BAB I PENDAHULUAN. Makna hidup (the meaning of life) adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil didalam masyarakat tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KENAKALAN REMAJA. NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. berperan bagi kehidupan seseorang dikarenakan intensitas dan frekuensinya yang

Definisi keluarga broken home menurut Gerungan (2009:199) adalah:

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang pendidikan, maka berbicara pula tentang perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. indah itu adalah masa remaja, karena pada saat remaja manusia banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. setiap anak. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua anak dapat merasakan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. pemberian rangsangan pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, 2011). Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. dicintai, dapat lebih memaknai kehidupannya dan memiliki perasaan. yang mengalami penderitaan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tujuan yang ingin dicapai oleh anak dapat terwujud. Motivasi anak dalam meraih

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. ). Sedangkan Semua agama ( yang diakui ) di Indonesia tidak ada yang. menganjurkan untuk menceraikan istri atau suami kita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERNIKAHAN AWAL

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Dunia ini tidak pernah lepas dari kehidupan. Ketika lahir, sudah disambut

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh

1.1 Latar Belakang Masalah

kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan remaja. Beberapa kejadian misalnya; kehilangan orang yang dicintai, konflik keluarga,

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari hasil pembahasan pada bab IV, oleh peneliti rumuskan suatu. kesimpulan, kesimpulan umum dan kesimpulan khusus.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengikuti mereka. Biasanya, pasangan yang bertahan lama dalam masa

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

I. PENDAHULUAN. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB l PENDAHULUAN. berikut : pernikahan adalah ikatan lahir batin antara suami istri denga tujuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis.

KEBERMAKNAAN HIDUP PADA JANDA.

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi

BAB I PENDAHULUAN. keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BABI PENDAHULUAN. Dalam menjalani suatu kehidupan, banyak orang yang mempunyai pemikiran

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makna hidup (the meaning of life) adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life) (Bastaman, 2007). Kebermaknaan hidup menurut Frankl (dalam Schultz, 1991) adalah sebagai suatu usaha pemenuhan diri dan aktualisasi diri dengan tidak berfokus pada diri melainkan dengan cara menghayati kualitas dan tujuan hidup. Makna hidup sangat khas dan unik bagi setiap individu serta dapat dikemukakan dalam semua situasi termasuk penderitaan dan kematian. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, khususnya pada pekerjaan dan karya bakti yang dilakukan, serta dalam keyakinan dan harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman, dan cinta kasih. Bila itu berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang merasakan hidupnya yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness). Bahagia bukanlah suatu tujuan, tetapi merupakan efek samping dari makna hidup yang telah manusia raih. Kebahagiaan tidak dapat dikejar dan ditangkap, ia timbul secara spontan dari pemenuhan arti, dari mencapai tujuan di luar diri (Frankl, 1967). Makna hidup mengandung pengertian yang menunjukkan bahwa dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Mengingat antara

makna hidup dan tujuan hidup tak dapat dipisahkan, maka untuk keperluan praktis pengertian makna hidup dan tujuan hidup disamakan. Masa remaja adalah masa dimana seorang mengalami saat kritis sebab ia akan menginjak ke masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya (Hurlock, 1999). Keluarga merupakan tempat pertama anak-anak mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental emosional dan spiritual seperti juga yang dikatakan oleh Malinowski (Megawangi, 1999) tentang principle of legitimacy sebagai basis keluarga, struktur sosial (masyarakat) harus di internalisasikan sejak individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan memahami posisi dan kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya dalam masyarakat kelak setelah ia dewasa. Dengan kata lain, keluarga merupakan agen terpenting yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan lingkungan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan satu fungsi tertentu bukan yang bersifat alami saja melainkan juga adanya berbagai faktor atau kekuatan yang ada di sekitar keluarga, seperti nilai-nilai, norma dan tingkah laku serta faktor-faktor lain yang ada di masyarakat. Awal mula terbentuknya suatu keluarga didasari oleh kebutuhan dasar setiap individu. (Rogers, 1993) mengatakan setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan dan cinta dari orang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu, conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak bersyarat). Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi

sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Kebutuhan inilah yang diharapkan individu dapat terpenuhi dalam membangun suatu keluarga. Dengan perkawinan yang harmonis maka kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terpenuhi. Karena itulah pada dasarnya setiap pasangan menginginkan perkawinan mereka berjalan lancar. Namun menurut Laswell dan Lobsenz (1987), perkawinan disebut sebagai hal yang paling sulit jika mungkin dinyatakan sebagai usaha sosial. Mengarah pada seberapa baik kebanyakan orang mempersiapkannya dan seberapa besar harapan mereka terhadap hal tersebut, gambarannya seringkali tidak terbukti benar. Pada kenyataannya memang tidak sedikit pasangan suami istri yang gagal mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Di Indonesia angka perceraian terbilang sangat tinggi. Dalam artikel di situs BKKBN data tahun 2001, jumlah perceraian di Indonesia per tahun mencapai 200.000 kasus. Sementara angka perkawinan mencapai dua juta pasangan per tahunnya. Angka perceraian di Bandung contohnya, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. dari data yang diperoleh di Pengadilan Agama Bandung kelas 1A, pada tahun 2003 tercatat jumlah perceraian mencapai 1.712 kasus. Kasus perceraian meningkat sedikit menjadi 1.741 pada tahun 2004. Peningkatan kembali terjadi pada tahun 2005, sehingga perceraian mencapai 1.867 kasus dan terus meningkat pada tahun 2006 dan 2.085 kasus pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2008, kasus perceraian jumlahnya meningkat pesat menjadi 2.590 kasus. Angka perceraian yang terjadi di Kota Bandung meningkat pada November 2009, kasus perceraian yang masuk ke pengadilan mencapai 3.795 perkara, sedangkan sepanjang 2010 sebanyak 2.629 perkara. Untuk kasus talak pada tahun 2011 tercatat ada 961 perkara (18,72 persen) dan cerai gugat paling besar yakni 2.834 perkara (55,21 persen). Artinya terjadi kenaikan dibanding tahun 2010, masing-masing cerai talak 964 perkara dan cerai gugat mencapai 2.665 perkara (www.bkkbn.com/2001/1).

Berdasarkan data tersebut, kasus perceraian umumnya terjadi pada kisaran usia perkawinan sekitar dua hingga lima belas tahun dengan kisaran jumlah anak dua hingga empat orang. Data ini merupakan salah satu gambaran kuantitas dari Pengadilan Agama Islam saja, belum termasuk kepada kasus perceraian yang diputuskan oleh Kantor Catatan Sipil dan yang berpisah begitu saja tanpa ada legalisasinya. Sementara itu sebelum perceraian dipilih sebagai penyelesaian konflik pasangan perkawinan sebelumnya terdapat jeda waktu yang diisi oleh berbagai konflik dengan intensitas penyertaan emosional ringan sampai dengan berat serta beberapa kemungkinan tindakan yang menyita energi psikis. Konsekuensi negatif ini tentunya akan berpengaruh pada kedua belah pihak. Disamping itu, resiko negatif juga akan dirasakan oleh anggota keluarga lainnnya terutama anak. Misalnya efek yang merusak perkembangan psikologis anak, termasuk depresi, menarik diri dari pergaulan sosial, kompetensi sosial yang rendah, persoalan kesehatan yang terabaikan, performasi akademik yang menurun dan rendah serta berbagai persoalan gangguan perilaku anak yang terkait dengan kesukaran emosional yang dihadapi anak-anak yang berbeda dalam kondisi konflik marital (Sadarjoen, 2005). Menurut Hurlock (1997), Broken home merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perpisahan. Hal ini dikarenakan perkawinan tersebut dilandasi dengan pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasan-alasan yang lain (Hurlock, 1997). Efek perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak dari keluarga. Pada umumnya anak yang orangtuanya bercerai atau menikah lagi merasa malu karena mereka merasa berbeda. Hal ini sangat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila mereka tinggal dalam lingkungan dimana sebagian besar dari teman

