Abses hati adalah penumpukan jaringan



dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

MODUL GLOMERULONEFRITIS AKUT

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB I PENDAHULUAN. lokal di perut bagian kanan bawah (Anderson, 2002). Apendisitis

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

BAB III RESUME KEPERAWATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

LAPORAN JAGA 24 Maret 2013

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan

aureus, Stertococcus viridiansatau pneumococcus

riwayat personal-sosial

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMEGALI

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB III TINJAUAN KASUS. Pengkajian dilakukan pada tanggal 8 Mei 2007 jam : Jl. Menoreh I Sampangan Semarang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Author : Hirawati, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Files of DrsMed FK UNRI (

PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS. TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI)

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat sakit serupa sebelumnya, batuk lama, dan asma disangkal Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat TB paru dan Asma

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hati adalah organ tubuh yang paling besar dan paling kompleks. Hati yang

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian. Apendisitis akut adalah penyebab paling sering dari nyeri abdomen akut yang

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi

APPENDISITIS. Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

TATALAKSANA MALARIA. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

Penyakit Radang Panggul. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai perdarah spontan di kulit dan atau perdarahan lain

LAPORAN KASUS / RESUME DIARE

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan

Infeksi melalui traktus genital pasca persalinan suhu 38 C terjadi antara hari 2-10 post partum

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

Dasar Determinasi Pasien TB

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB 1 PENDAHULUAN. priyanto,2008). Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Setelah menguraikan asuhan keperawatan pada Ny. W dengan post

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. macam, mulai dari virus, bakteri, jamur, parasit sampai dengan obat-obatan,

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk

ADHIM SETIADIANSYAH Pembimbing : dr. HJ. SUGINEM MUDJIANTORO, Sp.Rad FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. MUHAMMADIYAH JAKARTA S t a s e R a d i o l o g i, R u

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

SAKIT PERUT PADA ANAK

PENYAKIT MENULAR. Website:

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

KOLELITIASIS A. PENGERTIAN

ANAMNESIS. dengan anamnesis yang benar.

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB 1 PENDAHULUAN. di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. 1,2 Kolelitiasis

Portofolio Kasus 1 SUBJEKTIF OBJEKTIF

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 6

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1

BAB I PENDAHULUAN. lokasinya dan kapsulnya yang tipis Glisson capsule. Cedera organ hepar

DIARE AKUT. Berdasarkan Riskesdas 2007 : diare merupakan penyebab kematian pada 42% bayi dan 25,2% pada anak usia 1-4 tahun.

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN KASUS. Jenis kelamin : Laki-laki Suku bangsa : Jawa, Indonesia

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. walaupun pemeriksaan untuk apendisitis semakin canggih namun masih sering terjadi

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

3. Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus) dan Buta Warna. Pemeriksaan HBs Ag Malaria (untuk daerah endemis malaria)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

