BAB V KESIMPULAN DAN REFLEKSI TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI KESIMPULAN. Penulis menyimpulkan bahwa strategi perlawanan petani mengalami

BAB V PENUTUP. utama yang menjadi akar permasalahan konflik. Pada bab kedua naskah ini telah

BAB I PENDAHULUAN. pesisir dari ribuan lainnya untuk menolak rencana penambangan pasir besi.

BAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa terjadi ketimpangan

BAB VI PENUTUP. menyuarakan penolakannya. Penolakan yang didasari atas kearifan lokal terhadap

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

STANDARD OPERATING PROCEDURE PENYELESAIAN KONFLIK EKSTERNAL

8 KESIMPULAN DAN SARAN

mereka bekerja di proyek pertambangan migas tersebut.

BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, agar tercipta kehidupan yang aman, tertib, dan adil.

Alternative Dispute Resolution dalam Sengketa Bisnis

BAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5%

BAGIAN I AGENDA MENCIPTAKAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI

BAB III METODE PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN. PAR ini adalah kepanjangan dari Participatory Action Research. Pendekatan PAR

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V PENUTUP 5. 1 Kesimpulan : melihat dinamika konflik Desa Kalirejo sebagai proses pembelajaran masyarakat Desa Kalirejo

BAB VI PENUTUP VI.1 Kesimpulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM

BAB V PENUTUP. upaya pemerintah dalam meningkatkan transportasi penerbangan untuk kawasan Jawa

BAB V PENUTUP. Sinorang tidak bisa diseragamkan dengan pola pendampingan yang dipahami. CSR di Desa Sinorang dapat terpetakan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial-politik (Kornblurn,

BAB V PENUTUP Pertama

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Refleksi Forum Jatinangor (Catatan warga Pegiat di ForJat)

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan yang menganut asas

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. disimpulkan bahwa KAMMI telah melakukan beberapa hal terkait dengan strategi

MANAJEMEN KONFLIK OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS

DARI AGENDA MEDIA HINGGA AGENDA KEBIJAKAN (Catatan atas Kemampuan Media) Oleh Yoseph Andreas Gual

Teknik Informatika S1

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KELEMBAGAAN, ORGANISASI, DAN KEPEMIMPINAN (KPM 331)

Pengembangan Budaya memiliki empat Konteks: 2. Melestarikan dan menghargai budaya

BAB VI PENUTUP A. Simpul-Simpul

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

LATIHAN KEPEMIMPINAN TINGKAT LANJUT (LKTL) LGM FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ISLAM MALANG Tanggal, 10 s/d 12 April 2015 MANAJEMEN KONFLIK

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB VI PENUTUP. Ketidakpastian tersebut, membuat masyarakat hidup dalam remang-remang ancaman

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi

Pemilu BKM. Buletin Warta Desa

POLA PENCARIAN INFORMASI MASYARAKAT PESISIR PANTAI KABUPATEN KULON PROGO

penelitian 2010

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada

Partisipasi kelompok marginal dan perempuan

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

Tujuan merupakan pernyataan perilaku atau arah program dan manajemen.

BAGIAN I. PENDAHULUAN

BAB V PENUTUP I. KESIMPULAN

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski

Study On Community-Organized Social Activities In PNPM Mandiri

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 20/KPTS-II/2001 TENTANG POLA UMUM DAN STANDAR SERTA KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN MENTERI KEHUTANAN,

KERANGKA ACUAN PENGKAJIAN UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA WAWO WAE DALAM PENGELOLAAN KAWASAN CA WATU ATA, NGADA TGL 25 NOP S/D 20 DES 2002

PANDUAN BANTUAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN ANGGARAN 2017

BAB III. A. Mahkamah Partai Politik Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2011

pelaksanaan pemerintahan terbebas dari praktek-praktek KKN,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja

BAB I PENDAHULUAN. faktor penggerak gerakan sosial. Sebagai suatu bentuk tindakan kolektif yang

BAB I PENDAHULUAN. dari masyarakat adat yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini terlihat dari

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Konflik sosial cenderung dinilai banyak orang sebagai sesuatu yang buruk.

