KAJIAN KESESUAIAN TERUMBU KARANG KAWASAN PULAU LIWUTONGKIDI DAN SEKITARNYA UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KABUPATEN BUTON YUSNIAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KESESUAIAN TERUMBU KARANG KAWASAN PULAU LIWUTONGKIDI DAN SEKITARNYA UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KABUPATEN BUTON YUSNIAR"

Transkripsi

1 KAJIAN KESESUAIAN TERUMBU KARANG KAWASAN PULAU LIWUTONGKIDI DAN SEKITARNYA UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KABUPATEN BUTON YUSNIAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Buton adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2010 Yusniar NRP C

3 ABSTRACT YUSNIAR, Suitability Study of Coral Reefs Ecosystem of Liwutongkidi Island and its Surrounding for Development of Ecotourism in the Buton District. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and YUSLI WARDIATNO. The area of Liwutongkidi island in the District of Buton, Province South East Sulawesi, has a varied coastal and marine resource potentials, such as coral reef ecosystem. The objectives of this research was (a) to identify the potential for coral reef ecosystem in the island of Liwutongkidi area (b) to analyze the suitability and carrying capacity of coral reef for tourism development (c) to estimate the economic value of the tourism. The coral reef ecosystem can be used to study its suitability for marine tourism objects of diving and snorkeling. Collected data were life form of coral reef, coral fish, current speed, water transparency and coral reef depth. The formula used to determine tourism suitability is suitability matrix of diving and snorkeling, and Scenic Beauty Estimation (SBE) to judge the quality of landscape. Line intercept transept method during survey showed that Island of Liwutongkidi area had a condition of coral reef in the category of good with the average coral coverage is 52.03%. However the economic value was very low calculated the travel cost method analysis. Keyword: Coral reef, ecotourism, snorkeling, diving, carrying capacity, economic value

4 RINGKASAN YUSNIAR, Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Buton. Dibimbing oleh ACHMAD FACHRUDIN dan YUSLI WARDIATNO. Kawasan Pulau Liwutongkidi memiliki ekosistem terumbu karang yang masih baik dan berpotensi untuk pengembangan ekowisata bahari, baik selam maupun snorkelling. Daerah tersebut merupakan areal dari kawasan konservasi laut daerah dan merupakan bagian dari rencana pemerintah Kabupaten Buton dalam mengembangkan Pulau Liwutongkidi sebagai kawasan ekowisata. Tujuan penelitian ini adalah (a) Mengidentifikasi potensi ekosistem terumbu karang di kawasan Pulau Liwutongkidi, (b) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang bagi pengembangan ekowisata, (c) Mengestimasi nilai ekonomi wisata. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan ekosistem terumbu karang untuk wisata selam dan snorkeling, maka dibutuhkan data-data menyangkut kondisi ekologis dan kualitas perairan. Kondisi ekologis yang menjadi pembatas untuk wisata selam dan snorkeling meliputi kondisi tutupan komunitas karang (% cover), jenis life form, lebar hamparan terumbu karang, keragaman jenis-jenis ikan karang. Kondisi kualitas perairan yang menjadi pembatas yaitu kecepatan arus, kedalaman perairan dan kecerahan perairan. Penentuan tingkat kesesuaian kawasan sebagai kawasan wisata selam atau snorkeling menggunakan Analisis Matriks Kesesuaian Kawasan. Kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling mempertimbangkan tujuh (7) parameter dan untuk selam enam (6) parameter, dengan empat (4) klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata snorkeling antara lain kecerahan perairan, tutupan karang, jenis life form karang, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang. Kemudian di dapat Indeks Kesesuaian Wisata (IKW). Hasil IKW selanjutnya dikelompokan dalam 3 kategori yaitu S1 (Sangat sesuai, dengan IKW %), S2 (Sesuai, dengan IKW 50-<83 %) dan N (Tidak sesuai, dengan IKW < 50%). Hasil analisis kesesuaian wisata menunjukan bahwa secara umum, kawasan Pulau Liwutongkidi sesuai untuk pengembangan wisata, baik selam maupun snorkelling. Namun terdapat beberapa stasiun yang tidak sesuai untuk jenis wisata tertentu karena dibatasi oleh faktor kedalaman. Berdasarkan nilai IKW, Stasiun 4 dan 7 merupakan lokasi penyelaman yang baik, dimana di lokasi tersebut memiliki nilai IKW yang tinggi dibandingkan dengan yang lainnya yaitu masing- masing sebesar % dan %. Hasil survey terhadap kondisi terumbu karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) menunjukkan bahwa kawasan Pulau Liwutongkidi memiliki kondisi terumbu karang dalam kategori sedang sampai baik. Dari 12 titik stasiun pengamatan terdapat 7 stasiun dalam kategori baik dan 5 stasiun lainnya dalam kategori sedang. Tutupan karang hidup yang terdiri dari Acropora

5 dan Non Acropora berkisar antara % % dengan rerata tutupan sebesar %. Hasil UVC yang dilakukan di 12 stasiun penelitian dijumpai sebanyak 167 jenis ikan karang yang termasuk dalam 33 suku. Jenis ikan karang paling banyak dijumpai pada stasiun 10 dengan 96 jenis ikan. Jumlah ikan tertinggi ditemukan pada stasiun 12 dengan jumlah ikan 470 individu ikan, sedangkan jumlah ikan terendah ditemukan pada stasiun 7 dengan 221 individu. Kawasan Pulau Liwutongkidi memiliki nilai Daya Dukung yang cukup tinggi. untuk masing-masing jenis wisata diperoleh 252 orang/hari untuk wisata snorkelling dan 205 orang/hari untuk wisata selam. Dengan demikian, Jumlah maksimum rata-rata per hari yang dapat ditampung di daerah tersebut sebanyak 457 orang. Pulau Liwutongkidi memiliki nilai ekonomi yang sangat rendah, yaitu Rp ,- per tahun. Nilai ekonomi tersebut diperoleh dari analisis travel cost method (TCM) yaitu suatu metode yang memperkirakan rata-rata permintaan kunjungan terhadap lokasi wisata. Kata kunci : Terumbu karang, ekowisata, selam, snorkeling, daya dukung, nilai ekonomi

6 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutuipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 KAJIAN KESESUAIAN TERUMBU KARANG KAWASAN PULAU LIWUTONGKIDI DAN SEKITARNYA UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KABUPATEN BUTON Y U S N I A R Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ario Damar, M.Si

9 Judul Tesis : Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya untuk pengembangan Ekowisata di Kabupaten Buton Nama : Yusniar Nomor Pokok : C Program studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Ketua Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 6 September 2010 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karunianya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Buton. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi beserta staf pengajar dan staf administrasi atas bimbingan dan bantuan selama studi penulis di SPL-IPB. 3. Direktur PMO COREMAP II Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan beserta seluruh jajarannya atas beasiswa yang diberikan kepada penulis. 4. Bapak Dr. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Ibu Hj. Ola Asih, SE atas bantuannya dalam pengurusan administrasi dan hal-hal teknis lainnya untuk kelancaran program beasiswa Coremap II yang menjadi sponsor dalam studi penulis di SPL-IPB. 5. Kepada ayahanda La Nyaa (Alm) dan ibunda Hasni Mursia, serta bapak mertua (La Ode Mansahara) ibu mertua (Wa Ode Mislaini) atas kasih sayangnya dan seluruh saudara yang selalu memberikan doa dan restunya kepada penulis. 6. Teristimewa untuk suamiku La Ode Muhamad Muhsin dan anakku tersayang La Ode Syarif Muhamad. Terimakasih atas pengertian, kasih sayang dan doa yang kalian berikan. Bogor, September 2010 Yusniar

11 ii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Waha, Buton, Sulawesi Tenggara pada 7 Januari 1975 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari La Nyaa (alm) dan Hasni Mursia. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Inpres Wajo pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SMP Negeri 2 Bau-Bau dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Bau-Bau dan lulus pada tahun Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Muslim Indonesia, Makasar dari tahun Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai CPNS di Pemda Kabupaten Buton dan selanjutnya ditempatkan sebagai staf pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. Tahun 2008 penulis mendapatkan beasiswa dari COREMAP II WB serta izin dari Pemda Kabupaten Buton untuk melanjutkan ke jenjang Magister pada Program Sandwich-SPL IPB. ii

12 xii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pulau Pulau Kecil Terumbu Karang Ekowisata Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Ekowisata Terumbu Karang Metode Biaya Perjalanan (TCM) METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan Data Parameter Kualitas Lingkungan Perairan Life form Komunitas Karang Ikan Karang Sosial Ekonomi dan Budaya Analisa Data Persentase Penutupan Karang Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang Analisis Matriks Kesesuaian Wisata Snorkeling dan Selam Kesesuaian Wisata Snorkeling Kesesuaian Wisata Selam Analisis Nilai Daya Dukung Kawasan Analisis Nilai Ekonomi Wisata Analisis Kualitas Lanskap Ekosistem Terumbu Karang HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kabupaten Buton Pulau Liwutongkidi Lokasi dan Iklim Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Kecamatan Kadatua Kecamatan Siompu Kondisi Sosial Budaya Kecamatan Kadatua-Siompu xiv xv xvi xii

13 xiii Sarana Prasarana Pendidikan Kondisi Lingkungan Perairan Kecepatan Arus Kecerahan Suhu Salinitas Potensi dan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Terumbu Karang Ikan Karang Kesesuaian Kawasan Untuk Pengembangan Wisata Snorkeling dan Selam Kesesuaian Wisata Snorkeling Kesesuaian Wisata Selam Daya Dukung kawasan Evaluasi Aspek Visual Ekosistem Terumbu Karang Nilai Ekonomi Wisata Sosial Ekonomi dan Persepsi masyarakat KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

14 xiv DAFTAR TABEL Halaman 1. Posisi geografis titik stasiun penelitian Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang digunakan Data yang dikumpulkan dalam analisis biaya perjalanan Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Komposisi penduduk menurut lapangan pekerjaan tahun Sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Siompu dan Kadatua Kondisi parameter kimia dan fisika perairan perairan di lokasi penelitian Persentase tutupan life form dan subtract di stasiun penelitian Jumlah suku, jenis, kelimpahan dan indeks keragaman ikan per-lokasi Penelitian hasil perhitungan dengan metode under water visual census (UVC) Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Kategori snorkeling Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Kategori selam Nilai SBE masing-masing landscape/foto pada masing-masing stasiun penelitian Pengelompokan nilai SBE berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah xiv

15 xv DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan kerangka pemikiran penelitian Peta titik stasiun penelitian Komposisi ikan karang di lokasi penelitian berdasarkan hasil under water visual census (UVC) Peta kesesuaian wisata snorkeling di kawasan penelitian Peta kesesuaian wisata selam di kawasan penelitian Karakteristik tingkat pendidikan responden Karakteristik pekerjaan responden xv

16 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis life form terumbu karang pada masing- masing stasiun Penelitian dengan metode LIT Hasil analis ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian dengan dengan metode UVC Hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori snorkeling Hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam pada pada masing-masing stasiun penelitian Parameter indeks kesesuaian wisata Responden yang berkunjungan ke pulau Liwutongkidi Hasil Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) terhadap foto/lanskap objek pada masing-masing lokasi penelitian Kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE) Lanscape/foto untuk analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) Kuisioner Travel Cost Method (TCM) xvi

17 xix DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pulau Pulau Kecil Terumbu Karang Ekowisata Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Ekowisata Terumbu Karang Metode Biaya Perjalanan (TCM) METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan Data Parameter Kualitas Lingkungan Perairan Life form Komunitas Karang Ikan Karang Sosial Ekonomi dan Budaya Analisa Data Persentase Penutupan Karang Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang Analisis Matriks Kesesuaian Wisata Snorkeling dan Selam Kesesuaian Wisata Snorkeling Kesesuaian Wisata Selam Analisis Nilai Daya Dukung Kawasan Analisis Nilai Ekonomi Wisata Analisis Kualitas Lanskap Ekosistem Terumbu Karang HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kabupaten Buton Pulau Liwutongkidi Lokasi dan Iklim Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Kecamatan Kadatua Kecamatan Siompu Kondisi Sosial Budaya Kecamatan Kadatua-Siompu xxi xii xxv xix

18 xx Sarana Prasarana Pendidikan Kondisi Lingkungan Perairan Kecepatan Arus Kecerahan Suhu Salinitas Potensi dan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Terumbu Karang Ikan Karang Kesesuaian Kawasan Untuk Pengembangan Wisata Snorkeling dan Selam Kesesuaian Wisata Snorkeling Kesesuaian Wisata Selam Daya Dukung kawasan Evaluasi Aspek Visual Ekosistem Terumbu Karang Nilai Ekonomi Wisata Survei Sosial Ekonomi dan Persepsi masyarakat KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xx

19 xxi DAFTAR TABEL Halaman 1. Posisi geografis titik stasiun penelitian Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang digunakan Data yang dikumpulkan dalam analisis biaya perjalanan Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Komposisi penduduk menurut lapangan pekerjaan tahun Sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Siompu dan Kadatua Persentase tutupan biota dan substrat di stasiun penelitian Jumlah suku, jenis, kelimpahan dan indeks keragaman ikan per-lokasi Penelitian hasil perhitungan dengan metode under water visual census (UVC) Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Kategori snorkeling Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Kategori selam Nilai SBE masing-masing landscape/foto pada masing-masing Stasiun penelitian Pengelompokan nilai SBE berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah xxi

20 xxiii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan kerangka pemikiran penelitian Peta titik stasiun penelitian Komposisi ikan karang di lokasui penelitian berdasarkan hasil under water visual census (UVC) Peta kesesuaian wisata snorkeling di kawasan penelitian Peta kesesuaian wisata selam di kawasan penelitian Karakteristik tingkat pendidikan responden Karakteristik pekerjaan responden xxiii

21 xxv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis life form terumbu karang pada masing- masing Stasiun Penelitian dengan metode LIT Hasil analis ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian dengan dengan metode UVC Hasil Analisis Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Snorkeling Hasil Analisis Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Selam pada pada masing-masing stasiun penelitian Parameter indeks Kesesuaian Wisata Responden yang berkunjungan ke Pulau Liwutongkidi Hasil Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) terhadap foto/lanskap objek pada masing-masing lokasi penelitian Lanscape/foto untuk analisis Scenic Beauty Estimation Kuisioner Scenic Beauty Estimation Kuisioner Travel Cost Method (TCM) xxv

22 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi keterpencilan, terbatasnya luasan lahan, terbatasnya sumberdaya manusia, dan berbagai keterbatasan lain, bukanlah halangan bagi kita untuk dapat memanfaatkan potensi-potensi lain yang cukup dapat diharapkan. Walaupun secara ekologis kondisi pulau-pulau kecil biasanya homogen, pada dasarnya pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dapat bersifat multiple use. Sumberdaya pulau-pulau kecil misalnya, dapat saja dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas ekonomi, misalnya pariwisata, perikanan tangkap, perikanan budidaya dan lain-lain secara bersamaan atau bergantian sesuai kondisi alamnya. Potensi sumber daya pulau-pulau kecil yang tinggi saat ini belum atau belum banyak yang dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Potensi yang dimiliki tersebut antara lain keragaman hayati yang bernilai ekonomi tinggi (kerapu, kerang mutiara, ikan hias, napoleon, kima raksasa, teripang) serta kualitas keindahan terumbu karang dan keaslian dari pulau-pulau kecil yang berpotensi untuk pengembangan wisata bahari dimana kegiatan dari wisata bahari memiliki nilai keuntungan ekonomi paling tinggi dalam pemanfaatan terumbu karang jika pemanfaatannya secara lestari dibanding sektor lain, yaitu $ $ per km 2 pertahun (Cesar 1997 in Burke et al. 2004). Wisata pada awalnya hanya dianggap sebagai salah satu bentuk aspek lain dari aktivitas manusia. Sejalan dengan berkembangnya zaman, perubahan global yang meliputi hubungan geopolitik, restrukturisasi keadaan dan pola sosial ekonomi, inovasi teknologi, tingginya perhatian dan kesadaran akan lingkungan menyebabkan pariwisata tidak sekedar memenuhi hukum permintaan saja tetapi memasuki spektrum yang lebih luas. Bagi sejumlah negara, pariwisata telah menjadi suatu industri utama andalan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

23 2 Kabupaten Buton merupakan daerah kepulauan dan 82% dari wilayahnya adalah perairan laut. Sebagai daerah kepulauan sumberdaya perikanan dan kelautan menjadi andalan modal dasar pembangunan daerah (DKP Buton 2006). Kabupaten Buton memiliki potensi perikanan dan wisata bahari yang cukup potensial untuk dikembangkan. Ini terlihat pada beberapa lokasi di pulaupulau kecil Kabupaten Buton yang memiliki terumbu karang dan panorama bawah laut yang indah. Salah satu dari lokasi yang dimaksud adalah Pulau Liwutongkidi. 1.2 Perumusan Masalah Pemerintah Kabupaten Buton melalui Surat Keputusan Bupati Buton Nomor 1578 Tahun 2005 tentang Penetapan Pulau Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah, menjelaskan bahwa kegiatan ekowisata di wilayah KKLD Liwutongkidi (termasuk wilayah BASILIKA) diharapkan akan dapat memberikan kontribusi ekonomi dan membantu dalam pengelolaan KKLD. Hasil pengamatan visual yang dilakukan oleh Lembaga Napoleon (2006) menunjukkan bahwa kepulauan Silika (Siompu, Liwutongkidi, Kadatua) memiliki bentang terumbu karang tipe karang tepi (fringing reef). Sebaran vertikal terumbu karang umumnya pada rentang kedalaman 3 12 meter, dilanjutkan dengan bentangan pasir. Topografi bentang terumbu umumnya merupakan slope dengan kemiringan yang cukup curam. Kegiatan wisata dan rekreasi yang utama di Pulau Liwutongkidi saat ini adalah kegiatan di pantai dan wisata perairan. Hal ini menuntut diperhatikannya kelestarian ekosistem terumbu karang dan ekosistem lainnya diwilayah pesisir, karena pariwisata merupakan industri yang sangat peka terhadap perubahan eksternal, sehingga pemberdayaan masyarakat juga perlu jadi perhatian. Pemberdayaan masyarakat disini mencakup pemahaman akan potensi wisata. Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini harus diarahkan pada peningkatan kesadaran dan kepedulian sehingga kelestarian lingkungan perairan dan daratannya dapat terjaga.

