PERFORMANSI NILA SRIKANDI DAN NILA MERAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI UDANG WINDU SISTEM POLIKULTUR DI TAMBAK MARGINAL

dokumen-dokumen yang mirip
PENAMPIL AN NIL A GESIT

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA

BUDIDAYA MULTITROPIK UDANG WINDU (Penaeus monodon), NILA MERAH (Oreochromis niloticus), DAN RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) DI TAMBAK

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TAMBAK MEL ALUI BUDIDAYA PERIKANAN TERPADU

dan nila merah hybrid F 2 yang dipelihara di tambak. Sebagai perlakuan pada penelitian ini adalah A = penggunaan benih nila merah hybrid F 1

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA EKSTENSIF PLUS DI LAHAN MARGINAL

PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK

PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA

PEMANFAATAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) UNTUK MENGONTROL KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI TAMBAK

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jln. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros, Sulawesi Selatan

NILA MERAH AIR TAWAR, PELUANG BUDIDAYANYA DI TAMBAK AIR PAYAU

SERAPAN TIRAM Crassostrea iredalei TERHADAP POPULASI Nannochloropsis sp. DENGAN KEPADATAN AWAL BERBEDA

PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA

PRINSIP BUDIDAYA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei DI TAMBAK DENGAN TEKNOLOGI EKSTENSIF PLUS

DESAIN WADAH BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SEMI INTENSIF DI TAMBAK

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TAMBAK MELALUI PENGGUNAAN PROBIOTIK PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon)

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TEKNOLOGI INTENSIF MENGGUNAKAN BENIH TOKOLAN

Polikultur rajungan, udang vanamei, ikan bandeng, dan rumput laut di tambak (Suharyanto) Suharyanto *) *)

PEMANFAATAN JERAMI, PUPUK KANDANG, DAN RUMPUT LAUT SEBAGAI PUPUK ORGANIK PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK

TOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

FLUKTUASI OKSIGEN TERLARUT HARIAN PADA TAMBAK POLIKULTUR UDANG WINDU (Penaeus monodon), RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.), DAN IKAN BANDENG (Chanos chanos)

PARAMETER KUALITAS AIR

Suharyanto, Muhammad Tjaronge, dan Abdul Mansyur

KINERJA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA SUPER INTENSIF DAN ANALISIS BIAYA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014

Muhammad Nur Syafaat* & Abdul Mansyur

APLIKASI KAPUR TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAH SULFAT MASAM UNTUK GELONDONGAN NENER BANDENG

PENGGUNAAN RESERVOIR TERHADAP PERFORMA UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabricius) YANG DIBUDIDAYAKAN SECARA TRADISIONAL

I. PENDAHULUAN. budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta

Berkala Perikanan Terubuk, Juli 2011, hlm ISSN

PERTUMBUHAN CALON INDUK IKAN BERONANG Siganus guttatus TURUNAN PERTAMA (F-1) DENGAN BOBOT BADAN YANG BERBEDA

STRATEGI PENGELOL AAN PAKAN YANG EFISIEN PADA BUDIDAYA UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei POL A SEMI-INTENSIF DI TAMBAK

TINGKAT KONSUMSI OKSIGEN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DAN MODEL PENGELOLAAN OKSIGEN PADA TAMBAK INTENSIF

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan

JENIS DAN KOMPOSISI PL ANKTON PADA BUDIDAYA POLIKULTUR UDANG WINDU, UDANG VANAME, IKAN BANDENG, DAN RUMPUT LAUT DI TAMBAK

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

FLUKTUASI SUHU AIR HARIAN DAN PENGELOLAANNYA DI PETAK PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon)

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 70% wilayah perairan dengan daya dukung lingkungan yang

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

Bab V Hasil dan Pembahasan

MANAJEMEN KUALITAS AIR

GROUPER FAPERIK ISSN

PEMASYARAKATAN IPTEK BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SISTEM TRADISIONAL PLUS DI BARRU, SULAWESI SELATAN

GROUPER FAPERIK ISSN

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

nila dibedakan menjadi dua yaitu pakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae.