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

MEMBANGUN JEJARING DAN KEMITRAAN TKSK

2016 KONFLIK PEMBEBASAN LAHAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN JATIGEDE DI DESA WADO

BAB I PENDAHULUAN. Perkotaan (PNPM-MP) adalah dengan melakukan penguatan. kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Tanggung Jawab Sosial dan Etika Manajemen. Manajemen Proyek

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Pembatasan Pengertian Perencanaan Partisipatif

METODOLOGI PENELITIAN

Membangun Organisasi Rakyat

6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. didominasi oleh usaha tani kecil yang dilaksanakan oleh berjuta-juta petani yang

BAB I PENDAHULUAN. dan bernegara. Hal ini terjadi karena mahasiswa adalah orang-orang yang

MEMAHAMI KONFLIK DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan (Harsono,

Transkripsi:

BAB V KESIMPULAN DAN REFLEKSI TEORI A. Kesimpulan Community Dispute Responsibility (CDR) merupakan bagian dari Alternative Dispute Responsibility (ADR) yang dalam implementasinya mengupayakan manajemen konflik berbasis komunitas. Upaya penyelesaian konflik tersebut menggunakan community based approach di mana masyarakat berusaha meresolusi konflik menggunakan modal kekuatan dan sumberdayanya sendiri. Fisibilitas implementasi CDR terlihat dari karakteristik serta watak tools tersebut. Personal dalam PPLP-KP belum sepenuhnya menyadari bahwa yang sedang diimplementasikan adalah tools CDR, namun beberapa leader saat diwawancara peneliti, menunjukkan pengetahuan terkait alternatif penyelesaian sengketa tanpa sadar bahwa yang mereka upayakan adalah implementasi CDR itu sendiri. Beberapa prasyaratnya terpenuhi namun dalam prosesnya CDR terkandung kelemahan yang harus diatasi oleh komunitas masyarakat. Mengingat konflik tambang pasir besi di Kulon Progo merupakan konflik sumberdaya alam yang mengalami proses panjang dan bersifat fluktuatif sehingga banyak sumberdaya yang dimiliki masyarakat harus dioptimalkan.munculnya PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo) digunakan sebagai wadah bagi masyarakat kontra penambangan. Keberadaan konflik horisontal yang dimanifestasikan menjadi pro dan kontra terhadap penambangan di antara masyarakat pesisir.konflik horisontal tiba-tiba muncul ke permukaan dan mengalami eskalasi. Pada sisi lain, dalam jangka waktu yang cukup lama tidak terjadi gejolak dalam masyarakat pesisir. Pro dan kontra yang terjadi antara masyarakat pesisir menjadi perselisihan yang menimbulkan disharmoni di mana kemudian disharmoni tersebut menjelma menjadi disorganisasi sosial dan baik secara langsung maupun tidak langsung

mengubah struktur serta kultur dalam lingkungan sosial masyarakat pesisir. Pada akhirnya disorganisasi sosial merenggangkan ikatan-ikatan sosial masyarakat sehingga mengakibatkan terjadinya disintegrasi sosial dalam kehidupan masyarakat pesisir. Disintegrasi sosial ini terjadi antara masyarakat yang pro dan kontra penambangan. Masyarakat kontra penambangan terdiri atas mayoritas masyarakat pesisir sehingga seolah-olah mempunyai otoritas terhadap kehidupan sosial seluruh masyarakat pesisir yang dalam fisibilitasnya terbukti bahwa implementasi CDR seharusnya dapat optimal apabila CDR diupayakan untuk meresolusi konflik baru yang selalu muncul seperti disintegrasi sosial. Selain itu, kekompakan internal dalam PPLP-KP juga sangat berpengaruh pada implementasi CDR. Perbedaan perspektif dan wawasan mampu mengubah misi dalam implementasi CDR Tantangan implementasi CDR sebagai preferensi baru masyarakat dalam mengelola konflik adalah kemunculan konflik horisontal dengan sengaja dikonstruksikan oleh para elit aktor konflik sehingga masyarakat pesisir yang semula menolak keberadaan penambangan pasir besi terpecah belah menjadi masyarakat pro dan kontra. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh aktor pro penambangan. Masyarakat pro merupakan representasi aktor penambangan untuk mendukung kebijakan penambangan dan pemrosesan pasir besi. Sedangkan aktor kontra adalah pihak yang mengkonstruksikan masyarakat yang kontra terhadap penambangan untuk mencapai kepentingan pribadi maupun kolektif yang bersifat materil, kekuasaan dan nilai. Aktornya adalah masyarakat pro penambangan dan masyarakat kontra penambangan. Kehidupan masyarakat pesisir pasca konflik pasir besi adalah setting konflik yang terjadi. Masyarakat pro dan kontra penambangan saling berperan dengan menggunakan kekuatan masing-masing dan saling bertentangan satu sama lain. Masyarakat kontra merupakan aktor utama dalam konflik horisontal tersebut karena masyarakat kontra lebih mendominasi proses konflik dengan kekuatan yang