Sari Pediatri, Sari Pediatri, Vol. 7, No. Vol. 1, 7, Juni No. 1, 2005: Juni 50-56 2005 Abses Hati pada Anak Yuridyah Prianti M, Julfina Bisanto, Kemas Firman Diagnosis abses hati pada seorang anak laki-laki berusia 7 tahun ditegakkan berdasarkan nyeri perut kanan atas yang semakin hebat, demam, nafsu makan yang menurun, riwayat diare, hepatomegali. Pada pemeriksaan fisik teraba masa di daerah perut kanan atas yang makin membesar serta terasa nyeri; pemeriksaan ultrasonografi hati tampak gambaran sesuai dengan abses hati. Jenis abses hati pasien ini kemungkinan adalah abses hati piogenik pada pasien ini didukung ditemukannya bakteri batang gram negatif pada pemeriksaan sediaan langsung pus abses, namun biakan bakteri terhadap pus negatif. Kemungkinan abses hati amuba masih perlu dipikirkan karena di negara sedang berkembang seperti Indonesia lebih sering ditemukan abses hati amuba. Terapi dengan obat golongan sefalosforin (sefotaksim) dan metronidazol memberi respon yang baik, terlihat dari berkurangnya gejala demam dan nyeri perut dalam dua hari, mengecilnya hati serta tidak terlihat lagi adanya gambaran abses setelah lima hari pemberian antibiotik. Adanya kekambuhan (gambaran abses pada ultrasonografi) setelah pengobatan metronidazol dihentikan, menguatkan dugaan diagnosis abses hati amuba. 8,10,20 Kata kunci : abses, hati, amuba, piogenik Abses hati adalah penumpukan jaringan nekrotik dalam suatu rongga patologis yang dapat bersifat soliter atau multipel pada jaringan hati. 1 Penyakit ini telah ditemukan sejak zaman Hipokrates, 2 merupakan penyakit serius yang membutuhkan diagnosis dan tata laksana yang cepat. Abses hati umumnya dikelompokkan berdasarkan etiologi, yaitu abses hati piogenik dan abses hati amuba, 3 yang memberikan gambaran klinis hampir sama sehingga diagnosis etiologi sulit ditegakkan. 4 Selama 40 tahun terakhir, telah banyak perubahan dan perkembangan dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan abses hati. 3 Meskipun demikian, mortalitas abses hati masih tinggi yaitu berkisar antara 10-40%. 3,5-7 Insidens abses hati jarang, berkisar antara 15-20 kasus per 100.000 populasi. 3 Tiga per empat kasus abses hati di negara maju adalah abses hati piogenik, sedangkan di negara yang sedang berkembang lebih banyak ditemukan abses hati amuba. 3,4,8 Sejak bulan Januari 1997 sampai dengan Agustus 2004 di Departemen IKA-FKUI/RSCM tercatat sebanyak 7 kasus abses hati yang semuanya kasus rawat inap. Tujuan laporan kasus ini untuk mendiskusikan diagnosis dan tata laksana abses hati pada anak. Kasus Alamat korespondensi: Dr. Julfina Bisanto, Sp.A(K). Divisi Hepatologi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jl. Salemba no. 6. Jakarta 10430. Telepon 021-3915712 dan Fax : 021-390 7743. Dr. Yuridyah Prianti M: PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta Seorang anak laki-laki, C, usia 7 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Rasa sakit ini dirasakan terus menerus, sakit seperti tertindih, melilit dan tidak menjalar, dan perut 50

