ANGKA KECACINGAN PADA SISWA KELAS 3-5 SDN MULTATULI RANGKASBITUNG, KABUPATEN LEBAK BANTEN Sumiati Bedah 1, Catu Umirestu Nurdiani 2, Maktumatul Maulidah 3 1,2,3 Prodi D III Analis Kesehatan Universitas MH Thamrin Alamat Korespondensi Prodi D III Analis Kesehatan Universitas MH Thamrin Jl.Raya Pondok Gede No.23-25 Kramat Jati, Jakarta Timur ABSTRAK Soil Transmitted Helminth (STH) adalah nematoda usus yang di dalam penularannya atau siklus hidupnya melalui tanah, diantaranya Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale/necator americanus dan Trichuris trichiura. Kejadian penyakit kecacingan yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminth di Indonesia masih cukup tinggi. Kondisi lingkungan, prilaku, usia, serta tingkat pendidikan penderita merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi kecacingan. Untuk mengetahui angka infeksi kecacingan pada siswa kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten dengan dilakukan pengambilan sampel tinja dan diperiksa secara mikroskopis dengan bantuan lugol. Dan diteliti juga Personal Hygiene siswa dan fasilitas sanitasi sekolah. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa angka infeksi nematoda usus sebesar 64,44% dengan intensitas infeksi ringan. Jenis telur nematoda usus yang ditemukan dalam penelitian ini adalah Ascaris lumbricoides 33,33%, Ancylostoma duodenale/necator americanus 11,11%, dan Trichuris trichiura 15,56%, dan terdapat infeksi campuran yang ditularkan oleh Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura sebesar 4,44%. Siswa perempuan lebih banyak mengalami infeksi kecacingan dibandingkan dengan siswa laki-laki yaitu sebesar 35,56%. Sedangkan berdasarkan usia, anak usia 7-8 tahun lebih banyak mengalami infeksi kecacingan dibandingkan anak usia 9-10 tahun yaitu sebesar 35,56%. Pada personal hygiene siswa seperti kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memotong kuku, kebiasaan memakai alas kaki, dan kebiasaan makan sembarangan masih kurang baik. Untuk fasilitas sanitasi di sekolah ini sudah memadai. Kata Kunci : kecacingan siswa SD PENDAHULUAN Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi terjangkit penyakit ini. Dalam rangka menuju Indonesia Sehat, pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pembangunan tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang berkualitas (http://depkes.go.id/). Kebiasaan hidup kurang higienis menyebabkan angka terjadinya infeksi kecacingan masih cukup tinggi. Infeksi parasit terutama parasit cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat. Salah satunya banyak terjadi pada anak sekolah yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka. Infeksi cacingan yang sering adalah Soil Transmitted Helminths (STH) yang merupakan infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau dikenal sebagai penyakit cacingan. Spesies cacingan STH antara lain Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang), Ancylostoma duodenale/necator americanus (Cacing Tambang), dan Trichuris trichiura (Cacing Cambuk) (Margono dkk, 1998 : 8). Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei kecacingan di Indonesia sekitar 60%, kelompok umur terbanyak adalah pada usian 5-14 tahun. Angka prevalensi 60% itu, 21% diantaranya menyerang anak usia SD. Data tersebut diperoleh melalui survei dan penelitian yang dilakukan dibeberapa provinsi pada tahun 2006 (http://rsud.purbalinggakab. go.id/). Hasil peninjauan ke lokasi di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten terdapat beberapa Sekolah Dasar (SD) dengan keadaan hygiene siswanya belum begitu baik. Saat anak-anak pulang dari sekolah sering bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki dengan kondisi tanah atau lingkungan yang kurang baik, selain itu sanitasi sebagian penduduk belum baik karena masih ada rumah yang belum dilengkapi dengan fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus), sehingga masih ada penduduk yang buang air besar di kebun atau sawah. Kondisi demikian berakibat pada kurangnya perilaku sehat di masyarakat sehingga kemungkinan penularan penyakit seperti infeksi cacing usus cukup tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak pada tahun 2012, jumlah penderita kecacingan di SD 56