dimilikinya. Salah satu upaya masyarakat kontra dalam menampilkan konflik adalah aksi perlawanan yang berupa demonstrasi. Konflik horisontal terjadi bukan antara masyarakat pro dengan masyarakat kontra tetapi antara masyarakat kontra penambangan dengan individu pro penambangan karena tidak seperti masyarakat kontra penambangan yang berada di bawah naungan PPLP-KP, masyarakat pro sebenarnya terdiri dari individu-individu pro penambangan yang mempunyai otoritas atas dirinya sendiri namun konflik pasir besi dikonstruksikan menyangatkan, masyarakat kontra melakukan pelabelan dan membangun stigma pada masyarakat pesisir sebagai individu pro penambangan. Oleh karena itu, masyarakat pesisir terpecah menjadi masyarakat kontra penambangan sebagai pihak superordinat yang memiliki massa serta otoritas dan masyarakat pro penambangan sebagai pihak subordinat yang dibentuk oleh struktur konflik itu sendiri. Konflik horisontal antar masyarakat pesisir merupakan representasi konflik vertikal yang dikonstruksikan oleh para aktor pada tingkat elit.para aktor konflik membawa kepentingannya masing-masing. Aktor pro penambangan yaitu Pemda Kabupaten Kulon Progo, PT. JMI, aliansi dan Tim Delapan yang mengusung kepentingan ekonomi. Pada sisi lain, aktor kontra penambangan adalah pihak eksternal yang terdiri dari LSM, partai politik dan akademisi. Pihak eksternal bertujuan untuk mencapai kepentingan ekonomi, kekuasaan dan nilai sehingga konflik pasir besi merupakan konflik kepentingan yang berbasis sumberdaya ekonomi produksi. B. Refleksi Teori Masyarakat pesisir pantai Kulon Progo sudah terlalu lama terkungkung dalam konflik pro dan kontra penambangan pasir besi. Bahkan seolah-olah konflik tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pesisir.