tampak semakin membesar. Pasien juga mengeluh demam yang naik turun terutama menjelang malam hari, tanpa mual ataupun muntah. Nafsu makan menurun. Pasien berobat ke RS BH dan dilakukan USG perut yang menunjukkan abses hati, kemudian pasien dirujuk ke RSCM. Riwayat sakit kuning dan sakit berat sebelumnya disangkal. Riwayat sering mencret, demam, batuk, pilek dan cacingan disangkal. Di keluarga tidak ada yang sakit seperti pasien. Pada pemeriksaan fisis di jumpai pasien sadar, tidak sesak dan tidak sianosis. Laju nadi sama dengan laju denyut jantung 80x/menit, teratur, isi cukup, laju pernafasan 40x/menit, teratur, kedalaman cukup, suhu aksila 36 C. Tinggi badan 115 cm (P 10 NCHS) dan berat badan 15,6 kg (P 3 NCHS). Status antropometri : BB/U = 66,7% (kurang), TB/U = 94% (baik), BB/ TB = 75% (kurang). Kulit tidak tampak kuning. Pada mata konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik. Telinga, hidung dan tenggorokan tidak ada kelainan. Kelenjar getah bening tidak teraba membesar. Jantung dan paru dalam batas normal. Abdomen tampak membuncit, venektasi (-), lemas, teraba masa di daerah hipokondrium kanan (4 cm di bawah arkus kosta) dengan diameter 5 x 7 cm, kenyal, rata, soliter, batas tidak tegas, tidak mudah digerakkan dan nyeri bila ditekan. Hati teraba 7 cm di bawah arkus kosta dan hati di bawah prosesus sifoideus tidak teraba, tepi tajam, rata, konsistensi kenyal. Limpa tidak teraba, turgor cukup dan bising usus (+) normal. Ekstremitas teraba hangat, perfusi perifer cukup, refleks fisiologis normal dan tidak terdapat refleks patologis. Hasil pemeriksaan darah perifer lengkap hemoglobin 9,5 g/dl, hematokrit 28 vol%, leukosit 15.900/µL, trombosit 575.000/µL, hitung jenis (%) -/6/4/75/14/1, MCV 75 fl, MCH 26 pg dan MCHC 34 g/dl (mikrositik hipokrom). Hasil urinalisis: ph 5,0, BJ 1025, protein (-), reduksi (-), bilirubin (-), urobilinogen 0.2, leukosit 0-1/LPB dan eritrosit 0-1/LPB. Uji fungsi hati: SGOT 18 U/L dan SGPT 24 U/L. Hasil pemeriksaan masa protrombin 15,1 (kontrol 12,1 ), BT 3 30, CT 5 dan LED 135 mm/jam. Hasil USG abdomen menunjukkan tersangka abses hati. Ditegakkan diagnosis kerja tumor intraabdomen dengan diagnosis banding abses hati atau tumor hati dan gizi kurang. Pasien dirawat dan diberi sefotaksim 3x500 mg secara intrvena (setelah dilakukan biakan darah). Pemeriksaan USG abdomen kedua menunjukkan adanya lesi fokal seluas 5,05x4,13x4,49 cm di permukaan anterior lobus kanan hati dengan debris di dalamnya, dinding ireguler, parenkim hati masih homogen, sistem vaskular normal dengan kesan abses hati. Pasien mendapatkan tambahan metronidazol 3 x 250 mg intravena. Pemeriksaan feses lengkap pada perawatan hari kedua, tidak ditemukan telur dan larva cacing, Entamoeba histolytica, maupun Giargia lamblia tapi ditemukan leukosit dan eritrosit. Dilakukan drainase abses hati dan dikeluarkan cairan seropurulen dengan jumlah ± 100 ml. Produksi cairan drainase sekitar 15 ml berwarna coklat kehitaman, pemeriksaan langsung sediaan apus cairan abses ditemukan bakteri batang gram negatif. USG abdomen ulang menunjukkan tidak tampak gambaran kantong abses intrahepatik. Pemeriksaan serologis terhadap amuba tidak dilakukan karena selain masalah biaya, pemeriksaan serologis indirect hemagglutinin assay (IHA) yang dilakukan di bagian Parasitologi, tidak dapat membedakan suatu proses akut atau kronis. Pasien dipulangkan pada perawatan hari ke-10 dan mendapat sefiksim oral 2 x 100 mg per oral untuk 1 minggu, metronidazol 3 x 250 mg per oral untuk 1 minggu. Pada pemantauan di Poliklinik Departemen IKA RSCM, tidak didapatkan keluhan demam, nyeri perut maupun mencret, sedangkan nafsu makan baik. Pada pemeriksaan fisis tidak didapatkan lagi pembesaran hati. Namun, satu minggu kemudian di dapatkan lagi pembesaran hati 4 cm di bawah arkus kosta. Hasil USG ulang tampak hati agak membesar, parenkim homogen, tepi rata, ekogenisitas tidak meningkat, sistem vaskular dan bilier tidak melebar, kandung empedu berisi cairan. Terdapat lesi bulat kistik inhomogen kranial kandung empedu ukuran 1,6x1,6x2,1 cm. Limpa tidak membesar, homogen, tidak tampak polisplenia atau pembuluh kolateral. Kedua ginjal normal dan tidak tampak cairan intraabdomen. Kesan abses hati masih tampak. Pasien kembali mendapat antibiotik metronidazol 3 x 250 mg per oral, sefiksim diteruskan 2 x 100 mg per oral dan dianjurkan kontrol 1 minggu kemudian. Tiga minggu kemudian pada hasil USG abdomen tidak tampak lagi masa tumor, kalsifikasi, maupun kista intrahepatik, tidak tampak lagi adanya abses intrahepatik. Sistem vasikular dan bilier tidak melebar. Terapi metronidazol dihentikan dan orangtua pasien dinasehati untuk menjaga higiene keluarga dan lingkungan untuk mencegah terjadinya kekambuhan. 51

