BAB V KESIMPULAN DAN REFLEKSI TEORI A. Kesimpulan Community Dispute Responsibility (CDR) merupakan bagian dari Alternative Dispute Responsibility (ADR) yang dalam implementasinya mengupayakan manajemen konflik berbasis komunitas. Upaya penyelesaian konflik tersebut menggunakan community based approach di mana masyarakat berusaha meresolusi konflik menggunakan modal kekuatan dan sumberdayanya sendiri. Fisibilitas implementasi CDR terlihat dari karakteristik serta watak tools tersebut. Personal dalam PPLP-KP belum sepenuhnya menyadari bahwa yang sedang diimplementasikan adalah tools CDR, namun beberapa leader saat diwawancara peneliti, menunjukkan pengetahuan terkait alternatif penyelesaian sengketa tanpa sadar bahwa yang mereka upayakan adalah implementasi CDR itu sendiri. Beberapa prasyaratnya terpenuhi namun dalam prosesnya CDR terkandung kelemahan yang harus diatasi oleh komunitas masyarakat. Mengingat konflik tambang pasir besi di Kulon Progo merupakan konflik sumberdaya alam yang mengalami proses panjang dan bersifat fluktuatif sehingga banyak sumberdaya yang dimiliki masyarakat harus dioptimalkan.munculnya PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo) digunakan sebagai wadah bagi masyarakat kontra penambangan. Keberadaan konflik horisontal yang dimanifestasikan menjadi pro dan kontra terhadap penambangan di antara masyarakat pesisir.konflik horisontal tiba-tiba muncul ke permukaan dan mengalami eskalasi. Pada sisi lain, dalam jangka waktu yang cukup lama tidak terjadi gejolak dalam masyarakat pesisir. Pro dan kontra yang terjadi antara masyarakat pesisir menjadi perselisihan yang menimbulkan disharmoni di mana kemudian disharmoni tersebut menjelma menjadi disorganisasi sosial dan baik secara langsung maupun tidak langsung
mengubah struktur serta kultur dalam lingkungan sosial masyarakat pesisir. Pada akhirnya disorganisasi sosial merenggangkan ikatan-ikatan sosial masyarakat sehingga mengakibatkan terjadinya disintegrasi sosial dalam kehidupan masyarakat pesisir. Disintegrasi sosial ini terjadi antara masyarakat yang pro dan kontra penambangan. Masyarakat kontra penambangan terdiri atas mayoritas masyarakat pesisir sehingga seolah-olah mempunyai otoritas terhadap kehidupan sosial seluruh masyarakat pesisir yang dalam fisibilitasnya terbukti bahwa implementasi CDR seharusnya dapat optimal apabila CDR diupayakan untuk meresolusi konflik baru yang selalu muncul seperti disintegrasi sosial. Selain itu, kekompakan internal dalam PPLP-KP juga sangat berpengaruh pada implementasi CDR. Perbedaan perspektif dan wawasan mampu mengubah misi dalam implementasi CDR Tantangan implementasi CDR sebagai preferensi baru masyarakat dalam mengelola konflik adalah kemunculan konflik horisontal dengan sengaja dikonstruksikan oleh para elit aktor konflik sehingga masyarakat pesisir yang semula menolak keberadaan penambangan pasir besi terpecah belah menjadi masyarakat pro dan kontra. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh aktor pro penambangan. Masyarakat pro merupakan representasi aktor penambangan untuk mendukung kebijakan penambangan dan pemrosesan pasir besi. Sedangkan aktor kontra adalah pihak yang mengkonstruksikan masyarakat yang kontra terhadap penambangan untuk mencapai kepentingan pribadi maupun kolektif yang bersifat materil, kekuasaan dan nilai. Aktornya adalah masyarakat pro penambangan dan masyarakat kontra penambangan. Kehidupan masyarakat pesisir pasca konflik pasir besi adalah setting konflik yang terjadi. Masyarakat pro dan kontra penambangan saling berperan dengan menggunakan kekuatan masing-masing dan saling bertentangan satu sama lain. Masyarakat kontra merupakan aktor utama dalam konflik horisontal tersebut karena masyarakat kontra lebih mendominasi proses konflik dengan kekuatan yang
dimilikinya. Salah satu upaya masyarakat kontra dalam menampilkan konflik adalah aksi perlawanan yang berupa demonstrasi. Konflik horisontal terjadi bukan antara masyarakat pro dengan masyarakat kontra tetapi antara masyarakat kontra penambangan dengan individu pro penambangan karena tidak seperti masyarakat kontra penambangan yang berada di bawah naungan PPLP-KP, masyarakat pro sebenarnya terdiri dari individu-individu pro penambangan yang mempunyai otoritas atas dirinya sendiri namun konflik pasir besi dikonstruksikan menyangatkan, masyarakat kontra melakukan pelabelan dan membangun stigma pada masyarakat pesisir sebagai individu pro penambangan. Oleh karena itu, masyarakat pesisir terpecah menjadi masyarakat kontra penambangan sebagai pihak superordinat yang memiliki massa serta otoritas dan masyarakat pro penambangan sebagai pihak subordinat yang dibentuk oleh struktur konflik itu sendiri. Konflik horisontal antar masyarakat pesisir merupakan representasi konflik vertikal yang dikonstruksikan oleh para aktor pada tingkat elit.para aktor konflik membawa kepentingannya masing-masing. Aktor pro penambangan yaitu Pemda Kabupaten Kulon Progo, PT. JMI, aliansi dan Tim Delapan yang mengusung kepentingan ekonomi. Pada sisi lain, aktor kontra penambangan adalah pihak eksternal yang terdiri dari LSM, partai politik dan akademisi. Pihak eksternal bertujuan untuk mencapai kepentingan ekonomi, kekuasaan dan nilai sehingga konflik pasir besi merupakan konflik kepentingan yang berbasis sumberdaya ekonomi produksi. B. Refleksi Teori Masyarakat pesisir pantai Kulon Progo sudah terlalu lama terkungkung dalam konflik pro dan kontra penambangan pasir besi. Bahkan seolah-olah konflik tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pesisir.