24 3 1.3 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah pentingnya melakukan suatu kajian kesesuaian dan daya dukung ekosistem terumbu karang untuk pengembangan wisata bahari dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil seperti di pulau Liwutongkidi Kabupaten Buton. Selain itu diperlukan data potensi dan daya dukung lingkungan untuk pengembangan wisata bahari berbasis ekologis. Ekosistem terumbu karang yang terdapat dikawasan pesisir dan pulaupulau kecil memiliki beberapa manfaat. Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam, yang dapat diidentifikasi ke dalam manfaat langsung yaitu sebagai habitat bagi ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan manfaat tidak langsung seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan sebagainya (Swearer et al ; Cesar et al. 2003). juga merupakan lahan tempat mencari nafkah bagi masyarakat sekitarnya dan untuk pembangunan daerah. Melihat banyaknya fungsi yang dimiliki terumbu karang, bukan hal yang mustahil terjadi adanya benturan kepentingan antara para pihak yang terlibat dalam kegiatan didaerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Benturan-benturan kepentingan ini pada akhirnya akan menempatkan kepentingan ekologi sebagai objek yang dikorbankan, sementara kemampuan sebagai suatu ekosistem untuk memulihkan kondisinya kembali seperti semula tergolong sangat lambat, sehingga pada akhirnya perlahan tapi pasti ekosistem terumbu karang akan makin terpuruk kondisinya dan bukan tidak mungkin suatu saat akan musnah keberadaanya. Menyadari akan pentingnya keberadaan ekosistem terumbu karang dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai suatu ekosistem dikaitkan dengan konsep keseimbangan lingkungan yang selama ini kita anut dan berhubungan pula dengan upaya untuk menjaga kelangsungan keanekaragaman hayati, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan dan konservasi serta kajian kesesuaian daya dukung ekosistem terumbu karang untuk pengembangan dan pemanfaatan yang berkelanjutan, salah satunya

25 4 untuk pengembangan wisata bahari. Alur berfikir yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Pulau Liwutongkidi KKLD (SK Bupati Nomor 1578 Tahun 2005) Kawasan Wisata Perairan Potensi ekologis Potensi ekonomi Analisis kesesuaian untuk wisata Scenic Beauty Estimation (SBE) Analisis Travel Cost Method (TCM) Pengembangan Kawasan Pulau Liwutongkidi Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi kondisi ekologi terumbu karang di kawasan Pulau Liwutongkidi, 2. Menganalisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang bagi pengembangan ekowisata, dan 3. Mengestimasi nilai ekonomi wisata.

26 5 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdaya terumbu karang sebagai objek ekowisata dan sebagai arahan bagi pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan Pulau Liwutongkidi sebagai kawasan pengembangan ekowisata.

27 6

28 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau - Pulau Kecil Batasan pulau kecil mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan km 2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan orang. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. Alternatif batasan pulau kecil juga belandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh para ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari km 2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Arenas dan Huertas 1986 yang diacu dalam Bengen dan Retraubun 2006). Namun pada kenyataannya, banyak pulau berukuran antara km km 2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari km 2, sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari km 2. Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol sebagai berikut (Bengen 2002a) : - Terpisah dari habitat pulau induk dengan sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil - Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran. - Memiliki sejumlah jenis sumberdaya endemik yang bernilai ekologis tinggi. - Area perairan lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya. - Tidak mempunyai daerah hinterland yang jauh dari pantai. Pihak konservasionis memandang pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi, karena memiliki fungsi ekologis yang penting. Hal yang paling utama dari keberadaan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem pesisir dan lautan pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya (KLH 2002).

29 8 2.2 Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif ka1sium karbonat (CaC03), yang dihasi1kan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi ka1sium karbonat (Nybakken 1992). Di kawasan pu1au-pu1au kecil, banyak dijumpai karang dari berbagai jenis yang terdapat pada rataan terumbu tepi (fringing reef), sedangkan di kawasan Indonesia Bagian Timur sering dijumpai terumbu karang dengan tipe terumbu cincin (atoll) (Bengen 2002b) Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari sistem sumberdaya alam pesisir yang tergolong sebagai habitat kritis dimana kondisi lingkungan merupakan perpaduan antara ekosistem mangrove dan padang lamun. Secara ekologis ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan temperatur, kekeruhan, salinitas. Distribusi terumbu karang juga dipengaruhi oleh faktor - faktor tersebut. Beda kondisi parameter perairan seperti temperatur, salinitas, aksi gelombang, maka spesies dan keragaman terumbu karang juga akan berbeda (Veron 1986). Menurut Nybakken (1992) parameter lingkungan yang sangat menentukan kehidupan terumbu karang antara lain : - Suhu. Terumbu karang tumbuh secara optimal pada suhu C, dan dapat mentolerir suhu sampai kira - kira C, tetapi tidak dapat bertahan pada suhu minimum tahunan dibawah 18 C - Kedalaman Kebanyakan terumbu karang hidup pada kedalaman sampai 25 m atau kurang, dan tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam dari meter karena kedalaman berhubungan erat dengan cahaya matahari yang dapat masuk ke perairan, - Cahaya Parameter ini menjadi faktor pembatas kehidupan terumbu karang karena dibutuhkan oleh zooxanthelae untuk berfotosintesis. Zooxanthellae adalah

30 9 sejenis tumbuhan yang berasosiasi dalam tubuh hewan karang. Selain itu zooxanthellae memberikan warnah yang indah pada terumbu karang, hal ini menjadi daya tarik sebagi objek wisata selam dan snorkeling. - Salinitas Karang hanya dapat hidup pada salinitas normal air laut, yaitu pada kisaran %. Diluar kisaran tersebut, pertumbuhan karang dapat terganggu dan bisa mengakibatkan kematian hewan karang. - Pengendapan Adanya pengendapan akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian makan karang, dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan. - Gelombang Tidak adanya gelombang dan arus memungkinkan terjadinya pengendapan di terumbu karang, selain itu juga suplai plankton dan air segar yang kaya oksigen jadi berkurang. Terumbu karang beradaptasi dan sebaliknya dapat memodifikasikan lingkungan fisiknya, oleh karenanya faktor lingkungan fisik terumbu mempunyai perbedaan yang luas menurut daerahnya. Gradient suhu dan salinitas merupakan faktor pembatas utama penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang (Jones dan Endean 1973). Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia, dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Berbagai pendapat menyatakan hal sebaliknya, bahwa ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dinamis, tidak mapan dan mampu memperbaiki dirinya sendiri dari gangguan alami (Dahuri 2003). Secara umum terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (1) penambangan dan pengambilan karang, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metode yang merusak, (3) penangkapan yang berlebih, (4) pencemaran perairan, (5) kegiatan pembangunan di wilayah

31 10 pesisir, dan (6) kegiatan pembangunan di wilayah hulu. Sementara itu, degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh alam antara lain oleh predator, pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir dan tsunami serta bencana alam lainnya seperti El-Nino dan La-Nina (Westmacott et al. 2000). Ancaman terhadap terumbu karang akibat pembangunan wilayah pesisir dianalisis berdasarkan jarak ke pusat pemukiman penduduk, luas area pusat pemukiman, tingkat pertumbuhan penduduk, jarak ke pangkalan udara, pertambangan, fasilitas pariwisata, dan pusat fasilitas selam. Hasil analisis menunjukkan 25% terumbu karang di kawasan ini terancam oleh pembangunan pesisir. Penebangan hutan, perubahan tata guna lahan, dan praktek pertanian yang buruk. Semuanya menyebabkan peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur hara ke daerah tangkapan air. Sedimen dalam kolom air dapat sangat mempengaruhi pertumbuhan karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang. Kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang pertumbuhan alga yang beracun. Keadaan ini mendorong pertumbuhan alga lain yang tidak saja memanfaatkan energi matahari tetapi juga menghambat kolonisasi larva karang dengan cara menumbuhi substrat yang merupakan tempat penempelan larva karang (Tomascik et al. 1997). 2.3 Ekowisata Secara konseptual, ekowisata dapat didefenisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya - upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Selanjutnya pada pertemuan ekowisata pada bulan Juli 1996 di Bali yang diselenggarakan oleh Indekom sebagai Lokakarya nasional ekowisata yang melahirakan forum Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) rumusan ekowisata yang disepakati dari pertemuan itu adalah kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur

32 11 pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar daerah tujuan ekowisata (Sudarto 1999). Menurut Bruce et al. (2002) ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata adalah wisata yang berbasis pada memperbolehkan orang untuk menikmati lingkungan alam dalam arah yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Buckley (1996), menyatakan ada 4 gambaran perjalanan yang umumnya berlabelkan ekowisata yaitu (a) wisata berbasis alamia, (b) kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata, (c) wisata yang sangat peduli dengan lingkungan,(d) wisata yang berkelanjutan. Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya beriorientasi pada keberlanjutan tetapi lebih dari pada itu yakni mempertahankan nilai sumberdaya dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya rnasyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar (Yulianda 2007). Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan (Fandeli 2000). - Wisata alam (nature tourism), merupakan aktifitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya. - Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. - Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.

33 Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung (Carrying Capacity) Ekowisata Kesesuaian ekologi ekowisata bahari adalah suatu kriteria sumberdaya dan lingkungan yang disyaratkan atau dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata bahari. Pengembangan ekowisata yang berbasis pada ketersedian potensi sumberdaya hayati suatu kawasan sangat ditentukan oleh kesuaian secara ekologis. Wisata bahari seperti wisata selam dan snorkeling sangat didukung oleh kesesuaian ekosistem terumbu karang yang sehat dan berada dalam kondisi yang bagus, yang akan menjadi objek dan daya tarik yang diincar oleh wisatawan (Salm 1986). Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan tetap memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Tidak ada satu ukuran mutlak yang dapat menunjukkan daya dukung ekosistem dalam menampung semua kegiatan manusia karena berbagai variabel yang menentukan. Besarnya daya dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia. Menurut Lim (1998) faktor penentu daya dukung terumbu karang : (1) Ukuran dan bentuk karang (2) Komposisi dari komunitas karang (3) Kedalaman arus dan kecerahan (4) Tingkat pengalaman snorkelers dan penyelam (5) Aksesibilitas (6) Atraksi. Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda sehingga perencanaan pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil secara spatial akan bermakna dan menjadi penting. Secara umum ragam daya dukung wisata bahari dapat meliputi (Nurisyah 2001): 1. Daya dukung ekologis, yang merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu kawasan, 2. Daya dukung fisik, yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas. Daya dukung fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung.

34 13 3. Daya dukung sosial, yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan pengunjung kawasan tujuan wisata. 4. Daya dukung rekreasi, yang merupakan konsep pengelolaan yang menempatkan kegiatan rekreasi dalam berbagai objek yang terkait dengan kemampuan kawasan. Pengembangan pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus direncanakan dan dikembangkan secara ramah lingkungan dengan tidak menghabiskan atau merusak sumber daya alam dan sosial, namun dipertahankan untuk pernanfaatan yang berkelanjutan. Identifikasi ekosistem kritis (critical ecosystem) serta penentuan ambang batas (carrying capacity) di pesisir dan pulau-pulau kecil sangat penting dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata dengan pendekatan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Pelaksanaan pariwisata bahari akan berhasil apabila memenuhi komponen yang terkait kelestarian lingkungan alam, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah 2001). Dalam fungsinya sebagai media wisata, ekosistem pantai dan khususnya ekosistem terumbu karang mempunyai kapasitas tertentu dalam melangsungkan fungsinya secara berkelanjutan. Berkaitan dengan pemanfaatan non-ekstraktif, dalam hal ini pariwisata, maka upaya pelesatarian alam pada ekosistem terumbu karang yang ada hanya akan menampakan hasil yang diharapkan bila pengembangan pariwisata yang dilakukan terkontrol dengan baik, sementara perencanaan penggunaan kawasan terformulasikan dengan baik dan benar, serta upaya pemantauan dan pengendalian atas kemungkinan dampak negatif yang timbul dengan selalu melakukan upaya penegakan-penegakan hukum secara terarah dan konsisten. Karena pada dasarnya unsur-unsur lingkungan hidup dapat dikembangkan sebagai objek wisata bila unsur-unsur lingkungan hidup tersebut dapat dipersiapkan secara baik melalui kemampuan manusia dengan sentuhan teknologinya, serta dapat memenuhi kebutuhan wisatawan (Wiharyanto 2007).

35 14 Kesesuaian kondisi ekosistem terumbu karang untuk kegiatan wisata bahari meliputi kesesuaian wisata selam dan wisata snorkelling. Kriteria yang yang dipakai untuk wisata selam adalah : kecerahan perairan, tutupan komunitas hidup, jenis life form, keragaman jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang (Arifin 2008). Dari sudut pandang ekologi, sosial ekonomi dan estetis maka daya dukung wisata bahari, dalam hal ini jumlah total penyelam dan snorkeler yang dapat ditampung sebuah kawasan, berkaitan langsung dengan tersedianya lokasi selam yang berkualitas tinggi, kawasan yang keanekaragaman spesiesnya tinggi dan jumlah karang batu, ikan, dan organisme lainnya yang banyak dengan sedikit dampak manusia. Dengan jumlah kawasan yang terbatas, kawasan yang rusak sampai yang sering dikunjungi maka perhatian akan semakin terfokus pada sisa kawasan yang masih berkualitas tinggi. Dalam hal ini, pentingnya menjaga kawasan dalam kondisi yang baik tidak dapat ditekankan secara berlebihan (Vantier dan Turak 2004) Analisis daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalisis jumlah maksimum wisatawan yang diperbolehkan melakukan kegiatan wisata bahari disuatu kawasan, dalam hal ini kawasan ekosistem terumbu karang, tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Gangguan keseimbangan ini diakibatkan oleh kerusakan biofisik ekosistem secara langsung dan tidak langsung, misalnya melalui pencemaran (Mitchell et al. 2007). Berdasarkan sumber gangguan ekosistem tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kawasan objek wisata (ekosistem) yang rentan terhadap kerusakan langsung dan pendekatan maksimum beban limbah (Orams 1999). Terumbu karang sebagai sebuah ekosistem alam, memiliki level intrinsik untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, untuk perikanan, pariwisata dan berbagai aktivitas lainnya, sebagai ekosistem bawah air yang dapat mengatasi dan memiliki daya tahan dan daya pulih yang dimiliki, tetapi pada bagian atas sering terjadi perubahan yang merugikan (Salm dan Clark 1989). Beberapa penelitian tentang daya dukung pengunjung dan dampak penyelam terhadap terumbu karang yang fokus pada SCUBA divers di Laut Merah (Mesir), Laut Karibia dan Great Barrier Reef (Australia) (Davis dan

36 15 Tisdell 1995; Hawkins dan Robert 1997; Jameson et ai.1999). Dari hasi penelitian ini didapatkan bahwa daya dukung (carrying capacity) untuk wisata bahari di kawasan terumbu karang tergantung tidak hanya pada jumlah penyelam, tetapi juga tipe penyelaman, latihan, pendidikan mereka, tipe dari bentuk pertumbuhan karang dan struktur komunitas karang. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa karang dapat dirusak oleh kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas penyelam amatir, dan pada berberapa kasus pembangunan infrastruktur yang berasosiasi dengan wisata bahari dapat menyebabkan kerusakan pada lokasi penyelaman itu sendiri. Berbagai aktifitas menyelam dan snorkeling yang dapat merusak seperti sentuhan terhadap karang baik dari peralatan seperti tabung, fin dan kamera. Aktifitas gerakan penyelam seperti kayuhan fin yang menyebabkan pengadukan sedimen didekat karang (Zakai dan Chadwick 2002). Beberapa interaksi dan kontak yang kompleks dari kegiatan penyelaman terhadap terumbu karang seperti tipe penyelaman, kondisi alam lokasi (hamparan karang, arus, tipe komunitas karang dan kharakteristik lainnya) yang beragam antara lokasi, pengalaman/ tingkah laku penyelam, tingkat kerusakan karang, konsentrasi penumpukan penyelam, pemisahan aktifitas selam, akses ke lokasi selam, berjalan di karang pada snorkeling, tambatan atau jangkar kapal dan ukuran dari lokasi selam, yang kesemuanya dapat mempengaruhi daya dukung, dan sangat penting diperhatikan dalam menetapkan jumlah penyelam per lokasi (Barker dan Roberts 2003). Hawkins dan Roberts (1993) merekomendasikan angka penyelam perlokasi pertahun dapat digunakan untuk menduga daya dukung kawasan konservasi laut untuk mendukung wisata selam dan snorkeling. Penentuan daya dukung ini tergantung pada jumlah lokasi penyelaman yang dapat di gunakan. Pengembangan wisata bahari dan penerapan batas pelestarian (melalui kapasitas daya dukung atau toleransi batas perubahan) sangat tergantung pada situasi kondisi lingkungan perairan. Dampak yang berpengaruh pada kualitas lingkungan laut juga akan berdampak pada wisata bahari baik yang berdiri sendiri, maupun yang tidak berhubungan langsung dengan pariwisata, tapi