Tinjauan Pustaka A. Abses Hati Piogenik Epidemiologi Insidens abses hati piogenik berkisar antara 0,006-2,2% dan jarang ditemukan pada anak, hanya 3 kasus dari 100.000 pasien rawat inap. 7,9 Secara epidemiologis, abses hati piogenik paling sering ditemukan pada pasien berusia 50-70 tahun. 4,10 Pada anak, 50% kasus abses hati piogenik terjadi pada usia kurang dari 6 tahun, 9 dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan rasio 7:1. 4 Etiologi Abses hati piogenik pada umumnya disebabkan oleh bakteri aerob gram negatif dan anaerob, yang tersering adalah bakteri yang berasal dari flora normal usus seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Bacteriodes, enterokokus, streptokokus anaerob, dan streptokokus mikroaerofilik. 2-4,6-9,11-13 Pada anak, Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan abses hati piogenik. 9 Stafilokokus, Streptococcus hemolyticus dan Streptococcus milleri seringkali menjadi penyebab abses hati jika infeksi primernya endokarditis bakterialis atau infeksi gigi. 8 Patogenesis Mikroorganisme dapat masuk ke dalam hati melalui sirkulasi portal, sirkulasi sistemik dan stasis empedu akibat obstruksi duktus bilier. 3 Sumber tersering penyebab terjadinya abses hati piogenik adalah penyakit pada sistem saluran bilier yaitu sebanyak 42,8%. 6 Kolangitis akibat batu atau striktur merupakan penyebab yang paling sering, diikuti oleh divertikulitis atau apendisitis. 1,3,13 Penurunan daya tahan tubuh memegang peran penting terjadinya abses hati. Kejadian yang paling sering adalah bakteremia vena portal dari proses infeksi intra abdomen seperti abses apendiks dan abses akibat tertelan benda asing. 9 Pada 15-50% kasus abses piogenik tidak ditemukan fokus infeksi yang jelas yang disebut dengan abses kriptogenik. 4,8 Abses pada lobus kanan hati lebih sering bersifat kriptogenik, sedangkan abses pada lobus kiri hati lebih sering berhubungan dengan hepatolitiasis. 2 Gambaran klinis Pada awal perjalanan penyakit, gejala klinis seringkali tidak spesifik. 11 Gambaran klasik abses hati piogenik adalah nyeri perut terutama kuadran kanan atas (92%), demam yang naik turun disertai menggigil (69%), penurunan berat badan (42%), muntah (43%), ikterus (21%) dan nyeri dada saat batuk (51%). 6,7,8,14 Pada 63% kasus, gejala klinis muncul selama kurang dari dua minggu. 14 Awitan abses soliter cenderung bertahap dan seringkali kriptogenik. Abses multipel berhubungan dengan gambaran sistemik akut dan penyebabnya lebih bisa diidentifikasi. 8 Hati teraba membesar dan nyeri bila ditekan pada 24% kasus. 7 Adanya hepatomegali disertai nyeri pada palpasi merupakan tanda klinis yang paling dapat dipercaya. Beberapa pasien tidak mengeluh nyeri perut kanan atas atau hepatomegali dan hanya terdapat demam tanpa diketahui sebabnya. 2,4,7,8 Ikterus hanya terjadi pada stadium akhir kecuali jika terdapat kolangitis supuratif. Pemeriksaan penunjang Leukositosis ditemukan pada 66% pasien, sering disertai dengan anemia akibat infeksi kronis dan peningkatan laju endap darah. Kadar alkali fosfatase biasanya meningkat, hipoalbuminemia dan kadar enzim transaminase yang sedikit meningkat. 2,3,6-9,14 Foto polos dada dan abdomen memperlihatkan pembesaran hati, kadangkala tampak air fluid level di dalam rongga abses dan diafragma kanan biasanya terangkat. Hampir semua kasus abses hati dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan. Kedua teknik pencitraan ini dapat menentukan lokasi abses yang berukuran minimal 1 cm di parenkim hati. 3,8,10,14,15 Alvarez dkk 7 melaporkan bahwa ultrasonografi mempunyai angka sensitivitas 94% sedangkan sensitivitas CT scan 99%. Meskipun demikian, ultrasonografi adalah metode pencitraan yang direkomendasikan karena cepat, noninvasif, cost effective, dan dapat juga digunakan sebagai pemandu aspirasi abses untuk diagnostik dan terapi. Ultrasonografi dan CT scan juga dapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi. Pemantauan abses secara serial dengan ultrasonografi atau CT scan hanya dilakukan jika pasien tidak memberi respons yang baik secara klinis. 3,8,10,14,15 Pemeriksaan biakan abses dapat menemukan bakteri patogen pada 86% kasus, hasil biakan steril ditemukan 52

