KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI DESA MATTIRO DECENG, KABUPATEN PANGKEP, PROPINSI SULAWESI SELATAN ANITA SETIANINGSIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI DESA MATTIRO DECENG, KABUPATEN PANGKEP, PROPINSI SULAWESI SELATAN ANITA SETIANINGSIH"

Transkripsi

1 KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI DESA MATTIRO DECENG, KABUPATEN PANGKEP, PROPINSI SULAWESI SELATAN ANITA SETIANINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2010 Anita Setianingsih NIM C

3 ABSTRACT ANITA SETIANINGSIH. Implementation Study of Marine Reserve Management in Mattiro Deceng Village, Pangkep District, South Sulawesi Province. Supervised by M. MUKHLIS KAMAL and TARYONO. Marine reserve is one of models for marine and coastal management to protect coral reef ecosystem. Marine reserve is banned for destructive activities, except for research, education and tourism (snorkeling and diving). The goals of this research were to describe (1) the implementation of marine reserve management, (2) the impact on coral reef ecosystem and economic community and (3) factors that influence the success of marine reserve management. This research was conducted at Mattiro Deceng Village (Badi and Pajjenekang Islands) on April- Mei Point Intercept Transect (PIT) and Underwater Visual Cencus (UVC) were used to observe the condition of coral condition and reef fish at Badi Island. Likert range was used to see the impacts on economic and social aspects. Principal Component Analysis (PCA) was used to classify factors that influence the success of marine reserve management. The steps for implementation were socialization, field check, formalization, demarcation, training and cross visit, establishment of management board, surveillance, monitoring and evaluation. Live coral cover increased by 12% and there was decreasing of coral mortality index for 2 years. Research found 45 species from 18 families and its abundance was 456 ind/250 m 2 with a high diversity and eveness index. There was increasing of fish abundance from There was no fish dominate ecosystem. Marine reserve has not been able to increase community income and catches. The impacts on social aspect were a fairly good of community perception and government role and low level of community participation. There were 9 factor groups that influence the success of marine reserve management: (i) government roles in marine reserve establishment and management, (ii) community participation in marine reserve establishment, (iii) community participation in marine reserve management, (iv) community perception to resources and marine reserve, (v) output of marine reserve for ecotourism and education, (vi) output of marine reserve for ecology and community income, (vii) community conflict, (viii) output of marine reserve to community catches and (ix) budget. Keywords: coral reef ecosystem, marine reserve, reef fishes, economic and social impact

4 RINGKASAN ANITA SETIANINGSIH. Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Taryono, S.Pi, M.Si. Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah larang ambil, tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat destruktif, kecuali untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam). Adanya DPL ini dinilai penting demi menunjang terwujudnya perbaikan ekosistem, khususnya terumbu karang dan mempertahankan produksi perikanan. DPL Desa Mattiro Deceng di Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu DPL yang berkembang di Indonesia. Kondisi karang dan ikan karang diharapkan tetap terjaga bahkan meningkat dengan upaya konservasi melalui pembentukan DPL. Disamping untuk keberlanjutan keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menggambarkan implementasi DPL dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, 2) mengetahui dampak adanya DPL terhadap ekosistem terumbu karang dan ekonomi masyarakat dan 3) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan DPL. Manfaat yang diharapkan antara lain: 1) memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan tentang dampak pengelolaan DPL dan 2) memberikan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan arah pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat dengan memperhatikan nilai ekologi, sosial, ekonomi dan budayanya. Metode yang digunakan antara lain: 1) wawancara dan studi literatur untuk mengetahui gambaran implementasi DPL, 2) metode PIT (Point Intercept Transect) untuk melihat kondisi karang, 3) metode UVC (Underwater Visual Census) untuk pengamatan ikan karang, 4) metode pendekatan persepsi pendapatan dan hasil tangkap untuk mengetahui dampak DPL terhadap ekonomi masyarakat, 5) metode kuisioner dan wawancara untuk pengamatan dampak DPL terhadap sosial masyarakat (persepsi masyarakat, partisipasi masyarakat dan peran pemerintah), 6) metode kuisioner dan wawancara untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL dan 7) analisis stakeholder untuk mengetahui peranan masing-masing stakeholder dalam pengelolaan DPL. Skala Likert digunakan untuk melihat dampak DPL terhadap aspek ekonomi dan sosial. PCA (Principal Component Analysis) digunakan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL. Penelitian dilaksanakan di Desa Mattiro Deceng (Pulau Badi dan Pajjenekang) pada bulan April-Mei Tahapan implementasi pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng meliputi sosialisasi awal pembentukan DPL, survei lokasi calon DPL dan penetapan lokasi DPL, penetapan Perdes, pemasangan tanda

5 batas DPL, penyelenggaraan pelatihan dan studi banding, pembentukan kelompok pengelola, pengawasan DPL, monitoring dan evaluasi dampak DPL. Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang dilakukan di DPL Pulau Badi. Tutupan karang hidup mengalami peningkatan 12% dan indeks mortalitas karang mengalami penurunan selama 2 tahun. Famili ikan yang ditemui sebanyak 18 famili meliputi 45 spesies. Kelimpahan ikan saat penelitian adalah 456 ind/250 m 2. Terdapat kenaikan kelimpahan jika dibandingkan dengan kelimpahan tahun Kelimpahan famili tertinggi pada famili Pomacentridae yaitu 249 ind/250 m 2. Kelimpahan ikan tertinggi pada Chromis ternatensis, yaitu sebesar 80 ind/250 m 2. Indeks keanekaragaman ikan menunjukkan Ini berarti bahwa keanekaragaman ikan tinggi. Indeks keseragaman ikan menunjukkan 0.8. Ini berarti bahwa keseragaman antarspesies seragam atau jumlah individu masing-masing spesies relatif seragam/sama. Indeks dominansi ikan menunjukkan Ini berarti bahwa tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya sehingga komunitas dalam keadaan stabil. Berdasarkan pendekatan persepsi pendapatan dan hasil tangkapan masyarakat, keberadaan DPL belum dapat meningkatkan pendapatan dan jumlah tangkapan masyarakat. Dampak DPL terhadap sosial masyarakat antara lain menunjukkan tanggapan masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL adalah cukup bagus, partisipasi masyarakat yang masih rendah dan tanggapan masyarakat terhadap peran pemerintah adalah cukup bagus dalam mendukung pembentukan dan pengelolaan DPL. Hasil analis faktor diperoleh 9 kelompok faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL, yaitu (1) peran pemerintah dalam pembentukan dan pengelolaan DPL, (2) partisipasi masyarakat dalam pembentukan DPL, (3) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL, (4) persepsi masyarakat terhadap potensi sumberdaya dan DPL, (5) output/manfaat DPL untuk ekowisata dan penelitian, (6) output/manfaat DPL terhadap kondisi ekologi dan pendapatan, (7) konflik masyarakat, (8) output/manfaat terhadap hasil tangkapan dan (9) pendanaan. Stakeholder yang mempunyai kepentingan tinggi pengaruh tinggi terdiri dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah yang sangat kuat dan penting dalam pengelolaan DPL. Karenanya persepsi masyarakat terhadap peran pemerintah menjadi cukup bagus dan menyebabkan capaian yang dicapai baik karena turun tangan pemerintah dan belum memberdayakan masyarakat (tingkat partisipasi rendah). Kata kunci: ekosistem terumbu karang, DPL, ikan karang, dampak ekonomi dan sosial

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI DESA MATTIRO DECENG, KABUPATEN PANGKEP, PROPINSI SULAWESI SELATAN ANITA SETIANINGSIH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

9 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan : Anita Setianingsih : C : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Ketua Taryono, S.Pi, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 30 Agustus 2010 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penyusunan tesis yang berjudul Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan dapat diselesaikan. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing (Pembimbing I) atas bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis 2. Taryono, S.Pi, M.Si selaku Pembimbing II atas bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis 3. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku Dosen penguji pada sidang tesis 4. Dr. Ir. Yusli Wardiatno selaku Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK IPB 5. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana IPB 6. Suami (Ali Rahmat Iman Santoso, S.St.Pi, M.Si) dan putri tercinta (Alya Kayyisah Santoso), orang tua dan kakak serta adik-adik penulis atas doa, dukungan, perhatian, cinta dan kasih sayang yang selalu dan tiada henti diberikan kepada penulis 7. Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M.Eng, Dipl.Ing, Sekretaris Jenderal Kementrian Kelautan dan Perikanan ( ) atas dukungan dalam menempuh Sekolah Pascasarjana di IPB 8. Ir. Agus Dermawan, M.Si (Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan), Ir. Yaya Mulyana (Direktur COREMAP II periode ), Ir. M. Eko Rudianto, MBus (IT) (Direktur Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil), Prof. Jamaluddin Jompa (Sekretaris Eksekutif COREMAP II) dan Ir. Elfita Nezon, MM atas dukungan dalam menempuh Sekolah Pascasarjana di IPB 9. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB atas ilmu dan bantuan serta kemudahan dalam perkuliahan dan penyelesaian Sekolah Pascasarjana 10. Seluruh Dosen dan Staf ZMT Universitas Bremen atas ilmu yang diberikan kepada penulis 11. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep atas bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam penelitian 12. Keluarga besar Ir. Parmanto Mitrosudarmo, MM atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis 13. Rekan-rekan COREMAP II dan keluarga besar Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal KP3K, KKP atas doa dan bantuan yang diberikan dalam penyelesaian Sekolah Pascasarjana 14. Keluarga besar M. Arif Manompo (SPL Sandwich), rekan-rekan COREMAP II Kabupaten Pangkep, Kepala Desa Mattiro Deceng, Ketua LPSTK Desa

11 Mattiro Deceng, Bapak Ikhsan Machfud (SETO), Bapak Sofyan (Fasilitator), Bapak Najamuddin (Motivator Desa), Bapak Santa, Sdr. Ramli (Unhas) dan Sdr. Dafiuddin Salim (SPL IPB) atas bantuan dan kerjasamanya selama ini 15. Rekan-rekan seperjuangan di Program Studi SPL Sandwich IPB atas kerja sama dan kebersamaan dalam penyelesaian Sekolah Pascasarjana 16. Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan tesis ini. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun sangat diharapkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Semoga tesis ini bermanfaat khususnya dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng dan bagi kita semua pada umumnya. Bogor, September 2010 Anita Setianingsih

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karanganyar, Jawa Tengah pada tanggal 2 Mei 1981 dari Bapak Kasmani dan Ibu Siti Ngaliatul Marwiyah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Riwayat pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri Tuban III ( ), SMP Negeri 1 Gondangrejo ( ) dan SMU Negeri 5 Surakarta Jawa Tengah ( ). Pendidikan S1 ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB ( ). Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB bekerja sama dengan Tropical Marine Ecology (ZMT) - Universitas Bremen diperoleh pada tahun 2008 melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari COREMAP II, Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Riwayat pekerjaan penulis diawali sebagai tenaga honorer pada COREMAP II ( ). Tahun 2005 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementrian Kelautan dan Perikanan dan ditempatkan sebagai full time staff COREMAP II di bawah Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementrian Kelautan dan Perikanan. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Penulis dinyatakan lulus pada tahun 2010.

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xxiii DAFTAR GAMBAR... xxv DAFTAR LAMPIRAN... xxvii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Terumbu Karang Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya Distribusi Terumbu Karang Makroalga Ikan Karang Model-model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Government-based Management Community-based dan Co-management Daerah Perlindungan Laut Pengertian, Maksud dan Tujuan Pembentukan DPL Indikator Keberhasilan DPL Manfaat DPL DPL Desa Mattiro Deceng METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data Pengamatan Ekologi Terumbu Karang Pengukuran Kualitas Perairan Pengamatan Tutupan Karang Hidup Pengamatan Ikan Karang Pengumpulan Data Ekonomi dan Sosial Masyarakat Inventarisasi Data Stakeholder Analisis Data Analisis Data Ekologi Kondisi Karang Persentase Tutupan Karang Hidup Indeks Mortalitas Karang Ikan Karang... 37

14 Kelimpahan Ikan Indeks Keanekaragaman (H ) Indeks Keseragaman (E) Indeks Dominansi (C) Analisis Persepsi Ekonomi Analisis Data Sosial Uji Validitas Kuisioner Uji Reliabilitas Kuisioner Analisis Persepsi Masyarakat Analisis Partisipasi Masyarakat Analisis Peran Pemerintah Analisis Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL Analisis Tanggapan Masyarakat terhadap Input Pengelolaan DPL Analisis Tanggapan Masyarakat terhadap Proses Pengelolaan DPL Analisis Tanggapan Masyarakat terhadap Output Pengelolaan DPL Analisis Faktor Analisis Stakeholder HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Desa Mattiro Deceng Kondisi Administrasi dan Geografis Kondisi Sosial Jumlah Penduduk Tingkat Pendidikan Budaya/Tradisi Kelembagaan Desa Hubungan Ponggawa Sawi Kondisi Ekonomi Potensi Pesisir dan Kelautan Perhubungan Sarana dan Prasarana Sumberdaya Perikanan Tangkap Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut (DPL) Dampak DPL terhadap Ekologi Terumbu Karang Parameter Kualitas Perairan Tutupan Karang Hidup Indeks Mortalitas Karang Ikan Karang Dampak DPL terhadap Ekonomi Masyarakat Dampak DPL terhadap Sosial Masyarakat Persepsi Masyarakat terhadap Sumberdaya dan DPL Partisipasi Masyarakat Peran Pemerintah... 76

15 4.6 Keterkaitan antara Ekologi, Ekonomi dan Sosial Masyarakat Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL Tanggapan Masyarakat terhadap Input, Proses dan Output Pengelolaan DPL Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL Analisis Stakeholder KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Data yang dikumpulkan selama penelitian Kode pencatatan kategori biota Variabel dalam kuisioner Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan persepsi masyarakat Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan partisipasi masyarakat Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan peran pemerintah Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan input pengelolaan DPL Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan proses pengelolaan DPL Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan output pengelolaan DPL Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur Mata pencaharian penduduk Sarana dan Prasarana Desa Mattiro Deceng Koordinat titik penempatan tanda batas DPL Pulau Badi Data kualitas perairan di DPL Pulau Badi Jumlah individu famili ikan/250 m 2 DPL Pulau Badi (2010) Persepsi hasil tangkap nelayan pada musim barat dan timur Variabel faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL Kelompok faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL 82

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1997) Contoh sketsa DPL di sekitar pulau kecil (Tulungen et al. 2002) DPL sebagai terumbu karang sumber dan penampung (Tulungen et al. 2002) Peta lokasi penelitian Ilustrasi teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan karang Tata hubungan kelembagaan di desa Tanda DPL Pulau Badi Tanda DPL Pulau Pajjenekang Persentase tutupan karang hidup DPL Pulau Badi ( ) Persentase jumlah individu ikan/250 m 2 di DPL Pulau Badi (2010) Kelimpahan ikan/250 m 2 di DPL Pulau Badi ( ) Hasil analisis stakeholder... 87

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun Hasil uji validitas dan reliabilitas Gambar kondisi terumbu karang DPL Famili dan spesies ikan karang DPL Perhitungan Indeks Keanekaragaman (H'), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi (C) Ikan Persentase skor persepsi masyarakat Persentase skor partisipasi masyarakat Persentase skor peran pemerintah Persentase skor input pengelolaan DPL Persentase skor proses pengelolaan DPL Persentase skor output pengelolaan DPL Hasil analisis faktor dengan metode ekstraksi PCA a. Indeks KMO dan uji statistika Bartlett s b. Nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) variabel c. Varian total yang dikonstribusikan 35 faktor d. Matriks komponen/faktor e. Matriks rotasi komponen/faktor f. Varian total yang dikonstribusikan setiap faktor setelah rotasi g. Nilai communalities variabel faktor h. Scree plot

19 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun Indonesia menindaklanjutinya dengan menyusun Agenda 21 nasional. Salah satu hal yang disoroti adalah pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan teknologi dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu. Beberapa konsensus internasional terkait isu konservasi, yakni CBD (Convention on Biological Diversity), Ramsar Convention on Wetlands of International Importance, WHS (World Heritage Site) dan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), termasuk kerja sama regional seperti Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan Bismarc Solomon Marine Ecoregion (BSME) telah diratifikasi. Meskipun kepentingan nasional terlihat lebih menonjol dalam percaturan di dunia internasional, kawasan konservasi pesisir dan lautan tidaklah bersifat sentralistik lagi oleh pemerintah pusat, melainkan mengalami perubahan menjadi desentralistik dengan ditandai adanya pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) oleh pemerintah daerah. Disamping hal tersebut, sistem penzonasian juga mengalami modifikasi, yakni adanya zona perikanan berkelanjutan dimana zona ini tidak dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sistem penzonasian ini merupakan salah satu rujukan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (kemudian dilakukan perubahan dengan diterbitkannya UU No. 45 Tahun 2009) dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Adapun penzonasian umum pada kawasan konservasi antara lain zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona inti diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi,

20 penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Zona lainnya merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona perlindungan, zona rehabilitasi dan sebagainya. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan dapat menghindari konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, khususnya bagi para nelayan yang berpandangan bahwa penzonasian pada kawasan konservasi dapat menghalangi akses nelayan terhadap sumberdaya, terutama zona inti sebagai zona larang ambil. Pada umumnya, zona inti suatu kawasan ditetapkan pada Daerah Perlindungan Laut (DPL), yaitu kawasan tersebut ditetapkan dan diatur sebagai daerah larang ambil, tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat destruktif, kecuali untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam). Pembentukan DPL tersebut merupakan suatu upaya perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang. Mengingat saat ini kondisi terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi kritis, yaitu 5.47% sangat baik, 25.48% baik, 37.06% cukup baik dan 31.98% kurang baik (Suharsono 2008). Selain perbaikan ekosistem, upaya konservasi ini ditujukan untuk menunjang keberlanjutan produksi perikanan. Data yang dikumpulkan FAO (2007) dalam Satria et al. (2009) mengindikasikan telah terjadi gejala tangkap lebih (overfishing) pada skala internasional yang semakin meluas, yaitu 16% overexploited dan 44% fully exploited. Sedangkan di Indonesia, telah terjadi kenaikan produksi perikanan tangkap di laut sepanjang tahun 2000 hingga 2006 sebesar 2.74% (DKP 2007). Jika dibandingkan dengan jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton, maka produksi tahun 2006 telah mencapai 87.27% dari JTB. Daerah Perlindungan Laut di Indonesia, pertama kali dikembangkan di Desa Blongko, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Pembentukan DPL di Desa Blonko diinisiasi oleh Pemerintah Pusat melalui Proyek Pesisir dan diharapkan keberlanjutan pengelolaan DPL dilaksanakan oleh masyarakat. DPL juga dikembangkan di Pulau Sebesi,

21 Lampung. Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi mengalami peningkatan dari tahun setelah dibentuk DPL, antara lain indeks mortalitas karang keras mengalami penurunan dan keanekaragaman karang keras yang ditemukan mengalami peningkatan pada tahun 2005 yaitu 22 genus dari 19 genus pada tahun 2002 dengan karang genus Acropora mempunyai penyebaran yang merata di semua DPL (Muttaqin 2006). Sedangkan pembelajaran dari Philiphina, antara lain adanya peningkatan tutupan karang 119% dalam 5 tahun di Balicasag s sanctuary (Christie et al. 2002), peningkatan biomassa ikan di luar DPL Pulau Apo dan peningkatan hasil tangkapan nelayan setelah 18 tahun DPL ditetapkan (Russ et al. 2004). Observasi Wantiez (1997) menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa ikan di 5 pulau di New Caledonia masing-masing sebesar 67%, 160% dan 246% setelah 5 tahun DPL dibentuk. Salah satu DPL di Indonesia yang dikembangkan antara lain DPL Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Pembentukan DPL ini diinisiasi oleh Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II atau yang lebih dikenal dengan COREMAP II (Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II). Salah satu kegiatan dalam program ini adalah pembentukan DPL untuk mendukung pembentukan KKLD. Desa ini terdiri dari dua pulau, yaitu Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang. Desa Mattiro Deceng termasuk dalam kawasan Kepulauan Spermonde dan merupakan salah satu wilayah penyebaran terumbu karang yang secara administratif terbagi ke dalam 3 wilayah, yaitu Kotamadya Makassar, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) dan Kabupaten Barru. Pembentukan DPL di Desa Mattiro Deceng dikukuhkan dengan Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut. Tujuan pembentukan DPL adalah untuk (i) menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa dan (iii) meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam

22 DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata. Studi baseline di DPL telah dilakukan sejak tahun 2008 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Persentase tutupan karang hidup DPL Mattiro Deceng di Pulau Badi menunjukkan 42% dan termasuk kategori sedang atau cukup baik. Sedangkan ikan karang yang dijumpai adalah 61 spesies dari 14 famili. Untuk melihat keberhasilan kinerja DPL sejak pembentukannya, maka perlu dilakukan suatu kajian ekologi di lokasi DPL. Disamping untuk keberlanjutan keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejauh mana dampak adanya DPL Desa Mattiro Deceng terhadap ekologi DPL dan masyarakat (ekonomi dan sosial) inilah yang perlu dikaji untuk kemudian DPL dapat dikelola secara berkelanjutan. 1.2 Perumusan Masalah Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang tidak bijaksana dapat menjadi ancaman bagi ekosistem terumbu karang. Jika kerusakan tidak dapat diantisipasi, keberlanjutan sumberdaya perikanan dan kelautan tidak akan terwujud sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Di Desa Mattiro Deceng, kegiatan illegal fishing dan destructive fishing yang dilakukan oleh nelayan, baik oleh nelayan dari dalam maupun dari luar desa; penambangan karang untuk kebutuhan bahan pondasi rumah atau tanggul dan eksploitasi sumberdaya perikanan utamanya pada komoditas-komoditas yang memiliki nilai jual tinggi menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang umum terjadi di daerah pesisir. Bagaimana upaya untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang merupakan pertanyaan besar yang harus dijawab. Terjaganya terumbu karang akan mempengaruhi tingkat produktivitas perikanan dan dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat, mengingat terumbu karang berpotensi sebagai habitat, nursery, feeding dan spawning grounds bagi biota laut.

23 Upaya untuk melindungi ekosistem, khususnya terumbu karang di Desa Mattiro Deceng dilakukan melalui pembentukan DPL yang diinisiasi oleh pemerintah melalui COREMAP II. Pengelolaan DPL kedepan diharapkan dapat dilanjutkan oleh masyarakat untuk menunjang keberhasilan pengelolaan DPL sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat adanya DPL tersebut. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang keberhasilan pengelolaan DPL adalah melihat bagaimana implementasi pengelolaannya. Implementasi ini dapat dilihat dari proses awal pembentukan dan proses keterlibatan masyarakat serta dampak/manfaat DPL terhadap lingkungan dan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya yang ada diharapkan dapat berkelanjutan baik dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial. Ketiga aspek ini merupakan bagian dari Segitiga Keberlanjutan (sustainability triangle) yang digambarkan oleh Charles (1994). Setiap aspek tersebut dilihat sebagai komponen dalam menentukan keberhasilan pengelolaan dengan mempertimbangkan dampak suatu aspek terhadap aspek lainnya. Manfaat keberhasilan pengelolaan dapat dilihat secara utuh dari aspek-aspek tersebut, bukan secara terpisah. Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Kegiatan illegal fishing dan destructive fishing, penambangan karang dan eksploitasi sumberdaya perikanan menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang. 2. Belum diketahuinya keberhasilan pembentukan DPL sejak tahun 2007 dilihat dari indikator ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. 3. Keberlanjutan pengelolaan DPL di masa yang akan datang apabila COREMAP II berakhir, mengingat saat ini pengelolaan DPL masih dibiayai oleh pemerintah pusat yang bersifat on granting kepada pemerintah daerah dan dana APBD. 1.3 Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk menggambarkan implementasi DPL dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

24 2. Untuk mengetahui dampak adanya DPL terhadap ekosistem terumbu karang dan ekonomi masyarakat. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan DPL. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan tentang dampak pengelolaan DPL. 2. Memberikan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan arah pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat dengan memperhatikan nilai ekologi, sosial, ekonomi dan budayanya. 1.5 Kerangka Pemikiran Salah satu model pengelolaan pesisir dan lautan adalah DPL. Pengelolaan ini akan memberikan dampak terhadap ekologi (kondisi lingkungan), ekonomi dan sosial masyarakat. Ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Untuk mengetahui sejauh mana dampak DPL tersebut dilakukanlah serangkaian kajian terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Dampak DPL terhadap ekologi diharapkan dapat mempertahankan bahkan memperbaiki kondisi lingkungan, dalam hal ini kondisi ekosistem terumbu karang. Dampak DPL terhadap ekonomi dapat dilihat dari pendapatan dan hasil tangkapan penduduk. Dampak DPL terhadap sosial masyarakat nantinya dituntut untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan penguatan kelembagaan. Untuk mengetahui dampak pengelolaan terhadap sosial masyarakat dilakukan kajian tentang persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL, partisipasi masyarakat dan peran pemerintah serta kajian stakeholder yang berperan dalam pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng. Keterkaitan ketiga aspek, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial tersebut diharapkan dapat menyokong keberhasilan

25 pengelolaan DPL dan lebih jauh pengelolaan dapat berjalan secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Desa Mattiro Deceng Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Deceng Fungsi Ekologi Fungsi Ekonomi dan Sosial Kajian ekologi Kajian persepsi masyarakat terhadap aspek ekonomi dan sosial - Kondisi karang - Ikan Karang - Pendapatan dan hasil tangkap - Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL - Partisipasi masyarakat - Peran Pemerintah - Stakeholder Keberhasilan Pengelolaan DPL Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

26 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1992). Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berrongga) atau Cnidaria. Karang (coral) mencakup karang dari Ordo Scleractinia dan Sub-kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya Di dunia terdapat dua kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan dua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik di dalam menghasilkan terumbu (reef). Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik. Sel-sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Selanjutnya distribusi karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia (Nybakken 1992). Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hidrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure dan faktor genetik. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dan non-acropora (English et al. 1997). Perbedaan Acropora dengan non- Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-acropora hanya memiliki radial koralit. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang disajikan pada Gambar 2.