37 16 memiliki efek yang mengganggu (Davids dan Tisdell 1996). Selanjutnya ditambahkan oleh Vantier dan Turak (2004) bahwa dari perspektif estetis (sosial/kenyamanan) mengendalikan jumlah penyelam guna menjaga nilai kenyamanan dapat didasarkan pada jumlah rata-rata penyelam untuk memperoleh kenyamanan ketika menyelam. Berbeda dengan industri tourism umumnya, ecotourism memerlukan sentuhan manajemen spesifik agar dapat mencapai tujuan sustainability dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Fokus manajemen ecotourism adalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya yang tidak tergantikan (irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan untuk generasi mendatang. Konflik kepentingan akan mudah timbul antara aspek ekonomi dan ekologi pada suatu sumberdaya. Manfaat bagi generasi mendatang masih banyak yang belum terhitung (tangible), misalnya fungsi keanekaragaman hayati atau manfaat flora tertentu bagi ilmu pengetahuan pada sumberdaya hutan. Manfaat ini akan mudah dikorbankan oleh alasan ekonomi dalam suatu manajemen ecotourism yang tidak hati-hati. Oleh karena itu, manajemen ecotourism mementingkan proses pendidikan terkait dengan upaya-upaya konservasi lingkungan (Nugroho 2004). Ceballos dan Lascuarin (1997) in Dirawan (2003) menyatakan bahwa ekowisata sebagai suatu bagian.logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan berbagai disiplin dan perencanaan yang hati-hati (baik secara fisik maupun pengelolaannya). Selanjutnya disebutkan bahwa, sebaiknya, perkembangan wisata rnenerapkan konsep ekowisata. Hal ini disebabkan karena ekowisata dapat dikatakan bukan hanya sebagai salah satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan (Sekartjakrarini 2003). Dalam konteks ini, yang membedakan ekowisata dengan pariwisata pada umumnya adalah aktivitas ekowisata memberikan pembelajaran yang dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya.

38 17 Sebagai industri, ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang menempatkan pariwisata sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini 2003). Tujuan pengembangan ekowisata di kawasan konservasi adalah untuk mewujudkan misi konservasi. Dalam pengembangan ekowisata tujuan ini dicapai diantaranya dengan memasukan program-program konservasi dalam produk wisata pengelolaannya. Dimana kegiatan interpretasi lingkungan dalam ekowisata merupakan media yang efektif untuk mengkampanyekan programprogram konservasi baik kepada pengunjung maupun masyarakat lokal. 2.5 Metode Biaya Perjalanan (TCM) Nilai ekonomi merupakan sebuah pengukuran tentang berapa jumlah maksimum seseorang mau melepaskan suatu barang atau jasa untuk mendapatkan barang atau jasa yang lain (Lipton et al in Prihatna 2007). Dalam pandangan ekonomi pada umumnya, nilai ekonomi diukur dari harga pasar (market price). Harga merupakan indikator nilai yang benar bagi sebuah perubahan kecil (yang disebut oleh ekonom sebagai margin). Namun ini hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu. Secara umum, bagi perubahan kecil dan besar terhadap suatu sumberdaya alam atau kawasan, indikator untuk menentukan nilai ekonomi yang benar adalah kemauan membayar seseorang (willingness to pay) atau kemauan menerima (willingness to accept) seseorang atas suatu barang atau jasa. Metode Biaya Perjalanan (travel cost method, TCM) merupakan metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value) dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar (non market good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada suatu tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalam bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat (Grigalunas et al. 1998). Terdapat tiga kelompok dasar dari Travel Cost Model yaitu : (1) Zona Travel Cost Model yaitu memperkirakan rata-rata permintaan terhadap kunjungan

39 18 wisata dari berbagai zona asal pengunjung; (2) Individual Travel Cost Model yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata, dalam pendekatan ini, pengunjung dikelompokkan berdasarkan pengeluaran; dan (3) Discrete Choice Travel Cost yaitu untuk mengestimasi kunjungan wisata berdasarkan pilihan diskret apakah akan mengunjungi satu lokasi wisata atau tidak (Grigalunas et al. 1998).

40 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Pulau Liwutongkidi yang termasuk wilayah Kecamatan Kadatua dan Kecamatan Siompu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April sampai Mei Lokasi pengambilan data biofisik dilakukan di perairan Pulau Liwutongkidi, Pulau Kadatua dan Pulau Siompu dengan jumlah titik sampling 12 stasiun. Penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja (purposive sampling) yang didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi stasiun yang dipilih dapat mewakili perairan pulau Liwutongkidi secara keseluruhan. Pemilihan lokasi juga mempertimbangkan faktor kedalaman, dimana lokasi yang dipilih hanya yang memiliki kedalaman sama atau lebih besar dari 3 m. Dengan menggunakan GPS titik kordinat masing-masing stasiun diambil. Kordinat dari 12 stasiun penelitian pada ketiga pulau dapat dilihat pada Tabel 1 dan lokasi stasiun pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 1 Posisi geografis stasium penelitian. Posisi Geografis Lokasi Stasiun Lintang Selatan Bujur Timur Pulau Liwutongkidi 1 5⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ Pulau Kadatua 9 5⁰ ⁰ ⁰ ⁰ Pulau Siompu 11 5⁰ ⁰ ⁰ ⁰

41 Gambar 2 Peta stasiun pengambilan data.

42 3.2 Pengumpulan Data Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode penelitian survey dengan beberapa tahapan. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui pengukuran, pengamatan dan wawancara yang secara garis besar meliputi kondisi ekosistem, sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran terhadap laporan hasil penelitian atau kegiatan dilokasi yang sama dan data dari instansi terkait. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti laporan hasil survey dan publikasi lainnya serta peta-peta yang tersedia Parameter kualitas lingkungan perairan Data lingkungan kualitas perairan yang diperlukan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang digunakan No. Jenis data Alat Satuan Keterangan Kecepatan arus Kecerahan Kedalaman Salinitas Suhu Floating drauge Secchi disc Meteran Refraktometer Termometer m/det (%) Meter ( ) (ºC) In situ In situ In situ In situ In situ Lifeform komunitas karang Identifikasi karang dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) mengikuti English et al. (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangan yaitu seorang penyelam meletakkan meteran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada disebelah kiri penyelam. LIT ditentukan pada garis transek 0-10 m, m, m. Kemudian dilakukan pencatatan karang yang berada tepat di garis meteran.

43 Ikan karang Metode yang dilakukan dalam pengamatan ikan karang adalah underwater visual census. Selama melakukan pengamatan, peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan karang. Pengamatan ikan karang ditunjang dengan buku identifikasi ikan karang dari Kuiter et al. (2001). Pengamatan dilakukan sepanjang garis transek 70 m pada kolom air dengan jarak pandang 2.5 m ke kiri dan 2.5 m ke kanan Sosial ekonomi dan budaya Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara dengan 50 responden (interview). Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi lokasi penelitian, kondisi sosial ekonomi dan persepsi atau pemahaman masyarakat tentang pengelolaan Pulau Liwutongkidi sebagai kawasan ekowisata. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa responden adalah individu, masyarakat atau aparat Pemerintah Daerah yang mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan baik langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan ekowisata di daerah setempat. Pengumpulan data primer dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data yang dikumpulkan meliputi data ekonomi dan sosial. Sedangkan data untuk analisis biaya perjalanan dapat dilihat pada Tabel Data ekonomi masyarakat seperti mata pencaharian, tingkat pendapatan 2. Data sosial dan budaya meliputi : tingkat pendidikan, sarana dan prasarana perikanan, sistem kekerabatan masyarakat, kepariwisataan, dan perhubungan. Tabe1 3 Data yang dikumpulkan dalam analisis biaya perjalanan No Data yang dibutuhkan Jenis data 1. Jumlah pengunjung ke lokasi per musim atau per Data sekunder tahun 2. Biaya perjalanan pengunjung Data primer 3. Pendapatan rumah tangga Data primer 4. Umur Data primer 5. Pendidikan Data primer 6. Jumlah rombongan Data primer 7. Tanggungan keluarga Data primer 8. Lain-lain (faktor yang mempengaruhi demand) Data primer

44 Analisis Data Persentase Penutupan Karang Persen penutupan karang berdasarkan pada kategori dan persentase tutupan karang hidup (life form). Semakin tinggi persen penutupan karang hidup maka kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik dan semakin penting pula untuk dilindungi. Data persen penutupan karang hidup yang diperoleh berdasarkan metode line intersect transect (LIT) dihitung berdasarkan persamaan dari English et al. (1997) : Persentase penutupan (%) = x 100 % Keterangan: li = Panjang lifeform karang jenis ke- i (m) L = Panjang transek yang diamati (m) Kategori kondisi dalam persentase penutupan karang hidup berdasarkan Gomez dan Yap (1988) menyatakan kriteria baku mutu untuk kondisi terumbu karang sebagai berikut : a. Sangat Baik antara % b. Baik antara % c. Sedang antara % d. Rusak antara % Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang Kelimpahan ikan didefinisikan sebagai banyaknya ikan per luas daerah pengambilan contoh. Kelimpahan ikan dihitung dengan rumus dari Odum (1971) : Kelimpahan Ikan = Xi / L Keterangan : Xi = Jumlah individu ikan karang pada stasiun ke-i (ind) L = Luas terumbu karang yang diamati (m²) Sedangkan keanekaragaman ikan karang dihitung dengan menggunakan Indeks Shanon Wiener (Krebs 1972). H p ln p Keterangan : H = S = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener jumlah spesies ikan karang atau jumlah lifeform biota habitat dasar

45 24 p = ni = N = proporsi kelimpahan individu dari satu individu ke i (ni/n) jumlah individu tiap jenis jumlah total Spesies ikan yang didata dikelompokan ke dalam 3 kelompok utama (English et al. 1997), yaitu : a. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh family Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol). b. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh family Chaetodontidae (ikan kepe-kepe). c. Ikan-ikan mayor, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5-25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada diterumbu karang, diwakili oleh family Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu) dan Blennidae (ikan peniru). 3.4 Analisis matriks kesesuaian wisata snorkeling dan selam Kesesuaian wisata snorkeling Untuk kategori wisata snorkeling mempertimbangkan tujuh (7) parameter dengan tiga (3) klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata snorkeling dapat dilithat pada Tabel 4, antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang (Yulianda, 2007).

46 25 Tabel 4 Matriks kesesuaian Wisata Bahari kategori wisata snorkelling No. Parameter Bobot Standar Parameter Skor N (Bobot x Skor) Kecerahan perairan 80- < (%) 20 - < 80 1 < Tutupan komunitas karang (%) Σ Jenis life form karang 4. Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman terumbu karang (m) Lebar hamparan datar karang (m) Sumber : Yulianda (2007) > 75 3 > < 20 0 > 12 3 < < 4 0 > >30 1 < > > > > > > 10-< 1 0 > > < 20 0 Σ N = Σ Nmaks = 57 IKW = Selanjutnya untuk menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk wisata snorkeling menggunakan formula : IKW N N x 100 % Keterangan : IKW= Indeks Kesesuaian Wisata snorkeling N = Nilai parameter ke-i (bobot x skor) N = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata = 57

47 26 Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata snorkeling adalah sebagai berikut (modifikasi Yulianda 2007) : S1 = sangat sesuai, dengan IKW % S2 = sesuai, dengan IKW 50 - < 83 % N = tidak sesuai, dengan IKW < 50% Kesesuaian wisata selam Parameter kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifefrom, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam No. Parameter Bobot Standar Parameter Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang % Σ Jenis life form karang 4. Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman terumbu karang (m) Sumber : Yulianda (2007) Skor > < 50 1 < 20 0 > 75 3 > < 25 0 > 12 3 < < 4 0 > < 50 1 < > > > <6 & > > <3 & > 30 0 Σ N = Σ Nmaks = 54 IKW = N (Bobot x Skor)

48 27 Untuk menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk wisata selam diformulasikan sebagai berikut (Yulianda 2007) : IKW N x 100 % N Keterangan : IKW = Indeks Kesesuaian Wisata N = Nilai parameter ke-i (bobot x skor) N = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata = 54 Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata selam adalah sebagai berikut (modifikasi Yulianda 2007): S1 = sangat sesuai, dengan IKW % S2 = sesuai, dengan IKW 50 - < 83 % N = tidak sesuai, dengan IKW < 50% 3.5 Analisis Nilai Daya Dukung Kawasan Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Menurut Yulianda (2007) konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan 2 (dua) hal, yaitu : (1) kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dan manusia, dan (2) standar keaslian sumberdaya alam. Analisis daya dukung ditujukan para pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, sehingga perlu adanya penentuan daya dukung kawasan. Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia, dapat dilihat pada rumus (Yulianda 2007) :

49 28 DDK= K x L x W L W Keterangan : DDK = Daya dukung kawasan K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu. Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan pada (Tabel 6). Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam menolerir pengunjung sehingga keaslian tetap terjaga. Setiap melakukan kegiatan ekowisata, setiap pengunjung akan memerlukan ruang gerak yang cukup luas untuk melakukan aktivitas seperti diving (menyelam) dan snorkling untuk menikmati keindahan pesona alam bawah laut, sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata (Tabel 7). Tabel 6 Potensi Ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis Pengunjung Unit area Kegiatan (orang) (Lt) Keterangan Snorkling m 2 Setiap 1 orang dalam 100 m x 5 m Selam m 2 Setiap 2 orang dalam 200m x 10m Sumber : Yulianda (2007) Tabel 7 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Jenis kegiatan Waktu yang dibutuhkan Wp- Total waktu 1 hari Wt- (jam) (jam) Snorkling 3 6 Selam 2 8 Sumber : Yulianda Analisis nilai ekonomi wisata Metode biaya perjalanan (Travel Cost Method/TCM) yaitu metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value) dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar

50 29 (non market good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada suatu tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalarn bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat (Grigalunas et al. 1998). Tujuan melakukan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu di lokasi tersebut. Untuk itu, perlu diestimasi fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata. Dalam analisis TCM ini dilakukan dengan pendekatan individual travel cost analysis yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata. Adapun persamaan yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut (Grigalunas et al. 1998): 1. Y = a + bx atau V = a + btc Keterangan : Variabel Y = V (Jumlah kunjungan) Variabel x = TC (Biaya kunjungan) a 2. TC = b1 Keterangan : -b1 = diperoleh dari hasil regresi 1 3. V = b1 Keterangan : b1 = diperoleh dari hasil regresi 4. Kesediaan membayar (utiliti) U = TC x Vrata rata ( 2 ) Keterangan : TC = Biaya kunjungan V rata-rata = Jumlah kunjungan rata-rata 5. Surplus Konsumen Vrata rata CS = TC TC rata-rata x ( ) 2

51 30 6. Nilai manfaat ekonomi - Nilai per Ha = CS x N L - Nilai ekonomi total = CS * N Keterangan : N = Rata-rata kunjungan L = Luas Area 3.7 Kualitas Lanskap Ekosistem Terumbu Karang Pada tahap ini dilakukan analisis spasial dalam bentuk penilaian visual lanskap yang merupakan metode penetapan nilai kualitas lanskap dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata. Metode yang dapat digunakan dalam menentukan nilai visual suatu lanskap adalah prosedur Scenic Beauty Estimation (Daniel dan Bostes 1976). Adapun tahapan dalam penentuan nilai SBE yaitu: 1. Penentuan hamparan titik pengamatan dan pengambilan foto Titik pengamatan yaitu stasiun pengamatan yang memiliki nilai kesesuaian wisata snorkelling dan diving kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (sesuai). Masing-masing stasiun tersebut diambil foto hamparan dan jenis terumbu karangnya dalam berbagai sudut pengamatan, serta biota-biota yang khas dari suatu stasiun 2. Seleksi foto Foto foto yang akan dipresentasikan atau diperlihatkan pada responden merupakan hasil seleksi dari keseluruhan foto yang diambil. Seleksi dilakukan dengan memilih foto yang dianggap dapat mewakili keanekaragaman ekosistem terumbu karang yang dilihat dari tiap stasiun. Untuk mengurangi bias akibat pengaruh cahaya perairan, maka khusus untuk foto dilakukan editing dengan menggunakan software ACDSee, sehingga diharapkan foto yang dipresentasikan pada responden memiliki kualitas gambar yang sama dengan aslinya. 3. Penilaian oleh responden Responden yang dipilih adalah wisatawan asing atau lokal, pelaku wisata selam atau penyelam yang memiliki sertifikat selam minimal A1. Jumlah responden yang dipilih sebayak 50 orang, penilaian oleh responden dalam

