BAB I PENGORGANISASIAN BAGIAN PERTAMA GEREJA. Pasal 1 LOGO, MARS, DAN HYMNE

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB V : KEPEMIMPINAN GEREJAWI

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

TATA GEREJA (TATA DASAR, TATA LAKSANA, DAN TATA ATURAN TAMBAHAN) SERTA PENGAKUAN-PENGAKUAN IMAN GEREJA KRISTEN IMMANUEL

ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERSEKUTUAN GEREJA KRISTEN PERJANJIAN BARU

TATA GEREJA Gereja Kristen Immanuel Edisi SR XX TATA GEREJA. Gereja Kristen Immanuel. Edisi SR XX. Sinode Gereja Kristen Immanuel

Panduan Administrasi. Kompleks Istana Mekar Wangi Taman Mekar Agung III No. 16 Bandung Telp ; Website:

PERATURAN RUMAH TANGGA BAB I KEANGGOTAAN. Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. 1.1.a Pengertian Emeritasi Secara Umum

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

TATA DASAR TATA DASAR

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Jakarta, 22 Agustus : 3551/VIII-17/MS.XX : 1 (satu) Bundel : Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Fungsionaris Pelaksana Harian Majelis Jemaat

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

PERATURAN BANUA NIHA KERISO PROTESTAN NOMOR: 07/BPMS-BNKP/2008 tentang PELAYAN BADAN PEKERJA MAJELIS SINODE BNKP

PERATURAN BANUA NIHA KERISO PROTESTAN (BNKP) NOMOR 04/BPMS-BNKP/2008

MENGORGANISASI, MENGGABUNGKAN, MEMBUBARKAN JEMAAT DAN PERKUMPULAN MENGORGANISASI JEMAAT PELAJARAN 10

PETUNJUK PELAKSANAAN (JUKLAK) PEMILIHAN PELAKSANA HARIAN MAJELIS JEMAAT MASA BAKTI 2017 s.d 2020

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

3. Sistem Rekrutmen Pengerja Gereja (vikaris) Gereja Kristen Sumba

TATA GEREJA PEMBUKAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA

BUPATI TULUNGAGUNG SALINAN PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO D E S A P A D I Jln. Raya Padi Pacet No.26 Kec. Gondang Tlp PERATURAN DESA PADI NOMOR : 06 TAHUN 2002

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN BANUA NIHA KERISO PROTESTAN NOMOR 01/BPMS-BNKP/2007 tentang BADAN PEKERJA MAJELIS SINODE BANUA NIHA KERISO PROTESTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PARA PENDETA DAN PARA PELAYAN JEMAAT LAINNYA PELAJARAN 9

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

K O M I S I I N F O R M A S I

PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANGGARAN RUMAH TANGGA GABUNGAN INDUSTRI PENGERJAAN LOGAM DAN MESIN INDONESIA BAB I LANDASAN PENYUSUNAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

SALINAN L E M B A R AN D A E R A H KABUPATEN BALANGAN NOMOR 07 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 07 TAHUN 2007 T E N T A N G

ANGGARAN RUMAH TANGGA IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PERUBAHAN KE VII

TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 0TAHUN 2007 T E N T A N G TATACARA PEMILIHAN, PENCALONAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA

L E M B A R AN D A E R A H KABUPATEN BALANGAN NOMOR 07 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 07 TAHUN 2007 T E N T A N G

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA

PERATURAN PELAKSANAAN MAJELIS JEMAAT NO. 1. Tentang JEMAAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA INDONESIAN LEGAL AID AND HUMAN RIGHTS ASSOCIATION

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

MEMUTUSKAN. Peraturan Banua Niha Keriso Protestan tentang Resort

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA

BADAN PERWAKILAN DESA DESA PADI KECAMATAN GONDANG KABUPATEN MOJOKERTO K E P U T U S A N BADAN PERWAKILAN DESA PADI NOMOR : 01 TAHUN 2001 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUPANG NOMOR 13 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUPANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DONGGALA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PEMILIHAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 2 TAHUN 2007 SERI D.2

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk memperoleh data lapangan guna. penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO D E S A P A D I Jln. Raya Padi Pacet No.26 Kec. Gondang Tlp

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG BADAN PERWAKILAN DESA (BPD) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANGGARAN RUMAH TANGGA IKATAN AHLI PERENCANA

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN BONE PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 04 TAHUN 2007 TENTANG

1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANGGARAN DASAR ASOSIASI DOSEN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR INDONESIA PENDAHULUAN

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

Bab I Pendahuluan UKDW

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1 Majelis Agung GKJW, Tata dan Pranata GKJW, Pranata tentang jabatan-jabatan khusu, Bab II-V, Malang,

ANGGARAN RUMAH TANGGA ASOSIASI ANTROPOLOGI INDONESIA

Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1649);

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

ANGGARAN RUMAH TANGGA KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 25 MARET 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bekerja Dengan Para Pemimpin