Akibat adanya konflik, institusi sosial yang seharusnya mewadahi aktivitas masyarakat sekaligus menjadi sarana untuk menyelesaikan persoalan yang ada di dalam masyarakat menjadi mandek. Hal tersebut terjadi karena masyarakat kontra memaksakan otoritasnya sebagai mayoritas untuk mengatur institusi sosial dan pola interaksi sosial masyarakat. Meskipun pada saat sekarang ini disintegrasi pada masyarakat pesisir tidak setajam pada saat konflik bereskalasi, namun keretakan sosial masyarakat pesisir harus segera diperbaiki. Tahapan dalam manajemen konflik yang telah dilakukan adalah Pertama, pencegahan konflik di mana masyarakat berunding dengan aktor lain seperti pemerintah dan PT. JMI sebagai pihak korporasi. Meskipun begitu, masih terdapat hal-hal yang memberatkan dan tidak memuaskan bagi masyarakat yang kontra terhadap tambang sehingga pertemuan tersebut tidak menghasilkan win-win solution. Kedua, resolusi konflik yang digarisbawahi dalam hal ini adalah fokus terhadap fisibilitas implementasi Community Dispute Responsibility (CDR) sebagai salah satu bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Implementasi CDR dalam beberapa hal digambarkan dengan adanya optimalisasi sumberdaya yang dimiliki PPLP-KP sebagai penyambung lidah masyarakat, relasi yang dibangun hingga upaya-upaya alternatif lain yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang tengah berlangsung, seperti halnya masyarakat mulai memfokuskan diri untuk mengurangi ketegangan dan menghindari terjadinya konflik dengan memusatkan perhatian pada kemajuan pertanian daerah setempat menggunakan sumberdaya yang dimiliki baik SDM maupun modal baik materil maupun non materil. Hal tersebut juga berkaitan dengan tahapan yang ketiga yaitu Transformasi konflik, di mana konflik yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat mulai dikurangi begitupun dengan konflik antar masyarakat dengan cara sharing knowledge baik antar komunitas maupun antar masyarakat terkait perjuangan maupun pertanian. Eksistensi komunitas yang bergerak secara mandiri dan dinamis seperti PPLP-KP yang dapat mempertahankan keberadaannya hingga saat ini tidak hanya ditunjang oleh faktor internal saja tetapi faktor eksternal juga penting untuk disoroti.

Pengoptimalan sumberdaya-sumberdaya internal yang dimiliki seperti kepemimpinan dan pengetahuan yang dimiliki, ide dan strategi yang digunakan, proses advokasi yang dilakukan serta jejaring dengan pihak lain serta inisiatif pembentukan forum yang lebih besar dengan jejaring yang lebih luas. Faktor eksternal seperti akses politik yang dimiliki, relasi dengan pihak eksternal juga sangat berpengaruh. Selama ini upaya yang ditempuh pemerintah desa dan pemerintah kecamatan belum dapat mengatasi disintegrasi sosial masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir lebih percaya kepada tokoh agama dibandingkan ada pemerintah atau tokoh masyarakat yang ada sehingga tokoh-tokoh agama perlu turun tangan untuk menangani permasalahan yang terjadi antar masyarakat dan berperan menjadi mediator. Tokoh kunci ataupun tokoh agama dapat menggunakan institusi sosial yang masih kuat untuk kembali menyatukan masyarakat pesisir yang terpecah belah. Kegiatan keagamaan seperti pengajian merupakan salah satu institusi sosial yang masih kuat dan dapat digunakan sebagai media.pengajian dapat digunakan sebagai ruang untuk menyatukan kembali masyarakat pesisir yang sebelumnya terpecah belah. Jika masyarakat sudah mulai melunak maka perlu dibangun kembali forum multi stakeholder di dalam masyarakat karena jika melibatkan unsur pemerintah kecamatan atau kabupaten, masyarakat akan bersifat resisten terhadap mereka. Forum multi stakeholder tersebut terdiri atas kepala desa, aparatur desa setempat, kepala pedukuhan, tokoh agama, tokoh masyarakat, perwakilan pemuda, perwakilan perempuan, masing-masing koordinator PPLP-KP yang berada di masingmasing pedukuhan serta perwakilan dari masyarakat pro dan masyarakat kontra. Pihak-pihak tersebut duduk bersama untuk membahas persoalan konflik horisontal serta bersama-sama memikirkan terkait langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi persoalan pasir besi. Langkah-langkah yang sudah diputuskan dalam forum lintas stakeholder untuk mengatasi persoalan konflik horisontal serta menyepakati nilai harmoni