52 31 bentuk penilaian melalui kuisioner kuisoner dengan memperlihatkan foto yang telah dipilih. Dari setiap foto yang ditampilkan, responden akan menilai setiap foto yang ditampilkan dengan memberikan skor 1-10, dimana skor 1 menunjukan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan nilai yang paling disukai. 4. Perhitungan nilai SBE Tahapan perhitungan nilai visual dengan metode SBE diawali dengan tabulasi data, perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan cumulative probabilities (cp). Selanjutnya dengan menggunakan table z ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk nilai cp = 1.00 atau cp = (z = ± ) digunakan rumus perhitungan cp = 1 1 / (2n) atau cp = 1 / (2n) (Bock dan Jones 1968 in Khakim 2009). Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap fotonya kemudian dimasukan dalam rumus SBE sebagai berikut : SBEx = (Zx - Zo) x 100 Keterangan : SBEx = Nilai penduga pada nilai keindahan pemandangan landskap melalui foto / video ke-x Zx = Nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x Zo = Nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar Selanjutnya dari nilai SBE dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu nilai SBE tertinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) menurut Hadi 2001 in Khakim (2009) dengan rumus : I Nilai tertinggi Nilai terendah Jumlah kelas

53 32

54 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Kabupaten Buton Kabupaten Buton merupakan daerah kepulauan, 82% wilayahnya adalah perairan laut dan terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi, termasuk dalam Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah Kabupaten Buton sebagian berada wilayah Pulau Buton, sebagian berada di wilayah Pulau Muna dan sebagian berada di bagian tenggara jazirah Pulau Sulawesi. Luas Kabupaten Buton adalah 2 488,71 km 2 atau hektar. Luas laut Kabupaten Buton sekitar km 2 tersebar di 21 kecamatan. Panjang garis pantainya 538 km dan terumbu karang seluas ha (DKP Buton, 2006). Ibukotanya adalah Pasar Wajo, yang berjarak sekitar 50 km dari kota Bau-Bau. Secara geografis Kabupaten Buton terletak antara 4,96-6,25 Lintang Selatan dan 120, ,34 Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Buton mempunyai batas-batas sebagai berikut : Bagian Utara : Kabupaten Muna Bagian Selatan : Laut Flores Bagian Barat : Kabupaten Bombana Bagian Timur : Kabupaten Wakatobi. Kabupaten Buton memiliki topografi yang bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Permukaan tanah pegunungan pada ketinggian meter diatas permukaan laut dengan kemiringan 40. Permukaan wilayah pada umumnya berbatu-batu dengan profil tanah yang agak dangkal. Jenis tanah podzolik, alluvial, grumosol, mediteran, lotosol, umumnya mudah tererosi dan longsor. Sebagian pegunungan dan perbukitan terdiri dari batu kapur dan batubatuan (DKP 2007). Kabupaten Buton beriklim tropis dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Suhu pada siang hari sangat panas dan curah hujan yang cukup tinggi. Musim hujan dipengaruhi oleh angin Barat yang terjadi pada bulan Desember sampai April, ditandai oleh curah hujan tinggi, ombak besar dan angin kencang. Pada musim ini angin darat bertiup dari Benua Asia dan Lautan Pasifik. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai September, angin Timur bertiup

55 34 dari Benua Australia yang kering. Pada bulan April-Mei arah angin dan curah hujan tidak menentu, dikenal dengan musim Pancaroba (DKP Sulawesi Tenggara 2003). Wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Buton terdiri dari 21 Kecamatan, 185 Desa/Kelurahan yang terdiri dari 164 Desa dan 24 Kelurahan dengan Ibu Kotanya Pasarwajo. Menurut klasifikasi desa/kelurahan, dari 185 desa/kelurahan di Kabupaten Buton pada tahun 2005 ada sebanyak 169 desa (91,35%) merupakan desa swadaya dan sisanya 16 desa (8,65%) merupakan desa swakarya (Bappeda 2009). Potensi sumber daya alam Kabupaten Buton yang menjadi andalan adalah aspal, sumberdaya ikan, dan jasa kelautan. Aspal Buton memiliki kualitas yang tinggi dan lebih baik mutunya dibandingkan aspal drum. Tambang aspal terletak di sebelah selatan Pulau Buton. Pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan melalui perikanan tangkap dan budidaya, sedangkan sektor pariwisata dikembangkan wisata bahari dan Hutan Lambusango. Jenis ikan komersial yang menjadi target penangkapan adalah ikan tuna, layang, cakalang, tongkol, ikan karang (kerapu, sunu, lobster), dan teri nasi. Alat tangkap yang digunakan nelayan di kabupaten Buton pada umumnya adalah pancing ulur, bubu, gillnet, dan pukat cincin. Jumlah alat tangkap yang digunakan sekitar 20 jenis alat yang dikelompokkan yaitu kelompok Pukat (payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap), kelompok Pancing ( huhate, pancing rawai tuna, pancing rawai dasar, pancing tonda, pancing ulur), kelompok Alat Perangkap (sero dan bubu), dan kelompok Bagan (bagan tancap dan bagan perahu). Sebagian besar usaha perikanan tangkap bersifat perorangan dan sedikit sekali usaha perikanan tangkap berkelompok skala besar. Perikanan budidaya yang berkembang di kabupaten Buton adalah budidaya rumput laut, mutiara, dan kerapu. Budidaya rumput laut lebih berkembang luas daripada budidaya mutiara dan kerapu. Luas areal budidaya rumput laut terbesar terdapat di kecamatan Lakudo, Mawasangka, Batauga, dan Lasalimu Selatan. Budidaya kerapu berkembang pesat di Kecamatan Lakudo, sedikit di Kecamatan Siompu dan Gu.

56 35 Sedangkan budidaya mutiara (mabe) hanya terdapat di Kecamatan Kapontri (DKP Buton 2006) Pulau Liwutongkidi Lokasi dan Iklim Pulau Liwutongkidi terletak di antara Pulau Kadatua dan Pulau Siompu, yang secara administratif sebagian wilayahnya termasuk Kecamatan Kadatua dan sebagian lainnya termasuk Kecamatan Siompu. Pulau Liwutongkidi merupakan pulau kecil yang tidak berpenghuni yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Pulau Liwutongkidi mempunyai dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan lebih dari mm/tahun yang termasuk dalam ketegori daerah basah. Arah angin pada musim kemarau yakni pada bulan Mei- Oktober berhembus dari arah utara menuju tenggara. Khusus pada bulan April, arah angin tidak menentu demikian pula curah hujan sehingga pada bulan itu dikenal dengan bulan atau musim pancaroba (DKP Sulawesi Tenggara 2003) Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya. Karena Pulau Liwutongkidi tidak berpenghuni, untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya digunakan indikator pengganti (surrogate), yaitu kondisi masyarakat yang ada di daerah yang terdekat yaitu Kecamatan Kadatua dan Kecamatan Siompu. Selain daerah terdekat dengan Pulau Liwutongkidi, Kecamatan Kadatua dan Siompu merupakan kecamatan binaan COREMAP II di Kabupaten Buton Kecamatan Kadatua Kecamatan Kadatua terletak sekitar 40 mil dari Bau-Bau, atau sekitar 15 menit dengan transportasi laut. Secara geografis Kecamatan Kadatua terletak di sebelah barat Pulau Buton yang terdiri dari Pulau Kadatua dan sebagian Pulau Liwutongkidi. Pulau Kadatua terletak di sebelah utara Pulau Liwutongkidi. Kecamatan Kadatua terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kecamatan ini berbatasan di sebelah utara dengan Laut Flores, di sebelah selatan dengan Selat Siompu, di sebelah timur dengan Selat

57 36 Masiri dan di sebelah barat juga dengan Laut Flores. Kecamatan ini terdiri dari 6 (enam) desa yaitu: Desa Lipu (luas 7,08 km 2 ), Desa Kapoa (4.91 km 2 ), Desa Banabungi (4.13 km 2 ), Desa Waonu (3.26 km 2 ), Desa Uwemaasi (2.90 km 2 ), dan Desa Kaofe (1.39 km 2 ). Tahun 2008 jumlah penduduk di Kecamatan Kadatua adalah jiwa terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tersebar dalam rumah tangga dengan kepadatan penduduk 303 jiwa/km 2. Dari jumlah penduduk itu tercatat orang pekerja produktif dengan dominasi pekerjaan yang dipili adalah nelayan sebanyak 26.9% atau 862 orang (Bappeda 2009). Kecamatan Kadatua dipandang oleh penduduknya maupun pemerintah setempat sebagai miskin sumber daya alam. Kondisi tanah bebatuan berkapur, sulit air bersih, menjadikannya dianggap sebagai miskin sumber daya alam. Sumber daya di kecamatan Kadatua dapat dibagi menjadi sumber daya alam di daratan dan sumber daya alam di lautan (Nagib et al. 2006). Usaha penangkapan ikan berkembang baru terjadi beberapa tahun terakhir ini setelah adanya alat tangkap redi (pukat cincin). Tetapi penggunaan alat penangkapan ini memerlukan investasi yang tinggi, sehingga usaha penangkapan ikan dengan redi hanya berkembang di Desa Banabungi. Kini penduduk banyak mencurahkan waktunya untuk mencari bulu babi, gurita, kerang-kerangan dan usaha budidaya rumput laut, selain usaha penangkapan ikan dengan target ikan karang, layang, dan tongkol. Sebenarnya masih banyak potensi ikan yang belum dimanfaatkan seperti ikan pari sebagai hasil tangkapan yang dibuang atau dibiarkan membusuk di tepi pantai oleh para nelayan (Nagib et al, 2006). Para nelayan Kecamatan Kadatua mempunyai kebiasaan merantau untuk berdagang, sehingga aktivitasnya sebagai nelayan hanya dilakukan apabila sedang berada di lokasi. Pendapatan yang tinggi di kecamatan ini diperoleh dari penduduk yang bekerja di luar negeri dan nelayan redi (pukat cincin). Bagi masyarakat Kadatua, kelompok penduduk ini dikategorikan sebagai kelas ekonomi tinggi. Sarana ekonomi yang ada di Kecamatan Kadatua adalah : a) Pasar tradisional desa yang aktif seminggu sekali.

58 37 b) Warung dan pedagang keliling untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk c) Depot kecil BBM, untuk memenuhi kebutuhan BBM terutama perahu-perahu nelayan dan kendaraan motor di Pulau Kadatua Kecamatan Siompu Kecamatan ini terdiri dari 8 (delapan) desa yaitu: Desa Laloe (luas 2.00 km 2 ), Desa Molona (1.98 km 2 ), Desa Mbanua (3.85 km 2 ), Desa Watumpara (2.17 km 2 ), Desa Biwinapada (7.08 km 2 ), Desa Kimbulawa (17.92 km 2 ), Desa Wakinamboro (3.50 km 2 ), dan Desa Tongali (4.00 km 2 ). Desa di Kecamatan Siompu yang terdekat dengan Pulau Liwutongkidi adalah Desa Tongali yang terletak di bagian utara Pulau Siompu (Bappeda 2009). Tahun 2008 jumlah penduduk di Kecamatan Kadatua adalah jiwa terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tersebar dalam rumah tangga dengan kepadatan penduduk 292 jiwa/km 2. Dari jumlah penduduk itu tercatat orang pekerja produktif atau 31.83% dari penduduk yang ada dengan dominasi pekerjaan yang dipilih adalah bertani sebanyak 60.74% atau orang. Komposisi penduduk menurut mata pencaharian pada kedua kecamatan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Komposisi penduduk menurut lapangan pekerjaan tahun 2008 No Lapangan Pekerjaan Kecamatan Kecamatan Siompu(individu) Kadatua (individu) 1. Petani Nelayan Tukang kayu/tukang batu Transportasi (Sopir mobil, ojek) Pedagang Industri PNS TNI dan POLRI Buruh Jasa Perorangan TKI Lainnya Sumber : Bappeda (2009)

59 Kondisi sosial-budaya di Kecamatan Kadatua dan Siompu Pranata sosial budaya merupakan tingkat yang abstrak tentang konsepsi yang hidup dalam alam pikiran manusia yang dianggap bernilai dalam kehidupan masyarakat. Struktur masyarakat yang bermukim di sekitar Pulau Siompu dan Pulau Kadatua relatif homogen, baik suku yakni suku Buton, maupun agama yakni Islam. Keduanya merupakan potensi sosial yang mengandung implikasi adanya keutuhan dan kebersamaan pranata sosial budaya di daerah tersebut yang seragam sifatnya. Dalam struktur masyarakat Buton pranata keluarga mempunyai fungsi utamanya adalah mengenalkan segi-segi sosial budaya berupa pola-pola tingkah laku (sistem norma) yang berlaku dan harus ditaati setiap anggota keluarga dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan sosialnya (DKP Sulawesi Tenggara 2003). Keluarga dalam masyarakat Buton merupakan keluarga sekunder, yang pada umumnya terdiri atas pasangan suami istri dengan anaknya dan ditambah beberapa anggota keluarga terdekat seperti kemenakan, nenek dan cucu. Pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga masyarakat Buton berbeda. Peran dan tanggung jawab anak laki-laki mempunyai kendali langsung dalam kehidupan keluarga, karena anak laki-laki dianggap sebagai penyangga utama keluarga, untuk menjaga harkat dan martabat keluarga di masyarakat. Di samping itu, anak laki-laki bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan ekonomi terutama jika ayahnya telah tua atau wafat, selain juga menjalankan peran sebagai wali dari keluarga jika adiknya (perempuan) akan menikah (DKP Sulawesi Tenggara 2003). Pendidikan pertama bagi seorang anak dalam lingkungan keluarga Buton, adalah pendidikan yang bersifat keagamaan. Anak (laki-laki dan perempuan) umumnya mendapat pendidikan agama dalam lingkungan keluarga sejak berumur lima atau enam tahun, terutama saat mengikuti orang tuanya bersembahyang. Setelah itu, anak-anak akan diwajibkan mengikuti shalat wajib dan mengikuti pelajaran agama dan mengaji secara intensif. Selesai menamatkan pengajiannya, biasanya diikuti dengat sunatan. Kedua upacara itu merupakan peristiwa penting bagi si anak. Hingga kini, pranata pendidikan tersebut tetap dilangsungkan dengan

60 39 sentuhan pendidikan modern terutama sejak dari Taman Kanak-Kanak sampai pada Perguruan Tinggi (DKP Sulawesi Tenggara 2003). Adat-istiadat merupakan faktor yang menentukan dalam masyarakat Buton. Adat istiadat dimanifestasikan dari pandangan hidup sistem sosial masyarakat Buton dan menempati kedudukan tertinggi dalam norma-norma sosial yang mengatur pola tingkah laku kehidupan masyarakat. Struktur sosial masyarakat Buton yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan sistem budaya mereka, telah melahirkan keyakinan dan kepercayaan yang teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada adat-istiadatlah ketenteraman dan kebahagiaan bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin (DKP Sulawesi Tenggara 2003). Adat istiadat yang diterapkan oleh masyarakat di kawasan Pulau Siompu dan Kadatua pada umumnya saling kait mengait dengan norma-norma agama yakni agama Islam. Adat istiadat sebagai sistem budaya masyarakat terhimpun dalam ombo. Makna operasional ombo dalam kehidupan masyarakat adalah menjangkau semua aspek kehidupan masyarakat. Konsep ini memiliki dasar yang bersifat normatif dan merupakan panduan dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan sosialnya. Konsep ombo terwujud dalam adat istiadat yang ditaati dan diperankan dalam sistem sosial masyarakat Buton terutama dalam kegiatan perkawinan, selamatan, mencari nafkah, dan mendirikan rumah. Dalam struktur masyarakat Buton, tidak menerapkan dan mematuhi ombo akan mendapat sanksi sosial atau denda dari pemangku adat. Sistem budaya masyarakat di Kecamatan Siompu, mengenal tokoh adat yang bertanggungjawab atas berjalannya upacara adat yang disebut sebagai Parabela. Profil Parabela adalah seorang laki-laki, berusia antara 60 sampai 70 tahun. Parabela diangkat dan dipilih oleh masyarakat dengan masa jabatan seorang Parabela bisa sampai 10 tahun. Pengangkatannya didasarkan pada sifatsifat yang terpuji, yaitu suka bergotong royong, bijaksana, taat beragama serta selalu memberikan nasihat kepada masyarakat (DKP Sulawesi Tenggara 2003).