pada 14% kasus. Bakteri aerob gram negatif ditemukan tumbuh pada 70% kasus dan yang paling sering adalah Escherichia coli. Pemeriksaan biakan darah memberikan hasil positif pada 57% kasus. 7 Terapi Abses hati piogenik memerlukan terapi antibiotik dan drainase abses. 2 Antibiotik parenteral spektrum luas yang secara empiris mampu mematikan bakteri gram negatif, bakteri anaerob dan Streptococcus, harus segera diberikan setelah diagnosis abses ditegakkan. Antibiotik yang diberikan terdiri dari golongan penisilin, aminoglikosid dan metronidazol yang efektif melawan E. coli, K. pneumonia, bakteriodes, enterokokus, dan streptokokus anaerob. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, lebih baik diberikan golongan sefalosporin daripada aminoglikosida. Terapi empiris ini diberikan sambil menunggu hasil biakan bakteri, yang kemudian dapat diganti sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi. Terapi antibiotik diberikan selama 2-4 minggu tergantung dari jumlah abses, respons klinis dan toksisitas antibiotik yang dipilih. 3,5,7,8,14 Pada beberapa pasien, pemberian antibiotik saja efektif untuk pengobatan abses yang berukuran kurang dari 2 cm (mikroabses). 17 Pada hampir semua pasien dengan abses hati lebih dari 3-4 cm memerlukan aspirasi perkutan atau drainase dengan kateter yang dipandu dengan USG atau CT scan. 11 Drainase perkutan merupakan tata laksana utama pada abses hati piogenik, baik soliter maupun multipel. 16 Tindakan ini lebih aman dan sama efektifnya dengan operasi besar (drainase operatif). Operasi besar hanya dilakukan jika drainase abses perkutan tidak berhasil atau ada indikasi lain yang membutuhkan operasi seperti penyakit saluran bilier. Keberhasilan drainase perkutan tampak pada 80-90% kasus. 3,5,7,13,16 Komplikasi dan prognosis Mortalitas abses hati piogenik dapat disebabkan oleh komplikasi seperti rekuren, sepsis, gagal ginjal akut, infeksi dari luka, pneumonia, infeksi saluran kemih, drainase yang lama, sepsis akibat kateter, dan perdarahan pasca operasi. 6,7 Komplikasi tersebut ditentukan oleh faktor risiko seperti adanya demam, ikterus, syok septik, disseminated intravascular coagulation, abses multipel, ruptur abses, anemia, hipoalbuminemia, peningkatan kadar alkali fosfatase, bilirubin, SGOT SGPT, kreatinin, masa protrombin memanjang, dan infeksi polimikrobial. B. Abses hati amuba Epidemiologi Infeksi amuba atau amubiasis disebabkan oleh Entamoeba histolytica, mencakup 10% dari populasi seluruh dunia dan 95% di antaranya adalah karier yang asimptomatis. Dari 5% pasien yang simptomatis, sepuluh persen menjadi abses hati. 8,18,19 Abses hati amuba juga jarang terjadi pada anak yaitu sekitar 1-7% pasien anak, 9 sering kali terjadi pada anak berusia kurang dari 3 tahun, 9,18 lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan rasio 8:1. 4 Insidens abses hati amuba dipengaruhi oleh keadaan nutrisi, higiene individu yang buruk, dan kepadatan penduduk. 3,4 Patogenesis Parasit ditularkan melalui jalur fekal-oral dengan menelan minuman atau makan yang mengandung kista Entamoeba histolytica. 8,20 Bentuk kista yang patogen dapat melewati lambung dan berdisintegrasi di dalam usus halus, melepaskan trofozoit dan bermigrasi ke kolon. Selanjutnya trofozoit beragregasi di lapisan musin usus dan membentuk kista baru. Lisis dari epitel kolon dipermudah oleh galaktosa dan N-asetil-D-galaktosamin (Gal/GalNAc)-lektin spesifik yang dimiliki trofozoit, sehingga menyebabkan neutrofil berkumpul di tempat infasi tersebut. Ulkus pada epitel kolon merupakan jalur amuba masuk ke dalam sistem vena portal dan menyebabkan penyebaran ekstraintestinal ke peritoneum, hati dan jaringan lain. 8,11,20 Organ hati merupakan lokasi penyebaran ekstraintestinal yang paling sering. 18 Amuba bermultiplikasi dan menutup cabang-cabang kecil vena portal intrahepatik menyebabkan nekrosis dan lisis jaringan hati. Diameter daerah nekrotik bervariasi dari beberapa milimeter sampai 10 cm. Abses hati amuba biasanya soliter dan 80% kasus terletak di lobus kanan. Abses mengandung pus steril dan jaringan nekrotik hati yang encer berwarna coklat kemerahan (anchovy paste). Amuba pada umumnya terdapat pada daerah perifer abses. 8,11,20,21 Gambaran klinis Pasien dapat merasakan gejala sejak beberapa hari 53