Warunggunung Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten ini mencapai 80% disebabkan oleh cacing perut. Berdasarkan hasil pengamatan pada anak-anak, fasilitas sanitasi sekolah dan pedagang di SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten yaitu anakanak ketika sekolah selalu memakai alas kaki, jajan di luar sekolah, dan tidak mencuci tangan terlebih dahulu ketika makan makanan yang mereka beli di kantin sekolah atau di luar sekolah. Hal ini memungkinkan anak-anak hidup kurang bersih dan teratur, sehingga memudahkan mereka terkena infeksi cacing. Dengan adanya fasilitas sanitasi di sekolah yang cukup baik seperti kamar mandi, kakus, wastafel, tempat sampah, dll, tidak memungkinkan anak hidup bersih sehingga bebas dari penularan infeksi kecacingan. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah dan penyakit ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas, terutama pada anak-anak. Serta tingginya angka kecacingan di Indonesia pada anak-anak usia 5-14 tahun. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti tertarik ingin melakukan penelitian dengan judul Angka Kecacingan pada Siswa Kelas 3-5 Sekolah Dasar Negri Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten. METODE Tempat Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negri Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten. Sedangkan identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah siswa kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas 3 sampai kelas 5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten yang diambil secara acak sebanyak 43 siswa (Notoatmodjo, 1991:120). Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah : a) Melakukan observasi ke SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. b) Meminta surat permohonan izin dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan MH. Thamrin. c) Meminta permohonan izin kepada pihak Sekolah Dasar setempat untuk melakukan penelitian. d) Setelah izin diperoleh, penelitian segera dilakukan dengan memberikan informasi dan penyuluhan tentang infeksi kecacingan. e) Melakukan pendataan anak-anak Sekolah Dasar Negri Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. f) Bersosialisasi dengan pihak sekolah dan anakanak Sekolah Dasar Negri Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak untuk memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan pengamatan serta cara pengambilan tinja. g) Menetapkan responden dengan 43 sampel. Peneliti mengambil 55 sampel yang dibagi 3 kelas, sehingga didapatkan hasil 18 orang perkelas dengan cara pengocokan nama. h) Setelah specimen didapat, kemudian dibawa ke Laboratorium Kesehatan Daerah, Rangkasbitung, untuk dibuat preparat dan diperiksa. i) Data diolah secara deskriptif dalam bentuk persentase. j) Pengumpulan data menggunakan check list dan kuesioner. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk memperoleh data penelitian. Instrumen dalam penelitian ini yaitu peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan tinja di laboratorium. 1. Alat : a) Obyek dan cover glass b) Sarung tangan c) Pot tinja d) Sendok Es Krim e) Lidi atau tusuk gigi f) Mikroskop 2. Bahan : a) Tinja b) Lugol 3. Cara Kerja a. Pengambilan Sampel Alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan pengambilan sampel tinja pada anak-anak Sekolah Dasar Negri Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten yaitu : pot tinja bertutup yang telah diberi label dan sendok es krim. Pot tinja yang telah diberi label diberikan kepada anak-anak Sekolah Dasar. Pengambilan sampel dibantu oleh orang tua siswa ketika berada di rumah. Banyaknya sampel yang harus diambil yaitu sebanyak 5-10 gram (kira-kira sebesar jempol orang dewasa) atau secukupnya. Setelah itu pot yang telah berisi tinja anakanak SD tersebut ditutup sampai rapat. b. Pemeriksaan Kecacingan Pemeriksaan tinja untuk mendapat informasi yang lebih akurat mengenai infeksi cacing perut. Dalam penelitian ini pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode langsung: Cara kerja pemeriksaan tinja dengan metode langsung. 1) Ditulis kaca obyek dengan spidol sesuai dengan yang tertulis di pot tinja. 2) Diteteskan 1-2 tetes lugol diatas kaca obyek Diambil tinja dengan lidi sebesar kacang hijau diatas larutan tersebut, kemudian ditutup dengan kaca penutup. 3) Diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x10. 57