27 Skeleton Acropora Skeleton non-acropora Gambar 2. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1997) Bentuk pertumbuhan karang non-acropora terdiri atas: 1. Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.

28 2. Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu. 3. Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang. 4. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain. 5. Bentuk Jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. 6. Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil. 7. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh. 8. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya. Bentuk pertumbuhan Acropora sebagai berikut: 1. Acropora bentuk cabang (Branching Acropora), bentuk bercabang seperti ranting pohon. 2. Acropora meja (Tabulate Acropora), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar. 3. Acropora merayap (Encursting Acropora), bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna. 4. Acropora Submasif (Submassive Acropora), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh.

29 5. Acropora berjari (Digitate Acropora), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan. Terdapat tiga tipe terumbu karang, yaitu 1. Terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka. 2. Atol (atoll), terumbu karang tepi yang berbentuk menyerupai cincin di sekitar pulau vulkanik yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak, dengan kedalaman mencapai 45 m. 3. Terumbu penghalang (barrier reef), terumbu karang yang tumbuh sejajar pantai tapi agak lebih jauh ke luar (biasanya dipisahkan oleh sebuah laguna) dengan kedalaman meter Distribusi Terumbu Karang Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa parameter fisik. Parameter-parameter fisik tersebut antara lain: 1. Kecerahan Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 m atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15-20% dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air. 2. Temperatur Pada umumnya, terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 25 dan 29 0 C, namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies tertentu dan jenis karang hermatifik

30 untuk dapat berkembang biak dengan baik. Karang hermatifik dapat bertahan pada suhu dibawah 20 0 C derajat selama beberapa waktu dan dapat mentolerir suhu sampai 36 0 C dalam waktu yang singkat. 3. Salinitas Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut. Pertumbuhannya menjadi kurang baik bila dibandingkan pada salinitas normal. Namun demikian, ada juga terumbu karang yang mampu berkembang di kawasan perairan dengan salinitas 42, seperti di wilayah Timur Tengah. 4. Sirkulasi arus dan sedimentasi Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkuasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan dalam proses sedimentasi. Sedimentasi dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga tidak hanya berdampak negatif terhadap hewan karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh zooxanthellae akan terganggu Makroalga Makroalga merupakan tumbuhan laut karena mereka berfotosintesis dan memiliki persamaan ekologi dengan tumbuhan lainnya. Akan tetapi, makroalga hanya memiliki sedikit akar, daun, bunga dan jaringan darah (Diaz-Pulido dan McCook 2008). Makroalga berbeda dengan mikroalga dimana makroalga memiliki banyak sel dan berukuran besar. Namun beberapa diantaranya seperti Acetabularia dan Caulerpa memiliki satu sel (Ladrizabal 2007).

31 Berdasarkan pada fungsi karakteristik ekologi (seperti bentuk tumbuhan, ukuran, kekuatan, kemampuan berfotosintesis), kemampuan bertahan terhadap grazing (perumputan) dan pertumbuhan, makroalga dapat diklasifikasikan menjadi Turf algae, Fleshy algae dan Crustose algae (Rogers et al. 1994, Diaz-Pullido dan McCook 2008). Makroalga terutama turf algae di ekosistem terumbu karang merupakan produsen primer penting karena dapat berfotosintesis sehingga menjadikan makroalga sebagai makanan favorit bagi para herbivor (Morissey 1985, McCook 2001) dan sebagai dasar pada jaring makanan di ekosistem terumbu karang. Disamping itu makroalga membuat habitat bagi para invertebrata dan vertebrata pada kepentingan fungsi ekologi dan ekonomi. Jika makroalga berlimpah akan menimbulkan degradasi terumbu karang, yaitu terjadi pergantian fase dari terumbu karang menjadi makroalga (Jompa dan McCook 2002, Diaz-Pullido dan McCook 2008) Ikan Karang Ikan karang merupakan salah satu komponen utama penyusun ekosistem terumbu karang yang sangat penting sebagai sumber protein hewani bagi kehidupan manusia. Beragamnya spesies ikan yang dapat ditemui di terumbu karang menyebabkan ekosistem terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Hutomo 1987). Ikan karang mempunyai komposisi jenis yang beragam dan berbeda pada patch reef yang berbeda (Sale 1991). Secara komersial, ikan-ikan karang memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (Allen et al. 1996, English et al. 1997). Keberadaan ikan karang tersebut dipengaruhi dengan kondisi fisik terumbu karang. Baik buruknya kondisi terumbu karang akan mempengaruhi kelimpahan ikan karang yang menghuni ekosistem tersebut. Berkurangnya atau menurunnya keanekaragaman jenis-jenis ikan menjadi salah satu indikator kerusakan lingkungan terumbu karang (Badrudin et al. 2003). Persentase penutupan karang hidup yang berbeda-beda akan mempengaruhi densitas ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup (Carpenter et al in Chabanet et al. 1997).

32 Penurunan penutupan karang hidup dapat mengakibatkan penurunan rekruitmen dari spesies ikan yang memerlukan karang hidup sebagai substratum untuk tempat penempelan (Russ 1991). William et al. (1986) in Choat (1991) menemukan kegagalan rekruitmen Pomacentrus molluccensis dan Chromis atripectoralis di Great Barrier Reef selama 3 tahun sebagai akibat kerusakan penutupan karang hidup oleh serangan Acanthaster planci. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan di wilayah terumbu karang memperlihatkan hubungan yang positif dengan penutupan karang hidup (Bell et al. 1985, Adrim et al. 1991) Jumlah spesies ikan karang terbesar dijumpai di daerah Indo-Pasifik. Keanekaragaman ikan karang ditandai dengan keanekaragaman jenis dengan berbagai ukuran. Robins (1971) in Bouchon-Navaro (1996) memperkirakan sekitar spesies ikan terdapat di daerah tropis Atlantik Barat, dengan 50% diantaranya tinggal di daerah perairan pantai. Meskipun demikian, untuk perairan karang Indonesia paling sedikit terdapat 11 famili utama sebagai penyumbang produksi perikanan, yaitu: Caesionidae, Holocentridae, Serranidae, Scaridae, Siganidae, Lethrinidae, Priacanthidae, Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae (Djamali dan Mubarak 1998) dan Acanthuridae (Hutomo 1986). Dalam pengamatan ikan karang, ada tiga kategori kedalaman perairan yang terutama ditolerir oleh ikan karang, yaitu: daerah dangkal (0-4 m), daerah tengah (5-19 m) dan daerah dalam (>20 m). Jarak kedalaman dari zona ini tergantung pada tingkat perlindungan dan kondisi laut. Pada daerah dangkal yang banyak dipengaruhi oleh gelombang, daerah perlindungan yang baik terdapat pada teluk atau laguna, yaitu dengan cara turun ke kedalaman yang lebih dalam. Sebaliknya pada daerah terluar, struktur karang yang terbuka oleh pengaruh gelombang di permukaan kadang-kadang dirasakan di bawah kedalaman 10 m. Daerah tengah merupakan tempat di mana ikan dan karang hidup melimpah. Pada daerah ini pengaruh gelombang laut minimal, meskipun arus kadang-kadang kuat, sementara sinar matahari optimal bagi pertumbuhan dan pembentukan terumbu karang (Allen 1997). Dalam pengelompokannya, ikan karang dibedakan menurut maksud tujuan pengamatan yang dilakukan (Husain et al. 1996). Berdasarkan karakteristik taksonomi, ikan karang dikelompokkan atas sub-ordo Labridae (terdiri dari famili

33 Labridae, Scaridae dan Pomacentridae), sub-ordo Acanthuridae (famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae), dan sub-ordo Chaetodontidae (famili Chaetodontidae dan Pomacanthidae) (Hutomo 1993). Dilihat dari pemanfaatannya, ikan karang dikelompokkan ke dalam ikan hias (famili Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Zanclidae, Balistidae, Scorpaenidae) (Kvalvagnaes 1980); dan ikan pangan atau konsumsi (famili Caesionidae, Serranidae, Siganidae, Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Labridae, Scaridae, Holocentridae, Priacanthidae) (McWilliams dan Hatcher 1983). Berdasarkan tujuan pengelolaannya, Dartnall dan Jones (1986) membagi ikan karang menjadi 3 kelompok, yaitu: kelompok jenis ikan indikator, ikan target (konsumsi) dan ikan yang berperan dalam rantai makanan (kelompok utama). Menurut Barnes (1980), keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup di tepi karang menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah di luar karang sebagai tempat mencari makan. Kelompok ikan terumbu karang terdiri dari jenis ikan yang hidup menetap di karang atau yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya. Kadang-kadang ditemui juga jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenile dan pada saat dewasa beruaya ke luar terumbu. Beberapa jenis ikan karang keluar dari ekosistemnya ke biotope lain, seperti ke daerah lamun (Sorokin 1993). Choat dan Bellwood (1991) memperoleh tiga hubungan/interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang, yaitu: 1. Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda. 2. Interaksi dalam mencari makan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga. 3. Interaksi tidak langsung sebagai akibat struktur karang, kondisi hidrologi dan sedimen.

34 Kunci interaksi ikan karang dengan karang dijelaskan oleh Choat dan Bellwood (1991) dalam tiga kelompok besar, yaitu: 1. Kelompok Chaetodontids, terdiri dari famili Chaetodontidae dan Pomacanthidae. 2. Kelompok Acanthuroids, terdiri dari famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae. 3. Kelompok Labroids, terdiri dari famili Scaridae, Pomacentridae dan Labridae. Ikan-ikan perciform ini mewakili kelompok utama spesies ikan karang. 2.2 Model-model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sumberdaya pesisir dan lautan harus dikelola atau ditata karena sumberdaya tersebut sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Apapun cara pendekatan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatannya dilakukan berlebihan maka akan menyebabkan sumberdaya tersebut mengalami tekanan ekologi dan selanjutnya menurunkan kualitasnya (Nikijuluw 2002). Dalam pengelolaannya perlu diperhatikan beberapa tahap, antara lain (i) preliminary appraisal, (ii) baseline assessment, (iii) monitoring dan (iv) evaluasi. Preliminary appraisal menyajikan informasi tentang target lokasi yang akan dikelola dengan potensi dan permasalahannya. Baseline assessment menyajikan informasi yang nantinya menjadi indikator yang harus dilihat dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Monitoring merupakan salah satu aspek penting dalam implementasi project untuk mengetahui suatu pengelolaan berjalan baik atau tidak. Jika tidak berjalan, dapat diambil pembelajaran yang sudah ada untuk pengelolaan yang lebih baik ke depannya. Evaluasi meliputi dua jenis yang sangat penting, yaitu post evaluation yang dilakukan setelah project selesai dan ex-post evaluation yang dilakukan setelah beberapa tahun dilaksanakan evaluasi pertama (Berkes et al. 2001). Salah satu aspek penting dalam kajian sosial tentang pengelolaan sumberdaya adalah pelaku-pelaku yang terlibat dalam proses pengelolaan. Pelakupelaku tersebut dapat meliputi pemerintah (government-based management),

35 masyarakat (community-based management) atau kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (co-management) (Satria 2002) Government-based management Sistem pengelolaan ini bersifat sentralistik, dimana pemerintah memiliki otoritas penuh dalam mengelola sumberdaya perikanan dalam semua tahapan dan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan oleh pemerintah ini dilaksanakan lembaga atau instansi pemerintah yang ada di tingkat pemerintah pusat maupun di daerah (Nikijuluw 2002). Menurut Lawson (1984) in Nikijuluw (2002), terdapat beberapa kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah antara lain: 1. Kegagalan dalam mencegah eksploitasi sumberdaya perikanan karena keterlambatan dalam pelaksanaan peraturan yang sudah ditetapkan. Hal ini dapat terjadi karena keputusan yang dibuat pemerintah pusat membutuhkan waktu lama untuk disosialisasikan, diketahui dan dilaksanakan pemerintah dan masyarakat di daerah. 2. Kesulitan dalam penegakan hukum karena kurangnya personel dan fasilitas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jika pelanggaran hukum dapat diidentifikasi, masalah berikutnya yang timbul adalah lambatnya proses hukum serta peradilan untuk membuktikan apakah hukum telah dilanggar dan sanksi yang harus diberikan. 3. Kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan. Ini sering terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah pusat seringkali berhadapan dengan peraturan setempat, peraturan lokal yang informal atau adat dan budaya yang seringkali lebih kuat pengaruhnya sehingga lebih diutamakan. 4. Kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan yang saling bertentangan. 5. Administrasi yang tidak efisien dalam bentuk biaya transaksi yang relatif tinggi untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, seperti biaya administrasi.

36 6. Wewenang yang terbagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen. 7. Data dan informasi tidak (kurang) benar dan akurat. 8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan pengelolaan Community-based Management dan Co-management Co-management dapat didefinisikan sebagai kemitraan antara pemerintah, masyarakat lokal, stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan serta institusi lainnya seperti NGO, peneliti, universitas yang melakukan pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan (Berkes et al. 2001). Menurut Pomeroy dan Berkes (1997), terdapat 10 tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dalam bentuk paling sedikit partisipasi masyarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co-management maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah akan tinggi dan begitupun sebaliknya. Adapun kesepuluh bentuk co-management tersebut antara lain: 1. Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan perumusan pengelolaan. 2. Masyarakat dikonsultasi oleh pemerintah. 3. Masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama. 4. Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi. 5. Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi. 6. Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran. 7. Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama. 8. Masyarakat dan pemerintah bermitra. 9. Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah. 10. Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antarlokasi atau antardaerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah. Berkes et al. (2001) menjelaskan bahwa community-based management merupakan elemen inti dari co-management. Perbedaan mendasar antara community-based dan co-management terletak pada tingkat orientasi/fokus dan

37 keterlibatan pemerintah dalam proses pengelolaan. Community-based management berorientasi pada masyarakat, sedangkan co-management lebih fokus pada sistem kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya. Pemerintah mempunyai peranan kecil dalam community-based management sedangkan dalam co-management menuntut peran pemerintah yang aktif. Peranan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain memberikan dukungan kebijakan dan peraturan/perundang-undangan, seperti desentralisasi wewenang dan kekuasaan management, pembinaan partisipasi dan dialog, legitimasi hak-hak masyarakat, inisiatif dan intervensi, penegakan hukum, menangani masalah, koordinasi di berbagai tingkatan, dan pemberian bantuan keuangan dan teknis. Pemerintah memberikan legitimasi dan akuntabilitas untuk community-based management melalui co-management, dengan menetapkan hak dan kondisi sepadan sehingga tercipta strategi yang efektif dalam pengelolaan sumberdaya. Hanya pemerintah yang dapat melegalkan dan menjaga hak-hak pengguna sumberdaya di tingkat masyarakat. Beberapa kelebihan co-management antara lain: 1. Lebih terbuka, transparan dan otonom dalam proses pengelolaan. 2. Lebih hemat dibandingkan dengan centralized system yang membutuhkan banyak administrasi dan penegakan hukum. 3. Bersifat adaptif, pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan kondisi yang ada dan pembelajaran sebelumnya. 4. Lebih dapat memaksimalkan kegunaan kearifan lokal sebagai informasi tentang sumberdaya dan pelengkap dalam scientific information untuk pengelolaan. 5. Dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap sumberdaya. 6. Dapat meminimalkan konflik dan mempertahankan atau meningkatkan kohesi sosial dalam masyarakat. 2.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL) Pengertian, Maksud dan Tujuan Pembentukan DPL Daerah perlindungan laut (DPL) merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai no take zone area yang

38 dikelola oleh masyarakat lokal (Crawford et al. 2000), juga dapat difungsikan sebagai marine sanctuary atau fish sanctuary. Pembentukan DPL dimaksudkan untuk (i) mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya terumbu karang dan mangrove, (ii) melindungi spesies langka dan habitatnya, (iii) dapat merehabilitasi sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak, dan (iv) mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000). DPL atau no take marine protected areas didirikan sebagai bentuk pengelolaan perikanan dan untuk perlindungan biodiversity (Jones et al. 2007). DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan bagi terumbu karang dan organisme dasar laut lain yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak. Gambar 3 memperlihatkan contoh sketsa penerapan DPL. Gambar 3. Contoh sketsa DPL di sekitar pulau kecil (Tulungen et al. 2002) Indikator Keberhasilan Pengelolaan DPL Langkah-langkah umum dari penetapan dan implementasi DPL-BM adalah: (i) tahap masuk ke masyarakat, persiapan dan penilaian; (ii) perencanaan

39 yang termasuk pembentukan kelompok inti, pemilihan lokasi perlindungan, pembentukan aturan, penentuan mekanisme pengelolaan dan pengaturan keuangan; (iii) peresmian melalui persetujuan sebuah aturan municipal, perencanaan dan penganggaran dan (iv) implementasi (Berkes et al. 2001). Indikator keberhasilan pengelolaan DPL dapat dilihat dari (i) peningkatan sumberdaya dan diversitas dari ikan dan luasan tutupan karang, (ii) peningkatan persepsi/kesadaran masyarakat tentang pentingnya DPL yang akan merubah kebiasaan masyarakat yang bersifat merusak sumberdaya yang ada, (iii) pembentukan dan pengelolaan secara fisik dari fungsi DPL seperti pemasangan marker buoys sepanjang batasan, tanda batas, management plan, kelembagaan, dll, (iv) tingkat kesadaran untuk berperan dan (v) kesepakatan untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumberdaya laut mereka (Pollnac dan Crawford 2001). Lebih lanjut, Pollnac dan Crawford (2001) menyampaikan dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL, yaitu faktor kontekstual dan faktor project. Faktor kontekstual dibagi menjadi tiga kategori, yaitu (i) lingkungan dan demografi, (ii) sosial ekonomi dan (iii) perekonomian secara umum dan kualitas hidup penduduk. Sedangkan faktor project dibagi menjadi dua kategori, yaitu (i) aspek fisik dari no take zone dan aktifitas project dan (ii) aspek partisipasi masyarakat dalam pengembangan no take zone. Sedangkan Alhanif (2007) menggunakan tiga kriteria yang merupakan gabungan dari berbagai sumber dan dimodifikasi, yaitu (i) lingkungan dan demografi, (ii) sosial-ekonomi dan (iii) faktor eksternal. Faktor eksternal ini meliputi komitmen dan dukungan dari pemerintah lokal serta dukungan data yang bersifat scientifik. Sedangkan menurut Berkes et al. (2001), beberapa variabel yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain (i) project variables, (ii) context variables (supra community dan community) dan (iii) impact variables (intermediate dan ultimate impacts). Project variables yang dapat digunakan dalam evaluasi dari implementasi project antara lain (i) partisipasi masyarakat dalam perencanaan, (ii) keberlanjutan partisipasi dalam perencanaan dan implementasi, (iii) fleksibilitas dalam menjalankan project sebagaimana mestinya, (iv) tenaga fulltime sebagai pengelola

40 project dalam masyarakat, (v) identifikasi terhadap grup inti untuk pengembangan kepemimpinan, (vi) pengembangan pendidikan masyarakat yang terkait dengan tujuan project, (vii) koordinasi antarpihak yang terlibat, (viii) komunikasi untuk memperjelas tujuan atau maksud dari project dan (ix) pendanaan yang cukup. Context variables merupakan non-project variables yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori atau level, yaitu supracommunity level, level community dan household dan individual levels. Beberapa komponen paling umum yang termasuk dalam supracommunity level antara lain pihak pusat, peraturan dan dukungan administratif dari pemerintah. Disamping hal tersebut, supracommunity level ini dapat didukung antara lain institusi baik yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah. Kadang kala, beberapa supracommunity tidak terkait langsung dengan nelayan, tetapi mereka memberikan pelayanan seperti pelatihan, informasi, pemasaran untuk masyarakat pesisir. Supracommunity level lainnya yang dapat memberikan dukungan dalam keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir adalah aspek dari pemasaran tingkat regional, nasional dan internasional termasuk di dalamnya potensi untuk komersialisasi produk. Isu seperti permintaan dan harga dapat mempengaruhi penggunaan sumberdaya dan penegakan aturan. Sedangkan dilihat dari community level, lebih banyak mengacu pada kondisi sosial dan lingkungan masyarakat. Berkes et al. (2001) juga merangkum dari berbagai sumber terkait faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan pada community level, antara lain: (i) krisis pemanfaatan sumberdaya, (ii) komposisi, distribusi dan kegunaan dari spesies target, (iii) feature lingkungan yang mempengaruhi definisi batasan, (iv) teknologi yang digunakan untuk mengolah sumberdaya, (v) tingkat pengembangan masyarakat, (vi) tingkat sosial ekonomi dan cultural homogeneity masyarakat, (vii) tradisi kerjasama dan perkumpulan masyarakat, (viii) populasi dan perubahannya, (ix) tingkat integrasi dalam sistem ekonomi dan politik, (x) mata pencaharian dan tingkat komersialisasi serta ketergantungan terhadap sumberdaya, (xi) organisasi politik lokal, (xii) dukungan kepemimpinan lokal, (xiii) kualitas kepemimpinan lokal, (xiv) hak pemanfaatan sumberdaya dan sistem pengelolaannya baik formal maupun informal dan (xv) kearifan lokal. Pada tingkat individu dan rumah tangga (individual and household

41 level) mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan untuk melaksanakan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya. Berkes et al. (2001) merangkum dari beberapa sumber tentang beberapa faktor pada tingkat individu dan rumah tangga yang dapat mempengaruhi keberhasilan project pengelolaan pesisir dan perikanan antara lain (i) pendidikan, (ii) pengalaman, (iii) ukuran dan luasan operasi, (iv) penggunaan teknologi, (v) nilai budaya, (vi) kepuasan pekerjaan, (vii) pengetahuan ekologi dan (viii) jenis mata pencaharian. Impact variables dibedakan menjadi dua, yaitu pencapaian intermediate objectives dan ultimate objectives. Intermediate objectives meliputi pertimbangan terhadap objek material (seperti perubahan ukuran jala dan organization building) dan nonmaterial (pelatihan, penguatan kelembagaan). Sedangkan untuk dampak yang kedua mempertimbangkan adanya perbaikan kondisi ekosistem sekitar. Beberapa contoh dari ultimate objectives ini antara lain peningkatan pendapatan penduduk, perubahan akses terhadap sumberdaya dan keberadaan sumberdaya. Keberlanjutan project dan biaya serta keuntungan yang didapat adanya project ini dapat dijadikan pertimbangan juga untuk penentuan kesuksesan suatu project Manfaat DPL Bohnsack (1990) memberikan gambaran beberapa potensi keuntungan DPL yang meliputi (i) perlindungan terhadap biomassa stok ikan bertelur, (ii) menyediakan sumber perekrutan di sekitarnya, (iii) tambahan restocking daerah luar melalui emigrasi, (iv) pemeliharaan struktur umur, (v) pemeliharaan terhadap habitat yang terganggu/rusak, (vi) perlindungan keanekaragaman genetik intraspesifik, (vii) memberikan jaminan terhadap kekurangan dalam pengelolaan perikanan (viii) mengurangi kebutuhan pengumpulan data, (ix) penegakan hukum yang disederhanakan, dan (x) kemudahan pemahaman dan penerimaan publik terhadap pengelolaan, di antara sejumlah keuntungan insidental lainnya. Terkait dengan pengelolaan DPL, terdapat pembelajaran dari pengelolaan DPL di Philiphina. Beberapa faktor keberhasilan pengelolaan DPL antara lain implementasi dari model yang tepat, keputusan kegiatan yang baik, partisipasi masyarakat dan dukungan yang cukup, pengembangan kemampuan masyarakat yang memadai, pemilihan lokasi yang benar, petunjuk yang jelas dan sah, adanya