61 Sarana Prasarana Pendidikan Salah satu faktor dalam melihat kualitas sumberdaya manusia adalah tingkat pendidikan. Tidak adanya data mengenai tingkat pendidikan penduduk di kedua kecamatan sehingga pendidikan penduduk hanya dapat diketahui dari ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Adapun jumlah sekolah, guru dan murid dari TK sampai SLTA dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah. Tabel 9 Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kecamatan Siompu dan Kadatua Tingkat Kecamatan Siompu Kecamatan Kadatua Pendidikan Sekolah Guru Murid Sekolah Guru Murid TK SD SLTP SLTA Jumlah Sumber : Bappeda (2009) 4.3. Kondisi Lingkungan Perairan Hasil pengamatan terhadap parameter kondisi perairan di 12 lokasi penelitian yang mencakup Pulau Liwutongkidi, Pulau Kadatua dan Pulau Siompu pada bulan April Tahun 2010, umumnya merata dan tidak ada perbedaan mencolok karena semua stasiun pengamatan masih dalam satu kawasan. Tabel 10 Kondisi parameter kimia dan fisika perairan di lokasi penelitian. Stasiun Lokasi Kecerahan Kecepatan Kedalaman Suhu Salinitas Perairan Arus Pengamatan (%) (cm/det) (m) (⁰C) ( ) 1 P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Kadatua P. Kadatua P. Siompu P. Siompu

62 Kecepatan Arus Kecepatan arus merupakan faktor fisik yang berpengaruh langsung pada bentuk pertumbuhan karang. Sirkulasi air sangat penting pada suatu perairan bagi organism didalamnya termasuk organism bentik. Untuk biota karang arus sangat berperan didalam penyediaan nutrient, oksigen dan pembersihan permukaan dari sedimen serta mempengaruhi penyebaran larva Kecerahan Perairan yang cerah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata snorkeling dan diving, dimana semakin cerah suatu perairan keindahan laut yang dapat dinikmati wisatawan juga semakin tinggi. Daerah dengan nilai kecerahan % adalah merupakan lokasi yang paling sesuai untuk snorkeling dan diving. Kecerahan suatu perairan biasanya dipengaruhi atau disebabkan oleh adanya kandungan lumpur, partikel-partikel tanah dan fragmen-fragmen tumbuhan atau fitoplankton. Penetrasi cahaya akan berkurang pada perairan yang keruh, dengan demikian pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang dalam. Hasil penelitian Suharsono dan Yosephine (1994), menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara persentase tutupan karang hidup dengan kecerahan air. Secara keseluruhan kondisi kecerahan perairan dari 12 stasiun menunjukan kecerahan 100% dimana pada kedalaman 3-10 m, masih terlihat dasar perairan atau tampak dasar. Hal ini disebabkan karena ke 12 stasiun jauh dari pemukiman atau aliran sungai yang biasanya membawa lumpur pada saat hujan Suhu Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang cukup mempengaruhi eksistensi sumberdaya hayati, baik diperairan pesisir maupun laut. Fluktuasi suhu perairan cenderung terbentuk karena perbedaan kedalaman perairan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, kisaran suhu rata-rata yang diukur

63 42 adalah ºC. Kisaran suhu dikawasan perairan ini masih tergolong normal bagi perkembangan biota perairan seperti karang dan yang lainnya. Nybakken, 1992 mengatakan bahwa terumbu karang tumbuh secara optimal pada suhu 23 ºC - 25 ºC, dan dapat mentolerir suhu sampai kira-kira 36 ºC - 40 ºC, tapi tidak dapat bertahan pada suhu minimum tahunan dibawah 18 ºC Salinitas Salinitas merupakan faktor pembatas yang sangat penting bagi karang maupun biota lain. Kadar salinitas suatu perairan dipengaruhi oleh debit air tawar yang bercampur kelaut. Air tawar ini bersumber dari daratan melalui aliran sungai maupu curah hujan yang tinggi. Hasil pengukuran dilapangan menunjukan kisaran salinitas Thamrin (2006) menyatakan bahwa organisme karang dapat hidup dengan baik pada salinitas dan masih ditemukan pada perairan yang mempunyai kadar salinitas Potensi dan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Terumbu Karang Terumbu karang merupakan potensi utama dalam pengembangan wisata bahari. Nilai estetika keindahan laut banyak ditentukan oleh kehadiran dan keindahan terumbu karang, termasuk didalamnya adalah keragaman jenis, tutupan karang serta keanekaragaman biota yang hidup didalamnya. Berdasarkan pengamatan secara visual pada tahun 2006 yang dilakukan CRITC COREMAP-LIPI pada saat melakukan studi baseline ekologi, terlihat bahwa pertumbuhan karang-karang kecil cukup banyak di perairan Pulau Liwutongkidi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan terumbu karang yang rusak secara alami sedang berlangsung. Pengamatan terumbu karang pada penelitian ini dilakukan pada kedalaman 4 10 meter, namun di kedalaman hingga 15 meter, karang masih dapat tumbuh. Kondisi perairan pada saat pengambilan sampel umumnya relatif tenang, jernih dan cuaca bagus. Hasil pengamatan terhadap terumbu karang, secara umum dapat digambarkan bahwa kawasan Pulau Liwutongkidi memiliki kondisi tutupan karang yang sedang sampai baik.

64 43 Secara umum penyebaran terumbu karang di lokasi penelitian di bagi tiga yaitu di Pulau Liwutongkidi, bagian selatan Pulau Kadatua dan bagian utara Pulau Siompu. Tipe terumbu karang pada kawasan ini merupakan tipe terumbu tepi (fringing reef). Sebaran vertikal terumbu umumnya pada rentang kedalaman 3 12 m dilanjutkan dengan bentang pasir. Topografi bentang terumbu umumnya merupakan slope dengan kemiringan yang cukup curam. Hasil pengamatan kondisi terumbu karang dengan metode LIT di 12 stasiun penelitian menunjukan bahwa kondisi terumbu karang yang masuk dalam kategori baik sebanyak 7 stasiun, kategori sedang sebanyak 5 stasiun. Hasil analisis data menunjukan kondisi tutupan karang hidup (life coral cover) termasuk dalam kelompok sedang dan baik. Persentase tutupan hidup terumbu karang (life cover) secara umum didominasi oleh Hard coral Non Acropora. Karang dari genus Acropora dominan hanya banyak ditemukan di stasiun 2 dan 6. Sedang lokasi lain didominasi oleh Non Acropora jenis branching, encrusting, massive, mushroom. Untuk melihat lebih jelas persentase tutupan biota dan substrat serta hasil analisis life form terumbu karang pada masing-masing stasiun penelitian maka dapat dilihat pada Tabel 10 dan Lampiran 1. Tabel 11 Persentase tutupan life form dan substrat di stasiun penelitian Stasiun Lokasi Tutupan life form dan substrat (%) Penelitian Hard Coral Dead Coral Biota Lain Abiotik 1 P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Kadatua P. Kadatua P. Siompu P. Siompu Rerata Simpangan Baku

65 44 Tabel diatas menunjukan bahwa hard coral memiliki tutupan rata-rata tertinggi yaitu sebesar 52.03%, kemudian dead coral sebesar 25.09% disusul dengan abiotik sebesar 19.71% dan biota lain sebesar 3.18%. Hasil analisis diperoleh persentase tutupan karang karang hidup bervariasi disetiap stasiun, dimana tutupan karang hidup tertinggi terdapat pada perairan sebelah selatan Pulau Liwutongkidi yaitu distasiun 2 sebesar 72.50% kemudian disusul stasiun 12 yang berada disebelah utara Pulau Siompu dan bagian utara Pulau Liwutongkidi sebesar 67.67%. Sedangkan pada stasiun 9 yang berada dibagian selatan Pulau Kadatua memiliki persen tutupan karang yang paling rendah yaitu sebesar 36.67% dimana persentase tutupan karang hidup sama dengan persentase tutupan karang mati Ikan Karang Pengamatan terhadap keberadaan ikan di terumbu karang dilakukan di tempat yang sama terhadap pengukuran prosentase penutupan karang, yaitu pada dua belas titik stasiun (stasiun 1 stasiun 12). Dari hasil identifikasi diketahui jumlah suku dan jenis ikan yang ditemui pada waktu pengamatan di setiap stasiun yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengamatan ikan karang difokuskan pada tiga kategori yaitu ikan target (ikan ekonomis penting yang biasa ditangkap untuk konsumsi), ikan mayor (ikan yang berukuran kecil dengan pewarnaan yang beragam atau dikenal juga dengan ikan hias) dan ikan indikator (jenis ikan karang yang menjadi indikator kesuburan daerah ekosistem tersebut). Data ikan karang yang dikumpulkan meliputi jumlah jenis ikan karang dan jumlah individu dari masing-masing jenis dengan penghitungan secara aktual dengan metode underwater visual censul (UVC). Hasil UVC yang dilakukan di 12 stasiun penelitian menjumpai sebanyak 167 jenis ikan karang yang termasuk dalam 35 suku. Jenis ikan karang yang paling banyak dijumpai pada stasiun 10 dengan 96 jenis. Sedangkan jenis terendah ditemukan pada stasiun 8 dengan 32 jenis. Jumlah ikan tertinggi ditemukan pada stasiun 12 dengan jumlah ikan sebanyak 470 individu. Sedangkan

66 45 jumlah ikan terendah ditemukan pada stasiun 8 dengan 173 individu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini. Tabel 12 Jumlah suku, jenis, kelimpahan dan Indeks keragaman ikan per-lokasi penelitian hasil perhitungan dengan metode under water visual census (UVC) Stasiun Lokasi Jumlah Jumlah Kelimpahan Indeks Suku Spesies ( Individu/350m²) Keanekaragaman 1 P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Liwutongkidi P. Kadatua P. Kadatua P. Siompu P. Siompu Keberadaan ikan di terumbu karang sangat tergantung pada kondisi terumbu karang itu sendiri. Beberapa kelompok ikan menunjukan kecenderungan kelimpahan yang meningkat dalam jangka waktu panjang pada kondisi terumbu karang dengan persentase tutupan hidup karang yang tinggi. Sementara pada kondisi terumbu karang dengan tutupan yang rendahpun dijumpai peningkatan kelimpahan pada beberapa kelompok ikan. Hal ini masih belum dapat diterangkan dengan jelas karena masi terbatasnya penelitian tentang ini. Jumlah inidividu untuk setiap jenis ikan karang yang dijumpai pada masing-masing stasiun dengan menggunakan metode UVC dapat dilihat pada Lampiran 2. Jumlah jenis dan suku ikan yang teridentifikasi dalam penelitian ini yakni 167 jenis dengan 35 suku, lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian COREMAP II-LIPI (2006) yang berhasil mengidentifikasi 231 jenis ikan karang dengan 35 suku pada perairan wilayah Coremap II Kabupaten Buton. Komposisi ikan pada masing-masing stasiun penelitian yang dikelompokan

67 46 pada ikan target, ikan mayor dan ikan indikator dapat dilihat pada Gambar 4 berikut : JUMLAH Mayor Fish Target Fish Indikator Fish STASIUN Gambar 3. Komposisi ikan karang di lokasi penelitian berdasarkan hasil under water visual census (UVC) Jumlah jenis ikan ekonomis penting (ikan target) yang diperoleh dari UVC di lokasi penelitian seperti ikan kakap (suku Lutjanidae), ikan kerapu (suku Serranidae), ikan ekor kuning (suku Caesionidae) tertinggi yaitu sebesar 253 individu pada stasiun 9, disusul stasiun 10 sebanyak 242 individu dan yang terendah pada stasiun 6 sebanyak 58 individu. Kelompok ikan indikator seperti ikan kepe-kepe (suku Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan tertinggi pada stasiun 2 sebanyak 34 individu/350 m². Sedangkan yang terendah dijumpai pada stasiun 4 dengan 6 individu. Kelompok ikan mayor paling banyak dijumpai di stasiun 12 sebanyak 302 individu, dan yang terendah dijumpai pada stasiun 9 sebanyak 40 individu. Sehingga perbandingan antara ikan mayor, ikan target dan ikan indikator adalah 7 : 6 : 1. Ini berarti bahwa untuk setiap 14 individu ikan yang dijumpai diperairan Liwutongkidi dan sekitarnya, kemungkinan komposisinya terdiri dari 7 individu ikan mayor, 6 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator.

68 Kesesuaian Kawasan Untuk Pengembangan Wisata Snorkeling dan Selam Pariwisata bahari yang potensial dikembangkan dikawasan ekosistem terumbu karang adalah snorkeling dan selam. Pembobotan kesesuaian kawasan perairan disekitar pesisir dan pulau-pulau kecil untuk wisata snorkeling dan selam dilakukan dengan mempertimbangkan factor pembatas yang terdiri dari kecerahan, penutupan dan jenis karang hidup, keanekaragaman ikan karang, kedalaman, kecepatan arus, lebar dan luas hamparan karang. Parameter pembatas ini diberikan pembobotan dan skor. Untuk pemberian pembobotan pada semua parameter didasarkan pada tingkat kepentingan untuk kegiatan snorkeling dan selam. Parameter kecerahan perairan memiliki bobot tertinggi karena sangat menentukan untuk wisata snorkeling dan selam agar wisatawan dapat dengan jelas melihat keindahan dan kondisi objek di ekosistem terumbu karang. Bagi terumbu karang sendiri kecerahan merupakan penentu penetrasi cahaya untuk kelangsungan hidupnya. Sedangkan penutupan komunitas karang hidup dan jenis life form merupakan daya tarik wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Perairan yang jernih mengundang rasa keingintahuan untuk melihat keindahan bawah laut. Keanekaragaman ikan karang yang ber aneka warnah serta berbagai ukuran merupakan daya tarik lain yang bisa dinikmati oleh wisatawan dibawah laut. Kecepatan arus merupakan factor yang berhubungan dengan keselamatan wisatawan yang menyelam. Hasil pengamatan lapangan, secara umum kondisi kecerahan perairan kawasan Pulau Liwutongkidi masih dalam kondisi baik, begitu juga dengan jumlah ikan karang, tutupan dan jenis life-form terumbu karang masih mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata karena faktor-faktor tersebut sangat penting untuk dapat memberikan kepuasan bagi wisatawan. Hal ini sesuai dengan beberapa survey yang dilakukan para peneliti (Shafer dan Inglish 2000) terhadap wisatawan yang melakukan snorkeling di Great Barrier Reef (Australia). Mereka menemukan bahwa semua komponen yang berhubungan dengan karang dan ikan sangat

69 48 meningkatkan kepuasan pengunjung. Sementara itu Roman (2004) mengemukakan bahwa berdasarkan survey yang dilakukan terhadap 278 orang pengunjung yang melakukan snorkeling di Taman Laut Nasional Mu Koh Chang (Thailand), rata-rata tanggapan dari pengunjung mengindikasikan tiga ciri-ciri utama biofisik yang sangat penting bagi pengunjung yaitu kecerahan, ikan dan karang. Hasil penelitian menunjukan bahwa berbagai karakteristik biofisik dapat dilihat dalam satu lokasi snorkeling atau penyelaman, dan juga antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Perbedaan karakteristik seperti itu memberikan peluang bagi wisatawan untuk mengunjungi suatu lokasi penyelaman pada berbagai kesempatan menyelam (Miller 2005) Kesesuaian Wisata Snorkeling Analisis kesesuaian wisata snorkeling hanya dilakukan pada kawasan terumbu karang yang kedalamannya antara 3-6 m. Hasil analisis kawasan wisata kategori wisata snorkeling dapat dilihat pada Tabel 13, Gambar 4 dan Lampiran 3. Tabel 13 Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari kategori snorkeling Lokasi Stasiun IKW Kategori Keterangan Pulau Liwutongkidi S 2 Sesuai Pulau Liwutongkidi S 2 Sesuai Pulau Liwutongkidi S 2 Sesuai Pulau Siompu S 1 Sangat Sesuai IKW = Indeks Kesesuaian Wisata Hasil analisis tujuh parameter pada 4 lokasi diperoleh hasil bahwa total skor kesesuaian tertinggi berada pada stasiun 11 dengan nilai IKW sebesar 85.96% kemudian disusul stasiun 3 dengan nilai IKW 78.94%. Berdasarkan nilai IKW yang diperoleh maka stasiun 11 termasuk dalam kategori sangat sesuai (S1) untuk wisata snorkeling. Sedangkan tiga stasiun lainnya memiliki IKW antara 64.91% % sehingga termasuk dalam kategori sesuai (S2).

70 Gambar 4 Peta kesesuaian wisata snorkeling di kawasan penelitian.

71 4.5.2 Kesesuaian Wisata Selam Parameter parameter yang dikaji untuk menentukan kesesuaian suatu kawasan wisata bahari sebagai lokasi selam ada beberapa kategori menurut Yulianda (2007) yaitu diantaranya kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang. Pada Gambar 5 dan Lampiran 4 menampilkan nilai skor kesesuaian, indeks kesesuaian wisata (IKW) dan kategori dari 12 lokasi pengamatan berdasarkan perhitungan 6 parameter. Kawasan yang memiliki potensi sebagai lokasi wisata bahari kategori selam yang dianalisis adalah perairan yang memiliki kedalaman diatas 6 meter. Dimana tujuan wisata selam adalah wisatawan dapat melihat keindahan bawa laut dengan peralatan SCUBA. Adapun hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk lokasi wisata bahari jenis selam dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari kategori selam Lokasi Stasiun IKW Kategori Keterangan Pulau Liwutongkidi S2 Sesuai Pulau Liwutongkidi S3 Sesuai Pulau Liwutongkidi S4 Sesuai Pulau Liwutongkidi S5 Sesuai Pulau Liwutongkidi S6 Sesuai Pulau Liwutongkidi S7 Sesuai Pulau Liwutongkidi S8 Sesuai Pulau Liwutongkidi S9 Sesuai Pulau Kadatua S10 Sesuai Pulau Kadatua S11 Sesuai Pulau Siompu S12 Sesuai Pulau Siompu S13 Sesuai Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa total skor tertinggi berada stasiun 4 dengan nilai IKW sebesar % kemudian disusul stasiun 2 dan stasiun 7 dengan nilai IKW %. Bersadarkan nilai IKW yang diperoleh maka semua stasiun pengamatan yang berjumlah 12 stasiun tersebut termasuk dalam kategori sesuai (S2) untuk wisata selam.

