BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Pertengahan tahun 1990 pemeriksaan imunologi untuk C-reactive protein

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun masyarakat. Identifikasi awal faktor risiko yang. meningkatkan angka kejadian stroke, akan memberikan kontribusi

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit. yang tergolong dalam non-communicable disease atau

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

I. PENDAHULUAN. dapat ditemui pada kalangan remaja (Fatimah, 2006). kimia yang akan menimbulkan berbagi penyakit (Partodiharjo, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sudah mulai menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : ANALISIS KUALITAS HIDUP PENDERITA PPOK SETELAH DILAKUKAN PROGRAM REHABILITASI PARU No : RS/No.

BAB I PENDAHULUAN. pada paru-paru terhadap partikel asing maupun gas (GOLD, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. dunia (Musher, 2014). Penumonia komunitas merupakan penyakit infeksi saluran

BAB 1 PENDAHULUAN. kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. juta dolar Amerika setiap tahunnya (Angus et al., 2001). Di Indonesia masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi. 1. mematikan namun dapat dihindari. Berdasarkan laporan World Health

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB 1 PENDAHULUAN. komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis,

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI PEMBAHASAN. pemeriksaan dan cara lahir. Berat lahir pada kelompok kasus (3080,6+ 509,94

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, setelah penyakit jantung dan kanker, dimana setiap tahunnya lebih

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di seluruh dunia (Halbert et al., 2006). PPOK terjadi karena adanya kelainan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit hati di Indonesia umumnya masih tergolong tinggi. Berdasarkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. penyakit degeneratif. Transisi epidemiologi ini salah satunya dipengaruhi oleh pola

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertengahan tahun 1990 pemeriksaan imunologi untuk C-reactive protein (CRP) lebih banyak digunakan untuk kelainan kardiovaskular. Minat yang luas terhadap studi mengenai penanda ini terutama terjadi di Amerika Serikat. CRP merupakan bagian dari respons fase akut yang tidak spesifik terutama terhadap berbagai bentuk inflamasi, infeksi, dan kerusakan jaringan. Nilai CRP tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal dan hanya dapat dipertimbangkan jika dikaitkan dengan klinis dan hasil diagnostik lainnya. CRP merupakan penyokong diagnostik yang kuat sama halnya seperti nilai temperatur pasien yang sangat berguna secara klinis dan juga merupakan parameter tidak spesifik. 1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru dengan inflamasi kronis yang kompleks dimana terdapat keterlibatan berbagai sel inflamasi dan mediator inflamasi terhadap gas ataupun partikel beracun. 2 Meskipun proses inflamasi berlangsung di paru namun proses inflamasi kronik pada PPOK berdampak pada sistemik. Penanda inflamasi seperti CRP, LPS, molekul adhesi meningkat dalam sirkulasi sistemik. Sudah banyak studi yang dilakukan untuk menilai dampak manifestasi klinik inflamasi sistemik ini terhadap prognosa penderita PPOK. 3 Beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan peningkatan kadar CRP yang berhubungan dengan peningkatan rawat inap, penyakit kardiovaskular, dan kematian pada pasien PPOK dengan obstruktif saluran napas derajat ringan 22