1291 Kajian aspek biologi dan sosial pada budidaya... (Nur Ansari Rangka) ABSTRAK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

PRODUKSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK BIOCRETE DENGAN PADAT PENEBARAN BERBEDA

PENCEGAHAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK MELALUI APLIKASI BAKTERI PROBIOTIK RICA

Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 1, Maret 2015

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XI (2): ISSN:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

PENOKOLAN UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab. DALAM HAPA PADA TAMBAK INTENSIF DENGAN PADAT TEBAR BERBEDA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Balai Benih Ikan Inovatif ( BBII ) merupakan unit pelaksanaan teknis daerah

PERIKANAN BUDIDAYA (AKUAKULTUR) Riza Rahman Hakim, S.Pi

Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014

DINAMIKA PLANKTON PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon FABRICIUS) YANG MENGGUNAKAN JENIS PUPUK ORGANIK DI TAMBAK

HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK BIOCRETE

PEMBERDAYAAN PEMBUDIDAYA IKAN DAN UDANG TAMBAK, DESA KENDALKEMLAGI, KECAMATAN KARANGGENENG, KABUPATEN LAMONGAN, PROPINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia,

PERTUMBUHAN DAN SINTASAN UDANG VANAMEI POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN KEPADATAN BERBEDA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 29, Maros, Sulawesi Selatan Diserahkan tanggal 26 Februari 2014 Diterima tanggal 2 april 2014

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DENGAN BEBERAPA PRIORITAS PENGELOLAAN TAMBAK DI KABUPATEN SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR

PRODUKSI TOKOLAN UDANG VANAMEI (Litopenaeus vannamei) DALAM HAPA DENGAN PADAT PENEBARAN YANG BERBEDA

I. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang banyak digemari

PENGARUH DOSIS PAKAN BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS Cyprinus carpio DAN IKAN BAUNG Macrones sp DENGAN SISTEM CAGE-CUM-CAGE

KARAKTERISTIK KUALITAS PERAIRAN TAMBAK DI KABUPATEN PONTIANAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

TAMBAK PLASTIK MULSA UNTUK BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SEMI INTENSIF

[ GROUPER FAPERIK] [Pick the date]

Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa Makassar ABSTRAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGGUNAAN KOMBINASI BERAGAM PAKAN HIJAUAN DAN PAKAN KOMERSIAL TERHADAP PERTAMBAHAN BOBOT IKAN GURAME (Osphronemus gouramy Lac.)

TINJAUAN PUSTAKA. ujung paparan benua (continental shelf) atau kedalaman kira-kira 200 m. Pulau-Pulau Kecil diantaranya adalah sebagai berikut :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDEDERAN IKAN PATIN DI KOLAM OUTDOOR UNTUK MENGHASILKAN BENIH SIAP TEBAR DI WADUK MALAHAYU, BREBES, JAWA TENGAH

FAKTOR DOMINAN PENGELOLAAN TAMBAK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TAMBAK KABUPATEN BERAU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN TEKNIK PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI BAK TERPAL BAPPL STP SERANG, BANTEN

PEMASYARAKATAN TEKNOLOGI BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SISTEM POLIKULTUR DENGAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI TAMBAK SALINITAS RENDAH

Transkripsi:

691 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 PERFORMANSI NILA SRIKANDI DAN NILA MERAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI UDANG WINDU SISTEM POLIKULTUR DI TAMBAK MARGINAL ABSTRAK Markus Mangampa Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi selatan E-mail: mmangampa@yahoo.com Budidaya sistem polikultur sudah lama dikenal oleh pembudidaya tradisional, namun masih terbatas pada dua komoditas polikultur yaitu udang windu dan bandeng. Sistim polikultur ini menggunakan nila srikandi atau nila merah untuk memanfaatkan potensi sumberdaya lahan marginal secara optimal. Tujuan penelitian ini adalah melihat performansi (sinergitas) kedua jenis nila dalam meningkatkan produksi udang windu dengan sistim polikultur pada kondisi musim hujan di lahan marginal. Di samping itu. memanfaatkan potensi sumberdaya secara optimal sehingga dapat meningkatkan produktivitas tambak marginal (TSM dan tanah gambut). Kegiatan ini dilakukan di tambak pembudidaya di kabupaten Luwu Timur, menggunakan 2 petak tambak berukuran masing masing 1,0 ha pada musim hujan, dengan perlakuan polikultur udang windu dan bandeng dengan jenis nila yang berbeda yaitu perlakuan polikultur A: udang windu: 30.000 ekor/ha, bandeng 1500 ekor/ha, nila srikandi: 1500 ekor/ha, dan polikultur B udang windu: 30.000 ekor/ha, bandeng 1500 ekor/ha, nila merah: 1500 ekor/ha, setiap perlakuan tanpa ulangan. Waktu pemeliharaan ± 90 hari. Hasil polikultur dengan nila srikandi (A) diperoleh produksi udang windu (286,0 kg/ha/musim) lebih tinggi dibandingkan dengan produksi udang windu (208,5 kg/ha/musim) yang dipolikultur dengan nila merah (B). Demikian pula produksi nila srikandi (310 kg/ha/musim) lebih tinggi dibanding produksi nila merah (236 kg/ha/musim). Komoditas bandeng hanya digunakan sebagai kontrol biologis ke-2 polikultur dengan produksi (A):189,5 kg/ha/musim dan (B):240,5 kg/ha/musim (1 tahun= 2 musim). Peubah mutu air umumnya masih layak untuk budidaya kecuali salinitas, alkalinitas sangat rendah dan BOT yang cukup tinggi karena tanah sulfat masam (lahan marginal). Polikultur dengan nila srikandi memberikan performan yang lebih baik untuk meningkatkan produksi udang windu dibandingkan dengan nila merah, pada kondisi salinitas rendah Namun produksi udang windu ke 2 polikultur ini lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi existing produksi udang windu rata rata baru mencapai 128 kg/ha/tahun. KATA KUNCI: polikultur, udang windu, nila srikandi, nila merah, bandeng PENDAHULUAN Kemajuan teknologi budidaya udang khususnya intensif dan super intensif dalam dapat memacu produksi yang tinggi, namun kadang menciptakan sistim budidaya yang tidak ramah lingkungan. Penurunan produksi disebabkan oleh kegagalan panen akibat penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada timbulnya bermacam-macam penyakit, antara lain udang merah akibat Monodon Bacullo Virus (MBV), udang bintik putih akibat White Spot Syndrome Virus (WSSV), dan udang ekor geripis akibat vibriosis (Atmomarsono et al., 2004 Kondisi ini menyebabkan produksi udang khususnya udang windu menurun, dan hampir menyeluruh di negara penghasil udang budidaya. Di sisi lain kebutuhan konsumsi udang masyarakat internasional semakin meningkat, sehingga kondisi ini merupakan peluang yang baik bagi negara penghasil udang, khususnya Indonesia untuk dapat meningkatkan jumlah produksi udangnya. Disamping itu sebagian besar pembudidaya sistem ekstensif (sederhana) mengharapkan bangkitnya kembali budidaya udang windu di tambak sebagai komoditas asli (tropik) Indonesia. Salah satu teknologi yang diharapkan dapat meningkatkan produksi dan membangkitkan kembali kejayaan produksi udang windu adalah sistem polikultur. Polikultur adalah merupakan budi daya bersama dari berbagai spesies ikan dengan tingkat tropik yang sama, dimana organisme tersebut secara bersama-sama melakukan proses biologi dan kimia dengan beberapa keuntungan yang bersinergi dalam ekosistem. Sistem ini menyatukan bermacam-macam spesies yang menempati