72 Gambar 5 Peta kesesuaian wisata selam di kawasan penelitian.

73 Daya Dukung Kawasan Daya dukung merupakan suatu cara mengexpresikan suatu konsep dimana ada pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya. Ini sering digunakan untuk menjaga kelestarian industri pariwisata pesisir yang berkelanjutan. Secara terpadu pengertian daya dukung disini adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan. Clark (1996) dalam bukunya integrated coastal management, menjelaskan bahwa daya dukung yang ada lebih sering diterapkan untuk batas pariwisata. Khusus untuk wisata snorkeling dan selam pertimbangan terhadap kondisi komunitas karang sangat penting karena potensi ini yang merupakan daya tarik bagi pengunjung. Selanjutnya Dixon et al. (1993) menggunakan data tutupan karang, keanekaragaman jenis dan intensitas penyelaman di Taman Laut Bonaire Karibia, untuk memperkirakan daya dukung ekologi terumbu karang disana yang hanya mampu menampung penyelam per lokasi per tahun. Daya dukung ekowisata tergolong spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan (biofisik dan sosial) terhadap kegiatan pariwisata dan pengembangannya (Mc Neely 1994). Daya dukung ekowisata juga diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh sarana prasarana objek wisata alam. Jika daya tampung sarana dan prasarana tersebut dilampaui, maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya (Ceballos-Lascurain 1991; Simon et al. 2004). Perhitungan daya dukung wisata bahari berdasarkan kesesuaian wisata untuk snorkeling dan selam (S1 dan S2) dengan mempertimbangkan potensi ekologis pengunjung, luas area kegiatan dan prediksi waktu yang dibutuhkan setiap kegiatan wisata. Dengan kata lain bahwa semakin tinggi kesesuaian area (S1 dan S2) maka nilai daya dukung akan semakin tinggi. Kawasan yang memiliki tingkat kesesuaian yang berbeda dalam pemanfaatannya menerima

74 53 wisatawan dibedakan (Davis dan Tisdel 1996; Scheleyer dan Tomalin 2000; Zakai dan Chad Wick 2002; de Vantier dan Turak 2004 ). Pemanfaatan perairan kawasan Pulau Liwutongkidi sebagai kawasan wisata bahari hendaknya mengacu kepada daya dukung lokasi penyelaman, karena degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan penyelaman telah dinilai dalam hal penurunan persentase life hard coral cover atau meningkatnya kerusakan karang (Schleyer dan Tomalin 2000). Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal jika di suatu kawasan dikelola dengan pemanfaatan di bawah konsep daya dukung, dan sebaliknya apabila pemanfaatannya diatas daya dukung, akan sangat meningkatkan kerusakan terumbu karang (Hawkins dan Roberts 1993). Strategi pengembangan wisata bahari untuk selam dan snorkeling diarahkan berdasarkan potensi biofisik kawasan. Pariwisata bahari harus dikelola secara seimbang antara tujuan ekonomis dan ekologis dalam menjamin keberlanjutan kegiatan. Sebagai contoh strategi pengelolaan yang dilakukan di GBR Australia dalam mengurangi dampak kerusakan yakni dengan melakukan pembatasan musin, pengukuran ukuran grup wisatawan dengan izin dan control pemandu, penzonasian kawasan serta pengaturan dan pembatasan perizinan pengelolaan (Harriot 2002). Dengan menggunakan konsep daya dukung, diperoleh daya dukung sebanyak 252 orang per hari untuk luas area wisata snorkeling Ha sedangkan untuk wisata selam dengan luas Ha memiliki daya dukung sebanyak 205 orang per hari. Strategi pengembangan berdasarkan potensi biofisik kawasan, sejalan dengan yang diutarakan oleh Joyosuharto (2001), bahwa pembangunan kepariwisataan perlu memperhatikan tuntutan kebutuhan wisatawan, tetapi tidak perlu berorientasi pasar semata. Pembangunan kepariwisataan perlu keterpaduan dalam perencanaan maupun memformulasikan tujuan. 4.7 Evaluasi Aspek Visual Ekosistem Terumbu Karang Pada tahap ini dilakukan analisis spasial dalam bentuk penilaian visual landscape yang merupakan metode penetapan penilaian kualitas landscape (pemandangan) dalam kaitannya dengan pengembangan wisata bahari.

75 54 Metode yang digunakan untuk penilaian visual suatu landscape ini adalah dengan prosedur Scenic Beauty Estimation (SBE). Hasil penilaian kualitas visual oleh responden merupakan skor untuk masing-masing foto. Dalam penelitian ini terdapat 36 foto, yang mewakili 12 stasiun pada lokasi penelitian. Setiap stasiun penelitian diwakili oleh 3 buah foto, berupa hamparan karang dan jenis-jenis ikan karang. Foto-foto tersebut dinilai oleh responden sebanyak 50 responden, dimana selama penelitian didapat 8 orang wisatawan asing (16%) dan 42 wisatawan lokal termasuk didalamnya adalah pelaku wisata, penyelam dan aparatur bidang kelautan dan perikanan serta pariwisata (84%). Dari 50 responden yang didapat, 25 orang bisa menyelam dan memiliki sertifikat menyelam (50 %) dan 25 orang tidak bisa menyelam dan tidak memiliki sertifikat menyelam (50 %). Rata - rata nilai yang diperoleh dari hasil penilaian responden kemudian dimasukan dalam rumus SBE. Keseluruhan nilai visual untuk masing-masing foto dapat dilihat pada Lampiran 7. Skor tertinggi (nilai SBE tertinggi) menunjukan bahwa lanskap (gambar) tersebut paling banyak dipilih sebagai lanskap/gambar yang indah, sedangkan skor rendah menggambarkan lanskap yang jelek atau kurang disukai. Hasil analisis dengan rumus SBE pada setiap lanskap/gambar dari setiap stasiun penelitian dapat diketahui bahwa kecenderungan responden sangat menyukai lanskap lokasi yang kondisi tutupan terumbu karang hidupnya masih dalam kondisi baik (67.67%). Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa stasiun 12 yang terletak pada bagian utara pulau Siompu memiliki jumlah nilai SBE yang paling tinggi, dimana dari ketiga foto /landscape nya memiliki rata-rata kategori tinggi. Sedangkan stasiun 2 dibagian selatan pulau Liwutongkidi memiliki jumlah nilai SBE yang terendah. Hasil nilai SBE per foto/gambar, menunjukan gambar 35 memiliki nilai SBE paling tinggi yakni

76 55 Tabel 15 Nilai SBE masing-masing landscape/foto dan masing-masing stasiun penelitian Stasiun Lanscape SBE Nilai Rata rata nilai SBE Rangking Foto SBE % Per stasiun SBE Dari sebaran nilai yang terdapat pada tabel diatas apabila dibuat klasifikasi menjadi 3, yaitu nilai SBE tertinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) menurut Hadi (2001) in Khakim (2009) dengan rumus :

77 56 I Nilai tertinggi Nilai terendah Jumlah kelas I = = Nilai SBE berdasarkan kategori tertinggi dengan menggunakan formula tersebut diatas dapat dilihat pada Tabel 16 berikut : Tabel 16 Pengelompokan Nilai SBE berdasarkan kategori tinggi, sedang dan Rendah. Nilai SBE Kategori Rendah Sedang Tinggi Dari hasil pengklasifikasian menggunakan jenjang sederhana tersebut, maka masing-masing foto landscape dengan nilai SBE-nya yang menunjukan kondisi tutupan, sturuktur terumbu karang. Hasil pengklasifikasian dengan menggunakan jenjang sederhana tersebut didapatkan nilai sebaran dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Nilai itu yang menjadi petunjuk bagi kita untuk melihat seberapa besar minat responden terhadap foto landscape ekosistem terumbu karang yang mereka lihat dan ini menjadi gambaran bagi kita seberapa besar minat wisatawan terhadap ekosistem yang terumbu karang yang ada di lokasi tersebut. 4.8 Nilai Ekonomi Wisata Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 50 orang adalah pengunjung Pulau Liwutongkidi yang berasal dari Kota Bau- Bau dan daerah sekitarnya, yakni yang berada di Kecamatan Kadatua dan Kecamatan Siompu. Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan April-Mei 2010 dan secara umum pengunjung yang melakukan aktivitas bahari datang untuk berekreasi di pantai, snorkeling dan diving. Total pengunjung dalam penelitian berupa jumlah estimasi, yang diperoleh dari informasi para pemilik spead yang beroperasi/ melayani rute

78 57 Bau-Bau ke Pulau Kadatua, Pulau Siompu dan ke Pulau Liwutongkidi. Selain itu belum terdatanya pengun jung yang berekreasi ke Pulau Liwutongkidi disebabkan oleh belum terkelolanya Pulau Liwutongkidi secara baik, karena memang Pulau ini belum dikembangkan, walaupun sudah teridentifikasi sebagai salah satu tempat wisata yang ada di Kabupaten Buton. Tingkat kunjungan wisatawan dipengaruhi oleh tingkat pengeluaran wisatawan, pendidikan, pendapatan dan total waktu yang dihabiskan selama responden berwisata. Dalam persamaan ini tingkat kunjungan merupakan variabel dependent (terikat) atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel independent (bebas) seperti tingkat pengeluaran respondent, pendidikan, pendapatan dan total waktu yang dihabiskan. Surplus konsumen merupakan selisih antara tingkat kesediaan membayar dari konsumen dengan biaya yang harus dibayarkan untuk memperoleh suatu kepuasan. Ukuran tingkat kepuasaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah dari pengeluaran dari pengunjung. Variabel bebas yang digunakan yaitu keseluruhan biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung dalam melakukan perjalanan per sekali kunjungan wisata ke Pulau Liwutongkidi. Analisis TCM ini dilakukan dengan pendekatan Individual Travel Cost analisis. Yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata. Dari persamaan regresi linier yang menggunakan pendekatan Individual Travel Cost analisis menghasilkan fungsi permintaan dengan formula sebagai berikut: Vi = TC Ed I Trip Keterangan : Vi = Jumlah kujungan individu ke i TC = Biaya yang dikeluarkan (Rp) Ed = Pendidikan ke-i I = Pendapatan individu ke-i (Rp) Trip = Waktu yang dihabiskan individu ke lokasi wisata (jam)

79 58 Persaman diatas menghasilkan koefisien b0 untuk kunjungan sebesar kali dan hasil persamaan fungsi diatas dihasilkan consumer surplus per individu sebesar Nilai total ekonomi wisata sebesar Rp per tahun (Rp per hektar). Nilai ini diperoleh dari pengalian antara individual consumer surplus dengan total kunjungan pengunjung yang datang ke Pulau Liwutongkidi selama 1 tahun. Nilai ekonomi wisata ini merupakan nilai manfaat langsung yang bersifat non ekstraktif dari sumberdaya terumbu karang yang diperoleh melalui jumlah pengeluaran wisatawan yang mengunjungi Pulau Liwutongkidi sebagai obyek wisata bahari. Jika dilihat dari besarannya, nilai ekonomi yang dihasilkan sangat rendah dengan ukuran luasan terumbu karang ha, maka diperlukan suatu strategi yang baik untuk mengelola kawasan tersebut menjadi tujuan wisata yang dapat menumbuhkan minat wisatawan untuk berkunjung. Cesar (2002) in Paul et al. (2002) menyatakan nilai ekonomi terumbu karang yang diperoleh dari kegiatan Pariwisata di Hawai mencapai US$ 8.6 juta per kilometer persegi. Jumlah tersebut diperoleh dari kunjungan jutaan wisatawan yang melakukan penyelaman dan snorkeling di daerah tersebut. Selanjutnya laporan WTTC (2002) in Paul et al. (2002) melaporkan sebanyak US$ 105 Milyar per tahun dihasilkan dari industri kepariwisataan di karibia. Industri pariwisata di daerah-daerah tersebut memang sudah berkembang baik dan berkelas internasional sehingga jika dijadikan sebagai pembanding kelihatannya sangat kontradiksi dengan kondisi yang ada di Pulau Liwutongkidi yang belum dikembangkan. Akan tetapi setidaknya informasi ini memberikan gambaran betapa besarnya nilai ekonomi suatu pulau yang tidak saja ditentukan oleh besar kecilnya ukuran pulau melainkan dari nilai potensi sumberdaya yang terkandung di dalamnya. 4.9 Sosial Ekonomi dan Persepsi Masyarakat Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat di tiga desa yang berada dalam wilayah kecamatan Siompu dan Kadatua. Jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 36 orang yang

80 59 terdiri dari 9 orang perempuan dan 27 orang aki-laki yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Umur responden berkisar antara 35 tahun - 40 tahun. Karakteristik pekerjaan dan tingkat pendidikan masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 6 dan 7. Tingkat Pendidikan S1 28% Responden SD 6% SLTP 22% D3 8% SLTA 36% Gambar 6 Karakteristik tingkat pendidikan responden. Survei sosial ekonomi dilakukan dengann tujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang terumbu karang dalam hal ini pengetahuan masyarakat tentang apa itu terumbu karang, manfaat ekologis maupun ekonomi dari terumbu karang. Ditanya mengenai bagaimana kondisi potensi sumber daya alam laut dalm hal ini terumbu karang, pada umumnya responden mengatakan bahwa kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Liwutongkidi dalam keadaan sedang (0.78%), baik (0.222 %) dan buruk (0.03%). Hasil wawancara terhadap responden diperoleh jenis mata pencaharian yang beragam yaitu petani sebanyak 17% %, nelayan 22 %, pedagang 14 %, PNS 39 %. Faktor pekerjaan sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang. Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan mempunyai pendapatan tidak menetap, tergantung hasil panen maupun tangkapann yang diperoleh, demikian juga yang bermata pencaharian lain seperti pedagang. Semakin baiknya iklim usaha, maka pendapatan pun semakin meningkat.

81 60 Pekerjaan Respondenn Petani 17 % Pedagang 14% Ibu RT 8% PNS 39% Nelayan 22% Gambar 7 Karakteristik pekerjaan responden. Persepsi masyarakat yang digali pada penelitian ini lebih menitikberatkan padaa pengetahuan dan sikap masyarakat tentang terumbu karang, manfaat terumbu karang. Manfaat terumbu karang disinii diantaranya manfaat ekonomi yang berhubungan dengan rekreasi dan pariwisata serta sebagai habitat bagi ikan dan hewan-hewan laut lainnya serta potensi pengembangan wisata bahari di kawasan pulau Liwutongkidi. Pengetahuan masyarakat akan manfaat terumbu karang secara umum relatif baik. Hasil survey mengungkapkan bahwaa seluruh responden mengetahui manfaat terumbu karang, baik manfaat ekologi maupun manfaat ekonomi. Sebagian besar masyarakat paham bahwa terumbu karang merupakan tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan (sekitar 95%). Apabila terumbu karang rusak akibat kegiatan pengeboman atau pemotasan maka ikan akan berkurang karena tempat mereka hidup telah rusak. Pada umumnya pengetahuan masyarakat mengenai manfaat ekologi terumbu karang masih kurang bila dikaitkan dengan fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai dari ombak dan melindungi biota laut (kurang dari 50%) ). Hasil wawancara mendalam dengan beberapa masyarakat, baik nelayan maupun non nelayan menunjukan bahwaa secara umum masyarakat mengetahui bahwa terumbu karang memberikan manfaat ekonomi yang besar diantaranya sebagai objek wisata.