Macam-macam telur cacing yang mungkin dapat ditemukan di tinja dan tanah dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini. Macam macam telur cacing yang mungkin ditemukan(sumber :http://www.dpd.cdc.gov/dpdx). Pengolahan data & Analisis Data Data hasil pemeriksaan laboratorium terhadap tinja dihitung angka insidensinya dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Jumlah sampel positif mengandung telur cacing/larva Jumlah sampel yang diperiksa x 100% HASIL 1. Angka Infeksi Kecacingan pada Siswa Kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negri Multatuli Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten Tahun 2013 dengan sampel yang didapat 45 yang terdiri dari kelas 3 sampai 5. Dari hasil penelitian terhadap angka infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah ini diperoleh hasil yang positif 29 siswa (64,44%) dan hasil yang negatif 16 siswa (35,56%). 2. Spesies Nematoda Usus yang Menginfeksi Pada spesies nematoda yang menginfeksi siswa kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak terdapat infeksi tunggal dan infeksi campuran. Infeksi tunggal yang ditularkan oleh Ascaris lumbricoides yaitu 15 siswa (33,33%), Cacing Tambang yaitu 5 siswa (11,11%) dan Trichuris trichiura yaitu 7 siswa (15,56%). Sedangkan untuk infeksi campuran ditularkan oleh Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu 2 siswa (4,44%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Spesies Nematoda Usus Yang Menginfeksi Siswa Kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten Spesie Nematoda yang Menginfeksi Hasil positif (%) a. Infeksi Tunggal Ascaris lumbricoides 15 (33,33%) Cacing Tambang 5 (11,11%) Trichuris trichiura 7 (15,56%) b. Infeksi Campuran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura 2 (4,44%) Jumlah 29 (64,44%) 1. Karakteristik Siswa Hasil penelitian yang berdasarkan karakteristik siswa yang meliputi jenis kelamin dan usia, yang lebih banyak terkena infeksi cacing adalah perempuan 16 siswa (35,56%). Sedangkan berdasarkan usia yang lebih banyak terinfeksi kecacingan adalah 9-12 tahun yang positif 16 siswa (35,56%). Hal inidapat diliht pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Dan Usia Karakteristik Responden Hasil Pemeriksaan (%) Positif Negatif Jenis Kelamin Laki-laki 13 (28,88%) 7 (15,56%) Perempuan 16 (35,56%) 9 (20%) Jumlah (%) 29 (64,44%) 16 (35,56%) 9 tahun 9 (20%) 4 (8,89%) Usia 10 tahun 8 (17,78%) 5 (11,11%) 11 tahun 8 (17,78%) 3 (6,67%) 12 tahun 4 (8,88%) 4 (8,89%) Jumlah (%) 29 (64,44%) 16 35,56%) 2. Kebersihan Pribadi Siswa Kebersihan Pribadi siswa seperti kebiasaan mencuci tangan, memotong kuku, memakai alas kaki, dan makan sembarangan dapat dilihat dari hasil kuesioner yang diberikan kepada siswa dan observasi yang dilakukan oleh peneliti. Berdasarkan hasil pada tabel 5 menunjukkan bahwa kebersihan pribadi siswa masih tergolong cukup. Hal ini dapat dilihat pada kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan maupun setelah defekasi, kebiasaan memotong kuku, kebiasaan memakai alas kaki ketika berada di luar rumah, dan kebiasaan makan sembarangan yaitu 27 siswa (60%) memiliki kebiasaan yang kurang dalam kebersihan pribadi. 58
