MEMBEDAH PERS OTORITARIAN PADA REZIM ORDE BARU. Peninjau : Djoko Waluyo Peneliti Komunikasi dan Media Puslitbang Aptika & IKP Balitbang SDM Kominfo



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang

MEDIA WATCH DAN PELAKSANAAN KEBEBASAN PERS. Djoko Walujo 1

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebebasan pers Indonesia ditandai dengan datangnya era reformasi dimulai

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

RUBRIK RESENSI KEBEBASAN ATAU KEBABLASAN PERS KITA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I. Pendahuluan. yang terbaik adalah untuk pers begitulah kira-kira persepsi, anggapan, dan harapan

PAPARAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENJADI TUAN DI NEGERI SENDIRI: PERSPEKTIF POLITIK. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

BAB I PENDAHULUAN. yang menyanjung-nyanjung kekuatan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAHAN AJAR PEMBELAJARAN VII

PERKEMBANGAN HUKUM MEDIA DI INDONESIA. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur

PROSPEK PERANAN PERS DALAM PERKEMBANGAN DEMOKRASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi.

HUBUNGAN Antara SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA Terhadap SISTEM PERS yang BERLANDASKAN pada SISTEM PEMERINTAHAN

TANTANGAN MENEGAKKAN ETIKA JURNALISME. Ditinjau oleh Djoko Waluyo. *)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

BAB I PENDAHULUAN. secara ideal. Namun dalam dunia globalisasi, masyarakat internasional telah

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Niar Riska Agustriani, 2014 Peranan komisi nasional hak asasi manusia Tahun

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

BAB I PENDAHULUAN. politik yang dimediasikan media telah masuk keberbagai tempat dan kalangan

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

Dari Ide ke Perkumpulan

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

RELEVANSI TEORI MARHAENISME DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN DI ERA KAPITALISME GLOBAL SKRIPSI ANWAR ILMAR

KEWARGANEGARAAN DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM

BAB I PENDAHULUAN. langsung dalam pemelihan presiden dan kepala daerah, partisipasi. regulasi dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 005/PUU-I/2003

Bab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I PENDAHULUAN. political competition and struggles, in which the media, as institution, take a. position (Kahan, 1999: 22).

BAB I PENDAHULUAN. negatif maupun positif. Pers dan media massa juga sangat beperan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki tahun 1983, bangsa Indonesia dikejutkan dengan banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. surat kabar telah ada sejak ditemukannya mesin cetak di Jerman oleh Johann Gutenberg pada

Comparative Perspective: Pancasila dalam Konstruksi Demokrasitisasi Politik Indonesia 1

PERS SEHAT, BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Modul ke: Komunikasi Massa. Bidang Kajian Komunikasi Massa. Radityo Muhammad, SH.,MA. Fakultas FIKOM. Program Studi Public Relations

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan organisasi politik yang dapat berperan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. demi stabilitas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak ada lagi larangan. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencakup:

BISNIS MEDIA: KORPORASI MEDIA DAN KEPENTINGAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. media yang didesain secara khusus mampu menyebarkan informasi kepada

BAB I PENDAHULUAN. media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. penting dalam peta perkembangan informasi bagi masyarakat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, salah satunya adalah pertukaran informasi guna meningkatkan. ilmu pengetahuan diantara kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU. tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA

DEMOKRASI PANCASILA. Buku Pegangan: PANCASILA dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi Oleh: H. Subandi Al Marsudi, SH., MH. Oleh: MAHIFAL, SH., MH.

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya. Pengakses internet terus mengalami peningkatan sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga

KONSTITUSI EKONOMI (Ekonomi Pasar, Demokrasi, dan Konstitusi) Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala

BAB I PENDAHULUAN. jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia, maka kebutuhuhan jasa

Mendiskripsikan fungsi NKRI. Menjelaskan tujuan NKRI

GAMBARAN UMUM. Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke

11 ALASAN PENOLAKAN RUU ORMAS Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

KEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

BAB I PENDAHULUAN. fase dimana mengalami pasang surut tentang kebebasan pers. Kehidupan pers

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan

Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER

BAB VI PENUTUP. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya. Sejarah mencatat

I. PENDAHULUAN. Media massa memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi kepada

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan informasi. Seperti yang dikatakan oleh Zelizer dalam The