42 dukungan dari pemimpin setempat, hubungan yang berlanjut antara masyarakat, dukungan sistem-sistem dan lembaga di tingkat lokal dan regional (Crawford et al. 2000). Ketika suatu area ditetapkan sebagai no take zone, akan melindungi terumbu karang dari destructive extraction dan berfungsi baik sebagai spawning ground, breeding dan nursery ground untuk ikan dan secara berkelanjutan dapat meningkatkan ketersediaan juvenil dalam populasi. Pembelajaran dari Balicasag s sanctuary di Philiphina (8 ha), tutupan karang meningkat 119% dalam 5 tahun setelah ditetapkan sebagai no take zone (Christie et al. 2002). Adanya DPL juga dapat meningkatkan biomassa ikan di luar DPL dan hasil tangkapan penduduk. Russ et al. (2004) menemukan adanya peningkatan biomassa ikan Acanthuridae (surgeonfish) dan Carangidae (jacks) pada jarak m dari batasan DPL Pulau Apo, Philiphina. Peningkatan tersebut terlihat sejak 8 tahun DPL dibentuk. Berdasarkan wawancara dengan penduduk, hasil tangkapan meningkat setelah adanya DPL ( ) dibandingkan sebelumnya (1981). Observasi Wantiez (1997) menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa ikan di 5 pulau di New Caledonia masingmasing sebesar 67%, 160% dan 246% setelah 5 tahun DPL dibentuk. Terdapat sembilan famili dari ikan major yang mengalami peningkatan densitas dan biomassa antara lain Plectropomus leopardus (Serranidae), Lutjanus fulviflamma (Lutjanidae), Lethrinus atkinsoni (Lethrinidae), Parupeneus ciliates (Mullidae), Choerodon graphicus dan Hemigymnus melapterus (Labridae), Scarus schlegeli dan Scarus sordidus (Scaridae), Naso unicornis (Acanthuridae) dan Siganus doliatus (Siganidae). Kepadatan ikan di Taman Nasional Tsitsikamma di Afrika Selatan (didirikan pada tahun 1964) diperkirakan 42 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah penangkapan (Buxton dan Smale 1989). Sebuah penelitian di kawasan tersebut diperoleh data bahwa CPUE untuk empat spesies shorefish adalah 5-21 kali lebih besar daripada di daerah yang telah dieksploitasi (Cowley et al. 2002). Di Cagar Alam Scandola - Corsica, kepadatan ikan dari 11 spesies lima kali lebih tinggi ditemui pada lokasi yang dilindungi setelah 13 tahun

43 cagar alam tersebut didirikan (Francour 1991). CPUE untuk lobster di DPL Pulau Columbretes Spanyol adalah 6-58 kali lebih besar daripada di area penangkapan (Goni et al. 2001). Pada dasarnya, DPL akan menarik ikan dari daerah yang berdekatan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak, ikan-ikan kecil (juvenil) yang terbawa oleh arus selanjutnya menetap di kawasan DPL. Juvenil tersebut mulai membesar sehingga jumlah ikan yang menetap di DPL menjadi semakin padat. Hal ini mengakibatkan ikan-ikan yang berkembang di wilayah DPL mulai berenang dan menetap di luar wilayah DPL yang akhirnya akan ditangkap nelayan. Konsep ekologis penerapan DPL dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. DPL sebagai terumbu karang sumber dan penampung (Tulungen et al. 2002) DPL Desa Mattiro Deceng Berdasarkan Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut (Lampiran 1), tujuan pembentukan DPL Desa Mattiro Deceng antara lain untuk (i) menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa dan (iii) meningkatkan kemampuan dan

44 kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata. DPL Desa Mattiro Deceng terletak di Pulau Badi dengan luas Ha. Kondisi tutupan karang tahun 2008 dan 2009 di kedalaman 3 m berturut-turut yaitu 42% (kategori sedang) dan 53% (kategori baik) (Prayudha dan Petrus 2008, COREMAP II 2009). Jenis karang batu yang banyak dijumpai di lokasi tersebut adalah Montipora sp., Seriatopora spp., Stylophora pistillata dan Porites spp. Tahun 2008, ikan karang yang dijumpai adalah 61 spesies dari 14 famili dengan kelimpahan tertinggi ikan ekor kuning, Chromis ternatensis (Prayudha dan Petrus 2008). Kelimpahan ikan di DPL Pulau Badi adalah 319 ind/250 m 2 pada tahun 2009 (COREMAP II 2009). Indikator keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Deceng adalah peningkatan kondisi ekologi terumbu karang di DPL meliputi peningkatan persentase tutupan karang hidup, kelimpahan ikan dan megabenthos. Indikator ekonomi dan sosial masyarakat belum dilakukan kajian tersendiri untuk melihat keberhasilan DPL. Pengelolaan DPL Mattiro Deceng diharapkan dapat berjalan secara berkelanjutan. Suatu kegiatan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance) dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity) sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil

45 pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan (Fauzi dan Anna 2003).

46 Kab.Maros Kab. Barru Kab. Pangkejene & Kepulauan 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April - Mei 2010 di Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Gambar 5 menunjukkan lokasi penelitian, yaitu Desa Mattiro Deceng yang meliputi Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang. Penentuan lokasi ini didasarkan pada: (i) Desa ini memiliki DPL sejak 2007 dan merupakan salah satu lokasi program COREMAP II dengan potensi terumbu karang desa termasuk dalam kondisi baik, (ii) Desa Mattiro Deceng termasuk kawasan Spermonde yang merupakan salah satu daerah penyebaran terumbu karang di Sulawesi Selatan dan (iii) Desa ini mudah dijangkau dengan angkutan reguler setiap hari dari Paotere, Makasar sehingga memudahkan mobilitas '00" '30" '00" '30" '00" '30" 4 58'00" P. Badi 4 58'00" b b b %U b P. Pajenekang 4 58'30" 4 58'30" '00" '30" '00" '30" '00" '30" Peta Lokasi penelitian Desa Mattiro Decceng Kab. Pangkajene & Kepulauan m Keterangan : b Tanda Batas DPL %U Transek Batas Daerah Perlindungan Laut (DPL) Pulau Tutupan Terumbu Anita Setyaningsih Pengelolaan Sumberdaya Pesisir & Lautan Sekolah Pascasarjana IPB 2010 Sumber Peta : 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : Survei Lapangan 2010 Gambar 5. Peta lokasi penelitian 3.2 Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kualitas perairan pada saat penelitian, tutupan karang hidup, ikan karang, data/kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Data

47 sekunder yang dibutuhkan meliputi data kependudukan, data sosial dan ekonomi, pedoman/panduan dan peraturan-peraturan yang terkait pengelolaan terumbu karang, tutupan karang hidup dan ikan karang sebelum penelitian. Tabel 1 memperlihatkan jenis data primer dan sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian. Tabel 1. Data yang dikumpulkan selama penelitian No Jenis Data Metode/Sumber Data Data Primer 1. Data ekologi terumbu karang - Kualitas perairan Pengukuran secara in situ - Kondisi karang Point Intercept Transect (PIT) - Ikan karang Underwater Visual Census (UVC) 2. Data sosial dan ekonomi masyarakat Kuisioner dan wawancara 3. Data stakeholder Wawancara Data Sekunder 4. Data kependudukan: jumlah penduduk dan penduduk menurut jenis kelamin 5. Data sosial ekonomi: jenis mata pencaharian, kelembagaan desa, sarana dan prasarana desa 6. Pedoman/panduan dan peraturanperaturan (Perdes, RPTK, Perda, Renstra Kabupaten) terkait pengelolaan terumbu karang 7. Persentase tutupan karang hidup dan kelimpahan ikan karang DPL sebelum penelitian Kantor Desa Kantor Desa, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep LIPI, KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep dan sumber ilmiah lainnya Pengamatan Ekologi Terumbu Karang Desa Mattiro Deceng mempunyai 2 DPL, yaitu DPL Pulau Badi dan DPL Pulau Pajjenekang. Pengamatan ekologi terumbu karang DPL hanya dilakukan di DPL Pulau Badi. Hal ini dilakukan karena hanya DPL Pulau Badi yang dikukuhkan dengan Perdes No. 01 Tahun Pengamatan ekologi meliputi pengukuran kualitas perairan, pengamatan kondisi karang dan ikan karang.

48 Pengukuran Kualitas Perairan Parameter kualitas perairan yang diukur, yaitu kecepatan arus, kecerahan, kedalaman, salinitas dan suhu. Pengukuran kualitas perairan dilakukan secara in situ. Pengukuran kecepatan arus menggunakan floating drauge yang dilengkapi tali sepanjang 5 m. Floating drauge dimasukkan ke perairan dan dihitung waktu dengan stopwatch sampai dengan tali merenggang sepanjang 5 m. Selanjutnya diperoleh kecepatan arus dengan membandingkan panjang tali dan waktu. Pengukuran kedalaman lokasi penelitian menggunakan tali berskala. Salinitas perairan diukur dengan menggunakan refraktometer, dengan cara sampel air dimasukkan pada permukaan dasar yang telah dibersihkan kemudian ditutup dan dibaca skala penunjuk angka. Suhu diukur menggunakan termometer Pengamatan Tutupan Karang Hidup Pengumpulan data ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak adanya DPL terhadap kondisi karang, khususnya tutupan karang hidup. Pengamatan dilakukan dengan metode Transek Garis Segmen atau Point Intercept Transect (PIT). Metode PIT merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang cepat (Hill dan Wilkinson 2004). Metode ini digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan bahwa penelitian sebelumnya (tahun 2008 dan 2009) menggunakan metode PIT sehingga data yang dihasilkan dapat dibandingkan dan lebih comparable. Secara singkat, teknik pengamatan metode PIT adalah sebagai berikut: 1. Bahan yang dibutuhkan untuk pengamatan karang ialah peralatan selam lengkap (SCUBA), perahu motor, alat tulis dalam air (kertas, pensil), papan pengalas dan pita berskala (100 m). 2. Panjang transek yang digunakan adalah 50 meter yang dibentangkan sejajar garis pantai dimana daratan/pulau berada di sebelah kiri. 3. Pencatatan kehadiran koloni karang dilakukan dengan PIT. Tiap koloni karang yang dilewati atau berada di bawah garis transek dicatat dengan interval 50 cm. Secara teknis di lapangan, yang dicatat ialah komponen bentik

49 dimulai dari titik 0,50; 1; 1,50; 2; 2,5 dan seterusnya sampai ke titik 50. Total jumlah titik yang dilalui dan dicatat adalah 100 titik. 4. Data pengamatan karang hidup adalah pengkategorian karang dalam kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang COREMAP II (LIPI 2006) seperti yang disajikan pada Tabel 2. Gambar 6 memperlihatkan ilustrasi pengambilan data tutupan karang hidup dengan metode PIT. Tabel 2. Kode pencatatan kategori biota No Kode Kategori Biota Keterangan 1. AC Acropora Karang Acropora 2. NA Non-Acropora Karang Non-Acropora 3. DC Death Coral Karang mati masih berwarna putih 4. DCA Death Coral Algae Karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga filament 5. SC Soft Coral Jenis-jenis karang lunak 6. FS Fleshy Seaweed Jenis-jenis makro alga: Sargassum, Turbinaria, Halimeda, dll 7. R Rubble Patahan karang bercabang (mati) 8. RCK Rock Substrat dasar yang keras 9. S Sand Pasir (cadas) 10. SI Silt Pasir lumpuran yang halus Sumber: LIPI (2006) Transek 50 m m Gambar 6. Ilustrasi teknik pegumpulan data kondisi terumbu karang Pengamatan Ikan Karang Pengamatan ikan karang dilakukan bersamaan dengan pengambilan data kondisi karang. Pengamatan dilakukan dengan metode Underwater Visual Census (UVC) atau metode sensus visual sepanjang 50 m. Batas pengamatan data ikan adalah 2.5 m ke arah kiri dan ke arah kanan sehingga luasan pengamatan yang didapat adalah 250 m 2. Pengumpulan data ikan karang ini dengan mencatat spesies ikan yang dijumpai dan jumlahnya. Data ini digunakan untuk mengetahui kelimpahan ikan karang, keanekaragaman ikan karang, keseragaman ikan karang

50 dan dominansi ikan karang. Ilustrasi teknik pengambilan data ikan karang disajikan pada Gambar 7. 5 m 0 m 50 m 50 m Gambar 7. Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan karang Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Matsuda et al. (1984), Kuiter (1992) dan Lieske dan Myers (1994). Khusus untuk ikan kerapu (grouper) digunakan acuan dari Heemstra dan Randall (1993). Jenis-jenis ikan yang didata dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama (English et al. 1997), yaitu: 1. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol). 2. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe). 3. Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5 25 cm, dengan karakteristik warna yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada di perairan terumbu karang, diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru).

51 3.2.3 Pengumpulan Data Ekonomi dan Sosial Masyarakat Data ekonomi dan sosial yang dikumpulkan merupakan data yang tidak diperoleh dari data sekunder yang telah ada. Pengumpulan data melalui kuisioner dan wawancara kepada 70 responden, yaitu nelayan (Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang) dan in-depth interview terhadap stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan. Responden ditentukan secara accidential yaitu prosedur memilih responden yang kebetulan dijumpai karena terbatasnya informasi tentang responden. Kuisioner tentang sosial dan ekonomi masyarakat dikelompokkan menjadi 3, yaitu input pengelolaan DPL, proses pengelolaan DPL dan output pengelolaan DPL. Pertanyaan input pengelolaan DPL terdiri dari 8 pertanyaan tentang persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL. Pertanyaan proses pengelolaan DPL terdiri dari 22 pertanyaan meliputi 10 pertanyaan tentang partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan pengelolaan DPL, 9 pertanyaan tentang peran pemerintah dalam pembentukan dan pengelolaan DPL, 1 pertanyaan tentang kunjungan desa, 1 pertanyaan tentang konflik selama ada DPL dan 1 pertanyaan tentang program desa. Kuisioner output pengelolaan DPL terdiri dari 11 pertanyaan tentang manfaat DPL. Tabel 3 memperlihatkan daftar variabel pertanyaan dalam kuisioner. Kuisioner tentang persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL (X1 X8), partisipasi masyarakat (Y1 Y9) dan peran pemerintah (Y10 Y19) digunakan untuk melihat dampak sosial dari pengelolaan DPL. Kuisioner keseluruhan yang disajikan pada Tabel 3 digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL Inventarisasi Data Stakeholder Stakeholder merupakan pelaku (orang atau organisasi) yang memiliki kepentingan dalam kebijakan suatu program. Stakeholder dalam pengelolaan DPL terdiri dari pengambil kebijakan pada tingkat kabupaten, kecamatan dan desa, pengelola COREMAP II, perguruan tinggi, tokoh agama, LPSTK, ponggawa, nelayan, organisasi PKK, organisasi karang taruna, bidan, guru, Pokmaswas, SETO, Fasilisator Masyarakat dan Motivator Desa serta pelaku usaha perikanan.

52 Tabel 3. Variabel dalam kuisioner Kode Variabel Pertanyaan Input Pengelolaan DPL X1 Kondisi terumbu karang X2 Kelimpahan ikan X3 Pengetahuan DPL X4 Dukungan pembentukan DPL X5 Manfaat DPL X6 Sanksi pelanggaran X7 Keberlanjutan DPL X8 Kebiasaan konservasi Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y21 Y22 Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z10 Z11 Proses Pengelolaan DPL Pembentukan LPSTK dan Pokmas Kegiatan Pokmas Kegiatan LPSTK Sosialisasi DPL Penetapan DPL Survei lokasi DPL Pelatihan Studi banding Pengawasan DPL Analisis dampak program Sosialisasi pemerintah Bantuan pemberdayaan masyarakat Pelatihan Studi banding Pengelolaan DPL Pengawasan DPL Tanda batas DPL Pendanaan DPL Pendampingan pengelolaan Kunjungan ke desa Tingkat konflik Program desa Output Pengelolaan DPL Kondisi terumbu karang Kelimpahan ikan Infrastruktur desa Pendapatan Akses penangkapan Hasil tangkap Mata pencaharian alternatif Tingkat pelanggaran Tingkat konflik Ekowisata Pendidikan terumbu karang

53 Tingkat kepentingan dan kekuatan masing-masing stakeholder dapat berbeda-beda tergantung dari peranan masing-masing dalam pengelolaan DPL. Stakeholder yang berfungsi sebagai key person dalam pengelolaan DPL diharapkan dapat mendorong keberhasilan pengelolaan DPL. Data stakeholder dikumpulkan melalui wawancara meliputi peran dalam pengelolaan DPL, tingkat pengaruh dan kepentingan mereka dalam pengelolaan DPL. 3.3 Analisis Data Analisis Data Ekologi Kondisi Karang Persentase Tutupan Karang Hidup Setelah melakukan pengamatan karang dengan metode PIT, dapat dihitung persentase penutupan karang hidup dengan rumus sederhana sebagai berikut: Jumlah tiap Komponen % Tutupan Karang Hidup = X 100 % 100 (Total Komponen) Perhitungan persentase tutupan karang hidup dengan menjumlahkan persentase kehadiran Acropora dan non-acropora. Kondisi penilaian ekosistem terumbu karang berdasarkan kisaran tingkat persentase penutupan karang (Gomez dan Yap 1988), yaitu % kondisi tutupan karang dinyatakan buruk, % kondisi tutupan karang dinyatakan cukup baik/sedang, % kondisi tutupan karang baik dan % kondisi tutupan karang dinyatakan sangat baik Indeks Mortalitas Karang Indeks mortalitas atau indeks kematian karang memperlihatkan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Indeks mortalitas karang (IMK) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Persen penutupan karang mati IMK = Persen penutupan (karang mati + karang hidup)

54 Nilai indeks mortalitas mendekati nol menunjukkan bahwa tidak ada perubahan berarti bagi karang hidup, sedangkan nilai yang mendekati satu menunjukkan bahwa terjadi perubahan berarti dari karang hidup menjadi karang mati. Persentase karang mati terdiri dari DC, DCA dan rubble Ikan Karang Kelimpahan Ikan Setelah melakukan pengamatan secara visual terhadap ikan karang, dilakukan penghitungan kelimpahan ikan. Kelimpahan menurut Brower dan Zar (1977) adalah jumlah individu per satuan luas atau volume, dengan rumus sebagai berikut: Keterangan : Ni = Kelimpahan (ind/m 2 ) ni = Jumlah individu spesies ke-i A = Luas daerah pengambilan contoh (m 2 ) Indeks Keanekaragaman (H ) Keanekaragaman adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya. Indeks Keanekaragaman (H ) populasi organisme digunakan agar mudah untuk menganalisis informasi jumlah individu masing-masing spesies ikan dalam suatu komunitas (Odum 1993). Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas disusun oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama. Indeks yang digunakan adalah indeks Keanekaragaman (H ) Shannon dan Wiener dengan rumus: Keterangan : H = Indeks Keanekaragaman Pi = Perbandingan antara jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah

55 total individu = ni/n ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah total individu spesies Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannon- Wiener yaitu: H < 1, keanekaragaman rendah H = 1-3, keanekaragaman tergolong sedang H > 3, keanekaragaman tergolong tinggi Indeks Keseragaman (E) Keseragaman merupakan komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Indeks Keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antarspesies dalam suatu komunitas ikan. Jika penyebaran individu antarspesies makin merata maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Rumus Indeks Keseragaman (Odum 1993) adalah: Keterangan : E = Indeks Keseragaman H = Indeks Keanekaragaman H max = Keseimbangan spesies dalam keseimbangan maksimum = ln S (dimana S = banyaknya spesies ikan) Nilai Indeks Keseragaman (E) berkisar 0 1. Indeks Keseragaman (E) mendekati 0 berarti keseragaman antarspesies adalah rendah berarti kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda. Indeks Keseragaman (E) mendekati 1 berarti keseragaman antarspesies relatif seragam atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama Indeks Dominansi (C) Indeks Dominansi (C) yaitu jumlah individu tiap spesies yang relatif sama dalam suatu ekosistem. Dominansi spesies yang cukup besar akan mengarah pada

56 kondisi ekosistem atau komunitas yang tertekan. Untuk melihat ada dan tidaknya dominansi dapat dilihat dari nilai Indeks Dominansi Simpson (Odum 1993): Keterangan : C = Indeks Dominansi S = Banyaknya spesies ikan Pi = Perbandingan antara jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah total individu = ni/n ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah total individu spesies Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan dominansi spesies ikan yaitu indeks mendekati 0 berarti indeks semakin rendah atau dominansi oleh satu spesies ikan dan indeks mendekati 1 berarti indeks besar atau kecenderungan dominansi oleh beberapa spesies ikan Analisis Persepsi Ekonomi Analisis ini hanya menggunakan persentase jumlah responden terhadap jawaban dari pertanyaan kuisioner yang ada, yaitu tingkat pendapatan dan hasil tangkapan setelah adanya DPL dibandingkan dengan sebelum adanya DPL. Terdapat tiga jawaban pilihan terhadap pertanyaan tersebut, yaitu (i) meningkat, (ii) tidak terjadi perubahan dan (iii) terjadi penurunan Analisis Data Sosial Uji Validitas Kuisioner Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau keshahihan suatu instrumen. Instrumen dikatakan valid/shahih jika memiliki tingkat validitas yang tinggi dan sebaliknya jika instrumen memiliki tingkat validitas yang rendah maka instrumen dapat dikatakan kurang valid. Pengujian validitas berguna untuk mengetahui apakah instrumen yang disusun dapat mengukur dengan tepat suatu variabel yang akan diukur (Santosa dan Ashari 2005). Uji validitas dilakukan dengan melihat korelasi antar skor masing-masing

57 item pertanyaan dengan skor total (item total correlation). Perhitungan validitas dilakukan dengan rumus teknik korelasi product moment (Singarimbun dan Effendi 1995). Perhitungan validitas dilakukan dengan jalan mengkorelasikan antar skor tiap butir (X) dengan skor total (Y) yang merupakan jumlah tiap skor butir, dengan menggunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut: r XY = { n n X iyi ( X i )( Yi ) 2 2 X i ( X i ) }{ n Yi ( Y ) 2 } Keterangan: r XY = Koefisien korelasi antara X dan Y n = Jumlah sampel Xi = Variabel independen ke-i Yi = Variabel dependen ke-i Bila koefisien korelasi untuk seluruh item telah dihitung, perlu ditentukan angka terkecil yang dapat dianggap cukup tinggi sebagai indikator adanya konsistensi antara skor item dan skor keseluruhan. Dalam hal ini tidak ada batasan yang tegas. Prinsip utama pemilihan item dengan melihat koefisien korelasi adalah mencari harga koefisien yang setinggi mungkin dan menyingkirkan setiap item yang mempunyai korelasi negatif (-) atau koefisien yang mendekati nol (0.00). Menurut Friedenberg dan Lisa (1995) biasanya dalam pengembangan dan penyusunan skala-skala psikologi, digunakan harga koefisien korelasi yang minimal sama dengan Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi kurang dari 0.30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan dalam alat test adalah item-item yang memiliki korelasi diatas 0.30 dengan pengertian semakin tinggi korelasi itu mendekati angka satu (1.00) maka semakin baik pula konsistensinya (validitasnya). Uji validitas ini dilakukan terhadap kuisioner yang digunakan dalam penelitian. Keseluruhan kuisioner memiliki koefisien korelasi > 0.3 dan kuisioner dinyatakan valid (Lampiran 2).

