KAJIAN KARAKTERISTIK DENDENG BELUT (Monopterus albus) GILING MILLED EEL DENDENG CHARACTERISTICS STUDY hasnelly 1 * dan Cici Rulianti 1 1 Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik -Universitas Pasundan Jl. Dr. Setiabudi 193, Bandung Penulis Korespondensi: email hasnelly@unpas.ac.id Abstrak Tujuan penelitian mempelajari proses pengolahan dendeng belut giling dalam upaya diversifikasi produk olahan pangan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi, meningkatkan konsumsi terhadap belut yang memiliki kandungan gizi tinggi. Metode penelitian yang digunakan rancangan percobaan faktorial dengan dua faktor penambahan tapioka dan suhu pengeringan dalam rancangan acak kelompok..rancangan respon kimia meliputi kadar air,kadar protein, kadar abu, sedangkan respon organoleptik meliputi warna dan aroma dendeng sebelum dan setelah digoreng, Penambahan tapioka dan suhu pengeringan serta interaksinya berpengaruh terhadap kadar air, aroma sebelum digoreng dan rasa setelah digoreng, tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar protein, kadar abu dan warna sebelum digoreng. Dendeng giling dengan penambahan tapioka 10 persen dan suhu pengeringan 70 0 C menghasilkan produk dengan kadar air 11,468% dan kadar protein 19,231% serta kadar abu 3%. Kata kunci: Belut, dendeng giling, tapioka. 416
PENDAHULUAN Belut (Monopterus albus) merupakan bahan pangan sejenis ikan yang sngat mudah mudah mengalami kerusakan biologis yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pembusuk dan enzim sehingga memerlukan penanganan khusus, salah satunya dengan dibuat dendeng belut ikan. Dendeng ikan merupakan salah satu produk olahan ikan tradisional dengan cara pengeringan dan digolongkan sebagai bahan pangan semi basah, yaitu suatu makanan yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah (10-50%), bersifat plastis dan tidak terasa kering. Dendeng sebelum dikonsumsi perlu dimasak dan stabil dalam penyimpanan. Dendeng dapat dibuat dalam bentuk dendeng giling, dendeng sayat, dendeng ragi, dan dendeng bakar. Dendeng giling dalam pembuatannya ada yang dicampur dengan bahan pengisi ataupun bahan pengikat. Bahan pengisi maupun bahan pengikat merupakan bahan-bahan bukan daging yang ditambahkan dalam produk dengan tujuan untuk meningkatkan stabilitas, menurunkan penyusustan sewaktu pemasakan, memperbaiki sifat irisan, mengikat air, membentuk tekstue, dan memberikan warna yang khas. Perbedaan bahan pengikat dan bahan pengisi adalah berdasarkan kandungan protein dan karbohidrat, bahan pengikat memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan mampu memperbaiki sifat emulsi, sedangkan bahan pengisi memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi serta pengaruhnya kecil terhadap sifat pengemulsi. Bahan pengisi yang umum digunakan adalah terigu, tapioka, dan sagu. Tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami proes pencucian dan pengeringn. Penambahan tapioka akan mempengaruhi komposisi kimia dan sifat organoleptik rasa, kekenyalan dan warna. Kandungan amilopektin pada tapioka adalah 83%, sedangkan amilosa sebesar 17%. Semakin besar kandungan amilopektin atau semakin kecil kandungan amilosa, maka semakin lekat produk olahannya (Winarno, 1997). Menurut Dharmawati dkk. (2007), formulasi tapioka 10% pada pembuatan sosis belut terbaik. Hasil penelitiaan Handayani (2003), penambahan bahan pengisi terbaik untuk produk dendeng ikan lele dumbo giling yaitu sebanyak 7,5%. Fungsi dari tapioka sebagai bahan pengisi pada pembuatan dendeng yang bertujuan untuk memperbaiki elastisitas produk akhir. Selain itu juga berfungsi membentuk tekstur yang pada. Tapioka mengandung pati dan apabila dilakukan pemanasan akan timbul warna kecoklatan. Proses pengolahan dendeng menggunakan prinsip pengeringan dengan penambahancampuran garam, gula, dan bumbu untuk menghasilkan aroma, rasa yang khas, dan daya awet tertentu pada ikan (Sumbaga,2006). Garam dalam pembuatan dendeng berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak protein myofibril, terutama antomiosin dari serabut daging selama proses penggilingan dan pelunakan daging. Garam berinteraksi dengan protein daging selama pemanasan. Selain itu garam memberi rasa asin pada produk, serta bersifat bakteriostatik dan bakteriosidal, sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan mikroba pembusuk lainnya (Astawan,2006). Penggunaan garam tidak boleh terlalu banyak karena selain menimbulkan rasa asin yang berlebihan juga menyebabkan denaturasi protein. Gula dalam pembuatan dendeng berfungsi untuk menguragi rasa asin yang berlebihan akibat penambahan garam dan memperbaiki aroma dan tekstur daging. Gula 417