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Muh. Syarifudin Noor 1/29/2014

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata. communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, Selasa, 08 Desember 2009

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PEMBINAAN ORGANISASI MITRA PEMERINTAH

Transkripsi:

MEMBEDAH PERS OTORITARIAN PADA REZIM ORDE BARU Peninjau : Djoko Waluyo Peneliti Komunikasi dan Media Puslitbang Aptika & IKP Balitbang SDM Kominfo Judul buku : Pers di Masa Orde Baru. Penulis : David T Hill. Penerjemah : Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo. Penerbit : Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan LSPP. Tahun : 2011. Halaman : xxi + 232 Pendahuluan Pertumbuhan dan perkembangan pers atau surat kabar pada masa Orde Baru dalam banyak kajian telah dijadikan obyek studi yang menarik. Studi dengan fokus perkembangan pers pada masa Orde Baru banyak dilakukan ahli komunikasi dari dalam negeri maupun dari berbagai perguruan tinggi di luar negeri. Praktik pelaksanaan operasional pers banyak dikaji dari perspektif kebebasan pers yang dijalankan pada masa Orde Baru. Orde Baru merupakan rezim yang paling panjang diperintah oleh Presiden Soeharto selama 32 tahun, dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya ataupun masa sesudah kejatuhan Orde Baru. Untuk meninjau perkembangan pers pada masa Orde Baru merupakan suatu kajian yang menarik dan banyak faktor yang perlu dicermati dari perkembangan pers masa Orde Baru. Sebab masa Orde Baru merupakan waktu yang cukup panjang dan tidak terputus masa pemerintahan presiden Soeharto. Serta dengan dinamika politik nasional, seperti keputusan menetapkan hanya 3 partai politik,yang sebelumnya jumlah partai sebanyak 10 partai yang cukup memberi pengaruh bagi perkembangan pers masa itu. Kemudian, kebijakan untuk penerbitan media pers harus memperoleh SIUPP yang dikelola Departemen Penerangan yang tidak lain bentuk membelenggu media yang dapat dikatakan sebagai kebijakan keras terhadap media dengan rancangan Menteri Penerangan Mayjen TNI Ali Moertopo. Lembaga SIUPP ini ditiadakan ketika proses dimulainya era Reformasi, sehingga terjadi deregulasi terhadap penerbitan media dan dunia komunikasi dan informasi yang cukup signifikan. Perkembangan pers pada masa Orde Baru telah banyak dikaji dari berbagai perspektif pandangan. Untuk memberikan beberapa fakta, tercatat dari sarjana dalam negeri, diantaranya telah dikaji oleh Dr. Gati Gayatri dengan 89

disertasinya di FISIP Universitas Indonesia tahun 2002, dengan judul Konstruksi Realitas Kepemimpinan Presiden Soeharto dalam berita suratkabar- Analisis Kritis terhadap pesan-pesan politik Presiden Soeharto yang disampaikan dengan menggunakan simbol-simbol budaya Jawa. Hasil studi ini menunjukkan bagaimana dan mengapa media hanya berperan memberikan dukungan kepada penguasa dan mempertahankan status quo pada era Orde Baru. Kemudian Dr.Zulhasril Nasir, M.Si, dosen departemen ilmu komunikasi dari FISIP UI tahun 2009 mengupas pelaksanaan kebebasan pers dari perspektif ekonomi politik media.diantaranya, dianalisis bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kuat terhadap pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia, di antaranya dari pengaruh penguasa, pemasang iklan, maupun organisasi media dan pemilik media itu sendiri. Berbagai faktor itu mempengaruhi implementasi kebebasan media untuk menyajikan informasi yang obyektif dan aktual. Kajian yang menarik ditulis dalam disertasi Dr. Henri Subiakto (2010: 102) dari Universitas Airlangga, Surabaya membahas tentang dinamika politik ekonomi dari media masa Orde Baru tahun 2010.Judul disertasi Kontestasi wacana tentang analisis konstruksi sosial relasi negara, industri penyiaran dan civil society. Studi secara kualitatif ini, di antaranya memberi simpulan, bahwa posisi civil society pada dasarnya masih lemah dalam relasinya dengan negara dan industri.hasil analisis dalam studi ini bukan hanya memberikan simpulan,namun juga pengelanaan pemikiran dan teori dalam konteks sistem penyiaran yang demokratis di Indonesia. Civil society lebih banyak berperan dalam level wacana,namun di level normatif dan implementasi, civil society amat lemah. Posisi civil society yang kuat sebagaimana teori Habermas belumlah terjadi. Sementara itu, pada level normatif, dominasi interpretasi negara lebih tampak dibandingkan agen yang lain. Interpretasi negara berlaku sebagai aturan normatif,bahkan diperkuat keputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Fenomena ini menunjukkan konsolidasi negara setelah reformasi. Sedangkan di aras implementasi, kalangan industri atau pelaku penyiaran memiliki cara dan interpretasi sendiri yang cenderung pragmatis,sesuai kepentingan bisnis.kalangan industri mengimplementasi aturan dan mewarnai dikursusnya lebih banyak dengan pendekatan pasar bebas. Hal ini dikarenakan posisi industri sebagai pelaku utama sistem penyiaran memiliki kepentingan langsung terhadap sistem yang sudah ada. Bagi industri sistem lama telah memberikan banyak keuntungan, melakukan perubahan sebagaimana tuntutan ideal justru merupakan ancaman yang tidak menguntungkan. 90