58 Uji Reliabilitas Kuisioner Reliabilitas adalah sebuah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan (Singarimbun dan Effendi, 1995). Uji reliabilitas merupakan suatu cara untuk melihat apakah alat ukur (berupa kuesioner) yang digunakan konsisten atau tidak. Apabila suatu alat pengukur dipakai dua kali atau lebih dan hasil pengukuran yang diperoleh konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Tinggi rendahnya reliabilitas, secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara , akan tetapi pada kenyataannya koefisien reliabilitas sebesar 1.00 tidak pernah dicapai dalam pengukuran karena manusia sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber kekeliruan yang potensial. Di samping itu walaupun koefisien korelasi dapat bertanda positif (+) atau negatif (-), akan tetapi dalam hal reliabilitas, koefisien reliabilitas yang besarnya kurang dari nol (0.00) tidak ada artinya karena interpretasi reliabilitas selalu mengacu kepada koefisien reliabilitas yang positif. Teknik perhitungan koefisien reliabilitas yang digunakan disini adalah dengan menggunakan Koefisien Reliabilitas Alpha yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: r xy = k k 1 k 2 σ xj j= σ y Keterangan: r xy = Koefisien Reliabilitas Alpha k = Banyaknya belahan item x = Variabel independen y = Variabel dependen k 2 σ xj = Varians dari item ke-j j= 1 2 σ y = Total varians dari keseluruhan item

59 Bila koefisien reliabilitas telah dihitung, maka untuk menentukan keeratan hubungan bisa digunakan kriteria Guilford (1956), yaitu: 1. < 0.20 = Hubungan yang sangat kecil dan bisa diabaikan < 0.40 = Hubungan yang kecil (tidak erat) < 0.70 = Hubungan yang cukup erat < 0.90 = Hubungan yang erat (reliabel) < 1.00 = Hubungan yang sangat erat (sangat reliabel) Uji reliabilitas ini dilakukan terhadap kuisioner yang digunakan dalam penelitian. Keseluruhan kuisioner memiliki Koefisien Reliabilitas Alpha antara dan kuisioner dinyatakan reliabel sangat reliabel (Lampiran 2) Analisis Persepsi Masyarakat Variabel yang digunakan dalam analisis persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL terdiri dari 8 variabel pertanyaan seperti yang tercantum dalam Tabel 3 (X1 X8). Analisis ini menggunakan skala pengukuran (skala Likert). Setiap variabel pertanyaan memiliki skor, dimana skor terkecil adalah 1 dan skor terbesar adalah 5. Penilaian skor dilakukan pada setiap variabel pertanyaan kemudian dihitung total skor keseluruhan variabel pertanyaan untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat. Jika jumlah responden 70 orang, maka jumlah skor tertinggi setiap variabel pertanyaan 5 x 70 = 350 dan jumlah skor terendah 1 x 70 = 70. Jika jumlah pertanyaan 8, maka perhitungan skor tertinggi keseluruhan variabel pertanyaan 5 x 8 x 70 = dan skor terendah 1 x 8 x 70 = 560. Kriteria interpretasi skor setiap variabel dan keseluruhan variabel pertanyaan persepsi masyarakat disajikan dalam Tabel Analisis Partisipasi Masyarakat Variabel yang digunakan dalam analisis partisipasi masyarakat terdiri dari 10 variabel pertanyaan seperti yang tercantum dalam Tabel 3 (Y1 - Y10). Analisis ini menggunakan skala pengukuran (skala Likert). Setiap variabel pertanyaan memiliki skor, dimana skor terkecil adalah 1 dan skor terbesar adalah 5. Penilaian skor dilakukan pada setiap variabel pertanyaan kemudian dihitung total skor keseluruhan variabel pertanyaan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat.

60 Jika jumlah responden 70 orang, maka jumlah skor tertinggi setiap variabel pertanyaan 5 x 70 = 350 dan jumlah skor terendah 1 x 70 = 70. Jika jumlah pertanyaan 10, maka perhitungan skor tertinggi keseluruhan variabel pertanyaan 5 x 10 x 70 = dan skor terendah 1 x 10 x 70 = 700. Kriteria interpretasi skor setiap variabel dan keseluruhan pertanyaan partisipasi masyarakat disajikan dalam Tabel 5. Tabel 4. Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan persepsi masyarakat No Kisaran skor Interpretasi Masing-masing variabel Tidak bagus/mendukung Sedikit bagus/mendukung Cukup bagus/mendukung Bagus/mendukung Sangat bagus/ mendukung Keseluruhan variabel Tidak bagus/mendukung Sedikit bagus/mendukung Cukup bagus/mendukung Bagus/mendukung Sangat bagus/ mendukung Tabel 5. Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan partisipasi masyarakat No Kisaran skor Interpretasi Masing-masing variabel Tidak sering/pernah Sedikit sering/jarang Cukup sering Sering Sangat sering Keseluruhan variabel Rendah/tidak aktif Sedikit aktif Cukup aktif Aktif Sangat aktif Analisis Peran Pemerintah

61 Variabel yang digunakan dalam analisis peran pemerintah terdiri dari 9 variabel pertanyaan seperti yang tercantum dalam Tabel 3 (Y11 - Y19). Analisis ini menggunakan skala pengukuran (skala Likert). Setiap variabel pertanyaan memiliki skor, dimana skor terkecil adalah 1 dan skor terbesar adalah 5. Penilaian skor dilakukan pada setiap variabel pertanyaan kemudian dihitung total skor keseluruhan variabel pertanyaan untuk mengetahui tingkat penilaian peran pemerintah. Jika jumlah responden 70 orang, maka jumlah skor tertinggi setiap variabel pertanyaan 5 x 70 = 350 dan jumlah skor terendah 1 x 70 = 70. Jika jumlah pertanyaan 9, maka perhitungan skor tertinggi keseluruhan variabel pertanyaan 5 x 9 x 70 = dan skor terendah 1 x 9 x 70 = 630. Kriteria interpretasi skor setiap variabel dan keseluruhan pertanyaan peran pemerintah disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan peran pemerintah No Kisaran skor Interpretasi Masing-masing variabel Tidak bagus Kurang bagus Cukup bagus Bagus Sangat bagus Keseluruhan variabel Tidak bagus Kurang bagus Cukup bagus Bagus Sangat bagus Analisis Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL Pengelolaan DPL merupakan suatu sistem yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Pengelolaan ini memerlukan input yang selanjutnya dapat diolah/diproses sehingga dapat menghasilkan output yang diharapkan. Variabelvariabel dalam input, proses dan output (Tabel 3) dianalisa untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL Analisis Tanggapan Masyarakat terhadap Input Pengelolaan DPL

62 Variabel yang digunakan dalam analisis tanggapan masyarakat terhadap input pengelolaan DPL terdiri dari 8 variabel pertanyaan seperti yang tercantum pada Tabel 3 (X1 X8). Analisis ini menggunakan skala pengukuran (skala Likert). Setiap variabel pertanyaan memiliki skor, dimana skor terkecil adalah 1 dan skor terbesar adalah 5. Penilaian skor dilakukan pada setiap variabel pertanyaan kemudian dihitung total skor keseluruhan variabel pertanyaan untuk mengetahui tingkat tanggapan masyarakat terhadap input pengelolaan DPL. Jika jumlah responden 70 orang, maka jumlah skor tertinggi setiap variabel pertanyaan 5 x 70 = 350 dan jumlah skor terendah 1 x 70 = 70. Jika jumlah pertanyaan 8, maka perhitungan skor tertinggi keseluruhan variabel pertanyaan 5 x 8 x 70 = dan skor terendah 1 x 8 x 70 = 560. Kriteria interpretasi skor setiap variabel dan keseluruhan variabel pertanyaan input pengelolaan DPL disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan input pengelolaan DPL No Kisaran skor Interpretasi Masing-masing variabel Tidak bagus/mendukung Sedikit bagus/mendukung Cukup bagus/mendukung Bagus/mendukung Sangat bagus/ mendukung Keseluruhan variabel Tidak bagus/mendukung Sedikit bagus/mendukung Cukup bagus/mendukung Bagus/mendukung Sangat bagus/ mendukung Analisis Tanggapan Masyarakat terhadap Proses Pengelolaan DPL Variabel yang digunakan dalam analisis tanggapan masyarakat terhadap proses pengelolaan DPL terdiri dari 22 variabel pertanyaan seperti yang tercantum dalam Tabel 3 (Y1 Y22). Analisis ini menggunakan skala pengukuran (skala Likert). Setiap variabel pertanyaan memiliki skor, dimana skor terkecil adalah 1 dan skor terbesar adalah 5. Penilaian skor dilakukan pada setiap variabel pertanyaan kemudian dihitung total skor keseluruhan variabel pertanyaan untuk

63 mengetahui tingkat tanggapan masyarakat terhadap proses pengelolaan DPL. Jika jumlah responden 70 orang, maka jumlah skor tertinggi setiap variabel pertanyaan 5 x 8 x 70 = dan jumlah skor terendah 1 x 8 x 70 = 560. Jika jumlah pertanyaan 22, maka jumlah skor tertinggi keseluruhan variabel pertanyaan 5 x 22 x 70 = dan jumlah skor terendah 1 x 22 x 70 = Kriteria interpretasi skor setiap variabel dan keseluruhan variabel pertanyaan proses pengelolaan DPL disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan proses pengelolaan DPL No Kisaran skor Interpretasi Masing-masing variabel Tidak bagus/mendukung Sedikit bagus/mendukung Cukup bagus/mendukung Bagus/mendukung Sangat bagus/ mendukung Keseluruhan variabel Tidak bagus Sedikit bagus Cukup bagus Bagus Sangat bagus Analisis Tanggapan Masyakarat terhadap Output Pengelolaan DPL Variabel yang digunakan dalam analisis tanggapan masyarakat terhadap output pengelolaan DPL terdiri dari 11 variabel pertanyaan seperti yang tercantum dalam Tabel 3 (Z1 Z11). Analisis ini menggunakan skala pengukuran (skala Likert). Setiap variabel pertanyaan memiliki skor, dimana skor terkecil adalah 1 dan skor terbesar adalah 5. Penilaian skor dilakukan pada setiap variabel pertanyaan kemudian dihitung total skor keseluruhan variabel pertanyaan untuk mengetahui tingkat tanggapan masyarakat terhadap output pengelolaan DPL. Jika jumlah responden 70 orang, maka jumlah skor tertinggi setiap variabel pertanyaan 5 x 70 = 350 dan jumlah skor terendah 1 x 70 = 70. Jika jumlah pertanyaan 11, maka jumlah skor tertinggi keseluruhan variabel pertanyaan 5 x 11 x 70 = dan jumlah skor terendah 1 x 11 x 70 = 770. Kriteria interpretasi skor setiap variabel dan keseluruhan variabel pertanyaan disajikan dalam Tabel 9.

64 Tabel 9. Kriteria interpretasi skor variabel pertanyaan output pengelolaan DPL No Kisaran skor Interpretasi Masing-masing variabel Tidak bagus/mendukung Sedikit bagus/mendukung Cukup bagus/mendukung Bagus/mendukung Sangat bagus/ mendukung Keseluruhan variabel Tidak bermanfaat Sedikit bermanfaat Cukup bermanfaat Bermanfaat Sangat bermanfaat Analisis Faktor Analisis ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL. Metode ekstraksi yang digunakan dalam analisis faktor adalah Principal Component Analysis (metode komponen utama), yaitu mengelompokkan variabel-variabel ke dalam beberapa komponen utama. Pengolahan dan analisis data diawali dengan pembobotan variabel yang dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan DPL. Data yang diperoleh berupa data ordinal berskala Likert dengan kisaran 1 sampai dengan 5. Selanjutnya dilakukan tahapan proses analisis faktor dengan software SPSS sebagai berikut: 1. Pemilihan variabel yang layak untuk dimasukkan dalam analisis faktor. Analisis faktor yang terdapat dalam program SPSS akan mengurutkan faktor mulai dari yang memiliki pengaruh paling besar/paling dominan sampai kepada faktor yang paling kecil/paling tidak dominan yaitu dengan cara melihat nilai communalities masing-masing variabel. Variabel dengan nilai communalities terbesar adalah yang memberikan pengaruh yang paling dominan. Hal ini dikarenakan jumlah varian bersangkutan yang dapat dijelaskan oleh faktorisasi juga lebih besar persentasenya. Sehingga dapat diketahui variabel-variabel yang memberikan kontribusi pengaruh paling besar terhadap keberhasilan dalam pengelolaan DPL. Metode yang digunakan

65 untuk menentukan faktor-faktor tersebut adalah Bartllet s Test of Sphericity. Kesesuaian analisis faktor diuji dengan menggunakan metode Kaiser-Mayer- Olkin (KMO). Angka MSA (measure of sampling adequacy) berkisar 0 1. Jika nilai MSA sama dengan satu maka variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel lain. Jika MSA di atas 0.5 maka variabel masih dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel lain. Jika MSA di bawah 0.5 maka variabel tersebut tidak diikutkan dalam analisis faktor. 2. Setelah variabel dipilih dengan MSA, kemudian diekstrasikan dengan metode PCA sehingga menghasilkan satu atau beberapa faktor. Hal yang perlu diperhatikan adalah nilai eigenvalue pada variabel-variabel yang diikutkan dalam faktor analisis. Proses pemfaktoran dihentikan pada komponen dengan nilai eigenvalue di bawah Hasil pemfaktoran seringkali dijumpai variabel yang belum jelas akan dimasukkan ke dalam faktor yang mana, oleh karenanya perlu dilakukan rotasi matriks komponen. Metode rotasi yang digunakan adalah varimax dan diperoleh hasil pemfaktoran yang berisikan variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL. 4. Setelah komponen utama terbentuk, proses selanjutnya adalah interpretasi hasil dari analisis faktor Analisis Stakeholder Analisis stakeholder merupakan analisis untuk mengetahui sejauh mana peran dan kontribusi masing-masing stakeholder dalam suatu program atau kegiatan (Chetwynd dan Chetwynd 2001). Beberapa hal yang dilihat dan dinilai dalam analisis stakeholder terkait pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng antara lain: 1. Peran masing-masing stakeholder, yaitu sebagai pelaksana, pengorganisir, pembuat kebijakan, pemanfaat, pengontrol, pendukung atau penentang. 2. Tingkat kepentingan stakeholder terhadap pengelolaan DPL, yaitu sangat tinggi (skor 5), tinggi (skor 4), cukup (skor 3), kurang tinggi (skor 2) dan rendah (skor 1).

66 3. Tingkat pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan DPL, yaitu sangat tinggi (skor 5), tinggi (skor 4), cukup (skor 3), kurang tinggi (skor 2) dan rendah (skor 1). Hasil skor yang diperoleh kemudian diplotkan secara manual pada sumbu X (kepentingan) dan Y (pengaruh) sehingga diketahui stakeholder yang mempunyai kepentingan tinggi pengaruh tinggi, kepentingan tinggi pengaruh rendah, kepentingan rendah pengaruh tinggi dan kepentingan rendah pengaruh rendah.

67 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Desa Mattiro Deceng Kondisi Administrasi dan Geografis Desa Mattiro Deceng merupakan salah satu desa di Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Propinsi Sulawesi Selatan. Desa ini terdiri dari dua pulau, yaitu Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang. Desa terbagi menjadi 3 (tiga) dusun, yaitu Dusun Utara Pulau Badi, Dusun Selatan Pulau Badi dan Dusun Pajjenekang. Ibukota desa terletak di Pulau Badi. Desa Mattiro Deceng secara geografis terletak antara LS dan BT. Luas Desa Mattiro Deceng adalah 9.45 Ha dengan rincian Pulau Badi 6.50 Ha dan Pulau Pajjenekang 2.95 Ha. Batas-batas fisik Desa Mattiro Deceng adalah sebagai berikut: Sebelah utara : Desa Mattiro Bone (Pulau Sanane) Sebelah barat : Desa Mattiro Langi (Pulau Sarappo Lompo) Sebelah selatan : Kelurahan Barrang Lompo Sebelah timur : Perairan Makassar Jarak Desa Mattiro Deceng dari ibukota kecamatan sekitar 12.6 km, jarak dari ibukota kabupatan sekitar 37 km dan jarak dari ibukota propinsi sekitar 40 km. Desa ini terletak pada ketinggian 12 m di atas permukaan laut dan topografi desa berupa pantai dengan curah hujan rata-rata di Desa Mattiro Deceng adalah 176 mm/tahun dengan suhu rata-rata C Kondisi Sosial Jumlah Penduduk Penduduk Desa Mattiro Deceng tersebar di Pulau Badi dan Pajjenekang. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di desa ini sebanyak 720 KK dengan jumlah keseluruhan penduduk jiwa yang terdiri dari perempuan jiwa dan laki-laki jiwa. Usia penduduk desa ini didominasi oleh penduduk berusia 7-15 tahun. Jumlah penduduk desa berdasarkan jenis kelamin dan umur disajikan pada Tabel 10 dan 11.

68 Tabel 10. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Lokasi KK Laki-laki Perempuan Jumlah (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) Badi Pajjenekang Jumlah Sumber: Kantor Desa (2010) Tabel 11. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur Kelompok Umur (Tahun) Laki-laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Jumlah Sumber: Kantor Desa (2010) Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat Desa Mattiro Deceng relatif rendah karena sebagian besar penduduk tidak sekolah. Berdasarkan data pada tahun 2006, jumlah penduduk yang tidak sekolah mencapai 44.51%. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu pertama lemahnya dorongan orang tua untuk menyekolahkan anaknya sampai pada jenjang yang lebih tinggi dengan alasan setamat bersekolah masih sulit untuk bekerja hanya dengan mengandalkan ijazah. Kedua, minimnya fasilitas pendidikan menyebabkan para guru tidak optimal dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan juga intensitas keberadaan guru di pulau relatif rendah. Pulau Badi memiliki satu Sekolah Dasar dan belajar Paket B, sedangkan Pulau Pajjenekang memiliki satu SD dan SMP. Paket B di Pulau Badi dimulai sejak tahun 2008 dan SMP di Pulau Pajjenekang dimulai sejak tahun Saat ini pun, penduduk yang mengikuti program belajar Paket B dan SMP pun masih relatif sedikit Budaya/Tradisi Secara kuantitatif penduduk Desa Mattiro Deceng didominasi oleh etnik Bugis dan Makassar. Dalam interaksi sosialnya khususnya etnik Bugis dan

69 Makassar berjalan harmonis dan dinamis yang ditandai dengan penggunaan bahasa Bugis dan Makassar sebagai bahasa berkomunikasi sehari-hari oleh penduduk setempat. Agama mayoritas penduduk adalah Islam. Di Desa Mattiro Deceng khususnya Pulau Pajjenekang mempunyai tradisi Festival Muharram. Kegiatan ini diikuti oleh masyarakat yang ingin melihat peristiwa budaya yang diadakan setiap bulan Muharram jumat ketiga. Pada kegiatan ini, Pulau Pajjenekang ramai dikunjungi oleh masyarakat baik yang berasal dari Kepulauan Pangkajene maupun dari daratan Sulawesi Selatan yang ingin melihat bagaimana masyarakat memperingati bulan Muharram dengan membawa persembahan kue-kue seperti dodol pada makam penyebar agama Islam di Pulau Pajjenekang dan sekitarnya. Disamping Festival Muharram, terdapat pula kegiatan Mandi Shafar yang dilakukan pada bulan Shafar setiap tahunnya. Kegiatan ini diikuti oleh kaum perempuan dengan turun kelaut untuk berendam dan mandi-mandi. Bagi para gadis meyakini akan cepat mendapat jodoh sementara perempuan yang sudah menikah meyakini akan mudah mendapat rezeki Kelembagaan Desa Pengorganisasian masyarakat dan proses-proses pembangunan lainnya di tingkat desa difasilitasi oleh sebuah lembaga pemerintah desa yang terdiri dari Kepala Desa yang dibantu beberapa aparat desa. Di samping itu, terdapat pula Badan Perwakilan Desa (BPD) yang berfungsi sebagai perencana dan pengelola pembangunan di tingkat desa. Lembaga ini diharapkan menjadi mitra Kepala Desa dalam mewujudkan dan mensejahterakan masyarakat. Sedangkan organisasi PKK dan karang taruna tidak begitu aktif di desa ini. Lembaga lainnya antara lain Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK), Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Pembentukan ketiga lembaga tersebut diinisiasi oleh Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang Tahap II (Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II/COREMAP II). Program ini merupakan program pemerintah di bawah Kementrian Kelautan dan Perikanan.

70 LPSTK secara umum mempunyai fungsi dan peran dalam mengkoordinasikan kegiatan kelompok-kelompok masyarakat (Pokmas) di desa dengan pengelola program COREMAP II tingkat kabupaten (Project Management Unit/PMU) di bawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep. Pembentukan LPSTK pertama kali dikukuhkan dengan SK Kepala Desa No. 03/DMD/III/2006 tanggal 30 Maret 2006 tentang Komposisi dan Personalia Pengurus LPSTK Desa Mattiro Deceng Kecamatan Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep. LPSTK dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh SETO, Fasilitator Desa dan Motivator Desa dari unsur masyarakat. SETO dan fasilitator ditunjuk oleh PMU melalui proses seleksi, sedangkan motivator desa ditunjuk oleh masyarakat desa yang bersangkutan. Gambar 8 memperlihatkan tata kerja kelembagaan di desa. SETO PMU Fasilitator Masyarakat Desa BPD Motivator Desa LPSTK Pokmas Bid. Pendidikan dan Informasi Pokmas Bid. Pengawasan/MCS Pokmas Bid. Usaha dan Produksi Pokmas Bid. Pemberdayaan Perempuan Sumber: COREMAP II (2006) Keterangan = = Koordinasi dan konsultasi = Masukan/input dan pendampingan Gambar 8. Tata hubungan kelembagaan desa Kelompok Masyarakat (Pokmas) adalah suatu organisasi atau kelompok masyarakat desa yang telah ada atau yang sengaja dibentuk di Desa. Pokmas

71 berfungsi sebagai wadah aspirasi, pikiran dan tujuan bersama untuk memudahkan diseminasi informasi atau melibatkan sejumlah masyarakat di Desa. Pokmas di Desa Mattiro Deceng meliputi Pokmas Bidang Pendidikan dan Informasi, Pokmas Bidang Pengawasan/MCS (Monitoring, Control and Surveillance), Pokmas Bidang Usaha dan Produksi dan Pokmas Pemberdayaan Perempuan. LKM merupakan lembaga keuangan yang dibentuk oleh COREMAP II sebagai wahana bagi masyarakat untuk memecahkan masalah permodalan dan kebutuhan dana yang dihadapi para anggota dan masyarakat Hubungan Ponggawa Sawi Ponggawa diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan pada jenis usaha yang dimiliki, yaitu ponggawa pakedo-kedo, ponggawa bubu, ponggawa padoang-doang dan ponggawa gae. Pola hubungan antara ponggawa dengan nelayan selalu dalam konteks ada pihak yang memberi pinjaman modal (ponggawa) dan ada pihak yang menerima bantuan modal (sawi). Pihak yang menerima bantuan modal mempunyai kewajiban untuk menjual hasil tangkapannya hanya kepada ponggawa. Pelanggaran atas hal tersebut menimbulkan kemarahan ponggawa dan paboya akan mengalami kesulitan untuk memperoleh pinjaman modal berikutnya dari ponggawa. Bantuan modal yang diberikan kepada nelayan pada umumnya untuk membeli mesin perahu. Ponggawa menetapkan jangka waktu pengembalian, sistem pembayaran dan bunga atas pinjaman tersebut. Pembayaran dilakukan dengan cara meminta pihak Ponggawa untuk memotong sebagian dari nilai jual hasil tangkapannya. Jika pinjaman nelayan bukan dalam bentuk barang modal, melainkan dalam bentuk kebutuhan untuk melaut, seperti bahan bakar, pembayaran atas pinjaman tersebut dilakukan oleh nelayan pada saat dilakukan penjualan hasil tangkapan berikutnya kepada ponggawa. Sumber informasi tentang pasar dan harga terbatas bagi nelayan. Satusatunya sumber informasi tentang harga diperoleh dari ponggawa di pulau. Oleh karena itu, tingkat harga yang berlaku ditingkat nelayan ditentukan oleh informasi harga yang disampaikan ponggawa dan hampir tidak ada proses tawar-menawar harga antara ponggawa dan nelayan. Hal ini merugikan nelayan dan nelayan

72 berkecenderungan untuk menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul di tengah laut Kondisi Ekonomi Pada umumnya penduduk Desa Mattiro Deceng menggantungkan hidupnya pada laut, sebagai nelayan yang meliputi nelayan purseine (gae), nelayan pancing ikan kerapu, nelayan pancing cumi-cumi, papuka, bubuka tindis dan bubu hanyut. Sedangkan mata pencaharian lain meliputi PNS, dagang, warung, tukang kayu, tukang batu, tukang jahit, tukang anyam dan tukang sulam. Jenis mata pencaharian penduduk disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Mata pencaharian penduduk No Mata Pencaharian Pulau Badi Pulau Pajjenekang Jumlah (Orang) (Orang) (Orang) 1. Nelayan Dagang Warung Tukang Kayu Tukang Batu Tukang Jahit Tukang Anyam Tukang Sulam PNS* Sumber: Kantor Desa (2010), *Hasil sensus COREMAP II (2006) Potensi Pesisir dan Kelautan Perhubungan Desa Mattiro Deceng dapat dijangkau dengan transportasi laut dari Pelabuhan Paotere, Makasar. Transportasi laut yang digunakan adalah kapal penumpang yang secara tetap setiap hari datang dan berlabuh di Paotere. Kapal penumpang yang berbeda masing-masing berangkat dari Pulau Badi dan Pajjenekang sekitar pukul tujuh pagi dan pukul sebelas siang kapal yang sama berangkat dari Makasar menuju pulau. Waktu tempuh dari Makasar ke Pulau Badi atau Pulau Pajjenekang berkisar 60 menit. Selain untuk kapal penumpang, sarana perhubungan ini dimanfaatkan oleh pembeli ikan di desa untuk menjual ikan ke Makasar baik dalam keadaan hidup maupun mati.