82 61 Berkaitan dengan pengetahuan masyarakat mengenai jenis kegiatan maupun cara menangkap ikan yang tidak maupun dapat merusak terumbu karang, maka dari survey menunjukan bahwa responden secara jelas mengetahui hal-hal yang dapat merusak terumbu karang. Hal-hal yang dapat merusak karang ini misalnya pemboman dan pemotasan ikan, pencemaran lingkungan dari daratan, penempatan jangkar kapal yang sembarangan diatas hamparan karang, penambangan dan perdagangan karang illegal. Salah satu potensi wilayah pesisir dan lautan adalah keindahan alamnya untuk dijadikan tujuan wisata bahari. Pada kenyataannya, banyak lokasi di wilayah pesisir Kabupaten Buton yang layak untuk dijadikan tujuan wisata bahari. Ketika ditanya apakah mereka setuju jika terumbu karang dijadikan kawasan wisata bahari, maka semua responden mengatakan setuju. Begitu juga ketika ditanya apakah mereka setuju jika terumbu karang dilindungi atau dijadikan area konservasi, semua responden menyatakan setuju. Pengelolaan terumbu karang, baik sebagai daerah wisata bahari maupun konservasi harus di fasilitasi oleh pemerintah jika dirasakan bermanfaat dan persepsi para pemangku kepentingan terkait harus lebih baik. Kendala utama yang biasanya di hadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi biasanya dalam hal pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi (Hough 1988). Beberapa penilaian terhadap keberhasilan kawasan konservasi laut apabila pengelolaannya secara bersama-sama dengan melibatkan masyarakat setempat (Brechin 1991; Borrini-Feyerabend 1993; Pollnac et al. 2001), dimana keberhasilan yang dicapai lebi baik jika masyarakat memiliki partisipasi yang tinggi dalam pengelolaan suatu kawasan (Newmark et al. 1992). Hasil dari pengelolaan itu, masyarakat merasakan manfaatnya (Mehta dan Heinen 2001). Dengan ikut dalam pengelolaan kawasan konservasi, dirasakan manfaatnya terutama bagi pengguna atau pemanfaat dari sumberdaya tersebut (Jacobson dan Morynowski 1997). Perlu diingat bahwa potensi yang bagus untuk pengembangan wisata bahari, baik dari segi keindahan alam atau dari aspek sejarah, seni dan budaya tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai, seperti sarana transportasi dan komunikasi serta

83 62 sarana pelayanan sosial yang memadai. Keadaan saat ini adalah bahwa Potensi wisata bahari di banyak lokasi di wilayah perairan laut Kabupaten Buton ternyata sampai saat ini belum dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mencukupi.

84 63 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain: 1. Kondisi terumbu karang di Kawasan Pulau Liwutongkidi termasuk dalam kategori baik dimana rerata tutupan karang hidup yang dimiliki sebesar 52.03%. 2. Dari pengamatan terhadap keberadaan ikan di terumbu karang dengan metode underwater visual census (UVC) di jumai sebanyak 167 jenis ikan karang yang termasuk dalam 35 suku. 3. Kawasan Pulau Liwutongkidi cukup sesuai untuk di kembangkan sebagai kawasan ekowisata bahari baik snorkeling maupun selam dengan rata-rata jumlah maksimum yang dapat ditampung per hari sebanyak 252 orang/hari untuk snorkeling dan 205 orang/hari untuk wisata selam. Jumlah maksimum per hari sebanyak 457 orang. 4. Hasil pendugaan nilai ekonomi wisata di Pulau Liwutongkidi masih sangat rendah yaitu sebesar Rp ,- per tahun dengan consumer surplus per individu sebesar Rp , Saran 1. Perlunya dilakukan penelitiapn serupa di daerah daerah pesisir yang lain di Kabupaten Buton yang mempunyai potensi sumberdaya terumbu karang 2. Daya dukung kawasan dengan kategori sangat sesuai dan sesuai harus dibedakan dalam menampung jumlah wisatawan 3. Perlunya dilakukan kajian untuk menentukan kapan suatu kawasan ekosistem terumbu karang di tutup untuk wisata bahari, hal ini dimaksud kan untuk memberi kesempatan pada karang untuk melakukan recovery dan berkembang dengan baik 4. Perlunya upaya untuk mengelola potensi wisata, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi daerah dan masyarakat sekitar kawasan

85 64

86 65 DAFTAR PUSTAKA Arifin T Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Buton (BAPPEDA Buton) Buton dalam Angka. BAPPEDA Kabupaten Buton. Barker NHL, Roberts CM Scuba diver behavior and the management of diving impact on coral reefs. Biological conservation. 120: Bengen DG. 2002a. Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Peluang Pengembangan Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta. Bengen DG. 2002b. Sinopsis: Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Bengen DG, ASW Retraubun Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Jakarta. Borrini-Feyerabend Making Partnership with Communities and Other Stakeholder. In : Guidelines for Marine Protected Areas, ed. G. Kelleher. Gland, Switzerland: IUCN. Pp Brechin SR, West PC, Harmon D, Kurtay K Resident Peoples and Protected Areas: A Framework for Inquiry. in : Resident People and National Parks. S.R. Brechin, pp Tuscon, AZ, USA : The University of Arizona Press. Bruce D, Hoctor Z, Garrod B, Wilson J Planning for Marine Ecotourism in The UE Atlantic Area. META-Project. Bristol: University of The Weat England. Buckley R Sustainable Tourism : Technical issues and information needs. Annals of Tourism Research 23: Burke L, Selig E, Spalding M Terumbu Karang Yang Terancam di Asia Tenggara. Ringkasan untuk Indonesia. Kerjasama WRI, UNEP, WCMC, ICLARM dan ICRAN. Ceballos-Lascuarin H Tourism, Ecotourism and Protected Areas Park. Sustainable Tourism. 2: Cesar H, Burke L, Pet Soede L The Economic of World Wide Coral Reef Degradation. Cesar Environmental Economic. Consulting: Arnhen (Netherlands).

87 66 Clark JR Coastal Zone Management. Handbook. CRC Press. Lewis Publishers. Florida. CRITC COREMAP-LIPI Studi Baseline Ekologi Kabupaten Buton- Sulawesi Tenggara. Daniel TC, Bostes RS Measuring Lanscape esthetic: The Scenic Beauty Estimation method. USDA Forest Service. Davis D, Tisdel C Economic management of recreational SCUBA diving and the environment. Environmental Management 48: Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dharmaratne G, Sang F, Waling L Tourism potentials for financing protected areas. Annals of Tourism Research 27: De Vantier L, Turak E Managing Marine Tourism in Bunaken National Park and Adjacent Waters. Technical Report was prepared by the Natural Resources Management (NRM III) Program s Protected Areas and Agriculture Team (PA & A). North Sulawesi. Indonesia. DKP. Dirjen Pesisir Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil Penyusunan Manajemen Plan KKLD di Liwutongkidi. Dixon, JL. Scura, T.Van t Hof Meeting Ecological and Economic Goals : Marine Parks in the Carribbean. Ambio 22: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sulawesi Tenggara. Inventarisasi Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah. Laporan Akhir. Kerjasama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara dengan CV. Maula Thahira. Dirawan GD Analisis Sosio-Ekonomi dalam Pengembangan Ekotourisme pada Kawasan Suakamarga Satwa Mampie Lampoko. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton Profil dan Peluang Investasi Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Buton. Driver B, Bruns D Concepts and Uses of the Benefits Approach to Leisure. Pages in E.Jackson and T. Burton, eds. Leisure Studies : Prospect for the Twenty-First Century. Venture Publishing, Inc, State College, Pennsylvania. Pp

88 67 English S, Wilkinson C, Baker V. (editors) Survey Manual For Tropical marine Resources. 2 nd edition. ASEAN Australian Marine Science Project Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Fandeli C, Mukhlison (editor) Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM Kerjasama dengan Unit KSDA Daerah Istimewa Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. Gomez ED, Yap HT Monitoring Reef Condition in Coral Reef Management Handbook. Second Edition. RA Kenchngton, Brydget ET Hudson (Editor). UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Grigalunas TA, Johnston RJ, Opaluch JJ Natural Resources Damage Assessment Manual for Tropical Ecosystem. International Maritime Organization. Hawkins JP, Roberts CM Effects of recreational diving on coral reefs. Trampling of reef flat communities. Applied Ecology 30: Harriott VJ Marine Tourism impacst and their management on the Great Barrier Reef. CRC Reef Research Center and Tehnical Report No 46. CRC Reef Research Centre. Townsville. Hough JL Obstacles to Effective Management of Conflicts Between National Parks and Surrounding Human Communities in Developing Countries. Environmental Conservation 15: Huybers T, Bennett J Environmental management and the competitiveness of nature-based tourism destinations. Environmental and Resources Economics 24: Jacobson, S.K., Marynowski, S.B Public Attitudes and Knowledge About Ecosystem Management on Department of Defense Land in Florida. Conservation Biology 11: Jameson SC, Ammar MSA, Saadala E, Mostafa HM, Riegel B A coral damage index and its application to diving sites in the Egyptian Red Sea. Report Coral Reefs 18 : Jones OA, Endean R Biology and Geology of Coral Reef. Vol. 1: Geology 1. Academic Press, New York. Joyosuharto S Aspek Ketersediaan (Supply) dan Tuntutan Kebutuhan (Demand) Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Editor Liberty. Yogyakarta. Kementerian Lingkungan Hidup Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Proyek pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir dan Lautan. Jakarta.

89 68 Khakim N Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewah Yogyakarta Untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Krebs CJ The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Edisi 2. London. Harper and Row. Kuiter RH Tropical Reef Fishes of the Western Pacific, Indonesia and Adjacent Waters. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Lembaga Napoleon Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Kawasan Silika (Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua). Laporan hasil penelitian, Kerjasama antara Lembaga Napoleon dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton dan Coremap II Buton. Lim CL Carrying Capacity Assessment of Pulau Payar Marine Park, Malaysia. Bay of Bengal Programme. Madras India. Mehta JN, Heinen JT Does Community-Based Conservation Shape Favorable Attitudes Among Locals. An Empirical Study From Nepal. Environmental Management 28: Mihalic T Environmental management of a tourist destination : A factor of tourism competitiveness. Tourism Management 21: Miller KD Towards Sustainable Wildlife Tourism Experiences for Certified Scuba Divers on Coral Reef (disertasi) In the schools of Business and Tropical Environmental Studies and Geography James Cook University. Australia. Mitchell B, Setiawan B, Dwita R, Rahmi H Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Mc Neely JA An Introduction to Protected Area Economics and Policy (In Protected Area Economic And Policy, Munangsihe, M and J. Mc Neelye eds. 1-11) The World Bank, Washington DC. Newmark WD, Leonard NL, Sariko HI, Gamassa DM Conservation Attitudes of Local People Living Adjacent to Five Protectec Areas in Tanzania. Biologiocal Conservation 63: Nagib L, Asiati D, Wahyono A, Zaelani AA Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi Coremap II Kasus Buton. Nurisyah S Rencana Pengembangan Fisik Kawasan Wisata Bahari di Wilayah Pesisir Indonesia. Buletin Taman dan Lanskap Indonesia. Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Volume 3, Nomor 2, Studio Arsitektur Pertamanan Fakultas Pertanian IPB Bogor.

90 69 Nugroho I Buku Ajar Ekotourism. Fakultas Pertanian, Universitas Widyagama. Malang. Nybakken JW Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M, Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo S, penerjemah: Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari Marine Biology and Ecological Approach. Odum EP Dasar-Dasar Ekologi. Samingan T, Srigandono B, penerjemah: Gaja Mada University Press. Terjemahan dari Fundamental Ecology. Orams MB Impact and Marine Tourism. Development Management. Published by Routledge, 11 New Fetter Lane, London. Paul FJ, Eagles, McCool SF, Haynes CD Sustainable Tourism in Protected Areas. IUCN - The World Conservation Union. Pollnac RB, Crawford BR, Gorospe MLG Discovering Factors That Influence the Succes of Community based marine Protected Areas in The Visayas, Philippines. Ocean and Coastal Management 44: Prihatna S Modul Teknik Pengambilan Data Untuk Travel Cost Method. Makalah Pelatihan Teknik dan Metode Pengumpulan Data Valuasi Ekonomi. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (pkspl-ipb) bekerjasama dengan Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut BAKOSURTANAL. Bogor, Maret Roman GSJ Multiple-Use Zoning and Tourism in Marine Protected Areas: A Case Study of Mu Koh Chang National Marine Park, Thailand. [Thesis] Departement of Geography, University of Victoria Canada. Salm RV Coral reefs and tourism carrying capacities: The Indian Oceans Experience. UNEP Industry and Environ 9: Salm RV, Clark JR Marine and Coastal Protected Area : A Guide For Planner and managers. International Union for Conservation of Natural Resources. Gland. Switzerland. Schleyer MH, Tomalin BJ Damage On South African Coral Reefs And An Assesment Of Their Sustainable Diving Capacity Using A Fisheries Approach. Buletin of Marine Science 67 : Sekartjakrarini Pengelolaan dan Pengembangan Eco-Tourism di Taman Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Hotel Kinasih, Bogor, Februari LIPI-JICA-BTNGH.

91 70 Shafer SC, Inglis GJ Influence of Social, Biopysical and Managerial Conditions on Tourism Experiences Within the Great Barrier reef World Heritage Area. Environmental Management 26: Simon FJG, Narangajavana Y, Marques DP Carrying Capacity in The Tourism Industry: A case Study of Hengisbury Head. Tourism Management 25: Sudarto G Ekowisata : Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yayasan Kalpataru Bahari. Suharsono, Yosefine MI Perbandingan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Nyamuk Besar dan Pulau Onrust Tahun 1929, 1985 dan 1993 dan hubungannya dengan Perubahan Perairan Teluk Jakarta. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta, 7 September Puslitbang Oseanologi-LIPI Jakarta : Swearer SE, Cassele JE, Lea DW, Warner RR Larval retention and recruitment in an island population of a coral reef fish. Nature 402: Tamrin Biologi Reproduksi dan Ekologi Karang. Minamandiri Pres. Tomascik T, Mah AJ, Nontji MA, and Moosa MK The Ecology of The Indonesian Seas. University of parth II, New South Waless Press Ltd. Sidney. UNESCO Hydrology and Water Resources of Small Islands: A Practical Guide. Studies and Report on Hydrology No. 49 Prepared By A Falkland (ed.) and E Custodio with contribution from A Diaz Arenas and L Simler. Paris, France. Veron JEN Corals in Space and Time. The Biogeography and Evolution of The Scleractinia. Cornell, Univ. Press. Westmacott S, Teleki K, Wells S and West J Management of bleached and severely damaged corall reefs. IUCN: Gland (Switzerland). Wiharyanto Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove di Kawasan Konservasi Pelabuhan Tengkayu II Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur (Tesis). Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB, Bogor. Yulianda F Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar sains Departemen manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.

92 Zakai D, Chadwick-Furman NE Impacts of intensive recreational diving on reef corals at Eiliat, northern Red Sea. Biology Conservation 105:

93

94 L A M P I R A N

95 75 Lampiran 1 Hasil analisis Life Form terumbu karang pada masing-masing stasiun penelitian. NO J E N I S S T A S I U N P E N E L I T I A N HARD CORAL Kode Acropora ACB ACD ACE ACS ACT Non Acropora CB CE CF CM CS CMR CHE CHL

96 76 Lampiran 1 (lanjutan). NO J E N I S S T A S I U N P E N E L I T I A N BIOTA LAIN SC SP OT KARANG MATI DC DCA ABIOTIK S R

97 777 Lampiran 2 Hasil analisis ikan karang pada masing - masing stasiun penelitian dengan metode UVC. No. FAMILY No. SPECIES GROUP S T A S I U N JUMLAH Chaetodontidae 1 Chaetodon Vagabundus Indikator Chaetodon kleinii Indikator Chaetodon trifascialis Indikator Chaetodon raflesi Indikator Chaetodon auriga Indikator Chaetodon unimaculatus Indikator Heniochus chrysostomus Indikator Heniochus varius Indikator Chaetodon lunulatus Indikator Chaetodon baronessa Indikator Chaetodon punctatofasciatus Indikator Chaetodon lunula Indikator Chaetodon xanthurus Indikator Chaetodon ulietensis Indikator Chaetodon adiergastos Indikator Chaetodon ephippium Indikator Pomacanthidae 17 Centropyge bicolor Mayor Centropyge vroliki Mayor Pygoplites diacanthus Mayor Centropyge bispinosus Mayor Pomacanthus imperator Mayor Centropyge tibicen Mayor 1 1 2

98 78 Lampiran 2 (Lanjutan). No. FAMILY No. SPECIES GROUP S T A S I U N JUMLAH 23 Chaetodontoplus conspicillatus Mayor Chaetodontoplus mesoleucus Ephippidae 25 Platax pinnatus Target Platax boersi Target Acanthuridae 27 Acanthurus nigrofuscus Target Zebrasoma scopas Target Ctenochaetus tominiensis Target Naso thynnoides Target Acanthurus pyroferus Target Ctenochaetus striatus Target Acanthurus blochii Target Acanthurus olivaceus Target Zanclidae 35 Zanclus cornutus Mayor Siganidae 36 Siganus guttatus Target Siganus puellus Target Siganus vulpinus Target Siganus doliatus Target 2 2 4

99 79 No. FAMILY No. SPECIES GROUP 7 S T A S I U N Pomacentridae 40 Amblyglyphidodon leucogaster Mayor Amblyglyphidodon curacao Mayor Premnas biaculeatus Mayor Amphiprion clarkii Mayor Dascyllus reticulatus Mayor Pomacentrus muluccensis Mayor Chromis retrofasciata Mayor Neoglyphidodon nigroris Mayor Chrysiptera rollandi Mayor Amphiprion perideraion Mayor Neoglyphidodon thoracotaeniatus Mayor Amblyglyphidodon ternatensis Mayor Pomacentrus amboinensis Mayor Chromis sp Mayor Pomacentrus littoralis Mayor Pomacentrus alexanderae Mayor Pomacentrus bangkanensis Mayor Amblyglyphidodon aureus Mayor Dascyllus aruanus Mayor Chromis amboinensis Mayor Chromis ternatensis Mayor Chrysiptera talboti Mayor Neoglyphidodon crossi Mayor JUMLAH