Dari bagian simpulan tersebut, nampak bahwa fenomena regulasi penyiaran masih perlu ditata lagi,sementara itu ruang kebebasan media belum sepenuhnya dapat dijalankan perannya oleh media dalam era reformasi ini. Yang agak monumental tentang perkembangan media di era Orde Baru ditunjukkan dalam disertasi Dr. Daniel Dhakidae yang membedah pertumbuhan media dari pers perjuangan masa kemerdekaan hingga tumbuh sebagai media industrial seperti sekarang ini. Kondisi pada masa Orba banyak memberi peluang untuk makin berkembang media sebagai bentuk pers industri. Berita menjadi komponen penting sebagai komoditas yang dijual kepada publik. Serta iklan yang menduduki porsi penting lainnya dari media sebagai nilai ekonomis yang menghidupkan roda organisasi dan manajemen media. Sementara itu, kajian dari para sarjana luar negeri, di antaranya David T Hill yang minatnya besar terhadap perkembangan media di Indonesia cukup memberi warna tersendiri dalam pemikirannya mengenai perkembangan media. Hill berpendidikan sarjana mengenai Asian Studies, di Australian National University di Canberra.Kini ia mengajar di Southeast Asian Studies di Murdoch University, Perth, Western Australia. Buku yang ditinjau ini ditulis tahun 1995 dan baru diterjemahkan tahun 2011 ini. Sebelumnya buku ini dalam bahasa Inggeris telah beredar luas di kampus-kampus di luar negeri. Dari fakta di atas, ternyata sangat menarik untuk mengkaji perkembangan media pada masa Orde Baru, hingga kini fokus tersebut masih menjadi kajian untuk mengungkap lebih jauh apa,mengapa dan bagaimana media yang berkembang pada masa Orde Baru untuk kepentingan intelektual dan implementasi pada masa Reformasi dewasa ini dan kedepan. Paparan isi buku Buku ini cukup tebal dan rinci dalam penulisannya, terdiri dari 6 bab, ditambah 4 tabel dan sejumlah daftar pustaka yang sangat lengkap mengenai perkembangan media pada masa Orde Baru. Catatan sejarah dan fakta-fakta tertulis ini berguna bagi pembaca yang akan mendalami riset tentang media cetak lebih lanjut. Bab 1 mengenai Pra Orde Baru. Isinya memberikan sejarah latar belakang singkat dari pers di Indonesia, mulai dari lahirnya suratkabar pertama di wilayah yang semula dikenal sebagai Hindia Belanda pada tahun 1745, sampai masa gejolak sosial dan politis yang menandai tahun-tahun awal periode 1960-an( 91