73 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana merupakan salah satu aset desa yang mendukung aktivitas penduduk desa. Desa Mattiro Deceng memiliki sarana dan prasarana umum yang kondisinya relatif masih baik. Jenis sarana dan prasarana tersebut dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Sarana dan prasarana Desa Mattiro Deceng No Jenis Jumlah Kondisi Lokasi 1. Masjid 2 Baik 1 Badi 1 Pajjenekang 2. Sekolah Dasar 2 Baik 2 Badi 1 Pajjenekang 3. SMP 1 Baik 1 Pajjenekang 4. Puskesmas pembantu 2 Baik 1 Badi 1 Pajjenekang 5. Dermaga Kayu 5 Baik 3 Badi 2 Pajjenekang 6. Sarana Olahraga 6 Baik 4 Badi 2 Pajjenekang 7. Listrik 1 Baik 1 Badi (PLN) 1 Pajjenekang (PLTS) 8. Jalan m Baik m Badi m Pajjenekang 9. Tanggul 482 m Baik 100 m Badi 382 m Pajjenekang 10. Kantor Desa 1 Baik 1 Badi 11. Balai Pertemuan 1 Baik 1 Pajjenekang 12. Tanah Pemakaman Ha Baik Ha Badi 0.05 Ha Pajjenekang 13. MCK 3 Baik 3 Badi Sumber: Kantor Desa (2010) Sumberdaya Perikanan Tangkap Sumberdaya perairan laut di Desa Mattiro Deceng sebagian besar dimanfaatkan untuk perikanan tangkap. Wilayah penangkapan masyarakat tergantung dari musim. Saat musim barat, nelayan menangkap ikan di luar propinsi, seperti Kabaena, Buton, Kendari dan Kalimantan. Pada musim timur, nelayan menangkap ikan di perairan Makasar dan Pangkep, seperti Kondongbali, Langkae, Lanjukang, Tambakulu, Pamanggangang dan sekitar Pulau Badi dan Pajjenekang. Beberapa jenis ikan ekonomis penting hasil tangkapan nelayan Desa

74 Mattiro Deceng antara lain ikan baronang, katamba, sunu (korapu), ekor kuning (rappo-rappo), katambo dan cumi-cumi Terumbu Karang Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh COREMAP II (2007), kondisi terumbu karang di Desa Mattiro Deceng baik di Pulau Badi maupun Pulau Pajjenekang dapat dikatakan cukup baik. Tipe terumbu karang yang ada di Pulau Badi adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Karang yang banyak ditemukan di kedua pulau antara lain genus Acropora, Echhinopora, Euphyllia, Favid, Favites, Fungia, Galaxea, Lobophylla, Melliopora, Montipora, Pavona, Pocillopora, Porites, Pyrogyra, Seriatopora dan Turbinaria. Invertebrata yang ditemui antara lain sea urcin, bulu babi, bintang ular, bintang biru, siput laut, udang air, bintang kotak, bintang merah dan kima. Sedangkan ikan karang yang banyak ditemukan di pulau tersebut antara lain jenis Pterocaesio kryso (Pterocaesio chrysozona), betok Alex (Pomacentrus alexanderae), betok bule strip (Amblyglyphidodon curacao), betok Ternate (Chromis ternatensis), betok hijau/jae-jae (Chromis viridis), ekor kuning (Caesio cuning), KKO Jakarta (Cirrhilabrus cyanopleura) dan muka biru (Pomacentrus smithi). 4.2 Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Deceng memiliki dua DPL, yaitu di Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang. Tahapan pembentukan dan pengelolaan DPL meliputi sosialisasi awal pembentukan DPL, survei lokasi calon DPL dan penentuan lokasi DPL, penetapan DPL, pemasangan tanda batas DPL, pelatihan dan studi banding, pembentukan kelompok pengelola, pengawasan DPL, monitoring dan evaluasi DPL. 1. Sosialisasi awal pembentukan DPL Sosialisasi awal pembentukan DPL dilakukan dalam bentuk Forum Group Discussion pada tahun Agenda utama yang dibicarakan antara lain penggambaran bersama calon lokasi DPL dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA), termasuk didalamnya pemetaan sumberdaya dan stakeholder. Masyarakat yang mengetahui keberadaan informasi tersebut memplot sendiri

75 informasi yang ada pada peta dasar atau langsung membuat peta sendiri. Selanjutnya, dilakukan survei terhadap lokasi-lokasi tersebut. 2. Survei lokasi calon DPL dan penentuan lokasi DPL Survei lokasi calon DPL dilakukan berdasarkan pemetaan potensi yang telah dilakukan oleh masyarakat. Survei dilakukan di dua pulau, yaitu Pulau Badi dan Pajjenekang. Desa Mattiro Deceng memiliki dua lokasi DPL, yaitu DPL Pulau Badi dan DPL Pajjenekang. Lokasi yang dipilih adalah lokasi dengan tutupan karang yang baik atau cukup baik, bukan merupakan daerah penangkapan nelayan dan tidak jauh dari pantai sehingga memudahkan masyarakat dalam pengawasan terhadap lokasi DPL. Jarak DPL Badi dari pantai berkisar 400 m, sedangkan jarak DPL Pajjenekang dari pantai berkisar 200 m. Setiap lokasi DPL ditetapkan dengan posisi geografis menggunakan GPS berdasarkan Lintang Selatan dan Bujur Timur. Letak geografis tersebut ditetapkan sebagai no take zone atau daerah larang ambil. 3. Penetapan DPL Setelah dilakukan survei, ditetapkanlah DPL di dua pulau tersebut. Penetapan DPL dikukuhkan dengan Perdes No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut. Perdes ini hanya mencantumkan adanya DPL Pulau Badi, sedangkan sampai saat ini belum ada legalitas atau Perdes untuk DPL Pulau Pajjenekang. Hal ini disebabkan saat penetapan perdes, posisi geografis atau titiktitik koordinat batas DPL belum ditetapkan, masih dalam tahapan inisiasi pembentukan DPL di Pulau Pajjenekang. Penetapan perdes tersebut diinisiasi oleh COREMAP II dan berkecenderungan untuk memenuhi target program COREMAP II yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi dana. Ketika perdes harus ditetapkan, titik-titik koordinat batas DPL Pulau Pajjenekang belum selesai ditentukan. Berdasarkan perdes ini, pembentukan DPL bertujuan untuk (i) menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa dan (iii) meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam

76 menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata. Perdes ini akan menjadi salah satu lembaran daerah dalam Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Terumbu Karang dimana saat ini masih dalam proses pembahasan di Pemerintah Kabupaten Pangkep. 4. Pemasangan tanda batas Pembatasan wilayah DPL di Pulau Badi dimulai dari pangkal rataan terumbu yang berupa garis pantai hingga ke ujung tubir terumbu, sehingga bentuk bidang wilayahnya tidak berbentuk persegi pada umumnya. Pada garis pantai bentuk batas DPL mengikuti lekuk garis pantai dan pada wilayah tubir terumbu polanya mengikuti bentuk batas terumbu. Pemasangan tanda batas dengan pelampung dilakukan pada 4 titik penempatan sehingga nantinya membentuk formasi persegi panjang. Koordinat titik penempatan pelampung tanda batas DPL Pulau Badi dapat dilihat pada Tabel 14. Jenis tanda batas yang digunakan di DPL disajikan pada Gambar 9 dan 10. Tabel 14. Koordinat titik penempatan tanda batas DPL Pulau Badi Titik Posisi LS BT Keterangan I Barat Daya Pulau II Luas DPL: Ha III IV Sumber: Perdes No. 01 Tahun (2007) 5. Pelatihan dan studi banding Pelatihan dan studi banding dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas SDM dan melihat pembelajaran dari daerah lain tentang pengelolaan sumberdaya terumbu karang. Pelatihan yang pernah diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep, dalam hal ini COREMAP II terkait dengan pengelolaan DPL antara lain pelatihan tentang pengelolaan DPL, pelatihan sistem

77 pengawasan masyarakat dan pemantauan kondisi terumbu karang berbasis masyarakat. Studi banding yang diselenggarakan oleh COREMAP II antara lain studi banding ke Bali, Taman Nasional Bunaken dan Karimunjawa. Gambar 9. Tanda DPL Pulau Badi Gambar 10. Tanda DPL Pulau Pajjenekang

78 6. Pembentukan kelompok pengelola Kelompok pengelola DPL tidak dibuat secara khusus, melainkan diserahkan langsung kepada LPSTK Desa Mattiro Deceng. Adapun kelompok pengelola ini mempunyai tugas antara lain: 1. Membuat perencanaan pengelolaan DPL dengan persetujuan masyarakat. 2. Mengelola DPL secara berkelanjutan. 3. Menjaga kelestarian dan pemanfaatan DPL untuk kepentingan masyarakat. 4. Melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran. 5. Melakukan perampasan atas barang dan/atau alat-alat yang dipergunakan oleh pelanggar. 6. Memberikan laporan keadaan DPL secara periodik kepada Kepala Desa. 7. Pengawasan DPL Pengawasan DPL dilakukan oleh Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang merupakan bagian anggota LPSTK. Pokmaswas bertugas mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Susunan kepengurusan Pokmaswas ini meliputi ketua, bendahara dan anggota. Pokmaswas mengadakan patroli untuk melihat dan mengawasi aktivitas sekitar DPL maupun non-dpl. Berdasarkan Perdes tentang pembentukan DPL, hal-hal yang dilarang untuk dilakukan di DPL antara lain (i) melintasi/melewati/menyeberang DPL kecuali dalam keadaan darurat, (ii) memancing/menangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap, (iii) mengambil biota laut, tumbuhan dan karang yang hidup ataupun mati, (iv) menggunakan lampu di dalam DPL pada malam hari dengan maksud untuk menarik ikan, (v) melakukan budidaya rumput laut, ikan karang dan ikan lainnya di dalam DPL, (vi) menempatkan bagan di dalam DPL, (vii) membuang jangkar di dalam DPL, (viii) membuang sampah di dalam DPL dan melakukan penambangan di dalam DPL. Sanksi yang diberikan kepada pelanggar yaitu: 1. Jika melanggar sekali, sanksi yang diberikan meliputi permintaan maaf oleh pelanggar, mengembalikan semua hasil yang diperolehnya dari DPL kepada

79 desa dan menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran tersebut di hadapan aparat desa, kelompok pengelola dan masyarakat. 2. Pelaku sama melakukan pelanggaran kedua kalinya, sanksi meliputi denda dengan sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian oleh kelompok pengelola dan menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan DPL. 3. Pelaku sama melakukan pelanggaran ketiga kalinya, sanksi meliputi denda dengan sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian oleh kelompok pengelola, menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan DPL dan diwajibkan melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan masyarakat (kerja bakti, membetulkan MCK umum dan sanksi lain yang kemudian ditentukan kepala desa/atau masyarakat desa). 4. Pelaku sama melakukan pelanggaran lebih dari tiga kali, sanksi meliputi point-point sebelumnya dan akan diserahkan ke kepolisian serta dapat dikenakan sanksi adat yang masih diakui masyarakat. Sanksi adat meliputi dikucilkan dalam pergaulan dan diusir dari pulau. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa stakeholder, pengawasan terhadap wilayah DPL tidak dilakukan secara rutin, mengingat perahu yang ada mengalami kerusakan dan terkendala bahan bakar. Sistem logbook yang dianjurkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan untuk setiap kegiatan pengawasan pun tidak terdokumentasi dengan baik. Di Pajjenekang, pengawasan dilakukan masyarakat yang sedang tidak melaut di pos pengawasan yang didirikan di dekat pantai. Karena jarak DPL dan pantai tidak terlalu jauh, beberapa anggota masyarakat mudah mengawasi DPL. Meskipun tidak ada data logbook yang terstruktur dan rutin, berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat, pelanggaran mendekati nihil. Pelanggaran yang ada biasanya dilakukan oleh nelayan pendatang dari pulau luar. Sejauh ini, tidak ada pengebom atau pembius yang beroperasi di Pulau Badi dan Pajjenekang. Di Pulau Badi sendiri meskipun masih terdapat pembius, beroperasi di luar pulau. Sedangkan di Pajjenekang sudah tidak ada lagi pengebom atau pembius. Beberapa pengebom di pulau ini menghentikan aktifitasnya dan beralih ke pancing atau

80 pembeli ikan karena sadar akan dampak pengeboman dan pembiusan yang merusak ekosistem terumbu karang di wilayah perairan sendiri. Di desa diberlakukan aturan bagi siapapun yang melakukan kunjungan ke desa, baik untuk wisata maupun penelitian yang melakukan penyelaman, diwajibkan lapor ke kantor desa atau melalui Ketua LPSTK yang telah ditunjuk dan dipercaya untuk mengelola DPL. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan kerusakan terumbu karang. 8. Monitoring dan evaluasi DPL Monitoring dan evaluasi merupakan aspek penting untuk menilai keberhasilan pengelolaan DPL. Tujuan pembentukan DPL di Desa Mattiro Deceng antara lain untuk menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa. Studi baseline terumbu karang di DPL merupakan salah satu kajian yang dilakukan untuk melihat kondisi ekologi di DPL. Studi ini meliputi pengamatan terhadap karang, ikan karang dan megabenthos. Studi ini dilakukan sejak tahun 2008 oleh LIPI dan bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep, dalam hal ini CRITC COREMAP II Kabupaten Pangkep. Tahun 2009 dilakukan kajian serupa oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep yang melibatkan pihak ketiga. 4.3 Dampak DPL terhadap Ekologi Terumbu Karang Parameter Kualitas Perairan Pertumbuhan dan distribusi organisme laut tergantung pada parameter fisik perairan, seperti suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus. Tabel 15 menunjukkan kualitas perairan di lokasi penelitian, yaitu DPL Pulau Badi. Tabel 15. Data kualitas perairan di DPL Pulau Badi No Parameter Hasil Pengukuran Keterangan 1. Kecepatan arus 0.3 m/dtk Arah arus ke utara 2. Kecerahan 100% 3. Kedalaman 3 m 4. Salinitas Suhu 30 0 C

81 Kecepatan arus di lokasi penelitian berkisar 0.3 m/detik. Arus di perairan Pulau Badi dipengaruhi oleh dinamika arus Selat Makassar. Pasokan utama massa air berasal dari Laut Sulawesi (Samudera Pasifik). Umumnya arus bergerak dari utara ke selatan atau sebaliknya, sesuai dengan musim yang berlaku. Kondisi arus saat penelitian termasuk kuat dan menuju ke utara. Pergerakan ikan pun dimungkinkan menuju ke arah utara. Karenanya, banyak nelayan yang mencari ikan di sebelah utara Pulau Badi. Keberadaan arus tersebut mengalirkan massa air yang mengandung nutrient dan sedimen. Arus yang kuat dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang karena dapat membersihkan pori-pori karang utamanya dari tutupan sedimen. Kecerahan perairan mencapai 100% dan kedalaman lokasi penelitian berkisar 3 m. Kecerahan dan kedalaman dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Cahaya yang mempengaruhi tingkat kecerahan perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis dimana hasil fotosintesis tersebut dimanfaatkan oleh organisme lainnya. Salinitas perairan di DPL Pulau Badi saat penelitian adalah 32. Ini berarti besaran salinitas tersebut masih dalam batas normal. Menurut Nybakken (1992), kisaran salinitas yang baik untuk kehidupan ekosistem terumbu karang adalah Suhu perairan di DPL Pulau Badi adalah 30 0 C. Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara C (Nybakken 1992). Sedangkan menurut Anwar et al (1984), kisaran suhu yang baik untuk ikan adalah C. Pola suhu perairan ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya, pertukaran panas antara air dengan udara di sekelilingnya dan ketinggian geografis (Barus 2004) Tutupan Karang Hidup Pengamatan kondisi terumbu karang DPL hanya dilakukan di Pulau Badi. Titik lokasi pengamatan merupakan titik lokasi pengamatan yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2008 dan COREMAP II Kabupaten Pangkep tahun 2009 pada

82 kedalaman 3 m. Hasil pengamatan tahun menunjukkan persentase tutupan karang hidup berturut-turut, yaitu 42%, 53% dan 54% (Prayudha dan Petrus 2008, COREMAP II 2009). Hal ini berarti terjadi peningkatan persentase tutupan karang hidup sebesar 12% selama 2 tahun DPL terbentuk. Berdasarkan Gomez dan Yap (1988), persentase karang hidup saat ini termasuk dalam kategori baik. Kenaikan ini diindikasikan karena tidak adanya aktivitas penangkapan di DPL. Sesuai dengan kesepakatan, lokasi DPL merupakan zona larang ambil dimana tidak diperbolehkan melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya di lokasi tersebut. Persentase kenaikan tutupan karang hidup DPL Pulau Badi disajikan pada Gambar 11. Beberapa contoh gambar kondisi terumbu karang disajikan pada Lampiran 3. Sumber: Prayudha dan Petrus (2008), COREMAP II (2009) dan data penelitian (2010) Gambar 11. Persentase tutupan karang hidup DPL Pulau Badi ( ) Kenaikan persentase tutupan karang hidup tahun adalah 11% dan adalah 1%. Hal ini menunjukkan perbedaan kenaikan yang berbeda dari tahun ke tahun. Kenaikan yang kecil pada tahun diindikasikan adanya pemutihan karang yang ditemui pada saat pengamatan kondisi terumbu karang (2010). Pemutihan karang ini belum/tidak dapat diantisipasi dengan adanya DPL, tetapi lebih kepada tindakan-tindakan untuk mengurangi dampak global warming.

83 4.3.3 Indeks Mortalitas Karang Indeks mortalitas atau indeks kematian karang memperlihatkan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Berdasarkan perhitungan indeks mortalitas karang di DPL Pulau Badi tahun diperoleh masing-masing sebesar 0.5, 0.21 dan Hal ini menunjukkan adanya penurunan indeks mortalitas karang dari tahun 2008 sampai Penurunan mortalitas karang ini diindikasikan karena tidak adanya aktifitas penangkapan di DPL. Indeks mortalitas karang yang diperoleh saat penelitian mendekati 0, yaitu Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan berarti bagi karang hidup. Besaran indeks mortalitas karang yang sama pada tahun 2009 dan 2010 dapat disebabkan karena kenaikan persentase tutupan karang hidup yang kecil, yaitu 1% Ikan Karang Ikan karang dikelompokkan menjadi 3 berdasarkan tujuan pengelolaannya, yaitu: ikan target, ikan indikator dan ikan mayor. Ikan yang ditemukan saat pengamatan terdiri dari 45 spesies dari 18 famili. Kelimpahan ikan adalah 456 ind/250 m 2 dengan komposisi kelimpahan ikan target, indikator dan major masing-masing 114 ind/250 m 2, 3 ind/250 m 2 dan 339 ind/250 m 2 (Gambar 12). Gambar 12. Persentase jumlah individu ikan/250 m 2 di DPL Pulau Badi (2010) Jika dibandingkan dengan tahun 2009 (319 ind/250 m 2 ), maka kelimpahan ikan yang diperoleh saat pengamatan mengalami peningkatan (Gambar 13). Data yang diperoleh ini tidak dapat dibandingkan dengan data 2008 karena berdasarkan

84 laporan yang diperoleh tidak menunjukkan kelimpahan ikan di lokasi DPL Pulau Badi, akan tetapi kelimpahan ikan keseluruhan DPL di Kecamatan Liukang Tuppabiring. Famili dan spesies ikan yang ditemukan di DPL Pulau Badi disajikan pada Lampiran 4. Sumber: COREMAP II (2009) dan data penelitian (2010) Gambar 13. Kelimpahan ikan/250 m 2 di DPL Pulau Badi ( ) Persentase jumlah ikan indikator yang dijumpai adalah 1%. Pada umumnya, ikan ini jumlahnya lebih kecil daripada ikan major. Ikan indikator dijadikan indikator kesuburan ekosistem terumbu karang yang diwakili oleh famili Chaetodontidae. Ikan indikator yang dijumpai di DPL saat pengamatan adalah Chaetodon octofasciatus. Pada tahun 2008, dijumpai lebih dari satu spesies ikan indikator, yaitu Chaetodon octofasciatus, Chaetodon baronessa, Chaetodon kleini, Chaetodon trifascialis dan Chelman rostratus (Prayudha dan Petrus 2008). Pada tahun 2009 ditemukan lebih banyak jumlah ikan indikator dengan kelimpahan 7 ind/250 m 2. Hal ini menunjukkan adanya penurunan jenis dan jumlah ikan indikator. Hal ini dapat disebabkan antara lain (i) pada saat pengamatan ikan-ikan tersebut tidak berada pada transek pengamatan dan (ii) kondisi karang yang menyebabkan ikan-ikan tersebut tidak nyaman untuk tumbuh dan berkembang lagi. Meskipun adanya peningkatan persentase tutupan karang hidup, adanya pemutihan karang yang ditemukan di sekitar lokasi

85 pengamatan meskipun tidak terlalu banyak dapat mengancam kondisi karang ke depan dan pada akhirnya mengancam kehidupan biota lainnya. Berdasarkan pengamatan tahun 2010, kelimpahan tertinggi ditemukan pada famili Pomacentridae dengan kelimpahan 249 ind/250 m 2. Begitu pula pada tahun sebelumnya. Hanya saja, kelimpahan famili ini lebih kecil daripada tahun 2009, yaitu 300 ind/250 m 2. Famili Pomacentridae merupakan ikan karang yang mempunyai jenis ikan terbanyak dan menjadi kelompok dominan di perairan terumbu karang. Famili ini umumnya menempati urutan pertama dalam jumlah maupun jenis ikan dalam perairan terumbu karang. Ikan ini memiliki daerah territorial tertentu, relatif stabil dan dijumpai dimulai dari daerah pasang surut sampai dengan kedalaman 40 m (Montgomery et al. 1980). Kelimpahan ikan tertinggi saat pengamatan (2010) adalah ikan Chromis ternatensis, yaitu sebesar 80 ind/250 m 2. Tujuh dari sebelas famili utama menurut Djamali dan Mubarak (1998) dan Hutomo (1986) sebagai penyumbang produksi perikanan ditemukan di DPL Pulau Badi ini, yaitu: Caesionidae, Serranidae, Scaridae, Siganidae, Labridae, Haemulidae dan Acanthuridae. Jumlah individu famili ikan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah individu famili ikan/250 m 2 di DPL Pulau Badi (2010) No Famili Jumlah (Individu/250 m 2 ) 1. Pomacentridae Caesionidae Apogonidae Labridae Haemulidae Serranidae 8 7. Pomachantidae 5 8. Tetraodontidae 5 9. Balistidae Chaetodontidae Plotosidae Bleniidae Siganidae Acanthuridae Ephippidae Scaridae Scolopsidae Zanclidae 1 Jumlah 456

86 Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi dihitung sebagai data dukung dan pelengkap. Data ini tidak dapat dibandingkan dengan data tahun sebelumnya karena keterbatasan informasi data yang diperoleh. Perhitungan indeks-indeks tersebut disajikan pada Lampiran 5. Keanekaragaman merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya. Indeks Keanekaragaman (H ) populasi organisme digunakan agar mudah untuk menganalisis informasi jumlah individu masing-masing spesies ikan dalam suatu komunitas (Odum 1993). Indeks Keanekaragaman ikan di DPL Pulau Badi adalah Berdasarkan Indeks Shannon-Wiener, keanekaragaman ikan termasuk dalam kategori tinggi. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Keseragaman ikan menunjukkan pola sebaran ikan, yaitu merata atau tidak. Indeks Keseragaman ikan (E) menunjukkan 0.8. Hal ini berarti bahwa keseragaman antarspesies relatif seragam atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. Indeks Dominansi (C) digunakan untuk mengetahui tingkat dominansi oleh spesies tertentu dalam ekosistem. Tingkat dominansi yang tinggi dapat mengganggu struktur komunitas karena adanya tekanan ekologi. Indeks dominansi ikan di DPL Pulau Badi menunjukkan Hal ini berarti bahwa tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya sehingga komunitas dalam keadaan stabil. Tinggi rendahnya kelimpahan, keanekaragaman dan keseragaman ikan dapat dipengaruhi oleh pengambilan data ikan pada saat pengamatan di lapangan. Penambahan dan pengurangan jumlah spesies ikan dapat disebabkan oleh: 1. Spesies tertentu tidak berada di daerah transek pengamatan, sehingga tidak tercatat 2. Karang dijadikan ikan sebagai tempat perlindungan. Peningkatan jumlah perlindungan mengakibatkan peningkatan kelimpahan ikan yang secara spesifik menjadikan karang sebagai tempat persembunyian (Jones 1991). 3. Adanya migrasi ikan keluar atau masuk di daerah pengamatan.

