BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar di sektor agribisnis. Salah satu komoditas agribisnis yang sangat berkembang dewasa ini di Indonesia adalah kelapa sawit. Perkembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia tidak lepas dari keunggulan komparatif Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit dan permintaan akan produk-produk yang dihasilkan melalui pengolahan kelapa sawit masih akan terus meningkat. Menurut Bangun (2015), kebutuhan akan minyak nabati dunia semakin meningkat dari tahun 2015 yakni 189,5 juta ton menjadi 236 juta ton pada tahun 2020. Proyeksi minyak nabati dunia pada 2020 merujuk kepada pertambahan dan peningkatan permintaan dari masing-masing negara serta produksi jenis minyaknya. Populasi penduduk dunia tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 7,72 miliar. Dari situ akan dilihat sebaiknya berapa jumlah produksi minyak sawit yang ideal agara tidak terjadi kekurangan dan dapat mencukupi. Saragih dalam Pahan (2006) mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk keluar dari status negara yang masih berkembang menjadi negara industri baru. Pahan (2006) mengatakan bahwa industri kelapa sawit merupakan salah satu industri yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Hal ini dikarenakan industri kelapa sawit merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, tersedianya berupa lahan yang subur, tenaga kerja yang produktif, dan sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun. Total produksi kelapa sawit Indonesia yang dihasilkan pada tahun 2014 mencapai 29.344.479 ton, sedangkan luas lahan kelapa sawit mencapai 10.956.231 ha. Hal ini menjadikan kelapa sawit sebagai penyumbang devisa negara terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas. Menurut status usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbagi atas perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS). Perbandingan luas lahan dari masing-masing perkebunan ditunjukkan pada gambar 1.1. 1
52% 41% PR PBN PBS 7% Gambar 1.1. Perbandingan Luas Lahan (%) Perkebunan Kelapa di Indonesia Menurut Status Usahanya. Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014 Gambar 1.1. menunjukkan hingga 2014 luas lahan perkebunan besar swasta mencapai 52% dari total luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional dan menenempatkan perkebunan besar swasta (PBS) perkebunan dengan luas lahan tertinggi saat ini, kemudian disusul oleh perkebunan rakyat yang memiliki luas lahan 41%, sedangkan perkebunan besar negara hingga tahun 2014 memiliki luasan lahan 7%, yang menempatkan perkebunan besar negara sebagai perkebunan kelapa sawit dengan luas lahan terkecil. 7% 40% 53% PBS PR PBN Gambar1.3. Perbandingan Luas Lahan Tanaman Menghasilkan (%) Perkebunan Kelapa di Indonesia Menurut Status Usahanya. Sumber : Badan Pusat Staatistik, 2014. 2
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa hingga 2014 luas tanaman menghasilkan (TM) tertiggi dimiliki perkebunan besar swasta yakni 53%, kemudian disusul oleh perkebunan rakyat yang memiliki luas tanaman menghasilkan (TM) mencapai 40%, sedangkan luas tanaman menghasilkan (TM) dimiliki oleh perkebunan besar negara (PBN) yakni 7% dan merupakan jenis usaha perkebunan kelapa sawit yang memiliki luas tanaman menghasilkan terendah hingga tahun 2014. Nilai produksi kelapa sawit Indonesia saat ini dinilai masih kurang dan masih memiliki peluang untuk ditingkatkan. DITJENBUN 2015 menyatakan bahwa salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan didalam peningkatan produksi kelapa sawit nasional adalah dengan memaksimalkan produktivitas perkebunan rakyat. Dengan luasan yang mencapai 41% dari total keseluruhan luasan lahan kelapa sawit nasional, perkebunan rakyat memiliki peran yang sangat penting didalam peningkatan produksi kelapa sawit nasional. Total produksi kelapa sawit dari masing-masing perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada gambar 1.4. 7% 37% 56% PBS PR PBN Gambar 1.3. Perbandingan Total Produksi CPO (%) tahun 2014, Perkebunan Kelapa di Indonesia Menurut Status Usahanya. Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Gambar 1.3. menunjukkan bahwa total produksi CPO tertinggi hingga 2014 dari masing-masing perkebunan di Indonesia, dihasilkan oleh perkebunan besar swasta (PBS) dengan total produksi mencapai 56%, kemudian disusul 3
