BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. yang membawa kepada suatu perubahan adalah reformasi hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. dengan sedikit bantuan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

MONITORING REALISASI APBD 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. kinerja kepala daerah beserta wakil rakyat di kursi dewan.

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999) merupakan sebagai titik awal adanya otonomi daerah. Kedua landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dengan pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat serta telah membuka jalan bagi pelaksanaan reformasi sektor publik di Indonesia. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah yaitu meningkatkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal teserbut demi terciptanya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan (Siregar, 2004:291). 1

2 Otonomi daerah diterapkan pada setiap pemerintah daerah baik Kota dan Kabupaten termasuk di Provinsi Jawa Barat, yang semula sentralisasi fiskal menjadi desentralisasi fiskal. Dalam hal ini pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengatur sendiri urusan pemerintahan daerah seperti yang berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Yani, 2008:369). Diterapkannya otonomi daerah baik di Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah setempat untuk menggali potensi-potensi sumber keuangan di daerahnya untuk meningkatkan pendapatan daerah dan sekaligus dapat mengalokasikan sumber daya ke belanja daerah sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat di daerahnya (Sumarmi, 2010). Salah satu belanja daerah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah adalah belanja modal. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan menyebutkan bahwa belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud.

3 Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Sumarmi, 2010). Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini pemerintah pusat mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan bahwa sumber pembiayaan dalam membiayai belanja daerah yaitu pendapatan daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah, transfer pemerintah pusat, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, sumber pendapatan daerah lainnya yaitu bersumber dari transfer pemerintah pusat berupa dana perimbangan. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menyebutkan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan bertujuan

4 mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antar-pemerintah daerah. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun, adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat (Keefer dan Khemani, 2003; dalam Putro, 2010). Berdasarkan informasi yang dikutip dari surat kabar Pikiran Rakyat tahun 2013 tekait belanja modal yaitu mengenai "Realisasi Belanja Modal Pemprov Jabar Dinilai Masih Sangat Kecil". Laporan Kanwil Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat-Banten) menyebutkan bahwa kalangan pengamat menilai proses peralihan Gubernur Jawa Barat menjadi penyebab kecilnya realisasi belanja modal dalam APBD Jabar pada triwulan I/2012. Dalam periode tersebut, realisasi belanja modal pemerintah provinsi masih sangat kecil. Berdasarkan laporan Kanwil Bank Indonesia wilayah VI (Jawa Barat-Banten), pada triwulan I/2013 belanja modal yang direalisasikan baru sebesar 0,82% dari total belanja modal yang dianggarkan sebesar Rp1,192 triliun. Pencapaian ini sangat rendah jika dibandingkan dengan realisasi belanja modal pada triwulan I/2012 yang dapat mencapai 5,19% dari total belanja modal sebesar Rp1,31 triliun. Berdasarkan laporan Kanwil Bank

5 Indonesia wilayah VI, realisasi belanja Pemprov Jabar pada triwulan I/2013 masih didominasi belanja operasi, seperti belanja pegawai dan hibah. Pengamat ekonomi Unpas, Acuviarta Kartabi mengungkapkan bahwa kinerja pemerintah kurang optimal bila porsi belanja pegawai lebih tinggi ketimbang belanja modal yang sifatnya tak langsung. Apalagi bila mengingat banyak sarana prasarana di Jabar masih banyak yang belum optimal, seperti jalan raya yang rusak (Wijanarko, 2013). Informasi lain yang dikutip dari surat kabar Tempo tahun 2015 tekait belanja modal yaitu mengenai "Serapan APBD Jawa Barat Baru 36 Persen". Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa menyebutkan bahwa serapan anggaran pemerintah Jawa Barat baru 36 persen terhitung 21 Agustus 2015 dari total anggaran murni tahun ini Rp 25,25 triliun, posisinya sudah Rp 9,67 triliun (Fikri, 2015). Hal tersebut didukung dari informasi yang dikutip dari Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2015 terkait belanja modal yaitu mengenai "APBD 2015, Serapan Belanja Modal Mengkhawatirkan". Dari informasi tersebut menyebutkan bahwa secara keseluruhan realisasi penyerapan anggaran baru mencapai 39,45%. Sejumlah provinsi yang penyerapan anggarannya rendah antara lain Kalimantan Utara 19%, DKI Jakarta 19%, Papua 22%, dan Jawa Barat 26%. Sejumlah provinsi lainnya sudah mencatatkan realisasi di atas 50%, yakni Kalimantan Tengah 56%, Gorontalo 54%, Maluku Utara 53%, dan Sulawesi Tenggara 51% (Faisal, 2015).