sampai dengan sangat berat, seperti Man dkk. (2006) dalam studinya mengukur kadar CRP pada 4803 penderita PPOK ringan sampai menengah. Mereka menemukan pasien yang penyebab kematiannya adalah karena penyakit kardiovaskular memiliki kadar CRP dengan RR 1,51 (95% CI 1,20 1,90) dan yang dikarenakan kanker dengan RR 1.85 (95% CI 1,10 3,13). Peningkatan kadar CRP juga berhubungan dengan penurunan VEP 1 dalam 5 tahun pengamatan, sehingga disimpulkan bahwa kadar CRP dapat menjadi penanda bagi prognosis PPOK. 4 Dahl dkk. (2006) dalam studi kohort pada 1302 penderita PPOK menemukan bahwa pasien dengan kadar CRP > 3 mg/l merupakan prediktor peningkatan rawatan inap dan kematian karena PPOK dibandingkan dengan kadar CRP < 3 mg/l (p < 0,001). Setelah pengamatan 10 tahun penderita PPOK yang berusia > 70 tahun, konsumsi tembakau 15 gr/hari, VEP 1 < 50 % pred, dengan kadar CRP > 3 mg/l mengalami rawat inap sekitar 54% dan kematian sekitar 57%. Kesimpulan studi ini adalah CRP merupakan penanda yang kuat memprediksi prognosis penderita PPOK. 5 Torres dkk. (2006) dalam studinya pada 130 penderita PPOK stabil dan 65 orang kontrol sehat melaporkan bahwa kadar CRP meningkat pada penderita PPOK stabil (4.1 mg/l) yang tidak mengalami eksaserbasi berulang dalam 2 bulan, terutama yang masih merokok dibanding dengan kontrol (1.8 mg/l). Dengan hasil bahwa peningkatan kadar CRP berkorelasi negatif dengan PaO 2 dan 6 MWD, faal paru serta pemberian glukokortikosteroid tidak mempengaruhi kadar CRP. 6 Hurst dkk. (2006) meneliti 36 biomarker pada 90 pasien PPOK eksaserbasi hasilnya menunjukkan bahwa CRP merupakan penanda yang paling selektif, 23

konsentrasi CRP plasma dapat berguna dalam mengkonfirmasi PPOK eksaserbasi tetapi tidak dapat memprediksikan beratnya eksaserbasi, dan respon fase akut pada eksaserbasi berhubungan dengan fungsi monosit. 7 Perera dkk. (2007) dalam studi kohort pada 73 penderita PPOK mengukur kadar serum CRP dan IL-6 serta kadar IL-6 dan IL-8 pada sputum saat kondisi penderita PPOK stabil, eksaserbasi serta pada hari ke 7, 14, dan 35 setelah eksaserbasi. Hasilnya adalah 23% pasien tidak mengalami perbaikan gejala sampai hari ke 35, ternyata pasien ini memiliki kadar serum CRP yang lebih tinggi secara menetap selama periode pemulihan dibandingkan dengan pasien yang mengalami pemulihan ke kadar normal (p : 0,03). Sekitar 22% pasien yang mengalami eksaserbasi berulang pada hari ke 50 hari dari eksaserbasi sebelumnya berhubungan secara signifikan (p : 0,007) dengan tingginya kadar CRP pada hari ke 14 (8,8 mg/l) dibandingkan dengan kadar CRP pasien yang tidak mengalami eksaserbasi berulang (3,4 mg/l). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar CRP dapat menjadi penanda penting bagi lamanya pemulihan dan berulangnya eksaserbasi serta penanda serum inflamasi merupakan penanda yang lebih baik dari pada penanda sputum. 8 Marevic dkk. (2007) dalam studinya yang mengikutsertakan 27 pasien PPOK stabil dan 7 pasien PPOK eksaserbasi, 37 orang sehat merokok dan 23 orang sehat tidak merokok dengan hasil bahwa kadar hscrp lebih tinggi pada pasien PPOK dari pada kelompok kontrol normal (p : 0,0004), hscrp juga terbukti sebagai parameter diagnostik yang lebih sensitip dibanding TNF-a, CXCL8 dan ET-1 pada sirkulasi sistemik pasien PPOK. Terdapat juga hubungan 24