hingga beberapa minggu sebelumnya. Nyeri perut kanan atas merupakan keluhan yang menonjol, pasien tampak sakit berat, dan demam. 8,9,10,11,14,18-21 Seeto dkk 18 melaporkan bahwa gejala abses hati amuba secara umum bersifat nonspesifik, 72% pasien mengeluh demam dan nyeri di perut kanan atas. Selain itu anoreksia ditemukan pada 39% kasus dan penurunan berat badan pada 29% kasus. Pada pemeriksaan fisis, 83% kasus dilaporkan demam dan 69% dengan hepatomegali yang disertai nyeri tekan. Ikterik jarang terjadi. 10,17,20 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan jumlah sel polimorfonuklear sekitar 70-80%, peningkatan laju endah darah, anemia ringan, peningkatan alkali fosfatase dan kadar bilirubin. 3,14 Uji fungsi hati pada umumnya normal. 11 Feses dapat mengandung kista, pada disentri ditemukan trofozoit hematofagus. Kista positif pada feses hanya ditemukan pada 10-40% kasus. 8,10,18,21 Foto dada menunjukkan hemidiafragma kanan terangkat dengan atelektasis atau pleural efusi. Sensitivitas ultrasonografi dan CT scan untuk mendeteksi abses hati amuba adalah 85% dan 100%. 19 Uji serologis dapat membantu menegakkan diagnosis abses hati amuba, antara lain IHA (indirect hemagglutination antibody), EIA (enzyme immunoassay), IFA (indirect immunolfuoresent antibotic), LA (latex agglutination), AGD (agar gel diffusion), dan CIE (counter immunoelectrophoresis). 10 Antibodi hemaglutinasi indirek terhadap Entamoeba histolytica telah banyak digunakan dan meningkat pada 90% pasien. 8,10,18 Sensitivitas IHA pada keadaan akut 70-80%, sedangkan pada masa konvalesen > 90%. 20 Kekurangan IHA selain hasil tes diperoleh terlalu lama, hasilnya juga tetap positif selama 20 tahun sehingga dapat memberi gambaran penyakit infeksi sebelumnya dan bukan infeksi yang akut. Saat ini IHA telah digantikan oleh EIA yang dapat mendeteksi antibodi E.histolytica baik IgG maupun imunoglobulin total. Uji serologis ini relatif lebih sederhana, mudah dilakukan, cepat, stabil dan murah harganya serta memiliki sensitivitas 99% dan spesifisitas > 90%. Titer positif dapat bertahan beberapa bulan hingga tahunan setelah sembuh sehingga di daerah endemik nilai diagnostiknya berkurang. 8,10,17 Terapi Metronidazol (35-50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7-10 hari) atau tinidazol (60 mg/kg/hr selama 5 hari) merupakan terapi pilihan. 11 Sembilan puluh lima persen abses amuba tanpa komplikasi membaik dengan pemberian metronidazol saja. Gejala klinis biasanya membaik dalam waktu 24 jam. 8 Terapi metronidazol yang adekuat menyembuhkan 90% kasus. 8 Dosis perlu diperhatikan, karena metronidazol yang lebih rendah memudahkan terjadinya relaps. 10 Aspirasi jarum atau drainase perkutan yang dipandu dengan alat pencitraan telah menggantikan posisi intervensi bedah sebagai pilihan utama untuk mengurangi ukuran abses. Salah satu dari tindakan tersebut dilakukan jika hasil serologis negatif pada abses berukuran besar (> 3-4 cm), tidak memberi respons terhadap terapi antiamuba setelah 4-5 hari atau jika terdapat ruptur ke peritoneum, pleura atau perikardium. Tindakan drainase operatif hanya diperlukan jika abses telah ruptur sehingga menyebabkan peritonitis amuba atau jika pasien tidak berrespons terhadap obat walaupun sudah dilakukan aspirasi dan drainase dengan kateter. 3,8,10,11,18 Komplikasi dan prognosis Komplikasi yang sering terjadi adalah ruptur abses, superinfeksi dan anemia. Komplikasi berat dapat terjadi akibat infeksi sekunder atau ruptur abses ke dalam pleura, perikardial atau daerah peritoneum. Dua pertiga kejadian ruptur terjadi di intraperitoneum dan sepertiganya di intratorakal. 8,20 Pada orang dewasa, mortalitas abses hati amuba yang dapat didiagnosis dengan cepat dan tanpa adanya komplikasi adalah sekitar 1%. Pada anak, mortalitasnya tidak jelas diketahui tapi dapat meningkat secara bermakna akibat keterlambatan diagnosis. 9 Dengan terapi antiamuba yang adekuat selama beberapa hari hingga minggu akan terjadi perbaikan klinis yang cepat dengan resolusi abses yang sempurna selama 3-9 bulan yang dapat di pantau secara radiologis. 10 Algoritma penegakan diagnosis abses hati 22 Pasien dengan trias nyeri abdomen, demam dan hepatomegali harus diwaspadai oleh seorang dokter terhadap kemungkinan suatu abses hati. 17 Diagram berikut adalah algoritma untuk menegakkan diagnosis abses hati. 54