bermainnya juga berasal dari keluarga yang telah bercerai atau menikah lagi (Hurlock, 1997). Konflik setelah perceraian mengakibatkan suasana keluarga menjadi tidak menyenangkan. Perceraian orangtua akan menunjukkan bahwa kasus tersebut akan membawa trauma pada setiap tingkatan dan dengan kadar yang berbeda seperti yang dijelaskan Dagun (2002). Penelitian di Amerika (Sadarjoen, 2005) membuktikan bahwa orang dewasa yang pernah mengalami perceraian kedua orangtuanya pada masa kanak-kanak, merasa lebih rentan terhadap situasi stress dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami perceraian kedua orangtuanya. Lebih jauh Sadarjoen mengatakan, bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak pakar tentang perkawinan menghasilkan data empirik yang membuktikan adanya hubungan yang erat antara hancurnya perkawinan dengan hancurnya sistem keluarga. Hal ini terkait dengan perkembangan perilaku delinquency, kemiskinan, kekerasan, kegagalan pendidikan formal, depresi, ketergantungan zat-zat psikotropika, tingkat kesehatan dan bahkan produktifitas kerja. Penelitian di Indonesia pada tahun 2005 mencatat 42% anak-anak nakal (deliquent) merupakan anak-anak dari keluarga yang bercerai dan hanya 13% yang non delinquent, studi klasik Gluecks (2007) membandingkan 500 pelanggar dan 500 bukan pelanggar menemukan bahwa di atas 60% pelanggar datang dari keluarga yang berantakan dibandingkan dengan bukan pelanggar. Dan studi terakhir dilakukan oleh Haskell dan Yablonsky (2009) yang menemukan bukti jelas adanya hubungan antara kenakalan remaja dan perceraian kedua orangtua. Hal ini menunjukkan bahwa perceraian orangtua membawa pengaruh buruk bagi anak. Padahal perceraian hanyalah salah satu faktor penyebab terjadinya kondisi keluarga broken home. Salah satu contoh kasus anak korban perceraian kedua orangtuanya adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh salah seorang siswa SMA 70 berinisial FT terhadap Alawy Yusanto Putra salah satu siswa SMA 6 saat tawuran di Bulungan, Jakarta Selatan pada bulan

September tahun 2012. Kasus ini wajib dijadikan pelajaran bagi semua orang tua, sebab FT diketahui sebagai anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtuanya. Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni nam Sholeh mengatakan, FT yang duduk di kelas tiga SMA 70 sudah lama berpisah dari orang tuanya. perhatian orang tuanya kepada FT ini tidak optimal (http://jakarta.okezone.com) Merujuk dari kasus di atas diketahui bahwa di mata anak-anak, perceraian adalah bentuk penyiksaan dan menimbulkan traumatis serta luka mendalam. Apalagi sang anak kerap melihat pertengkaran ayah dan ibunya. Kelihatannya kondisi anak memang baik-baik saja dalam menghadapi kondisi keluarga seperti ini. Fenomena perpecahan keluarga ini memang sangat menarik, banyak anak korban dari perceraian kedua orangtuanya melakukan penyimpangan tetapi tidak semua anak yang mengalami hal tersebut memilih untuk melakukan penyimpangan (Hurlock, 1994). Keluarga yang sangat mempengaruhi keputusan dimana seorang anak seharusnya diberi perhatian penuh sehingga mereka tidak haus kasih sayang dan tidak mencari banyak perhatian dari luar yang akhirnya dapat menjerumuskan mereka (Singgih, 2004). Terlepas dari banyaknya anak korban dari perceraian kedua orangtuanya memilih untuk berprilaku tidak baik ternyata banyak juga yang memilih untuk membuat pribadi mereka menjadi lebih bermakna. Hal ini terjadi karena berbeda cara pandang dan berbeda pengalaman yang dirasakan oleh tiap anak korban perceraian kedua orangtuanya. Kedua hal yang sangat bertentangan tetapi memang hal ini terjadi, dalam mengambil suatu keputusan seorang anak korban perceraian kedua orangtuanya dipengaruhi oleh bagaimana dia memaknai pengalamannya itu sebagai sesuatu yang menakutkan atau sebagai dorongan untuk bangkit dalam keterpurukan.