Akibat adanya konflik, institusi sosial yang seharusnya mewadahi aktivitas masyarakat sekaligus menjadi sarana untuk menyelesaikan persoalan yang ada di dalam masyarakat menjadi mandek. Hal tersebut terjadi karena masyarakat kontra memaksakan otoritasnya sebagai mayoritas untuk mengatur institusi sosial dan pola interaksi sosial masyarakat. Meskipun pada saat sekarang ini disintegrasi pada masyarakat pesisir tidak setajam pada saat konflik bereskalasi, namun keretakan sosial masyarakat pesisir harus segera diperbaiki. Tahapan dalam manajemen konflik yang telah dilakukan adalah Pertama, pencegahan konflik di mana masyarakat berunding dengan aktor lain seperti pemerintah dan PT. JMI sebagai pihak korporasi. Meskipun begitu, masih terdapat hal-hal yang memberatkan dan tidak memuaskan bagi masyarakat yang kontra terhadap tambang sehingga pertemuan tersebut tidak menghasilkan win-win solution. Kedua, resolusi konflik yang digarisbawahi dalam hal ini adalah fokus terhadap fisibilitas implementasi Community Dispute Responsibility (CDR) sebagai salah satu bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Implementasi CDR dalam beberapa hal digambarkan dengan adanya optimalisasi sumberdaya yang dimiliki PPLP-KP sebagai penyambung lidah masyarakat, relasi yang dibangun hingga upaya-upaya alternatif lain yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang tengah berlangsung, seperti halnya masyarakat mulai memfokuskan diri untuk mengurangi ketegangan dan menghindari terjadinya konflik dengan memusatkan perhatian pada kemajuan pertanian daerah setempat menggunakan sumberdaya yang dimiliki baik SDM maupun modal baik materil maupun non materil. Hal tersebut juga berkaitan dengan tahapan yang ketiga yaitu Transformasi konflik, di mana konflik yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat mulai dikurangi begitupun dengan konflik antar masyarakat dengan cara sharing knowledge baik antar komunitas maupun antar masyarakat terkait perjuangan maupun pertanian. Eksistensi komunitas yang bergerak secara mandiri dan dinamis seperti PPLP-KP yang dapat mempertahankan keberadaannya hingga saat ini tidak hanya ditunjang oleh faktor internal saja tetapi faktor eksternal juga penting untuk disoroti.
Pengoptimalan sumberdaya-sumberdaya internal yang dimiliki seperti kepemimpinan dan pengetahuan yang dimiliki, ide dan strategi yang digunakan, proses advokasi yang dilakukan serta jejaring dengan pihak lain serta inisiatif pembentukan forum yang lebih besar dengan jejaring yang lebih luas. Faktor eksternal seperti akses politik yang dimiliki, relasi dengan pihak eksternal juga sangat berpengaruh. Selama ini upaya yang ditempuh pemerintah desa dan pemerintah kecamatan belum dapat mengatasi disintegrasi sosial masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir lebih percaya kepada tokoh agama dibandingkan ada pemerintah atau tokoh masyarakat yang ada sehingga tokoh-tokoh agama perlu turun tangan untuk menangani permasalahan yang terjadi antar masyarakat dan berperan menjadi mediator. Tokoh kunci ataupun tokoh agama dapat menggunakan institusi sosial yang masih kuat untuk kembali menyatukan masyarakat pesisir yang terpecah belah. Kegiatan keagamaan seperti pengajian merupakan salah satu institusi sosial yang masih kuat dan dapat digunakan sebagai media.pengajian dapat digunakan sebagai ruang untuk menyatukan kembali masyarakat pesisir yang sebelumnya terpecah belah. Jika masyarakat sudah mulai melunak maka perlu dibangun kembali forum multi stakeholder di dalam masyarakat karena jika melibatkan unsur pemerintah kecamatan atau kabupaten, masyarakat akan bersifat resisten terhadap mereka. Forum multi stakeholder tersebut terdiri atas kepala desa, aparatur desa setempat, kepala pedukuhan, tokoh agama, tokoh masyarakat, perwakilan pemuda, perwakilan perempuan, masing-masing koordinator PPLP-KP yang berada di masingmasing pedukuhan serta perwakilan dari masyarakat pro dan masyarakat kontra. Pihak-pihak tersebut duduk bersama untuk membahas persoalan konflik horisontal serta bersama-sama memikirkan terkait langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi persoalan pasir besi. Langkah-langkah yang sudah diputuskan dalam forum lintas stakeholder untuk mengatasi persoalan konflik horisontal serta menyepakati nilai harmoni
