II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Domba Lokal Domba lokal adalah ternak yang telah mengalami domestikasi dan banyak berkembang di Indonesia. Domba lokal merupakan sumber daya genetik yang berpotensi untuk dikembangkan karena memiliki keunggulan diantaranya tahan terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan dan berkembangbiak dengan cepat. Klasifikasi domba menurut Ensminger (2002), yaitu Kingdom Phylum Sub Phylum Class Ordo Sub Ordo Family Sub Family Genus Species : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Artiodactyla : Ruminansia : Bovidae : Caprinae : Ovis : Ovis aries Menurut Heriyadi (2011), domba lokal adalah domba hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakan dan beradaptasi dengan lingkungan setempat hingga generasi ke-5 atau lebih melalui manajemen pemeliharaan setempat. Domba lokal sendiri mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi ekonomis, sosial dan budaya di
10 samping itu dapat merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal maupun dengan domba impor (Sumantri, dkk., 2007). Domba adalah ruminansia yang mempunyai perut majemuk dan secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak berperut tunggal seperti babi dan unggas. Seperti pada sapi, domba juga memamah kembali dan mengunyah makanannya serta telah beradaptasi secara fisiologis untuk mengkonsumsi pakan yang berserat kasar tinggi (rumput dan hijauan) yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh manusia dan non ruminansia (Sutama dan Budiarsana 2009). Populasi domba lokal paling tinggi berada di Pulau Jawa, yang menyebar di Jawa Barat (46%), Jawa Tengah (27%) dan Jawa Timur (18%) (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Pada Tahun 2016, populasi domba terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 12.462.091 ekor dari total 18.065.553 ekor domba yang ada di Indonesia atau sekitar 69% populasi domba berada di Provinsi Jawa Barat (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2016). 2.2 Pakan Ternak membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pakan yang baik cukup mengandung zat makanan untuk ternak terhadap tingkat fisiologis tertentu. Pakan yang dikonsumsi oleh ternak dipengaruhi oleh kondisi ternak, bentuk pakan, nilai gizi pakan, dan kecernaannya. Kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi oleh ternak sangat mempengaruhi produktivitas ternak nantinya. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumi adalah palabilitas yang tergantung dari beberapa hal, yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan temperatur lingkungan (Church dan Pond, 1988).
11 Pakan yang berkualitas mengandung nutrien yang dibutuhkan oleh ternak. Nutrien atau zat-zat makanan adalah substansi kimia dalam bahan pakan ternak yang dapat dimanfaatkan untuk hidup pokok apabila ketersediaanya cukup, dan apabila berlebih akan digunakan untuk pertumbuhan, gerak dan kerja otot, serta reproduksi (Prawoto, dkk., 2001). Pakan yang diberikan harus mengandung berbagai zat makanan yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Pakan yang baik adalah pakan yang mempunyai nilai kecernaan yang tinggi sehingga zat nutrien pada pakan diserap lebih banyak oleh ternak (Tillman dkk., 1998). Pakan yang baik untuk domba mengandung protein kasar 12-13% dan TDN 60%. Menurut Hartadi dkk., (1991) bahwa bahan pakan dikelompokkan dalam delapan kelas berdasarkan karakteristik fisik dan kimianya serta cara penggunaannya dalam memformulasikan ransum, yaitu: kelas 1, berupa hijauan kering, meliputi hijauan kering dan jerami yang dipotong dan dirawat dengan serat kasar > 10% dan mengandung > 35% dinding sel; kelas 2 berupa pastura, yaitu meliputi semua hijauan yang diberikan kepada ternak dalam keadaan segar yang sudah dipotong atau belum dipotong; kelas 3 berupa silase, yaitu meliputi berbagai hijauan pakan yang telah dipotong-potong. Kelas 4 (sumber energi), merupakan bahan pakan yang mengandung serat kasar <18%, dinding sel <35%, dan protein kasar <20% dalam keadaan kering, contoh: berbagai butiran sebangsa padi, berbagai dedak, berbagai umbi; kelas 5 (sumber protein), meliputi semua bahan pakan yang mengandung serat kasar <18%, dinding sel <35%, dan protein kasar >20% dalam bahan kering, contoh: biji legum, bungkil, bahan pakan asal hewan dan ikan; kelas 6 (sumber mineral), meliputi semua bahan pakan yang tinggi kandungan mineralnya, contoh: tepung