hlm.13). Pada awal mulanya bangsa Belanda yang berinisiatif menerbitkan suratkabar dan mengajarkan pribumi mengenal media. Dengan demikian,fungsi media pada masa sejarah nasional dapat berjalan sehingga media berperan sebagai sarana informasi dan pendidikan rakyat, namun juga sebagai alat perjuangan untuk melepaskan diri dari jajahan kolonialis Belanda. Kemudian memasuki awal kemerdekaan, peran media atau pers makin penting dan menjadi alat utama perjuangan mencapai kemerdekaan oleh berbagai organisasi masyarakat yang berhaluan politik nasionalis dan keagamaan. Bab 2 dalam buku ini, menggarisbawahi perkembangan sepanjang Orde Baru, dengan mencatat secara khusus periode-periode di mana pemerintah melancarkan aksi-aksi anti pers dan liberalisasi serta ekspansi ekonomi yang berlangsung kemudian. Materi bab 2 ini berlandaskan pada argumentasi bahwa sementara tahun-tahun awal Orde Baru dari Presiden Soeharto ditandai dengan pembreidelan massal, respon industri secara umum adalah untuk melakukan swa-regulasi, membiarkan akumulasi modal dan tekanan-tekanan pasar menjadi kekuatan-kekuatan utama yang menentukan bagaimana media berelasi dengan negara. Kasus-kasus pembreidelan yang terjadi pada masa Orde Baru merupakan suatu langkah mundur ke masa lalu,yang memiliki kecenderungan yang kecil untuk tumbuh di tengah-tengah kecenderungan umum ke arah liberalisasi yang muncul sejak pertengahan periode tahun 1980-an. Peran media dalam masa Orde Baru dipakai sebagai sarana propaganda pemerintah untuk menggerakkan pembangunan nasional. Media pers dari perspektif sejarah pada masa Orde Baru sangat dominan dipengaruhi oleh pengawasan dari penguasa sehingga realitas media berisi informasi dengan bahasa sebagai realitas simbolis dalam kehidupan pers pada praktiknya banyak digunakan sebagai ruang penggelaran kekuasaan oleh struktur dominan. Pemerintah Orde Baru telah menggunakan bahasa dalam dunia media massa sebagai wahana kooptasi, subordinasi, dominasi dan imperialisme kesadaran medan semantik masyarakat (Subiakto, 1997: 96). Kekuatan bahasa dipakai untuk mempengaruhi dan menjalankan propaganda pemerintah Orde Baru untuk kepentingan dan tujuan-tujuan politiknya. Kebebasan pers yang merupakan atmosfir pertumbuhan dan perkembangan media telah dipengaruhi oleh penguasanya sendiri untuk kepentingan politiknya. Bab 3 menelaah upaya-upaya yang dilakukan lewat kontrol legialasi dan struktur korporasi untuk melindungi media cetak. Bagian bab 3 menggambarkan kebijakan yang relevan dari Departemen Penerangan RI, dan organisasi- 92

organisasi professional yang mengelola dan menyalurkan aktivitas-aktivitas semua pekerja, dan semua aspek, dalam industri. Berbagai badan regulasi pemerintah dibicarakan dalam bab 3, seperti Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), yang juga merupakan struktur regulasi penting yang beroperasi membatasi media. Bab 4 memfokuskan pada ekspansi dalam hal sirkulasi dan pasar, seiring dengan berubahnya pola kepemilikan dan control financial, terutama dengan munculnya kekaisaran media dan dampak breidel yang terjadi. Empat konglomerat pers metropolitan utama yang dibahas secara mendalam yaitu seputar Kompas, Suara Pembaruan,Tempo dan pendatang yang relative baru Media Indonesia. Seiring dengan kemunculan kekaisaran-kekaisaran media seperti ini,maka kepentingan dari orang-orang yang dekat dengan mereka dan orang-orang yang berada dalam keluarga kepresidenan akan dikaji sebagai simbol dari fase baru dalam hubungan antara pers dengan negara. Dalam bab 5, dikaji masalahmasalah dan korntribusi-kontribusi khusus dari pers daerah yang mulai banyak bermunculan,pers agama (terutama pers Islam), pers mahasiswa yang pernah berperan besar dalam perjoangan menegakkan Orde Baru di awal tahun 1966, dan media yang berbahasa asing (terutama media berbahasa Inggris dan berbahasa Tionghoa), yang seringkali terabaikan dalam berbagai kajian tentang pers nasional berbahasa Indonesia. Bab 6 yang merupakan bab terakhir dari buku David T Hill ini mengulas pertimbangan-pertimbangan secara lebih umum dampak dari perubahanperubahan yang terjadi dalam industri kepada masyarustrakat secara umum, terutama dalam kontradiksi yang terjadi di dalam elite yang berkuasa, dan menawarkan sejumlah perkiraan terkait tren industri media di masa mendatang. Bab 6 ini mendiskusikan segmentasi pasar yang semakin canggih dan strategi ekspansi yang dikerahkan oleh sejumlah operator pers yang berhasil seraya mereka beradaptasi dengan dengan kesenjangan demografis, sosial dan geografis, dalam sebuah industri yang menghadapi masa depan yang semakin lama semakin kompetitif. Secara signifikan, tampak bahwa penekanan sebelumnya pada suratkabar berbendera nasional akan menurun, sementara ceruk-ceruk pasar semakin diisi oleh surat-surat kabar yang inovatif, dikelola dengan baik ditingkat subnasional atau daerah di satu sisi, sementara disisi lain bahkan diisi oleh penerbitan bermodal transnasional (yang dimungkinkan oleh globalisasi teknologi informasi). Dalam bagian akhir buku David T Hill ini disajikan catatan untuk bacaan lebih lanjut, terutama bagi mereka yang tertarik untuk mendalami riset tentang media cetak di Indonesia. Catatan yang diberikan Hill agak lengkap dalam perspektif sejarah perkembangan media pada masa Orde 93