Performansi nila Srikandi dan nila merah... (Markus Mangampa) 692 beberapa niche yang sesuai, dengan padat penebaran dan manajemen budi daya yang rendah low impact dalam satu kolam/tambak. Keunggulan sistem ini antara lain: hemat energi, dapat meminimalkan risiko penyakit udang (mengurangi resiko kegagalan panen), meniadakan penggunaan antibiotik, meminimalkan biaya operasional, memperbaiki pertumbuhan udang dan ikan, menghasilkan produk makanan laut berkualitas, dan memberikan nilai tambah petani. Ikan nila merah srikandi (Oreochromis aureus x O. niloticus) dan nila merah (Oreochromis niloticus) komoditas polikultur yang memiliki sejumlah keunggulan seperti dapat menghambat perkembangan dan penularan virus seperti penyakit EMS (Chucherd, 2013). harga yang terjangkau dan kandungan proteinnya yang tinggi, dan juga merupakan salah satu jenis ikan yang potensial dikembangkan. Apalagi budi dayanya relatif mudah dengan pertumbuhan yang relatif cepat. Ikan nila merah juga tidak mengandung kolesterol sehingga aman untuk kesehatan jantung. Keunggulan ini membuat ikan nila relatif mudah diterima masyarakat dan memiliki peluang pasar yang sangat baik serta menjangkau semua segmen. Bahkan, permintaan bukan hanya dari pasar domestik, tapi juga manca negara, dan sangat disukai masyarakat Singapura dan Jepang karena durinya relatif lebih sedikit serta warna tubuhnya menarik. Sebagai ikan yang tergolong euryhaline, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut baik di kolam, tambak dan KJA (Cholik et al., 1990; Pirzan et al., 2002; Tonnek et al., 2003). Tujuan penelitian ini adalah melihat performansi (sinergitas) kedua jenis nila dalam meningkatkan produksi udang windu dengan sistim polikultur pada kondisi musim hujan di lahan marginal. Di samping itu. memanfaatkan potensi sumberdaya secara optimal sehingga dapat meningkatkan produktivitas tambak marginal (TSM dan tanah gambut).dan memberikan nilai tambah bagi pembudidaya tambak ekstensif. METODE PENELITIAN Polikultur ini dilakukan di tambak pembudidaya kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada kondisi musim hujan. Tambak ini merupakan lahan marginal yaitu jauh dari sumber air asin (daerah pinggiran) dan kondisi tanah dasar adalah tanah sulfat masam (TSM). Menggunakan 2 petak tambak berukuran 1,0 ha/petak. Komoditas polikultur yang digunakan adalah udang windu (Penaeus monodon) ukuran tokolan PL-42 (0,197±0,21 g) kepadatan 30.000 ekor/petak, dan gelondongan bandeng (Chanos chanos) ukuran16,5±8,63 g, nila srikandi (Oreochromis aureus x O. niloticus): 28,5±3,5 g; dan nila merah (Oreochromis niloticus):16,5±8,63g; masing masing kepadatan 1.500 ekor/petak. Komposisi komoditas polikultur ini terdiri atas: polikultur A: udang windu: 30.000 ekor/ha, bandeng 1500 ekor/ ha, nila srikandi: 1500 ekor/ha, dan polikultur B udang windu: 30.000 ekor/ha, bandeng 1.500 ekor/ ha, nila merah: 1.500 ekor/ha, tanpa ulangan. Wakitu pemeliharaan ± 90 hari Persiapan tambak meliputi: perbaikan pematang, keduk teplok, pengeringan tanah dasar, dan, pemberantasan hama menggunakan saponin dengan dosis 15-20 mg/l sesuai dengan kondisi iklim dan kadar garam, pengapuran tanah dasar menggunakan kapur bakar dan dolomit 800 kg/ ha, pemupukan dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik untuk penumbuhan makanan alami. dan peninggian air untuk persiapan penebaran. Aplikasi probiotik dilakukan 1 minggu sebelum penebaran. Pemberian pakan komersil untuk udang windu dilakukan pada minggu terakhir bulan pertama pemeliharaan dengan dosis 2-12% dari bobot biomassa dan frekuensi pemberian pakan 2-3 kali/hari, sesuai dengan protap pemberian pakan.. Parameter kualitas air meliputi suhu, oksigen terlarut, salinitas, ph diamati setiap minggu, sedangkan BOT, alkalinitas, amoniak, nitrit, nirat, phosphate, plankton, dan bakteri diamati setiap 2 minggu. Parameter biologi yang diukur meliputi pertumbuhan udang, ikan dan rumput laut (Zonneveld et al., 1991) setiap 2 minggu. Sintasan (Effendi, 1997). rasio konversi pakan (Watanabe, 1988), produksi, dan analisis usaha dihitung pada akhir penelitian Data dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN BAHASAN Pertumbuhan, Sintasan, dan Produksi Pertumbuhan, sintasan, dan produksi udang windu, nila srikandi, nila merah, dan bandeng pada

