FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL"

Transkripsi

1 FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat AMIRUDDIN TAHIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juni 2010 Amiruddin Tahir C

3 ABSTRACT AMIRUDDIN TAHIR. Formulation of Environmental Vulnerability Index for Small Islands: Case of Kasu Island-Batam, Barrang Lompo Island-Makasar, and Saonek Island-Raja Ampat. Under supervisor by MENNOFATRIA BOER, SETYO BUDI SUSILO, and INDRA JAYA. Indonesian archipelago consist of strings of island, large and small. Small islands, in particularly, are vulnerable to the impact of global warming and sea level rise. The vulnerability of assessment of small islands is important and critical sustainable small island management. The present research aims to formulate the environmental vulnerability index for small islands, to analize the parameters of environmental vulnerability, to simulate and to predict the vulnerability dynamic of continue existance of small islands, to predict small islands inundation, and to develop the adaptation strategies for small islands. The assessment was carried out on three different small island that are Kasu Island located in Batam, Barrang Lompo Island located in Makasar, and Saonek Island located in Raja Ampat to formulate its index of vulnerablity. To support the assessment, data were collected through direct observation and measurement of various parameters such as elevation, coral reef, mangrove and sea grass. In addition depth interview was carried out to collect the social economic data. The principle of data analysis is by mean of transformation of quantitative and qualitative data into scoring value to produce the small island vulnerability index. The results showed that vulnerability index for Kasu Island is 2.44 (low), Barrang Lompo Island is 7.67 (moderate), and Saonek Island is 6.18 (moderate); coastal inundation until 2100 reach 84 % the land area for Barrang Lompo Island, 39 % for Saonek Island and % for Kasu Island. The suggested adaptation strategies are conservation of 50 % of coastal habitat, sea wall construction and resettlement. Key words: Small island, vulnerability, exposure, sensitivity, adaptive capacity, index.

4 RINGKASAN AMIRUDDIN TAHIR. Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, SETYO BUDI SUSILO, dan INDRA JAYA Perubahan iklim global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Kerentanan merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian banyak pihak dalam pembangunan pulaupulau kecil. Negara-negara yang tergolong dalam Small Island Development State memberikan perhatian yang serius terhadap kajian kerentanan pulau-pulau kecil. Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana sebagian besar pulaunya adalah pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum memiliki indeks kerentanan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah (1) memformulasikan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, (2) menganalisis parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil terkait dengan kenaikan muka laut; (3) menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan memproyeksikan perubahan kerentanan lingkungan pada masa yang akan datang; (4) memperkirakan perendaman daratan pulau akibat kenaikan muka laut; dan (5) merancang strategi adaptasi berdasarkan karakteristik lingkungan pulau-pulau kecil. Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapangan dan pengumpulan data sekunder. Analisis data terdiri dari (1) analisis ekosistem dan sumberdaya pulaupulau kecil. Melalui analisis ini diperoleh gambaran umum tentang kondisi ekosistem dan sumberdaya pesisir di pulau-pulau kecil; (2) analisis karakteristik fisik dan sosial masyarakat. Hasil dari analisis ini adalah gambaran umum karakteristik fisik pulau seperti ketinggian pulau di atas permukaan laut, kelerengan pulau, dan karakteristik sosial masyarakat termasuk persepsi masyarakat, infrastruktur yang ada di pulau-pulau kecil; (3) analisis kecenderungan kenaikan muka laut, termasuk erosi pantai. Analisis ini menghasilkan informasi tentang kecenderungan kenaikan muka laut; dan (4) analisis kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Hasil yang didapatkan dari analisis ini adalah informasi terkait dengan dinamika kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Setelah dilakukan overlay terhadap hasil analisis didapatkan keluaran dari penelitian berupa indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan strategi adaptasi pulau-pulau kecil. Untuk menentukan parameter kerentanan lingkungan digunakan pendekatan VSD (vulnerability scoping diagram), dimana terdapat 17 parameter yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu kenaikan muka laut, erosi pantai, tinggi gelombang, rata-rata tunggang pasang, kejadian tsunami, pertumbuhan dan kepadatan penduduk, elevasi dan slope, tipologi pantai, penggunaan lahan, tipologi pemukiman penduduk, habitat pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, padang lamun dan konservasi laut. Parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil sudah memiliki nilai yang cukup tinggi, yaitu tinggi gelombang, pertumbuhan dan kepadatan penduduk serta kejadian tsunami (exposure), parameter kerentanan lingkungan untuk dimensi

5 sensitivitas memiliki nilai cukup tinggi adalah elevasi dan kemiringan, penggunaan lahan dan tipologi pemukiman, sedangkan parameter kerentanan lingkungan dimensi kapasitas adaptif adalah habitat pesisir, ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun. Nilai indeks kerentanan lingkungan saat ini memiliki perbedaan antara ketiga pulau, dimana kerentanan lingkungan tertinggi adalah Pulau Barrang Lompo sebesar 7.67 (kerentanan sedang), Pulau Saonek sebesar 6.18 (kerentanan sedang) dan Pulau Kasu sebesar 2.44 (kerentanan rendah) Perilaku parameter kerentanan lingkungan yang akan berubah dalam 2 tahun ke depan adalah kenaikan muka laut untuk ketiga pulau, penurunan kualitas terumbu karang untuk Pulau Barrang Lompo dan dampak terhadap pemukiman untuk Pulau Kasu. Simulasi kerentanan lingkungan dengan dua skenario (pengelolaan skenario 1 dan skenario 2) menunjukkan bahwa perubahan kerentanan lingkungan dapat diperlambat untuk ketiga pulau. Skenario pengelolaan yang disarankan adalah meningkatkan kapasitas adaptif dan menurunkan tingkat sensitivitas pulau. Hasil simulasi kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil memperlihatkan bahwa sampai tahun 2100 terjadi beberapa kemungkinan yaitu (1) pengelolaan skenario 1 untuk Pulau Kasu hanya akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun 2060, (2) pengelolaan skenario 1 untuk Pulau Barrang Lompo memperlambat perubahan kerentanan dari tinggi (2027) ke kerentanan sangat tinggi pada tahun 2074, (3) pengelolaan skenario 1 untuk Pulau Saonek hanya akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun 2041, (4) pengelolaan skenario 2 untuk Pulau Kasu memperlambat perubahan kerentanan dari kerentanan rendah menjadi kerentanan sedang pada tahun 2032, (5) pengelolaan skenario 2 untuk Pulau Barrang Lompo akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun 2039, (6) pengelolaan skenario 2 untuk Pulau Saonek hanya akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun Dampak kenaikan muka laut khususnya kemungkinan terjadinya perendaman daratan pulau, akan terjadi di ketiga pulau. Dampak terbesar akan dialami oleh Pulau Barrang Lompo dan Saonek. Hal ini disebabkan karena kedua pulau ini memiliki proporsi luas daratan pulau yang memiliki ketinggian kurang dari 100 cm cukup besar. Berdasarkan hasil penilaian parameter kerentanan, perhitungan indeks kerentanan, simulasi dinamika kerentanan, dan rancangan strategi adaptasi dapat disimpulkan bahwa ketiga pulau memiliki perbedaan tingkat kerentanan lingkungan. Strategi adaptasi yang dapat dikembangkan untuk ketiga pulau adalah strategi yang bersifat reaktif. Strategi tersebut adalah (1) strategi adaptasi jangka pendek dengan penetapan kawasan laut sebesar 30 % dari luas habitat pesisir untuk ketiga pulau baik untuk ekosistem mangrove maupun terumbu karang; (2) strategi jangka menengah dilakukan dengan meningkatkan proporsi kawasan konservasi laut menjadi 50 % dan pembangunan bangunan pelindung pantai; dan (3) strategi jangka panjang dilakukan dengan menata pemukiman baik melalui pembangunan rumah panggung maupun dengan merelokasi pemukiman penduduk ke tempat yang lebih aman (lebih tinggi). Kata kunci: pulau-pulau kecil, kerentanan, exposure, sensitivity, adaptive capacity, indeks.

6 Hak cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat AMIRUDDIN TAHIR Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

8 LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi : Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat Nama : Amiruddin Tahir Nomor Pokok : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ketua Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc Anggota Prof. Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 4 Juni 2010 Tanggal lulus :

9 PRAKATA Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-nya, sehingga Disertasi ini dapat disusun. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kerentanan, dengan judul Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih terhadap pihak-pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis hingga penyelesaian studi ini, sebagai berikut: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Komisi, Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan Proposal Penelitian sampai penulisan Disertasi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Luky Adrainto MSc, Dr. Ir. Fredinan Yulianda MSc. dan Dr. Ir. Ario Damar MS yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian kualifikasi dan ujian tertutup. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka. 4. Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, secara khusus kepada staf pengajar dan staf akademik Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 5. Kepala Kampung Pulau Saonek, Lurah Pulau Barrang Lompo dan Lurah Pulau Kasu yang telah memfasilitasi penulis selama pelaksanaan penelitian di lapangan. 6. Rekan-rekan mahasiswa SPL angkatan 2007 atas kerjasama dan dukungannya. 7. Bapak Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, dan Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS yang telah banyak membimbing penulis selama berkerja di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) - Institut Pertanian Bogor. 8. Rekan-rekan di PT. Afisco, PKSPL-IPB, dan PT. Coastmar Lestari dan P4L. 9. Seluruh anggota Keluarga Besar Muhammad Dasuki (alm.) dan Keluarga Besar Tahir (alm), atas dukungan dan bantuan serta doa yang ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat khusus kepada penulis. Bogor, Juni 2010 Amiruddin Tahir

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palopo pada tanggal 15 Mei 1968 dari Ayah Tahir dan Ibunda Fatimang. Penulis merupakan putra kelima dari 10 bersaudara. Tahun 1989, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, dan setahun berikutnya penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan pada Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Tahun 1993, penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Fakultas Perikanan IPB. Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tahun 2007 Penulis menjadi mahasiwa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pengalaman kerja penulis adalah staf peneliti pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Anggota Team Pembelajaran Pada Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (Coastal Resources Management Project- USAID). Staf pada Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L) dan PT. Coastmar Lestari. Saat ini, penulis bekerja sebagai tenaga ahli pada PT. Aquatic Fisheries Consultant (AFISCO). Beberapa pelatihan yang pernah penulis ikuti antara lain Sustainable Use Coastal and Marine Resources (SUCOMAR) yang diselenggarakan oleh InWent, Germany di Bremen (2004), Blended training of sustainable of coastal and marine resources management di Vietnam (2007). Penulis menikah dengan Sri Kholiyasih pada tahun Saat ini penulis memiliki tiga anak, yaitu Muhammad Ikram Amiruddin (11 tahun), Nur Aini Lutfiah Amiruddin (8 tahun), dan Muhammad Risky Aqila (3 tahun).

11 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc 2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA 2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

12 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi xiv xv xvii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran Hipotesis Kebaharuan (Novelty) TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pulau dan Pulau-Pulau Kecil Tipe Pulau-Pulau Kecil Pulau Datar Pulau Berbukit Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Pesisir Terpadu Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Konsep Kerentanan Kerentanan Lingkungan Dinamika Kerentanan Kuantifikasi Kerentanan Indeks Kerentanan Kenaikan Muka Laut Proses Kenaikan Muka Laut Dampak Kenaikan Muka Laut Tinjauan Kajian Kerentanan Pesisir dan PPK METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Tahapan Penelitian Diagram Pelingkupan Kerentanan Exposure (Ketersingkapan) Sensitivity (Sensitivitas) Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif) Penentuan Skala dan Bobot Parameter Kerentanan Pengumpulan Data Analisis Data Analisis Ekosistem Pesisir Analisis Karakteristik Geofisik Pulau-Pulau Kecil Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi... 61

13 3.6. Konstruksi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Penentuan Bobot HASIL PENELITIAN Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Indeks Kerentanan Saat ini Proyeksi Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Penentuan Bobot Parameter Kerentanan Karakteristik Geofisik Pulau Kasu Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek Karakteristik Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir Pulau Kasu Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya Pulau Kasu Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek Penilaian Parameter Kerentanan Exposure (Keterbukaan/Ketersingkapan) Sensitivity (Sensitivitas) Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif) Perhitungan Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Kerentanan Saat Ini Dinamika Kerentanan Proyeksi Perubahan Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Pulau Kasu Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek Perkiraan Laju Perendaman Daratan Pulau Pulau Kasu Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek PEMBAHASAN Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan Analisis Parameter Ketersingkapan/Keterbukaan (Exposure) Analisis Parameter Sensitivitas (Sensitivity) Analisis Parameter Kapasitas Adaptif (adaptive capacity) Analisis Skenario Perubahan Kerentanan Lingkungan Pulau Kasu Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek xii

14 xiii 5.4 Analisis Laju Perendaman Daratan Pulau Rancangan Strategi Adaptasi SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 xiv DAFTAR TABEL Tabel 1. Tinjauan beberapa kajian kerentanan lingkungan Tabel 2. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam Tabel 3. Hubungan tipe pulau dengan ekosistem pesisir Tabel 4. Beberapa pengertian kerentanan Tabel 5. Sinonim dan antonim kata kerentanan Tabel 6. Karakteristik 4 tahapan yang berbeda dari perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim Tabel 7. Peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa dalam pengelolaan pulau-pulau kecil Tabel 8. Dampak utama kenaikan muka laut Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, Barrang Lompo dan Saonek Tabel 10. Beberapa contoh penentuan skala Tabel 11. Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan lingkungan pulua-pulau kecil untuk dimensi esxposure dan sensitivity Tabel 12. Sistem penskalaan dan scoring tingkat adaptive capacity pulaupulau kecil Tabel 13. Teknik pengumpulan data Tabel 14. Kriteria persentasi penutupan karang hidup Tabel 15. Kriteria baku kerusakan mangrove Tabel 16. Kategori penutupan lamun Tabel 17. Random Consistency (RC) Tabel 18. Bobot parameter kerentanan pulau-pulau kecil Tabel 19. Nilai skor masing-masing parameter kerentanan pulau-pulau kecil. 96 Tabel 20. Karakteristik spesifik masing-masing pulau Tabel 21. Perbandingan 2 model indeks kerentanan pulau-pulau kecil Tabel 22. Skenario perubahan kerentanan Pulau Kasu Tabel 23. Skenario perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo Tabel 24. Skenario perubahan kerentanan Pulau Saonek Tabel 25. Strategi adaptasi pulau-pulau kecil

16 xv DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Ruang lingkup penelitian (Adopsi dari Turner et al. 2003)... 9 Gambar 2. Kerangka pikir kajian kerentanan pulau-pulau kecil (Modifikasi dari Schroter et al. 2005; Villa dan Mcleod 2002) Gambar 3. Ilustrasi perubahan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Gambar 4. Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan (Mimura, 1999) Gambar 5. Dinamika kerentanan pulau-pulau kecil (Preston dan Stafford- Smith 2009) Gambar 6. Prototip indikator kerentanan-resiliensi Gambar 7. Lokasi penelitian (Pulau Kasu-Kota Batam) Gambar 8. Lokasi penelitian (Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar) Gambar 9. Lokasi penelitian (Pulau Saonek-Raja Ampat) Gambar 10. Tahapan pelaksanaan penelitian kerentanan pulau-pulau kecil Gambar 11. Diagram tahapan analisis data kajian kerentanan pulau-pulau kecil Gambar 12. Diagram pelingkupan kerentanan (vulnerability scoping diagram) pulau-pulau kecil (Adopsi dari Polsky 2007) Gambar 13. Alogoritma penyusunan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Gambar 14. Peta ketinggian daratan Pulau Kasu Gambar 15. Peta kemiringan Pulau Kasu Gambar 16. Peta ketinggian Pulau Barrang Lompo Gambar 17. Peta kemiringan Pulau Barrang Lompo Gambar 18. Peta ketinggian Pulau Saonek Gambar 19. Peta kemiringan Pulau Saonek Gambar 20. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Kasu Gambar 21. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Barrang Lompo Gambar 22. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Saonek Gambar 23. Perbandingan nilai parameter exposure ketiga lokasi penelitian. 97 Gambar 24. Perbandingan nilai parameter sensitivity ketiga lokasi penelitian 98 Gambar 25. Perbandingan nilai parameter adaptive capacity ketiga lokasi penelitian Gambar 26. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Kasu, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek

17 Gambar 27. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Kasu Gambar 28. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo Gambar 29. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Saonek Gambar 30. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun Gambar 31. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun 2040, 2060, 2080, dan Gambar 32. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun Gambar 33. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun 2040, 2060, 2080, dan Gambar 34. Perkiraan perendaman Pulau Saonek pada tahun Gambar 35. Perkiraan perendaman Pulau Saonek pada tahun 2040, 2060, 2080, dan Gambar 36. Biplot parameter kerentanan dengan lokasi penelitian (pulaupulau kecil) Gambar 37. Algoritma kajian kerentanan pulau-pulau kecil Gambar 38. Peran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil Gambar 39. Manfaat keanekaragaman hayati terhadap proses dan fungsi ekosistem xvi

18 xvii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulaupulau kecil Lampiran 2. Penurunan rumus dinamika indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Lampiran 3a. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi ketersingkapan (exposure) Lampiran 3b. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi sensitivitas (sensitivity) Lampiran 3b. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi adaptif (adaptive capacity) Lampiran 4. Rekapitulasi data penelitian Lampiran 5. Hasil proyeksi nilai kerentanan Pulau Kasu Lampiran 6. Hasil proyeksi nilai kerentanan Pulau Barrang Lompo Lampiran 7. Hasil proyeksi nilai kerentanan Pulau Saonek

19 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim dan pemanasan global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (IPCC 2001). Salah satu hal yang akan berubah adalah akselerasi terhadap kenaikan muka laut yang akan menimbulkan dampak lanjutan seperti perendaman/penggenangan pesisir/pulau-pulau kecil (coastal inundation), peningkatan banjir, erosi pantai, intrusi air laut dan perubahan proses-proses ekologi di wilayah pesisir. Perubahan yang terjadi pada aspek biologi-fisik ini juga akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir seperti hilangnya infrastruktur, penurunan nilai-nilai ekologi, nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan terganggunya sistem lingkungan dan ekonomi pesisir (Klein dan Nicholls 1999). Selain itu, perkembangan daerah pemukiman dan pertumbuhan penduduk yang cepat pada pusat-pusat perkotaan di wilayah pesisir juga merupakan salah satu hal yang akan mengalami perubahan secara fundamental karena perubahan iklim (Nicholls 1995). Pemanasan global juga berdampak terhadap ketahanan pangan termasuk bagi masyakat pesisir. Pemanasan global dan perubahan iklim akan mempengaruhi ketahanan pangan, terutama dikaitkan dengan suplai dan ketersediaan pangan, stabilitas suplai pangan, akses, dan pemanfaatan pangan. Pemanasan global berdampak terhadap sistem mata pencaharian masyarakat pesisir khususnya nelayan. Kenaikan suhu permukaan laut berdampak terhadap ekosistem pesisir khususnya terumbu karang. Fenomena pemutihan karang karena kenaikan suhu permukaan laut diprakirakan akan berdampak terhadap sumberdaya perikanan yang memiliki habitat ekosistem terumbu karang. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan perikanan. Dengan terganggunya ekosistem pesisir dan perikanan akan berdampak terhadap sumber mata pencaharian masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil (small islands) merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut (Mimura, 1999). Fenomena ini telah

20 2 ditunjukkan oleh pulau-pulau kecil di beberapa negara SIDS (small island development state) di kawasan Pasifik. Umumnya, pulau-pulau kecil yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut adalah pulau yang memiliki daratan rendah (low-lying). Untuk merespon fenomena ini, kajian kerentanan terhadap kenaikan muka laut dan pengembangan strategi adaptasi menjadi sangat penting. Hal ini telah dilakukan oleh negara-negara kepulauan di kawasan Asia Pasifik sejak tahun Dalam konteks kerentanan pulau-pulau kecil, Lewis (2009) menyatakan bahwa kerentanan sudah merupakan karakteristik dari pulau-pulau kecil. Pulaupulau kecil sebagai tempat/lokasi yang sangat kecil, menyebabkan seluruh kegiatan di pulau tersebut, baik karena pengaruh dari luar maupun pengaruh internal dari sistem pulau-pulau kecil akan berinteraksi satu sama lainnya di pulau tersebut. Sekitar 7 persen area daratan muka bumi ini terdiri atas pulau-pulau kecil. Dari jumlah tersebut, Indonesia memiliki kontribusi terbesar terhadap jumlah pulau-pulau kecil di dunia, dimana Indonesia memiliki tidak kurang dari pulau kecil. Pulau-pulau kecil ini tergolong unik ditinjau dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya dan daya dukung lingkungannya (Beller 1990). Kawasan pulau-pulau kecil dikenal sebagai kawasan yang memiliki kekayaan sumberdaya cukup besar, seperti kekayaan ekosistem, kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan. Pulau-pulau kecil memiliki ekosistem produktif, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Kawasan pulau-pulau kecil juga menyediakan sumberdaya ikan dan berbagai kekayaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan seperti energi kelautan. Selain itu, pulau-pulau kecil juga menyediakan layanan jasa lingkungan, seperti penyedia nilai-nilai estetika, nilai-nilai sosial, pelindung keanekaragaman hayati dan pelindung atau penghalang bagi daratan dari bencana alam seperti tsunami, gelombang dan badai. Di satu sisi, pulau-pulau kecil memiliki sejumlah potensi yang dapat dikembangkan seperti disebutkan di atas, namun pada sisi lain juga terdapat sejumlah kendala yang dihadapi dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Ukuran pulau-pulau yang kecil bahkan sangat kecil, merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Konsekuensi dari ukuran yang