Baru, sehingga peneliti yang berminat dapat menelusuri dengan mudah dan teliti. Pemikiran Kebebasan Pers (di) Dunia Konsep kebebasan pers menurut buku ini lebih melihat dari perspektif positivisme. Pendekatan pemikirannya lebih pada hal-hal yang nyata.analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif dengan sumber-sumber data tertulis yang luas. Kemudian data primer bersumber dari hasil wawancara dengan narasumber wartawan senior di Indonesia. Pembabakan dalam tiap periode mengikuti kronologi waktu. Mulai dari munculnya media di tanah Hindia Belanda (hlm.21-22), masa perjuangan nasional, masa mencapai kemerdekaan, masa Orde Lama (hlm. 23-28 ). hingga periode Orde Baru sebagai bagian yang agak panjang dalam fokus buku Hill ini.fenomena yang dicatat dari fakta tiap periode waktu terhadap implementasi kebebasan pers, bahwa pihak penguasa menerapkan regulasi pers breidel. Artinya terjadi pengekangan terhadap kebebasan pers. Pembahasan dalam buku T Hill ini lebih bercorak positivisme dan ada juga dimensi kontruktivisme untuk menggambarkan kembali jalan cerita yang terjadi pada waktu itu (masa Orde Baru) dengan narasi dan analisis yang kritis dan tajam. Pembahasan implementasi kebebasan pers digambarkan secara detail dan terinci sehingga kontruksi kondisi pada waktu itu dapat digambarkan dengan tepat. Bagaimanakah pada hakikatnya konsep kekebasan pers itu sesungguhnya dan dinamika pemikiran yang terjadi dalam dunia akademik terhadap kekebasan pers itu? Bahwa perjalanan pemikiran mengenai konsep kebebasan pers terus dilakukan para ahli komunikasi dan media. Kebebasan pers sebagai suatu konsep merupakan bagian dari konsepsi demokrasi Barat. Negara-negara demokrasi di dunia,makin banyak yang memberikan ruang bagi tumbuhnya kebebasan pers. Ada hubungan antara kebebasan pers (dapat dibaca sebagai media yang bebas) dan demokrasi. Hal ini nampak jelas bahwa pada umumnya Negara-negara yang demokratis juga memiliki pers yang bebas. Pertanyaannya, apakah media bebas (adanya kebebasan pers) yang menumbuhkan demokrasi, atau demokrasi yang mengembangkan media bebas? ( Roumeen Islam, 2006: 3). Tampaknya terdapat korelasi yang cukup signifikan antara kebebasan pers dan demokrasi. Dari perpsktif. Bagaimana konsep kebebasan pers dipahami dalam masa sekarang ini? Menurut Robert L Stevenson dalam artikelnya berjudul Freedom of the Press 94