693 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 penelitian ini memperlihatkan pola sebaran yang relatif sama untuk polikultur A yaitu udang windu, nila srikandi, bandeng dengan polikultur B: udang windu, nila merah dan bandeng (Tabel 1). Tabel 1. Pertumbuhan dan sintasan udang windu yang dipolikultur dengan 2 spesies nila yang berbeda dan ikan bandeng sebagai kontrol biologis Parameter Perlakuan A Perlakuan B Udang windu Nila srikandi Bandeng Udang windu Nila merah Bandeng Padat tebar (ekor/petak) 30 1500 1500 30 1500 1500 Bobot awal (g) 0,197±0,21 28,51±3,50 16,53±8,63 0,197±0,21 26,54±8,67 16,53±8,63 Bobot akhir (g) 25,6±3,45 285,7±19,4 208,1±25,5 20,3±5,05 221,3±17,6 210,4±45,5 Pertumbuhan mutlak (g) 25,4±3,45 257,19 191,57 20,1±5,05 194,76 193,87 Sintasan (%) 37,21 72,3 60,7 34,17 71,96 76,16 Produksi (kg/ha) 286,0 310,0 189,5 208,5 236 240,5 Rasio konversi pakan (RKP) 1,66 - - 1,95 - Pertumbuhan udang windu relatif tinggi pada polikultur A dengan pertumbuhan mutlak 25,4±3,45 g dibanding polikultur B: 20,1±5,05 g, demikian pula pertumbuhan mutlak nila srikandi lebih tinggi 257,19 dibanding dengan nila merah. Hal ini disebabkan kebiasaan makan nila merah lebih aktif sehingga pakan komersil untuk udang windu diduga sebagian dihabiskan oleh nila merah, yang berdampak kepada rasio konversi pakan (RKP) udang windu yang cukup tinggi 1,0:1,95. Sedangkan pertumbuhan mutlak nila merah lebih rendah, akibat dari kondisi kualitas air yaitu kisaran salinitas yang rendah < 15 ppt. Nila merah sebagai ikan yang tergolong euryhaline memiliki range kadar garam yang luas, namun pertumbuhan nila merah lebih tinggi pada kisaran salinitas 25-35 ppt, sehingga dengan sistem budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di laut menghasilkan ukuran yang lebih besar dan produksi yang tinggi (Cholik et al., 1990; Pirzan et al., 2002; Tonnek et al., 2003). Berbeda dengan nila srikandi pada kisaran salinitas lebih rendah mendekati tawar, pertumbuhan lebih cepat dengan produksi yang tinggi. Pertumbuhan dan produksi udang windu cukup tinggi, demikian pula RKP yang rendah memperlihatkan bahwa pada kepadatan 1500 ekor/ha, nila srikandi relatif tidak berkompetisi makanan dengan udang windu (Gambar 1). Kondisi kadar garam yang rendah ini memberikan peluang hydrilla tumbuh lebat sebagai makanan nila srikandi. Mangampa (2014) melaporkan kepadatan optimal udang windu dengan sistem polikultur adalah 3 ekor/ha, dengan kepadatan nila dan bandeng msing masing 0,15 ekor/ha. Gambar 1. Pertumbuhan udang windu, nila srikandi, nila merah dan bandeng selama 90 hari pemeliharaan