21 3 kecil adalah keterbatasan lahan produktif untuk mendukung (daya dukung lingkungan) kebutuhan hidup manusia. Oleh karena itu, pilihan optimasi pemanfaatan sumberdaya alam pulau-pulau kecil difokuskan pada sumberdaya pesisir dan laut. Letak atau lokasi pulau-pulau kecil yang jauh dari daratan bahkan terpencil (remote) juga menjadi kendala dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Konsekuensi dari karakter ini adalah biaya transportasi dan komunikasi menjadi sangat mahal dan menyebabkan pembangunan pulau-pulau kecil sulit mencapai skala ekonomi (economical scale) yang optimal. Karakteristik pulau-pulau kecil seperti yang disebutkan di atas, menyebabkan pulau-pulau kecil menjadi salah satu kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Kerentanan (vulnerability) merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian banyak pihak dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Negara-negara yang tergolong dalam SIDS (Small Island Development State) memberikan perhatian yang serius terhadap kajian kerentanan pulau-pulau kecil (SOPAC 2005). Mengingat pentingnya kajian kerentanan ini, maka kajian kerentanan di negara-negara anggota SIDS ini didorong dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan pada tahun 1994 yang menyebutkan bahwa negara-negara kepulauan kecil dalam rangka kerjasama di tingkat nasional, regional dan kerjasama dengan lembaga internasional dan pusat-pusat penelitian, secara kontinyu bekerja untuk mengembangkan indeks kerentanan lingkungan dan indeks lainnya yang menggambarkan status dari negara-negara kepulauan. Berbeda dengan negara-negara yang tergabung dalam SIDS, Indonesia sebagai negara kepulauan yang sebagian besar pulaunya adalah pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum memiliki indeks kerentanan (Simamora 2009). Beberapa kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia telah dilakukan di beberapa tempat, namun metode dan hasil kajian kerentanan ini belum dijadikan rujukan untuk pengkajian kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia. Dari berbagai kajian kerentanan yang telah dilakukan, terdapat banyak metode dan atribut kerentanan yang digunakan. Sebagian besar indeks kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan saat ini fokus pada sistem ekonomi dan sosial, dan hanya sebagian kecil kajian kerentanan yang fokus pada kerentanan lingkungan (Atkins et al. 1998). Kajian kerentanan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari

22 4 pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan (Mimura, 1999). Hal ini berarti bahwa hasil kajian kerentanan hendaknya memberikan kontribusi bagi perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Kajian kerentanan lingkungan yang sudah dilakukan dalam mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil dan pesisir mengacu pada indikator yang dikembangkan oleh SOPAC (1999) tentang kerentanan lingkungan (environmental vulnerability idex) dan Gornitz (1992) tentang kerentanan pesisir (coastal vulnerability index). Penelitian kerentanan lingkungan yang mengacu pada Konsep SOPAC (1999) telah dilakukan Kaly dan Pratt (2002), Gowrie (2003), dan Turvey (2007). Selain itu juga terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan kerentanan pesisir (coastal vulnerability index) seperti yang dilakukan oleh Pendleton et al. (2004); Boruff et al. (2005); Doukakis (2005), Demirkesen et al. (2008), Rao et al. (2008), Al-Jeneid et al. (2008) dan DKP (2008). Seiring dengan perkembangan isu perubahan iklim dan pemanasan global, konsep kerentanan kemudian banyak mendapatkan perhatian dari banyak peneliti. Konsep kerentanan tersebut mengintegrasikan aspek atau dimensi ketersingkan/keterbukaan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity) (Turner et al. 2003; Fussel and Klein 2005; Metzger et al. (2006); UNU-EHS 2006). Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, konsep ini lebih aplikatif dalam rangka membangun pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan ini mengacu kepada konsep yang diuraikan di atas, dalam rangka mengembangkan model indeks kerentanan baru yang dapat diaplikasikan untuk menilai kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil Indonesia memiliki hamparan yang cukup luas, dari barat hingga ke timur ataupun juga dari utara sampai ke selatan. Mengingat penyebaran yang sangat luas, maka dipilih tiga pulau sangat kecil yang berada di wilayah bagian barat, tengah dan timur wilayah Indonesia. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan informasi ilmiah tentang kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Indonesia. Diharapkan kajian ini dapat memperkaya metode dan pendekatan dalam mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang

23 5 selanjutnya dapat digunakan dalam perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan di Indonesia Perumusan Masalah Banyak pulau-pulau kecil memiliki kerentanan yang tinggi terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Posisi pulau-pulau kecil yang remote merupakan faktor penyebab kerentanan pulau-pulau kecil. Belum lagi berbagai keterbatasan pulau-pulau kecil dalam hal ketersediaan lahan, kemampuan ekonomi turut menjadi faktor yang berperan terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. Keberadaan dan kelangsungan sebuah ekosistem pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi tingkat kerentanan pulau-pulau kecil (Mimura 1999), dimana kerentanan sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dari sistem pulau-pulau kecil itu sendiri. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi sistem pulau-pulau kecil akan menentukan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem pulaupulau kecil. Kajian kerentanan (vulnerability assessment) akan memberikan kontribusi terhadap upaya pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Faktor luar yang mempengaruhi kerentanan adalah kenaikan muka laut, kondisi oseanografi khususnya gelombang dan pasang surut, peristiwa alam khususnya kejadian tsunami. Parameter inilah yang dinilai untuk mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil. Kenaikan muka laut adalah fenomena global yang sudah banyak dikaji oleh para ilmuwan. Berbagai kajian dilakukan untuk mengantisipasi kerugian (ekonomi, sosial dan lingkungan) akibat kenaikan muka laut. Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak luput dari ancaman kenaikan muka laut ini. Lebih spesifik lagi, banyak pulau-pulau kecil yang memiliki ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut. Tentunya, pulau-pulau kecil seperti ini merupakan pulau yang memiliki ancaman terbesar terhadap kemungkinan penggenangan daratan pulau. Dilihat dari posisinya terhadap keterbukaan (perairan), ada pulau kecil yang terletak pada perairan sempit (selat ataupun teluk), ada pulau yang terletak pada perairan terbuka (laut). Posisi atau letak pulau-pulau kecil yang demikian tentunya memiliki ancaman yang berbeda karena kenaikan muka laut. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji seberapa besar ancaman kenaikan muka laut terhadap pulau-pulau kecil dilihat

24 6 dari letak pulau-pulau kecil terhadap keterbukaan (perairan) yang dikaitkan dengan kerentanan pulau-pulau kecil. Karakteristik perairan Indonesia memiliki perbedaan antara perairan di wilayah bagian barat, bagian tengah dan timur. Perbedaan ini berimplikasi terhadap kemungkinan kisaran kenaikan muka laut, hal ini terlihat dari hasil kajian yang dilakukan oleh Hamzah et al. (in press) di Pulau Lombok dan Susandi (2008) di pesisir Sumatera Selatan. Perbedaan karakteristik pulau kecil juga akan menentukan perbedaan kerentanan antara satu pulau kecil dengan pulau kecil lainnya. Pulau-pulau kecil yang berkarakter sebagai pulau datar berbeda dengan pulau-pulau kecil yang berkarakter sebagai pulau berbukit. Hal ini sebagaimana diutarakan Campbell (2006) dalam mengkaji implikasi tipe pulau dengan gangguan alam di kawasan Pasifik. Banyak pulau-pulau kecil Indonesia yang memiliki tipologi pulau-pulau kecil seperti yang disebutkan di atas. Karakteristik pulau lainnya yang diperkirakan akan menentukan kerentanan pulau kecil adalah seperti yang dikaji Asriningrum (2009), dimana pulau-pulau kecil memiliki korelasi yang berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan lamun. Perbedaan pulau-pulau kecil sebagaimana disebutkan di atas, memerlukan upaya atau pendekatan yang berbeda pula dalam menyusun strategi adaptasi dan mitigasi bencana karena gangguan alam seperti kenaikan muka laut. Konsep yang dikembangkan Turner et al. (2003), mengindikasikan bahwa untuk mengurangi tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas adaptif (adaptive capacity) dari suatu pulau kecil. Ekosistem pesisir sebagai ekosistem alami pulau-pulau kecil, memiliki kapasitas adaptif yang tinggi terhadap gangguan dari luar terhadap pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, mengintegrasikan ekosistem pesisir dalam menilai kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, merupakan pendekatan baru yang perlu dilakukan. Kapasitas adaptif pulau-pulau kecil dapat ditingkatkan dengan melakukan intervensi (kebijakan), baik melalui peningkatan kapasitas adaptif alami dari sistem pulau-pulau kecil itu sendiri maupun melalui pembangunan infrastruktur. Intervensi manajemen ini dapat dilakukan dengan mengembangkan pendekatan adaptive management yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan

25 7 menyesuaikan kondisi dan permasalahan spesifik dari suatu pulau kecil terkait dengan dampak dari kenaikan muka laut. Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimana model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang mampu memperlihatkan peran ekosistem pesisir dalam mengurangi laju kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Bagaimana kerentanan pulau-pulau kecil terkait dengan perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Seberapa besar kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia terhadap kenaikan muka laut dan faktor-faktor yang berinteraksi dengan kenaikan muka laut. Seberapa besar dampak kenaikan muka laut terhadap daratan pulau-pulau kecil. Upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas adaptif guna menurunkan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil dan adaptasi terhadap kenaikan muka laut Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil terhadap kenaikan muka laut dan gangguan alam seperti tsunami. Sedangkan tujuan spesifik penelitian adalah: 1. Memformulasikan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. 2. Menganalisis parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil 3. Menduga indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan memproyeksikan perubahan kerentanan pada masa yang akan datang melalui verifikasi model indeks kerentanan lingkungan pada tiga pulau kecil. 4. Menduga perendaman daratan pulau-pulau kecil akibat kenaikan muka laut. 5. Merancang strategi adaptasi berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil Ruang Lingkup Penelitian Sebagaimana halnya dengan batasan dan pengertian kerentanan pulaupulau kecil yang memiliki pengertian cukup luas, lingkup kajian kerentanan pulau-pulau kecil juga sangat luas dan beragam. Dilihat dari aspek kajian

26 8 kerentanan, kerentanan pulau kecil dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu kerentanan ekonomi, kerentanan sosial dan kerentanan lingkungan. Masingmasing jenis kerentanan ini memiliki atribut dan tujuan yang berbeda-beda dalam melihat kerentanan suatu pulau-pulau kecil. Penelitian kerentanan pulau-pulau kecil ini merujuk kepada kerentanan lingkungan, yaitu kerentanan yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan baik aspek geofisik, biologi/ekologi maupun manusia. Aspek geofisik yang dikaji seperti kenaikan muka laut, kejadian tsunami, dan karakteristik fisik dari daratan pulau. Aspek biologi/ekologi mencakup kuantitas dan kualitas ekosistem pesisir di pulau-pulau kecil. Adapun aspek manusia mencakup demografi, aktivitas pemanfataan lahan pulau-pulau kecil dan pemukiman penduduk. Kajian spesifik kerentanan lingkungan yang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, juga memiliki perbedaan baik dari sisi parameter yang dikaji maupun pendekatan yang digunakan. Salah satu konsep yang digunakan dalam kajian kerentanan terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut adalah seperti yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) dan Turner et al. (2003). Konsep kajian kerentanan yang dikemukakan Turner et al. (2003), menyajikan pendekatan kajian yang fleksibel, dimana cakupan kajian kerentanan dapat mencakup wilayah yang sangat luas ataupun lingkup yang sempit (lingkup global, regional dan lokal). Perbedaan kedua konsep tersebut di atas adalah terletak pada lingkup kajian, dimana konsep yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) lebih fokus kepada kerentanan karena perubahan iklim (climate change) sedangkan konsep yang dikemukakan Turner et al. (2003) mencakup aspek yang lebih luas, tidak terbatas pada perubahan iklim. Namun demikian, kedua konsep kerentanan ini memiliki kesamaan dalam mendefinisikan kerentanan, yaitu kerentanan merupakan fungsi dari ketersingkapan/keterbukaan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity). Penelitian ini mengacu kepada kedua konsep di atas, dimana kerentanan pulau-pulau kecil dilihat dari faktor perubahan iklim dan non iklim. Parameter atau indikator kerentanan pulau-pulau kecil dijabarkan ke dalam dimensi exposure, sensitivity, dan adaptive capacity, yang masing-masing parameter dideterminasi dengan pendekatan vulnerability scoping diagram/diagram

27 9 pelingkupan kerentanan (Polsky et al. 2007). Tekanan perubahan alam dan aktivitas manusia akan mempengaruhi keberadaan dan sistem yang terdapat di suatu pulau kecil. Seberapa besar pengaruh ini sangat ditentukan oleh tingkat keterbukaan/ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif dari pulau tersebut. Dengan mengacu pada konsep kerentanan tersebut di atas, secara diagramatik ruang lingkup penelitian Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Ruang lingkup penelitian (Adopsi dari Turner et al. 2003) 1.5. Kerangka Pemikiran Tekanan lingkungan (alam dan manusia), termasuk perubahan iklim telah meningkatkan akselerasi terhadap kenaikan muka laut, baik pada skala global, regional maupun lokal. Akselerasi kenaikan muka laut mengancam keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Dampak utama dari kenaikan muka laut terhadap sistem pulau-pulau kecil adalah meningkatnya resiko penggenangan dan banjir, mempercepat laju erosi pantai, intrusi air laut dan gangguan terhadap ketersediaan air bersih (IPCC 1990). Dalam konteks yang lebih luas, kenaikan muka laut telah menyebabkan meningkatnya kerentanan pulau-pulau kecil yang diiringi oleh

28 10 penurunan kemampuan sistem pulau-pulau dalam menopang kelangsung hidup sistem pulau dan masyarakat yang ada di pulau tersebut. Selain kenaikan muka laut, kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil juga diperparah oleh berbagai fenomena alam lain seperti tsunami, badai, dan sebagainya. Untuk mengantisipasi dampak yang lebih parah dari kenaikan muka laut terhadap keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil, banyak negara telah mengembangkan atau menggalakkan kajian kerentanan, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan. Penelitian ini memformulasikan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, yang kemudian melakukan verifikasi terhadap model kerentanan yang dibangun pada tiga pulau kecil yang memiliki karakteristik yang berbeda baik dari aspek geografis, ekosistem maupun kondisi sosial masyarakatnya. Sebagaimana telah diuraikan bahwa lingkup penelitian ini mengacu pada konsep yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) dan Turner et al. (2003), yang mendefinisikan kerentanan sebagai fungsi dari exposure, sensitivity dan adaptive capacity. Untuk membangun kedua konsep di atas supaya menjadi operasional dalam mengkaji kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, digunakan konsep metodologi yang dikemukakan Villa dan McLeod (2002) dan Schroter et al. (2005). Villa dan McLeod (2002) mengembangkan kerangka teori yang mampu menghasilkan indikator kerentanan. Menurutnya dalam melakukan kajian kerentanan diperlukan 3 model, yaitu model sistem, model kerentanan dan model matematik. Dalam konteks penelitian ini, sistem model yang digunakan adalah sistem pulau-pulau kecil yang menjadi objek penelitian. Model sistem ini dibatasi pada luasan yang meliputi daratan pulau-pulau kecil beserta hamparan habitat pesisir (ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir, pantai berlumpur dan pantai berbatu). Model kerentanan yang diacu adalah kerentanan yang didefinisikan sebagai fungsi dari dimensi exposure, sensitivity dan adaptive capacity, yang mana masing-masing dimensi ini memiliki parameter-parameter lingkungan yang terukur. Adapun model matematik adalah persamaan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil (IK-PPK), baik persamaan matematik yang statis maupun dinamis. Sementara schroter et al. (2005) mengembangkan pendekatan 8 tahapan dalam melakukan kajian

29 11 kerentanan. Kedelapan tahapan tersebut, merupakan langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan dalam mengkaji kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Dengan melakukan modifikasi dan menggabungkan kedua konsep metodologi tersebut, maka secara diagramatik kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini seperti tersaji pada Gambar 2. Gambar 2. Kerangka pikir kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil (Modifikasi dari Schroter et al. 2005; Villa dan McLeod 2002) 1.6. Hipotesis Berdasarkan perbedaan karakteristik ketiga pulau yang dipilih sebagai lokasi untuk memverifikasi model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi dalam penelitian ini, diduga ada perbedaan kerentanan lingkungan di

30 12 antara ketiga pulau-pulau kecil tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini membandingkan tingkat kerentanan lingkungan ketiga pulau kecil tersebut. Perbedaan kerentanan lingkungan ketiga pulau ini berimplikasi pada konsep pengelolaan yang perlu dikembangkan untuk tetap mempertahankan eksistensi dan proses pembangunan secara berkelanjutan di pulau-pulau kecil. 1.7 Kebaharuan (Novelty) Kajian kerentanan sudah dimulai sejak tahun Kajian kerentanan yang banyak dilakukan saat ini mencakup aspek yang lebih luas dibandingkan kajian kerentanan sebelumnya (Lewis 2009). Namun demikian, kajian kerentanan ini lebih banyak fokus pada aspek sosial ekonomi, yang secara geografi memiliki karakteristik yang spesifik (Atkins, 1998). Indeks kerentanan ekonomi diantaranya dikembangkan Briguglio (1995, 1997), The Commonwealth Secretariat (Wells 1996, 1997); Pantin (1997), Atkins et al. (1998), the Caribbean Development Bank (Crowards 1999), dan Adrianto dan Matsuda (2004). Indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dikembangkan oleh negara-negara kepulauan dalam kelompok SIDS (Small Island Development States). Indeks kerentanan lingkungan ini telah diaplikasikan oleh Kaly dan Pratt (2000), Gowrie (2003), dan Turvey (2007) untuk menilai kerentanan beberapa negara kepulauan. Pendekatan yang digunakan dalam penentuan indeks kerentanan lingkungan ini adalah dengan memasukkan berbagai parameter yang berkaitan dengan tekanan dari faktor iklim, non iklim dan manusia. Kajian kerentanan (indeks kerentanan) khususnya terhadap pesisir (coastal vulnerability indeks) juga banyak dilakukan dengan mengacu kepada konsep yang dikemukakan Gornitz (1992) seperti yang dilakukan Pendleton et al. (2004); Boruff et al. (2005); Doukakis (2005), Demirkesen et al. (2008), Rao et al. (2008), Al-Jeneid et al. (2008) dan DKP (2008). Secara ringkas tinjauan (review) kajian-kajian kerentanan ini disajikan pada Tabel 1.

31 13 Tabel 1. Tinjauan beberapa kajian kerentanan lingkungan Konsep Kajian Kerentanan Peneliti Tinjauan SOPAC (1999) Kaly UL dan Pratt C (2002) Penelitian ini baru mampu menghitung Gowrie MN (2003) indeks kerentanan sesaat Gornitz (1992) Pendleton EA et al. (2004) Penelitian ini hanya menyajikan Boruff BJ et al. (2005) kerentanan sesaat. Doukakis (2005) Penelitian ini tidak Rao et al. (2008) mengintegrasikan ekosistem pesisir (habitat pesisir) sebagai suatu Departemen Kelautan dan ekosistem yang mampu Perikanan (2008) mengurangi kerentanan pesisir/ppk. DKP (2008) memasukkan terumbu karang dan mangrove sebagai parameter penghitungan kerentanan Berdasarkan konsep kerentanan yang diacu dalam penelitian ini, bahwa kerentanan merupakan fungsi dari exposure, sensitivity, dan adaptive capacity, penelitian ini memiliki kelebihan dibandingkan kajian-kajian kerentanan lingkungan yang disajikan pada Tabel 1. Kelebihan tersebut terkait dengan diintegrasikannya ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Pesisir dan pulau-pulau kecil umumnya memiliki ekosistem yang mampu menekan atau memperkecil kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil yang disebut dengan kapasitas adaptif. Dengan menggunakan konsep kerentanan ini, dapat diketahui seberapa besar peran ekosistem pesisir tersebut mampu menekan kerentanan lingkungan yang akan terjadi. Salah satu karakteristik kerentanan adalah bersifat dinamik. Menurut Preston dan Stafford-Smith (2009) kerentanan akan selalu mengalami perubahan, karena adanya perubahan faktor-faktor yang berhubungan dengan kerentanan itu sendiri. Untuk mengetahui perbedaan antara kajian kerentanan yang telah dilakukan sebelumnya, baik penelitian yang mengacu kepada konsep kerentanan SOPAC (1999) maupun Gornitz (1992) dengan penelitian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang dilakukan ini, sajikan ilustrasi perubahan kerentanan pada Gambar 3.

32 14 Gambar 3. Ilustrasi perubahan kerentanan pulau-pulau kecil Kerentanan sebagaimana dikemukakan Preston dan Stafford-Smith (2009) akan mengalami perubahan seperti pada V 1, sedangkan kajian kerentanan yang telah dilakukan hanya mampu menghasilkan satu nilai kerentanan (kerentanan sesaat semisal V 0 jika kerentanan diukur pada t=0). Berbeda dengan penelitian ini, kajian yang dilakukan akan menghasilkan nilai kerentanan secara dinamik (V 1 ) dan juga mampu memproyeksikan perubahan kerentanan dengan melakukan penataan kapasitas adaptif (AC) suatu pulau kecil (V 1 -V 2 ). Peran ekosistem pesisir pulau-pulau kecil dalam meningkatkan kapasitas adaptif pulau telah dikemukakan oleh Othman (1994), Barnet dan Adger (2003), Mazda et al. (2007) dan McClanahan et al. (2008). Dengan mengkonstruksi model indeks kerentanan lingkungan yang baru dengan mengintegrasikan parameter ekosistem pesisir, maka kebaharuan dari penelitian ini adalah terformulasikannya model baru dalam menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang juga mengkuantifikasi peran ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menurunkan kerentanan lingkungan baik kerentanan sesaat maupun dinamika kerentanan.