yang harus diperjuangkan bersama, kemudian ide tersebut harus disalurkan pada seluruh masyarakat pesisir melalui institusi-institusi sosial maupun secara langsung. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membangun kesadaran baik pada kelompok pro maupun kontra akan pentingnya penyelesaian konflik pasir besi. Nilai harmoni berfungsi sebagai pranata bersama sehingga dapat menjangkau seluruh kelompok yang ada (Soetomo, 2008: 111-112), dengan demikian, multi forum stakeholder dapat menanamkan kembali nilai-nilai harmoni ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir. Kemudian apabila nilai harmoni tersebut sudah terinternalisasi kembali dengan baik maka diharapkan kedua belah pihak dapat meminimalisir kekuatan pemicu konflik dari internal kelompok dan dari pihak eksternal supaya dapat mencapai kemufakatan untuk integrasi. Langkah ini tidak bisa dilakukan begitu saja namun diperlukan proses panjang untuk dapat membentuk forum multi stakeholder serta melunakkan idealisme masyarakat kontra. Selain itu diperlukan waktu dan proses yang sangat lama untuk menyadarkan masyarakat pesisir bahwa konflik yang terjadi merupakan konstruksi dan intervensi dari para aktor. Padahal pemerintah sebagai stakeholder yang seharusnya dapat menjaga integrasi masyarakat tidak sepenuhnya dipercaya lagi oleh masyarakat karena pemerintah merupakan bagian dari aktor itu sendiri. Persoalan rumit untuk mengatasi intervensi para aktor karena cenderung bersifat politis dan elitis. Oleh karena itu, poin penting dalam rekonsiliasi konflik adalah dengan menyatukan masyarakat pesisir dan kembali menginternalisasikan nilai-nilai harmoni sehingga apabila tahapantahapan tersebut sudah terlaksana maka dapat dilanjutkan pada tahap selanjutnya yaitu penyadaran masyarakat pesisir akan makna konflik yang terjadi di antara mereka yang di dalamnya sarat akan kepentingan aktor. Membuka ruang partisipasi dan ruang dialog secara intensif dan netral antara pemerintah, korporasi dan sejumlah tokoh kunci serta perwakilan masyarakat agar tercipta situasi dan kondisi yang terkendali. Membangun ruang

komunikasi antar stakeholder merupakan bagian dari negosiasi diperlukan dalam rangka pengelolaan tambang pasir besi dengan pertimbangan partisipasi dari masyarakat. Adanya komunikasi diharapkan dapat memberikan dampak pada berkurangnya hingga berhentinya penambangan pasir besi. Konflik tambang pasir besi tidak akan pernah selesai apabila tidak terdapat sinergitas dari multi stakeholder, sehingga perlu dibangun suatu relasi dan komunikasi antar pihak untuk membangun resolusi konflik. Apabila relasi dan komunikasi antar stakeholder dapat sejalan dan terus berlanjut maka konflik yang ada akan memasuki fase terminasi konflik yaitu suatu tahap tercapainya suatu kesepakatan atau penyelesaian yang bersifat tetap. Selain itu dengan adaya dialog multi stakeholder dengan harapan dapat mendapatkan keputusan terkait implementasi kebijakan dan pengelolaan tambang pasir besi yang bersifat winwin solution. Selain itu, upaya membangun pola pengelolaan kolaboratif antar stakeholder di mana konsep kolaborasi mempunyai urgensi untuk mengubah perspektif terkait pengelolaan tambang pasir besi dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar sehingga mengarah ke arah pengelolaan yang lebih pro kepada masyarakat. Menurut Tajudin (2000) dalam Basuni, dkk (2008: 37) dalam konteks pengelolaan kawasan, manajemen kolaborasi dipandang sebagai sebuah upaya resolusi konflik dengan mengakomodasi kepentingan para pihak sehingga menghasilkan sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan (win-win solution). Pengelolaan sebuah kawasan seperti tambang pasir besi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat di sekitarnya. Peran pemerintah dan korporasi dalam memperhatikan faktor sosial budaya masyarakat sekitar dengan menggunakan pendekatan yang lebih partisipatif dan bukan represif. Pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap menggunakan prinsip sustainability (keberlangsungan lingkungan) sebagai kesatuan ekosistem yang utuh sehingga tidak lagi menggunakan perspektif yang bertumpu pada eksploitasi alam namun lebih kepada pemanfaatan alam yang lebih peduli terhadap lingkungan.