadapinya, sehingga tidak menimbulkan terjadinya stres pada diri remaja dengan orangtua yang bercerai. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emotional Focused Coping Hapsari, Karyani, & Taufik (2002) menjelaskan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi emotional focused coping adalah sebagai berikut: a. Usia. Pada usia yang lebih tua akan menggunakan emotional focused coping yang disebabkan pada orang yang lebih tua memiliki anggapan bahwa dirinya tidak mampu melakukan perubahan terhadap masalah yang dihadapi sehingga akan bereaksi dengan mengatur emosinya daripada pemecahan permasalahan. b. Jenis Kelamin. Wanita lebih lemah atau lebih sering menggunakan penyaluran emosi daripada pria. c. Individu yang memiliki kesehatan mental yang buruk kurang efektif dalam memilih strategi menghadapi tekanan. 19
Berdasarkan penjelasan ahli di atas, maka dapat disimpulkan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi emotional focused coping seseorang yaitu: usia, jenis kelamin, dan kesehatan mental individu. 4. Strategi Koping Stres Berfokus Emosi pada Remaja dengan Orangtua Bercerai Menurut Hurlock (1990), masa remaja merupakan masa yang sulit didalam tahapan kehidupan manusia, karena merupakan masa untuk mencari jati diri. Kemudian, ditambah lagi dengan perceraian orangtua yang merupakan peralihan besar dan membutuhkan penyesuaian. Remaja akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena kehilangan satu orangtua. Reaksi remaja terhadap perceraian orangtua akan berbeda ketika sebelum perceraian dan sesudah perceraian. Remaja membutuhkan dukungan, dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialaminya selama masa sulit ini (Cole, 2005). Individu diusia remaja lebih cenderung mengingat konflik dan stres yang mengitari perceraian orangtuanya dibandingkan pada saat mereka mengalaminya dalam tahap perkembangan anak. Selain itu, remaja juga masih dapat mengingat konflik perceraian orangtuanya hingga 10 tahun mendatang. Kondisi remaja dengan orangtua yang bercerai sangat rentan mengalami masalah psikologis dan besar kemungkinannya mereka akan mengalami stres. Remaja yang orangtuanya bercerai akan cenderung 20
kehilangan dukungan sosial yang berasal dari orangtua. Hal tersebut dapat mengakibatkan remaja mengalami kesulitan dalam melakukan koping (Santrock, 2002). Faktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk koping menurut Primadi dan Lasmono (2003) salah satunya adalah perkembangan usia sejumlah struktur psikologis seseorang dan sumber-sumber untuk melakukan coping akan berubah menurut perkembangan usia dan akan membedakan seseorang dalam merespons tekanan. Pada masa remaja ini ada beberapa perubahan yang bersifat universal, yaitu meningkatnya emosi. Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanakkanak. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock, 1999). Oleh karena itu dalam kasus perceraian orang tua remaja lebih banyak menggunakan emosi untuk dapat meringankan bebannya yaitu dengan cara lari dari masalah oleh karena itu sebagian besar remaja memilih emotion focused coping karena bagi remaja masalah perceraian orang tua adalah salah satu masalah dimana remaja tersebut tidak dapat merubah kondisi yang ada dan tidak dapat melakukan tindakan apapun untuk menyelesaikannya dengan orang terkait yaitu orang tua. Pemilihan emotion focused coping lebih cenderung digunakan pada subjek remaja korban perceraian orang tua dibanding problem focused coping, karena 21
startegi problem focused coping jarang sekali digunakan oleh para remaja dalam menyelesaikan masalah metode atau fungsi masalah ini lebih sering digunakan oleh para orang dewasa (Smet, 2004). Sedangkan pada masa remaja perkembangan emosi remaja ditandai dengan emosi yang tidak stabil dan penuh gejolak. Pada masa ini suasana hati bisa berubah dengan sangat cepat. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, masa remaja merupakan masa yang sulit karena selain harus mencari jati dirinya mereka juga harus merasakan ditinggal bercerai orangtuanya, sehingga akan mencari strategi koping yang tepat khususnya berfokus pada emosi untuk menyikapi kondisi yang sedang dihadapinya. C. Remaja 1. Definisi Remaja Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Rice, 1990). Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada 22
umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Menurut Adams & Gullota, masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun (Aaro, 1997). Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 20 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahanperubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka. Pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan (Hurlock, 1990). 2. Perkembangan Remaja Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan 23
kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001). Aspek-aspek perkembangan pada masa remaja dapat dibagi menjadi dua yaitu : 1) Perkembangan fisik Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahanperubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001). 2) Perkembangan Kognitif Menurut Piaget, seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka. Informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang 24
dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru (Santrock, 2001). D. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut: Question Bagaimanakah strategi koping stres berfokus emosi pada remaja dengan orangtua bercerai? Subquestions 1. Bagaimana remaja mengambil hikmah dari perceraian orangtuanya? 2. Bagaimanakah penerimaan remaja dengan orangtua bercerai? 3. Bagaimanakah remaja dengan orangtua bercerai melakukan penyangkalan? 4. Bagaimanakah religiusitas remaja dengan orangtua bercerai? 5. Bagaimanakah cara remaja dengan orangtua yang bercerai menerima dukungan sosial secara emosional? 25