oleh produksi CPO perkebunan rakyat yang mencapai 37%, sedangkan total produksi CPO terendah dihasilkan oleh perkebunan besar negara yakni 7%. Hingga tahun 2014 perkebunan rakyat memiliki produktivitas sebesar 3,26 ton CPO/ha/tahun, nilai produktivitas tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai produktivitas yang dihasilkan oleh perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta yang masing-masing produktivitasnya adalah 3,70 ton CPO/ha/tahun dan 3,78 ton CPO/ha/tahun (Badan Pusat Statistik, 2014). Rendahnya produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat dibandingkan perkebunan besar negara dan swasta juga dikatakan pada penelitian Hafif dkk (2014), pada penelitian tersebut dikatakan bahwa perkebunan kelapa sawit rakyat memiliki nilai produktivitas CPO sebesar 2,5 ton/ha/tahun, sedangkan nilai produktivitas CPO perkebunan besar negara dan swasta masing-masing berkisar 3,48-4,82 ton/ha/tahun. Kiswanto (2008) menyatakan, rendahnya produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat merupakan permasalahan yang sudah umum saat ini, namun produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat masih memiliki peluang untuk ditingkatkan antara 3,48 ton - 4,82 ton (CPO) per tahun. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat saat ini adalah buruknya praktik pertanian yang dijalankan oleh perkebunan kelapa sawit rakyat. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam usaha perkebunan diperlukan praktik pertanian yang baik (DITJENBUN 2014). Risza (2009) menyatakan salah satu upaya peningkatan produksi perkebunan kelapa sawit adalah dengan cara mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit. Selain masalah produktivitas, kelapa sawit Indonesia saat ini juga dihadapkan pada isu pasar Internasional mengenai permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai produk yang tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan. Sebagian tuduhan mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit berasal dari konversi hutan serta mengakibatkan kerusakan lingkungan karena berkurangnya daerah tangkapan air dan pencemaran pengairan dan lingkungan akibat penggunaan pupuk. Agar dapat diterima di pasar internasional, minyak sawit yang diproduksi haruslah produk yang berkelanjutan (sustainable) serta ramah lingkungan. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah asosiasi yang dibentuk oleh tujuh sektor dalam industri minyak sawit mulai dari 4
pekebun, produsen minyak sawit sampai kepada pendana, dan LSM. Tujuan dari pembentukan RSPO adalah mempromosikan pengembangan dan penggunaan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (Sucfindo, 2015). Selain mengatasi permasalahan lingkungan yang menjadi isu internasional perdagangan kelapa sawit, penerapan prinsip dan kriteria Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) juga bertujuan untuk memberi manfaat bagi petani, salah satunya adalah peningkatan produksi rata-rata perkebunan kelapa sawit melalui perawatan kebun yang lebih baik dan tepat. Petani sawit saat dinilai cenderung menggunakan pestisida dan herbisida sesuka mereka, karena kurangnya pengetahuan tentang dosis dan cara pemakaian. Sebagai contoh, penerapan RSPO di perkebunan kelapa sawit rakyat di provinsi Riau dikatakan bahwa adanya kenaikan nilai produksi rata-rata petani kelapa sawit dari 20 ton tandan buah segar (TBS) per tahun, kemudian dalam empat bulan pertama setelah pelatihan, hasil meningkat dengan proyeksi lebih dari 24 ton per tahun (Narno, 2015). Salah satu provinsi penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia setelah provinsi Riau adalah provinsi Sumatera Utara (Badan Pusat Statistik 2014). Luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi sumatera utara hingga tahun 2014 tercatat seluas 1.340.348 ha, dengan total produksi CPO sebesar 4.549.202 ton. Luas areal perkebunan kelapa sawit