Pasien dengan nyeri abdomen atas, demam, hepatomegali yang teraba kaku dan nyeri A Tersangka abses hati - Periksa biakan darah - Antibiotik empiris spektrum luas (jika pasien sepsis) B USG atau CT scan abdomen C - Kolelitiasis - Abses (-) D Tampal =1 abses hati Teruskan antibiotik spektrum luas Abses intra-abdomen lain (+) Abses abdomen lain (-) - Enzim transaminase - Kultur darah (+) Masih mungkin pieloflebitis Tersangka abses hati Tersangka kolangitis Terapi antibiotik yang mencakup anaerob E Serologi amuba serum ERCP dengan sfingterotomi & drainase nasobilier (bila perlu) Terapi berhasil Respon terapi (-) Tersangka abses hati atau kolangitis supuratif - Open surgical drainage abses hati - Eksplorasi abdomen mencari sumber infeksi F + - G Abses hati amuba Metronidazol + Amubisid luminal Abses piogenik idiopatik Antibiotik spektrum luas dengan metronidazol - Tambah metronidazol - USG atau CT scan ulang Abses masih ada Abses mengecil Drainase abses Abses hati multipel Defek (-) Mikroabses hati belum disingkirkan Sepsis berlanjut Aspirasi jarum Pantau resolusi kantong abses dengan USG Drainase operatif abses & saluran empedu Sumber : Algorythm hepatic abscess. Didapat dari http://gi.vghtc.gov.tw/ref/flowcht/hepabsce.htm. Diakses tanggal 29 Agustus 2004 55