Performansi nila Srikandi dan nila merah... (Markus Mangampa) 694 Sintasan udang windu cukup rendah dengan nilai yang relatifif sama untuk ke-2 komposisi poilkultur yaitu polikultur (A) 37,21%; dan polikultur (B) 34,17% (Gambar 2). Salah satu faktor menyebabkan rendahnya sintasan ini adalah menurunnya salinitas sejak awal pemeliharaan, bahkan sepanjang pemeliharaan sehingga diduga kematian terjadi pada awal penebaran. Sintasan nila srikandi dan nila merah tidak berbeda untuk kedua polikultur dan relatif tinggi, demikian pula sintasan bandeng relatif sama untuk ke-2 perlakuan polikultur. Gambar 2. Sintasan (%) udang windu, nila srikandi, nila merah, dan bandeng selama 90 hari pemeliharaan Produksi udang windu cukup tinggi pada polikultur A yaitu: 286,0 kg/ha dibandingkan dengan produksi polikultur B: 208,5 kg/ha. Demikian pula produksi nila srikandi relatif tinggi yaitu 310,0 kg/ha, sedangkan produksi nila merah hanya mencapai: 236,0 kg/ha. Namun produksi bandeng lebih tinggi pada polikultur B: 240,5 kg/ha dibanding produksi bandeng polikultur A yaitu 184,5. Hal ini disebabkan oleh sintasan yang lebih tinggi pada polikultur B: 76,16%, sedangkan polikultur A 60,3%, walaupun pertumbuhan mutlak ikan bandeng ke 2 polikultur relatif sama (Gambar 3). Produksi ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kondisi existing produksi udang windu rata rata baru mencapai 128 kg/ha/tahun. Produksi nila srikandi yang berbeda nyata dengan nila merah disebabkan kondisi makanan alami yaitu pertumbuhan hydrylla lebih subur pada polikultur A, sedangkan pertumbuhan lumut lebih subur pada plikultur B. Ikan nila cenderung memanfaatkan hydrylla sedangkan bandeng lebih suka memakan lumut. Gambar 3. Produksi (kg/ha) udang windu, nila srikandi, nila merah, dan bandeng

695 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 Kualitas Air Peubah mutu air yang diamati seperti suhu, ph oksigen terlarut (DO), salinitas, nitrit, nitrat, fosfat, alkalinitas dan bahan organik total (BOT) memperlihatkan pola sebaran yang relatif sama untuk ke-2 perlakuan, dengan kisaran yang masih layak untuk kehidupan udang dan ikan (Tabel 2). Tabel 2. Kisaran peubah mutu air tambak polikultur (A) udang windu, nila srikandi, bandeng dan polikultur (B) udang windu, nila merah, dan bandeng selama 90 hari pemeliharaan Peubah mutu air A (Nila srikandi) Perlakuan B (Nila merah) Suhu ( o C) 28,55±3,47 (26,1-31,0) 30,16±5,064 (2,88-35,1) ph 7,8±0,3 (7,4-8,0) 8,36±0,664(7,05-10,0) DO (mg/l) 5,4±2,1 (3,9-6,9) 5,98±2,488(0,68-12,09) Salinitas (ppt) 9,86±3,44 (6,0-15) 9,14±2,91(5,0-14) Alkalinitas (mg/l) 90,58±17,26 (60,95-108,62) 111,58±20,61(83,88-149,48) BOT (mg/l) 36,27±5,46 (28,93-44,33) 42,93±6,83(32,85-50,67) Nitrit (mg/l) 0,02±0,011 (0,01-0,027) 0,019±0,023(0,001-0,125) Nitrat (mg/l) 0,13±0,098 (0,06-0,24) 0,258±0,692(0,001-3,973) Fosfat (mg/l) 0,21±0,208 (0,07-0,45) 0,595±1,633(0,003-8,590) Amoniak (mg/l) 0,35±0,338 (0,05-0,78) 0,340±0,305(0,091-1,423) Namun beberapa peubah mutu air ini memperlihatkan kondisi yang ekstrim, seperti salinitas, alkalinitas dan bahan organik total (BOT). Salinitas air tambak relatif rendah 9,86±3,44 (6,0-15) pada tambak polikultur A dan 9,14±2,91(5,0-14) pada tambak polikultur B (Gambar 4). Hal ini disebabkan kegiatan penelitian dilakukan pada musim hujan sehingga sumber air yang berasal dari sungai Malili dipengaruhi oleh pasok air tawar dari hulu. Kisaran salinitas yang rendah ini berlangsung cukup lama sampai musim hujan berakhir. Salinitas yang sangat rendah pada saat penebaran dan awal pemeliharaan merupakan salah satu faktor rendahnya sintasan udang windu. Gambar 4. Kisaran salinitas (ppt) air tambak polikultur A dan polikultur B Konsentrasi alkalinitas awal pemeliharaan cukup normal sampai dengan pemeliharaan pertengahan bulan pertama dengan kisaran 95,65-105,12 ppm, pada polikultur A dan 110,48-115,28

Performansi nila Srikandi dan nila merah... (Markus Mangampa) 696 ppm pada polikultur B (Gambar 5). Optimalnya alkalinitas ini disebabkan pengapuran dasar tambak menggunakan dolomit super dengan dosis 500 kg/ha, walaupun kisaran salinitas cukup rendah. Gambar 5. Kisaran Alkalinitas (ppm) air tambak polikultur A dan polikultur B Namun setelah pertengahan sampai dengan akhir bulan pertama alkalinitas menurun drastis mencapai 60,95 ppm polikultur A dan 83,88 mg/l pada polikultur B. Penurunan ini seiring dengan menurunnya salinitas sampai titik terendah. Sesudah itu alkalinitas semakin naik mencapai titik optimun 102,17 mg/l pada polikultur A dan 149,48 mg/l pada polikultur B. Kondisi ini disebabkan perubahan frekuensi pengapuran susulan dari 10 hari menjadi 5 hari dengan dosis 5 mg/l. Bahan organik total (BOT) menggambarkan kandungan bahan organik total suatu perairan yang terdiri atas bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid. Fluktuasi BOT selama pemeliharan relatif kecil dengan kisaran yang cukup tinggi untuk budidaya udang yaitu polikultur A 36,27±5,46 (28,93-44,33) mg/l dan polikultur B 42,93±6,83(32,85-50,67) mg/l (Gambar 6). Menurut Boyd & Fast (1992), kandungan bahan organik terlarut suatu perairan normal adalah maksimum 15 mg/l, kandungan bahan organik terlarut tinggi maka dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga menurunkan daya tahan udang. Adiwijaya et al. (2003) melaporkan bahwa kisaran BOT yang layak untuk budidaya udang vaname adalah kisaran BOT yang optimal <55 Gambar 6. Konsentrasi BOT (mg/l) air tambak polikultur A dan polikultur B

697 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 mg/l. Fluktuasi BOT yang relatif kecil disebabkan aplikasi probiotik secara rutin selama pemeliharan sehingga terjadi penguraian bahan organik. Aplikasi probiotik bertujuan untuk membantu aktivitas bakteri dalam penguraian bahan organik menjadi senyawa sederhana (Poernomo, 2004). Plankton Kelimpahan fitoplankton maupun zooplankton sangat berfluktuasi baik pada setiap petak maupun pada setiap komposisi komoditas polikultur. Hal ini disebabkan kondisi cuaca yaitu kurangnya cahaya matahari (kondisi musim hujan), sehingga kelimpahan fitoplankton yang banyak tidak dapat bertahan lama, walaupun dilakukan pemupukan tanah dasar dan pemupukan susulan dengan pupuk organik dan anorganik. Kelimpahan fitoplankton relatif banyak pada polikultur B mencapai 80 sel/ml yang didominasi oleh Skeletonema sp, Oscillatoria sp., Nitzschia sp., Biddulphia sp., Diploneis sp. Sedangkan kelimpahan zooplankton relatif banyak pada polikultur A mencapai 160 sel/ml. dan didominasi oleh Brachionus sp., Copepoda, Acartia sp., dan Tortanus sp. Pada awal pemeliharaan baik fytoplankton maupun zooplankton relatif sedikit akibat kurangnya penetrasi cahaya matahari (musim hujan), walapun sudah dilakukan pemupukan dasar dengan pupuk organik dan anorganik. Gambar7. (Kiri) Kelimpahan fitoplankton (sel/ml) dan (Kanan) kelimpahan zooplankton (sel/ ml) selama pemeliharaan KESIMPULAN Polikultur dengan nila srikandi memberikan performan yang lebih baik untuk meningkatkan produksi udang windu 286,0 kg/ha/musim dibandingkan dengan produksi udang windu: 208,5 kg/ ha musim yang dipolikultur dengan nila merah pada kondisi salinitas rendah Namun produksi udang windu ke-2 polikultur ini lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi existing produksi udang windu rata rata baru mencapai 128 kg/ha/tahun. Produksi nila srikandi juga lebih tinggi: 310 kg/ha/musim dibandingkan dengan produksi nila merah 236 kg/ha/musim. Hal ini memperlihatkan kehidupan yang sinergi antara udang windu dan nila srikandi pada kondisi musim hujan. Ketahanan terhadap lingkungan salinitas rendah ke-2 jenis nila tidak berbeda, namun kesukaan makan yang berdampak kepada laju pertumbuhan nila srikandi lebih baik dibandingkan dengan nila merah. DAFTAR ACUAN Adiwijaya, D., Sapto, P.R., Sutikno, E., Sugeng, & Subiyanto. (2003). Budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, 29 hlm. Atmomarsono, M., Muliani, & Ismawati, S. (1995). Prospek Penggunaan Tandon pada Budidaya Udang Windu. Makalah disajikan pada Aplikasi Paket Teknologi di Instalasi Penelitian & Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Wonocolo,Surabaya 2-4 juli 1995. Boyd, C.E., & Fast. A.W. (1992). Pond monitoring and management. Marine Shrimp Culture Principles and Practices. Elsevier Science Publishing Comp. Inc, New York, p. 497-513.

Performansi nila Srikandi dan nila merah... (Markus Mangampa) 698 Cholik, F., Rachmansyah, & Tonnek, S. (1990). Pengaruh padat penebaran terhadap produksi nila merah (Oreochromis niloticus) di KJA. J. Penel. Budidaya Pantai, (8)2, 57-62. Churcherd, N. (2013). The Case Study of EMS in Thailand, The Practical Asian Aquaculture. Vol. 4, Issue 13. April-Jun 2013, 43 pp. Efendie, M.I. (1979). Biologi Perikanan. Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 163 hlm. Mangampa, M. (2014). Polikultur Udang Windu (Penaeus monodon), Bandeng (Chanos chanos), Nila srikandi (Oreochromis aureus x O. niloticus) dan Rumput laut (Gracilaria verrucosa) di tambak sulfat masam, (TSM). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014, hlm. 01-13. Pirzan, A.M., Tahe, S., & Ismail, A. (2002). Polikultur udang windu, Penaeus monodon dan nila merah, Oreochromis niloticus di tambak. J. Pen. Budidaya Pantai, 8(2), 63-70. Poernomo, A. (2004). Teknologi Probiotik Untuk Mengatasi Permasalahan Tambak udang dan Lingkungan Budidaya. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Pengembangan Ilmu dan Inovasi Teknologi dalam Budidaya. Semarang, 27 29 Januari. 2004, 24 hlm. Tonnek, S., Pongsapan, D.S., & Rachmansyah. (2003). Polikultur nila merah dan beronang dalam keramba jaring apung di laut. J. Penel. Budidaya Pantai, (9)3, 47-56. Watanabe, T. (1988). Fish nutrition and mariculture, JICA textboox. The General Aquaculture Course, Japan, 233 pp. Zonneveld, N., Huisman, E.A., & Boom, J.H. (1991). Prinsip prinsip Budi daya Ikan, Pustaka Utama. Gramedia. Jakarta, 318 hlm.