6 Berdasarkan kasus mengenai penyerapan anggaran belanja modal di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa masih kurang maksimalnya kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pengalokasian belanja modal. Pada semester I tahun 2013 penyerapan anggaran belanja modal lebih rendah dibandingkan dengan semester I tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2015, penyerapan anggaran belanja modal masih dinilai kecil, bahkan Provinsi Jawa Barat tergolong kedalam provinsi yang penyerapan anggarannya rendah. Selain itu berdasarkan data yang diperoleh Badan Statistik Porvinsi Jawa Barat akan disajikan gambaran mengenai pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan alokasi belanja modal di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2011-2015 yaitu sebagai berikut : Tabel 1.1 Data Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Belanja Modal Seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Periode 2011-2015 (Ribuan Rupiah) Tahun Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Belanja Modal 2011 5.868.899.656 24.990.708.470 6.020.287.635 2012 7.909.533.925 30.559.423.881 9.685.250.878 2013 10.200.597.602 32.767.486.136 11.710.021.513 2014 14.071.981.881 35.344.852.099 12.498.764.012 2015 16.053.210.661 36.556.735.769 15.120.997.523 Sumber : Data diolah (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat) Berdasarkan tabel di atas pada tahun 2011-2015 menunjukkan bahwa nilai pendapatan asli daerah dan dana perimbangan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan nilai tersebut diikuti dengan meningkatnya belanja modal setiap tahunnya. Namun pada kenyataannya nilai belanja modal yang terus meningkat tidak diimbangi dengan realisasi penyerapan anggaran belanja modal yang tinggi seperti pada pembahasan sebelumnya (Faisal, 2015). Salah satu

7 provinsi yang penyerapan anggaran belanja modalnya masih rendah yaitu Provinsi Jawa Barat (Faisal, 2015). Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan mampu mendorong peningkatan alokasi belanja modal daerah (Wertianti dan Dwirandra, 2013). Selain itu tidak sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa dana perimbangan yang merupakan dana transfer dari pemerintah pusat akan menjadi insentif pemerintah daerah untuk membiayai belanja daerah yang salah satunya yaitu belanja modal (Sasana, 2011). Beberapa penelitian terdahulu yang pernah melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengalokasian belanja modal sudah pernah dilakukan, seperti diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013) yang meneliti mengenai pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH terhadap pengalokasian belanja modal. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa DAU, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, sedangkan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Secara simultan variabel PAD, DAU, DAK, dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Marlia (2015) yang meneliti mengenai pengaruh pendapatan asli daerah dan dana perimbangan terhadap belanja daerah. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan pendapatan asli daerah dan dana perimbangan terhadap belanja daerah. Berdasarkan hasil uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai alokasi belanja modal dengan judul penelitian yang akan diajukan yaitu sebagai berikut :

8 "Analisis Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Alokasi Belanja Modal Pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Periode 2013-2015" 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan penulis, dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran pendapatan asli daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015. 2. Bagaimana gambaran dana perimbangan di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015. 3. Bagaimana gambaran alokasi belanja modal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah di atas, secara khusus penelitian ini bermaksud untuk : 1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran pendapatan asli daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015. 2. Untuk mengetahui bagaimana gambaran dana perimbangan di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015. 3. Untuk mengetahui bagaimana gambaran alokasi belanja modal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015.

9 1.3.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah di atas, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk memberikan solusi menyangkut gambaran pendapatan asli daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015. 2. Untuk memberikan solusi menyangkut gambaran dana perimbangan di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015. 3. Untuk memberikan solusi menyangkut gambaran alokasi belanja modal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2013-2015. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat diantaranya sebagai berikut : 1. Bagi Penulis Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan alokasi belanja modal di Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, serta menambah pemahaman terkait perbandingan antara konsep yang diberikan pada masa perkuliahan dengan penerapannya langsung di instansi pemerintahan.

10 2. Bagi Pemerintah Bahan masukan kepada Pemerintah Kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat dalam mengambil kebijaksanaan untuk terus meningkatkan dan mengembangkan daerahnya di masa yang akan datang terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 3. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk pengembangan serta menjadi sumber informasi atau masukan bagi peneliti selanjutnya dalam bidang yang sama. 4. Bagi Akuntansi Sektor Publik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi untuk para instansi akuntansi sektor publik Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat untuk memahami konsep pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan alokasi belanja modal di Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. 1.5 Waktu dan Lokasi Penelitian Dalam rangka untuk memperoleh data yang dibutuhkan oleh peniliti dalam penulisan skripsi ini, peniliti melakukan penelitian pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan dari bulan April 2017 sampai dengan bulan September 2017.