12 tulang, tepung batu kapur, dan garam dapur; kelas 7 (sumber vitamin) meliputi semua bahan pakan yang tinggi kandungan vitaminnya, contoh: minyak ikan, tablet Vitamin B; dan kelas 8 (pakan aditif), merupakan berbagai bahan pakan yang tidak berfungsi sebagai sumber nutrisi, penggunaanya dengan cara ditambahkan ke dalam pakan dalam jumlah sedikit dengan tujuan tertentu, fungsinya antara lain untuk memacu pertumbuhan, memacu produksi, memberi warna dan sebagainya, contoh: anti biotik, zat pewarna, dan obat-obatan. Secara alamiah habitat domba adalah pastura, maka domba memiliki pakan utama berupa hijauan. Apabila kebutuhan ternak akan zat-zat makanan berasal dari hijauan, sebaiknya pakan hijauan yang diberikan harus berkualitas tinggi agar kebutuhan nutrien dari ternak karena daya cerna pakan tersebut lebih tinggi dan dapat menghasilkan energi yang lebih tinggi untuk setiap konsumsinya (Djadjuli,1982). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ensminger (1991) bahwa kualitas dari hijauan berpengaruh besar terhadap konsumsi ternak. Hijauan berkualitas tinggi lebih mudah dicerna dan melewati saluran pencernaan lebih cepat daripada hijauan berkualitas rendah. Oleh karena itu, domba akan mengkonsumsi lebih banyak pakan. Konsentrat merupakan bahan pakan yang kaya akan energi, protein, mineral, vitamin, kandungan serat kasarnya mudah dicerna, sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan (Ngadiyono, dkk., 2008). Tujuan penambahan konsentrat dalam pakan domba adalah untuk meningkatkan daya guna makanan atau menambah nilai gizi makanan dan menambah unsur makanan yang kurang. Penambahan konsentrat setiap hari sangat besar manfaatnya dan memungkinkan ternak domba untuk mengkonsumsi makanan yang lebih baik nilai gizinya, lebih palatabel serta merata setiap harinya (Murtidjo, 1992).
13 2.3 Tongkol Jagung Tongkol jagung atau janggel, merupakan bagian dari buah jagung setelah biji dipipil (Tangenjaya dan Wina, 2006). Tongkol jagung merupakan limbah pertanian yang cukup banyak tersedia di masyarakat. Umumnya tongkol jagung tidak dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena memiliki kualitas yang rendah. Selain itu, tongkol jagung mengandung lignin dan serat kasar tinggi, protein dan kecernaan rendah. Palatabilitas tongkol jagung yang rendah masih dapat dimanfaatkan sebagai pakan ruminansia dengan pengolahan terlebih dahulu. Tongkol jagung memiliki kandungan nutrien yang terdiri dari bahan kering 90,0%, protein kasar 2,8%, lemak kasar 0,7%, abu 1,5%, serat kasar 32,7%, dinding sel 80%, lignin 6,0% dan ADF 32%. Kandungan lignin yang tinggi menyebabkan tongkol jagung ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan (Murni dkk., 2008). Selain itu rendahnya kecernaan disebabkan kandungan lignin yang tinggi yang membentuk senyawa komplek selulosa dan hemiselulosa membuat tongkol jagung meliliki kecernaan kurang dari 50% (Yulistiani, 2010). Tongkol jagung mempunyai kadar protein yang rendah (2,8 %) dengan kadar lignin (15,8%) dan selulosa yang tinggi (Fitriyani, dkk., 2013). Tingginya kandungan lignin dalam tongkol jagung menyebabkan koefisien cerna pada pakan tongkol jagung menjadi rendah yang nantinya akan mempengaruhi konsumsi pakan, tidak terpenuhinya nutrien ternak dan menurunkan produksi dari ternak tersebut. Sebenarnya sebagian besar selulosa dan hemiselulosa mudah dicerna oleh mikroba rumen, akan tetapi lignin berada dalam ikatan kompleks lignoselulosa dan lignohemiselulosa, sehingga sulit dicerna (Lestari, dkk., 2012).
14 2.4 Pengolahan Alkali Pengolahan secara alkali termasuk ke dalam pengolahan pakan secara kimia. Pengolahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan masa simpan pakan. Pakan dengan kandungan serat kasar dan lignin tinggi dapat ditingkatkan kualitasnya dengan perlakuan alkali, baik itu dengan menggunakan NaOH, Ca(OH) 2, ataupun gas NH 3 (amoniasi). Pakan limbah pertanian seperti tongkol jagung yang memiliki kandungan serat kasar dan lignin tinggi dapat ditingkatkan kualitasnya dengan pengolahan alkali ini. Menurut Hastuti, dkk., (2011) pengolahan pakan yang tinggi kandungan serat dan lignin dengan penambahan alkali dan asam ternyata mampu meningkatkan mutu dari pakan. Perlakuan alkali menyebabkan suasana basa dengan ph > 7,0 dengan menggunakan bahan kimia yang mana tingkat kebasaan dapat secara efektif meregangkan atau memutuskan ikatan lignoselulosa. Perlakuan alkali dapat mendelignifikasi dengan cara memutuskan ikatan ester antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa serta pembengkakan selulosa sehingga menurunkan kristalinitasnya. Turunnya kristalinitas selulosa akan memudahkan penetrasi enzim selulase mikroba rumen (Van Soest, 1994). 2.5 Abu Kayu Bakar Abu kayu bakar memiliki kadar Ca sebesar 3,56 %, Mg sebesar 0,97% dan K sebesar 4,77% ( Alma arif dkk., 2012). Abu kayu bakar kaya akan mineral alkali, bila dimanfaatkan akan dapat menggantikan senyawa alkali anorganik yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sumber mineral untuk pertumbuhan tulang dan organ lainnya. Abu kayu bakar jika dilarutkan dalam air serta disaring akan menjadi filtrat abu kayu bakar (FAKB) secara efektif dapat memutuskan ikatan lignoselulosa pada bahan pakan. Filtrat abu kayu bakar memiliki fungsi yang
15 sama dengan filtrat abu sekam padi, yaitu sebagai basa yang murah dan mudah diperoleh di pedesaan, serta dapat dipakai pengganti NaOH (Sutardi, dkk., 1980). Proses hidrolisis menggunakan larutan alkali alami lebih baik daripada menggunakan senyawa alkali berbahan kimia, penggunaan senyawa alkali dari bahan alami tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, tidak menimbulkan keracunan pada ternak dan ketersediaannya melimpah karena harganya yang relatif murah. Filtrat abu bakar prinsipnya sama dengan filtrat abu sekam padi yang bertugas melarutkan sebagian komponen dinding sel atau memecah persenyawaan lignohemiselulosa dan lignoselulosa yang kompleks, sehingga lembaran kutikula bersilika pada bagian luar menjadi larut dan terangkat dari garis bawah matriks lignoselulosa (Hartati, 2000). Hal ini akan memudahkan sel untuk mengembang dan memudahkan enzim mikroba rumen masuk, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan koefisien cerna (Sutrisno, 1983). Larutan alkali yang bersifat basa nantinya secara efektif dapat memutuskan ikatan lignoselulosa pada bahan pakan, sehingga akhirnya pakan tersebut dapat dicerna lebih baik oleh mikroba rumen sebagai pembentukan volatile fatty acid (VFA) dalam rumen yang diperuntukan sebagai energi utama ruminansia (Hernaman dkk, 2018). 2.6 Konsumsi Pakan Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi pada ternak (Tillman dkk., 1998). Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang penting dalam menentukan jumlah zat-zat makanan yang didapat ternak telah memenuhi tidaknya kebutuhan ternak. Menurut Winugroho (2002), kebutuhan pakan setiap ternak berbeda bergantung atas jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting,
16 menyusui), kondisi tubuh, lingkungan tempat hidupnya (temperatur dan kelembaban udara), dan bobot badannya. Konsumsi ternak dapat diketahui dalam bentuk bahan kering (BK). Selain mengandung nutrien-nutrien yang dibutuhkan ternak dan proses pencernaan, bahan kering yang dikonsumsi ternak berfungsi juga sebagai pengisi lambung dan perangsang dinding-dinding pencernaan untuk menggiatkan pembentukan enzim (Chuzaemi, 1997). Konsumsi bahan kering kasar bervariasi mulai dari 1,5% dari bobot badan untuk pakan dengan kualitas rendah hingga 3% untuk pakan dengan kualitas tinggi (Gatenby, 1991). Namun menurut Kearl (1982) pakan ransum yang diberikan sebesar 3,5% bahan kering (BK) dari bobot badannya. Menurut Church dan Pond (1988) Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas yang tergantung dari beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur dan temperatur lingkungan. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, level energi, protein, konsentrasi asam amino, komposisi hijauan, temperatur lingkungan, laktasi, dan ukuran metabolik tubuh. Palatabilitas merupakan sifat performa dari bahan-bahan pakan akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dicerminkan oleh sifat organoleptik bahan-bahan tersebut seperti kenampakan, bau, rasa, dan tekstur (Cheeke, 1991). 2.7 Pertambahan Bobot Badan Harian Pertambahan bobot badan harian diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat di dalam pakan menjadi daging, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain total konsumsi nutrien yang diperoleh setiap hari, jenis ternak, umur, keadaan genetik, kondisi lingkungan dan tata laksana (Tillman dkk., 1998). Pertambahan bobot badan merupakan p ertambahan ukuran ternak sebelum mencapai bobot badan dewasa (Orskov, 1998).
17 Menurut Tomaszewska (1993), pertambahan bobot badan harian untuk domba tropis adalah 70 g/ekor/hari. Domba Lokal jantan yang diberi rumput lapangan hanya mencapai pertambahan bobot badan harian sebesar 42,67 g/ekor/hari (Dhalika dkk., 2010). Menurut hasil penelitian Hadi (2017) menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering domba lokal jantan umur kurang dari satu tahun yang diberikan ransum dengan komposisi 40% konsentrat dan 60% hijauan berkisar antara 90,74 123,46 g/ekor/hari. Perbedaan jumlah konsumsi dapat disebabkan oleh kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat nutrien yang terdapat dalam pakan yang berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan faktor genetik dan kecernaan setiap pakan yang diberikan pada ternak. Pemberian pakan pada ternak akan mempengaruhi bentuk grafik pertumbuhannya. Umur 2,5 bulan sampai dengan masa pubertas (6-8) bulan pertumbuhan akan berjalan maksimum. Pemberian pakan yang berkualitas tinggi akan mempercepat pertumbuhan dari seekor ternak, namun apabila pemberian pakan dengan kualitas rendah akan menghambat proses pertumbuhan pada ternak itu sendiri. Ternak akan memanfaatkan pakan yang dikonsumsi untuk kebutuhan pokoknya dan bila sudah mencukupi sisa makanan tersebut akan digunakan untuk kebutuhan produksi. Namun sebetulnya pakan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi komposisi tubuh. Faktor genetik dan kelamin juga merupakan penentu pertumbuhan (Tillman dkk., 1998).
18 Tahap-tahap pertumbuhan domba dapat terlihat dalam sebuah kurva pertumbuhan membentuk gambaran sigmoid pada kurva pertumbuhan yang dapat dilihat pada Ilustrasi 1. Ilustrasi 1. Kurva Pertumbuhan Domba (Sudarmono dan Sugeng, 2009) Ilustrasi 2. Kurva Sigmoid antara Umur dengan Prediksi Bobot Badan pada Masing-Masing Genotipa dari Kurva Von Bertalanffy (Suparyanto dkk., 2001)