Around the World pada buku Global Journalism (1995: 63-67), baik disuatu Negara maupun diantara Negara-negara di dunia masih sering terjadi perbedaan persepsi dan pemaknaan terhadap konsep kebebasan pers dan siapa pemilik kebebasan pers. Di banyak Negara di dunia, kebebasan pers masih belum menjadi komoditas dan tujuan di bagian besar Negara-negara demokrasi berbasis pasar Barat setelah runtuhnya komunisme. Konsep kebebasan pers, tampaknya tidak mempunyai definisi atau batasan yang jelas. Kebebasan pers lebih dapat dipahami bila dioperasionalkan dalam pengertian praktik kebebasan pers dalam suatu Negara atau di banyak Negara di dunia. Namun demikian, konsep kebebasan pers dapat dirunut dari teori normative media (normative theories of media). Teori normative media mengasumsikan bagaimana seharusnya media tersebut berperan dalam realita sosial atau bagaimana sebenarnya media berfungsi, bilamana serangkaian nilai sosial ingin diterapkan dan dicapai sesuai dengan sifat dasar nilai-nilai tersebut. Jenis teori normatif media ini berperan dalam membentuk institusi media, harapan publik terhadap media, bagaimana media harus memainkan peran secara esensial. Teori normative media mempetakan atau mempolakan 4 kategori sistem media berdasarkan pemikiran ilmiah bukan dari hasil riset lapangan. Untuk menguji teori normative media dapat dibandingkan dengan bagaimana pelaksanaan kebebasan pers dalam suatu negara. Dengan demikian, dari literatur ilmu komunikasi, teori normative media berasal dari pengamatan, bukan dari hasil uji dan pembuatan hipotesis dengan menggunakan metode ilmu social (Severin-Tankard,2005:373). Teori normative media bermula dari pemikiran Siebert, Peterson dan Schramm tahun 1956 yang dituangkan dalam bukunya Empat Teori Pers. Yaitu teori pers otoriter, libertarian, teori pers bertanggung jawab sosial dan teori pers komunis Soviet. Teori pers otoriter,diakui sebagai teori pers paling tua, berasal dari abad ke-16, berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut. Jadi, pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke bawah.pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Kebebasan bagi pers difokuskan atau dijalankan untuk kepentingan penguasa. Teori pers kedua, yaitu teori pers libertarian atau teori pers bebas. Teori ini mencapai puncaknya pada abad ke 19, yaitu manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran. Kemudian berkembang pandangan dalam teori ini,pers perlu mengawasi pemerintah.dari sini atribut pers sebagai the fourth estate setelah kekuasaan 95

eksekutif, legislatif dan yudikatif menjadi umum diterima dalam teori pers libertarian. Oleh karenanya,pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dua teori lainnya, social responsibility theory (teori pers bertanggungjawab sosial) dan Soviet communist theory (teori pers komunis Soviet) dipandang sebagai modifikasi yang diturunkan dari kedua teori sebelumnya. Teori pers bertanggung jawab sosial dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam pers bebas, para pemilik dan para pengelola pers yang terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada publik (fungsi gatekeeper) dan dalam versi apa (fungsi framing berita). Teori pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah proses kebebasan internal dan proses konsentrasi pers. Teori pers bertanggungjawab sosial yang ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab sosial. Denis McQuail menambahkan 2 teori pers lagi, yaitu teori pers pembangunan dan teori pers partisipan demokratik. Teori pers pembangunan oleh McQuail dikaitkan dengan negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki ciri-ciri sistem komunikasi yang sudah maju Pada tahun 1967, dengan berdirinya Press Foundation of Asia menawarkan konsep jurnalisme pembangunan yang mendapat sambutan bagi negara-negara berkembang. Unsur positif dari pers pembangunan,bahwa pers harus digunakan secara positif dalam pembangunan nasional, untuk otonomi dan identitas kebudayaan nasional. Teori pers partisipan demokratik lahir pada masyarakat liberal yang sudah maju. Ia lahir sebagai reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media yang dimiliki swasta dan sentralisme dari birokratisasi institusi-institusi siaran publik yang timbul dari tuntutan norma tanggungjawab social. (McQuail,1991:121). Inti dari teori partisipan demokratik terletak pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan dan aspirasi pihak penerima pesan komunikasi dalam masyarakat politis. Teori ini menyukai keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, de-institusionalisasi, kesederajatan dalam masyarakat dan interaksi. Kemudian, ada versi konsep normative yang lebih sederhana yang dikemukakan Altschull (dalam McQuail,1991:122), yang menyebutkan 3 bentuk dasar system pers. Yaitu: (1) Sistem pasar dikaitkan dengan Dunia Pertama (kapitalis-liberal); (2) Sistem Marxis dikaitkan dengan Dunia Kedua (sosialis- 96

