I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan protein hewani setiap tahun selalu meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu protein hewani yang mudah didapatkan adalah telur karena perkembangan peternakan ayam petelur yang terus berkembang setiap tahunnya. Populasi ayam petelur di Jawa Barat pada tahun 2011 adalah 11.930.515 ekor dan pada tahun berikutnya sebesar 12.079.206 ekor (Ditjennak, 2012). Peningkatan populasi ayam petelur menyebabkan bertambahnya limbah yang dihasilkan, salah satunya berupa feses. Feses sebagian besar merupakan bahan organik yang secara alami menjadi sumber nutrisi mikroorganisme pengurai. Apabila feses dibiarkan begitu saja tanpa penanganan yang baik dan benar dapat menimbulkan pencemaran bagi lingkungan seperti bau yang menyengat, menjadi tempat hidup dari lalat dan tikus, menghasilkan gas beracun seperti metana dan hidrogen sulfida lebih banyak dibdaningkan dengan feses ternak lainnya. Peternak masih belum banyak mengetahui penanganan feses yang baik dan benar sehingga masih banyak peternak yang membiarkan feses menumpuk di samping kdanang dan menyebabkan pencemaran. Agar feses tersebut tidak mencemari lingkungan maka feses dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik baik pupuk organik padat dan pupuk oganik cair dengan cara pengomposan. Pengomposan mungkin menjadi cara yang efektif untuk menanggulangi limbah ternak yang menumpuk begitu saja dan menyediakan sebuah sistem produksi tanaman ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah ternak. Proses
2 pengomposan yang terjadi dengan partisipasi sejumlah besar mikroorganisme aerobik (bakteri mesofilik dan termofilik terutama, protozoa, jamur dan actynomycetes) yang mendekomposisi bahan organik untuk mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi mikroorganisme tersebut. Tahap penting dalam proses pengomposan salah satunya adalah dekomposisi awal. Faktor yang sangat penting untuk dekomposisi awal pada proses pengomposan yaitu nisbah C/N, suhu, kelembaban, aerasi dan ph. Nisbah C/N dianggap sebagai salah satu faktor kunci yang mempengaruhi proses pengomposan dan kualitas kompos, karena nisbah C/N merupakan komposisi bahan substrat sebagai sumber energi dan protein yang digunakan oleh mikroorganisme untuk tumbuh, maka nisbah C/N harus sesuai dengan yang disyaratkan agar mikroorganisme dapat tumbuh sebanyak-banyaknya didalam substrat feses ayam petelur. Nisbah C/N yang ideal untuk kompos umumnya sekitar 30. Nisbah C/N lebih rendah dari 30 memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme yang cepat dan dekomposisi cepat, tapi kelebihan nitrogen akan hilang sebagai gas amonia dan menyebabkan bau yang tidak diinginkan serta hilangnya nutrisi. Nisbah C/N lebih tinggi dari 30 tidak menyediakan cukup nitrogen untuk pertumbuhan optimal populasi mikroorganisme. Kandungan nisbah C/N feses ayam petelur kurang dari yang disyaratkan untuk proses pengomposan. Serbuk gergaji merupakan salah satu bahan organik yang memiliki nisbah C/N dan karbon tinggi, selain itu serbuk gergaji adalah limbah dari penggergajian kayu yang perlu diolah agar tidak mencemari lingkungan. Feses ayam petelur dan serbuk gergaji dicampurkan agar mendapatkan komposisi bahan yang menyebabkan mikroorganisme aerobik nyaman untuk tumbuh seoptimal mungkin didalam bahan kompos.
3 Suhu merupakan penentu dalam aktivitas pengomposan. Pengontrolan suhu dalam timbunan kompos penting untuk mengoptimumkan penguraian bahan organik dan mematikan mikroorganisme patogen. Suhu optimum untuk penguraian pengomposan sekitar 30 C-60 C. Pengomposan berdasarkan suhu dibagi dalam 3 tahap yaitu tahap mesofilik (<40 C) yang biasanya berlangsung selama beberapa hari, tahap termofilik (>40 C) yang dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung pada tumpukan dan komposisi bahan, dan tahap pematangan selama beberapa bulan suhu berangsur-angsur menurun sampai sama dengan suhu ruang. Dinamika populasi dari mikroorganisme mendominasi selama berbagai fase suhu. Dekomposisi awal dilakukan oleh mikroorganisme mesofilik, mereka menyebabkan peningkatan suhu kompos dengan cepat, setelah suhu melebihi 40 C mikroorganisme mesofilik menjadi berkurang aktivitasnya dan digantikan oleh mikroorganisme termofilik. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menjelaskan mengenai seberapa besar pengaruh nisbah C/N campuran feses ayam petelur dan serbuk gergaji terhadap dinamika populasi mikroorganisme (bakteri dan kapang) pada proses dekomposisi awal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka akan dilakukan penelitian dengan judul Dinamika Populasi Mikroorganisme (Bakteri Dan Kapang) Dekomposisi Awal Pada Berbagai Nisbah C/N Campuran Feses Ayam Petelur Dan Serbuk Gergaji.
4 1.2 Identifikasi Masalah Identifikasi masalah penelitian ini : 1. Bagaimana dinamika populasi bakteri pada berbagai nisbah C/N campuran feses ayam petelur dan serbuk gergaji pada proses dekomposisi awal 2. Bagaimana dinamika populasi kapang pada berbagai nisbah C/N campuran feses ayam petelur dan serbuk gergaji pada proses dekomposisi awal 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini : 1. Mengetahui dinamika populasi bakteri pada berbagai nisbah C/N campuran feses ayam petelur dan serbuk gergaji pada proses dekomposisi awal 2. Mengetahui dinamika populasi kapang pada berbagai nisbah C/N campuran feses ayam petelur dan serbuk gergaji pada proses dekomposisi awal 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan sekitar peternakan dan menambah pengetahuan mengenai pengolahan limbah feses ayam petelur menjadi pupuk organik yang berkualitas, selain itu diharapkan sebagai suatu penghasilan tambahan bagi pihak peternak untuk memanfaatkan feses ternak ayam petelur.
5 1.5 Kerangka Pemikiran Feses ayam petelur merupakan sumber daya berharga sebagai pupuk tanah karena dapat menyediakan kdanungan tinggi mikro dan makro nutrien untuk pertumbuhan tanaman (Stephenson et al., 1990) namun karena perkembangan pesat peternakan ayam petelur telah menjadi masalah lingkungan yang serius. Feses ayam petelur dapat menyebabkan masalah lingkungan yang serius seperti resiko penyakit yang menjangkit manusia dan hewan, bau yang dihasilkan dari emisi beracun gas, pencucian nitrat, dan tercemarnya sumber air dalam tanah (Garbarino et al., 2003) oleh karena itu perlu untuk menemukan alternatif cara yang efektif untuk mengurangi masalah lingkungan yang terkait dengan feses ayam petelur ini. Proses pengomposan merupakan salah satu proses yang paling efektif untuk pengolahan limbah organik padat dengan mengubahnya menjadi lebih aman dan lebih stabil yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi dan sumber nutrisi tanah dalam aplikasi pertanian (Michel et al., 1996). Penerapan kompos yang memiliki kualitas baik di bidang pertanian dapat memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan bahan organik tanah, menekan jumlah mikroorganisme patogen dalam tanah, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Haga, 1999). Keberhasilan kompos dalam aplikasi pertanian kematangan dan stabilitas menentukan kualitas kompos (Moral et al., 2009). Stabilitas sangat terkait dengan tingkat aktivitas mikroba dalam kompos. Syarat berhasilnya pengomposan umumnya mengacu pada tingkat dekomposisi senyawa organik yang dihasilkan selama fase aktif pengomposan dan tidak adanya mikroorganisme patogen oleh karena itu kematangan dan stabilitas kompos merupakan faktor penting untuk aplikasi produk kompos pada tanah (Gao et al., 2010)
6 Faktor yang mempengaruhi untuk menghasilkan kompos yang baik seperti nisbah C/N, suhu, kadar air, aerasi, ph dan kelembaban harus dikontrol dengan tepat. Kelembaban optimum berkisar antara 40-60% memegang peranan yang sangat penting dalam suplai oksigen yang dapat mempengaruhi proses metabolisme mikroba. Nilai ph pengomposan optimum berkisar antara 6,5 sampai 7,5, kompos yang sudah matang memiliki nilai ph yang mendekati netral (Isroi, 2008). Kdanungan air optimum dari bahan kompos adalah 50-60% (Dalzell et al., 1987). Nisbah C/N dianggap sebagai salah satu faktor kunci yang mempengaruhi proses pengomposan dan kualitas kompos (Michel et al., 1996). Nisbah C/N merupakan sumber makanan yang penting untuk mikroorganisme. Karbon adalah penting karena merupakan faktor yang menghasilkan energi sedangkan nitrogen berperan untuk membangun jaringan (Miller, 2000). Nisbah C/N yang ideal untuk kompos umumnya dianggap sekitar 30 atau karbon 30 bagian untuk setiap bagian nitrogen. Meskipun mikroorganisme dapat tumbuh dengan nisbah C/N 6 namun karbon tambahan diperlukan untuk menyediakan energi untuk metabolisme dan sintesis sel-sel baru bagi mikroorganisme. Nisbah C/N lebih rendah dari 30 memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme yang cepat dan dekomposisi cepat, akan tetapi kelebihan nitrogen akan hilang sebagai gas amonia dan menyebabkan bau yang tidak diinginkan serta hilangnya nutrisi. Nisbah C/N lebih tinggi dari 30 tidak menyediakan cukup nitrogen untuk pertumbuhan optimal populasi mikroorganisme (Trautmann dan Krasny, 1997). Feses ayam petelur memiliki kandungan karbon 30%, nitrogen 4,3%, dan kadar air 20%. Feses ayam petelur memiliki kandungan nisbah C/N rendah yaitu 7 (CSIRO, 1979). Nisbah C/N yang rendah menyebabkan feses ayam tidak dapat
7 dijadikan kompos secara langsung karena akan merusak lingkungan dan tanaman. Nisbah C/N feses ayam petelur belum sesuai dengan nisbah C/N kompos yang ideal adalah 30 (Trautmann dan Krasny, 1997). Feses ayam dapat menjadi kompos yang baik bagi lingkungan dan tanaman apabila ditambah dengan bahan organik yang kaya akan karbon seperti serbuk gergaji. Serbuk gergaji memiliki kdanungan karbon 34%, nitrogen 0,08%, dan kadar air 15%. Serbuk gergaji mempunyai nisbah C/N tinggi yaitu 450 (CSIRO, 1979). Pencampuran feses ayam petelur dan serbuk gergaji akan menghasilkan nisbah C/N yang sesuai untuk pembuatan kompos. Suhu merupakan faktor penentu dalam aktivitas pengomposan (Trautmann dan Krasny, 1997). Pengontrolan suhu dalam timbunan kompos penting untuk mengoptimumkan penguraian bahan organik dan mematikan mikroorganisme patogen (Polprasert, 1989). Suhu selama pengomposan tergantung pada seberapa banyak panas yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Trautmann dan Krasny, 1997). Suhu pengomposan yang optimum berkisar antara 30-60 o C. Suhu di atas 60 o C dapat membunuh sebagian mikroorganisme, patogen tanaman, dan benih gulma. Temperatur yang terlalu rendah mengakibatkan kondisi mikroorganisme dalam keadaan dorman yang menghambat proses pengomposan (Fraser dan Lau, 2000; McCartney dan Eftoda, 2002). Tumbuhnya mikroorganisme mesofilik dan termofilik dalam bahan kompos terhubung dengan perubahan suhu (Finstein et al., 1986; Ishii et al., 2000). Berdasarkan suhu tumpukan kompos dapat dibagi menjadi tiga tahap : (1) mesofilik (<40 C) yang biasanya berlangsung selama beberapa hari, (2) termofilik atau (>40 C) yang dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung pada ukuran sistem dan komposisi bahan,
8 dan (3) beberapa bulan mesofilik atau fase pematangan (Trautmann dan Krasny, 1997; Wolna-Maruwka et al., 2009). Terdapat beberapa jenis bakteri kapang mesofilik dan termofilik yang umum berada di dalam bahan kompos. Bakteri yang tumbuh di suhu mesofilik Pseudomonas spp., Achromobacter spp., Bacillus spp., Flavobacterium spp., Clostridium spp., Streptomyces spp. Kapang yang tumbuh di suhu mesofilik Alternaria spp., Cladosporium spp., Aspergillus spp., Mucor spp., Humicola spp., Penicillium spp,. Pada suhu termofilik juga terdapat bakteri dan kapang yang bekerja pada bahan kompos. Bakteri termofilik diantaranya Bacillus spp., Streptomyces spp., Thermoactinomyces spp., Thermus spp., Thermonospora spp., Microplyspora spp. Kapang termofilik diantaranya Aspergillus dpp., Mucor pusillus, Chaetomium thermophile, Humicola lanuginosa, Absidia ramosa, Sprotricbum thermofphile (Chandra, 2005). Dekomposisi awal dilakukan oleh mikroorganisme mesofilik mereka yang berkembang pada suhu rendah. Mikroorganisme ini cepat memecah senyawa yang mudah terdegradasi. Panas yang dihasilkan menyebabkan suhu kompos meningkat pesat pada fase mesofilik. Setelah suhu melebihi 40 C mikroorganisme mesofilik menjadi kurang kompetitif dan digantikan oleh mikroorganisme termofilik. Selama fase termofilik suhu tinggi mempercepat pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat kompleks seperti selulosa dan hemiselulosa (Trautmann dan Krasny, 1997).
9 1.6 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Penanganan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, pada 28 Februari 2014 sampai dengan 05 April 2014.