33 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pulau dan Pulau-Pulau Kecil Pulau dapat didefinisikan dan dikategorikan dalam berbagai cara, dan masing-masing memiliki tujuan yang sangat bermanfaat, namun tidak tersedia satu definisi tunggal atau kategori tunggal yang mengakomodir seluruh kebutuhan pendefinisian pulau. Definisi yang paling banyak tersedia tentang pulau cenderung kepada masalah ukuran pulau (Granger 1993). Ada beberapa kriteria tambahan yang menjadi pembatas dalam penentuan definisi pulau seperti remoteness, morfologi, ukuran populasi/jumlah penduduk dan pendapatan domestik bruto. Pulau-pulau juga dapat dikategorikan berdasarkan aspek fisik seperti posisinya terhadap katulistiwa (lintang) (seperti pulau tropis, temperate atau artik), berdasarkan proses geologi atau struktur pulau (pulau kontinental dan oseanik), berdasarkan hidrologi (daerah run-off), berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (pulau dataran rendah atau pulau berbukit). Pengertian pulau berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention of the Law of the Sea) 1982 adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu muncul/berada di atas permukaan laut pada saat pasang tertinggi, memiliki kemampuan menghidupi penduduknya atau kehidupan ekonominya dan memiliki dimensi ekonomi yang lebih kecil dari ekonomi kontinental. Pengertian pulau sebagaimana yang diutarakan dalam UNCLOSS 1982 di atas memiliki beberapa kata kunci, yaitu (1) lahan daratan, (2) terbentuk secara alamiah, (3) dikelilingi oleh air/lautan, (4) selalu di atas permukaan pada saat pasang, dan (5) memiliki kemampuan ekonomi untuk menghidupi penduduknya. Ukuran pulau tersebut bervariasi mulai dari pulau yang hanya beberapa meter persegi sampai jutaan kilometer persegi. Berdasarkan ukurannya, pulau dapat dibedakan menjadi pulau besar, pulau kecil dan pulau sangat kecil (Bengen dan Retaubun 2006). Adapun batasan tentang pulau-pulau kecil terus mengalami perkembangan dan berubah-rubah. Kombinasi antara luas dan jumlah penduduk dari suatu pulau merupakan salah satu parameter yang banyak diusulkan dalam menentukan kategori pulau, misalnya luas pulau antara km 2 dengan penduduk

34 16 antara juta orang. Pulau kecil pada awalnya dibatasi sebagai pulau yang luasnya kurang dari km 2 dengan jumlah penduduk orang, batasan yang sama juga digunakan Hess (1990) dengan jumlah penduduk sama atau kurang dari orang. Alternatif batasan pulau kecil juga dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan luas pulau kecil maksimum km 2 (Bengen dan Retraubun 2006). Lillis (1993) menggunakan kriteria tambahan seperti area permukaan pulau, GNP (gross nasional product) dan ukuran populasi untuk menentukan sistem pulau di kawasan Pasifik menjadi pulau kecil, pulau sangat kecil dan pulau mikro. Batasan pulau-pulau kecil yang dianut Indonesia selama ini belum ada yang baku. Batasan pulau kecil yang baku baru ditetapkan dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Batasan pulau kecil yang dianut adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan km 2 beserta kesatuan ekosistemnya. Implikasi dari penentuan batasan pulau kecil ini bagi pengelolaan pulau-pulau berkelanjutan adalah dibatasinya peruntukan lahan dan perairan pulau-pulau kecil pada beberapa kegiatan pemanfaatan saja. Pemanfaatan pulau-pulau kecil Indonesia diprioritaskan untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik, dan/atau peternakan. 2.2 Tipe Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau kecil yang ada di dunia dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, misalnya berdasarkan tipe dan asal pembentukan pulau atau berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut (Bengen dan Retraubun 2006). Berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut, pulau kecil dibagi menjadi pulau datar dan pulau berbukit, sebagai berikut: Pulau Datar Pulau datar adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut rendah. Pulau ini berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini merupakan pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti taufan dan tsunami. Oleh karena pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka

35 17 massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau. Jenis-jenis pulau datar adalah sebagai berikut: 1. Pulau Atol: Pulau atol adalah pulau karang yang berbentuk cincin. Umumnya pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik dan adanya pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol yang cukup terkenal di Indonesia adalah pulau-pulau yang terdapat di gugus pulau di Takabone Rate. 2. Pulau Karang: Pulau karang adalah pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Banyak pulau-pulau di Indonesia yang memiliki ekosistem terumbu karang. Pulau koral/karang atau pulau teras terangkat umumnya sangat subur dan hijau, karena mempunyai daya kapilaritas yang tinggi, sehingga memiliki sumber air tawar yang banyak bagi kehidupan habitat dan manusia. Contoh-contoh pulau karang terdapat di wilayah Maluku. 3. Pulau Aluvium: Pulau aluvium terbentuk karena proses pengendapan yang biasanya terjadi di sekitar muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut. Pulau-pulau di pantai timur Sumatera dan pulau-pulau di delta-delta di Kalimantan merupakan tipe pulau endapan atau pulau aluvium Pulau Berbukit Pulau berbukit adalah pulau dataran tinggi yang memiliki ketinggian di atas muka laut yang relatif tinggi. Umumnya pulau ini memiliki ketinggian lebih dari 10 m di atas pemukaan laut. Pulau-pulau yang tergolong pulau berbukit adalah pulau tektonik, pulau vulkanik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran. 1. Pulau Tektonik: Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau Nias, Pulau Siberut dan Pulau Enggano. Sumberdaya air di pulau tektonik lebih banyak dijumpai sebagai aliran sungai, dan sangat sedikit air tanah.

36 18 2. Pulau Vulkanik: Pulau vulkanik adalah pulau yang sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah). Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunung api dan terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate). 3. Pulau Karang Timbul: Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan, terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik. Setelah berada di atas permukaan air laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan terumbu dan terbentuk pulau karang timbul. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun nonvulkanik. Pulau karang timbul ini banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda. 4. Pulau Petabah: Pulau petabah adalah pulau yang terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik. Pulau seperti ini antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau petabah sering terdiri atas batuan ubahan, intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, seperti Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Belitung. 5. Pulau Genesis campuran: Pulau genesis campuran adalah pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih genesis pulau-pulau tersebut di atas. Potensi air di pulau genesis campuran tergantung pada genesis pulau yang bergabung, dan dapat berupa sumber air yang mengalir sepanjang tahun maupun aliran air permukaan dengan jumlah yang biasanya terbatas. Pulaupulau seperti Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut, Pulau Kisar dan Pulau Rote adalah contoh pulau genesis campuran.

37 19 Salah satu kawasan di dunia yang memiliki banyak hamparan pulau-pulau kecil adalah kawasan Pasifik. Campbell (2006) mengelompokkan pulau-pulau kecil di kawasan pasifik menjadi 4 tipe pulau, yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau atol dan pulau karang terangkat. Keempat tipe pulau tersebut memiliki implikasi yang berbeda terhadap gangguan alam, seperti gangguan dari bencana alam, ketersingkapan dan sebagainya. Hubungan antara tipe pulau dengan implikasi terhadap bahaya gangguan alam di kawasan Pasifik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam Implikasi Terhadap Bahaya No. Tipe Pulau Gangguan Alam 1. Pulau Kontinental Sangat luas Memiliki elevasi tinggi Keanekaragaman tinggi Ketersediaan tanah yang cukup untuk kegiatan pertanian Sistem aliran sungai dataran 2. Pulau Vulkanik Memiliki slope yang curam Ada penghalang karang Daratan lebih kecil dibandingkan pulau kontinental Memiliki sistem aliran sungai dataran yang lebih kecil dibandingkan kontinental 3. Pulau Atol Lahan daratan sangat terbatas Elevasi sangat rendah Tidak tersedia air permukaan 4. Pulau Karang Terangkat Slope outer curam Pesisir dataran sempit Tidak ada air permukaan Tidak ada atau sangat minim tanah pertanian Sumber: Campbell (2006). Berada pada daerah subduksi dan mudah mendapatkan pengaruh dari gempa bumi dan aktivitas vulkanik Masalah banjir merupakan masalah yang utama di pulau ini Sungai-sungai kecil dapat menyebabkan banjir Karena ukurannya besar pulau ini tidak terekspose terhadap badai trofis Terekspose terhadap badai, pasang dan gelombang Sangat terbatas sumberdaya alam Air permukaan merupakan masalah utama Sangat tergantung pada ketinggian, ekspose terhadap badai Air permukaan terbatas Kajian karakteristik pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan Asriningrum (2009). Kajian yang dilakukan adalah melihat keterkaitan atau hubungan antara

38 20 karakteristik pulau kecil dengan pertumbuhan atau perkembangan ekosistem pesisir. Kajian dilakukan pada tiga tipe pulau, yaitu pulau tektonik, pulau vulkanik dan pulau karang dengan kemungkinan keberadaan atau pertumbuhan ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun pada ketiga pulau tersebut. Hasil kajiannya pada beberapa pulau kecil di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara pulau tektonik, vulkanik dan pulau karang sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hubungan tipe pulau dengan ekosistem pesisir Ekosistem Laut Mangrove Tipe pulau kecil Tektonik Vulkanik Karang tumbuh pada sisi sulit tumbuh pulau yang datar dan terlindung tumbuh lebih baik pada pantai landai dan datar yang lebih terlindung Terumbu karang tumbuh lebih baik pada pantai terjal berbatu yang menghadap laut lepas Lamun tumbuh lebih baik pada daerah yang lebih terlindung Sumber : Asriningrum (2009) aktivitas vulkanik semakin rendah terumbu karang semakin baik tumbuh pada sisi pulau yang terlindung tumbuh lebih baik pada posisi perairan laut yang lebih terbuka sulit tumbuh 2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Pesisir Terpadu Pengelolaan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan pesisir secara terpadu. Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan kontinyu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan secara berkelanjutan, perlindungan sumberdaya dan wilayah pesisir dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Pengelolaan pesisir terpadu ini adalah sebuah proses yang memperhatikan karakteristik dari wilayah pesisir. Aspek keterpaduan dari pengelolaan pesisir terpadu adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar pemerintah (lokal-nasional), keterpaduan wilayah/spasial, keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen, dan keterpaduan internasional. Sementara itu, Dahuri et al. (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

39 21 sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan lebih dari satu ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Jika merujuk kepada definisi wilayah pesisir yang dianut oleh Indonesia dimana wilayah pesisir dibatasi dengan wilayah kecamatan pesisir ke arah darat dan sejauh 12 mil ke arah laut, maka hampir seluruh wilayah pulau-pulau kecil merupakan wilayah pesisir (UU No. 27/2007). Namun jika pengertian wilayah pesisir dirujuk kepada batasan yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan yang ke arah daratnya dibatasi oleh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses di laut (intrusi air laut) dan ke arah laut sejauh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses di darat (sedimentasi), maka batas wilayah pesisir di pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh geomorfologi pulau kecil. Pendekatan ICM pada pulau-pulau kecil lebih jauh dibahas Calado et al. (2007). Karakteristik pulau (termasuk pulau kecil) yang dikelilingi perairan/lautan, luasannya (wilayah daratannya) yang kecil, jarak dari daratan besar yang sangat jauh menyebabkan pulau kecil sebagai sebuah sistem tertutup (Calado et al. 2007), hal ini memiliki implikasi yang sangat besar terkait dengan proses perencanaan dan pengelolaan spasial pulau-pulau kecil. Karena sifatnya yang remotness, terisolasi, sangat kecil dan merupakan sistem tertutup, membuat perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil memiliki tantangan yang lebih besar baik ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan maupun kebutuhan teknologi. Calado et al. (2007) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan strategi pengelolaan pesisir terpadu untuk pulau-pulau kecil, penyusunan strategi pengelolaan pesisir terpadu merupakan sebuah pemikiran positif untuk memulai proses inisiasi dialog, peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, peningkatan kesadaran terhadap permasalahan pesisir. Towle (1985) menekankan bahwa karena karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, maka dalam mengimplementasikan pengelolaan terpadu harus menghindari bias kontinental pada saat merancang program pengelolaan pulau-pulau kecil. Pengelolaan pulau-pulau kecil pada prinsipnya bagaimana menata aktivitas manusia dalam memanfaatkan ekosistem daratan (terrestrial ecosystem) dan ekosistem perairan (marine environment) sehingga tidak mempengaruhi

40 22 keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil merupakan persinggungan antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan (terrestrial ecosystem) dan lingkungan perairan (marine environment). Hubungan lebih lanjut antara kerentanan dan keberlanjutan dari suatu sistem pulau-pulau kecil digambarkan Mimura (1999). Adanya faktor eksternal akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam sistem internal pulau-pulau kecil yang digambarkan sebagai interaksi sistem pulau-pulau kecil. Interaksi yang terjadi dalam sistem pulau-pulau kecil selanjutnya akan mempengaruhi kerentanan dan resiliensi dari pulau-pulau kecil tersebut. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi kedua komponen tersebut akan menentukan tingkat resiliensi dan kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem pulau-pulau kecil (Gambar 4). Tekanan Luar (External Stresses) Manusia Infrastruktur Sosial budaya Tekanan Internal (Internall Stresses) Ekonomi Sumberdaya alam Kelembagaan Komponen Sistem Resiliensi Komponen Sistem Kerentanan Kemampuan Keberlanjutan Sistem pulau pulau Gambar 4. Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan (Mimura 1999)

41 23 Bagi negara-negara kepulauan, pendekatan sistem pengelolaan pulau sebagai suatu pendekatan multidisiplin, mekanisme keterpaduan dan menawarkan suatu strategi pengelolaan adaptif untuk mengatasi isu-isu konflik pemanfaatan sumberdaya dan menyediakan sebuah kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan, yang berorientasi untuk mengontrol dampak akibat intervensi manusia terhadap lingkungan pulau-pulau kecil. Efektifitas pendekatan ini sangat tergantung pada kerangka kelembagaan dan kerangka hukum yang mengkoordinasikan seluruh sektor baik publik maupun swasta dalam mencapai tujuan yang diinginkan Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan pulau. Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan. Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. (2005) apabila suatu resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekwensi terkait dengan penduduk di pulau tersebut. Lewis (2003) mengemukakan beberapa alasan, mengapa pulau-pulau kecil menjadi rentan. Alasan yang dikemukakan adalah pulau-pulau kecil memiliki ukuran yang kecil, rendahnya sumberdaya berbasis daratan, relatif memiliki aksesibilitas yang rendah. Pelling dan Uitto (2001) juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu pulau-pulau kecil rentan, yaitu (1) ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan, (2) insularitas dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama, (3) masalah faktor lingkungan seperti ketersingkapan terhadap gangguan, (4) kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas, (5) faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan (6) faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas.

42 24 Tompkins et al. (2005) juga menyatakan hal yang sama bahwa pulaupulau kecil secara ekonomi, sosial dan fisik rentan secara alamiah. Katidakmampuan menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domestik, menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dari luar. Keterbatasan lahan daratan sebagai karakteristik utama pulau-pulau kecil membuat terbatasnya tempat untuk manusia, lahan untuk pembangunan infrastruktur, lahan untuk pembuangan limbah dan lahan untuk pertanian. Banyak pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, badai tropis dan gelombang laut. Dalam kaitannya dengan pembangunan pulau-pulau kecil, ada dua faktor yang menjadi penghambat, yaitu terkait dengan skala dan lokasi pulau-pulau kecil. Ukuran pulau yang kecil dan pragmentasi dari gugus pulau merupakan contoh keterbatasan dalam hal skala pulau. Pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya (darat) dan keterbatasan ruang. Hal ini menjadi hambatan fisik untuk pembangunan infrastruktur di pulau-pulau kecil. Namun demikian, baik skala maupun lokasi sangat tergantung pada posisi pulaupulau kecil tersebut terhadap alur transportasi laut dan udara. Negara-negara maju tidak mengalami hambatan terkait dengan faktor skala dan lokasi seperti Hawai dan Singapore (Brookfield 1990). Banyak kajian yang sudah dilakukan untuk mengkaji kerentanan ekologi dan ekonomi dari suatu sistem pulau pada berbagai skala ruang/lokasi yang berbeda. Hasil kajian tersebut kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang berbeda. Banyak peneliliti yang menyatakan bahwa isu utama pulau-pulau kecil bukan karena keterisolasian dan smallness semata, tetapi juga masalah pembangunan yang dilakukan di pulau-pulau kecil. Menurut Farrel (1991) permasalahan esensi yang dihadapi oleh suatu negara kepulauan kecil (small island development stated) adalah keterbatasan atau hanya sedikit hal yang dapat diperbuat karena karakteristiknya yang smallness dari pulau kecil tersebut Konsep Kerentanan Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun dari sisi cakupan. Menurut Ford (2002), pengertian kerentanan mengandung dua aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan

43 25 cakupan atau skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari suatu sistem yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya, kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga, komunitas, ataupun negara. Pada Tabel 4 disajikan beberapa pengertian kerentanan. Tabel 4. Beberapa pengertian kerentanan Nama Tahun Pengertian Timmerman 1981 Derajat atau tingkatan pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik. Susman et al Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda dalam hal resiko baik suatu kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial Kates et al Kapasitas yang dapat diadaptasi dari suatu gangguan atau reaksi terhadap kondisi yang kurang baik UN Department of Humanitarian Affairs 1992 Tingkat kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam Cutter 1993 Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya Watts dan Bohle 1993 Kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari keterbukaan, kapasitas dan potensial, dimana respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, dan atau menguatkan potensi pemulihan Blaikie et al Karakteristik dari seseorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi mengatasi, resisten dan memulihkan diri dari dampak bencana alam Bohle et al Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan Dow dan Downing 1995 Perbedaan kepekaan dari keadaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi Smith 1996 Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian Vogel 1998 Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim Adger dan Kelly 1999 Kondisi individu atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuannya mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka.

44 26 Nama Tahun Pengertian Karsperson et al. Liechenko and O Brien Sumber : Disadur dari Ford (2002) 2001 Tingkatan pada suatu sistem yang dipengaruhi oleh keterbukaan atau gangguan/tekanan dan kemampuan untuk mengatasi atau memulihkan diri terhadap gangguan 2002 Dinamika kerentanan adalah proses-proses ekonomi nasional dan internasional yang mempengaruhi kapasitas individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan (shocks) alam dan sosial ekonomi Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari faktor eksternal. Kerentanan adalah kecenderungan suatu entitas mengalami kerusakan (SOPAC 2005). Entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis pantai) atau konsep yang abstrak (seperti komunitas, ekonomi, negara dan sebagainya) yang dapat dirusak. Kerentanan dapat bersifat tunggal dan komplek yang disebut overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko (hazard) adalah sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat didefinisikan dalam istilah dari suatu entitas yang dirusak, seperti badai siklon adalah suatu bahaya bagi sebuah pulau kecil. Kerentanan memiliki makna yang beragam (Campbell 2009), sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sinonim dan antonim kata kerentanan Synonym Antonym Inggris Indonesia Inggris Indonesia weak lemah strong kuat powerless sangat lemah powerfull sangat kuat insecure tidak terjamin secure terjamin passive pasif active aktif expose terbuka covered tertutup unprotected tidak terlindung protected terlindung unstable tidak stabil stable stabil risk beresiko safety aman constrained/limited terbatas free/unlimited tidak terbatas fragile rapuh robust tegap small sempit large luas peripheral tidak memusat central terpusat marginal terpinggirkan impotant penting dependent tidak bebas independent bebas Sumber: Campbell (2009)

45 27 Perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim telah melalui 4 (empat) tahapan, yaitu dimulai dengan kajian dampak (impact assessment), kemudian kajian kerentanan generasi pertama (vulnerability assessment firstgeneration), kajian kerentanan generasi kedua (vulnerability assessment scondgeneration), dan kajian adaptasi kebijakan (vulnerability policy assessment) (Fussel dan Klein 2006). Kajian kerentanan generasi pertama dicirikan oleh adanya evaluasi dampak iklim dalam bentuk relevansinya dengan masyarakat yang baru mempertimbangkan potensi adaptasi masyarakat di suatu wilayah. Adapun novelty atau kebaharuan dari kajian kerentanan generasi kedua adalah penilaian terhadap kapasitas individu/orang yang sudah bergeser dari sekedar penilaian potensi kapasitas adaptif pada generasi pertama menjadi sebuah kelayakan adaptasi dari masyarakat terhadap perubahan iklim (Fussel dan Klein 2006). Dengan kata lain, kelayakan adaptasi sudah mampu memperhitungkan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap kerentanan. Perbedaan dan karakteristik setiap tahapan perkembangan kajian kerentanan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik 4 tahapan perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim Waktu Skala ruang Pertimbangan iklim, non-iklim dan adaptasi Integrasi antara ilmu sosial dan alam Keterlibatan stakeholder Sumber : Fussel dan Klein (2006) Kajian Kebijakan Adaptasi Rekomendasi strategi adaptasi Kajian Kerentanan Kajian Generasi dampak Generasi kedua Pertama Fokus utama Kebijakan Kebijakan Alokasi Kebijakan kebijakan mitigasi mitigasi sumberdaya adaptasi Pendekatan analisis Positif Positif Positif Normatif Hasil utama Dampak Adaptasi awal Adaptasi akhir potensi (pre-adaptation) (postadaptation) Jangka Jangka panjang Sedang-jangka Pendek jangka panjang panjang panjang Nasional ke Nasional ke Lokal ke global Lokal ke nasional global global Kecil Parsial Penuh Penuh Rendah Rendah ke sedang Sedang ke Tinggi tinggi Rendah Rendah Sedang Tinggi Kerentanan adalah tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem tersebut terkena dampak atau ketidak mampuan mengatasi dampak dari perubahan

46 28 iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose, sensitivitas dan kapasitas adaptasinya (McCarthy et al. 2001). Adapun Karperson et al. (2003) dan Turner et al. (2003) menyebutkan bahwa kerentanan adalah tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena gangguan atau tekanan dari luar. Sebagai contoh, kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut adalah tingkat ketidakmampuan wilayah pesisir untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim dan kenaikan muka laut (IPCC-CZMS 1992). Faktor geografi juga merupakan salah satu penyebab kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Secara geografi pulau-pulau kecil dapat memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gangguan alam, atau karena letaknya yang tidak strategis, sehingga pulau-pulau kecil memiliki kerentanan lokasi. Karena posisi pulau-pulau kecil juga dapat meningkatkan kerentanan karena berada pada zona seperti topan dan daerah tercemar. Kerentanan pulau-pulau kecil karena posisi/letak disebut sebagai kerentanan ruang (vulnerability of space) (Turvey 2007). Kajian kerentanan ruang dimaksudkan untuk mengetahui mengapa suatu lokasi pulau-pulau kecil lebih rentan dari lokasi lainnya. Istilah ruang ini memiliki makna geografi seperti lokasi, ukuran dari pulau-pulau kecil, lingkungan fisik dimana manusia hidup, biofisik, interaksi sistem ekonomi dan politik. Dolan dan Walker (2003) mengemukan terdapat 3 karakteristik dari kerentanan. Pertama; kerentanan dicirikan oleh ketersingkapan suatu sistem terhadap bencana alam (misalnya banjir di wilayah pesisir) dan bagaimana bencana tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Kedua; dari sudut pandang hubungannya terhadap manusia, kerentanan bukan hanya dilihat sebagai hubungan fisik semata. Dalam hal ini, kerentanan ditentukan oleh ketidakwajaran dari distribusi dampak/efek negatif dan resiko di antara kelompok masyarakat yang ada di suatu wilayah, dan kerentanan adalah hasil dari proses sosial dan struktur yang memiliki hambatan terhadap akses sumberdaya. Ketiga; dari perspektif keterpaduan antara kejadian/peristiwa secara fisik dan fenomena sosial yang menyebabkan