3. Fasilitas Sanitasi Sekolah Untuk fasilitas sanitasi di SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten ini sudah lengkap dan memadai, seperti adanya Sumber Air Bersih, WC, Pembuangan Kotoran, dan Penyediaan Tempat Sampah di setiap ruangan mempunyai nilai penting bagi siswa dan semua staff yang ada. Karena hal ini meminimalisasikan angka infeksi kecacingan pada siswa. Namun demikian, masih banyak anak-anak yang kurang mengerti akan kebersihan diri sehingga fasilitas sanitasi yang ada di sekolah kurang dimanfaatkan atau bahkan tidak dimanfaatkan oleh siswa. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4 Hasil Penelitian Pada Kebersihan Pribadi Siswa Kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten Kebersihan Pribadi Hasil (%) Positif Negatif Jumlah Ya 3 15 18 (40, (16,67%) (83,33%) %) Kebiasaan Mencuci Kadang-kadang 22 5 27 Tangan (81,48%) (18,52%) (60%) Jumlah 25 20 45 Ya 5 14 19 (26,32%) (73,68%) (42,22%) Kebiasaan Memotong Kadang-kadang 19 7 26 Kuku (73,07%) (26,93%) (57,78%) Jumlah 24 16 45 Ya 2 15 17 (11,76%) (88,24%) (37,78%) Kebiasaan Memakai Alas Kadang-kadang 24 4 28 Kaki (85,71%) (14,29%) (62,22%) Jumlah 26 16 45 Ya 6 10 16 (37,5%) (52,5%) (35,56%) Kebiasaan Makan Kadang-kadang 20 9 29 Sembarangan (71,43%) (28,57%) (64,44%) Jumlah 26 19 45 (Sumber : Data Primer Terolah) Berdasarkan pada tabel di atas dapat disimpulkan tentang kebiasaan dan kebersihan pribadi siswa SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten pada tabel 5 berikut Tabel 5 Persentase Kebersihan Pribadi Siswa kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten Kebersihan Pribadi 1. Kebiasaan Mencuci Tangan 2. Kebiasaan Memotong Kuku 3. Kebiasaan Memakai Alas Kaki 4. Kebiasaan Makan Sembarangan Baik Cukup Kurang Hasil Jumlah % 18 siswa 27 siswa - 40 % 60 % 0 % Jumlah 45 siswa 100 % PEMBAHASAN Angka Infeksi Kecacingan pada Siswa Kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak pada tahun 2008, jumlah penderita cacingan di SDN Aweh 3 Kecamatan Kalanganyar mencapai 87% pada siswa kelas 3 sampai 5 disebabkan oleh cacing perut. Dan pada tahun 2012 angka infeksi kecacingan pada siswa SD Warunggunung Rangkasbitung, Kebupaten Lebak yaitu 80%, sedangkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada siswa kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak didapat hasil 59
positif terkena infeksi cacing sebanyak 29 siswa (64,44%). Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan lingkungan dan fasilitas sanitasi di sekolah yang berbeda-beda dan bagaimana cara siswa memanfaatkan fasilitas sanitasi sekolah tersebut. Spesies Nematoda Usus yang Menginfeksi Spesies Nematoda Usus yang menginfeksi siswa SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten yaitu Ascaris lumbricoides, Cacing Tambang dan Trichuris trichiura. Dan infeksi tertinggi ditularkan oleh Ascaris lumbricoides yaitu 33,33%, hal ini dijelaskan karena banyaknya telur yang dihasilkan oleh satu ekor cacing betina kira-kira 200.000 sehari. Sasongko dkk (2000) melakukan penelitian terhadap anak SD di Jakarta menyatakan bahwa prevalensi Askariasis sebesar 62,2%, Trikuriasis 46,1% dan cacing tambang 0,72%. Hal ini terbukti bahwa infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lebih besar. Gejala pada penderita Askariasis biasanya disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Sedangkan gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus) (Margono dkk, 1998 : 10). Sedangkan seseorang yang terinfeksi cacing tambang biasanya merasakan gatal yang hebat (ground itch), karena larva menembus kulit. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui paru-paru atau pada orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau pneumonitis. Penyakit cacing ini hakekatnya adalah infeksi menahun, dan orang yang dihinggapinya sering tidak menunjukkan gejala akut (Margono dkk, 1998 : 14) Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum. Kadangkadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Sedangkan jika seseorang yang terinfeksi Trichuris trichiura menahun yang sangat berat menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare, anemi berat, tinja yang sering dan sedikit dan bercampur dengan darah sedikit, sakit perut, mual dan muntah, berat badan turun dan sakit kepala dan demam ringan (Margono dkk, 1998 : 19). Beberapa survei yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa seringkali