87 - Ikan menjadikan karang sebagai tempat mencari makan karena terdapat hubungan antara ikan dan biota yang hidup pada karang termasuk alga (Choat dan Bellwood 1991). - Ikan menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah luar karang sebagai tempat mencari makan (Barnes 1980). - Spesies diurnal bersembunyi di karang sedangkan spesies nocturnal mencari makan, sebaliknya pada siang hari spesies diurnal mencari makan dan spesies nocturnal bersembunyi. - Ikan hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenil, dan pada saat dewasa beruaya ke luar terumbu. Beberapa jenis ikan karang keluar dari ekosistemnya ke biotope lain, seperti ke daerah lamun (Sorokin 1993). 4.4 Dampak DPL terhadap Ekonomi Masyarakat Pengukuran pendapatan nelayan tidak mudah dilakukan mengingat kegiatan nelayan tergantung pada musim. Saat musim barat, nelayan menangkap ikan di luar propinsi, seperti Kabaena, Buton, Kendari dan Kalimantan. Pada musim timur, nelayan menangkap ikan di perairan Makasar dan Pangkep, seperti Kondongbali, Langkae, Lanjukang, Tambakulu, Pamanggangang dan sekitar Pulau Badi dan Pajjenekang. Tabel 17 menunjukkan persepsi hasil tangkap nelayan. Tabel 17. Persepsi hasil tangkap nelayan pada musim barat dan timur No Jenis Bulan Lokasi Penangkapan 1. Musim barat Kabaena, Buton, Kendari, Kalimantan 2. Musim timur Makasar dan Pangkep Sumber: COREMAP II (2006 dan 2007) Keterangan: : Tinggi : Rendah Pada bulan Maret hingga September (musim timur), nelayan aktif menangkap ikan sunu, kerapu dan lobster di lokasi sekitar Pulau Gondongbali, Langkai, Lanjukang, Tambakulu, Pamanggangang atau di lokasi taka/karang di sekitar pulau pemukiman mereka. Beberapa nelayan melakukan penangkapan

88 setiap hari (kecuali hari Jumat). Perolehan ikan sunu pun tidak menentu. Tidak setiap kali memancing menghasilkan ikan. Perolehan tangkapan nelayan rata-rata 1 ekor sunu dengan berat kurang lebih 1 kg. Terkadang satu hari dapat ikan tiga hari tidak melaut karena kehabisan biaya ke laut. Beberapa nelayan mencari ikan selama 2 minggu hingga 1 bulan. Bagi nelayan yang mencari ikan selama kurang lebih sebulan, maka mereka cenderung memilih sebuah pulau (biasanya yang tidak berpenghuni) yang digunakan sebagai basecamp mereka untuk beristirahat, seperti Pulau Jangang-jangangang dan Pamanggangang. Hal ini dilakukan untuk menghemat penggunaan bahan bakar minyak. Pada musim barat, nelayan ikan sunu akan menangkap ke lokasi lain, yaitu sekitar taka/karang di Kalimantan Timur, Sinjai, Selayar dan Kabaena (Sulawesi Tenggara) serta NTT. Beberapa nelayan, yaitu parengge dan purse seine melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan Pulau Langkai dan Gondongbali pada musim timur dan musim barat mereka cenderung menuju lokasi di Kabaena dan menjual hasilnya di Kota Kendari. Selama enam bulan tersebut, mereka tinggal di Kendari. Jumlah tangkapan tergantung dari musim. Saat musim timur, rata-rata mereka memperoleh hasil antara 1 dan 10 keranjang/hari (1 keranjang 15 kg). Saat musim barat, nelayan dapat memperoleh lebih banyak yaitu antara keranjang/hari. Adapun jenis ikan yang biasa diperoleh antara lain ikan kembung, cakalang, layang dan tembang. Keberadaan DPL diharapkan akan berpengaruh pada pendapatan dan hasil tangkap nelayan di lokasi penangkapan sekitar pulau, yaitu pada musim timur karena pada musim tersebut, nelayan mencari ikan di sekitar pulau mereka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan tentang pendapatan dan hasil tangkap nelayan, dapat dikatakan bahwa keberadaan DPL belum dapat meningkatkan pendapatan dan jumlah tangkapan masyarakat. Adapun 8.57% responden menyatakan bahwa ada peningkatan pendapatan, 87.14% responden menyatakan tidak ada perubahan pendapatan dan 4.29% responden menyatakan adanya penurunan pendapatan. Sebanyak 27.14% responden menyatakan adanya peningkatan hasil tangkapan, 80.00% responden menyatakan tidak ada perubahan

89 hasil tangkapan dan 2.86% responden mengalami penurunan hasil tangkapan. Hal ini dapat diindikasikan karena beberapa hal, antara lain: 1. Adanya kenaikan bahan bakar sehingga biaya yang dikeluarkan untuk menangkap ikan semakin besar sedangkan jumlah tangkapan ikan tidak ada perubahan. Meskipun harga ikan terdapat kenaikan dari tahun ke tahun dan perolehan hasil penjualan ikan meningkat, akan tetapi digunakan untuk menutupi biaya bahan bakar yang mengalami kenaikan. 2. DPL yang masih berumur 2 tahun, diindikasikan belum mampu menyediakan suplai ikan di luar wilayah DPL yang banyak. Masih diperlukan lebih lanjut penelitian/kajian tentang kemampuan DPL menyuplai stok ikan di luar wilayah DPL. 4.5 Dampak DPL terhadap Sosial Masyarakat Persepsi Masyarakat terhadap Sumberdaya dan DPL Penilaian persepsi masyarakat didasarkan pada skor. Persentase skor persepsi masyarakat yang diperoleh adalah 65.39% dari total skor ideal (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL adalah cukup bagus. Secara keseluruhan, persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL adalah cukup baik. Hal ini disebabkan masyarakat mengetahui potensi sumberdaya yang dimiliki desa tersebut dan untuk pengelolaannya agar tetap terjaga diperlukan adanya DPL. Persepsi inilah yang dapat mendukung pengelolaan sumberdaya dan DPL kedepan oleh masyarakat. Adapun hasil persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL adalah sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat terhadap potensi terumbu karang adalah baik. 2. Persepsi masyarakat terhadap kelimpahan ikan adalah cukup berlimpah. 3. Masyarakat sedikit tahu tentang pengertian DPL. Hal ini disebabkan karena masyarakat merasa kurang adanya sosialisasi dan hanya mengenal adanya tanda DPL tanpa mengerti maksud DPL itu sendiri. Tindakan masyarakat pun tidak menolak dengan adanya DPL. Hal ini disebabkan sebelum dibentuk

90 adanya DPL, masyarakat tidak menangkap ikan di lokasi yang sekarang menjadi DPL. 4. Masyarakat memberikan dukungan pembentukan DPL. Meskipun persepsi terhadap pengertian DPL rendah, masyarakat pada dasarnya mendukung adanya suatu kawasan yang dikelola demi keberlanjutan sumberdaya, dalam hal ini DPL. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat menangkap ikan di luar pulau sehingga dengan adanya pembatasan wilayah masyarakat nelayan tidak merasa dirugikan. 5. Persepsi masyarakat terhadap manfaat yang akan ditimbulkan adanya DPL adalah cukup bermanfaat. Pembentukan DPL yang pertama kali diinisiasi oleh pemerintah ini mempunyai maksud dan tujuan tertentu sehingga masyarakat meyakini suatu saat akan bermanfaat bagi masyarakat. 6. Masyarakat sedikit tahu tentang sanksi atas pelanggaran yang dilakukan di wilayah DPL. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi tentang Perdes penetapan DPL yang didalamnya mencakup sanksi atas pelanggaran yang dilakukan di DPL. 7. Masyarakat memberikan dukungan akan keberlanjutan DPL untuk menjaga ekosistem terumbu karang. 8. Masyarakat cukup mendukung jika suatu saat diberlakukan kegiatan konservasi dimana kemudian hari akan dijadikan kebiasaan masyarakat, seperti buka tutup kawasan DPL. Masyarakat Desa Mattiro Deceng tidak memiliki suatu kebiasaan konservasi sebelum adanya DPL ini. Masyarakat hanya mempunyai suatu tradisi budaya, yaitu Festival Muharram dan Mandi Shafar Partisipasi Masyarakat Persentase skor partisipasi masyarakat adalah 23.40% dari total skor ideal (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan pengelolaan DPL adalah rendah. Hal ini disebabkan antara lain: 1. Hanya pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam pembentukan Pokmas dan LPSTK, seperti tokoh masyarakat, dusun dan masyarakat non nelayan. Ini terlihat dari personil kepengurusan LPSTK.

91 2. Kegiatan sosialisasi, survei lokasi, penetapan perdes, pemasangan tanda batas DPL yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan pihak ketiga yang menyebabkan kurang kontaknya pemerintah dengan masyarakat. Terlebih pelaksanaan kegiatan dibatasi oleh tahun anggaran pemerintah sehingga target kegiatan harus terselesaikan pada tahun tersebut. Disini faktor proyek masih menonjol. 3. Kegiatan pengawasan masih menggantungkan pembiayaan dari pemerintah sehingga kegiatan pengawasan tidak dapat dilakukan secara rutin. 4. Kegiatan pelatihan dan studi banding diperuntukkan bagi personil yang terlibat aktif dalam COREMAP II, yaitu dalam kepengurusan LPSTK. Hal ini pun sangat terbatas keikutsertaan masyarakat karena keterbatasan dana dan peserta yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah. 5. Kegiatan analisis dampak program berupa pemantauan kondisi terumbu karang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah bekerjasama dengan pihak ketiga. Pelaksanaan kegiatan tersebut hanya melibatkan motivator desa COREMAP II yang pemilihannya ditunjuk oleh masyarakat desa. 6. Adanya suatu pemikiran bahwa DPL ini merupakan program pemerintah dan dibiayai oleh pemerintah serta dikelola oleh beberapa orang tertentu saja menyebabkan masyarakat tidak merasakan kepemilikan adanya program ini dan tidak berpartisipasi di dalam kegiatan pengelolaan. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan pengelolaan DPL merupakan hal penting yang harus diperhatikan, mengingat masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan ikatan sejarah dan tradisional. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL diharapkan dapat menyediakan fasilitas, dukungan politik dan moral dalam pengelolaan DPL, termasuk di dalamnya pengawasan yang dapat dilakukan dan penegakan aturan bersifat sukarela. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan DPL akan menimbulkan rasa memiliki program tersebut dan berpengaruh terhadap sikap dan tindakan masyarakat terhadap pengelolaannya (Crawford et al. 2000).

92 4.5.3 Peran Pemerintah Persentase skor peran pemerintah adalah 58.32% dari total skor ideal (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam pembentukan dan pengelolaan DPL dinilai cukup baik/bagus. Hasil penilaian masyarakat terhadap peran pemerintah adalah sebagai berikut: 1. Peran pemerintah dalam memberikan bantuan pemberdayaan masyarakat adalah baik. Peran pemerintah dalam hal ini berupa dana bergulir (seed fund), village grant, pondok informasi serta bantuan perahu, atraktor dan rumpon kepada masyarakat nelayan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep. Seed fund dan village grant merupakan bantuan pemerintah melalui program COREMAP II dan pada tahun 2009 mencapai Rp dan Rp Pondok informasi merupakan suatu pusat informasi sekaligus sebagai tempat bagi masyarakat untuk melakukan pertemuan atau kegiatan, termasuk tempat menyajikan data-data perkembangan pengelolaan dana-dana berbantuan COREMAP, baik untuk usaha ekonomi maupun untuk pembangunan prasarana sosial atau pendukung pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang. Bantuan perahu, atraktor dan rumpon merupakan bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan dan diprioritaskan untuk nelayan pancing cumi. 2. Peran pemerintah dalam pemberian tanda batas DPL adalah jelas. Hal ini disebabkan batasan-batasan DPL diberikan tanda khusus dan sampai dengan penelitian dilakukan tanda batas tersebut masih ada. Tanda tersebut dipasang sebagai tanda zona larang ambil. 3. Peran pemerintah dalam memberikan pelatihan adalah cukup baik. Pelatihan yang pernah diikuti oleh masyarakat terkait pengelolaan DPL antara lain pelatihan tentang pengelolaan DPL, pelatihan sistem pengawasan masyarakat dan pemantauan kondisi terumbu karang berbasis masyarakat. Pelatihan lainnya pun juga diikuti masyarakat dalam rangka mendukung pengelolaan pesisir dan lautan secara umum, antara lain pelatihan guru tentang muatan lokal pesisir dan lautan, pelatihan gender tentang pasca panen dan sertifikasi ikan hias.

93 4. Peran pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang adalah cukup baik. Pengelolaan terumbu karang ini berupa rangkaian kegiatan yang terkait dengan pengelolaan terumbu karang secara umum, seperti penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang dan (RPTK) dan pelaksanaannya. 5. Peran pemerintah dalam pendanaan adalah cukup banyak. Pendanaan pemerintah diberikan dalam rangka pembentukan dan pengelolaan DPL, seperti sosialisasi DPL, survei lokasi, penetapan perdes dan pemasangan tanda batas, pelatihan dan studi banding, pembentukan kelompok pengelola, pengawasan dan survei dampak DPL terhadap ekosistem terumbu karang. 6. Peran pemerintah dalam memberikan pendampingan pengelolaan DPL adalah cukup baik. Pendampingan pengelolaan DPL dilakukan oleh SETO, Fasilitator Masyarakat dan Motivator Desa yang ditunjuk oleh PMU COREMAP II Kabupaten Pangkep. Konsultasi masyarakat dengan pendamping dapat dilakukan baik secara formal maupun informal. Pendampingan intensif dilakukan oleh Motivator Desa karena bermukim di desa tersebut, sedangkan SETO dan Fasilitator Masyarakat yang membawahi beberapa pulau tidak dapat secara intensif melakukan pendampingan di masyarakat. 7. Peran pemerintah dalam sosialisasi DPL adalah kurang baik. Hal ini disebabkan karena sosialisasi formal dinilai belum menyentuh ke masyarakat nelayan, hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja yang mengikuti sosialisasi. 8. Peran pemerintah dalam penyelenggaraan studi banding dinilai kurang baik. Hal ini dikarenakan pembiayaan studi banding oleh pemerintah yang terbatas sehingga tidak dapat mengakomodir masyarakat, hanya pengambil kebijakan yang diikutsertakan dalam studi banding tersebut. 9. Peran pemerintah dalam pengawasan adalah kurang baik. Hal ini dikarenakan pengawasan DPL yang dilakukan pemerintah daerah tidak dilakukan secara rutin. Pemerintah berharap masyarakat dapat melakukan secara sukarela sedangkan masyarakat sendiri tidak mempunyai cukup biaya operasional untuk melakukan pengawasan dan masih tergantung bantuan pemerintah.

94 Dari kondisi penilaian peran pemerintah tersebut, dapat dikatakan bahwa peran pemerintah masih menonjol dalam pembentukan dan pengelolaan DPL karena pemerintah sebagai pengorganisir dan penyokong dana dalam pembentukan dan pengelolaannya. Dalam hal ini faktor project masih lebih besar karena adanya target-target yang harus dipenuhi demi penilaian project. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor project merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pengelolaan DPL (Pollnac dan Crawford 2001). 4.6 Keterkaitan antara Ekologi, Ekonomi dan Sosial Masyarakat Suatu bentuk pengelolaan pesisir dan lautan akan menimbulkan dampak terhadap ekologi, ekonomi dan sosial dimana ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kondisi ekologi yang baik dari lingkungan diharapkan dapat mendukung perekonomian masyarakat serta terjaga atau terciptanya suatu kebiasaan konservasi sehingga dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kondisi lingkungan tersebut. Disamping hal tersebut, kondisi sosial menuntut adanya suatu partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan. Secara deskriptif keterkaitan antara aspek ekologi, ekonomi dan sosial adalah bahwa kondisi tutupan karang hidup di DPL dapat dikategorikan baik. Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Sejauh ini, dampak DPL terhadap perekonomian masyarakat belum tampak jelas. Berdasarkan persepsi masyarakat terhadap pendapatan dan hasil tangkap rata-rata menunjukkan tidak ada perubahan pendapatan dan hasil tangkap nelayan yang signifikan dari tahun ke tahun ( ). Dampak pengelolaan DPL pun belum dapat menunjukkan terciptanya mata pencaharian alternatif bagi nelayan agar tidak menggantungkan hidupnya pada penangkapan ikan langsung di perairan. Beberapa hal yang dapat dilihat terkait kondisi sosial masyarakat antara lain adanya kelembagaan dan partisipasi masyarakat (Fauzi dan Anna 2003). Kedua hal tersebut berperan dalam keberlanjutan pengelolaan DPL di masa yang akan datang. Pembentukan DPL untuk menjaga ekosistem terumbu karang yang ada mendorong dibentuknya suatu badan/kelompok pengelola DPL. Kelembagaan

95 LPSTK yang diprakarsai oleh Pengelola Program COREMAP II Kabupaten Pangkep merupakan lembaga yang ditunjuk untuk mengelola DPL sehingga maksud dan tujuan pembentukan DPL tercapai. Kelembagaan merupakan hal penting dalam suatu program karena kelembagaan tersebut terkait dengan pelaksanaan segala bentuk kesepakatan dan pengaturan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya upaya-upaya pencapaian tujuan. Pengelolaan DPL yang ada diharapkan adanya suatu partisipasi masyarakat agar pengelolaan ke depan dapat mandiri dan tidak tergantung dari bantuan pemerintah. Implementasi di lapangan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL masih tergolong rendah. Adanya suatu pemikiran bahwa DPL ini merupakan program pemerintah dan dikelola oleh beberapa orang tertentu saja menyebabkan masyarakat kurang/tidak merasakan kepemilikan adanya program ini dan tidak berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan. Sejalan dengan hal itu, program yang berjalan ini diharapkan dapat mendorong kegiatan atau kebiasaan konservasi di desa tersebut karena sebelum adanya DPL ini, masyarakat tidak memiliki kebiasaan konservasi. 4.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL Tanggapan Masyarakat terhadap Input, Proses dan Output Pengelolaan DPL Variabel faktor dalam input, proses dan output pengelolaan DPL digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL. Hasil/jawaban kuisioner adalah skor. Persentase skor hasil tanggapan masyarakat terhadap input pengelolaan DPL adalah 65.39% dari total skor ideal (Lampiran 9) dan dikategorikan cukup baik. Hasil tanggapan masyarakat terhadap proses pengelolaan DPL adalah 46.29% dari total skor ideal (Lampiran 10) dan dikategorikan kurang baik. Hal ini disebabkan masih rendahnya partisipasi masyarakat secara keseluruhan dan lebih menonjol adanya peran pemerintah. Hasil tanggapan masyarakat terhadap output pengelolaan DPL adalah 69.43% dari persentase total skor ideal (Lampiran 11) dan dikategorikan bermanfaat. Salah satu indikasinya adalah adanya kenaikan tutupan karang hidup, penurunan mortalitas karang dan peningkatan kelimpahan ikan.

96 Hasil analisis persepsi terhadap input, proses dan output pengelolaan DPL menunjukkan efek warm glow karena persepsi terhadap input cukup bagus, proses kurang bagus sedangkan output yang dihasilkan bagus/bermanfaat. Efek warm glow ini terkait dengan masalah altruisme dan dapat terjadi karena responden berusaha menyenangkan pewawancara dengan cara memberikan jawaban setuju untuk sesuatu hal tanpa mengharapkan imbalan tertentu (Fauzi 2006) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengelolaan DPL Hasil pemilihan variabel dengan SPSS diperoleh 35 variabel faktor yang memberikan kontribusi dalam pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng. Variabel-variabel faktor tersebut disajikan dalam Tabel 18. Variabel-variabel tersebut diikutkan dalam analisis faktor dengan metode ekstraksi PCA. Hasil analisis ini disajikan pada Lampiran 12. Hasil analisis faktor dengan metode ekstraksi PCA dan rotasi matriks komponen varimax diperoleh 9 kelompok faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL. Kelompok faktor tersebut disajikan pada Tabel 19. Total varian yang dapat dijelaskan oleh kesembilan kelompok/komponen faktor tersebut adalah 81.16% dari ketigapuluh lima variabel faktor. Berdasarkan hasil pengelompokan, dapat dikatakan bahwa terdapat 9 kelompok faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL, antara lain: (i) peran pemerintah dalam pembentukan dan pengelolaan DPL, (ii) partisipasi masyarakat dalam pembentukan DPL, (iii) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL, (iv) persepsi masyarakat terhadap potensi sumberdaya dan DPL, (v) output/manfaat DPL untuk ekowisata dan penelitian, (vi) output/manfaat DPL terhadap kondisi ekologi dan pendapatan, (vii) konflik masyarakat, (viii) output/manfaat terhadap hasil tangkapan dan (ix) pendanaan. 1. Peran pemerintah dalam pembentukan dan pengelolaan DPL Pembentukan dan pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng tidak terlepas dari peran pemerintah melalui program COREMAP II. Peran pemerintah dalam pembentukan dan pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng meliputi sosialisasi tentang pengelolaan terumbu karang, pemberian bantuan pemberdayaan masyarakat, penyelenggaraan pelatihan dan studi banding, pengelolaan DPL, pengawasan, pemberian tanda batas DPL, pendanaan dan pendampingan

97 pengelolaan DPL. Peran pemerintah tersebut berkecenderungan termasuk dalam faktor project, dimana peran yang dilakukan untuk memenuhi target project yang dijalankan terkait implementasi/aktifitas project (Pollnac dan Crawford 2001). Tabel 18. Variabel faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL No. Kode Faktor-faktor (variabel) 1. X2 Persepsi kelimpahan ikan 2. X3 Pengertian DPL 3. X4 Dukungan pembentukan DPL 4. X5 Manfaat DPL 5. X6 Sanksi pelanggaran 6. X7 Keberlanjutan DPL 7. X8 Kebiasaan konservasi 8. Y1 Pembentukan LPSTK dan Pokmas 9. Y2 Kegiatan Pokmas 10. Y3 Kegiatan LPSTK 11. Y4 Sosialisasi DPL 12. Y5 Penetapan DPL 13. Y6 Survei lokasi DPL 14. Y7 Pelatihan 15. Y8 Studi banding 16. Y9 Pengawasan DPL 17. Y10 Analisis dampak program 18. Y11 Sosialisasi pemerintah 19. Y12 Bantuan pemberdayaan masyarakat 20. Y13 Pelatihan 21. Y14 Studi banding 22. Y15 Pengelolaan terumbu karang 23. Y16 Pengawasan DPL 24. Y17 Tanda batas DPL 25. Y18 Pendanaan DPL 26. Y19 Pendampingan pengelolaan 27. Y20 Kunjungan ke desa 28. Y22 Program desa 29. Z1 Kondisi terumbu karang 30. Z2 Kelimpahan ikan 31. Z4 Pendapatan 32. Z6 Hasil tangkapan 33. Z9 Tingkat konflik 34. Z10 Ekowisata 35. Z11 Pendidikan terumbu karang