47 29 ketersingkapan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam merespon bencana alam yang muncul Kerentanan Lingkungan Pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi Briguglio (2003). Ada beberapa alasan kerentanan lingkungan bagi pulau-pulau kecil, yaitu (1) keterbatasan asimilasi dan daya dukung, akan berimplikasi pada permasalahan pengelolaan limbah, persediaan air dan yang menyangkut ukuran teritori pulau-pulau kecil; (2) memiliki wilayah pesisir yang cukup luas (dibandingkan dengan luas daratan) membuat pulau kecil mudah tergerus erosi; (3) ekosistem yang rapuh, karena daya tahan terhadap pengaruh luar temasuk kekayaan hayati di dalamnya; (4) mudahnya terkena dampak bencana alam, termasuk gempa, gunung meletus, angin badai, banjir, gelombang pasang dan bentuk lain, tergantung pada kondisi pulau; (5) luasnya proporsi tanah yang akan terkena dampak akibat pengaruh pemanasan global, termasuk naiknya muka air laut sehingga akan banyak proporsi wilayah daratan yang akan hilang; dan (6) dampak yang signifikan akibat perkembangan ekonomi, termasuk penurunan produksi pertanian dan sumberdaya alam. Kerentanan pulau-pulau kecil meliputi kerentanan lingkungan (environmental vulnerability), kerentanan sosial (social vulnerability), dan kerentanan ekonomi (economic vulnerability). Kerentanan lingkungan berbeda dengan kerentanan ekonomi maupun sosial disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) lingkungan termasuk di dalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan di setiap level kelompok spesies dan karakteristik fisik habitat, (2) berbeda dengan indikator umum untuk manusia (sosial) yang dapat digunakan dengan secara luas dengan menggunakan asumsi bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada umumnya sama, sedangkan indikator untuk lingkungan sangat dibatasi oleh kondisi geografi, dan (3) indikator ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang yang dapat digunakan secara luas di seluruh dunia dengan menggunakan unit pembanding (SOPAC 2005). Kerentanan pulau-pulau kecil dapat disebabkan oleh 3 faktor atau proses, yaitu proses-proses yang sifatnya global, proses yang terjadi di kawasan regional dan proses yang terjadi pada skala lokal (Pelling dan Uitto 2001). Proses global

48 30 adalah perubahan iklim yang berimplikasi terhadap kenaikan muka laut dapat mengancam keberadaan pulau-pulau kecil. Proses regional adalah pengaruh pencemaran yang berasal dari kota-kota yang berkembang pesat yang letaknya tidak jauh dari pulau-pulau kecil. Proses lokal adalah kerusakan lingkungan dan sumberdaya yang terjadi di pulau-pulau kecil sebagai dampak dari pertumbuhan penduduk. Selain itu, kerentanan pulau-pulau kecil juga dapat disebabkan karena karakteristik pulau-pulau kecil itu sendiri, seperti sifat insularitas pulau dan sifat remoteness pulau. Kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil juga disebabkan oleh keterbukaan pulau terhadap alam, degradasi lingkungan yang dialami pulau-pulau kecil, dan kemampuan resiliensi pulau-pulau kecil. Kerentanan lingkungan akan mempengaruhi sistem lingkungan yang selanjutnya akan mempengaruhi keberlanjutan pembangunan di pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun merupakan ekosistem yang memiliki peran dalam menopang sistem keberlanjutan pulau-pulau kecil. Moberg dan Folk (1999) mengidentifikasi peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa (Tabel 7). Tabel 7. Peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa dalam pengelolaan pulau-pulau kecil Barang Sumberdaya Batu karang pulih Makanan laut Batu karang, pasir untuk bahan bangunan Bahan Bahan mentah untuk mentah untuk obat semen Ikan hias dan ikan konsumsi Minyak dan gas Peran ekologi Jasa fisik Pelindung pantai/erosi Membentuk daratan Mendukung pertumbuhan mangrove dan lamun Memelihara resiliensi Sumber : Moberg dan Folk (1999) Jasa Biologi Dalam Antar ekosistem ekosistem Memelihara Mendukung habitat bioekologi melalui Memelihara biodiversity dan genetik Mendukung proses dan fungsi ekosistem interkoneksi Ekspor produksi organik dan plankton Jasa biogeokimia Fiksasi nitrogen Control CO 2 /Ca

49 Dinamika Kerentanan Kerentanan memiliki sifat yang dinamis, yang berarti kerentanan dapat berubah seiring dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Preston dan Stafford-Smith 2009). Perubahan kerentanan terjadi karena perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor-faktor sosial dan biofisik. Pada Gambar 5 disajikan dinamika kerentanan sebagai akibat dari perubahan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Gambar 5. Dinamika kerentanan pulau-pulau kecil (Preston dan Stafford-Smith 2009) Kuantifikasi Kerentanan Turner et al. (2003) menggambarkan kerentanan sebagai sebuah fungsi overlay dari ketersingkapan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas atau kemampuan adaptif (adaptive capacity). Selanjutnya Metzger et al. (2006) mengekspresikan konsep tersebut dalam bentuk matematika sebagai fungsi dari ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif sebagai berikut: V = f (E, S, AC) (1) atau dapat juga dituliskan sebagai fungsi dari potensi dampak (potensial impact = = PI) dan kapasitas adaptif yang dituliskan menjadi: V = f (PI, AC) (2)

50 32 Brenkert dan Malone (2005) juga menggambarkan kerentanan suatu negara atau wilayah terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut sebagai fungsi dari ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif (Gambar 6). Dimana parameter-paremeter dari ketersingkapan/keterbukaan, sensitivitas dan kapasitas adaptif akan mempengeruhi tingkat kerentanan suatu negara atau wilayah. Perubahan Iklim Ketersingkapan (-) Makanan Air Perumahan Kesehatan Ekosistem Sensitivitas Kerentanan dan Resiliensi Kapasitas Adaptif (+) Sumberdaya manusia Kemampuan Ekonomi Kapasitas lingkungan Gambar 6. Prototip indikator kerentanan-resiliensi (1) Ketersingkapan Keterkaitan antara kerentanan dengan ketersingkapan juga dikemukakan Adger (2006) dan Kasperson et al. (2005), dimana ketersingkapan merupakan salah satu konsep dari kerentanan, yang memiliki pengertian umum dalam hal tingkatan dan jangka waktu dari suatu sistem berinteraksi dengan gangguan. Ketersingkapan ini pada sebagian besar formulasi merupakan salah satu elemen pembangun kerentanan. Ketersingkapan merupakan sebuah atribut dari hubungan antara sistem dan gangguan (system and perturbation). Ketersingkapan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak pada suatu sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim (kenaikan muka laut), tidak hanya menyangkut masalah kejadian dan pola iklim yang mempengaruhi sistem, tetapi juga dalam skala yang lebih luas seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem itu sendiri yang diakibatkan oleh efek dari perubahan iklim.

51 33 Ketersingkapan digambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan operasional dari sistem dan perubahan dari kondisi tersebut (Allen 2005). Suatu masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan mengalami ketersingkapan yang berbeda dalam hal besaran (magnitude) dan frekwensi dari suatu gangguan (Luers et al. 2003). (2) Sensitivitas Sensitivitas adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim (Olmas 2001). Sementara itu, Allen (2005) mengemukakan bahwa sensitivitas merefleksikan respon dari suatu sistem terhadap pengaruh iklim (kenaikan muka laut) dan tingkat perubahan yang diakibatkan oleh perubahan tersebut. Sistem dikatakan sensitif apabila respon dari suatu sistem terhadap perubahan iklim tinggi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan iklim skala kecil. Pemahaman sensitivitas dari suatu sistem juga memerlukan pemahaman terhadap ambang batas dimana perubahan itu direspon oleh pengaruh iklim termasuk kenaikan muka laut. Dalam pendefinisian kerentanan dari suatu sistem, hal yang pertama diperlukan adalah pemahaman terhadap sensitivitas dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia yang akan terkena dampak (Luers et al. 2003). Adger (2006) mendefinisikan sensitivitas sebagai suatu tingkatan atau level dari sebuah sistem alam yang dapat mengabsorbsi atau menerima dampak tanpa mengalami gangguan atau penderitaan dalam jangka panjang atau mengalami perubahan signifikan dari kondisi lainya. Smit dan Wandel (2006) mengatakan bahwa sensitivitas tidak dapat dipisahkan dari ketersingkapan. Luers (2005) juga mengkombinasikan pengertian sensitivitas dan ketersingkapan, dimana mendefinisikan sensitivitas sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem. Lebih lanjut Luers (2005) mengatakan bahwa termasuk dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan dan kemampuan untuk pulih kembali ke kondisi semula setelah gangguan yang mengenai sistem berlalu.

52 34 (3) Kapasitas adaptif Adaptasi adalah penyesuaian oleh sistem alam atau manusia dalam merespon kondisi aktual dari iklim atau dampak dari perubahan iklim. Adaptasi merujuk kepada aksi manusia dalam merespon, atau mengantisipasi proyeksi atau perubahan nyata dari iklim, sedangkan mitigasi merujuk kepada aksi untuk mencegah, mereduksi memperlambat perubahan iklim (Hulme 2002). Kapasitas adaptif adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim (termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim) yang membuat potensi dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau untuk mengatasi konsekwensi dari perubahan tersebut (Fussel dan Klien 2006). Menurut Luers (2005), kapasitas adaptif merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan suatu sistem. Kapasitas adaptif menggambarkan kemampun dari suatu sistem terhadap perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam beradaptasi terhadap pengaruh eksternal. Adaptasi dapat direncanakan atau terjadi secara otomatis. Perencanaan adaptasi adalah suatu perubahan dalam mengantisipasi suatu variasi dari perubahan iklim. Perencanaan adaptasi ini sudah merupakan suatu ciri dari suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas suatu sistem untuk mengatasi konsekwensi perubahan iklim (Allen 2005). Kapasitas adaptif suatu sistem atau masyarakat menggambarkan kemampuan untuk memodifikasi karakteristik atau perilakunya sehingga mampu mengatasi dengan lebih baik dampak perubahan kondisi eksternal (Fussel dan Klein 2006). Kapasitas adaptif merupakan sifat yang sudah melekat dari suatu sistem yang didefinisikan sebagai kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap ketersingkapan (Smit dan Pilifosova 2003). Dalam hal ini, kapasitas adaptif direfleksikan dari resiliensi, misalnya sebuah sistem yang resilien memiliki kapasitas untuk mempersiapkan, menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi adalah kemampuan dari suatu entitas untuk resisten atau pulih dari suatu kerusakan (SOPAC 2005). Resiliensi alami (intrinsic resilience) adalah kemampuan alami suatu entitas untuk tahan terhadap kerusakan. Sebagai contoh, seseorang memiliki sistem kekebalan yang kuat secara alami akan lebih tahan terhadap kondisi dingin dibandingkan dengan seseorang yang lemah. Resiliensi adalah kemampaun dari suatu sistem,

53 35 komunitas atau sosial beradaptasi terhadap bahaya dengan cara meningkatkan resistensinya, atau melakukan perubahan untuk mencapai atau memelihara suatu batas yang dapat diterima atau ditolerir dari suatu fungsi atau struktur. Semisal sistem sosial, hal ini ditentukan oleh tingkat kapasitas suatu organisasi meningkatkan kemampuannya untuk belajar dari gangguan alam masa lalu untuk membuat proteksi yang lebih baik pada masa yang akan datang. Brooks (2003) mengklasifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas adaptif menjadi faktor yang spesifik dan faktor general/umum dan juga berdasarkan faktor endogenous dan exogenous. Faktor penentu yang bersifat umum dalam sistem sosial adalah sumberdaya ekonomi, teknologi, informasi dan keahlian serta infrastruktur. Faktor endogenous merujuk pada karakteristik dari perilaku penduduk atau masyarakat. Menurut Downing et al. (2001) untuk mengkuantifikasi kerentanan akan sangat sulit dilakukan bila tidak memungkinkan mengidentifikasi secara sistematis sistem yang paling rentan. Dalam kasus tertentu, sangat tergantung pada jenis tekanan dan keluaran variabel yang menjadi perhatian. Dampak tekanan relatif pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai objek untuk mengukur kerentanan (Luers et al. 2003). Pengukuran kerentanan hanya dapat dilakukan secara akurat jika berhubungan dengan spesifik variabel dibandingkan dengan menganalisis suatu tempat/lokasi. Hal ini disebabkan karena sistem yang paling sederhanapun cukup kompleks dan akan sulit untuk menghitung seluruh variabel, proses-proses dan gangguan yang dicirikan oleh kerentanan tersebut (Luers et al. 2003). Suatu sistem dapat menurunkan atau mengurangi kerentanan dengan memodifikasi hal-hal berikut (1) bergerak kepada fungsi yang lebih baik yang dapat mengurangi sensitivitasnya terhadap tekanan yang kritis, (2) merubah posisi relatif terhadap ambang batas dari suatu dampak, dan (3) memodifikasi ketersingkapan sistem terhadap tekanan. Dalam konteks adaptasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UNFCCC (2007) membagi dua jenis adaptasi, yaitu adaptasi yang bersifat reaktif, seperti (a) perlindungan terhadap infrastruktur di wilayah pesisir, (b) penyadaran masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap ekosistem pesisir dan laut, (c) pembangunan bangunan pelindung pantai (sea wall), perlindungan dan konservasi

54 36 terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai lainnya. Adaptasi lainnya adalah adaptasi yang sifatnya antisipasi, seperti (a) implementasi konsep dan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, (b) penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) penyusunan peraturan tentang perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) mengembangkan kegiatan penelitian dan pemantauan pantai dan ekosistem pesisir Indeks Kerentanan Indeks adalah tanda (signal) yang mengukur, menyederhanakan, dan mengkomunikasikan realita yang kompleks dari suatu kondisi (Farell dan Hart 1998). Indeks ini sangat berguna karena dapat membantu dalam menentukan target dan standar untuk memantau perubahan dan membandingkan entitas yang berbeda dalam hal tempat dan waktu (Easter 1999). Indeks dapat juga digunakan sebagai basis modal alokasi sumberdaya. GEF juga mengembangkan indeks kerentanan untuk menentukan alokasi pembiayaan di beberapa negara berkembang. Indeks dapat digunakan sebagai alat adaptive management menilai keberhasilan pemantauan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SOPAC 2005). Indeks umumnya melibatkan sejumlah indikator untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal (Bossel 1999). Untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke suatu nilai skoring pada beberapa skala. Kemampuan sebuah kerangka teori menghasilkan indikator kerentanan secara umum harus mencakup tiga komponen. Pertama, model kerentanan, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen model ketergantungan/keterkaitannya dengan komponen lainnya yang berasosiasi dengan komponen kerentanan. Kedua, model sistem yaitu menentukan cara untuk mendekomposisi target sistem yang membuatnya lebih praktis sehingga kerentanan dapat diinterpretasi dengan model yang dapat dibandingkan. Ketiga, model matematik yaitu penggunaan informasi secara menyeluruh ke dalam sistem model untuk mengorganisasi hirarki dari indikator kerentanan. Dalam kaitannya dengan perbedaan indikator kerentanan dengan lingkungan yang berbeda, ketiga komponen ini haruslah kompatibel (Villa dan McLeod 2002). Schroter et al. (2005) menyajikan 8

55 37 tahapan dalam melakukan kajian kerentanan, termasuk dalam menyusun indeks kerentanan pulau-pulau kecil, yaitu (1) mendefinisikan wilayah studi, baik secara spasial maupun temporal (2) mencari dan mengumpulkan informasi terkait dengan wilayah studi, melalui kajian literatur dan diskusi dengan peneliti sebelumnya; (3) mengembangkan hipotesis siapa/apa yang mengalami kerentanan; (4) mengembangkan model kerentanan dengan menguraikan ketersingkapan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif, mengidentifikasi faktor pendorong; (5) menentukan indikator untuk elemen kerentanan, seperti indikator ketersingkapan, indikator sensitivitas, dan indikator kapasitas adaptif; (6) mengoperasikan model kerentanan, melalui pembobotan dan penggabungan indikator, validasi hasil; (7) pengembangan lebih lanjut dengan memilih skenario dan aplikasi model; dan (8) mengkomunikasikan hasil kajian kerentanan kepada stakeholder Kenaikan Muka Laut Proses Kenaikan Muka Laut Selama proses pemanasan global (perubahan iklim), dua proses utama yang menyebabkan kenaikan rata-rata muka laut global adalah (1) pemanasan lautan yang menyebabkan pengembangan massa air sehingga terjadi peningkatan volume air (lautan), dan (2) pencairan es di daerah kutub yang juga menyebabkan peningkatan massa air. Selain itu, pada beberapa wilayah pesisir terjadi subsiden yang menambah kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut (USCCSP 2009). Perubahan muka laut dalam skala lokal tergantung pada perubahan yang terjadi pada skala global dan regional serta faktor-faktor lokal (Nicholls 2002). Komponen-komponen perubahan muka laut tersebut adalah (Church et al. 2001): Kenaikan rata-rata muka laut global, yaitu peningkatan volume global lautan karena pemanasan global dan mencairnya es di kutub. Faktor meteo-oseanografi regional seperti variasi spasial dampak ekspansi panas, perubahan tekanan atmosfir dalam jangka panjang dan perubahan sirkulasi lautan. Pergerakan vertikal daratan yang disebabkan oleh berbagai proses geologi dan tektonik.

56 38 Kajian terhadap kenaikan muka laut (sea level rise) dan dampaknya terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan peneliti. Secara global rata-rata kenaikan muka laut sekitar 2.5 mm/tahun, sedangkan secara lokal, di lokasi-lokasi tertentu bahkan dapat mencapai maksimum 30 mm/tahun. Nilai kenaikan yang signifikan tersebut terutama disebabkan oleh mengembangnya suhu air laut. Kajian kenaikan muka laut di Indonesia juga sudah banyak dilakukan. Proyeksi kenaikan muka laut dilakukan Hamzah et al. (in press) di sekitar perairan utara dan selatan Pulau Lombok. Pada tahun 2020 kenaikan muka laut di bagian utara P. Lombok akan terjadi kenaikan setinggi 10 cm dan di bagian selatan setinggi 12 cm. Pada tahun 2050 akan terjadi kenaikan setinggi 25 cm di bagian utara dan 32 cm di bagian selatan Pulau Lombok. DKP (2009) juga memprediksi laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Kabupaten Pangkajene Kepulauan sekitar 2.60 mm/tahun Dampak Kenaikan Muka Laut Dari sudut pandang geografi pesisir, dampak dari kenaikan muka laut terhadap pulau-pulau kecil tergantung pada dua hal, yaitu (1) tingkat kekritisan dari kenaikan muka laut (laju kenaikan pertahun), dan (2) karakteristik daratan pulau, seperti penggunaan lahan, topografi, dan penghalang pantai (Nallathiga 2006). Proyeksi kenaikan muka laut yang diakibatkan oleh pemanasan global akan mengancam wilayah pesisir yang memiliki elevasi rendah (Yamano et al. 2007; Barnet dan Adger 2003). Wilayah yang paling beresiko adalah pulau-pulau karang atau pulau atol, karena umumnya pulau ini memiliki elevasi atau ketinggian dari muka laut yang rendah (Yamano et al. 2007). Pulau atol ini memiliki permasalahan lingkungan yang umum menyebabkan kerentanan karena perubahan iklim (Barnet dan Adger 2003)). Kenaikan muka laut ini diprediksi akan menyebabkan perendaman, penenggelaman dan erosi pantai dari pulau-pulau karang (Leathermen 1997). Erosi pantai, perendaman dan intrusi air laut merupakan dampak dari kenaikan muka laut yang menimpa pulau-pulau atol di Tavalu (Aung et al. 2009). Hal yang sama juga dikemukakan Mimura (1999), bahwa dampak prinsip yang ingin diantisipasi dari kajian kerentanan pulau-pulau kecil khususya pulau atol adalah erosi pantai, perendaman pulau dan intrusi air laut. Upaya yang dilakukan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim

57 39 ini harus didasarkan pada kapasitas sistem alam yang kemudian didukung dengan perencanaan adaptasi yang baik berupa proteksi kawasan pesisir dan perubahan struktur bangunan (Klein dan Nicholls 1999; Hay et al. 2003). Wilayah pesisir termasuk pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang dinamis dan respon dari kawasan pesisir terhadap kenaikan muka laut lebih kompleks dari sekedar terjadinya perendaman. Erosi pantai adalah fenomena atau proses-proses alami yang terjadi karena adanya gelombang dan arus laut dan dapat menyebabkan hilangnya lahan darat (USCCSP 2009). Kenaikan muka laut dapat memperparah perubahan wilayah pesisir yang disebabkan oleh erosi pantai. Kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut, umumnya faktor elevasi daratan menjadi faktor kritis dalam kajian potensi dampak. Flora dan fauna yang umumnya sangat kaya terdapat di wilayah pesisir juga akan mendapatkan tekanan akibat pengaruh kenaikan muka laut. Kualitas dan kuantitas serta distribusi spasial dari habitat di wilayah pesisir akan berubah sebagai hasil dari erosi pantai, perubahan salinitas dan hilangnya daerah lahan basah. Ekosistem pesisir juga merupakan salah satu ekosistem yang mengalami kerentanan karena adanya kenaikan muka laut. Sejak vegetasi lahan basah akrab dengan kenaikan muka laut, maka ekosistem ini menjadi sensitif terhadap perubahan muka laut jangka panjang. Hasil pemodelan dari pesisir lahan basah (termasuk ekosistem lamun) menunjukkan bahwa sekitar 33 % dari lahan basah di dunia akan hilang dengan kenaikan muka laut sekitar 34 cm dalam kurun waktu 2000 sampai 2080, dan akan hilang sekitar 44 % pada kenaikan muka laut sekitar 72 cm (Church et al. 2007). Pada tahun 2100 kenaikan muka laut akan mengurangi ha ekosistem mangrove di 16 negara di kawasan pasifik. Masyarakat yang mendiami pulau-pulau atol ini memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kenaikan muka laut, sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Tavalu yang merupakan salah satu negara pulau atol (Yamano et al. 2007). Pulau-pulau atol umumnya memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan berpeluang terekspose terhadap kejadian alam di pulau-pulau atol (UNTAD 1999). Dampak kenaikan muka laut ditentukan oleh perubahan relatif kenaikan muka laut, yang direfleksikan tidak hanya oleh kecenderungan perubahan muka laut global tetapi juga oleh variasi lokal perubahan kenaikan muka laut dan proses