prevalensi Ascaris yang tinggi disertai dengan prevalensi Trichuris yang tinggi pula. Untuk penderita campuran yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura tidak ada dampak khusus, hanya saja pada umumnya infeksi kecacingan dapat menyebabkan gangguan gizi, anemia, gangguan pertumbuhan dan kecerdasan (Margono dkk, 1998 : 24). Karakteristik Siswa Hasil persentase berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil 35,56% untuk perempuan dan 28,88% untuk laki-laki. Dalam hal ini perempuan lebih banyak terinfeksi kecacingan dibandingkan laki-laki. Menurut hasil penelitian Haerani (2012 : 39), hasil presentase berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil 27% dan laki-laki 20%. Sehingga hasil presentase berdasarkan jenis kelamin tidak mempengaruhi seseorang yang terinfeksi kecacingan. Sedangkan persentase berdasarkan usia didapatkan hasil tertinggi pada anak usia 9 tahun yaitu 9 siswa (20%). Dan menurut hasil penelitian Haerani (2012 : 39), pada kelompok usia yang paling tinggi terinfeksi kecacingan pada usia 5-10 tahun yaitu 26%. Hal ini mungkin disebabkan pada usia tersebut anak-anak lebih aktif bermain-main dengan tanah sehingga lebih besar kemungkinan terinfeksi dan belum diimbangi dengan pengetahuan yang memadai tentang nematoda usus yang ditularkan melalui tanah, hal ini diperbesar lagi oleh prilaku kebersihan diri yang masih sangat rendah. Kebersihan Pribadi Siswa Kebersihan pribadi siswa seperti kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memotong kuku, kebiasaan memakai alas kaki, dan kebiasaan makan sembarangan dapat mempengaruhi kesehatan, sehingga mudah bagi mereka terinfeksi kecacingan. Kebiasaan tersebut sangat penting, karena kebiasaan mencuci tangan dapat mencegah penyebaran dari infeksi (www.lifebuoy.co.id). Berdasarkan hasil yang dijelaskan pada tabel 4 di atas dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada siswa, menunjukkan bahwa kebiasaan siswa dalam mencuci tangan sebelum makan, sesudah makan, dan setelah buang air masih tegolong cukup, sehingga infeksi kecacingan mudah menyerang. Karena, mereka tidak mengetahui bahwa benda-benda yang ada di sekeliling mereka terdapat telur cacing, seperti pasir yang mereka pakai untuk bermain. Ketika selesai buang air pun dianjurkan untuk mencuci tangan, karena bisa jadi telurtelur cacing yang masih menempel pada tangan. Mahfudin dkk (1994 : 41), pernah melakukan penelitian dengan menggalakan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, dan sesudah defekasi ternyata dapat menurunkan infeksi kecacingan. Cara tersebut memang sesuai dengan salah satu cara pencegahan infeksi cacing usus, yaitu pendidikan kebersihan dan kesehatan 60
perorangan yang sangat penting sebagai usaha memutuskan rantai penularan (WHO, 1997 : 41). Anak-anak selalu meremehkan atau malas untuk memotong kuku pada tiap minggunya dan membersihkannya ketika kotor. Hal ini dijelaskan pada tabel 4 di atas bahwa kebiasaan siswa dalam memotong dan membersihkan kuku masih tergolong cukup dengan didapatkannya hasil 57,78%. Hasil tersebut memungkinkan mereka terinfeksi cacing, karena telurtelur cacing yang menempel pada kuku tertelan ketika mereka makan atau memasukkan jari mereka ke dalam mulut. Kadang-kadang anak-anak suka bermain di luar rumah tanpa menggunakan alas kaki, hal ini berdampak besar bagi kesehatan mereka. Karena cacing yang berada di tanah dapat masuk dengan mudah ke dalam tubuh (www.penyakitcacingan.com). Tidak sedikit dari anak-anak yang makan buahbuahan atau sayur-sayuran tanpa dicuci terlebih dahulu, bahkan mereka sering jajan sembarangan tanpa adanya pengawasan dari orang tua. Hal ini mengakibatkan mudahnya mereka terinfeksi cacing. Karena, buahbuahan atau sayur-sayuran yang mereka makan terdapat telur cacing yang menempel pada kulit buah dan sayur atau makanan yang terkontaminasi telur cacing yang kemudian tertelan ketika dimakan. Dalam tinjauan pustaka dijelaskan bahwa anakanak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan makanan tanpa mencuci tangan, namun demikian sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing, cacing yang biasa ditemui cacing gelang, cacing tambang, cacing benang, cacing pita, dan cacing kremi (Oswari, 1991 : 53). Ditambahkan oleh Margono dkk (2003 : 8), pengetahuan penduduk yang masih rendah dan kebersihan yang kurang baik mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi cacing. Fasilitas Sanitasi Sekolah Untuk fasilitas sanitasi di SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten tidak diragukan lagi, karena adanya sumber air bersih, WC, pembuangan air kotor, dan penyediaan tempat sampah di setiap ruangan menunjukkan bahwa sekolah tersebut sudah lengkap dengan fasilitas sanitasinya. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Setelah dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis, besarnya angka infeksi kecacingan pada siswa kelas 3-5 SDN Multatuli Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten sebesar 64,44%. 2. Spesies cacing nematoda usus yang ditularkan melalui tanah diantaranya Ascaris lumbricoides, Cacing Tambang, dan Trichuris trichiura. 3. Karakteristik siswa seperti jenis kelamin tidak mempengaruhi terhadap besarnya infeksi cacing, akan tetapi pada usia mempunyai pengaruh terhadap besarnya infeksi cacingan. 4. Kebersihan Pribadi siswa seperti Kebiasaan Mencuci Tangan, Memotong Kuku, Memakai Alas Kaki, dan Makan Makanan Sembarangan masih tergolong cukup, sehingga mudah bagi mereka terinfeksi cacing. 5. Fasilitas sanitasi di SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak sudah memadai, hanya saja masih banyak siswa yang kurang memanfaatkan fasilitas sanitasi tersebut. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebagai upaya tindak lanjut, maka penulis mengemukakan saran sebagai berikut : 1. Kepala Sekolah Kepala sekolah dan staff-staffnya, hendaknya memberikan pendidikan dan bimbingan kepada siswa untuk melakukan kebiasaan menjaga kebersihan dan menyediakan UKS apabila belum tersedia. 2. Orang Tua Siswa Banyaknya siswa yang terinfeksi penyakit cacingan di SDN Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Banten menjadi bukti bahwa masih banyaknya siswa yang belum mengerti tentang menjaga kebersihan diri sehingga perlunya pengawasan dan bimbingan dari orang tua. 3. Pemerintah Daerah Setempat Perlu dilakukan pengobatan masal dan penyuluhan kesehatan mengenai kebersihan perorangan atau personal hygiene. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Cacingan, Jakarta, 2000. Entjang. I., Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tengah Kesehatan yang Sederajat, PT. Citra Aditya, Bandung, 2003. Fahmi. Umar., Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan Era Desentralisasi, Depkes RI, Jakarta, 2004. Hadidjaja. Pinardi., Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran U I, Jakarta, 1994. Haerani, D., Infeksi Nematoda Usus Yang Ditularkan Melalui Tanah Dan Faktor-faktor Yang Berhubungan Pada Anak-anak Yang Tinggal Di RW 002 Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan M.H Thamrin, 2012. Hotes. J. Peter., Soil Transmitted Helminths Infection : The Nature, Causes, 2003 Irianto. Koes., Panduan Praktikum Parasitologi Dasar, Yrama Widya, Bandung, 2009. Mansjoer. Arif., Kapita Selekta Kedokteran edisi ke 3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1999. 61
Margono, dkk., Parasitologi Kedokteran edisi ke 3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1998. Notoatmodjo. Soekidjo., Metode Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Oswari. E., Penyakit dan Penanggulangannya, PT. Gramedia, Jakarta, 1991. Purnomo., Atlas Helmintologi Kedokteran, PT. Gramedia, Jakarta, 2005 Susanto, I,. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran edisi ke 4, Penerbit FKUI, Jakarta, 2008. http://gizi.depkes.go.id/ http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23779/4/ Chapter%20II.pdf http://rsud.purbalinggakab.go.id/, Deteksi dini dan pencegahan penyakit cacing pada anak, 2012 http://sph.bu.edu, http://www.dpd.cdc.gov/dpdx www.penyakitcacingan.com, Pencegahan Penyakit Cacingan 62