Pengalaman subjektif menentukan bagaimana seorang individu ini menentukan hidupnya, setiap orang pasti ingin bahagia namun kadang untuk anak korban perceraian kedua orangtuanya penyimpangan yang akan menjerumuskan merupakan kebahagiaan yang mereka cari, dimana mereka bisa melepaskan semua beban dan kepenatan dengan melakukan banyak aktivitas buruk, sebenarnya itu dipandang relatif tergantung sudut mana orang tersebut memandnag dan merasakannya, dan tidak semua pula anak yang berasal dari keluarga yang terpecah memandang kebahagiaan dengan melakukan hal yang negatif. Seseorang mendambakan dirinya sebagai orang yang bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, serta menjadi orang yang mampu menentukan sendiri apa yang akan dilakukannya dan apa yang paling baik bagi dirinya dan lingkungannya. Ia pun ingin dicintai dan mencintai orang lain, karena dengan demikian ia akan merasa dirinya berarti dan merasa bahagia (Bastaman, 2007). Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk menelaah pemaknaan hidup yang dilakukan oleh remaja dari kedua orangtua yang bercerai terhadap pengalaman pribadinya dengan keluarganya. B. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini tertuju pada fenomena makna hidup yang terjadi pada kalangan remaja akhir yang kedua orangtuanya bercerai. Menurut Frankl makna hidup adalah suatu hal hal yang khusus yang dirasakan penting dan diyakini sebagai sesuatu yang benar dan layak dijadikan sebagai tujuan hidup yang diraih (dalam Bastaman, 2001). Menurut Papalia, Old dan Feldman (2001) menyebut masa remaja ini sebagai masa yang tumpang tindih karena mereka bukan anak-anak lagi dan juga belum bisa dikatakan dewasa. Ini adalah masa transisi dari masa

anak-anak ke masa dewasa. Tetapi jika kebermaknaan hidup dikaitkan dengan seorang remaja yang mengalami perceraian kedua orangtuanya, Crumbuangh dan Maholick (1996) mengatakan bahwa kekurangan makna hidup yang mengisyaratkan kegagalan individu dalam menemukan pola tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang terintegrasi di dalam hidup. Sehingga hal tersebut membuat seorang remaja menjadi lemah dan kehilangan semangat untuk berjuang dalam mengatasi hambatan dalam mencapai makna hidup. Dalam proses perkembangan remaja yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya (Susanti, 2005). Yang dieksplorasi dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran makna hidup pada remaja akhir dengan kondisi keluarga yang tidak utuh dan untuk mengetahui dampak dari perpecahan keluarga itu sendiri pada remaja akhir yang menjadi subjek penelitian. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dampak yang akan terjadi pada perkembangan remaja yang mengalami perpecahan kedua orangtuanya? 2. Bagaimana remaja yang mengalami perceraian kedua orangtuanya memaknai hidupnya? D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran lebih jelas mengenai pemaknaan hidup pada remaja yang berasal dari keluarga tidak utuh di Kota Bandung. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dampak yang akan terjadi pada perkembangan seorang remaja yang mengalami perpecahan pada kedua orangtuanya. 2. Untuk mengetahui bagaimana seorang anak yang mengalami ketidakutuhan kedua orangtuanya memaknai hidupnya. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat praktis. Yaitu: 1. Manfaat Teoritis Dengan adanya penenlitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai salah satu sumber mengenai makna hidup dalam konteks peran orangtua terhadap anak di dalam lingkungan keluarganya khususnya. Penneliti berharap penelitian ini bisa dijadikan sumber referensi mengenai perpecahan kedua orang tua terhadap pengaruh perkembangan anak. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini bermaksud untuk memberikan informasi mengenai pentingknya menjaga keharmonisan dalam keluarga demi menjaga efek negative pada perkembangan anak. Sehingga dapat memberikan gambaran tentang makna hidup dan perceraian kedua orangtua yang dialami oleh remaja dan menjadi bahan pertimbangan bagi remaja agar semakin memperhatikan pergaulannya di lingkungan yang sehat. F. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Peranan dan fungsi peneliti adalah sebagai instrumen penelitian (Moleong, 2006), sedangkan pedoman wawancara (semi terstruktur) dan pengamatan langsung menyangkut aktivitas subjek termasuk sikap, mimik wajah, bahasa tubuh sebagai instrumen tambahan. G. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kota Bandung. Penelitian yang dilakukan tidak terfokus pada satu tempat, tetapi dilakukan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan informan. Subjek penelitian ini adalah dua orang remaja yang berusia 18-21 tahun, yang mengalami perceraian kedua orangtuanya, subjek berlokasi di Bandung.