98 Tabel 19. Kelompok faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL Kelompok Faktor X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y22 Z1 Z2 Z4 Z6 Z9 Z10 Z11 2. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan DPL Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pembentukan DPL. Menurut Crawford et al. (2000), rasa memiliki masyarakat

99 yang kuat terhadap Daerah Perlindungan Laut (DPL) dan partisipasi masyarakat dalam tahap-tahap perencanaan/pembentukan dan pelaksanaan/pengelolaan merupakan hal yang penting dalam mendukung keberhasilan pengelolaan DPL. 3. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan memberikan kesempatan masyarakat untuk mengelola sumberdaya mereka. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan akan menentukan keberlanjutan pengelolaan DPL kedepan. Tingkat partisipasi masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh manfaat yang dirasakan masyarakat (Pollnac dan Pomeroy 2005). Rendahnya partisipasi masyarakat dikhawatirkan menyebabkan pengelolaan DPL tidak berlanjut setelah COREMAP II berakhir. Karenanya perlu suatu upaya pemerintah untuk meningkatkan awareness/kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL, seperti penguatan kelembagaan, pengawasan, penegakan aturan, monitoring dan evaluasi sehingga masyarakat dapat melihat dan merasakan secara langsung dampak adanya DPL. 4. Persepsi masyarakat terhadap potensi sumberdaya dan DPL Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL merupakan faktor penting dalam pengelolaan DPL. Hal tersebut akan mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL yang ada. Pengetahuan masyarakat terhadap aturan/larangan di DPL dapat memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan DPL (Pollnac dan Crawford 2001) sehingga masyarakat tidak melakukan hal yang dilarang dalam DPL. 5. Output/manfaat DPL untuk ekowisata dan penelitian Kondisi ekologi yang baik di lokasi DPL mendorong akan dikembangkannya ekowisata di lokasi tersebut, seperti wisata selam. Ekowisata diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat dan tidak menggantungkan pada hasil tangkapan ikan, antara lain penyedia jasa akomodasi dan konsumsi serta guide bagi wisatawan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah

100 strategi pengembangan ekowisata tersebut tidak merusak atau menurunkan kualitas ekologi yang ada saat ini. Keberadaan DPL dapat dijadikan suatu wahana penelitian untuk melihat sejauh mana dampak DPL terhadap ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat secara time series. Data tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan pengelolaan DPL bagi pihak yang membutuhkan. 6. Output/manfaat DPL terhadap kondisi ekologi dan pendapatan Salah satu manfaat yang diharapkan adanya DPL antara lain dapat menjaga/melindungi/memperbaiki/meningkatkan kualitas ekosistem terumbu karang. Penutupan karang dan kelimpahan ikan di lokasi DPL Pulau Badi mengalami peningkatan karena tidak adanya aktifitas penangkapan yang dilakukan di DPL tersebut. Hal ini senada dengan kondisi DPL di Philiphina yang menunjukkan adanya peningkatan tutupan karang di Balicasag s sanctuary (8 ha) sebesar 119% dalam 5 tahun setelah ditetapkan sebagai no take zone (Christie et al. 2002). Selain tutupan karang hidup, DPL berpengaruh juga terhadap kelimpahan ikan. Suatu area yang dilindungi dapat meningkatkan settlement larva ikan (Roberts dan Polunin 1991) sehingga dapat meningkatkan ketersediaan juvenil dalam populasi. Dampak DPL terhadap ikan antara lain kepadatan, biomassa dan nilai CPUE lebih besar daripada lokasi non-dpl (Buxton et al. 1989, Francour 1991, Wantiez 1997, Goni et al dan Cowley et al. 2002). Kondisi ekologi yang baik, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat ini dapat diperoleh dari hasil penangkapan atau aktivitas lainnya seperti mata pencaharian alternatif dan ekowisata. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan DPL belum dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penangkapan maupun aktivitas lainnya. Hal ini disebabkan karena masih singkatnya umur DPL sehingga belum mampu menyuplai ikan di luar DPL yang dapat ditangkap oleh nelayan. Hal ini akan berpengaruh terhadap perolehan ikan dan pendapatan nelayan. Terkait suplai ikan tersebut masih diperlukan penelitian lanjutan terkait larval

101 dispersal untuk mengetahui kemana arah distribusi larva dan ikan dari DPL ke luar DPL. Mata pencaharian alternatif di Desa Mattiro Deceng belum berkembang baik. Pilot project mata pencaharian alternatif yang pernah dikembangkan antara lain budidaya rumput laut gagal berkembang. Saat ini budidaya yang ada adalah budidaya kuda laut, teripang, lola dan abalone. Budidaya tersebut diinisiasi oleh pihak swasta dimana masyarakat belum ada yang tertarik untuk melakukan budidaya tersebut. 7. Konflik masyarakat Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, interaksi masyarakat dengan lingkungan dan bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang ada (Hinrichsen 1998). Sebagian besar konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya timbul karena kesulitan dalam menjelaskan rezim kepemilikan (Bromley 1997). Jika tidak ada kesepakatan dalam bagaimana pengelolaan sumberdaya, konflik tidak dapat dihindari. Karenanya, penerimaan masyarakat terhadap program yang ada merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan pengelolaan DPL. Jika terdapat konflik dalam pelaksanaannya, hal tersebut menjadi hambatan dalam pengelolaan DPL karena tidak adanya kesamaan persepsi dan kepentingan dalam pengelolaan DPL. Di lokasi penelitian tidak ditemukan adanya konflik baik konflik dalam masyarakat, dengan masyarakat luar desa maupun dengan pemerintah terkait dengan pengelolaan DPL dan dampaknya. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain (i) lokasi DPL yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai suatu wahana yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara signifikan, misalnya ekowisata, sehingga tidak ada pihak-pihak yang memperebutkan pengelolaan ekowisata dan (ii) tidak adanya overlapping pengelolaan sumberdaya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal ini pengelolaan diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya (meskipun masih rendah tingkat partisipasinya) dan pemerintah pusat sebagai pemantau karena pemerintah pusat sebagai pemberi hibah kepada pemerintah daerah.

102 8. Output/manfaat terhadap hasil tangkapan DPL diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan. DPL akan menarik ikan dari daerah yang berdekatan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak, ikan-ikan kecil (juvenil) yang terbawa oleh arus, selanjutnya menetap di kawasan DPL. Juvenil yang membesar menyebabkan jumlah ikan bertambah dan semakin padat karenanya terdapat ikan-ikan di DPL berenang dan menetap di luar daerah DPL. Ikan-ikan tersebut yang akan ditangkap nelayan. Terhadap suplai ikan yang disumbangkan DPL terhadap daerah luar DPL diperlukan penelitian lebih lanjut. Bohnsack (1990) memberikan gambaran beberapa potensi keuntungan DPL antara lain DPL dapat memberikan perlindungan terhadap biomassa stok ikan bertelur, menyediakan sumber perekrutan di sekitarnya dan tambahan restocking daerah luar melalui emigrasi. Adanya emigrasi ikan menyebabkan peningkatan biomassa ikan di luar daerah DPL dan dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan (Russ et al. 2004). 9. Pendanaan Pendanaan adalah faktor penting dalam suatu pengelolaan. Pendanaan ini diperlukan dalam hal proses pembentukan sampai dengan pengelolaan. Pendanaan pengelolaan DPL sampai saat ini bersumber dari hibah pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui program COREMAP II. 4.8 Analisis Stakeholder Stakeholder atau pemangku kepentingan dalam suatu proses merupakan pelaku (orang atau organisasi) yang memiliki kepentingan dalam suatu kebijakan atau kegiatan. Pemangku kepentingan ini atau pihak yang berkepentingan biasanya dapat dikelompokkan ke dalam kategori: pemberi donor, pemerintah, masyarakat, organisasi non-pemerintah dan pengguna manfaat. Analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahui pihak-pihak mana yang berpengaruh dalam suatu kegiatan. Proses analisis stakeholder biasanya dimulai dengan mengidentifikasi stakeholder yang relevan untuk sebuah program atau kegiatan tertentu, peta kepentingan-kepentingan mereka dan menilai konteks yang lebih luas di mana mereka berinteraksi (Jones dan Fleming 2003 in Sovacool 2008).

103 Beberapa stakeholder yang berpengaruh dalam pengelolaan DPL, yaitu Bappeda Kabupaten Pangkep, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep, Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (CCEB, Coastal Community Empowerment Board), PMU COREMAP II, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, BPD, LPSTK, tokoh agama, ponggawa, nelayan, perguruan tinggi, Pokmaswas, Guru, SETO, Fasilitator Masyarakat, Motivator Desa, PT Mars Symbioscience, PKK, Karang Taruna dan Bidan/poliklinik. Hasil analisis stakeholder disajikan pada Gambar 14. Gambar 14. Hasil analisis stakeholder Berdasarkan Gambar 14 dapat dikatakan bahwa: 1. Stakeholder yang mempunyai kepentingan tinggi dan pengaruh tinggi antara lain Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, tokoh agama, ponggawa, nelayan dan perguruan tinggi. Pemerintah Kabupaten meliputi meliputi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep, Bappeda Kabupaten Pangkep, CCEB dan PMU COREMAP II Kabupaten Pangkep. Pemerintah desa meliputi Kepala Desa, BPD dan LPSTK. Stakeholderstakeholder tersebut wajib dijaga keikutsertaannya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dalam hal ini pengelolaan DPL. Peran pemerintah kabupaten dan kecamatan adalah pengorganisir dan pembuat

104 keputusan. Peran pemerintah desa adalah pembuat keputusan dan pelaksana. Peran tokoh agama adalah pendukung. Peran ponggawa dan nelayan adalah pendukung, pelaksana dan pemanfaat. Adapun ponggawa dan nelayan ini meliputi ponggawa dan nelayan dari dalam dan luar desa. Ponggawa berasal dari Desa Mattiro Deceng, ponggawa di Makasar, Pulau Barrang Lompo dan Pangkajene. Nelayan berasal dari pulau lainnya, seperti Pulau Karanrang yang mencari ikan di sekitar pulau Badi. Peran perguruan tinggi adalah pendukung. 2. Stakeholder yang mempunyai kepentingan tinggi dan pengaruh rendah antara lain Pokmaswas, guru, SETO, Fasilitator dan Motivator Desa. Stakeholderstakeholder tersebut wajib diberdayakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Peran Pokmaswas adalah pelaksana. Peran guru, SETO, Fasilitator dan Motivator Desa adalah pelaksana dan pendukung. 3. Stakeholder yang mempunyai kepentingan rendah dan pengaruh tinggi adalah PT Mars Symbioscience. Stakeholder tersebut wajib dilibatkan dalam pengelolaan pesisir dan lautan. Peran PT Mars Symsbioscience adalah pendukung. 4. Stakeholder yang mempunyai kepentingan rendah dan pengaruh rendah antara lain PKK, Karang Taruna dan bidan/poliklinik. Stakeholder-stakeholder tersebut harus disadarkan atau ditingkatkan kapasitasnya untuk ikut serta dalam proses pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Peran PKK, Karang Taruna dan bidan/poliklinik adalah pendukung. Stakeholder yang mempunyai kepentingan tinggi pengaruh tinggi terdiri dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah yang sangat kuat dan penting dalam pengelolaan DPL. Karenanya, persepsi masyarakat terhadap peran pemerintah menjadi cukup bagus dan menyebabkan capaian yang dicapai baik karena turun tangan pemerintah melalui Program COREMAP II dan belum memberdayakan masyarakat (tingkat partisipasi rendah). Fungsi, tugas dan peranan masing-masing stakeholder secara umum (COREMAP II 2006) adalah sebagai berikut: 1. Dinas Kelautan dan Perikanan. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut merupakan bagian dari tugas dan fungsi pokok Dinas Kelautan dan Perikanan. Peranan dinas ini sebagai pengorganisir dan pengambil kebijakan

105 dan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dalam hal ini DPL. Dinas Kelautan dan Perikanan diberi tanggung jawab sebagai pengelola COREMAP II di Kabupaten Pangkep. 2. Bappeda. Peran Bappeda disini antara lain menampung aspirasi terkait program pengelolaan pesisir dan lautan dalam rencana pembangunan kabupaten dan desa. Konsekuensi dari hal tersebut antara lain terkait pendanaan program. Bappeda merupakan salah satu pengambil kebijakan terkait pendanaan yang ada. 3. CCEB. Lembaga ini diketuai oleh Bupati yang sehari-harinya dikoordinasikan oleh Ketua Bappeda Kabupaten dan PMU Kabupaten yang diketuai oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan. Anggota CCEB ini berasal dari berbagai instansi/lembaga, perguruan tinggi, swasta/dunia usaha dan LSM serta tokoh masyarakat setempat. Unit ini bertugas untuk melaksanakan sistem kegiatan COREMAP II secara teknis sesuai dengan komponen dan sub komponen yang telah ditetapkan. Dalam rangka pencapaian tujuan COREMAP II. Anggota CCEB dari unsur pemerintah diharapkan berasal dari unsur Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, Dinas Pendidikan, KSDA/Taman Nasional Laut, Polisi, Angkatan Laut dan Camat. Selain itu, dapat pula ditambahkan anggota yang berasal dari dinas-dinas terkait lainnya, seperti: Bapedalda, Dinas Pariwisata, dll. Anggota CCEB dari unsur non pemerintah diharapkan seperti perwakilan dari Kepala Desa, Nelayan, Wanita, Pemuka Masyarakat/Tokoh Adat, Tokoh Agama, Guru, LSM, Perguruan Tinggi dan Swasta. Tugas dan tanggungjawab CCEB meliputi: - Memberikan masukan/saran dalam penyusunan kebijakan dan Rencana Strategis (Renstra) Pengelolaan Terumbu Karang Daerah - Mereview rencana kerja tahunan dan anggaran biaya dari PMU dan memberikan rekomendasi kepada PMU untuk diusulkan dan dibahas dengan Panitia Anggaran /Komisi Teknis DPRD. - Menyediakan rekomendasi untuk pelaksanaan dari aktifitas COREMAP II, sejalan dengan dokumen program.

106 - Menganalisis masukan dan opini dari masyarakat terhadap pelaksanaan proyek COREMAP II, dan menyampaikan saran perbaikannya kepada PMU. - Mengkoordinir dan menggerakkan dukungan pemerintah kabupaten dan non pemerintah untuk mensukseskan pelaksanaan program. - Memantau kesesuaian sarana, prasarana dan jasa kebutuhan program COREMAP II. - Mengkoordinasikan kegiatan COREMAP II dengan program yang lain. - Memonitor kemajuan pelaksanaan program COREMAP II di kabupaten. - Memberikan informasi yang dibutuhkan ke DPRD dan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya. 4. PMU COREMAP II. Tugas dan tanggungjawab PMU meliputi: - Menyusun rencana tahunan dan direview oleh CCEB - Mengkoordinasikan dan melaksanakan kegiatan COREMAP II di Kabupaten dengan arahan CCEB. - Memonitor dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan COREMAP II di Kabupaten dan menyampaikan laporan pelaksanaan ke Kementrian Kelautan dan Perikanan. - Melaksanakan kegiatan penelitian terumbu karang dan pelatihan. - Melaksanakan kegiatan Penguatan SDM dan Kelembagaan, pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat, penyadaran masyarakat, pengelolaan kawasan konservasi laut (MCA) and Monitoring, Control and Surveillance (MCS) - Mendukung proses penegakan hukum di masyarakat (law enforcement). 5. Pemerintah Kecamatan. Peran dari Pemerintah Kecamatan antara lain dapat mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, memberikan masukan terkait pengelolaan serta pengambilan keputusan dan kebijakan dalam pengelolaannya. 6. Pemerintah Desa. Pemerintah desa dalam hal ini Kepala Desa diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam program dan kegiatan pengelolaan terumbu karang di desanya sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam pemantauan dan evaluasi; mengangkat Motivator

107 Desa dan Pengurus Pokmas sesuai hasil musyawarah dan kesepakatan masyarakat; bersama-sama dengan masyarakat dan Badan Perwakilan Desa (BPD) menyusun Peraturan Desa yang berkaitan dengan Program Pengelolaan Terumbu Karang, termasuk juga mensyahkan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu yang disusun oleh masyarakat untuk diajukan PMU COREMAP II Kabupaten serta menjadi penengah yang objektif bila terjadi perselisihan dalam masyarakat berkaitan dengan kegiatan pengelolaan terumbu karang termasuk memberikan sanksi bila terjadi pelanggaran terhadap Peraturan Pengelolaan Terumbu Karang yang telah ditetapkan 7. BPD. BPD diharapkan dapat ikut aktif memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu; bersama-sama dengan Pemerintah Desa menyusun dan mensyahkan berbagai peraturan yang diperlakukan dalam program pengelolaan terumbu karang; bersama-sama dengan masyarakat dan Kepala Desa mensyahkan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu (RPTK Terpadu) yang telah disusun oleh masyarakat; ikut melakukan pengawasan terhadap implementasi RPTK terpadu, termasuk memantau penggunaan dana bantuan desa oleh Pokmas. 8. LPSTK. Beberapa tugas dari LPSTK ini antara lain: - Menerima dan menyalurkan dana bantuan desa untuk pembangunan Prasarana sosial (village grant fund) kepada masyarakat. - Mencatat dan mendokumentasikan kegiatan Pokmas. - Membukukan penggunaan dana bantuan. - Membantu pembuatan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). - Membantu mengatasi penyelesaian Pokmas bermasalah. - Melakukan pemeriksaan pembukuan Pokmas. - Berperan sebagai tim verifikasi dalam memeriksa usulan proposal Pokmas. - Membantu melakukan identifikasi seluruh potensi dan mengembangkan investasi usaha Pokmas. - Membantu menyeleksi lembaga keuangan penyalur seed fund desa dan village grant.

108 - Mengevaluasi kinerja kerja Motivator Desa dan melakukan pelaporan ke PMU. - Mengelola pusat/pondok informasi masyarakat. - Membuat pelaporan pelaksanaan RPTK kepada pemerintah desa. 9. Ponggawa dan Nelayan. Ponggawa dan nelayan merupakan bagian dari masyarakat pesisir dan lautan yang menggantungkan hidupnya terhadap potensi pesisir dan lautan. Peran ponggawa dan nelayan antara lain pendukung pelaksanaan program pengelolaan pesisir dan lautan yang diharapkan dapat memberikan masukan terhadap program tersebut demi terwujudnya perbaikan ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat; pemanfaat dan pelaksana dalam pengelolaan DPL. 10. Tokoh agama. Peran tokoh agama disini antara lain menyampaikan dan menyebarkan ajaran dan ajakan menjaga lingkungan, termasuk pesisir dan lautan melalui dakwah. 11. Perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat dijadikan mitra dalam kajian pengelolaan sumberdaya perikanan dan lautan sebagai rekomendasi pengambilan keputusan dan kebijakan. 12. Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Peran dari pokmas ini antara lain melakukan patroli secara teratur pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan; mengamati, mencatat, dan melaporkan setiap terjadinya pelanggaran atau kegiatan perusakan terumbu karang; mengisi log book setiap selesai melaksanakan patroli dan melaporkannya kepada LPSTK dan fasilitator; melakukan perawatan berbagai peralatan termasuk perahu dan melaporkannya segera kepada fasilitator bila terjadi kerusakan. 13. Guru. Guru berperan memberikan pendidikan pesisir dan lautan. Di Desa Mattiro Deceng baik di Pulau Badi maupun di Pulau Pajjenekang telah diajarkan muatan lokasl tentang pesisir dan lautan. Adapun materi muatan lokal diproduksi oleh LIPI bekerjasama dengan Kementrian Pendidikan Nasional. 14. SETO. Fasilitator senior (SETO) adalah tenaga yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi manajerial pengelolaan berbasis masyarakat di kabupaten dan berperan dalam mengarahkan, mendukung, dan membantu kelancaran

109 pelaksanaan seluruh kegiatan dan fasilitator masyarakat di desa. SETO membawahi beberapa desa lokasi COREMAP II. 15. Fasilitator Masyarakat. Fasilitator Masyarakat/Community Facilitator (CF) adalah orang yang ditunjuk untuk menjalankan peran pendampingan bagi masyarakat desa dan melaksanakan sebagian besar kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat bersama-sama dengan masyarakat di desa. Fasilitator ini membawahi beberapa pulau lokasi COREMAP II. 16. Motivator Desa. Motivator Desa (MD) adalah warga desa terpilih yang bertugas untuk memfasilitasi atau memandu masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan tahapan Pengelolaan Berbasis Masyarakat di desa dan kelompok masyarakat pada tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan maupun pemeliharaan. Tiap desa diwakili oleh dua orang MD yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan. 17. PT Mars Symbioscience. PT Mars Symbioscience merupakan pihak swasta yang bekerjasama dengan Program Mitra Bahari untuk melakukan suatu pilot project budidaya kuda laut, teripang, lola dan abalone. Peran PT ini adalah untuk mendorong masyarakat dapat menciptakan mata pencaharian alternatif berupa budidaya sehingga tidak tergantung pada penangkapan langsung di laut. 18. PKK, Karang Taruna dan Bidan/poliklinik. PKK dan Karang Taruna sebagai wahana bagi ibu-ibu dan remaja untuk meningkatkan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, antara lain membantu kegiatan ekonomi keluarga melalui pengolahan produk hasil perikanan. Bidan merupakan tenaga medis yang diandalkan oleh masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan.

110 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Tahapan pembentukan dan pengelolaan DPL antara lain sosialisasi awal pembentukan DPL, survei lokasi calon DPL dan penetapan lokasi DPL, penetapan Perdes, pemasangan tanda batas DPL, penyelenggaraan pelatihan dan studi banding, pembentukan kelompok pengelola, pengawasan DPL, monitoring dan evaluasi dampak DPL. 2. Dampak DPL terhadap ekologi terumbu karang antara lain adanya peningkatan tutupan karang hidup, penurunan indeks mortalitas karang, peningkatan kelimpahan ikan dengan indeks keanekaragaman dan keseragaman ikan tergolong tinggi serta tidak adanya dominansi spesies ikan tertentu. 3. Dampak DPL terhadap ekonomi masyarakat adalah adanya persepsi masyarakat bahwa keberadaan DPL belum dapat meningkatkan atau belum mempengaruhi tingkat pendapatan dan hasil tangkapan masyarakat. 4. Dampak DPL terhadap sosial masyarakat adalah adanya persepsi yang cukup baik terhadap sumberdaya dan DPL, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dan peran pemerintah yang cukup baik dalam pembentukan dan pengelolaan DPL. 5. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL antara lain (i) peran pemerintah dalam pembentukan dan pengelolaan DPL, (ii) partisipasi masyarakat dalam pembentukan DPL, (iii) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL, (iv) persepsi masyarakat terhadap potensi sumberdaya dan DPL, (v) output/manfaat DPL untuk ekowisata dan penelitian, (vi) output/manfaat DPL terhadap kondisi ekologi dan pendapatan, (vii) konflik masyarakat, (viii) output/manfaat terhadap hasil tangkapan dan (ix) pendanaan. 6. Analisis stakeholder menunjukkan peran pemerintah yang kuat dan penting dalam pengelolaan DPL dan belum memberdayakan masyarakat yang ditandai dengan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah.

111 5.2 Saran Saran yang dapat kami sampaikan terkait pengelolaan DPL antara lain: 1. Kajian tentang penyebaran larva ikan untuk mengetahui proses recruitment di DPL dan proses penyebaran larva dan ikan dari DPL ke daerah luar DPL. 2. Peningkatan awareness dan partisipasi masyarakat nelayan dalam pengelolaan DPL sehingga ketika COREMAP II berakhir, masyarakat dapat mengelola secara berkelanjutan, seperti penguatan kelembagaan, pengawasan, penegakan aturan, monitoring dan evaluasi DPL. 3. Pengembangan wisata selam di Pulau Badi mengingat kondisi terumbu karang dapat dikategorikan baik. Pengembangan wisata ini dapat disinergiskan dengan kegiatan Festival Muharram dan Mandi Shafar di Pulau Pajjenekang.