Soviet), (3) Sistem berkembang yang dikaitkan dengan Dunia Ketiga (negaranegara sedang berkembang). Sistem pertama merupakan gabungan dari unsur pers bebas dengan unsur tanggungjawab sosial. Sistem kedua merupakan model Soviet, dan sistem ketiga mewakili teori pembangunan (perkembangan). Ketiga sistem memiliki beberapa persamaan, namun Altschull menegaskan bahwa masing-masing sistem itu memiliki konsep dan tanggungjawab pers yang berbeda. Pandangan teori pasar terhadap kebebasan sangatlah berbeda, terutama dalam hal definisi kebebasan yang mengandung makna negatif (tidak adanya kontrol atau kebijakan pemerintah). Berbeda dengan kedua teori lainnya, teori pasar memandang tanggungjawab sebagai sesuatu yang berkenaan dengan kewajiban memberikan informasi nonpolitis atau kalaupun bersifat politis penerapannya haruslah adil (tidak memihak). Teori berkembang memiliki cirri khas tersendiri, yakni perhatiannya dalam upaya mempersatukan masyarakat, bukanlah memecahbelah masyarakat. Dan Altschull mengingatkan akan keterbatasan teori normative dalam menggambarkan kenyataan, terutama bagi mereka yang melakukan kontrol dan bekerja di media. Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada sistim politik dimana pers itu berada. Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi. Bila secara umum, definisi kebebasan pers dapat diartikan sebagai kebebasan untuk menyebarkan informasi dan pikiran-pikiran melalui media massa tanpa adanya kekangan pemerintah (Blake-Haroldsen,2005:125). Dari konsep-konsep kekebasan pers yang bersumber dari empat teori pers, maka pelaksanaannya dapat diasumsikan sesuai dengan pemikiran, pedoman dan nilai-nilai yang dikembangkan dari empat teori pers tersebut. Sementara itu, bila dianalisis lebih lanjut, kebebasan pers yang dijalankan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, masa pendudukan Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga masa awal Reformasi hanya menekankan pada salah satu faktor dari kebebasan pers tersebut, yaitu pelarangan atau pengekangan terhadap media. Prospek Kebebasan Pers Indonesia Di Indonesia, norma kebebasan pers yang dikembangkan saat ini adalah kebebasan pers dalam konteks pembangunan demokrasi yang sehat. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan 97

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin. Pasal 28 menyatakan : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian lebih jauh dalam Amandemen UUD 1945 tentang pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selanjutnya konsideran ragulasi mengenai pers menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi,merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki,yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran,memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Wartawan dalam menjalankan jurnalismenya memerlukan kondisi sosial yang bebas. Artinya tugas jurnalisme wartawan sangat dipengaruhi oleh kondisi kebebasan pers dalam masyarakat. Kebebasan pers yang sehat dapat mendorong menuju pada tatanan masyarakat yang demokratis. Prasyarat tumbuhnya suatu negara demokrasi, di antaranya adanya kondisi kebebasan pers yang luas dalam masyarakat dan negara tersebut. Serta terdapat ruang publik yang terbuka dalam media yang bebas. Kondisi yang lebih maju seperti ruang publik dalam media, tidak atau belum terbentuk pada media dalam masa Orde Baru. Disebabkan kondisi media yang dikekang dan selalu diintervensi penguasa yang mengarahkan media untuk menjalankan peran yang menguntungkan penguasa. Media sebagai sarana propaganda. Dalam buku T. Hill, pada bab 6 dengan tajuk Menyongsong Masa depan (hlm 171), ternyata media di Indonesia dengan analisis yang tajam masih dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan. Faktor-faktor itu adalah fluktuasi ekonomi (hlm 173) dengan variabel adanya perang Teluk, pendapatan lewat iklan yang banyak disedot oleh media penyiaran. Kemudian faktor sekularisasi, yang menggerus orientasi idealisme media yang makin berkembang. Pada awalnya sebagai koran dengan orientasi agama tertentu, seperti Kompas dan Suara Pembaruan, namun dalam perjalanan waktu untuk menguasai pasar, koran-koran ini beralih sebagai koran komersial dengan 98