yang digunakan dalam pembuatan dendeng biasanya adalah gula merah aren. Aroma gula merah lebih sedap atau khas dibandingkan dengan gula putih. Jumlah gula semakin sedikit maka kadar air yang dihasilkan semakin tinggi. Semakin tinggi kosentrasi gula merah maka semakin kecil kadar air yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan air yang ada dalam bahan terdispersi dalam gula sehingga air tidak terpisah dari gula tapi terikat pada gula. Konsentrasi gula merah aren pada pengolahan dendeng ikan seluang (Rasbora caudimaculata) sebesar 40% menghasilkan dendeng terbaik (Rahmadani,2008). Pengeringan merupakan metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Kadar airnya akan mengalami penurunan dan mengakibatkan kandungan protein di dalam bahan mengalami peningkatan. Selama pengeringan juga terjadi perubahan antara lain warna, tekstur dan aroma (Adawyah, 2007). Menurut Kurniati (2006), suhu pengeringan 60 0 C selama 6 jam menghasilkan dendeng giling ikan patin terbaik. Suhu pengeringan lebih 70 0 C untuk produk-produk ikan akan mengalami kerusakan. Kombinasi pengeringan pada suhu 55 0 C dan waktu pengeringan 8 jam merupakan kombinasi suhu dan waktu pengeringan yang terbaik terhadap ikan lele dumbo dengan kadar air terendah ( Sumbaga, 2006). Hipotesis pada penelitian dendeng belut giling diduga bahwa penambahan tapioka berpengaruh terhadap karakteristik dendeng belut giling yang dihasilkan, suhu pengeringan berpengaruh terhadap karakteristik dendeng belut giling yang dihasilkan, dan interaksi antara penambahan tapioka dan suhu pengeringan berpengaruh terhadap karakteristik dendeng belut giling yang dihasilkan. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah experimental design dengan dua tahap yaitu pertama penelitian menentukan formulasi dendeng belut giling yang baik serta disukai oleh panelis. Uji panelis pada penentuan formulasi yang terpilih berdasarkan tingkat kesukaan, penilaian produk dendeng belut giling dilakukan terhadap sifat organoleptik warna dan aroma dendeng belut giling sebelum digoreng dan sifat organoleptik rasa dilakukan setelah dendeng belut giling di goreng. Penelitian tahap ke dua atau utama mengetahui pengaruh penambahan tapioka dan suhu pengeringan serta interaksinya terhadap karakteristik dendeng belut giling. Bahan dan Alat Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: belut (Monopterus albus) yang diperoleh dari pasar induk Ciroyom Bandung, tapioka, gula merah,gula putih, jahe, bawang merah, bawang putih, lengkuas, garam, ketumbar dan asam jawa serta akuades. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan prosedur pengujian yang berlaku untuk analisis adalah Toluen, Na 2 SO 4, HgO, Se, NaOH, 30%, indikator phenofthalein, laruten baku NaOH 0.1 N, H 2 SO 4 pekat, HCl. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: pisau, baskom, loyang almunium, sendok karet, pencetak, rol pencetak, dan food processor, sedangkan alat untuk analisa yaitu alat destilasi, labu penyuling, labu destilasi, labu kjeldahl, granula seng (Zn), kertas lakmus, pinggan aluminium, gelas kimia, kondensor, tabung reaksi, timbangan, labu takar, penangas air, biuret, tunnel dryer, pembakar Fischer (tanur), 418
labu erlenmeyer, pipet volume, batang pengaduk, cawan porselen, kawat kasa, batu didih, kaki tiga, labu ukur, pipet, cawan, eksikator, penjepit, cawan, oven. Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku Serta Proses Pengolahan Tahapan proses dilakukan penimbangan bahan-bahan yang akan digunakan sesuai dengan formula yaitu daging belut ditimbang sesuai dengan formulasi 61%, dengan jumlah tapioka sebanyak 8%, 9%, dan 10%. Dan bumbu-bumbu seperti gula merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar, asam jawa dan garam sesuai dengan formulasi terbaik yang akan dipilih, bumbu dihancurkan secara bersamaan. Pemisahan daging dengan tulangnya dan diperoleh daging yang bebas tulang juga kulit. kemudian daging belut di cuci dengan air bersih yang mengalir, daging belut dihancurkan dan dihaluskan, lalu dicampurkan dengan tapioka. Selanjutnya dilakukan pencampuran dengan bumbu yang sudah dihaluskan diantaranya gula merah, bawang merah, bawang putih, garam, ketumbar, lengkuas, asam jawa, sampai merata, kemudian dilakukan proses pencetakan dendeng serta pengeringan dendeng. Produk dendeng belut giling yang dihasilkan dilakukan uji organoleptik berdasarkan tingkat kesukaan panelis, warna, dan aroma sebelum digoreng dan rasa setelah digoreng dan respon kimia yang dilakukan analisis kadar protein, analisis kadar abu dan analisis kadar air. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian pendahuluan dengan uji panelis serta analisis variansi menunjukkan bahwa formulasi dendeng berpengaruh nyata terhadap rasa setelah digoreng, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap warna dan aroma sebelum digoreng. Penelitian pendahuluan memberikan hasil yang lebih baik pada formulasi daging belut 61%, tapioka 9 % serta bumbu 30 % yang memiliki nilai kesukaan tertinggi yang didasarkan pada aroma dan rasa selanjutnya formula ini yang akan digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. Hasil penelitian kadar air menunjukkan bahwa faktor penambahan tapioka, faktor suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar air dendeng belut giling. Konsentrasi tapioka dan suhu pengeringan yang semakin tinggi maka kadar air dendeng belut giling semakin berbeda nyata. Menurut Lisdiana (1997), dan Santosa (1984), berbedanya kadar air dendeng belut disebabkan banyaknya tapioka yng ditambahkan. Tapioka yang mengandung amilopektin dan sedikit kandungan amilosa, pada proses pengeringan air yang diserap atau air yang di ikat amilopektin akan terikat kuat dan membentuk air kristal. Jumlah kandungan air pada suatu bahan akan menentukakn jumlah kandungan protein pada bahan tersebut yang dapat terikat, sehingga akan berpengaruh terhadap stabilitas emulsi yang terbentuk. Menurut Winarno (1997), protein dalam suatu bahan sangat mudah menyerap air dan mengikat air tersebut, kemudian protein akan mengembang dan air sulit untuk dilepaskan kembali meskipun dengan pemanasam, sehingga semakin tinggi kandungan protein dalam adonan, maka air yang diserapnya akan semakin besar. Hasil analiss kadar air sebesar 11,47%, memenuhi Standar Nasional Indonesia 01-2908-1992 tentang dendeng sapi, kadar air untuk mutu 1 dan 2 dendeng maksimal 12%. Daya tahan produk sangat ditentukan oleh kadar air karena kadar air rendah dalam bahan menyebabkan daya tahan bahan tinggi ( Winarno, 1977). Suhu pengeringan dan berpengaruh nyata terhadap kadar protein dendeng belut giling, sedangkan faktor penambahan tapioka dan interaksinya dengan suhu 419
pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein dendeng belut giling. Semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin tinggi kadar protein dalam dendeng belut giling tersebut karena kehilangan kadar air akibat penguapan air dari dendeng belut giling sehingga kadar protein lebih terkonsentrasi. Desrosier, 1977), Afrianto et al (1989), menyatakan bahwa proses pengeringan akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar protein dari produk, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsentrasi ion nitrogen, dimana selama pengeringan berlangsung terjadi pelepasan molekul air oleh protein daging sehingga konsentrasi protein daging meningkat oleh adanya penurunan berat bahan. Penambahan tapioka yang semakin meningkat tidak mempengaruhi kadar protein dendeng belut giling, disebabkan kandungan protein tapioka sangat rendah. Kadar protein 19,01% hasil penelitian ini belum memenuhi standar mutu 1 minimal 30 % berdasarkan SNI 01-2908-1992 tentang dendeng sapi dan mutu 2 adalah minimal 25%. Kadar protein yang rendah disebabkan bahan baku belut dengan kadar protein sebesar 14% dan tapioka sebesar 0,13%, selain itu proses pengolahan berpengaruh juga terhadap produk akhir. Penelitian selanjutnya perlu penambahan kadar protein agar memenuhi kriteria SNI. Kadar abu dendeng belut giling dipengaruhi oleh suhu pengeringan sedangkan penambahan tapioka dan interaksi penambahan tapioka dan suhu pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu dendeng belut giling. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar abu dendeng belut giling semakin berbeda nyata. Menurut Desrosier (1977), selama pengeringan, bahan pangan kehilangan kadar air, yang menyebabkan konsentrasi kadar abu yang ada per satuan berat di dalam bahan pangan semakin besar. Respon organoleptik terhadap warna pada dendeng belut giling dengan penambahan tapioka menunjukkan pengaruh nyata sedangkan faktor suhu pengeringan dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap warna dendeng belut giling. Penambahan tapioka 8% menghasilkan warna yang lebih menarik, perubahan warna selama proses pengeringan diduga disebabkan oleh adanya proses pencoklatan ysng terjadi karena reaksi Maillard (Apriyantono, 2002). Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat. Pengeringan yang dilakukan dengan suhu yang terlalu tinggi, dapat mengakibatkan case hardening. Faktor penambahan tapioka, faktor suhu pengeringan dan interaksi antara penambahan tapioka dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap aroma dendeng belut giling. Tapioka yang ditambahkan pada konsentrasi 10% dan suhu pengeringan 70 0 C, memiliki kandungan karbohidrat yang paling tinggi akan mempengaruhi aroma yang dihasilkan, disebabkan kemampuan karbohidrat untuk menyerap uap dari lingkungan dan menahannya sehingga meningkatkan mutu aroma sistem bahan pangan. Rasa dendeng belut giling dipengaruhi oleh penambahan tapioka, suhu pengeringan dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap rasa dendeng belut giling. Perlakuan penambahan tapioka 10% dan suhu pengeringan 70 0 C menunjukkan hasil yang berbeda nyata hal ini disebabkan penambahan tapioka menyebabkan terjadinya pigmen coklat atau melanoidin yang cukup tinggi dan mengakibatkan terbentuknya senyawa rasa. Akibat suhu pengeringan yang tinggi terjadi reaksi maillard dan rasa dari gula, rempah-rempah, dan lemak dalam belut akan mencair sehingga menambah palatabilitas dan dapat memberikan berbagai komponen cita rasa pada prduk dendeng. Protein dan lemak dalam makanan berfungsi untuk meningkatkan palatabilitas yaitu rasa enak. 420
KESIMPULAN Formulasi produk dendeng belut giling dan penambahan tapioka berpengaruh terhadap kadar air, warna dan aroma sebelum digoreng dan rasa setelah digoreng, tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar protein dan kadar abu. Suhu pengeringan berpengaruh terhadap kadar air, kadar protein, kadar abu, aroma sebelum digoreng dan rasa setelah digoreng, tetapi tidak berpengaruh terhadap warna sebelum digoreng. Interaksi penambahan tapioka dan suhu pengeringan berpengaruh terhadap kadar air, aroma sebelum digoreng, rasa setelah digoreng, tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar protein, kadar abu, dan warna sebelum digoreng. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendanai penelitian dan publikasi melalui Program HIBAH Unggulan Perguruan Tinggi 2017 dan kepada seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adawyah, R, (2007), Pengolahan dan Pengawetan Ikan, Bumi Aksara, Jakarta. Afrianto, E dan E Liviawaty, (1989), Pengawetan dan Pengolahan Ikan, Kanisiusm Yogyakarta. Apriyantono, A, (2002), Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi dan keamanan Pangan, Seminar On Line Kharisma ke 2, Available at : http//www.gizi.net/, Accesed May 5, 2008. Astawan, M, (2004), Dapatkan Protein dari Dendeng, Available at: http://www.gizi.net/, Accesed May 5, 2008. Dharmawati, E, Susilawati, dan Nurainy, (2007), Kajian formulasi Tepung Tapioka dan Putih Telur Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Sosis Belut, Available at : http://www.unila.ac.id/-fp/index.php? Option=com_frontpage &Itemid=l, Accesed June 4, 2008. Desrosier, NW. and J.N Desrosier, (1977), The Technology of Food Presevation, The AVI Publ, Comp. INC., Westport, Conn. Handayani, H, (2003), Mempelajari Pengaruh Bahan Pengikat (Pati Tapioka) dan Suhu Pengovenan terhadap Karakteristik Dendeng Ikan Lele Dumbo (Clarias geriespinus) Giling, Program Sarjana, Jurusan Teknologi Pangan-UNPAS, Bandung. Kurniati, R., (2006), Pengaruh Substitusi Kacang Merah (Phaseolus vulgaris) dan Suhu Pengeringan terhadap Karakteristik Dendeng Giling Ikan Patin (Pangasius sp), Program Sarjana, Jurusan Teknologi Pangan-UNPAS, Bandung. Lisdiana, F, (1977), Membuat Aneka Dendeng, Teknologi Tepat Guna, Penerbit Kanisius, Jakarta. 421
Santoso, H, S.T. Soekarto dan J. Hermaninto, (1988), Mempelajari Sifat Keempukan Gula Merah, Prosiding Seminar Penelitian Pasca Panen Pertanian, Bogor. 1-2 Februari 1988. Sumbaga, D.S., (2006)M Pengaruh Waktu Curing (Perendaman dalam Larutan Bumbu), terhadap Mutu Dendeng Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan, Program Sarjana, Fateta-IPB, Bogor. Winarno, F.G.(1977), Kimia Pangan dan Gizi, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 422