58 40 geologi seperti subsiden. Umumnya pulau yang mengalami subsiden akan lebih terancam dibandingkan pulau yang tidak mengalami subsiden. Dampak kenaikan muka laut juga dikemukakan Nicholls (2002) seperti disajikan pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Dampak utama kenaikan muka laut Dampak Biofisik Perendaman, banjir, gelombang, dampak efek backwater Kehilangan daerah lahan basah Erosi Faktor Relevan Lainnya Iklim Non Iklim Gelombang, perubahan morfologi, suplai sedimen, run-off Suplai sedimen Suplai sedimen, penanganan banjir, perubahan morfologi, pengelolaan daerah tangkapan air dan pemanfaatan lahan Suplai sedimen Gelombang dan badai Suplai sedimen iklim, suplai sedimen Intrusi air laut/air permukaan Run-off, curah hujan Pengelolaan daerah tangkapan air 2.6. Tinjauan Kajian Kerentanan Pesisir dan PPK Kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan pemanasan global terus berkembang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak dijadikan model dari kajian kerentanan karena melihat kenyataan pentingnya daerah pesisir sebagai penopang kegiatan perekonomian. Awalnya, Gornitzs (1992) mengembangkan indeks kerentanan pesisir dengan memasukkan parameter dampak pemanasan global seperti kenaikan muka laut serta perendaman yang digabungkan dengan parameter geomorfologi dan kajian oseanografi. Kajian ini banyak diadopsi oleh sistem penilaian lain yang berbasis pesisir sehingga memiliki sebuah angka (indeks) untuk pengelolaan wilayah pesisir. Beberapa model yang diperkenalkan Gornitz et al. (1992) untuk menghitung kerentanan pesisir (Coastal Vulnerability) adalah sebagai berikut: CVI n (3)

59 41 CVI X6 X7 CVI n CVI n CVI n (4) (5) (6) (7) CVI 6 = 4X 1 + 4X 2 + 2(X 3 +X 4 ) + 4X (X 6 +X 2 ) (8) Keterangan : CVI = Coastal Vulnerability Index n = jumlah variabel/parameter x 2 = Subsiden x 4 = Geomorfologi x 6 = Tinggi gelombang maksimum x 1 = Rata-rata elevasi x 3 = Geologi x 5 = Erosi pantai x 7 = Rata-rata tunggang pasang. Hasil uji sensitivitas dari 6 formula di atas, menunjukkan bahwa model CVI 5 merupakan formula yang lebih sesuai untuk mengukur kerentanan pesisir. Model CVI 5 tersebut banyak digunakan untuk menilai kerentanan pesisir seperti yang dilakukan Doukakis (2005) untuk menilai kerentanan pesisir di bagian barat Peloponnesa bagian selatan Yunani, dengan melakukan modifikasi bobot dari setiap variabel dan tidak memasukkan parameter geologi sebagai berikut: (9) CVI 6 Hal yang berbeda dilakukan Rao et al. (2008) dalam menilai kerentanan pesisir Andara Paradesh Coast, India. Dengan menggunakan 5 parameter yaitu geomorfologi (g), slope (s), perubahan garis pantai/erosi (c) kisaran pasang tertinggi (t), dan tinggi gelombang (w) mereka menguji parameter tersebut dengan metode penjumlahan dan perkalian. Dari hasil pengujian tersebut disimpulkan bahwa metode yang lebih sesuai adalah metode penjumlahan, yaitu: CVI = 4g + 4s + 2c + t + w (10)

60 42 dengan memberikan bobot pada g, s dan c yang lebih besar dari lainnya. Pendekatan yang sama juga dilakukan Hedge dan Reju (2007) untuk menghitung indeks kerentanan pesisir di Pantai Mangalore, India. Pendekatan yang digunakan adalah penjumlahan skor (1-5) dari empat parameter lalu dibagi 4, yaitu: CVI = (kelerengan + Geomorfologi + Populasi + Erosi)/4. (11) Kajian kerentanan pulau-pulau kecil telah dikembangkan SOPAC (1999) untuk menentukan kerentanan negara-negara kepulauan yang berada di kawasan Pasifik Selatan. Pendekatan yang digunakan adalah melakukan penjumlahan terhadap nilai skor (1-7) dari 50 parameter/indikator yang mencerminkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Aplikasi konsep yang dikemukakan SOPAC (1999) ini dilakukan Gowrie (2003) untuk menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau di Tobago. Pilihan terhadap metode penjumlahan atau perkalian untuk menghitung indeks kerentanan yang sesuai juga dikemukakan Villa dan McLeod (2002), dimana disebutkan bahwa penggunaan metode perkalian untuk subindikator yang komponennya saling berinteraksi adalah yang paling sesuai. Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan tentu akan merasakan dampak langsung dari fenomena ini, terutama di wilayah-wilayah pesisir. Sementara itu, mayoritas penduduk di Indonesia tersebar di dekat atau di sekitar wilayah pesisir. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut beserta variasi temporal dan spasial di wilayah regional atau lokal Indonesia merupakan salah satu data yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Kajian kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Departemen Kelautan telah mengembangkan indeks kerentanan pulau-pulau kecil pada tahun 2008 yang dilakukan di sekitar Kepulauan Seribu. Indeks kerentanan yang dikembangkan diadopsi dari Gornitz et al, (1992) yang dimodifikasi sesuai dengan perkiraan kondisi lokasi studi yang dijadikan sebagai contoh kasus. Kajian kerentanan lainnya dilakukan Marfai et al. (2007) yang mengkaji dampak banjir pasang terhadap masyarakat pesisir di Kota Semarang. Pendekatan

61 43 yang digunakan adalah analisis spasial dengan memetakan lahan-lahan yang berpotensi mengalami penggenangan dengan adanya banjir tersebut. Hamzah et al. (in press) juga mengembangkan kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Lombok. Hasil penelitian ini adalah dipetakannya tingkat kerentanan pesisir Pulau Lombok karena adanya kenaikan muka laut.

62 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data lapang dilakukan selama dua bulan, yaitu dari Bulan Nopember - Desember Lokasi penelitian adalah 3 pulau sangat kecil yang secara geografis memiliki karakteristik yang berbeda (Gambar 7, 8, 9). Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Karakteristik umum masing-masing pulau tersebut disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, P. Barrang Lompo dan P. Saonek Parameter P. Kasu P. Barrang Lompo P. Saonek Jenis pulau Petabah Karang Karang Vegetasi Mangrove - Mangrove Keterbukaan terhadap perairan Selat sempit Selat lebar Lautan Kepadatan penduduk Sedang Sangat padat Padat Sistem pulau Gugus Gugus Gugus Gambar 7. Lokasi penelitian (Pulau Kasu-Kota Batam)

63 45 Gambar 8. Lokasi penelitian (Pulau Barrang Lompo Kota Makasar) Gambar 9. Lokasi penelitian (Pulau Saonek-Raja Ampat)

64 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian kerentanan pulau-pulau kecil secara diagramatik disajikan pada Gambar 10. Penelitian diawali dengan penyusunan proposal penelitian. Setelah usulan penelitian disetujui dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian. Sebelum memulai pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan persiapan pelaksanaan penelitian. Hal-hal yang dipersiapkan antara lain penyediaan alat-alat pengukuran dan pengambilan data lapang, dan penyiapan daftar pertanyaan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengumpulan kedua jenis data ini dilakukan di beberapa lokasi yaitu di pulaupulau kecil yang menjadi objek penelitian (P. Kasu, P. Barrang Lompo, dan P. Saonek). Selain itu juga dilakukan pencarian data sekunder di tingkat kabupaten atau kota yang berhubungan dengan lokasi penelitian. Data primer dikumpulkan melalui pengukuran, pengamatan lapang, serta wawancara dengan masyarakat di lokasi studi. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data, dilanjutkan dengan pembahasan hasil penelitian dan penulisan disertasi. Gambar 10. Tahapan pelaksanaan penelitian kerentanan pulau-pulau kecil Tahapan analisis data kerentanan pulau-pulau kecil secara diagramatik disajikan pada Gambar 11. Pengumpulan data dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu survei lapangan dan kajian pustaka. Metode atau pendekatan analisis data, terdiri dari empat jenis metode, yaitu (1) analisis ekosistem dan sumberdaya

65 47 pulau-pulau kecil. Melalui analisis ini diperoleh gambaran umum tentang kondisi ekosistem dan sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil; (2) analisis karakteristik fisik dan sosial masyarakat. Hasil dari analisis ini adalah gambaran umum karakteristik fisik pulau seperti ketinggian pulau di atas permukaan laut, kelerengan pulau, dan karakteristik sosial masyarakat termasuk persepsi masyarakat, infrastruktur yang ada di pulau-pulau kecil; (3) analisis kecenderungan kenaikan muka laut, termasuk erosi pantai. Analisis ini menghasilkan informasi tentang kecenderungan kenaikan muka laut dan dampaknya; dan (4) analisis kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Hasil yang didapatkan dari analisis ini adalah dinamika kerentanan pulau-pulau kecil. Setelah dilakukan overlay terhadap hasil analisis didapatkan keluaran penelitian berupa indeks kerentanan pulau-pulau kecil dan strategi adaptasi pulau-pulau kecil. Gambar 11. Diagram tahapan analisis data kajian kerentanan pulau-pulau kecil 3.3. Diagram Pelingkupan Kerentanan Sebagaimana telah disebutkan dalam ruang lingkup penelitian, bahwa penelitian ini mengacu kepada konsep yang dikembangkan Turner et al. (2003) dan Fussel dan Klein (2005) yang menyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari dimensi ketersingkapan/keterbukaan, sensitivitas dan kapasitas adaptif dari suatu sistem pulau. Masing-masing dimensi tersebut tersusun dari parameter baik dari aspek geofisik, biologi/ekologi dan manusia (sosial ekonomi). Untuk

66 48 mengidentifikasi parameter dimensi kerentanan tersebut digunakan konsep Vulnerability Scoping Diagram (VSD) atau diagram pelingkupan kerentanan yang dikemukakan Polsky et al. (2007) (Gambar 12). Gambar 12. Diagram pelingkupan kerentanan (vulnerability scoping diagram) pulau-pulau kecil (Adopsi dari Polsky 2007) Exposure (Ketersingkapan) 1. Kenaikan Muka Laut (SR) Kenaikan muka laut akan meningkatkan potensi rendaman dan penggenangan pulau-pulau kecil (Mimura, 1999). Pesisir dan pulau-pulau kecil dataran rendah merupakan wilayah yang paling terancam dampak kenaikan muka laut. Laju kenaikan muka laut dan dampak telah banyak dikaji khususnya di negara-negara kepulauan. Luas daratan pulau-pulau

67 49 kecil yang terendam sangat ditentukan oleh ketinggian pulau tersebut dari permukaan laut. IPCC Third Assessment Report (2001) menyebutkan proyeksi rata-rata kenaikan muka laut antara cm sejak tahun 1900 sampai Rata-rata kenaikan muka laut global 3.32 mm/tahun. Dalam penelitian ini data kecenderungan kenaikan muka laut di perairan sekitar lokasi penelitian diperoleh dari AVISO (Archiving, Validation and Interpretation of Satellites Oceanographic) yang dapat diunduh di alamat 2. Erosi Pantai (ER) Erosi pantai adalah proses dinamis dari wilayah pesisir atau daerah pantai karena adanya faktor-faktor oseanografis. Namun, ditengarai laju erosi di pulau-pulau kecil semakin meningkat dengan adanya kenaikan muka laut (Jallow et al. 1996). Selain karena kenaikan muka laut, laju erosi juga sangat ditentukan oleh tipologi pantai (substrat pantai), dan profil pantai. Dalam penelitian ini, data erosi diperoleh dari informasi masyarakat dengan menggunakan indegenous knowledge di masyarakat. Traditional knowledge ini merupakan aspek penting dalam merekam berbagai kejadian alam termasuk perubahan garis pantai di suatu pulau (Mimura 1999). Masyarakat yang hidup di pulau mampu merekam berbagai perubahan yang terjadi di pulau tersebut, termasuk perubahan garis pantai. 3. Rara-Rata Tunggang Pasang (PS) Pasang merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Parameter ini juga akan memberikan kontribusi terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. Semakin besar rata-rata tunggang pasang, semakin tinggi tingkat ketersingkapan pulau terhadap pasang. Data pasang diperoleh dari data pengukuran tide gauge yang telah dilakukan oleh beberapa instansi seperti Bakosurtanal, Dinas Hidrooseanografi.

68 50 4. Rata-Rata Tinggi Gelombang (GL) Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak lurus permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal, yang disebabkan oleh angin. Significant wave height (SWH) adalah nilai gelombang tertinggi yang mungkin terjadi. Saat gelombang pecah di pantai akan mengangkut sedimen (material pantai) menuju laut dalam akibatnya terjadi erosi/pengikisan pantai. Parameter ini juga merupakan variabel dari kerentanan pulau-pulau kecil. Semakin tinggi gelombang laut, tingkat ketersingkapan juga semakin besar. Data tinggi gelombang diperoleh dari AVISO yang dapat diunduh di oceanobs.com/?action=listproductmetadata&service=avisonrt&product=nrtmisc_msw h_merged. 5. Kejadian Tsunami (TS) Tsunami adalah gelombang laut akibat adanya pergerakan atau pergeseran di bumi di dasar laut, dimana terjadi penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar ke seluruh penjuru mata angin. Peristiwa tsunami merupakan salah satu bencana alam yang sering menimpa wilayah Indonesia. SOPAC (1999) memasukkan parameter ini sebagai salah satu parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Data kejadian tsunami diperoleh dari NGDC (National Geophysical Data Center) yang dapat diunduh melalui Data kejadian tsunami untuk wilayah Indonesia tercatat kejadian tsunami dari tahun Pertumbuhan Penduduk (PD) Pertumbuhan penduduk juga merupakan salah satu parameter dari ketersingkapan. SOPAC (1999) mengemukakan bahwa semakin tinggi pertumbuhan penduduk di suatu pulau akan meningkatkan kerentanan pulau-pulau kecil. Sejalan dengan Tompkins et al. (2005), menyebutkan bahwa pulau yang memiliki penduduk yang padat akan memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpenduduk rendah atau tidak berpenduduk. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk, semakin tinggi sifat exposure dari pulau tersebut. Data laju pertumbuhan penduduk

69 51 dianalisis dari data statistik yang didapatkan dari catatan kependudukan di setiap pulau. 7. Kepadatan Penduduk (KP) Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan terhadap ruang (lahan) juga akan meningkat. Padahal, lahan merupakan faktor pembatas di pulaupulau kecil. Peningkatan penduduk akan memberikan tekanan terhadap lingkungan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat memberikan dampak terhadap berkurangnya kemampuan pulau-pulau kecil beradaptasi terhadap kenaikan muka laut. SOPAC (1999) juga menjadikan kepadatan penduduk sebagai indikator kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Data kepadatan penduduk diperoleh dari data statistik kependudukan di setiap pulau dibagi dengan luas pulau tersebut Sensitivity (Sensitivitas) 1. Elevasi (EL) Elevasi pulau merupakan salah satu parameter yang menentukan apakah suatu pulau rentan terhadap kenaikan muka laut. Pulau-pulau kecil yang memiliki elevasi yang rendah merupakan daerah yang paling mudah terkena dampak kenaikan muka laut berupa perendaman/penggenangan. Mimura (1999) mengkaji potensi penggenangan pulau-pulau atol di kawasan Pasifik melihat potensi yang tinggi karena pulau tersebut memiliki elevasi yang rendah. Data elevasi pulau diperoleh dari pengukuran di lapang dengan menggunakan alat pengukuran topografi (total station) yang kemudian dianalisis dengan mengunakan sistem informasi geografis. 2. Kelerengan/Slope (SL) Kemiringan atau kelerengan daratan suatu pulau mempengaruhi tingkat kerentanannya terhadap kenaikan muka laut. Gornitz et al. (1992) memasukkan parameter ini dalam mengkaji kerentanan pesisir sebagai salah satu variabel dari kerentanan wilayah pesisir terhadap kenaikan muka laut. Kelerengan memiliki korelasi dengan elevasi pulau. Dimana pulau-pulau yang datar akan memiliki kelerengan yang landai. Semakin kecil kelerengan pulau akan meningkatkan kerentanan terhadap kenaikan

70 52 muka laut. Data kemiringan pulau diperoleh dari pengukuran di lapang dengan menggunakan alat pengukuran topografi (total station). 3. Tipologi Pantai (TP) Tipologi pantai juga memiliki keterkaitan dengan kerentanan pulau-pulau kecil khususnya dikaitkan dengan peningkatan erosi pantai. Ada jenis pantai yang mudah mengalami erosi dan ada pulau yang memiliki daya tahan yang kuat terhadap proses erosi pantai. Beberapa jenis pantai yang memiliki daya tahan rendah terhadap erosi adalah pantai hasil endapan dan pantai berpasir. Sebaliknya tipologi pantai dari jenis pantai bervegetasi memiliki daya tahan terhadap erosi. Data tipologi pantai diperoleh dari pengamatan di lapangan yang kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti. 4. Penggunaan Lahan (PL) Jenis pemanfaatan lahan di pulau-pulau kecil juga memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kenaikan muka laut karena perendaman atau penggenangan daratan. Kategori pemanfaatan lahan atau peruntukan lahan di pulau-pulau kecil telah ditetapkan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Semakin rentan suatu pemanfaatan atau peruntukan lahan terhadap suatu kenaikan muka laut, pemanfaatan tersebut semakin sensitif (Brenkert dan Malone 2005). Data penggunaan lahan diperoleh melalui pengamatan di lapangan yang kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti. 5. Pemukiman Penduduk (PP) Pemukiman dan infrastruktur lainnya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu parameter yang sensitif terhadap kenaikan muka laut (Brenkert dan Malone 2005). Sensitivitas semakin tinggi dengan banyaknya bangunan/pemukiman yang berada pada wilayah yang memiliki resiko tinggi terhadap kenaikan muka laut. Cardona (2003) menyatakan bahwa besarnya resiko atau dampak terhadap pemukiman sangat terkait dengan lokasinya terhadap ketersingkapan. Data penyebaran pemukiman diperoleh dari pengamatan secara langsung di lapangan yang kemudian diplotkan dalam peta pulau yang diteliti.

71 Adaptive Capacity (kapasitas adaptif) 1. Habitat Pesisir (HP) Kemampuan ekosistem pesisir untuk meredam pengaruh dari luar terhadap pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh proporsi habitat pesisir. Bengen (Personnel Communication, 6 Nopember 2009), menyebutkan bahwa habitat pesisir memiliki kemampuan melindungi terhadap gangguan dari luar. Semakin besar proporsi habitat pesisir terhadap daratan pulau-pulau kecil, semakin tinggi kemampuan perlindungan yang diberikan terhadap daratan pulau tersebut. Habitat pesisir terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari ekosistem pesisir yaitu ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun, sedangkan komponen abiotik terdiri dari pantai berpasir, pantai berbatu dan pantai berlumpur. Kench et al. (2006) menunjukkan perubahan tinggi gelombang ke arah pantai berbanding dengan panjang terumbu ke arah pantai. Data proporsi habitat pesisir pulau-pulau kecil diperoleh dengan melakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan yang kemudian diplotkan dalam peta. 2. Kerapatan Mangrove (MR) Kapasitas adaptif dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat bersumber dari sistem alamiah pulau maupun dari sistem sosial masyarakat di pulau tersebut (Mimura 1999). Ekosistem mangrove selain memiliki fungsi secara fisik, juga memiliki peran secara ekologi dalam mendukung keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Ekosistem mangrove memiliki kemampuan sebagai perangkap sedimen, pelindung dari badai angin, mencegah banjir di kawasan pesisir (Mahmood et al. 2005). Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi memperlambat erosi pantai (Otman 1994; Vermaat dan Thampanya 2006). Terdapat dua faktor yang menentukan peran dari kapasitas adaptif ekosistem mangrove yaitu luas hamparan mangrove dan tingkat kerapatan (Alongi 2008). Data kerapatan dan luas mangrove diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan yang kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti.