antara konsentrasi hscrp dan kebiasaan merokok (p : 0,0229) yang mendukung pernyataan merokok dapat menimbulkan inflamasi sistemik. 9 Sembiring (2007) dalam studinya dengan 40 sampel di Medan menemukan bahwa rerata kadar CRP pada pasien PPOK stabil di RSHAM dan Pirngadi adalah 0,23 + 0,34 mg/dl. 10 Sementara itu, Parhusip (2008) dalam studinya pada 40 pasien PPOK eksaserbasi di RS HAM dan RS Pirngadi Medan menemukan kadar CRP adalah 0,68 + 0,54 mg/dl. 11 Durme dkk. (2009) dalam studi kohort pada 6836 sampel tanpa PPOK, dengan hasil bahwa sampel dengan kadar hscrp > 3 mg/l setelah pengamatan 3 tahun menunjukkan peningkatan risiko mengalami PPOK secara signifikan dibanding dengan kadar < 1 mg/l. Namun hscrp tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko dalam menyebabkan PPOK tetapi dapat dianggap sebagai prediktor. Penelitian ini juga tidak menemukan hubungan antara variasi dalam gen CRP sebagai penanda perubahan kadar hscrp dan insiden PPOK. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor endogen atau eksogen lain memiliki peran kausal dalam hubungan antara inflamasi sistemik dan PPOK. 12 Alavi dkk. (2011) dalam studi potong lintang pada 160 pasien PPOK eksaserbasi di Iran menunjukkan bahwa kadar hscrp secara signifikan berhubungan dengan stadium penyakit PPOK sesuai dengan kriteria GOLD (ratarata kadar hscrp 11,65 + 15,03 mg/l). 13 Berdasarkan latar belakang di atas yang menginformasikan bahwa terjadi proses inflamasi sistemik pada pasien PPOK stabil dan eksaserbasi dimana penanda biologis yang paling direkomendasikan adalah CRP serta belum adanya informasi kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi yang berobat ke 25

poli paru RS HAM Medan maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK eksaserbasi dan PPOK stabil di RA3 dan poli paru RS HAM Medan. 1.2 Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas perlu diteliti mengenai adakah perbedaan kadar CRP antara penderita PPOK stabil dan eksaserbasi di RA3 dan poli paru RS HAM Medan. 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan PPOK eksaserbasi. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 2. Untuk mengetahui hubungan antara umur, IB, IMT, VEP 1, CRP, CAT, dan mmrc dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 3. Untuk mengetahui hubungan antara kadar CRP dengan VEP 1, IB, IMT, CAT, dan mmrc. 4. Untuk mengetahui nilai rata-rata kadar CRP, CAT, mmrc, IMT, VEP 1, umur, dan IB pada penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 5. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan kadar CRP, nilai CAT, nilai mmrc, IMT, VEP 1, umur, dan IB pada penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 26

1.4 Manfaat penelitian 1. Memberikan informasi besarnya kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi, sehingga dapat diketahui bahwa proses inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK dapat menimbulkan perubahan kadar CRP, dan dapat digunakan sebagai tanda awal terhadap penatalaksaanaan. 2. Peningkatan kadar CRP pada penderita PPOK dapat digunakan sebagai petanda untuk menentukan prognosa sehingga pemeriksaan ini harus dilakukan secara rutin bagi penderita PPOK stabil dan eksaserbasi. 3. Selama ini penilaian pasien PPOK eksaserbasi adalah dari anamnesa dan pemeriksaan klinis saja sehingga dengan adanya data kadar CRP yang meningkat dapat berguna untuk mengidentifikasi, mengkonfirmasi atau sebagai prediktor PPOK eksaserbasi. 4. Peningkatan kadar CRP pada pasien PPOK stabil maupun eksaserbasi di RSHAM Medan akan digunakan sebagai penambah data yang membuktikan bahwa pasien PPOK mengalami inflamasi yang berlangsung secara terus menerus, sehingga diperlukan terapi anti inflamasi baik inhalasi maupun sistemik pada pasien PPOK terutama penderita PPOK eksaserbasi. 5. Menambah data yang mendukung pernyataan keterlibatan mediator inflamasi sistemik yaitu CRP pada penderita PPOK. 6. Sebagai langkah awal untuk penelitian selanjutnya mengenai pemeriksaan biomarker inflamasi pada penderita PPOK. 27