konsep komodifikasi berita dan iklan. Koran perjuangan seperti harian Merdeka, yang dikemudian hari ternyata tidak dapat meneruskan penerbitannya alias mati. Padahal Merdeka pernah mencapai puncak penjualannya diangka 100.000, yang kemudian anjlok ke sekitar 30.000 pada tahun 1990 (hlm.178). Pendatang baru koran Republika yang masih eksis hingga kini, pada awalnya kuat berorientasi pada idealisme agama Islam, dan tetap kukuh hingga kini (hlm.179). Faktor ketiga, perlu menerapkan strategi pasar untuk mengatasi persaingan demi meningkatka sirkulasi (hlm.179). Namun perlu juga dicermati pertumbuhan media lokal yang bakal menguasai pasar di berbagai daerah potensial yang tingkat pembangunan ekonomi daerahnya juga berkembang. Dengan demikian ada kemungkinan media nasional bakal stagnan, sedangkan media lokal terus tumbuh dan berkembang mendekati komunitas atau pembacanya. Faktor keempat yaitu globalisasi, sebagai akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang makin pesat, maka imbasnya media juga dapat melakukan cetak jarak jauh. Bahkan kini makin tumbuh untuk mengadopsi etos dan praktik industri pers internasional Anglo-American semakin kuat (hlm.186). Di Tanah Air kini terjadi industri pers dalam negeri berkompetisi dengan perusahaan pers internasional. Perkembangan ini sudah terjadi dewasa ini, baik di media cetak maupun media penyiaran,dengan digunakannya televisi satelit seperti CNN,BBC,ABC, TV3 Malaysia dan masih banyak lagi. Faktor kelima yaitu kontrol dan pengaturan mandiri. Perkembangan media dengan kondisi keterbukaan politik, dan pengaruh globalisasi ekonomi, bila tidak dilakukan kontrol secara mandiri oleh perusahaan media itu, maka dapat terseret dalam arena bisnis media internasional yang bakal mematikan diri sendiri. Media dalam negeri perlu membenahi diri dari aspek organisasi dan modal maupun sumberdaya manusia dan teknologi, untuk menguasai pasar dalam negeri agar dapat eksis dan makin sehat finansialnya. Demikian pula regulasi pemerintah juga perlu memperhatikan perkembangan media dalam negeri. Namun gempuran kapitalisme sekaliguas bersamaan dengan tuntutan demokratisasi, makin menjadikan peran media dalam menjalankan kebebasan pers, akan makin berat. Tantangan yang kontradiktif antara kapitalisme dan demokratisasi tidak demikian saja dapat diwujudkan bagi media dalam negeri. Banyak faktor yang saling terkait yang perlu diselaraskan agar dapat mencapai eksistensi media tetap tegak dan sehat. Buku David T.Hill ini sangat berguna dibaca oleh para mahasiswa dalam program studi komunikasi massa,jurnalisme,maupun public relation serta praktisi media, jurnalis, dan para peneliti bidang komunikasi media. Pembahasan buku ini sangat lengkap dan cukup baik sebagai sebuah buku sejarah perjalanan media di masa Orde 99

Baru,dengan fokus pada perjalanan pers pada masa Orde Baru yang bercorak otoritarian. Penguasa Orde Baru telah memperlakukan media dengan sistem pers otoriter, dimana media tidak dapat berperan sebagai wahana demokratisasi yang sebenarnya. Daftar Pustaka Buku : Blake, Reed H dan Edwin O. Haroldsen (,2005). Taksonomi Konsep Komunikasi. Surabaya: Papyrus. Islam,Roumeen (2006). Melihat ke Balik Kaca: Apa yang Diberitakan Media dan Mengapa-Sebuah Tinjauan Menyeluruh, dalam Hak Memberitakan :Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi.Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo. McQuail, Denis. (1991). Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Edisi Kedua.Jakarta: Erlangga. Robert L Stevenson, (1995) Freedom of the Press Around the World, dalam John C Merrill (Ed) Global Journalism- Survey of International Communication. Third Ed.White Plains,N.Y.: Longman. hal.63-67. Severin,Werner J dan James W.Tankard Jr (2005).Teori Komunikasi-Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Alihbahasa Sugeng Hariyanto. Jakarta: Prenada Media. Subiakto, Henry (1997). Dominasi Negara dan Wacana Pemberitaan Pers, dalam Masyarakat dan Negara, Basis Susilo (ed). Surabaya: Airlangga University Press. Hlm.91-99.Undang-undang : UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 100