72 54 3. Terumbu Karang (TK) Ekosistem terumbu karang juga merupakan ekosistem alamiah dari pulau kecil (Mimura 1999). Ekosistem ini memiliki kemampuan dalam meningkatkan kapasitas adaptif pulau kecil terhadap gangguan alam termasuk kenaikan muka laut dan berbagai implikasinya. Seperti halnya ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang juga memiliki fungsi fisik dan ekologi yang sangat menentukan keberlanjutan dan sistem pulau-pulau kecil. Ekosistem ini memiliki peran dalam meredam energi gelombang menuju ke arah pantai. Data tentang kualitas dan sebaran terumbu karang didapatkan dari hasil pengamatan secara langsung di lapangan dengan menggunakan metode PIT (point line transect). 4. Padang Lamun (LM) Ekosistem lamun juga merupakan salah satu parameter dari sistem alamiah pulau-pulau kecil yang dapat meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil. Ekosistem lamun memiliki fungsi sebagai stabilisator dan perangkap sedimen (USFWS 2009; NOAA 2004). Lamun memiliki kemampuan perangkap sedimen sekitar 1 cm per 100 tahun (EPA 2009; Torbay s Seagrass Project 2009). Sedimen ini memiliki peran untuk memproteksi garis pantai dari hantaman gelombang. Hubungan antara ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di kawasan pesisir memiliki peran penting menjaga sistem ekologi di pulau-pulau kecil. 5. Konservasi Laut (KL) Kawasan konservasi laut adalah instrumen pengelolaan yang dapat meningkatkan resiliensi pulau-pulau kecil (SOPAC 2005). Moreno dan Becken (2009) menjadikan kawasan konservasi laut sebagai paratemer kapasitas adaptif dalam kerentanan wisata pesisir terhadap perubahan iklim. Kawasan pesisir yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut dapat meningkatkan kualitas ekosistem di dalamnya seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun. Dahuri (1997) menyebutkan bahwa untuk mengoptimalkan kawasan konservasi laut, perlu menetapkan suatu kawasan secara permanen yang tidak boleh diganggu dengan proporsi minimal 20 % untuk preservasi dan 30 % untuk kawasan

73 55 konservasi. Sementara DKP (2009b) menyebutkan bahwa untuk pulau kecil kawasan pesisir yang perlu dikonservasi sebesar 30 % dan pulau sangat kecil, sebesar 50 % dari luas pulau. Proporsi kawasan konservasi laut yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proporsi dari luas pesisir (mangrove, terumbu karang dan lamun). Pengumpulan data tentang kawasan konservasi laut dilakukan melalui wawancara dengan masyarakat Penentuan Skala dan Bobot Parameter Kerentanan Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam penentuan indeks adalah metode penskalaan parameter ke dalam nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut dinyatakan sebagai nilai skor dari suatu parameter. Bossel (1999) menyatakan bahwa untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke suatu nilai skoring pada beberapa tingkatan. Terdapat banyak penelitian yang menggunakan pendekatan ini untuk menentukan indeks suatu objek. Dari penelitian tersebut, ditemukan perbedaan dalam menentukan jumlah tingkatan atau peringkat skala dan skoring yang digunakan. SOPAC (1999) menggunakan 7 tingkatan (1-7), Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) menggunakan 5 tingkatan (1-5). Untuk memaknai setiap nilai skor tersebut, baik SOPAC (1999), Doukakis (2005) maupun Rao et al. (2008) memberikan definisi dari setiap skor (Tabel 10). Skala 1-7 yang dikemukakan SOPAC (1999) memiliki nilai tengah yang disebut dengan rata-rata dan nilai minimum dan maksimum sebagai batas bawah dan batas atas. Adapun Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) menggunakan nilai tengah sebagai nilai sedang, nilai terendah dan tertinggi sebagai batas bawah dan batas atas. Tabel 10. Beberapa contoh penentuan skala SOPAC (1999) Doukakis (2005) The lowest incidence average Skala/skor Significantly less than average Slightly less than average Avera ge Slightly more than average Significantly more than average Very low Low Moderate High Very high - - The highest incidence possible Dalam menentukan nilai parameter pada setiap tingkatan skala di atas, SOPAC (1999) menggunakan 6 model, yaitu linear effect, diminishing marginal

74 56 effect, increasing marginal effect, s-shaped effect, discountinous dan part scale. Model linear effect adalah memberikan nilai-nilai parameter secara sama ke dalam 7 tingkatan. Dalam mengembangkan konsep indeks kerentanan pulaupulau kecil pada penelitian ini, penentuan skala mengacu kepada pendekatan yang dikemukakan Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008). Hal ini dilandasi alasan kemudahan dalam mendefiniskan skala setiap parameter. Selain itu, sebagian besar parameter yang digunakan dalam mengkonstruksi indeks kerentanan pulaupulau kecil sama dengan yang digunakan Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008). Untuk menentukan nilai beberapa parameter yang belum pernah digunakan oleh peneliti lainnya, digunakan model linear effect, yaitu membagi nilai-nilai parameter secara sama kedalam 5 tingkatan, seperti untuk penentuan nilai skor untuk parameter habitat pesisir dan konservasi laut. Dengan mengacu pada pendekatan penentuan peringkat skala dan skor yang disebutkan di atas, sistem penskalaan dan skoring penelitian ini seperti disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11. Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan lingkungan pulaupulau kecil untuk dimensi exposure dan sensitivity Parameter Nilai Skor Sumber Exposure Kenaikan muka laut < >25 DKP (2008) (mm/thn) Erosi pantai (m/thn) > (-2.0) <-2.0 Gornitz et al. (1992) Rata-rata tunggang pasang (m) Tinggi gelombang (m) Kejadian tsunami dalam kurun waktu 1900 sampai saat ini Pertumbuhan penduduk (%) Kepadatan penduduk (jiwa/ha) Sensitivity < >4 DKP (2008) < >2 DKP (2008) >10 Modifikasi SOPAC (1999) < Modifikasi dari SOPAC (1999) < >400 BSN (2004) Elevasi (m) > Hamzah et al. (in press) Slope (%) > Hamzah et al. (in press ) Tipologi pantai bervegetasi berbatu berkerikil pantai berpasir pantai hasil endapan DKP (2009a) Penggunaan lahan Letak pemukiman pendudk Lahan terbuka budidaya laut ketinggian >5m ketinggian 2-5m budidaya pertanian di belakang sempadan pantai peternakan pemukiman DKP (2009a) sekitar pantai di atas perairan Modifikasi dari Malone et al. (2005)

75 57 Tabel 12. Sistem penskalaan dan skoring tingkat adaptive capacity pulau-pulau kecil Parameter Habitat pesisir (proporsi terhadap luas daratan pulau) lebih kecil atau sama Nilai Skor kali lebih besar 3 kali lebih besar 4 kali lebih besar 5 kali daratan pulau Sumber Bengen (Personnel Communication, 6 Nopember 2009) Terumbu karang (%) KLH (2001) Mangrove < > KLH (2004) (pohon/ha) Padang lamun (%) > 60.0 KLH (2004) Konservasi laut (proporsi terhadap habitat pesisir) >50 Modifikasi dari DKP (2009b) Teknik penentuan bobot untuk setiap parameter ketiga dimensi kerentanan (exposure, sensitivity, adaptive capacity) dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pemberian bobot secara langsung berdasarkan signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan lingkungan (Doukakis 2005), penentuan bobot dengan matriks perbandingan (Villa dan McLeod 2002); Hossain (2001), dan analisis regresi linear. Dalam penelitian ini, pendekatan penentuan bobot yang digunakan mengacu pada pendekatan matriks perbandingan sebagaimana dikemukakan Hossain (2001) Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung didapatkan di lokasi penelitian, baik melalui pengukuran, pengambilan contoh/sampel, pengamatan maupun wawancara dengan responden. Adapun data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan dan dipublikasikan oleh pihak lain. Secara umum pengelompokan data yang dikumpulkan terdiri dari data geofisik, data ekobiologi, dan sosial ekonomi. Secara ringkas kebutuhan dan teknik pengumpulan data disajikan pada Tabel 13.

76 58 Tabel 13. Teknik pengumpulan data No. A. Geofisik Jenis data Teknik pengumpulan data 1. Kenaikan muka laut Terdapat tiga teknik pengumpulan data kenaikan muka laut, yaitu data rekaman tide gauge, data dari model SRES, Data AVISO 2. Gelombang Data gelombang juga diperoleh dari AVISO 3. Pasang surut Pengukuran data pasang dengan menggunakan tide gauge 4. Kejadian tsunami Data kejadian tsunami diperoleh dari NGDC (National Geophysical Data Center) 5. Erosi (perubahan garis pantai) 7. Elevasi pantai, kemiringan, luas pulau, luas habitat pesisir Pengukuran pantai yang tererosi Pengukuran dan pemetaan dengan menggunakan alat Total Station Keterangan Penelitian ini menggunakan data dari AVISO yang diunduh dari aviso.oceanobs. com/en/news/oceanindicators/mean-sea-level/index.html. Data tersebut kemudian diekstrak dengan program Ocean Data View (ODV 4.1). Data kecenderungan kenaikan muka laut yang tersedia dari tahun Data gelombang diunduh dari /?action=listproductmetadata&service= AvisoNRT&product=nrtmisc_mswh_merged. Data yang tersedia Data pasang yang digunakan adalah data pasang yang diperoleh dari Dinas Hidrooseanografi. Data kejadian tsunami diunduh dari ml. Untuk wilayah Indonesia tercatat kejadian tsunami dari tahun Data perubahan garis pantai diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa anggota masyarakat yang memiliki informasi terkait perubahan garis pantai dari tahun-tahun sebelumnya. Pengukuran ketinggian daratan pulau dilakukan dengan menggunakan total stasion yang memiliki ketelitian hingga satuan milimeter (mm) 8. Tipologi pantai Pengamatan lapangan Tipologi pantai diamati secara langsung di lapangan, kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti. B. Ekobiologi 1. Terumbu karang Pengamatan dan pengukuran di lapangan 2. Mangrove Pengamatan dan pengukuran di lapangan 3. Lamun Pengamatan dan pengukuran di lapangan Untuk pulau yang belum memiliki data sekunder, dilakukan pengamatan terumbu karang dengan metode PIT (point line transect) Menggunakan metode transek garis dan petak contoh (line transect plot) Menggunakan metode transek garis dan petak contoh (line transect plot)

77 59 No. Jenis data C. Sosial ekonomi 1. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk Teknik pengumpulan data Data sekunder dari statistik kelurahan 2. Penggunaan lahan Pengamatan dan pemetaan 3. Pola pemukiman Pengamatan dan pemetaan 4. Pengelolaan pulaupulau kecil (konservasi laut) Wawancana dengan masyarakat. - Keterangan Penggunaan lahan diamati secara langsung di lapangan, kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti. Pola pemukiman diamati secara langsung di lapangan, kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti Analisis Data Analisis Ekosistem Pesisir (1) Ekosistem Terumbu Karang Data ekosistem terumbu karang yang dianalisis mencakup luasan (sebaran habitat) dan persentasi tutupan karang hidup. Analisis sebaran ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis. Adapun kualitas tutupan karang hidup dianalisis dengan menggunakan kriteria yang dikemukakan KLH (2001). Kualitas tutupan karang hidup dibagi menjadi empat kategori, yaitu kondisi buruk, sedang, baik dan sangat baik (Tabel 14). Tabel 14. Kriteria persentasi penutupan karang hidup Persentase Tutupan Karang Hidup (%) Kondisi 0.0% % Buruk 25.0% % Sedang 50.0% -74.9% Baik 75.0% - 100% Sangat Baik Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2001)

78 60 2. Ekosistem Mangrove Seperti halnya dengan analisis terumbu karang, analisis ekosistem mangrove juga mencakup analisis spasial atau sebaran habitat dan analisis kualitas tutupan dalam bentuk kerapatan pohon mangrove. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis, sedangkan analisis tingkat kerapatan dilakukan dengan menghitung jumlah pohon dalam satuan hektar (pohon/ha). Untuk menilai tingkat kerapatan mangrove digunakan kriteria yang dibuat Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2004). Kriteria yang digunakan untuk menilai kerapatan mangrove terdiri dari tiga kategori, yaitu kepadatan jarang, sedang dan sangat padat (Tabel 15). Tabel 15. Kriteria baku kerusakan mangrove Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (Pohon/Ha) Baik Sangat Padat > 70 > Rusak Sedang > 50 - < 70 > < Jarang < 50 < Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004) 3. Padang Lamun Data ekosistem padang lamun juga mencakup data tentang distribusi spasial dan kualitas tutupan. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis, sedangkan analisis kualitas tutupan lamun menggunakan kriteria yang dikemukakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004). Kualitas tutupan lamun dibagi menjadi tiga, yaitu sangat kaya, kurang kaya dan miskin (Tabel 16). Tabel 16. Kategori penutupan lamun Kondisi % Penutupan Area Baik Sehat/kaya 60 Rusak Kurang kaya/kurang sehat Miskin 29.9 Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004)

79 Analisis Karakteristik Geofisik Pulau-Pulau Kecil Parameter geofisik pulau kecil yang dianalisis adalah kelerengan pantai (coastal slope), ketinggian atau elevasi pulau dari permukaan laut, dan tipologi/jenis pulau, laju erosi pantai, dan parameter oseanografi seperti gelombang dan pasang surut. Kelerengan pantai berhubungan dengan kemudahan dari suatu pantai/pesisir mengalami perendaman atau penggenangan apabila terjadi banjir atau kenaikan muka laut dan mempercepat bergesernya garis pantai. Demikian juga dengan faktor elevasi pulau, akan menentukan seberapa lama suatu pulau akan mengalami perendaman dengan adanya kenaikan muka laut dari tahun ke tahun. Tipologi secara tidak langsung juga menentukan kemudahahan suatu pulau mengalami perendaman, misalnya pulau-pulau dataran rendah lebih cepat mengalami perendaman dibandingkan pulau berbukit. Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk analisis kenaikan muka laut, seperti yang dikemukakan Hamzah et al. (in press), yaitu: 1. Berdasarkan data pasang surut dari rekaman tide gauge serta proyeksi perubahan duduk tengahnya yang diasumsikan secara linear 2. Berdasarkan data satelit altimetri ADT yang diperoleh dari AVISO. 3. Berdasarkan model kenaikan permukaan laut (sea level rises = SLRs) dengan skenario SRES (Special Report on Emissions Scenarios) series IPCC. Kenaikan muka laut akan meningkatkan potensi rendaman daratan pulau kecil. Selain kenaikan muka laut, potensi rendaman daratan pulau kecil juga dapat disebabkan oleh faktor lain seperti pasang surut, dan subsiden dari suatu pulau. Parameter-parameter oseanografi seperti pasang surut, gelombang laut, erosi pantai juga dianalisis mengingat parameter ini memiliki kontribusi terhadap kerentanan pulau-pulau kecil Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi Parameter sosial ekonomi yang dianalisis adalah pertumbuhan dan kepadatan penduduk, mata pencaharian, pola persebaran pemukiman penduduk dan kearifan lokal terkait dengan pengelolaan lingkungan. Pertumbuhan penduduk dianalisis dengan membandingkan jumlah penduduk dari tahun ke tahun, untuk mendapatkan laju pertumbuhan penduduk per tahun. Sementara kepadatan penduduk dianalisis dengan membandingkan jumlah penduduk dengan

80 62 ketersediaan lahan daratan yang layak dihuni. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui jenis mata pencaharian masyarakat di pulau-pulau kecil, pola-pola persebaran pemukiman dan kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat dalam melindungi sumberdaya pesisir Konstruksi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Konstruksi model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dilakukan dengan mensintesi beberapa model kerentanan yang telah dibuat oleh peneliti sebelumnya. Algoritma pembuatan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil mengikuti alur seperti pada Gambar 13. START Karakterisasi Sistem Konstruksi model Matematika Analisis Evaluasi Cukup? N Y Aplikasi Model STOP Gambar 13. Algoritma penyusunan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil

81 63 Konstruksi model indeks kerentanan lingkungan dimulai dengan pemahaman terhadap karakter sistem yang akan diteliti, dalam hal ini adalah karakter pulau-pulau kecil. Karakteristik parameter kerentanan lingkungan pulaupulau kecil dianalisis untuk memahami karakteristik dari sistem tersebut. Berdasarkan pemahaman tersebut dilakukan identifikasi parameter-paremeter lingkungan yang mempengaruhi kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Setelah parameter kerentanan lingkungan diketahui lalu dilakukan konstruksi model indeks kerentanan. Setelah dilakukan analisis dan evaluasi terhadap model yang dibentuk akan diketahui apakah model tersebut sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Apabila belum akan dilakukan perbaikan, dan apabila sesuai akan diaplikasikan pada pulau-pulau kecil yang telah dipilih dalam penelitian ini Penentuan Bobot Menurut Villa dan McLeod (2002) salah satu pendekatan yang digunakan dalam memberikan bobot adalah matriks perbandingan berpasangan yang sudah dikembangkan oleh Saaty (1980). Matriks perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Tahapan-tahapan pengolahan bobot parameter kerentanan lingkungan adalah sebagai berikut: 1. Memberikan nilai signifikansi setiap parameter kerentanan lingkungan pulaupulau kecil 2. Menyusun matriks perbandingan dari masing-masing parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, sebagai berikut: C1 C2. Cn A=(aij)= C1 1 a12. a1n C2 1/a12 1. a2n.... Cn 1/a1n 1/a2n. 1 Dalam hal ini, C1, C2,...Cn adalah parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Nilai signifikansi perbandingan berpasangan membentuk matriks n x n.

82 64 Nilai aij merupakan nilai matriks perbandingan parameter yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj. Cara pengisian elemen-elemen matriks pada di atas adalah: 1. Elemen a[i, j] = 1 dimana i = 1,2,,n (untuk penelitian n = 4) 2. Elemen matriks segitiga atas sebagai input 3. Elemen matriks segitiga bawah mempunyai rumus,,, (12) Matriks gabungan, merupakan matriks baru yang elemen-elemennya berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks yang nilai rasio inkonsistensinya memenuhi syarat. Pengolahan horizontal, yaitu: a) perkalian baris, b) Perhitungan vektor prioritas atau vektor ciri (eigen vector), c) perhitungan akar ciri (eigen value) maksimum, dan d) perhitungan rasio inkonsistensi. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk menghitung konsistensi penilaian signifikansi parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. 3. Menghitung eigen value setiap baris dengan menggunakan rumus sebagai berikut:. (13) C 1,C 2,.,C n dan bobot pengaruhnya adalah w 1, w 2,.,w n. Misalkan a ij = w i / w j menunjukkan kekuatan C i jika dibandingkan dengan C j. Matriks dari angkaangka a ij ini dinamakan matriks pairwise comparison, yang diberi simbol A, yang merupakan matriks reciprocal, sehingga a ji = 1 / a ij. jika z i,..,z n adalah angka-angka yang memenuhi persamaan Aw = λw dimana λ merupakan eigen value dari matriks A, dan jika a ij = 1 untuk semua i, maka : (14) 4. Menguji konsistensi setiap matriks berpasangan antar alternatif dengan rumus masing-masing elemen matriks berpasangan pada langkah 3 dikalikan dengan nilai prioritas kriteria. Hasil masing-masing baris dijumlahkan, kemudian hasilnya dibagi dengan masing-masing nilai

83 65 prioritas kriteria sebanyak n. Menghitung Lamda max ( ) dengan rumus: λ / (15) Menghitung Consistency Index (CI) dengan rumus : (16) Menghitung dengan rumus : CR (17) RC adalah nilai yang berasal dari tabel acak seperti Tabel 17. Jika CR < 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan konsisten. Jika CR >0.1, maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan tidak konsisten. Jika tidak konsisten, maka pengisian nilai-nilai pada matriks berpasangan oleh setiap parameter harus diulang. Hasil akhirnya berupa prioritas global sebagai nilai yang digunakan oleh pengambil keputusan berdasarkan skor yang tertinggi. Tabel 17. Random Consistency (RC) n RC 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51

84 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Model indeks kerentanan yang dikonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari model statis indeks kerentanan lingkungan dan model dinamik indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Model statis indeks kerentanan lingkungan dimaksudkan untuk menghitung indeks kerentanan saat ini (sesaat), sedangkan model dinamik indeks kerentanan lingkungan digunakan untuk melakukan prediksi dinamika kerentanan pada masa yang akan datang Indeks Kerentanan Saat Ini Seperti telah disebutkan dalam Sub Bab 1.7, konsep kerentanan lingkungan yang diacu dalam penelitian ini adalah konsep kerentanan yang dikemukakan Turner et al. (2003), bahwa kerentanan (V) merupakan fungsi overlay dari exposure (E), sensitivity (S), dan adaptive capacity (AC), yang selanjutnya diekspresikan secara matematika oleh Metzger et al. (2006) seperti pada persamaan (1). Persamaan (1) tersebut diekspresikan lebih lanjut dalam bentuk persamaan matematika oleh Hamzah et al. (in press) dan juga memiliki kesamaan yang dikembangkan UNU-EHS (2006) menjadi: V = (E x S)/AC (18) Dengan menjabarkan parameter kerentanan seperti yang diadopsi dari Polsky et al. (2007), dimensi E, S dan AC masing-masing dapat dijabarkan sebagai sebuah persamaan. 1. Persamaan Matematika untuk Dimensi Exposure Sebagaimana telah disebutkan pada Gambar 12, dimensi exposure terdiri dari 7 parameter, yaitu laju kenaikan muka laut (SR), laju perubahan garis pantai (ER), tinggi gelombang (GL), rata-rata tunggang pasang (PS), kejadian tsunami (TS), laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk (PD dan KP). Masing-masing parameter tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam kaitannya dengan penyusunan persamaan indeks kerentanan dimensi exposure terdapat sebuah pedoman yang diacu dalam penelitian ini. Pedoman tersebut dikemukakan Villa dan McLeod

85 67 (2002) yang menyebutkan bahwa apabila komponen yang saling berinteraksi, maka hubungan antara sub indikator atau parameter akan lebih sesuai jika menggunakan perkalian (multiplicative), sedangkan komponen yang tidak berinteraksi lebih sesuai menggunakan penjumlahan (additive). Dari 7 parameter tersebut di atas, terdapat 4 parameter yang memenuhi pedoman yang dikemukakan Villa dan McLeod (2002), yaitu adanya interaksi antara kenaikan muka laut dengan laju perubahan garis pantai/erosi sebagaimana digambarkan BRUUN dalam persamaan Bruun Rule yang diadopsi Cooper dan Pilkey (2004) yaitu R = SGL/(b + h) yang mana R adalah kemunduran garis pantai, G adalah faktor menunjukkan kehilangan sedimen, S adalah kenaikan muka laut, L adalah lebar dari profil pantai, b adalah tinggi tanggul dan h adalah kedalaman perairan pantai. Interaksi lainnya adalah antara laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk, semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan persamaan indeks kerentanan adalah perbedaan signifikansi dari masing-masing parameter. Perbedaan signifikansi ini digambarkan dalam bobot setiap parameter. Berdasarkan dua pertimbangan di atas, persamaan indeks kerentanan dimensi exposure dituliskan sebagai berikut: IE = α 1 (SR x ER) + α 2 GL + α 3 PS + α4 TS + α 5 (PD x KP) (19) Keterangan : α adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. 2. Persamaan Matematika untuk Dimensi Sensitivity Parameter kerentanan dimensi sensitivity terdiri dari 5 parameter, yaitu tipologi pantai (TP), ketinggian atau elevasi daratan pulau (EL), kemiringan atau slope (SL), pola penggunaan lahan (PL), dan tipologi pemukiman (PP). Berbeda dengan parameter dimensi exposure, parameter dimensi sensitivity seluruhnya tidak ada yang berinteraksi, sehingga model persamaan indeks kerentanan adalah perjumlahan seluruh parameter dengan mempertimbangkan bobot setiap parameter. Dengan demikian persamaan indeks kerentanan dimensi sensitivity dituliskan sebagai berikut:

86 68 IS = β 1 EL + β 2 TP + β 3 SL + β 4 PL + β 5 PP (20) Keterangan : β adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. 3. Persamaan Matematika untuk Dimensi Adaptive Capacity Parameter dimensi adaptive capacity terdiri dari habitat pesisir (HP), ekosistem terumbu karang (TK), ekosistem mangrove (MR), ekosistem lamun (LM) dan konservasi laut (KL). Masing-masing parameter tersebut memiliki peran yang berbeda dalam menentukan kemampuan adaptasi pulau-pulau kecil. Sehubungan dengan itu, dalam menyusun persamaan indeks kerentanan untuk dimensi adaptive capacity juga mempertimbangkan peran atau signifikansinya yang dibuat dalam bentuk bobot. Persamaan matematika untuk indeks kerentanan dimensi adaptive capacity dituliskan sebagai berikut: IAC = ε 1 HP + ε 2 TK + ε 3 MR + ε 4 LM + ε 5 KL (21) Keterangan : ε adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. Dengan mensubstitusi persamaan (19), (20), dan (21) ke dalam persamaan (18) diperoleh persamaan Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil (IK-PPK) sebagai berikut: (22) IK-PPK = IE x IS/IAC Untuk mendapatkan nilai minimum dan maksimum dari persamaan (22), dilakukan dengan mensubstitusi nilai setiap parameter yang berkisar dari 1 sampai 5. Dengan menggunakan bobot dari masing-masing parameter pada persamaan (19), (20), dan (21) dengan bobot pada Tabel 18, diperoleh nilai minimum IK-PPK sebesar 0.20 dan nilai maksimum sebesar Hasil perhitungan nilai indeks minimum dan maksimum disajikan pada Lampiran 1. Dengan menggunakan nilai maksimum dan minimum tersebut, skala penilaian tingkat kerentanan pulau-pulau kecil dibagi menjadi 4 kategori kerentanan (Doukakis 2005) sebagai berikut:

87 : Kerentanan rendah (low) : Kerentanan sedang (moderate) : Kerentanan tinggi (high) : Kerentanan sangat tinggi (very high) Proyeksi Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Kerentanan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang dinamis, yang berarti kerentanan tersebut akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, persamaan (22) di atas dapat diturunkan terhadap perubahan waktu, untuk mendapatkan laju perubahan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Nilai kerentanan (indeks kerentanan) pulau-pulau kecil setiap saat berubah, dengan laju kerentanan yang sebanding dengan besarnya indeks kerentanan pada saat itu, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: V = V (t), dimana V > 0 (23) Besarnya laju perubahan kerentanan pulau-pulau kecil pada saat t: (24) Karena laju perubahan dari indeks kerentanan setiap saat sebanding dengan besarnya indeks kerentanan pada saat itu, terdapat konstanta k 0, sehingga dv/dt = kv, k 0 dimana akan terjadi: k > 0 bila V bertambah dan k< 0 bilai V berkurang Persamaan di atas dapat diselesaikan sebagai berikut: (25) Oleh karena nilai kerentanan lingkungan (IK-PPK) yang diperoleh dari persamaan (22), memiliki nilai maksimum sebesar 76.00, persamaan (25) dapat dituliskan menjadi: (26)

88 70 Dengan melakukan penyelesaian secara integral dari persamaan (26), diperoleh bentuk persamaan dinamik kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil sebagai berikut: V t = V 0 e -kt (1 e -kt ) (27) Keterangan: V t = Indeks kerentanan pada waktu t V 0 = Indeks kerentanan awal e = Dasar logaritma natural k = Koefisien kerentanan t = Waktu/tahun Dengan model kerentanan pulau-pulau kecil seperti di atas, maka laju atau perubahan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil pada waktu yang akan datang dapat diduga dengan lebih baik. Hasil penurunan persamaan dinamik indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil disajikan pada Lampiran Penentuan Bobot Parameter Kerentanan Parameter kerentanan pada masing-masing dimensi kerentanan memiliki peran atau signifikansi yang berbeda terhadap besar kecilnya nilai indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Dalam kaitannya dengan signifikansi suatu parameter pada masing-masing dimensi kerentanan (exposure, sensitivity, adaptive capacity), Rao et al. (2008) dan Doukakis (2005) memberikan bobot yang lebih tinggi terhadap parameter yang memiliki signifikansi yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memberikan besaran bobot atau signifikansi dari setiap parameter, seperti pemberian nilai signifikansi secara langsung, penggunaan persamaan linear dan penggunaan matriks perbandingan sebagaimana yang dikemukakan oleh Villa dan McLeod (2002). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode matriks perbandingan karena metode ini dianggap paling sesuai dalam menggambarkan peran atau signifikansi dari setiap parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Metode matriks perbandingan pada prinsipnya adalah melakukan penilaian kepentingan relatif dua elemen dengan aksioma reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j harus sama dengan

89 71 1/3 kali pentingnya dibanding elemen i. Selain itu, perbandingan dua elemen yang sama akan menghasilkan angka 1, yang berarti peran atau signifikansinya sama pentingnya. Jika terdapat m elemen, akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran m x n. Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks ini adalah n(n-1)/2 karena matriks reciprocal dan elemenelemen diagonalnya sama dengan 1. Setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen vectornya untuk mendapatkan local priority. Oleh karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis antara local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. Berdasakan pendekatan ini, bobot setiap parameter dimensi exposure, sensitivity, dan adaptive capacity disajikan pada Tabel 18, sedangkan metode penghitungan disajikan pada Lampiran 3. Tabel 18. Bobot parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Parameter Bobot Exposure SRxER 0.41 GL 0.21 PS 0.14 TS 0.14 PD x KD 0.10 Sensitivity EL 0.43 TP 0.21 SL 0.14 PL 0.11 PP 0.11 Adapative capacity HP 0.40 TK 0.20 MR 0.20 LM 0.10 KL 0.10

90 Karakteristik Geofisik Pulau Kasu Pulau Kasu adalah pulau petabah dari kelompok pulau berbukit yang banyak terdapat di gugus pulau-pulau kecil sekitar Pulau Batam sebagaimana yang dikemukakan Bengen dan Retraubun (2008). Pulau Kasu merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di Kecamatan Belakang Padang Kota Batam, dengan luas sekitar ha. Pulau Kasu terletak dalam gugusan pulau-pulau kecil. Hal ini menyebabkan Pulau Kasu relatif terlindung dari terpaan gelombang. Pulau Kasu memiliki ekosistem pesisir yang sangat luas, khususnya ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini berperan sebagai pelindung pantai atau daratan Pulau Kasu. Pantai sekeliling Pulau Kasu secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu pantai bervegetasi, pantai berpasir, dan pantai berlumpur dengan panjang total sekitar m. Pantai bervegetasi merupakan pantai terpanjang yang menyebar di bagian utara, timur, selatan dan barat, hanya sebagian kecil bagian pantai yang tidak ditumbuhi ekosistem mangrove. Panjang pantai Pulau Kasu yang ditumbuhi mangrove adalah sekitar m atau sekitar %. Pantai berpasir terdapat di bagian timur laut dengan panjang sekitar m atau sekitar %. Adapun pantai berlumpur terdapat di bagian timur memanjang sampai selatan yang merupakan kawasan pemukiman penduduk dengan panjang sekitar atau sekitar %. Meskipun Pulau Kasu memiliki bagian pantai berlumpur, namun karena pulau ini terlindung dari hempasan gelombang, kondisi pantai berlumpur tidak mengalami erosi. Hal sebaliknya yang terjadi adalah berkembangnya ekosistem mangrove di pantai berlumpur tersebut. Pulau Kasu adalah pulau berbukit dengan ketinggian berkisar antara 0-25 m. Bagian pulau datar (ketinggian antara 0-1 m) hanya terdapat di sebagian kecil saja yaitu di sisi barat dan timur laut. Apabila dibandingkan dengan total luas daratan Pulau Kasu, luas daratan yang memiliki ketinggian 0-1 m ini hanya sekitar % atau seluas 7.21 ha. Pulau Kasu terdiri dari dua pulau sangat kecil yang tersambung oleh hamparan vegetasi mangrove. Pada bagian barat terdapat Pulau Kasu Kecil yang tidak berpenghuni. Pulau inilah yang memiliki

91 73 lahan daratan yang relatif rendah. Adapun pada bagian timur Pulau Kasu sebagian besar daratannya berada pada ketinggian lebih dari 2 m. Sebagai pulau berbukit, kemiringan atau slope daratan Pulau Kasu relatif tinggi, yaitu antara 0-40 %. Kemiringan 0-8 % dijumpai di bagian barat dan tenggara yang mencakup areal seluas ha atau sekitar %, sedangkan areal lainnya seluas ha memiliki kemiringan lebih dari 8 %. Peta elevasi Pulau Kasu berdasarkan kategori ketinggian dari permukaan laut disajikan pada Gambar 14, sedangkan peta kemiringan daratan pulau disajikan pada Gambar 15. Tinggi gelombang di perairan Batam mencapai lebih dari 1.8 m. Meskipun tinggi gelombang di sekitar perairan Kota Batam cukup besar, namun karena Pulau Kasu berada diantara pulau-pulau kecil, menyebabkan pulau ini relatif terlindung dari hempasan gelombang. Selain itu, ekosistem mangrove yang cukup lebat tumbuh di sekitar pantai, menyebabkan pantai Pulau Kasu relatif aman dari proses erosi pantai. Data kenaikan muka laut yang diperoleh dari Data AVISO (Archiving, Validation and Interpretation of Satellites Oceanographic) (2009) menunjukkan rata-rata laju kenaikan muka laut di perairan Batam sekitar 3.99 mm/tahun. Pasang di perairan Batam merupakan rambatan pasang dari Laut Cina Selatan. Pasang di perairan Batam bersifat campuran cenderung semi diurnal, artinya secara garis besar terdapat dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut dalam 24 jam. Hasil pengukuran pasang surut yang dilakukan oleh Dantarsa Gatra (2008) memperlihatkan rata-rata tunggang pasang adalah 1.52 m.

92 Gambar 14 Peta ketinggian daratan Pulau Kasu 74

93 Gambar 15. Peta kemiringan Pulau Kasu 75

94 Pulau Barrang Lompo Pulau Barrang Lompo merupakan pulau karang dari kelompok pulau datar, dengan luas sekitar ha. Pulau Barrang Lompo adalah salah satu pulau kecil yang terdapat di wilayah administrasi Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makasar. Pulau ini miskin vegetasi, dimana sekitar 90 % permukaan daratan pulau sudah dijadikan kawasan permukiman (perumahan), ruang-ruang kosong yang tersisa hanyalah lapangan olah raga, jalan dan pekarangan rumah. Pantai sekeliling Pulau Barrang Lompo didominasi oleh pantai berpasir, hanya sebagian kecil saja yang merupakan pantai berbatu atau berkerikil dengan panjang total m. Pada sebagian besar pantai telah dibangun bangunan (beton) pelindung pantai yang juga berfungsi sebagai pengaman bangunan atau rumah penduduk, khususnya pada sisi barat, timur, dan utara dengan panjang sekitar m. Ancaman gelombang laut ini khususnya terjadi pada bulan Desember-Januari. Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem pelindung pantai Pulau Barrang Lompo. Sayangnya, ekosistem terumbu karang ini (khususnya batu-batu karang) telah dieksploitasi untuk bahan bangunan. Akibatnya, peran ekosistem terumbu karang sebagai pelindung pantai di Pulau Barrang Lompo menjadi tidak optimal. Pada beberapa bagian pantai telah terjadi erosi sebagai akibat dari aktivitas penambangan karang. Pulau Barrang Lompo merupakan pulau datar dengan ketinggian maksimum 200 cm di atas permukaan laut. Hasil analisis topografi, diketahui sebagian besar daratan Pulau Barrang Lompo berada pada ketinggian antara 0-20 cm dan cm, dengan luasan masing-masing 6.26 ha dan 9.99 ha. Di sebagian wilayah pulau, telah terjadi genangan atau perendaman daratan saat terjadi pasang tertinggi. Sebagai pulau dataran rendah, kemiringan atau slope daratan Pulau Barrang Lompo relatif kecil, yaitu antara 0-8%, dimana luas areal yang memiliki kemiringan ini adalah ha. Adapun areal yang memiliki kemiringan lebih dari 8 % kurang dari 1 ha. Peta elevasi daratan Pulau Barrang Lompo disajikan pada Gambar 16, sedangkan peta kemiringan daratan pulau disajikan pada Gambar 17.

95 Gambar 16. Peta ketinggian Pulau Barrang Lompo 77

96 Gambar 17. Peta kemiringan Pulau Barrang Lompo 78

97 79 Tinggi gelombang di perairan sekitar Pulau Barrang Lompo mencapai 1.9 m yang terjadi pada musim barat. Tinggi gelombang ini akan semakin besar saat gelombang bertransformasi ke arah pantai. Perambatan gelombang dari arah tenggara tidak berpengaruh besar pada perairan Barrang Lompo, sehingga pada musim timur tinggi gelombang di perairan Barrang Lompo relatif kecil (kurang dari 1 m). Sementara itu, hasil analisis laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Makasar dan Pulau Barrang Lompo sekitar 5.09 mm/tahun (AVISO 2009). Hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat terkait dengan garis pantai Pulau Barrang Lompo, diperoleh informasi telah terjadi perubahan garis pantai dengan laju sekitar 0.5 m/tahun. Berdasarkan perhitungan bilangan Fomzahl dari konstanta pasut di sekitar Perairan Makassar diperoleh nilai sekitar Hal ini berarti daerah tersebut memiliki tipe pasang surut Campuran Dominan Tunggal dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan satu kali surut atau satu kali pasang dua kali surut atau terkadang cenderung satu pasang dan satu kali surut. Rata-rata tunggang pasang di sekitar perairan Barrang Lompo adalah 1.5 m Pulau Saonek Pulau Saonek adalah pulau karang dari kelompok pulau berbukit dengan luas ha. Pulau Saonek merupakan pulau terbesar dari dua pulau yang berada di wilayah Kampung Saonek, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat. Sebagai pulau karang, Pulau Saonek mempunyai daya kapilaritas yang tinggi, yang umumnya memiliki banyak vegetasi. Pulau ini pada awalnya memiliki vegetasi yang rimbun, namun karena pertumbuhan penduduk, vegetasi tersebut berkurang akibat dikonversi menjadi lahan pemukiman. Hal ini sesuai dengan namanya, Saonek yang berarti pohon pelabuhan. Saat ini, vegetasi yang tersisa hanya pada bagian selatan berupa berbagai jenis pepohonan seperti mangga, jambu, dan kelapa. Pada bagian selatan terdapat ekosistem mangrove tumbuh dengan baik. Pulau Saonek memiliki pantai sepanjang m, yang terdiri dari pantai berpasir, pantai berbatu dan pantai bervegetasi. Pantai berpasir merupakan pantai yang dominan di pulau ini, yang terdapat di bagian barat, timur dan utara

98 80 dengan panjang sekitar m. Pantai berbatu terdapat di bagian tenggara dengan panjang m, pada sisi ini terdapat bukit dengan ketinggian sekitar 48 m. Pantai bervegetasi terdapat di bagian selatan, dimana terdapat ekosistem mangrove yang didominasi jenis bakau (Rhizopora sp.) dan api-api (Avicennia sp.) dengan panjang sekitar m. Pulau Saonek adalah pulau dataran rendah, namun pada bagian tenggara terdapat bagian yang menyerupai bukit dengan ketinggian mencapai 48 m. Luas Pulau Saonek berdasarkan kategori ketinggian hampir merata mulai dari ketinggian 0-20 cm sampai ketinggian di atas 200 cm. Berbeda dengan ketinggian, luas daratan Pulau Saonek berdasarkan kemiringan didominasi oleh kemiringan 0-8 % dengan luas sekitar ha atau sekitar %. Meskipun daratan Pulau Saonek memiliki bagian yang mencapai ketinggian hingga 48 m, namun areal daratan yang memiliki kemiringan lebih dari 40 % hanya sekitar 1.60 m. Peta elevasi daratan Pulau Saonek disajikan pada Gambar 18, sedangkan kemiringan daratan pulau disajikan pada Gambar 19. Perairan Pulau Saonek dan umumnya perairan Kabupaten Raja Ampat terletak antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dan bagian selatan berbatasan dengan Laut Banda. Dengan demikian, gelombang yang merambat masuk ke perairan ini adalah gelombang yang berasal dari Laut Banda di bagian selatan dan Samudera Pasifik di bagian utara serta Samudera Hindia di bagian barat. Hasil pengamatan yang dilakukan Tim Penyusun Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat menyebutkan bahwa tinggi gelombang antara meter (Pemda Raja Ampat 2005). Berdasarkan data yang diperoleh dari AVISO (2009) ketinggian gelombang di sekitar perairan Saonek mencapai 2.3 m, sedangkan rata-rata kenaikan muka laut sekitar 7.06 mm/tahun. Adapun rata-rata tunggang pasang di sekitar perairan Pulau Saonek adalah 1.7 m.

99 Gambar 18. Peta ketinggian Pulau Saonek 81

100 Gambar 19. Peta kemiringan Pulau Saonek 82

101 Karakteristik Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir Pulau Kasu Habitat pesisir memiliki peran penting bagi perlindungan daratan pulau dari berbagai gangguan ekternal. Semakin luas habitat pesisir semakin besar pula perlindungan terhadap daratan pulau. Habitat pesisir Pulau Kasu terdiri dari ekosistem mangrove, padang lamun, pantai berpasir dan pantai berlumpur. Habitat pesisir ini selain memiliki fungsi perlindungan fisik terhadap daratan pulau, juga memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat yang ada di suatu pulau. Keberadaan kedua habitat ini memiliki fungsi ekologis yang sangat penting bagi sumberdaya ikan di pulau ini. Luas habitat pesisir di Pulau Kasu adalah atau 4 kali lebih besar dari luas daratan Pulau Kasu. Sekitar 2/3 bagian pantai Pulau Kasu ditumbuhi ekosistem mangrove, dengan luas sekitar ha. Ekosistem mangrove ini didominasi jenis Rhizophora sp. dan Avicennia sp. dengan kerapatan sekitar pohon/ha. Masyarakat Pulau Kasu melindungi ekosistem mangrove ini karena peran penting ekosistem ini bagi kehidupan masyarakat Pulau Kasu. Manfaat ekosistem mangrove bagi masyarakat adalah (1) sebagai pelindung pemukiman atau rumah penduduk dari terpaan angin atau gelombang laut; (2) sebagai pelindung perahu atau sampan agar tidak terbawa arus laut, dan (3) sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground). Masyarakat Pulau Kasu telah menyadari arti penting ekosistem ini bagi kehidupan mereka, sehingga masyarakat tidak merusak ekosistem ini. Ekosistem terumbu karang tidak berkembang dengan baik di perairan Pulau Kasu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di pulau ini termasuk dalam kategori yang sangat buruk (kurang dari 10 %), dimana ekosistem ini didominasi makro algae hingga mencapai 60 % dan DCA (death coral with algae) dan pasir (sand) dengan presentasi sekitar 24 %. Buruknya kondisi ekosistem terumbu karang ini disebabkan oleh sedimentasi yang cukup tinggi dan tingkat kecerahan yang rendah menyebabkan karang tidak dapat berkembang dengan baik. Hanya beberapa jenis karang tertentu yang dapat bertahan hidup seperti karang-karang masif.

102 84 Ekosistem padang lamun tumbuh dan berkembang dengan baik di perairan Pulau Kasu. Ekosistem padang lamun ditemukan hampir di sekeliling pantai/perairan Pulau Kasu dan menyebar hingga ke bagian tubir. Pada bagian tubir terdapat makro algae yang merupakan pesaing bagi ekosistem terumbu karang. Kondisi substrat yang subur memungkinkan lamun tumbuh dan berkembang dengan baik. Jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Kasu adalah Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, Syringodium iseotifolium, Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii dengan persen penutupan sekitar 80 %, yang menempati areal seluas ha Distribusi habitat pesisir, ekosistem mangrove dan padang lamun Pulau Kasu disajikan pada Gambar 20. Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya utama di Pulau Kasu dan merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat Pulau Kasu, karena sebagian besar masyarakat Pulau Kasu memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Ekosistem mangrove dan lamun di pulau ini merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut di perairan Pulau Kasu. Selain berfungsi sebagai daerah pembesaran, ekosistem ini juga sebagai daerah penangkapan. Sumberdaya ikan utama di perairan ini adalah ikan dinkis yang umumnya memiliki musim penangkapan pada bulan Desember-Januari. Sumberdaya ikan lainnya adalah udang, rajungan dan kepiting. Selain itu, juga terdapat kuda laut yang banyak ditemukan di perairan Pulau Kasu.

103 Gambar 20. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Kasu 85

104 Pulau Barrang Lompo Pulau Barrang Lompo merupakan pulau karang yang dicirikan keberadaan hamparan terumbu karang yang cukup luas. Hamparan terumbu karang ini hampir ditemukan di sekeliling Pulau Barrang Lompo. Selain itu, juga terdapat ekosistem padang lamun. Selain terumbu karang dan lamun, habitat pesisir lainnya adalah hamparan pasir putih. Luas habitat pesisir Pulau Barrang Lompo adalah ha, atau sekitar 6 kali lebih dari luas daratan pulaunya. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem utama di Barrang Lompo, dengan luas sekitar ha. Ekosistem terumbu karang menyebar mulai dari sisi utara, barat, selatan dan tenggara. Hasil pengamatan dengan menggunakan point intercept transect (PIT) pada 5 lokasi menunjukkan kualitas terumbu karang berada pada kategori baik yaitu pada kisaran %. Permasalahan utama yang mengancam keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di pulau ini adalah adanya kegiatan penambangan karang untuk keperluan bahan bangunan. Dampak aktivitas penambangan karang yang dilakukan masyarakat sudah mulai dirasakan, dimana terjadi peningkatan erosi dan juga ancaman gelombang yang mencapai pemukiman penduduk pada bulan Desember Januari. Aktivitas penambangan karang ini masih dilakukan masyarakat karena tidak adanya aturan yang tegas terhadap pelarangan penambangan karang. Ekosistem lainnya yang terdapat di Pulau Barrang Lompo adalah ekosistem padang lamun. Seperti halnya dengan ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun ini juga menyebar secara merata di perairan Pulau Barrang Lompo mulai dari sisi utara, barat, selatan dan tenggara. Pada sisi barat juga masih dijumpai meskipun pada areal yang sempit. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Barrang Lompo adalah Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, dan Thalassia hemprichii. Luas habitat ekosistem padang lamun di Pulau Barrang Lompo sekitar ha dengan penutupan sekitar 58 %. Distribusi habitat pesisir, ekosistem terumbu karang dan padang lamun Pulau Barrang Lompo disajikan pada Gambar 21.

105 Gambar 21. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Barrang Lompo 87

106 Pulau Saonek Habitat pesisir terdiri dari ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berbatu, dan pantai berpasir. Pesisir Pulau Saonek memiliki ekosistem yang masih lengkap dimana terdapat ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove dan menyebar di sekeliling pulau. Fungsi habitat pesisir selain sebagai pelindung pantai, juga memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Kampung Saonek. Luas habitat pesisir di Pulau Saonek adalah ha atau 3 kali lebih luas dari luas daratan Pulau Saonek. Ekosistem terumbu karang Pulau Saonek diperkirakan menempati 2/3 keliling pantai Pulau Saonek, mulai dari bagian timur, barat dan selatan. Hanya pada bagian utara Pulau Saonek tidak terdapat ekosistem terumbu karang. Total luas hamparan terumbu karang di Pulau Saonek sekitar ha. Hasil survei yang dilakukan Fakultas Perikanan Universitas Negeri Papua (2007) menunjukkan bahwa kualitas terumbu karang di perairan Pulau Saonek berada pada kisaran % atau kategori baik. Demikian juga hasil reef check yang dilakukan Conservancy Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kualitas penutupan karang hidup berkisar antara %. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan terumbu karang adalah adanya kegiatan penambangan karang untuk keperluan bahan bangunan. Hal inilah yang diperkirakan sebagai penyebab meningkatnya laju erosi karena peningkatan energi gelombang ke arah pantai, akibat berkurangnya ekosistem terumbu karang. Namun sejak tahun 2003, kegiatan penambangan karang di pulau ini sudah dihentikan, seiringnya dengan berkembangnya program pengelolaan terumbu karang dari berbagai lembaga yang memiliki perhatian terhadap kelestarian sumberdaya terumbu karang. Programprogram penyadaran yang dikembangkan oleh berbagai lembaga (seperti CI, TNC, dan COREMAP) telah menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melindungi ekosistem ini. Banyak daerah perlindungan laut yang telah ditetapkan untuk melindungi ekosistem terumbu karang yang dikembangkan masyarakat. Ekosistem pesisir lainnya yang juga tumbuh dengan baik di Pulau Saonek adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini tumbuh di bagian selatan yang mencakup areal seluas 4.17 ha, dengan kerapatan sekitar pohon/ha.