yang harus diperjuangkan bersama, kemudian ide tersebut harus disalurkan pada seluruh masyarakat pesisir melalui institusi-institusi sosial maupun secara langsung. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membangun kesadaran baik pada kelompok pro maupun kontra akan pentingnya penyelesaian konflik pasir besi. Nilai harmoni berfungsi sebagai pranata bersama sehingga dapat menjangkau seluruh kelompok yang ada (Soetomo, 2008: 111-112), dengan demikian, multi forum stakeholder dapat menanamkan kembali nilai-nilai harmoni ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir. Kemudian apabila nilai harmoni tersebut sudah terinternalisasi kembali dengan baik maka diharapkan kedua belah pihak dapat meminimalisir kekuatan pemicu konflik dari internal kelompok dan dari pihak eksternal supaya dapat mencapai kemufakatan untuk integrasi. Langkah ini tidak bisa dilakukan begitu saja namun diperlukan proses panjang untuk dapat membentuk forum multi stakeholder serta melunakkan idealisme masyarakat kontra. Selain itu diperlukan waktu dan proses yang sangat lama untuk menyadarkan masyarakat pesisir bahwa konflik yang terjadi merupakan konstruksi dan intervensi dari para aktor. Padahal pemerintah sebagai stakeholder yang seharusnya dapat menjaga integrasi masyarakat tidak sepenuhnya dipercaya lagi oleh masyarakat karena pemerintah merupakan bagian dari aktor itu sendiri. Persoalan rumit untuk mengatasi intervensi para aktor karena cenderung bersifat politis dan elitis. Oleh karena itu, poin penting dalam rekonsiliasi konflik adalah dengan menyatukan masyarakat pesisir dan kembali menginternalisasikan nilai-nilai harmoni sehingga apabila tahapantahapan tersebut sudah terlaksana maka dapat dilanjutkan pada tahap selanjutnya yaitu penyadaran masyarakat pesisir akan makna konflik yang terjadi di antara mereka yang di dalamnya sarat akan kepentingan aktor. Membuka ruang partisipasi dan ruang dialog secara intensif dan netral antara pemerintah, korporasi dan sejumlah tokoh kunci serta perwakilan masyarakat agar tercipta situasi dan kondisi yang terkendali. Membangun ruang
komunikasi antar stakeholder merupakan bagian dari negosiasi diperlukan dalam rangka pengelolaan tambang pasir besi dengan pertimbangan partisipasi dari masyarakat. Adanya komunikasi diharapkan dapat memberikan dampak pada berkurangnya hingga berhentinya penambangan pasir besi. Konflik tambang pasir besi tidak akan pernah selesai apabila tidak terdapat sinergitas dari multi stakeholder, sehingga perlu dibangun suatu relasi dan komunikasi antar pihak untuk membangun resolusi konflik. Apabila relasi dan komunikasi antar stakeholder dapat sejalan dan terus berlanjut maka konflik yang ada akan memasuki fase terminasi konflik yaitu suatu tahap tercapainya suatu kesepakatan atau penyelesaian yang bersifat tetap. Selain itu dengan adaya dialog multi stakeholder dengan harapan dapat mendapatkan keputusan terkait implementasi kebijakan dan pengelolaan tambang pasir besi yang bersifat winwin solution. Selain itu, upaya membangun pola pengelolaan kolaboratif antar stakeholder di mana konsep kolaborasi mempunyai urgensi untuk mengubah perspektif terkait pengelolaan tambang pasir besi dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar sehingga mengarah ke arah pengelolaan yang lebih pro kepada masyarakat. Menurut Tajudin (2000) dalam Basuni, dkk (2008: 37) dalam konteks pengelolaan kawasan, manajemen kolaborasi dipandang sebagai sebuah upaya resolusi konflik dengan mengakomodasi kepentingan para pihak sehingga menghasilkan sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan (win-win solution). Pengelolaan sebuah kawasan seperti tambang pasir besi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat di sekitarnya. Peran pemerintah dan korporasi dalam memperhatikan faktor sosial budaya masyarakat sekitar dengan menggunakan pendekatan yang lebih partisipatif dan bukan represif. Pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap menggunakan prinsip sustainability (keberlangsungan lingkungan) sebagai kesatuan ekosistem yang utuh sehingga tidak lagi menggunakan perspektif yang bertumpu pada eksploitasi alam namun lebih kepada pemanfaatan alam yang lebih peduli terhadap lingkungan.