112 DAFTAR PUSTAKA Adrim M, Hutomo M dan Suharti SR Chaetodonoid Fish Community Structure and Its Relation to Reef Degradation at The Seribu Islands Reefs, Indonesia. Proceeding of Regional Symposium on Living Resources in Coastal Areas. Phillippine. Alhanif R Assessment for The Establishment of Community Based Marine Protected Area: Case Study at Pulau Abang Village, Batam Municipality, Kepulauan Riau Province, Indonesia [Tesis]. Aarhus University. Denmark. Allen GR Marine Fishes of Southeast Asia. Kaleidoscope Print and Prepress. Periplus Edition, Perth, Western Australia. Allen GR dan Steene R Indo-Pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research Publ. Perth, Western Australia. p Anwar J, Whitten AJ, Damanik SJ dan Hisyam N Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Badrudin SR, Suharti, Yahmantoro dan Suprihanto I Indeks Keanekaragaman Hayati Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) di Perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Jurnal Pendidikan Perikanan Indonesia 9 (7): Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Barnes DR Invertebrate Zoology (Fourth ed.). Holt-Sounders International Editions. Tokyo. Barus TA Pengantar Limnologi: Studi tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU Press. Bell JD dan Galzin R Influence of Live Coral on Coral-Reef Fish Communities. Mar. Ecol. Prog. 15: Berkes FR, Mahon R, McConney P, Pollnac RB dan Pomeroy RS Managing Small-scale Fisheries: Alternative Directions and Methods. International Development Research Centre. Canada. Bohnsack JA The Potential of Marine Fishery Reserves for Reef Fish Management in The U.S. Southern Atlantic. Miami: NOAA Tech. Memo NMFS-SEFC pp. Bouchon-Navaro, Louis M dan Bouchon C Trends in Fish Species Distribution in The West Indies. Proceeding of 8 th International Coral Reef Symposium (I), Panama:

113 Bromley DW Environmental Problems in South-east Asia: Property Regimes as Cause and Solution. International Development Research Center, Ottawa, Canada: 2-5. Brown DN dan Pomeroy RS Co-management of CARICOM (Carribean Community) Fisheries. Marine Policy 23: Buxton CD dan Smale MJ Abundance and Distribution Patterns of Three Temperate Marine Reef Fish (Teleostei: Sparidae) in Exploited and Unexploited Areas off The Southern Cape Coast. J. Appl. Ecol. 26, Chabanet P, Palanibondrainy H, Amanieu M, Faure G dan Galzin R Relationship between Coral Reef Substrate and Fish. Coral Reefs (16): Charles AT Towards Sustainability: The Fishery Experience. Ecological Economic 11: Chetwynd E.Jr dan Chetwynd JF A Practical Guide Citizen Participation in Local Government in Romania, RTI. Choat JH The Biology of Herbivorous Fishes on Coral Reef in The Ecology of Fishes on Coral Reefs, Sale PF (Eds). Department of Zoology University of New Hamshire Durham. Choat JH dan Bellwood DR Reef Fishes: Their History and Evolution in The Ecology of Fishes on Coral Reefs, Sale PF (Eds). Department of Zoology University of New Hamshire Durham. Christie P, White AT dan Deguit E Starting Point or Solution? Community-Based Marine Protected Areas in Philippines. Journal of Environmental Management 66: Crawford B, Balgos M dan Pagdilao CR Community-Based Marine Sanctuaries in The Philippines: A Report on Focus Group Discussion. Coastal Resources Center, University of Rhode Island; Philippine Council for Aquatic and Marine Research and Development. Crawford B, Kasmidi M, Korompis F dan Pollnac RB Factor Influencing Progress in Establishing Community-Based Marine Protected Areas in Indonesia. Coastal Management 34: COREMAP II Assessment Potensi Sumberdaya Desa dengan Metode Penilaian Secara Partisipatif (PRA/Participatory Rural Appraisal). Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep: PMU COREMAP II Kabupaten Pangkep.

114 COREMAP II Manual Tata Kerja Kelembagaan COREMAP II (Governance Manual). Departemen Kelautan dan Perikanan: NCU COREMAP II. Jakarta. COREMAP II Penandaan DPL. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep: PMU COREMAP II Kabupaten Pangkep. COREMAP II Penelitian Tingkat Kabupaten: Penyusunan Profil Pulaupulau Kecil Kabupaten Pangkep. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep: PMU COREMAP II Kabupaten Pangkep. COREMAP II Survey Awal untuk Seleksi Lokasi Pemanfaatan Ikan Karang Hias. Departemen Kelautan dan Perikanan: NCU COREMAP II. Jakarta. COREMAP II Monitoring Kondisi Terumbu Karang Berbasis Masyarakat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep: PMU COREMAP II Kabupaten Pangkep. Cowley PD, Brouwer SL dan Tilney RL The Role of The Tsitsikamma National Park in The Management of Four Shore-angling Fish along The South-eastern Cape Coast of South Africa. S. Afr. J. Mar. Sci. 24, Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dartnall AJ dan Jones M A Manual of Survey Methods for Living Resources in Coastal Area: ASEAN-Australia Cooperative Program in Marine Science. Australian Institute of Marine Science. Departemen Kelautan dan Perikanan Statistik Perikanan Tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. Diaz-Pulido G dan McCook LJ Makroalgae (Seaweeds) in China, (ed). The State of The Great Barrier Reef. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville. publications/sotr/downloads/sorr_makroalgae.pdf. [11 Januari 2010]. Djamali A dan Mubarak H Sumberdaya Ikan Konsumsi Perairan Karang. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia, Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. LIPI. Jakarta. English S, Wilkinson C dan Baker V Survey Manual for Tropical Marine Resources, 2 nd Edition. ASEAN Australia Marine Science Project Living Coastal Resources. Australia. Fauzi A Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia. Jakarta.

115 Fauzi A dan Anna S Assessment of Sustainability of Integrated Coastal Management Project: A CBA-DEA Approach. Jurnal Pesisir dan Lautan, Special Edition, No. 1. Francour P The Effect of Protection Level on a Coastal Fish Community at Scandola. Corsica. Rev. Ecol. Terre Vie 46: Friedenberg dan Lisa Psychological Testing, Design, Analysis and Use. Allyn and Bacon Press. Gomez ED dan Yap HT Monitoring Reef Condition in Kenchington, R. A dan B. E. T Hudson (Eds): Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology. Guilford JP Psychometric Methods. Tata McGraw Hill Publishing Company Limited. Goni R, Quetglas A dan Renones O Effects of Protection on The Abundance and Distribution of Red Lobster (Palinurus elephas, Fabricius, 1787) in The Marine Reserve of Columbretes Islands (Western Mediterraneo) and Surrounding Areas in First International Workshop in Marine Reserves, Murcia, Spain 1999, pp Ministerio de Agricultura, Pesca y Alimentacio n, Spain. Heemstra PC dan Randall JE FAO Species Catalogue. Vol.16. Grouper of The World (Family Serranidae, Sub Family Epinephelidae). Hill J dan Wilkinson C Methods For Ecological Monitoring of Coral Reefs: A Resource for Managers. Version 1. Australian Institute of Marine Science (AIMS), Townsville, Australia. 117 p. Hinrichsen D Coastal Waters of The World: Trends, Threats, and Strategies. Island Press, Washington, DC: 2-3. Husain AAA dan Arniati Studi dan Evaluasi Tingkat Keanekaragaman Jenis Ikan Terumbu Karang di Perairan Pulau Samalona, Kecamatan Mariso, Ujung Pandang. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Hutomo M Coral Reef Fish Community. Training Course in Coral Reef Research Methods and Management (2). SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Hutomo M Coral Reef Fish Resources and Their Relation to Reef Condition: Some Case Studies in Indonesian Waters. Coral Reef Management in Southeast Asia. Biotrop Spec. Publ. (29): Hutomo M Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta.

116 Jompa J dan McCook LJ The Effects of Nutrient and Herbivory on Competition Between A Hard Coral (Porites cylindrica) and A Brown Alga (Lobophora variegata). Limnol. Oceanogr. 47 (2): Jones GP Postrecruitment Processes in The Ecology of Coral Reef Fish Population: A Multifactorial Perspective in The Ecology of Fishes on Coral Reefs in Sale PF (Eds). Department of Zoology University of New Hamshire Durham. Jones GP, Srinivasan M dan Almany GR Population Connectivity and Conservation of Marine Biodiversity. Oceanography 20 (3): Kuiter RH Tropical Reef-Fishes of The Western Pacific, Indonesia and Adjacent Waters. PT Gramedia Pustaka Utama. Kvalvagnaes K Ornamental Fish Trade in Indonesia. Field Report UNDP/FAO National Parka Development Project INS/78/061: 31. Ladrizabal S Beyond The Refugium: A Makroalgal Primer. Reefkeeping Magazine Vol. 5. Issues [11 Januari 2010]. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Manual Monitoring Kesehatan Karang (Reef Health Monitoring). LIPI. Jakarta. Lieske E dan Myers R Reef Fishes of The World. Periplus Edition, Singapore. Matsuda AK, Amoka C, Uyeno T dan Yoshiro T The Fishes of The Japanese Archipelago. Tokai University Press. McCook LJ Competition between Corals and Algal Turfs along Gradient of Terestrial Influence in The Nearshore Central Great Barrier Reef. Coral Reefs 19: McWilliams D dan Hatcher AT Structure of Fish Communities on Outer Slopes of Inshore, Mid-self and Outer Shelf Reefs of The Great Barrier Reef. Mar. Ecol. Prog. Ser. 10: 23. Montgomery WL, Gerrodete T dan Marshall LD Effect of Grazing by The Yellowtail Surgeonfish Prionarus punctatus on Algal Communities in The Gulf of California. Mexico. Bulletin Marine Science 30 (4): Morrisey J Primary Productivity of Coral Reef Benthic Makroalgae. Proceeding of The Fifth International Coral Reef Congress, Tahiti. Vol. 5.

117 Muttaqin E Kondisi Ekosistem Terumbu Karang pada Tahun 2002 dan Tahun 2005 di Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi Lampung [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nikijuluw VPH Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Normann AK, Raakjaer-Nielsen J dan Sverdrup-Jensen S (Eds) Fisheries Co-management in Africa: Proceedings from A Regional Workshop on Fisheries Co-management Research. Institute for Fisheries Management, North Sea Centre, Hirtshals, Denmark. Nybakken JW Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta. Odum EP Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Pollnac RB dan Crawford BR Discovering Factors that Influence The Success of Community-Based Marine Protected Areas in The Visayas, Philippines. Ocean and Coastal Management 44 (11-12): Pollnac RB dan Crawford BR Factors Influencing The Sustainability of Integrated Coastal Management Projects in The Philippines and Indonesia. Ocean and Coastal Management 48: Pomeroy RS Community-based and Co-management Institutions for Sustainable Coastal Fisheries Management in Southeast Asia. Ocean and Coastal Management 27(3): Pomeroy RS dan Berkes F Two to Tango: The Role of Government in Fisheries Co-management. Marine Policy 21(5): Pomeroy RS dan Carlos MB Community-Based Coastal Resources Management in The Philippines: A Review and Evaluation of Program and Projects, Marine Policy 21: Pomeroy RS dan Pido M Initiatives Toward Fisheries Co-management in The Philippines: The Case of San Miguel Bay. Marine Policy 19: Pomeroy RS, Pollnac RB, Katon BM dan Predo CD Evaluating Factors Contributing to The Success of Community-Based Coastal Resources Management: The Central Visayas Regional Project-1, Philippines. Ocean and Coastal Management 36 (1-3): 97. Prayudha B dan Petrus M Studi Baseline Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut: Pangkajene Kepulauan. COREMAP II LIPI. Jakarta.

118 Roberts CM dan Polunin NVC Are Marine Reserves Effective in Management of Reef Fisheries. Rev Fish Biol Fisheries 1: Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM dan Franke MA Coral Reef Monitoring Manual for The Caribbean and Western Atlantic. Virgin Islands National Park. St. John. USVI Russ GR Coral Reef Fisheries: Effects and Yield in The Ecology of Fishes on Coral Reefs in Sale PF (Eds). Department of Zoology University of New Hamshire Durham. Russ GR, Alcala AC, Maypa AP, Calumpong HP dan White AT Marine Reserve Benefits Local Fisheries. Ecological Application 14 (2): Sale PF Reef Fish Communities: Open Non-equilibrial Systems in The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press Inc., San Diego- Toronto. Pp Salm RV, Clark JR, dan Sirilia E Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Washington DC. Santosa PB dan Ashari Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS. Penerbit Andi. Jogyakarta. Satria A Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT Pustaka Cidesindo. Jakarta Satria A Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Bogor. Schmeer K Stakeholder Analysis Guidelines in Policy Toolkit for Strengthening Health Sector Reform. Abt Associates, Inc., Bethesda, MD. Singarimbun M dan Effendi S Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Sorokin YI Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. Berlin. Heidelberg. 465 pp. Sovacool KE A Stakeholder Analysis of The Creation of High Seas Marine Protected Areas within The Antarctic Threaty System [Tesis]. Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University. Suharsono Jenis-jenis Karang di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. LIPI. Jakarta. Tulungen JJ, Bayer TG, Crawford BR, Dimpidus M, Kasmidi M, Rotinsulu C, Sukmara A dan Tangkilisan N Panduan Pembentukan dan

119 Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. DKP-RI dan University of Rhode Island, Coastal Resources Center. Jakarta, Indonesia. Wantiez L, Thollot P dan Kulbicki M Effects of Marine Reserves on Coral Reef Fish Communities from Five Islands in New Caledonia. Coral Reefs 16: White AT dan Vogt HP Philippine Coral Reefs under Threat: Lesson Learned after 25 Years of Community-Based Reef Conservation. Marine Pollution Bulletin 40:

120 LAMPIRAN

121 Lampiran 1. Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 PEMERINTAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN KECAMATAN LIUKANG TUPPABIRING DESA MATTIRO DECENG Alamat: Pulau Badi PERATURAN DESA MATTIRO DECENG NOMOR: 01 TAHUN 2007 TENTANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA MATTIRO DECENG Menimbang : a. bahwa daerah perairan Desa Mattiro Deceng memiliki kekayaan sumberdaya alam berupa ikan dan biota laut lainnya yang dapat member kesejahteraan masyarakat desa; b. bahwa kekayaan sumberdaya alam tersebut perlu dipelihara dan dilestarikan, sehingga dapat menopang kemampuan lingkungan perairan desa secara berkelanjutan; c. bahwa dengan pertimbangan pada huruf a dan b, perlu dibentuk Peraturan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

122 Lampiran 1 (lanjutan) Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); sebagaimana telah diubah pertama dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493); yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) kedua dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888); 6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 7. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4857); 9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa; 10. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.38/Men/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang; 11. Peraturan Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Nomor 10 Tahun 2001, tentang Larangan Pengusahaan dan Pengrusakan Terumbu Karang (Lembaran Daerah Tahun 2001 Nomor 53); 12. Peraturan Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Nomor 6 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir; 13. Peraturan Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

123 Lampiran 1 (lanjutan) Nomor 4 Tahun 2008, tentang Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 4). Dengan Persetujuan Bersama BADAN PERMUSYAWARATAN DESA MATTIRO DECENG Dan KEPALA DESA MATTIRO DECENG MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DESA TENTANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Desa ini yang dimaksud dengan: 1. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa Mattiro Deceng dan Perangkat Desa Mattiro Deceng Kecamatan Liukang Tuppabiring; 3. Masyarakat Desa adalah seluruh penduduk desa; 4. Kelompok Pengelola atau dengan sebutan lain adalah suatu lembaga atau organisasi berbasis masyarakat yang memiliki komitmen dan usaha untuk mengelola dan melindungi sumberdaya pesisir dan laut secara lestari dan berkelanjutan; 5. Daerah Perlindungan Laut yang selanjutnya disebut DPL adalah sebagian wilayah perairan desa yang disetujui oleh masyarakat untuk dilindungi dan ditutup secara permanen terhadap berbagai kegiatan penangkapan, pengambilan dan/atau pemeliharaan biota laut, serta jalur transportasi laut; 6. Orang adalah setiap orang perseorangan dan/atau badan hukum.

124 Lampiran 1 (lanjutan) BAB II TUJUAN DAN MANFAAT DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Pasal 2 Pembentukan DPL bertujuan untuk: a. menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa; b. menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa; dan c. meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pasal 3 Pembentukan DPL bermanfaat untuk: a. mempertahankan produksi ikan dalam DPL b. menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa; c. tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan; d. laboratorium alam untuk penelitian; e. sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa; dan f. tujuan wisata. BAB III LOKASI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Pasal 4 (1) Lokasi DPL dilengkapi dengan batas berupa tanda-tanda alam dan/atau tandatanda lain serta papan informasi yang mudah diketahui masyarakat. (2) Lokasi DPL dituangkan dalam peta dengan skala tertentu seperti tersebut pada Lampiran Peraturan Desa ini. BAB IV KEWAJIBAN DAN HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN Pasal 5 (1) Setiap penduduk desa wajib menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian DPL; (2) Setiap penduduk desa dan/atau kelompok mempunyai hak dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam DPL;

125 Lampiran 1 (lanjutan) (3) Setiap orang atau kelompok yang akan melakukan kegiatan dan/atau aktivitas dalam DPL, harus terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Kelompok Pengelola; (4) Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam DPL adalah kegiatan orang-perorang dan/atau kelompok, berupa penelitian, pendidikan dan wisata dengan terlebih dahulu melapor a. melapor dan memperoleh ijin dari Kelompok Pengelola; dan b. membayar biaya pengawasan dan perawatan, yang akan ditentukan kemudian oleh Kelompok Pengelola. BAB V HAL-HAL YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN/DILARANG Pasal 6 Segala bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan perusakan lingkungan dilarang dilakukan di DPL Pasal 7 Kegiatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dalam zona DPL sebagai berikut: a. melintasi/melewati/menyeberang DPL kecuali keadaan darurat; b. memancing/menangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap; c. mengambil biota laut, tumbuhan dan karang yang hidup ataupun mati; d. menggunakan lampu di dalam DPL pada malam hari dengan maksud menarik ikan; e. melakukan budidaya rumput laut, ikan karang dan ikan lainnya di dalam DPL; f. menempatkan bagan di dalam DPL; g. membuang jangkar di dalam DPL; h. membuang sampah di dalam DPL; dan i. melakukan penambangan di dalam DPL. BAB VI KELOMPOK PENGELOLA Pasal 8 Dalam mengelola DPL dapat dibentuk Kelompok Pengelola atau dengan sebutan lain yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa dengan uraian tugas: a. membuat perencanaan pengelolaan DPL dengan persetujuan masyarakat; b. mengelola DPL secara berkelanjutan;

126 Lampiran 1 (lanjutan) c. menjaga kelestarian dan pemanfaatan DPL untuk kepentingan masyarakat; d. melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran; e. melakukan perampasan atas barang dan/atau alat-alat yang dipergunakan oleh pelanggar; f. memberikan laporan keadaan DPL secara periodik kepada Kepala Desa. Kepengurusan Kelompok Pengelola atau dengan sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat terdiri dari: a. Ketua; b. Sekretaris; c. Bendahara; d. Urusan Pendidikan dan Informasi; e. Urusan Pemantauan dan Pengawasan. BAB VII PENGAWASAN Pasal 10 (1) Seluruh masyarakat desa ikut bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap DPL; (2) Pengawasan terhadap DPL dapat dilakukan oleh Kelompok Pengawasan Masyarakat; (3) Setiap anggota masyarakat berkewajiban melaporkan kepada Kelompok Pengelola atau Pemerintah Desa, apabila mengetahui terdapat tindakantindakan perusakan lingkungan dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh orang-perorangan dan/atau kelompok BAB VIII PENDANAAN Pasal 11 Untuk memelihara, menjaga dan membangun DPL, Pemerintah Desa dapat memperoleh dana dari: a. bantuan dan partisipasi pemerintah dan/atau pemerintah daerah; b. bantuan pihak-pihak lain yang tidak mengikat; c. iuran masyarakat desa; d. denda yang diperoleh dari setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan Desa ini; dan e. perolehan hasil pengelolaan DPL.

127 Lampiran 1 (lanjutan) BAB IX SANKSI Pasal 12 (1) Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dikenakan sanksi tingkat pertama berupa: a. permintaan maaf oleh pelanggar; b. mengembalikan semua hasil yang diperolehnya dari DPL Kepada desa; dan c. menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran tersebut di hadapan aparat desa, Kelompok Pengelola dan masyarakat. (2) Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran kedua kalinya yang terbukti melanggar ketentuan pada ayat (1), dikenakan sanksi tingkat kedua, berupa: a. denda dengan sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian oleh Kelompok Pengelola; dan b. menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan DPL. (3) Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran ketiga kalinya yang terbukti melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi tingkat: a. denda dengan sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian oleh kelompok pengelola; b. menyita semua peralatan yang akan dipakai dalam pelanggaran aturan DPL; dan c. diwajibkan melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan masyarakat seperti: 1. kerja bakti; 2. membetulkan MCK umum; atau 3. sanksi lain yang kemudian ditentukan kepala desa/atau masyarakat desa. (4) Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran ketentuan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) lebih dari tiga kali, dikenakan sanksi: a. Sesuai ketentuan pada ayat (3); dan b. Diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan c. Selain sanksi sebagaimana tersebut pada ketentuan ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dapat dikenakan sanksi adat yang masih diakui masyarakat

128 Lampiran 1 (lanjutan) BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Desa ini lebih lanjut diatur dengan Peraturan Kepala Desa dan /atau Keputusan Desa Pasal 14 Peraturan Desa ini dimulai sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Desa ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Diundangkan di Pangkajene Pada tanggal 05 Desember 2007 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN H.A SURYA AGRARIA BERITA DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN NOMOR.TAHUN 2007

129 Lampiran 1 (lanjutan) Lampiran Koordinat Titik Penempatan Pelampung Tanda Batas Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Pulau Badi Desa Mattiro Deceng Pulau Titik Pelampung LS Posisi BT Keterangan I Badi II III Barat Daya Pulau Luas DPL: Ha IV

130 Lampiran 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas Kode Validitas Reliabilitas Koef Titik Kritis Keterangan Koef Keterangan Input pengelolaan DPL X valid X valid X valid X valid X valid X valid X valid X valid Proses pengelolaan DPL Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Y valid Output pengelolaan DPL Z valid Z valid Z valid Reliabel Reliabel Reliabel

131 Lampiran 2 (lanjutan) Kode Validitas Reliabilitas Koef Titik Kritias Keterangan Koef Keterangan Z valid Z valid Z valid Z valid Reliabel Z valid Z valid Z valid Z valid

132 Lampiran 3. Gambar kondisi terumbu karang DPL

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Tipe Terumbu Karang dan Pembentukannya 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN Kab.Maros Kab. Barru Kab. Pangkejene & Kepulauan 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April - Mei 2010 di Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tuppabiring,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: WIDYARTO MARGONO C64103076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

PENGENALAN BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAN STRUKTUR RANGKA KAPUR KARANG

PENGENALAN BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAN STRUKTUR RANGKA KAPUR KARANG PENGENALAN BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAN STRUKTUR RANGKA KAPUR KARANG 1. Pembentukan Terumbu Karang Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu,

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN

KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN Adelfia Papu 1) 1) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi Manado 95115 ABSTRAK Telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Diterima : 5 Juni 2012 : ABSTRAK

Diterima : 5 Juni 2012 : ABSTRAK Diterima : 5 Juni 2012 E-mail : kiranagustina@gmail.com ABSTRAK Kirana Agustina (Dibimbing oleh: Otong Suhara and Ayi Yustiati). 2012. Dampak Penguatan Berbasis Masyarakat Terhadap Kondisi Terumbu Karang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional UNIT PELAKSANA TEKNIS DITJEN KP3K UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Sekretariat Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem

Lebih terperinci

Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo

Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo Indrawan Mifta Prasetyanda 1505 100 029 Tugas Akhir (SB 091358) Pembimbing:

Lebih terperinci

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus Kepulauan Seribu)

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus Kepulauan Seribu) 2004 Rosmawaty AN P:osted 21 December 2004 Sekolah Pascasarjana IPB Makalah Pribadi Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program S3 Desember 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penaggung Jawab)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Pelestarian Terumbu Karang untuk Pembangunan Kelautan Daerah Berkelanjutan

Pelestarian Terumbu Karang untuk Pembangunan Kelautan Daerah Berkelanjutan Pelestarian Terumbu Karang untuk Pembangunan Kelautan Daerah Berkelanjutan Faizal Kasim **) *) *) Makalah Penyuluhan Kemah Bhakti UNG Desa Olele, 27 November 2011 **) Dosen Prog. Studi Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

Karakteristik Pulau Kecil: Studi Kasus Nusa Manu dan Nusa Leun untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Maluku Tengah

Karakteristik Pulau Kecil: Studi Kasus Nusa Manu dan Nusa Leun untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Maluku Tengah Karakteristik Pulau Kecil: Studi Kasus Nusa Manu dan Nusa Leun untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Maluku Tengah Ilham Marasabessy 1 Coauthor Achmad Fahrudin 1, Zulhamsyah Imran 1, Syamsul Bahri Agus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci