BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertengahan tahun 1990 pemeriksaan imunologi untuk C-reactive protein (CRP) lebih banyak digunakan untuk kelainan kardiovaskular. Minat yang luas terhadap studi mengenai penanda ini terutama terjadi di Amerika Serikat. CRP merupakan bagian dari respons fase akut yang tidak spesifik terutama terhadap berbagai bentuk inflamasi, infeksi, dan kerusakan jaringan. Nilai CRP tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal dan hanya dapat dipertimbangkan jika dikaitkan dengan klinis dan hasil diagnostik lainnya. CRP merupakan penyokong diagnostik yang kuat sama halnya seperti nilai temperatur pasien yang sangat berguna secara klinis dan juga merupakan parameter tidak spesifik. 1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru dengan inflamasi kronis yang kompleks dimana terdapat keterlibatan berbagai sel inflamasi dan mediator inflamasi terhadap gas ataupun partikel beracun. 2 Meskipun proses inflamasi berlangsung di paru namun proses inflamasi kronik pada PPOK berdampak pada sistemik. Penanda inflamasi seperti CRP, LPS, molekul adhesi meningkat dalam sirkulasi sistemik. Sudah banyak studi yang dilakukan untuk menilai dampak manifestasi klinik inflamasi sistemik ini terhadap prognosa penderita PPOK. 3 Beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan peningkatan kadar CRP yang berhubungan dengan peningkatan rawat inap, penyakit kardiovaskular, dan kematian pada pasien PPOK dengan obstruktif saluran napas derajat ringan 22
sampai dengan sangat berat, seperti Man dkk. (2006) dalam studinya mengukur kadar CRP pada 4803 penderita PPOK ringan sampai menengah. Mereka menemukan pasien yang penyebab kematiannya adalah karena penyakit kardiovaskular memiliki kadar CRP dengan RR 1,51 (95% CI 1,20 1,90) dan yang dikarenakan kanker dengan RR 1.85 (95% CI 1,10 3,13). Peningkatan kadar CRP juga berhubungan dengan penurunan VEP 1 dalam 5 tahun pengamatan, sehingga disimpulkan bahwa kadar CRP dapat menjadi penanda bagi prognosis PPOK. 4 Dahl dkk. (2006) dalam studi kohort pada 1302 penderita PPOK menemukan bahwa pasien dengan kadar CRP > 3 mg/l merupakan prediktor peningkatan rawatan inap dan kematian karena PPOK dibandingkan dengan kadar CRP < 3 mg/l (p < 0,001). Setelah pengamatan 10 tahun penderita PPOK yang berusia > 70 tahun, konsumsi tembakau 15 gr/hari, VEP 1 < 50 % pred, dengan kadar CRP > 3 mg/l mengalami rawat inap sekitar 54% dan kematian sekitar 57%. Kesimpulan studi ini adalah CRP merupakan penanda yang kuat memprediksi prognosis penderita PPOK. 5 Torres dkk. (2006) dalam studinya pada 130 penderita PPOK stabil dan 65 orang kontrol sehat melaporkan bahwa kadar CRP meningkat pada penderita PPOK stabil (4.1 mg/l) yang tidak mengalami eksaserbasi berulang dalam 2 bulan, terutama yang masih merokok dibanding dengan kontrol (1.8 mg/l). Dengan hasil bahwa peningkatan kadar CRP berkorelasi negatif dengan PaO 2 dan 6 MWD, faal paru serta pemberian glukokortikosteroid tidak mempengaruhi kadar CRP. 6 Hurst dkk. (2006) meneliti 36 biomarker pada 90 pasien PPOK eksaserbasi hasilnya menunjukkan bahwa CRP merupakan penanda yang paling selektif, 23
konsentrasi CRP plasma dapat berguna dalam mengkonfirmasi PPOK eksaserbasi tetapi tidak dapat memprediksikan beratnya eksaserbasi, dan respon fase akut pada eksaserbasi berhubungan dengan fungsi monosit. 7 Perera dkk. (2007) dalam studi kohort pada 73 penderita PPOK mengukur kadar serum CRP dan IL-6 serta kadar IL-6 dan IL-8 pada sputum saat kondisi penderita PPOK stabil, eksaserbasi serta pada hari ke 7, 14, dan 35 setelah eksaserbasi. Hasilnya adalah 23% pasien tidak mengalami perbaikan gejala sampai hari ke 35, ternyata pasien ini memiliki kadar serum CRP yang lebih tinggi secara menetap selama periode pemulihan dibandingkan dengan pasien yang mengalami pemulihan ke kadar normal (p : 0,03). Sekitar 22% pasien yang mengalami eksaserbasi berulang pada hari ke 50 hari dari eksaserbasi sebelumnya berhubungan secara signifikan (p : 0,007) dengan tingginya kadar CRP pada hari ke 14 (8,8 mg/l) dibandingkan dengan kadar CRP pasien yang tidak mengalami eksaserbasi berulang (3,4 mg/l). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar CRP dapat menjadi penanda penting bagi lamanya pemulihan dan berulangnya eksaserbasi serta penanda serum inflamasi merupakan penanda yang lebih baik dari pada penanda sputum. 8 Marevic dkk. (2007) dalam studinya yang mengikutsertakan 27 pasien PPOK stabil dan 7 pasien PPOK eksaserbasi, 37 orang sehat merokok dan 23 orang sehat tidak merokok dengan hasil bahwa kadar hscrp lebih tinggi pada pasien PPOK dari pada kelompok kontrol normal (p : 0,0004), hscrp juga terbukti sebagai parameter diagnostik yang lebih sensitip dibanding TNF-a, CXCL8 dan ET-1 pada sirkulasi sistemik pasien PPOK. Terdapat juga hubungan 24
antara konsentrasi hscrp dan kebiasaan merokok (p : 0,0229) yang mendukung pernyataan merokok dapat menimbulkan inflamasi sistemik. 9 Sembiring (2007) dalam studinya dengan 40 sampel di Medan menemukan bahwa rerata kadar CRP pada pasien PPOK stabil di RSHAM dan Pirngadi adalah 0,23 + 0,34 mg/dl. 10 Sementara itu, Parhusip (2008) dalam studinya pada 40 pasien PPOK eksaserbasi di RS HAM dan RS Pirngadi Medan menemukan kadar CRP adalah 0,68 + 0,54 mg/dl. 11 Durme dkk. (2009) dalam studi kohort pada 6836 sampel tanpa PPOK, dengan hasil bahwa sampel dengan kadar hscrp > 3 mg/l setelah pengamatan 3 tahun menunjukkan peningkatan risiko mengalami PPOK secara signifikan dibanding dengan kadar < 1 mg/l. Namun hscrp tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko dalam menyebabkan PPOK tetapi dapat dianggap sebagai prediktor. Penelitian ini juga tidak menemukan hubungan antara variasi dalam gen CRP sebagai penanda perubahan kadar hscrp dan insiden PPOK. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor endogen atau eksogen lain memiliki peran kausal dalam hubungan antara inflamasi sistemik dan PPOK. 12 Alavi dkk. (2011) dalam studi potong lintang pada 160 pasien PPOK eksaserbasi di Iran menunjukkan bahwa kadar hscrp secara signifikan berhubungan dengan stadium penyakit PPOK sesuai dengan kriteria GOLD (ratarata kadar hscrp 11,65 + 15,03 mg/l). 13 Berdasarkan latar belakang di atas yang menginformasikan bahwa terjadi proses inflamasi sistemik pada pasien PPOK stabil dan eksaserbasi dimana penanda biologis yang paling direkomendasikan adalah CRP serta belum adanya informasi kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi yang berobat ke 25
poli paru RS HAM Medan maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK eksaserbasi dan PPOK stabil di RA3 dan poli paru RS HAM Medan. 1.2 Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas perlu diteliti mengenai adakah perbedaan kadar CRP antara penderita PPOK stabil dan eksaserbasi di RA3 dan poli paru RS HAM Medan. 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan PPOK eksaserbasi. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 2. Untuk mengetahui hubungan antara umur, IB, IMT, VEP 1, CRP, CAT, dan mmrc dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 3. Untuk mengetahui hubungan antara kadar CRP dengan VEP 1, IB, IMT, CAT, dan mmrc. 4. Untuk mengetahui nilai rata-rata kadar CRP, CAT, mmrc, IMT, VEP 1, umur, dan IB pada penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 5. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan kadar CRP, nilai CAT, nilai mmrc, IMT, VEP 1, umur, dan IB pada penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 26
1.4 Manfaat penelitian 1. Memberikan informasi besarnya kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi, sehingga dapat diketahui bahwa proses inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK dapat menimbulkan perubahan kadar CRP, dan dapat digunakan sebagai tanda awal terhadap penatalaksaanaan. 2. Peningkatan kadar CRP pada penderita PPOK dapat digunakan sebagai petanda untuk menentukan prognosa sehingga pemeriksaan ini harus dilakukan secara rutin bagi penderita PPOK stabil dan eksaserbasi. 3. Selama ini penilaian pasien PPOK eksaserbasi adalah dari anamnesa dan pemeriksaan klinis saja sehingga dengan adanya data kadar CRP yang meningkat dapat berguna untuk mengidentifikasi, mengkonfirmasi atau sebagai prediktor PPOK eksaserbasi. 4. Peningkatan kadar CRP pada pasien PPOK stabil maupun eksaserbasi di RSHAM Medan akan digunakan sebagai penambah data yang membuktikan bahwa pasien PPOK mengalami inflamasi yang berlangsung secara terus menerus, sehingga diperlukan terapi anti inflamasi baik inhalasi maupun sistemik pada pasien PPOK terutama penderita PPOK eksaserbasi. 5. Menambah data yang mendukung pernyataan keterlibatan mediator inflamasi sistemik yaitu CRP pada penderita PPOK. 6. Sebagai langkah awal untuk penelitian selanjutnya mengenai pemeriksaan biomarker inflamasi pada penderita PPOK. 27