provinsi sumatera utara didominasi oleh perkebunan besar swasta dengan luas 631.466 ha, kemudian perkebunan rakyat seluas 393.653 ha, dan perkebunan besar negara seluas 315,229 ha (Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2014). Salah kabupaten penghasil kelapa sawit terbesar di provinsi sumatera utara adalah kabupaten Simalungun. Sektor perkebunan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap perekonomian kabupaten Simalungun. Sektor perkebunan kelapa sawit di kabupaten Simalungun didominasi oleh perkebunan rakyat yang kemudian disusul perkebunan besar negara dan perkebunan perkebunan besar swasta. Perkebunan kelapa sawit rakyat merupakan perkebunan dengan luas area terluas bila dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Luas areal perkebunan kelapa sawit rakyat di kabupaten Simalungun terus mengalami peningkatan. Luas perkebunan kelapa sawit rakyat di kabupaten Simalungun hingga tahun 2014 tercatat seluas 38.109,85 ha, dengan luas tanaman menghasilkan adalah seluas 25.947,21 ha, tanaman belum menghasilkan seluas 3.153, 42 ha, dan luas tanaman tidak menghasilkan adalah seluas 610 5
ha. Total produksi kelapa sawit perkebunan rakyat di kabupaten simalungun hingga tahun 2014 tercatat sebesar 533.889, 50 ton (TBS), (Badan Pusat Statistik Simalungun 2014). Salah satu kecamatan yang memiliki perkebunan kelapa sawit rakyat yang cukup luas di Kabupaten Simalungun adalah Kecamatan Bandar Huluan. Hingga tahun 2014 luas lahan perkebunan rakyat Kecamatan Bandar Huluan. Perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bandar Huluan saat ini telah mencapai 345,42 ha, yang terdiri dari tanaman menghasilkan 174,05 ha, tanaman belum menghasilkan 171,37 dan tanaman tidak menghasilkan 0 ha. Total produksi kelapa sawit Kecamatan Bandar Huluan tahun 2014 mencapai 2.778,97 ton (TBS). Produksi perkebunan kelapa sawit rakyat Kecamatan Bandar Huluan pada tahun 2014 adalah sebesar 15,966 ton/tahun (TBS). Angka produksi tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan fakta riset DITJENBUN 2013 yang menyatakan bahwa produksi perkebunan kelapa sawit dapat mencapai hingga 35 ton/tahun (TBS). Melihat produksi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bandar Huluan yang masih rendah, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi serta sejauh mana perkebunan rakyat sudah menerapkan prinsip-prinsip RSPO penting untuk dilakukan, sebagai upaya peningkatkan produksi perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan prinsip-prinsip RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) 1.2 Perumusan Masalah Dari pemaparan diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan diantaranya adalah : 1. Bagaimana tingkat penerapan prinsip RSPO di perkebunan kelapa sawit rakyat? 2. Bagaimana pengaruh penerapan prinsip RSPO dan faktor lain terhadap produksi perkebunan kelapa sawit rakyat? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui tingkat penerapan prinsip RSPO di perkebunan kelapa sawit rakyat. 2. Mengetahui pengaruh penerapan prinsip RSPO dan faktor lain terhadap produksi kelapa sawit sawit rakyat. 6
1.4 Manfaat penelitian 1.4.1.Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi ilmu manajemen dan agribisnis dengan : 1. Memberi gambaran tingkat penerapan praktik perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) di perkebunan kelapa sawit rakyat. 2. Memberi gambaran pengaruh penerapan praktik perkebunan terbaik dan tepat kelapa sawit menurut prinsip RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) terhadap produksi perkebunan kelapa sawit rakyat. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi perkebunan kelapa sawit rakyat. 4. Sebagai acuan bagi penelitian mengenai perkebunan kelapa sawit rakyat untuk dikembangkan lebih luas. 1.4.2. Manfaat praktis Sebagai acuan bagi para pemangku kebijakan khususnya pemerintah di dalam memperbaiki produksi perkebunan kelapa sawit rakyat serta penerapan (Roundtable on Sustainable Palm Oil) didalam produksi kelapa sawit guna mengantisipasi isu di pasar Internasional terkait permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit. 7