100 80 Lampiran 2 (Lanjutan). NO. FAMILY No. SPECIES GROUP S T A S I U N Abudefduf vaigiensis Mayor Dascyllus trimaculatus Mayor Amphiprion sandaricinos Mayor Amphiprion ocellaris Mayor Chromis viridis Mayor Chromis margaritifer Mayor Dischistodus perspicillatus Mayor Chromis atripectoralis Mayor Chrysiptera springeri Mayor Chrysiptera hemicyanea Mayor 3 3 Lutjanidae 73 Aprion virescens Target Lutjanus decussatus Target Lutjanus bohar Target Macolor niger Target Monotaxis heterodon Target Lutjanus kasmira Target Lutjanus fulviflama Caesionidae 80 Pterocaesio tile Target Pterocaesio pisang Target Pterocaesio trilineata Target Carangidae 83 Elegatis bipinnulatus Target Caranx melampygus Target JUMLAH

101 81 Lampiran 2 (Lanjutan). NO. FAMILY No. SPECIES GROUP S T A S I U N JUMLAH 11 Nemipteridae 85 Scolopsis bilineatus Target Scolopsis lineatus Target Cirrhitidae 87 Paracirrhites forsteri Mayor Cirrhitichthys falco Mayor Serranidae 89 Pseudanthias huchti Target Pseudanthias bicolor Target Epinephelus merra Target Variola louti Target Acthaloperca rogaa Target Cephalopholis argus Target Cephalopholis miniata Target Cephalopholis urodeta Target Epinephelus polyhekadion Target Epinephelus fasciatus Target Haemullidae 99 Plectorhinchus chaetodonnoides Target Plectorhinchus vittatus Scombridae 101 Rastrelliger kanagurta Target Gymnosarda unicolor Target Scomberomurus commerson Target Lethrinidae 104 Gnonathodentex aureolineatus Target Monotaxis heterodon Target Lethrinus amboninensis Target

102 82 Lampiran 2 (Lanjutan). O. FAMILY No. SPECIES GROUP S T A S I U N Synodontidae 107 Synodus dermatogenys Mayor Pinguipedidae 108 Parapercis sp Mayor Parapercis clathrata Mayor Parapercis hexophthalma Mayor Scorpaenidae 111 Pterois antennata Mayor Pterois volitans Mayor Scorpaenopsis sp Mayor Ostraciidae 114 Ostracion solorensis Mayor Ostracion cubicus Mayor Aulostomidae 116 Aulostomus chenensis Scaridae 117 Chlorurus sordidus Target Chlorurus bleekeri Target Cetosscarus bicolor Target Labridae 120 Cirrhilabrus solorensis Major Thalassoma lunare Major Thalassoma hardwicke Major Gomphosus varius Major Halichoeres melanurus Major Bodianus mesothorax Major Labroides dimidiatus Major Halichoeres leucurus Major Cheilinus fasciatus Major JUMLAH

103 Cirrhilabrus solorensis Major Anampses meleagrides Major Cheilio inermis Major Halichoeres chrysus Major Lampiran 2 (Lanjutan). NO. FAMILY No. SPECIES GROUP S T A S I U N Halichoeres hortulanus Major Halichoeres chloropterus Major Labroides bicolor Major Pseudocheilinus hexataenia Major Oxcheilinus celebicus Major Hemigymnus melapterus Major Choerodon anchorago Major Diproctacanthus xanthurus Holocentridae 141 Myripristis murdjan Mayor Sargocentron spiniferum Mayor Cymbacephalus beaufirti Mayor Neoniphon sammara Mayor Pseudochromidae 145 Pseudochromis paranox Mayor Apogonidae 146 Apogon compressus Mayor Apogon aureus Mayor Cheilodipterus macrodon Mayor Syngnathidae 149 Dunckerocampus Mayor JUMLAH

104 84 dactyliophorus 28 Balistidae 150 Sufflamen chrysopterus Target Odonus niger Target Balistapus undulatus Target Balistoides conspicillum Target Tetraodontidae 154 Canthigaster valentini Mayor Arothron nigropunctatus Mayor Canthigaster benneti Mayor

105 85 Lampiran 2 (Lanjutan). NO. FAMILY No. SPECIES GROUP S T A S I U N Gobiidae 157 Amblyeleotris sp Indikator Koumansetta rainfordi Indikator Amblyeleotris steinitzi Indikator Mullidae 160 Parupeneus multifasciatus Target Parupeneus crassilabris Target Parupeneus barbarinus Target Desyatidae 163 Taeniura lymma Target Muraenidae 164 Rhinomuraena quaesita Target Gymnothorax fimbriatus Diodontidae 166 Diodon sp Major Blenniidae 167 Meiacanthus grammistes Major JUMLAH Kelompok S T A S I U N Jumlah Mayor Target Indikator Jumlah Individu Spesies Famili

106 88 Lampiran 3 Hasil Analisis Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Snorkeling pada masing-masing stasiun Penelitian. No Parameter Bobot Stasiun 3 Stasiun 7 Stasiun 8 Stasiun 11 Skor N Skor N Skor N Skor N 1 Kercerahan Perairan Tutupan Komunitas Karang (%) Jenis Life Form Karang (%) Jenis Ikan Karang Kecepatan Arus (cm/det) Kedalaman Terumbu Karang (m) Lebar Hamparan (m) N N Max IKW Kategori S2 S2 S2 S1 Keterangan : N = Bobot x skor IKW = Indeks Kesesuaian Wisata = N/ N Max x 100 % S1 = Sangat Sesuai S2 = Sesuai

107 Lampiran 4 Hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam pada masing-masing stasiun penelitian. No Parameter Bobot Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Skor N Skor N Skor N Skor N Skor N Skor N 1 Kercerahan Perairan 2 Tutupan Komunitas Karang (%) 3 Jenis Life Form Karang (%) 4 Jenis Ikan Karang 5 Kecepatan Arus (cm/det) 6 Kedalaman Terumbu Karang (m) N N Max IKW Kategori S2 S2 S2 S2 S2 S2

108 Lampiran 4 (Lanjutan). No Parameter Bobot Stasiun 7 Stasiun 8 Stasiun 9 Stasiun 10 Stasiun 11 Stasiun 12 Skor N Skor N Skor N Skor N Skor N Skor N 1 Kercerahan Perairan 2 Tutupan Komunitas Karang (%) 3 Jenis Life Form Karang (%) 4 Jenis Ikan Karang 5 Kecepatan Arus (cm/det) 6 Kedalaman Terumbu Karang (m) N N Max IKW Kategori S2 S2 S2 S2 S2 S2

109 89 Lampiran 5 Parameter indeks kesesuaian wisata. Stasiun Lokasi Kecerahan Perairan (%) Tutupan komunitas Jenis life Jenis Kecepatan karang hidup form (%) karang Ikan karang Kedalaman terumbu Lebar hamparan Arus (cm/det) karang (m) datar karang (m) 1 Pulau Liwutongkidi Pulau Liwutongkidi Pulau Liwutongkidi Pulau Liwutongkidi Pulau Liwutongkidi Pulau Liwutongkidi Pulau Liwutongkidi Pulau Liwutongkidi Pulau Kadatua Pulau Kadatua Pulau Siompu Pulau Siompu

110 91 Lampiran 6 Responden yang berkunjung ke Pulau Liwutongkidi. No. Jumlah kunjungan Biaya Pendidikan Pendapatan Waktu Responden V TC Ed I Ttrip , ,000, , ,000, , ,000, , ,500, , ,500, , ,500, , ,500, , ,500, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,500, , ,000, , ,500, , ,500, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,500, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,500, , ,000, , ,000, , ,000, , ,000, , ,500, , ,500,000 3

111 92 Lampiran 6 (Lanjutan). Jumlah No. kunjungan Biaya Pendidikan Pendapatan Waktu Responden V TC Ed I Ttrip , ,000, , ,000, , ,700, , ,000, , ,500, , ,000, , ,700, , ,000, , ,500, , ,500, , ,500, , ,700, , ,500, , ,272,000 Jumlah yang berkunjung = 300 orang/tahun Luas areal karang = Ha

112 93 Lampiran 6 (Lanjutan). SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 50 ANOVA df SS MS F Significance F Regression E 07 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E X Variable E E E E 05 2E E E 05 X Variable X Variable E E E 06 8E E E 08 X Variable

113 95 Lampiran 6 (lanjutan). Luas areal (L) = Rata-rata kunjungan (N) = 300 V rata-rata = a = ( x 55,870) = Sehingga : Y = a + bx V = TC TC = ( ) = V = = Dari persamaan V = TC Jika V = 0 maka TC = Jika TC = 0 maka V = Vrata rata Utiliti : U = TC x ( ) = x ( ) 2 = Vrata rata Surplus Konsumen : CS = [TC TCrata-rata x ( ) 2 Vrata rata CS = [TC TCrata-rata x ( ) 2 = x 2.71 = N Nilai Ekonomi per Ha = CS * = L = / ha / thn Nilai Ekonomi Total = CS * N = * 300 = / thn *

114 96 Lampiran 7 Hasil Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) terhadap foto/ Lanskap objek pada masing-masing lokasi penelitian. Landscape/Foto 1 Landscape/Foto 2 Landscape/Foto 3 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = 8.07 ΣZ = 10.4 ΣZ = 7.69 Z = 1.15 Z = 1.48 Z = 1.10 SBE = SBE = SBE = Landscape/Foto 4 Landscape/Foto 5 Landscape/Foto 6 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = 7.32 ΣZ = 6.96 ΣZ = Z = 0.92 Z = 0.87 Z = 1.28 SBE = 4.50 SBE = 0.00 SBE =

115 97 Lampiran 7 (Lanjutan). Landscape/Foto 7 Landscape/Foto 8 Landscape/Foto 9 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z SBE = ΣZ = 9.53 ΣZ = 9.9 ΣZ = 8.81 Z = 1.19 Z = 1.24 Z = SBE SBE = = Landscape/Foto 10 Landscape/Foto 11 Landscape/Foto 12 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = ΣZ = 8.77 ΣZ = 7.19 Z = 1.28 Z = 1.10 Z = 0.90 SBE = SBE = SBE = 2.87

116 98 Lampiran 7 (Lanjutan). Landscape/Foto 13 Landscape/Foto 14 Landscape/Foto 15 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = ΣZ = 10.6 ΣZ = Z = 1.36 Z = 1.33 Z = 1.40 SBE = SBE = SBE = Landscape/Foto 16 Landscape/Foto 17 Landscape/Foto 18 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = ΣZ = 11.8 ΣZ = Z = 1.37 Z = 1.48 Z = 1.46 SBE = SBE = SBE = 59.13

117 99 Lampiran 7 (Lanjutan). Landscape/Foto 19 Landscape/Foto 20 Landscape/Foto 21 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = ΣZ = 10.2 ΣZ = Z = 1.43 Z = 1.27 Z = 1.31 SBE = SBE = SBE = Landscape/Foto 22 Landscape/Foto 23 Landscape/Foto 24 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = 7.87 ΣZ = 8.57 ΣZ = 8.7 Z = 0.98 Z = 1.07 Z = 1.09 SBE = SBE = SBE = 21.75

118 100 Lampiran 7 (Lanjutan). Landscape/Foto 25 Landscape/Foto 26 Landscape/Foto 27 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = ΣZ = 10.9 ΣZ = Z = 1.33 Z = 1.36 Z = 1.32 SBE = SBE = SBE = Landscape/Foto 28 Landscape/Foto 29 Landscape/Foto 30 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = ΣZ = 12 ΣZ = Z = 1.48 Z = 1.50 Z = 1.59 SBE = SBE = SBE = 72.13

119 101 Lampiran 7 (Lanjutan). Landscape/Foto 31 Landscape/Foto 32 Landscape/Foto 33 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = ΣZ = 12.5 ΣZ = Z = 1.52 Z = 1.56 Z = 1.64 SBE = SBE = SBE = Landscape/Foto 34 Landscape/Foto 35 Landscape/Foto 36 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z ΣZ = ΣZ = 13.2 ΣZ = Z = 1.59 Z = 1.65 Z = 1.63 SBE = SBE = SBE = 76.25

120 102 Lampiran 8 Kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE). 1. Nama : 2. Umur : 3. Pekerjaan : 4. Daerah / Negara Asal : 5. Kegiatan wisata air yang dikuasai/disukai a. Berenang b. Snorkel c. Selam d. Tidak ada yang bisa sama sekali 6. Apakah anda mempunyai sertifikat selam minimal A1 : (ya/tidak) 7. Isilah pada tabel yang ada dibagian kiri dengan memberi contreng untuk ketertarikan saudara terhadap gambar yang disajikan sesuai dengan nomor urut gambar berdasarkan point ketertarikan (lihat skor dibawah) Matrik Nilai Visual : Hamparan Karang dan Ikan Karang Stasiun 1 No. Gbr Nilai Ketertarikan Visual Skor Responden

121 99 Lampiran 9 Landscape/foto untuk Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE). STASIUN 1 GAMBAR 1 GAMBAR 2 GAMBAR 3 STASIUN 2 GAMBAR 4 GAMBAR 5 GAMBAR 6

122 100 Lampiran 9 (Lanjutan). STASIUN 3 STASIUN 4 GAMBAR 7 GAMBAR 10 GAMBAR 8 GAMBAR 11 GAMBAR 9 GAMBAR 12

123 101 Lampiran 9 (Lanjutan). STASIUN 5 STASIUN 6 GAMBAR 13 GAMBAR 16 GAMBAR 14 GAMBAR 17 GAMBAR 15 GAMBAR 18

124 102 Lampiran 9 (Lanjutan). STASIUN 7 STASIUN 8 GAMBAR 19 GAMBAR 22 GAMBAR 20 GAMBAR 23 GAMBAR 21 GAMBAR 24

125 103 Lampiran 9 (Lanjutan). STASIUN 9 GAMBAR 25 GAMBAR 26 GAMBAR 27 STASIUN 10 GAMBAR 28 GAMBAR 29 GAMBAR 30

126 104 Lampiran 9 (Lanjutan). STASIUN 11 GAMBAR 31 GAMBAR 32 GAMBAR 33 STASIUN 12 GAMBAR 34 GAMBAR 35 GAMBAR 36

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik

TINJAUAN PUSTAKA. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik 6 TINJAUAN PUSTAKA Pulau-Pulau Kecil Pulau kecil mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km 2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang. Secara ekologis terpisah

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : AMRULLAH ANGGA SYAHPUTRA 110302075 PROGRAM

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Hari Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi penelitian ditentukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU Urip Rahmani 1), Riena F Telussa 2), Amirullah 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Email: urip_rahmani@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU JOURNAL OF MARINE RESEARCH KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU Oscar Leonard J *), Ibnu Pratikto, Munasik Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 14 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan Pantai Lampuuk Kabupaten Aceh Besar, Provinsi NAD. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar terletak pada 5,2º-5,8º

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentukan alam, struktur historik, adat budaya, dan sumber daya lain yang terkait dengan wisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan Pantai Santolo, Kabupaten Garut. Pantai Santolo yang menjadi objek penelitian secara administratif berada di dua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wilayah Pesisir 2.1.1. Batas Wilayah Pesisir Dalam pengelolaan wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah pesisir dipertimbangkan atas dasar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian selama 6 (enam) bulan yaitu pada bulan Mei sampai Oktober 2009. Lokasi penelitian dan pengamatan dilakukan di Pulau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai 2.1.1. Kawasan pesisir Menurut Dahuri (2003b), definisi kawasan pesisir yang biasa digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai Dahuri et al. (2004) mendefinisikan kawasan pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (shore

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

Karakteristik Pulau Kecil: Studi Kasus Nusa Manu dan Nusa Leun untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Maluku Tengah

Karakteristik Pulau Kecil: Studi Kasus Nusa Manu dan Nusa Leun untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Maluku Tengah Karakteristik Pulau Kecil: Studi Kasus Nusa Manu dan Nusa Leun untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Maluku Tengah Ilham Marasabessy 1 Coauthor Achmad Fahrudin 1, Zulhamsyah Imran 1, Syamsul Bahri Agus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG PADA LOKASI WISATA SNORKELING DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH

KONDISI TERUMBU KARANG PADA LOKASI WISATA SNORKELING DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH JOURNAL OF MARINE RESEARCH Volume, Nomor, Tahun 4, Halaman 182- KONDISI TERUMBU KARANG PADA LOKASI WISATA SNORKELING DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH Ias biondi *), Munasikdan Koesoemadji Program

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata dan Ekowisata Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah memilikikontribusi ekonomi yang cukup penting bagi kegiatan pembangunan. Olehkarenanya, sektor ini

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Deskripsi

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan atau negara maritim terbesar di dunia. Berdasarkan publikasi yang ada mempunyai 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH. Agus Indarjo

KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH. Agus Indarjo Jurnal Harpodon Borneo Vol.8. No.. April. 05 ISSN : 087-X KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH Agus Indarjo Universitas Diponegoro Jl. Prof.Soedarto,SH. Tembalang.Semarang.Tel/Fax:

Lebih terperinci