Daftar Pustaka 1. Dull JS, Topa L, Balgha V, Pap A. Non-surgical treatment of biliary liver abscesses: efficacy of endoscopic drainage and local antibiotic lavage with nasobiliary catheter. Gastrointest Endosc 1999; 51:55-9. 2. Chu KM, Fan ST, Lai ECS, Lo CM, Wong J. Pyogenic liver abscess. Arch Surg 1996; 131:148-52. 3. Ong E, Espat NJ, Helton WS. Hepatic abscess. Curr Treatment Opt Infect Dis 2003; 5:393-406. 4. Ahsan T, Jehangir MU, Mahmood T, Ahmed N, Saleem M, Shahid M, dkk. Amoebic versus pyogenic liver abscess. JPMA 2002; 52:497-501. 5. Stain SC, Yellin AE, Donovan AJ, Brien HW. Pyogenic liver abscess modern treatment. Arch Surg 1991; 126:991-6. 6. Alvarez JA, Gonzalez JJ, Baldonedo RF, Sanz L, Carreno G, Jorge JI. Single and multiple piogenic liver abscess: etiology, clinical course, and outcome. Digestive Surg 2001; 18:283-8. 7. Perez JAP, Gonzalez JJ, Baldonedo RF, Sanz L, Carreiio G, Junco A, dkk. Clinical course, treatment, and multivariate analysis of risk factors for pyogenic liver abscess. Am J Surg 2001;181:177-86 8. Krige JEJ, Beckingham IJ. Liver abscesses and hydatid disease. Br Med J 2001; 322:537-40. 9. Novak DA, Lauwers GY, Dolson DJ. Bacterial, parasitic, and fungal infections of the liver. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2001. h. 845-855 10. Hughes MA, Petri WA. Amebic liver abscess. Infect Dis Clin North Am 2000;14:565-82 11. Mowat AP. Bacterial, protozoal, fungal and helminthic infections of the liver. Dalam: Mowat AP. Liver disorders in childhood. Edisi ke-3. Oxford: Butterworth- Heinemann Ltd, 1994. h. 138-150. 12. Brook I, Fraizer EH. Role of anaerobic bacteria in liver abscess in children. Pediatr Infect Dis J 1993; 12:743-6. 13. Schwimmer J, Balistreri WF. Liver abscess. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia, Saunders, 2004. h. 1332-3 14. Davison S. Acute hepatitis. Dalam: Kelly DA, penyunting. Diseases of the liver and biliary system in children. London: Blackwell Science, 1999.h.65-76 15. Rubens DJ. Hepatobiliary imaging and its pitfalls. Radiol Clin North Am 2004; 42:257-78. 16. Tazawa J, Sakai Y, Maekawa S, Ishida Y, Maeda M, marumo F, et al. Am J Gastroent 1997; 92:271-4. 17. Ralls PW. Focal inflammatory disease of the liver. Radiol Clin North Am 1998; 36:377-89. 18. Gupta M, Kesarwala H, Gaur S. Amebic liver abscess in a child. Clin Pediatr 1996; 3:155-6 19. Seeto RK, Rockey DC. Amebic liver abscess:epidemiology, clinical features, and outcome. West J Med 1999;170:104-9 20. Haque R, Huston CD, Hughes M, Houpt E, Petri WA. Amebiasis. N Engl J Med 2003; 348:1565-73. 21. Baban FA. Clinical characteristic of amoebic liver abscesses in the north of Iraq. Saudi Med J 2000; 21:545-9. 22. Algorhytm hepatic abscess. Didapat dari http:// gi.vghtc.gov.tw/ref/flowcht/hepabsce.htm. Diakses tanggal 29 Agustus 2004 56