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENGORGANISASIAN BAGIAN PERTAMA GEREJA Pasal 1 LOGO, MARS, DAN HYMNE (1) Logo GKJ adalah hasil keputusan Sidang Sinode XIX GKJ tahun 1989 di Manahan, Surakarta. (gambar dan makna Logo terlampir). (2) Mars GKJ adalah hasil keputusan Sidang Sinode Antara GKJ tahun 2000 di Baturaden, Purwokerto. (terlampir). (3) Hymne GKJ adalah hasil keputusan Sidang Sinode XXIII GKJ tahun 2002 di Wonogiri. (terlampir). (4) Mars dan Hymne GKJ dinyanyikan dalam momentummomentum gerejawi yang penting. Pasal 2 STATUS, NAMA, DAN KEDUDUKAN HUKUM (1) Status Badan Hukum GKJ didasarkan pada Staatsblad tahun 1927 nomor 156 dan 157 serta Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 19 tahun 1966. (2) Penentuan nama sebuah Gereja ditetapkan oleh Sidang Majelis Gereja yang besangkutan. (3) Nama sebuah Gereja dapat memakai nama daerah tempat Gereja itu berada, nama-nama dalam Alkitab atau nama-nama lain yang mengandung makna tertentu. (4) Nama Gereja perlu diinformasikan ke Klasis, Sinode, dan instansi-instansi lain yang dipandang perlu. (5) Nama Gereja dan Logo GKJ perlu tertera dalam cap, kop surat, dan papan nama Gereja. (6) Penentuan alamat dan kedudukan hukum sebuah Gereja ditetapkan oleh Sidang Majelis Gereja yang bersangkutan dengan mempertimbangkan aspek administratif pemerintahan di mana Gereja tersebut berada, demi kelancaran segala urusan.

Pasal 3 PENDEWASAAN GEREJA (1) Syarat-syarat pepanthan yang akan didewasakan menjadi Gereja: 1. Mempunyai motivasi yang sehat sesuai dengan nilai-nilai kristiani. 2. Mempunyai tujuan demi perkembangan Gereja baik yang mendewasakan maupun yang didewasakan. 3. Mempunyai kemampuan untuk memerintah diri sendiri, mengembangkan diri sendiri, dan membiayai diri sendiri berdasarkan Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ. 4. Mempunyai jumlah warga gereja sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) orang (50 KK). 5. Mempunyai jumlah warga dewasa sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang yang bersedia dan mampu menjadi pejabat gerejawi. 6. Mempunyai kemampuan keuangan gereja yang sekurangkurangnya 40% dari Anggaran Pendapatan Belanja Gereja (APBG) per tahun dapat dipakai untuk mencukupi kebutuhan Biaya Hidup Pendeta Gereja yang bersangkutan berdasarkan peraturan Sinode yang berlaku. 7. Ada tempat ibadah yang dapat menjamin keberlangsungan pelaksanaan ibadah gereja. (2) Prosedur Pendewasaan Gereja: 1. Majelis Gereja memutuskan rencana pendewasaan satu atau beberapa pepanthan menjadi Gereja dewasa. 2. Pepanthan yang akan didewasakan diberi kesempatan latihan hidup mandiri sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun. 3. Latihan hidup mandiri meliputi: a. Pengorganisasian Gereja. b. Pelaksanaan tugas panggilan Gereja yaitu Pemberitaan Injil dan pemeliharaan warga Gereja. c. Kehartakaan Gereja.

4. Jika latihan hidup mandiri sebagaimana tersebut dalam ayat (2).3. sudah dipenuhi dan Majelis Gereja memutuskan pepanthan tersebut layak didewasakan, maka Majelis Gereja yang bersangkutan menyampaikan rencana pendewasaan pepanthan tersebut kepada Sidang Klasis. 5. Setelah Sidang Klasis membahas rencana pendewasaan Gereja tersebut, maka sidang mengutus Visitator untuk mengadakan pendampingan terhadap Gereja yang akan mendewasakan dan penilaian terhadap pepanthan yang akan didewasakan, selanjutnya melaporkan ke Sidang Klasis setelah pelaksanaan tugas tersebut. 6. Sidang membahas laporan Visitator untuk menyetujui atau tidak menyetujui. 7. Apabila sidang menyetujui rencana pendewasaan sebagaimana yang dilaporkan Visitator, maka Majelis Gereja mengadakan kebaktian pendewasaan yang ditandai dengan peneguhan pejabat-pejabat gerejawi dengan menggunakan pertelaan yang ditetapkan oleh Sinode, selambat-lambatnya enam bulan setelah keputusan Sidang Klasis. 8. Pejabat gerejawi Gereja yang mendewasakan, yang akan diteguhkan menjadi pejabat gerejawi Gereja baru, terlebih dahulu harus diberhentikan dari jabatan gerejawi Gereja yang mendewasakan tersebut. 9. Majelis Gereja yang mendewasakan menginformasikan ke Sidang Klasis setelah pendewasaan, agar Sidang Klasis menerima gereja yang baru didewasakan tersebut sebagai anggota Klasis dan sekaligus menjadi peserta Sidang Klasis. Untuk itu gereja penghimpun Sidang Klasis wajib mengundang gereja yang baru didewasakan itu. 10. Klasis berkewajiban menginformasikan pendewasaan gereja baru tersebut kepada Sidang Sinode untuk diterima sebagai anggota Sinode GKJ. 11. Majelis gereja yang mendewasakan menginformasikan pendewasaan gereja tersebut kepada lembaga-lembaga yang dipandang perlu.

Pasal 4 WARGA GEREJA (1) Warga GKJ: 1. Orang yang dibaptis di GKJ baik baptis anak maupun baptis dewasa. Orang yang telah dibaptis tersebut dicatat dalam Buku Induk Gereja. 2. Pindahan dari gereja lain. Pelaksanaan perpindahan warga dari gereja lain diatur sebagai berikut: a. Warga yang pindah dari Gereja anggota PGI diterima dengan surat keterangan pindah (Atestasi) dan diwartakan dalam kebaktian hari Minggu dua minggu berturut-turut. b. Seorang warga gereja dari Gereja bukan anggota PGI yang pindah ke GKJ dengan membawa atestasi dari Gereja asal diterima menjadi warga gereja GKJ dengan ketentuan: i. Terlebih dahulu diadakan percakapan tentang ke-gkj-an dengan materi sebagaimana terdapat dalam pasal 48 Tata Laksana tentang Katekisasi. ii. Penerimaan dilakukan dengan cara diwartakan dalam kebaktian hari Minggu dua minggu berturut-turut. c. Seorang warga gereja yang ingin menjadi warga gereja GKJ padahal tidak mendapat atestasi dari gereja asalnya, dapat diterima menjadi warga gereja GKJ dengan ketentuan sebagai berikut: i. Orang yang bersangkutan membuat surat permohonan kepada Majelis Gereja yang dituju, yang juga berisi pernyataan atas kehendak sendiri ingin menjadi warga gereja GKJ yang tembusannya disampaikan ke gereja asal. ii. Majelis mengadakan percakapan gerejawi dengan yang bersangkutan untuk memutuskan menerima atau menolak permohonannya itu. iii. Apabila pemohon berasal dari Gereja anggota PGI, maka penerimaannya diwartakan dalam kebaktian hari Minggu dua minggu berturut-turut.

iv. Apabila pemohon berasal dari Gereja bukan anggota PGI, maka penerimaannya dilakukan sesuai ayat (1) 2.b. dalam pasal ini. d. Semua warga gereja pindahan dari Gereja lain dicatat dalam Buku Induk. (2) Perubahan status warga gereja: 1. Perubahan status warga gereja terjadi karena Pengakuan Percaya atau Sidi. 2. Setiap perubahan status warga gereja dicatat dalam Buku Induk. (3) Kewajiban warga gereja: 1. Metaati Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ 2. Melakukan kehidupan etis selaku orang percaya. 3. Melaksanakan ibadah. 4. Membangun persekutuan. 5. Mendukung dana melalui persembahan. (4) Hilangnya status dan kewargaan: 1. Status dan hak kewargaan dapat hilang karena: a. Pindah ke gereja lain. Seorang warga gereja yang pindah ke gereja lain wajib menyampaikan permohonan atestasi kepada Majelis Gereja. Atestasi itu segera diserahkan kepada Majelis Gereja yang dituju. Kepindahannya diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut. b. Meninggalkan iman Kristen. Warga gereja dinyatakan meninggalkan iman Kristen apabila yang bersangkutan menyatakan diri mengakui iman lain dan atau keluar dari keanggotaan gereja. c. Meninggal dunia. Warga gereja yang meninggal dunia diwartakan dalam kebaktian hari Minggu. 2. Semua peristiwa hilangnya status kewargaan dicatat dalam Buku Induk.

(5) Warga Gereja Titipan. Warga Gereja Titipan yaitu seorang warga gereja dari gereja lain yang menetap di lingkungan suatu gereja dengan membawa surat penitipan dari gereja asalnya. Orang tersebut mendapat perlakuan sama dengan warga gereja itu baik dalam tanggung jawab, hak, maupun kewajiban. Apabila ia kembali ke gereja asal, gereja yang dititipi memberikan surat penyerahan kembali warga titipan tersebut ke gereja asal. Apabila ia pindah ke tempat tinggal baru di lingkungan pelayanan gereja lain, maka gereja yang dititipi memberikan surat penitipan baru ke gereja yang dituju dengan tembusan ke gereja asal. Pasal 5 MAJELIS GEREJA (1) Tugas Majelis Gereja adalah menjadi penanggung jawab segala kegiatan gereja baik di bidang Pemberitaan Penyelamatan Allah, Pemeliharaan Iman, maupun Organisasi Gereja. Pelaksanaan tugas Majelis Gereja meliputi: 1. Bersama-sama warga gereja melaksanakan Pemberitaan Penyelamatan Allah. 2. Menjaga ajaran gereja. 3. Menyelenggarakan katekisasi atau pengajaran agama Kristen. 4. Menyelenggarakan kebaktian, pelayanan Sakramen, dan kegiatan-kegiatan Pemeliharaan Iman. 5. Menyelenggarakan Sidang Majelis Gereja untuk: a. Menentukan kebijakan dan arah pelayanan gereja. b. Koordinasi pelaksanaan tugas-tugas pelayanan gereja. c. Melaksanakan evaluasi pelaksanaan program pelayanan gereja. 6. Mengangkat dan memberhentikan badan-badan pembantu Majelis Gereja. 7. Mewakili gereja baik ke dalam maupun ke luar.

(2) Struktur Majelis Gereja: 1. Struktur Majelis sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota. 2. Bidang-bidang pelayanan untuk melaksanakan tugas panggilan gereja dibentuk sesuai dengan kebutuhan masingmasing gereja, namun sekurang-kurangnya terdiri dari: a. Bidang Ibadah dengan pokok perhatian pelayanan Kebaktian dan Sakramen. b. Bidang Kesaksian Pelayanan dengan pokok perhatian pada Pemberitaan Penyelamatan Allah dan Pelayanan Diakona. c. Bidang Pembinaan Warga Gereja dengan pokok perhatian pada Pemeliharaan Iman serta Pembinaan dan Pengaderan. d. Bidang Penatalayanan dengan pokok perhatian pada keuangan dan sarana-prasarana. 3. Pembagian tugas personalia dalam struktur Majelis Gereja perlu mempertimbangkan tugas-tugas jabatan gerejawi masing-masing. (3) Rahasia Jabatan. Setiap anggota Majelis Gereja harus memegang teguh rahasia jabatan yaitu rahasia yang menyangkut pribadi warga gereja dan rahasia organisasi gereja. Rahasia jabatan itu harus tetap dipegang teguh, walaupun yang bersangkutan sudah tidak lagi menjadi anggota Majelis Gereja. Pasal 6 PENATUA DAN DIAKEN (1) Syarat-syarat: 1. Warga dewasa dari gereja yang bersangkutan setelah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun menjadi warga dan tidak berada dalam pamerdi, serta dipandang layak untuk menjadi seorang Penatua atau Diaken. 2. Warga gereja yang tempat tinggal dan kehidupan sehariharinya memungkinkan untuk melaksanakan tugas sebagai Penatua dan Diaken.

3. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ serta menaatinya. 4. Sikap dan perilaku pribadi dan atau keluarganya tidak menjadi batu sandungan bagi warga gereja dan masyarakat. 5. Bersedia dan mampu memegang rahasia jabatan. 6. Mau dan mampu bekerjasama dengan orang lain. (2) Pencalonan, pemilihan, pemanggilan, dan peneguhan. 1. Pencalonan, pemilihan, pemanggilan, dan peneguhan Penatua dan atau Diaken menjadi wewenang dan tanggung jawab Majelis Gereja dengan memperhatikan pertimbangan dari warga gereja. 2. Majelis Gereja mewartakan bahwa dibutuhkan sejumlah tertentu calon Penatua dan atau Diaken dan mempersilakan warga gereja untuk bergumul dalam doa serta mengusulkan nama-nama calon Penatua dan atau Diaken kepada Majelis Gereja. Pewartaan itu disampaikan di dalam kebaktian hari Minggu dua minggu berturut-turut, dengan memberitahukan tentang syarat-syarat calon Penatua dan atau Diaken. 3. Berdasarkan usulan sejumlah nama-nama calon yang masuk dari warga gereja, Majelis Gereja memilih dan menetapkan sejumlah nama calon Penatua dan atau Diaken yang dibutuhkan dalam persidangan Majelis Gereja dengan mempertimbangkan tugas Penatua dan atau Diaken, juga faktor potensi warga gereja, kaderisasi, keberlangsungan program-program pelayanan gereja, jenis keahlian, dan pelayanan yang dibutuhkan. 4. Majelis Gereja menghubungi calon-calon yang sudah ditetapkan untuk menanyakan kesediaan mereka, setelah menjelaskan arti dan tugas panggilan Penatua dan atau Diaken kepada calon-calon tersebut. 5. Setelah nama-nama calon Penatua dan atau Diaken yang dihubungi menyatakan kesediaannya, maka nama calon Penatua dan atau Diaken tersebut diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut.

6. Majelis Gereja bertanggung jawab menentukan hari dan pelaksanaan pemilihan calon Penatua dan atau Diaken. 7. Dengan memperhatikan hasil pemilihan oleh warga gereja, Majelis Gereja menetapkan calon terpilih Penatua dan atau Diaken. 8. Apabila cara pemilihan seperti yang dimaksud dalam ayat (2).1-7. di atas tidak dapat dilaksanakan, maka penetapan Penatua dan atau Diaken diatur sebagai berikut: a. Setelah nama nama calon Penatua dan atau Diaken yang dihubungi menyatakan kesediaannya, maka Majelis Gereja menetapkan nama calon Penatua atau Diaken tersebut sesuai dengan kebutuhan, dan diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut. Dalam warta tersebut ditetapkan juga rencana hari dan tanggal peneguhan ke dalam jabatan Penatua dan atau Diaken. b. Warga Gereja dipersilahkan mempergumulkan dalam doa dan mempertimbangkan kelayakan dari calon Penatua dan atau Diaken. 9. Jika tidak ada keberatan yang sah, Majelis Gereja menyampaikan panggilan kepada calon Penatua dan atau Diaken. 10. Peneguhan ke dalam jabatan Penatua dan atau Diaken dilaksanakan dalam kebaktian dengan menggunakan pertelaan Peneguhan Jabatan Gerejawi yang berlaku. Dalam kebaktian peneguhan tersebut dilakukan penandatanganan pernyataan pejabat gerejawi yang berisi janji setia pada Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta. 11. Peneguhan jabatan Penatua dan atau Diaken dibatalkan jika ada keberatan yang sah. Hal itu diberitahukan kepada calon dan kepada yang mengajukan keberatan tersebut serta diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut. (3) Tugas Penatua dan Diaken. 1. Tugas utama Penatua adalah melaksanakan pemerintahan gereja demi terlaksananya tugas panggilan gereja.

2. Tugas utama Diaken adalah memelihara iman warga gereja dengan cara memperhatikan kesejahteraan hidup warga Gereja dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat umum. (4) Masa Jabatan Penatua dan Diaken. 1. Masa jabatan Penatua dan Diaken dalam satu periode adalah tiga tahun. Seorang dapat menjabat sebagai Penatua atau Diaken sebanyak-banyaknya dua periode berturut-turut dan dapat diusulkan lagi setelah tidak menjabat sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun. 2. Peletakan jabatan Penatua dan Diaken yang berakhir masa jabatannya dilakukan dalam kebaktian hari Minggu, dengan menggunakan Pertelaan yang berlaku. 3. Jabatan Penatua dan Diaken dapat tanggal sebelum masa jabatannya berakhir karena: a. Pindah menjadi anggota gereja lain. b. Berada/bertempat tinggal sedemikian sehingga tidak dapat melakukan pelayanannya dengan baik. c. Sengaja tidak aktif melaksanakan tugas sekurangkurangnya 6 (enam) bulan. d. Berada dalam pamerdi. e. Sakit sehingga tidak dapat melanjutkan pelayanannya. f. Mengundurkan diri dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. g. Meninggal dunia. 4. Penanggalan dalam ayat (4).3.c. pasal ini dilakukan setelah mendapat pertimbangan Gereja Tetangga. 5. Penanggalan dalam ayat (4).3. diwartakan dalam kebaktian hari Minggu dua minggu berturut-turut. Pasal 7 PENDETA (1) Pemanggilan Pendeta dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Pemanggilan Pendeta dari seorang yang belum berjabatan Pendeta harus melalui proses pencalonan,

pemilihan, pemanggilan, pembimbingan, pendampingan, ujian calon Pendeta, vikariat, dan penahbisan. 2. Pemanggilan Pendeta dari seorang yang sudah berjabatan Pendeta dari GKJ lain harus melalui proses pencalonan, pemilihan, pemanggilan, dan peneguhan. 3. Pemanggilan Pendeta dari seorang yang sudah berjabatan Pendeta dari gereja lain yang seajaran harus melalui proses pencalonan, pemilihan, pemanggilan, pembimbingan, pendampingan, ujian calon Pendeta, dan peneguhan. (2) Syarat-syarat: 1. Warga Sidi GKJ atau Gereja lain yang ajarannya seasas, yang tidak sedang dalam pamerdi, dan dipandang layak untuk menjadi seorang Pendeta. 2. Telah menamatkan studi teologia sekurang-kurangnya jenjang S1 dari pendidikan teologia yang didukung oleh Sinode GKJ. 3. Bersedia menerima Pokok-pokok Ajaran GKJ serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ. 4. Memiliki kemampuan dan bersedia untuk menjadi Pendeta sebagai panggilan spiritual. 5. Syarat tambahan dapat ditentukan Majelis Gereja sesuai dengan konteks kebutuhan setempat sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa syarat-syarat di atas. (3) Status Kependetaan. 1. Pendeta GKJ pada hakikatnya adalah Pendeta GKJ tertentu. 2. Pendeta GKJ tertentu memiliki keabsahan dan kewenangan pelayanan di lingkup Klasis dan Sinode GKJ serta Gereja-gereja lain anggota PGI. 3. Pendeta GKJ pada hakikatnya adalah pelayan penuh waktu 4. Pendeta GKJ tidak dapat merangkap sebagai tenaga penuh waktu di lembaga lain. 5. Pendeta GKJ tertentu dapat diutus menjadi PPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4) Tugas Pendeta: 1. Tugas Umum, sesuai dengan Pasal 5.(1), tentang Tugas Majelis.

2. Tugas Khusus: a. Memimpin Pelayanan Sakramen. b. Memimpin Pelayanan Pengakuan Percaya atau Sidi. c. Memimpin Pelayanan Pengakuan Pertobatan. d. Memimpin Pelayanan Penahbisan dan atau Peneguhan pejabat gerejawi serta pelantikan badanbadan pembantu majelis. e. Memimpin Pelayanan Peneguhan Pernikahan dan Pemberkatan Perkawinan Gerejawi. (5) Masa Jabatan Pendeta. Jabatan Pendeta berlaku seumur hidup, kecuali jabatan Pendeta itu ditanggalkan. Pasal 8 PEMANGGILAN PENDETA YANG BELUM BERJABATAN PENDETA Pemanggilan Pendeta yang belum berjabatan Pendeta dilakukan sebagai berikut: (1) Pencalonan dan Pemilihan. 1. Gereja yang akan memanggil Pendeta menyampaikan program pemanggilan Pendeta kepada Klasis. Klasis melakukan visitasi dan pendampingan. Tujuan visitasi dan pendampingan itu untuk meneliti kelayakan Gereja pemanggil dan bakal calon Pendeta yang akan dipanggil. 2. Suatu Gereja dinyatakan layak memanggil Pendeta apabila: a. Mempunyai kesadaran akan kebutuhan tenaga Pendeta untuk membangun kehidupan bergereja. b. Mempunyai kesadaran menundukkan diri atas kehendak dan campur tangan Allah dalam proses pemanggilan itu. c. Mempunyai kesadaran untuk menghindari perpecahan gereja. d. Mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi hidup dan pelayanan Pendeta.

3. Majelis Gereja dapat menentukan kriteria tambahan selain syarat umum yang ditetapkan pada pasal 7. (2) bagi bakal calon Pendeta yang diinginkan asal tidak bertentangan dengan jiwa persyaratan umum. 4. Majelis Gereja mempersilakan para warga gereja untuk ikut mencari bakal calon Pendeta dalam batas waktu tertentu, dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan. 5. Dengan mempertimbangkan masukan dari warga gereja, Majelis Gereja menetapkan bakal calon Pendeta. Bakal calon Pendeta itu dapat tunggal atau tidak tunggal. 6. Majelis Gereja menyampaikan surat untuk menanyakan kesanggupan atau ketidak-sanggupan bakal calon Pendeta yang bersangkutan. 7. Majelis Gereja menyelenggarakan masa pengenalan antara warga Gereja dengan bakal calon Pendeta yang belum berjabatan Pendeta. Pengenalan itu melalui segala kegiatan di Gereja tersebut sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 8. Majelis Gereja menentukan calon Pendeta sementara berdasarkan hasil pengenalan dan rekomendasi Gereja asal calon Pendeta sementara tentang kelayakannya dipanggil sebagai calon Pendeta. 9. Nama calon Pendeta sementara diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut. 10. Di bawah tanggung jawab Majelis Gereja, pada hari yang ditentukan diselenggarakan pemilihan calon Pendeta sementara. Dalam hal calon Pendeta sementara tersebut hanya tunggal, jumlah minimal suara warga Gereja yang memilih sekurang-kurangnya 70% dari suara masuk yang sah untuk menetapkan calon Pendeta terpilih. Dalam hal calon Pendeta sementara berjumlah jamak, jumlah minimal suara warga Gereja yang memilih sekurang-kurangnya 50% + 1 dari suara masuk yang sah untuk menetapkan calon Pendeta terpilih. Pemilihan dianggap sah apabila diikuti oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah warga gereja yang mempunyai hak pilih.

11. Warga Gereja yang boleh memilih adalah warga gereja dewasa dari Gereja bersangkutan yang tidak sedang dalam pamerdi. 12. Dengan memperhatikan hasil pemilihan oleh warga gereja, Majelis Gereja menetapkan calon Pendeta terpilih. 13. Nama calon Pendeta terpilih diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut, agar warga gereja ikut mempertimbangkan kelayakan calon Pendeta terpilih tersebut. 14. Apabila tidak ada keberatan yang sah, Majelis menyampaikan surat panggilan kepada calon Pendeta terpilih dilampiri daftar fasilitas yang disediakan oleh Majelis. 15. Menanggapi surat panggilan dari Majelis Gereja pemanggil, calon Pendeta terpilih memberikan jawaban bersedia atau tidak bersedia. 16. Setelah mendapat surat kesediaan dari calon Pendeta terpilih, Majelis Gereja pemanggil mengatur kepindahan tempat tinggal dan kewarga-gerejaan calon tersebut ke Gereja pemanggil. (2) Pembimbingan dan pendampingan calon Pendeta terpilih. 1. Majelis Gereja menyampaikan permohonan kepada Sidang Klasis, agar dilakukan pembimbingan dan ujian calon Pendeta bagi calon Pendeta terpilih yang telah dipanggil dengan melampirkan berkas administratif. 2. Menanggapi Permohonan Gereja agar dilakukan pembimbingan dan ujian calon Pendeta, Sidang Klasis menunjuk Tim Pembimbingan yang sekaligus merupakan Tim Penguji bagi calon Pendeta terpilih. 3. Materi pembimbingan terdiri atas: a. Khotbah. b. Pokok-pokok Ajaran GKJ. c.. d. Sejarah GKJ. 4. Waktu pembimbingan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan.

5. Majelis Gereja membentuk Tim Pendamping yang bertugas mendampingi calon Pendeta terpilih tersebut demi terbentuknya perilaku sebagai Pendeta, antara lain dalam hal kesalehan, tanggung jawab, kedisiplinan, kesetiaan, kerajinan, ketekunan dalam pelayanan, kemampuan berinteraksi sosial, dan kepemimpinan. (3) Ujian calon Pendeta. 1. Ujian calon Pendeta adalah ujian untuk meneliti kehidupan calon Pendeta terpilih tentang kelayakan perilaku, pandangan teologis, pemahaman wawasan konteks GKJ, dan potensi keterampilan pelayanannya sebagai Pendeta. 2. Ujian calon Pendeta dilaksanakan di dalam Sidang Klasis setelah: a. Pemeriksaan syarat-syarat administrasi dinyatakan lengkap. b. Majelis menyampaikan surat pernyataan bahwa dari segi perilaku calon Pendeta terpilih yang bersangkutan layak sebagai Pendeta. c. Tim Pembimbing menyatakan bahwa calon Pendeta terpilih telah mengikuti pembimbingan dan layak untuk menempuh ujian calon Pendeta. 3. Materi ujian terdiri atas: a. Khotbah. b. Pokok-pokok Ajaran GKJ. c.. d. Sejarah GKJ. 4. Penguji calon Pendeta terdiri atas: a. Tim Pembimbing yang sekaligus penguji yang ditunjuk oleh persidangan Klasis. b. Utusan Utama (primus) Gereja-gereja ke sidang Klasis, kecuali utusan Gereja pemanggil. c. Visitator Sinode. 5. Ujian calon Pendeta dilaksanakan dengan menggunakan tata tertib ujian calon Pendeta yang diputuskan oleh sidang Klasis yang menyelenggarakan ujian tersebut, yang dibuat dengan mengacu pada Pedoman Ujian calon Pendeta yang berlaku di Sinode GKJ.

6. Di dalam sidang tertutup diputuskan layak atau tidaknya calon Pendeta terpilih untuk ditahbiskan sebagai Pendeta. Keputusan tersebut disampaikan di dalam sidang terbuka. Apabila calon Pendeta terpilih dinyatakan layak tahbis, Sidang Klasis menyampaikan Surat Keputusan kelayakan calon Pendeta terpilih tersebut untuk ditahbiskan sebagai Pendeta. Calon Pendeta terpilih tersebut menyatakan janji bersedia hidup saleh sesuai dengan etika Kristen dan menerima serta memberlakukan Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta. 7. Apabila calon Pendeta terpilih tersebut dinyatakan tidak layak tahbis, Gereja yang bersangkutan hanya boleh mengajukan permohonan untuk diselenggarakan ujian calon Pendeta bagi calon Pendeta terpilih tersebut sekali lagi. (4) Masa Vikariat. 1. Bagi calon terpilih Pendeta yang telah lulus dalam ujian wajib menjalani masa Vikariat sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun. 2. Pada masa Vikariat ini calon terpilih Pendeta disebut sebagai Vikaris. 3. Vikaris memanfaatkan masa Vikariat untuk memantapkan pemahaman dan pendalaman makna panggilan, serta membangun relasi dengan segenap pihak. 4. Pada masa Vikariat seorang Vikaris dapat batal untuk ditahbiskan sebagai Pendeta apabila: a. Mengundurkan diri dengan alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan. b. Tidak taat pada Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta Tata Gereja dan Laksana GKJ. c. Berperilaku yang menyebabkan kehidupan Gereja tidak mencerminkan kemuliaan Tuhan Yesus Kristus. 5. Pembatalan seorang Vikaris untuk ditahbiskan sebagai Pendeta dilakukan melalui prosedur: a. Majelis Gereja Pemanggil atas dasar keputusan Sidang Majelis Gereja mengusulkan rencana pembatalan tersebut kepada Sidang Klasis.

b. Sidang Klasis menanggapi usulan Majelis Gereja Pemanggil tersebut dengan melakukan klarifikasi terhadap Vikaris dan pihak-pihak yang dipandang perlu dan selanjutnya mengambil keputusan. c. Jika Sidang Klasis menyetujui usulan pembatalan itu, maka Majelis Gereja Pemanggil mengumumkan hal pembatalan tersebut dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut. d. Jika Sidang Klasis menolak usulan pembatalan itu maka Majelis Gereja Pemanggil memberi kesempatan bagi Vikaris untuk memperpanjang masa Vikariat selama 1 (satu) tahun atau memberi kesempatan Vikaris menerima panggilan dari Gereja lain. e. Jika dalam masa perpanjangan itu Vikaris tersebut menerima panggilan dari GKJ lain, maka Gereja Pemanggil tersebut memberlakukan ketentuan proses pemanggilan dalam pasal ini dengan tanpa pembimbingan dan ujian calon Pendeta. f. Jika setelah masa perpanjangan Vikariat satu tahun telah dijalani ternyata Vikaris itu tetap tidak layak ditahbiskan sebagai Pendeta atau tidak ada Gereja lain yang memanggil, maka Majelis Gereja Pemanggil mengusulkan kepada Sidang Klasis untuk mengesahkan keputusan Majelis Gereja Pemanggil menghentikan proses penahbisan Vikaris tersebut sebagai Pendeta. Majelis Gereja Pemanggil mengumumkan hal tersebut dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut. (5) Penahbisan Pendeta. Penahbisan seorang Vikaris menjadi seorang Pendeta dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Nama Vikaris dan rencana penahbisannya diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturutturut, dengan maksud agar setiap warga Gereja turut mendoakan rencana penahbisan tersebut.

2. Penahbisan Pendeta dilaksanakan di dalam kebaktian khusus dengan menggunakan pertelaan yang berlaku di Sinode GKJ. 3. Dalam kebaktian tersebut Majelis Gereja menyerahkan: (1) Alkitab. (2) Alat-alat Pelayanan Sakramen. (3) Surat Keputusan Penahbisan dari Majelis Gereja. Pasal 9 PEMANGGILAN PENDETA TERHADAP PENDETA GKJ LAIN Pemanggilan Pendeta terhadap Pendeta GKJ lain dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Suatu GKJ dapat memanggil pendeta dari GKJ lain demi: 1. Pengembangan GKJ secara menyeluruh. 2. Penyegaran pelayanan baik Pendeta maupun gereja yang dilayani. 3. Upaya terakhir penyelesaian masalah ketidakharmonisan hubungan pendeta dan gereja. (2) Seorang Pendeta GKJ dapat dipanggil oleh GKJ lain setelah melayani sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Pendeta di GKJ tersebut. (3) Proses pemanggilan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Majelis Gereja yang akan memanggil Pendeta menyampaikan program pemanggilan Pendeta tersebut kepada Klasis. Klasis melakukan visitasi dan pendampingan. Tujuan visitasi dan pendampingan itu untuk meneliti kelayakan Gereja Pemanggil dan Pendeta GKJ lain yang akan dipanggil. 2. Suatu Gereja dinyatakan layak memanggil Pendeta apabila: a. Mempunyai kesadaran akan kebutuhan tenaga Pendeta untuk membangun kehidupan bergereja. b. Mempunyai kesadaran menundukkan diri atas kehendak dan campur tangan Allah dalam proses pemanggilan itu.

c. Mempunyai kesadaran untuk menghindari perpecahan gereja. d. Mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi hidup dan pelayanan Pendeta. 3. Majelis Gereja Pemanggil dapat menentukan kriteria tambahan bagi Pendeta GKJ lain yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan. 4. Majelis Gereja mempersilakan para warga gereja untuk mengusulkan Pendeta GKJ lain yang akan dipanggil dalam batas waktu tertentu dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan. 5. Dengan mempertimbangkan masukan dari warga gereja Majelis Gereja Pemanggil menetapkan Pendeta GKJ lain yang akan dipanggil menjadi calon tunggal. 6. Majelis Gereja Pemanggil terlebih dahulu membicarakan segala sesuatu tentang pemanggilan itu dengan Gereja asal dan Klasis yang bersangkutan, agar kepindahan Pendeta itu berlangsung secara baik. Selanjutnya, Majelis Gereja Pemanggil menyampaikan surat untuk menanyakan kesanggupan atau ketidaksanggupan Pendeta GKJ lain yang akan dipanggil. 7. Jika Pendeta GKJ lain yang akan dipanggil menyatakan kesanggupan, maka perlu disusun Nota Kesepakatan antara Majelis Gereja Pemanggil dan Majelis Gereja asal Pendeta yang akan dipanggil, beserta Pendeta tersebut dan diketahui Klasis masing-masing. 8. Nota Kesepakatan tersebut berisi: a. Pengaturan waktu dan biaya pada masa orientasi. b. Biaya Hidup Pendeta selama masa orientasi dan biaya-biaya lain terkait dengan proses pemanggilan. c. Status kependetaan jika yang bersangkutan gagal dalam proses pemanggilan. 9. Majelis Gereja pemanggil menyelenggarakan masa pengenalan antara warga Gereja dan Pendeta GKJ lain. Masa pengenalan tersebut sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan.

10. Majelis Gereja pemanggil menetapkan Pendeta GKJ lain yang akan dipanggil menjadi calon Pendeta bagi Gereja pemanggil. 11. Nama Pendeta GKJ lain yang menjadi calon Pendeta bagi gereja pemanggil diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut di Gereja pemanggil. 12. Di bawah tanggung jawab Majelis Gereja pemanggil, pada hari yang ditentukan diselenggarakan pemilihan Pendeta GKJ lain bagi Gereja pemanggil. Jumlah minimal suara warga gereja yang memilih sekurang-kurangnya 70% untuk menetapkan calon terpilih Pendeta. Pemilihan dianggap sah apabila diikuti oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah warga gereja yang mempunyai hak pilih. 13. Warga Gereja yang boleh memilih adalah warga Gereja dewasa dari gereja yang bersangkutan yang tidak sedang dalam pamerdi. 14. Dengan memperhatikan hasil pemilihan oleh warga Gereja yang sekurang-kurangnya mencapai jumlah suara 70% dari suara masuk yang sah, Majelis Gereja pemanggil menetapkan Pendeta GKJ lain menjadi Pendeta terpilih bagi GKJ pemanggil. 15. Nama Pendeta terpilih diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut, dengan maksud agar warga Gereja ikut mempertimbangkan kelayakan Pendeta terpilih tersebut dan mendoakannya. 16. Apabila tidak ada keberatan yang sah, Majelis menyampaikan surat panggilan kepada Pendeta terpilih dilampiri daftar fasilitas yang disediakan oleh Gereja pemanggil. 17. Menanggapi surat panggilan dari Majelis Gereja pemanggil, Pendeta terpilih memberikan jawaban bersedia atau tidak bersedia. 18. Setelah mendapat surat kesediaan dari Pendeta terpilih, Majelis Gereja pemanggil mengatur kepindahan tempat tinggal dan kewargagerejaan calon tersebut ke Gereja pemanggil.