107 89 Ekosistem mangrove ini tumbuh dengan baik dan tidak mendapatkan gangguan dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kesadaran masyarakat, dimana ekosistem ini telah dipertahankan sebagai daerah larang ambil secara turun temurun. Masyarakat secara sadar melindungi ekosistem ini, meskipun tidak terdapat aturan secara tertulis tentang larangan penebangan pohon mangrove. Namun, karena secara turun temurun ekosistem ini telah dipertahankan masyarakat dan ada rasa malu bila terdapat anggota masyarakat yang melakukan penebangan pohon mangove, menyebabkan ekosistem ini tetap lestari sampai saat ini. Ekosistem mangrove di Pulau Saonek didominasi jenis Rhizopora sp. dan Avicennia sp. Distribusi ekosistem padang lamun di Pulau Saonek juga cukup luas. Umumnya lamun ditemukan pada rataan terumbu, baik di pantai bagian timur, pantai bagian barat maupun pantai bagian selatan yang menempati areal seluas ha, dengan penutupan sekitar 55 %. Jenis lamun yang dominan ditemukan adalah Enhalus acrades, Cymodacea kolundata dan Halophila ovalis. Pemanfaatan lamun selama ini digunakan sebagai umpan untuk pemancingan ikan. Pada Gambar 22 disajikan peta habitat dan penggunaan lahan Pulau Saonek. Perairan Pulau Saonek sangat khas karena memiliki berbagai jenis ikan baik ikan ekonomis penting seperti maming (napoleon), kerapu, cakalang, bubara, tenggiri dan hiu, maupun ikan non ekonomis penting seperti samandar (ikan yang hidup disekitar lamun), kakatua (Scarus sp), puri (Stylophoruscomersonii) dan ikan karang lainnya seperti gotila, ikan kapas kapas, dan ikan oci. Hasil laut non ikan seperti Lobster, suntung, lola, teripang, dan pia-pia dan berbagai jenis moluska yang dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi (COREMAP II 2007). Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya utama dan menjadi sumber penghasilan masyarakat di pulau ini. Sayangnya, eksploitasi sumberdaya ikan ini tidak dilakukan dengan baik sehingga telah terjadi gejala penurunan hasil tangkapan akibat kelebihan tangkap, penggunaan alat tangkap yang merusak, penggunaan bom dan potasium serta akar bore. Saat ini sudah terdapat indikasi terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan dari tahun ke tahun khususnya untuk jenis ikan tenggiri, ikan kepala batu, ikan kira dan ikan oci.

108 Gambar 22. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Saonek 90

109 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya Pulau Kasu Pulau Kasu merupakan salah satu pulau yang berada di wilayah administrasi Kelurahan Kasu-Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Jumlah pulau kecil yang berada di Kelurahan Kasu sebanyak 48 pulau. Dari 48 pulau kecil tersebut 13 pulau diantaranya berpenghuni. Sebagian besar penduduk Kelurahan Pulau Kasu terkonsentrasi di Pulau Kasu, yaitu sebanyak jiwa. Pertumbuhan penduduk Pulau Kasu relatif rendah, hal ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk hanya disebabkan faktor kelahiran dan kematian. Ratarata pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sebesar 0.5% dengan kepadatan penduduk sekitar 57 jiwa/ha. Mata pencaharian utama masyarakat Pulau Kasu adalah nelayan. Sebagian masyarakat memiliki mata pencaharian sampingan sebagai petani atau penggarap kebun. Alat tangkap yang digunakan antara lain adalah kelong, bubu, bento, tekok dan jaring. Jenis ikan yang dominan ditangkap adalah ikan dinkis, udang, rajungan, kepiting bakau, lebam, belanak, kakap, kerapu dan kuda laut. Hasil tangkapan ikan di Pulau Kasu juga sudah mulai mengalami penurunan dari waktu ke waktu, sebagai akibat dari kondisi tangkap lebih. Kegiatan budidaya laut belum berkembang dengan baik, namun kegiatan ini mulai diprogramkan Departemen Kelautan dan Perikanan dengan mengembangkan proyek percontohan sebanyak 7 unit Keramba Jaring Apung. Kondisi Pulau Kasu yang relatif berbukit menyebabkan penggunaan lahan sangat terbatas pada beberapa peruntukan. Pemukiman penduduk sebagian besar dibangun di atas perairan dengan menggunakan tiang-tiang pancang, baik dari kayu maupun beton. Hanya sebagian kecil masyarakat yang membangun rumah di daratan pulau. Pilihan pembangunan perumahan di atas perairan ini karena alasan kemudahan masyarakat untuk melakukan aktivitas sebagai nelayan. Dengan membangun rumah di atas perairan mereka dapat mengetahui kondisi perairan setiap saat (pasang atau surut), sehingga mereka dapat melaut jika kondisi air pasang. Selain itu, alasan kemudahan untuk menambatkan dan menjaga perahu lebih mudah dilakukan bila rumah mereka di atas perairan. Selain untuk pemukiman, pemanfaatan lahan daratan juga digunakan kegiatan

110 92 perkebunan. Kondisi tanah yang relatif subur dapat ditanami berbagai jenis tanaman seperti mangga, durian, kelapa, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Pengembangan kawasan konservasi laut di Pulau Kasu belum dilakukan. Sampai saat ini belum ada aturan secara formal yang menetapkan kawasan perairan di sekitar Pulau Kasu sebagai kawasan konservasi laut. Ekosistem mangrove yang ada belum ditetapkan secara formal sebagai kawasan konservasi oleh pemerintah lokal maupun masyarakat. Meskipun demikian, karena masyarakat menyadari arti penting dari ekosistem ini untuk menopang kelangsungan hidup mereka baik sebagai kawasan pelindung pantai dan perumahan maupun sebagai sumber mata pencaharian, maka masyarakat melindungi dan tidak melakukan pengrusakan terhadap ekosistem mangrove. Peran ekosistem mangrove sebagai pelindung pantai dan pelindung pemukiman penduduk benar-benar dipahami oleh masyarakat, sehingga mangrove tidak diijinkan untuk ditebang Pulau Barrang Lompo Pulau Barrang Lompo merupakan pulau yang sangat padat, jika dibandingkan jumlah penduduk dengan luas daratan pulau, maka tingkat kepadatan penduduk Pulau Barrang Lompo adalah 212 jiwa/ha. Jumlah penduduk Pulau Barrang Lompo pada tahun 2008 adalah sebanyak jiwa, bila dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 2004, yaitu sebesar jiwa, maka laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 4 tahun terakhir sekitar 3.62 %. Laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi ini disebabkan karena banyaknya orang yang masuk ke Pulau Barrang Lompo, dibandingkan orang yang meninggalkan pulau. Mata pencaharian utama masyarakat Pulau Barrang Lompo adalah nelayan. Selain menangkap ikan di sekitar perairan Barrang Lompo, nelayan dari pulau ini juga mencari ikan sampai ke perairan di sekitar Pulau Kalimantan. Umumnya, nelayan yang menangkap ikan di sekitar perairan Pulau Barrang Lompo adalah nelayan pantai, yaitu nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan perahu motor kecil. Nelayan ini berangkat ke laut pada pagi hari dan kembali di sore hari. Nelayan yang menangkap ikan di wilayah perairan

111 93 Kalimantan adalah nelayan pencari teripang, umumnya memiliki perahu motor yang lebih besar. Kondisi Pulau Barrang Lompo yang sangat padat, sehingga tidak memungkinkan pemanfaatan lahan selain pemanfaatan untuk pemukiman. Padatnya pemukiman di pulau ini, menyebabkan distribusi perumahan penduduk menyebar pada seluruh wilayah daratan pulau. Mulai dari bangunan di atas garis pantai sampai ke bagian tengah daratan pulau. Kondisi perairan pulau yang terbuka dengan ombak besar tidak memungkinkan untuk mengembangkan budidaya laut. Ekosistem terumbu karang yang berada di sekeliling pulau belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Akibatnya aktivitas penambangan karang masih sering dilakukan masyarakat setempat. Hal ini memperburuk kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek Masyarakat Saonek memiliki marga dari suku biak (Rumfaker, Ronsumbre, Dimara, Mambrasar, Mayor dan sebagian marga dari Maluku Utara (Gusti, Gamso, Yau, Hi Salim) yang merupakan pendatang di Kampung Saonek. Kehidupan masyarakat kampung Saonek masih terikat dengan budaya serta hukum adat yang berlaku selama ini, hal ini dapat dilihat dari ketaatan masyarakat dalam hubungan kekerabatan maupun pergaulan keseharian. Penduduk Kampung Saonek pada tahun 2007 sekitar 633 jiwa dan pada tahun 2008 sebanyak 648 jiwa, atau naik sekitar 2.3 persen, dengan kepadatan penduduk sekitar 36 jiwa/ha. Mata pencaharian utama masyarakat Kampung Saonek adalah nelayan, dengan pendapatan rata-rata harian berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,- (COREMAP II 2007). Selain sebagai nelayan, sebagian masyarakat Kampung Saonek juga memiliki mata pencaharian sampingan seperti berkebun, tukang kayu, pembuat perahu. Alat tangkap yang dominan digunakan adalah pancing, jaring, panah ikan, dan kalawai. Pada umumnya masyarakat Kampung Saonek menangkap ikan di sekitar daerah terumbu karang. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang peran penting ekosistem terumbu karang terhadap kelangsungan mata pencaharian mereka sudah cukup baik. Oleh karenanya,

112 94 masyarakat Kampung Saonek sangat mendukung program perlindungan terhadap terumbu karang. Demikian juga, kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat destruktif sudah tidak dilakukan lagi sejak tahun Pulau Saonek juga merupakan salah satu pulau yang masuk dalam kawasan program pengelolaan terumbu karang (COREMAP II). Melalui program ini, kegiatan penyuluhan tentang pentingnya perlindungan terumbu karang terus digalakkan kepada masyarakat. Penggunaan lahan daratan Pulau Saonek umumnya dimanfaatkan untuk pemukiman dan sebagian lagi merupakan kebun campuran. Sekitar 60 persen lahan darat Pulau Saonek sudah dijadikan daerah pemukiman (bangunan rumah). Selebihnya merupakan kebun campuran dimana tanaman yang banyak tumbuh adalah kelapa, mangga, jambu. Pada beberapa bagian ditumbuhi alang-alang dan bambu friwen, khususnya dari daerah berbukit di bagian tenggara. Pemukiman penduduk Pulau Saonek terkonsentrasi di bagian utara dan tengah serta di bagian sisi barat dan timur. Beberapa rumah terletak di daerah pantai (sempadan pantai). Umumnya, rumah-rumah di bagian pantai ini mengalami ancaman akibat adanya erosi pantai. Rumah penduduk yang terletak di bagian tengah dan pada bagian selatan relatif aman, karena terlindung vegetasi mangrove di bagian selatan. Masyarakat Kampung Saonek (Pulau Saonek) sudah mengenal perlindungan ekosistem. Perlindungan ekosistem yang sudah berlangsung lama adalah perlindungan ekosistem mangrove atau oleh masyarakat disebut sasi mangi-mangi, yaitu suatu larangan ambil terhadap pohon mangrove yang tumbuh di bagian selatan Pulau Saonek. Hal ini memberikan dampak positif bagi Pulau Saonek dan masyarakatnya dimana bagian selatan daratan pulau ini relaitf terlindungi dari erosi pantai. Konservasi terumbu karang dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut juga sudah dikembangkan di daerah Saleo sampai ke Sapor Bakdi. Meskipun daerah perlindungan laut ini terdapat di sisi pulau lain, namun secara administrasi masih daerah Kampung Saonek. Ekosistem terumbu karang yang mengelilingi Pulau Saonek secara tidak formal juga sebenarnya sudah dikonservasi oleh masyarakat. Aktivitas pemanfaatan sumberdaya yang sifatnya destruktif sudah tidak diperkenankan. Kegiatan yang diperbolehkan hanya

113 95 penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah membuat aturan formal untuk mengkoservasi ekosistem pesisir di Pulau Saonek. Permasalahan lingkungan yang mulai dirasakan dampaknya oleh masyarakat adalah pengikisan/abrasi pantai yang telah menyebabkan mundurnya garis pantai. Erosi pantai terjadi pada sisi utara, timur dan barat Pulau Saonek. Pada tahun 2008, telah dibangun beton pelindung pantai (seawalls) pada sekitar 2/3 dari pantai Pulau Saonek yaitu pada sisi timur, utara dan barat. Sayangnya, bangunan pelindung pantai ini pada beberapa bagian sudah mengalami kerusakan. Dalam kurun waktu tahun yang lalu telah terjadi erosi pantai. Laju erosi pantai yang besar terjadi dalam kurun waktu sebelum tahun terakhir. Hasil diskusi dengan masyarakat diketahui bahwa aktivitas penambangan karang yang dilakukan untuk keperluan bahan bangunan telah menyebabkan peningkatan erosi pantai. Diperkirakan garis pantai telah mengalami kemunduran tidak kurang dari 20 m dalam jangka waktu tahun, atau dengan kata lain laju pengunduran garis pantai (erosi) sekitar 0.50 m/tahun Penilaian Parameter Kerentanan Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jumlah parameter kajian kerentanan pulau-pulau kecil terdiri dari 17 parameter, dimana 7 parameter merupakan komponen exposure, 5 parameter untuk komponen sensitivity dan adaptive capacity. Berdasarkan data-data yang dipaparkan pada Sub-bab 4.2, 4.3, dan 4.4 tentang karakteristik geofisik, ekosistem dan sumberdaya alam serta ekonomi dan sosial, telah dilakukan transformasi nilai-nilai tersebut menjadi nilai skor untuk setiap parameter kerentanan sebagaimana pada Tabel 19. Seperti terlihat pada Tabel 19, terdapat perbedaan beberapa parameter antar ketiga pulau, baik dari komponen exposure, sensitivity, maupun adaptive capacity. Perbedaan nilai-nilai tersebut tentunya akan menentukan pula perbedaan nilai indeks kerentanan lingkungan antara ketiga pulau kecil yang dijadikan lokasi studi kasus dalam penelitian ini.

114 96 Tabel 19. Nilai skor masing-masing parameter kerentanan pulau-pulau kecil No. A. Exposure Parameter Skor P. Kasu P. Barrang Lompo P. Saonek 1. Kenaikan muka laut Tinggi gelombang Rata-rata tunggang pasang Laju erosi/perubahan garis pantai Kejadian tsunami Pertumbuhan penduduk Kepadatan penduduk B. Sensitivity 8. Tipologi pantai Elevasi Kemiringan Penggunaan lahan Lokasi pemukiman B. Adaptive capacity 13. Habitat Pesisir Terumbu karang Mangrove Padang lamun Konservasi laut Exposure (Keterbukaan/Ketersingkapan) Nilai parameter dimensi exposure ketiga lokasi penelitian memiliki perbedaan yang cukup signifikan untuk beberapa parameter. Hal ini terlihat pada parameter kejadian tsunami (TS), kapadatan penduduk (KD), kenaikan muka laut (SR) dan pertumbuhan penduduk (PD). Rekaman kejadian tsunami dari tahun 1900 sampai tahun 2008 dari ketiga lokasi penelitian menunjukkan perbedaan, dimana tidak terdapat rekaman kejadian tsunami yang berdekatan dengan Pulau

115 97 Kasu di sekaitar perairan Batam. Sebaliknya kejadian tsunami di daerah sekitar Pulau Barrang Lompo, yaitu Selat Makasar dalam kurun waktu cukup banyak, yaitu sebanyak 5 kali (1921, 1938, 1957, 1967, 1969), sedangkan di sekitar Pulau Saonek tercatat sebanyak 2 kali, yaitu tahun 1914 dan tahun 1915 ( Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk juga relatif berbeda antara ketiga lokasi penelitian. Pertumbuhan penduduk di Pulau Saonek dan Pulau Barrang Lompo relatif sama, sedangkan pertumbuhan penduduk di Pulau Kasu lebih rendah dari Pulau Saonek dan Pulau Barrang Lompo. Hal yang sama juga terjadi pada kepadatan penduduk, Pulau Barrang Lompo sudah berada pada tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu masih berada pada kepadatan penduduk yang rendah. Parameter lainnya yang relatif berbeda antara ketiga lokasi adalah laju kenaikan muka laut. Laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Pulau Kasu lebih rendah dibandingkan dengan laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Pulau Saonek dan Raja Ampat. Hal ini disebabkan karena ketiga pulau berada pada sistem perairan yang berbeda. Adapun parameter lainnya seperti tinggi gelombang, pasang surut dan erosi relatif sama untuk ketiga lokasi. Perbandingan nilai parameter exposure ketiga lokasi penelitian disajikan pada Gambar % Proporsi Nilai Exposure 80% 60% 40% 20% 0% Sea level rise Gelombang Pasang Erosi kejadian tsunami Pertumbuhan Penduduk Kepadatan penduduk Parameter Kerentanan Lingkungan Kasu B. Lompo Saonek Gambar 23. Perbandingan nilai parameter exposure ketiga pulau

116 Sensitivity (Sensitivitas) Nilai parameter sensitivity ketiga pulau yang diteliti juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dari 5 parameter sensitivity, 4 parameter relatif berbeda antar ketiga pulau, yaitu elevasi pantai, kemiringan/slope, penggunaan lahan, dan lokasi pemukiman. Elevasi Pulau Barrang Lompo memiliki sensitivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya, disusul dengan Saonek. Pulau Kasu memiliki sensitivitas yang paling rendah dilihat dari ukuran ketinggian. Berbeda dengan ketinggian, kemiringan pulau tidak terlalu berbeda secara signifikan antar pulau. Sensitivitas pulau dilihat dari penggunaan lahan, juga memiliki perbedaan antar ketiga pulau. Pulau Barrang Lompo memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena hampir seluruh wilayah daratan pulau ini digunakan untuk lahan pemukiman. Pulau Saonek juga memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kasu. Tipologi pantai tidak memiliki perbedaan signifikan antar ketiga pulau, meskipun ketiga pulau tidak memiliki jenis pantai yang sama. Lokasi pemukiman juga memiliki perbedaan antar ketiga pulau. Pemukiman di Pulau Kasu merupakan yang paling sensitif karena terletak di depan garis pantai dan berada di atas permukaan laut. Perbandingan tingkat sensitivitas ketiga pulau disajikan pada Gambar 24. Proporsi Nilai Sensitivity 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Tipologi Pantai Elevasi Slope Penggunaan Lahan Pemukiman Parameter Kerentanan Lingkungan Kasu B. Lompo Saonek Gambar 24. Perbandingan nilai parameter sensitivity ketiga pulau

117 Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif) Nilai-nilai parameter dari adaptive capacity juga berbeda antar ketiga pulau. Parameter adaptive capacity tersebut adalah habitat pesisir, ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan kawasan konservasi. Seperti terlihat pada Gambar 25, persentasi setiap parameter tersebut berbeda. Proporsi habitat pesisir terbesar terdapat di Pulau Barrang Lompo, disusul Pulau Saonek dan Kasu. Dilihat dari keragaman habitat pesisir, Pulau Saonek memiliki habitat pesisir yang paling lengkap seperti terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Sementara pulau lainnya hanya memiliki dua jenis habitat pesisir. Kualitas tutupan terumbu karang di Pulau Barrang Lompo dan Saonek jauh lebih baik dari kualitas tutupan terumbu karang di Pulau Kasu. Berbeda dengan karang, ekosistem mangrove dominan terdapat di Pulau Kasu. Pulau Saonek juga memiliki ekosistem mangrove relatif terjaga dengan baik karena tidak dirusak oleh masyarakat. Ekosistem lamun juga dominan terdapat di Pulau Kasu, jika dibandingkan ekosistem lamun yang terdapat di Pulau Barrang Lompo maupun Saonek. Parameter terakhir dari adaptive capacity, yaitu keberadaan kawasan konservasi di ketiga pulau relatif sama. Sampai saat ini belum ada kawasan yang secara formal ditetapkan oleh pemerintah maupun masyarakat sebagai kawasan konservasi laut. Proporsi Nilai Adaptive Capacity 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Habitat Pesisir Terumbu Karang Mangrove Lamun Konservasi Laut Parameter Kerentanan Lingkungan Kasu B. Lompo Saonek Gambar 25. Perbandingan nilai parameter adaptive capacity ketiga pulau

118 Perhitungan Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Kerentanan Saat Ini Hasil analisis indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil kasus Pulau Kasu, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek disajikan pada Tabel 20. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan indeks kerentanan antar ketiga pulau. Pulau Kasu memiliki indeks kerentanan lingkungan yang masih berada pada kategori kerentanan rendah (lebih kecil dari 6.04) dimana nilai indeks kerentanan lingkungan untuk Pulau Kasu sebesar Sebaliknya nilai indeks kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek berada pada kategori kerentanan sedang dengan nilai masing-masing 7.67 dan Nilai indeks kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo berada pada kategori sedang (Doukakis 2005), hal ini menunjukkan beberapa parameter kerentanan lingkungan di pulau ini sudah berada pada kategori sedang sampai tinggi. Sebagaimana telah disajikan pada Tabel 19, parameter kerentanan pada dimensi exposure yang memiliki nilai skor yang tinggi adalah gelombang, kejadian tsunami, pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Jika dibandingkan dengan Pulau Saonek dan Kasu, kejadian tsunami lebih dominan terjadi di sekitar Pulau Barrang Lompo. Hal ini mengindikasikan bahwa Pulau Barrang Lompo berada pada wilayah yang memiliki peluang terjadinya tsunami pada masa yang akan datang. Fenomena ini tentunya menjadi perhatian dalam kaitan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk di pulau ini juga tinggi. Sebagian besar lahan daratan Pulau Barrang Lompo sudah dikonversi menjadi pemukiman. Pertumbuhan penduduk yang besar, akan memberikan tekanan terhadap kebutuhan lahan untuk keperluan pemukiman penduduk. Karakteristik Pulau Barrang Lompo sebagai pulau karang dari kelompok pulau datar menyebabkan parameter kerentanan lingkungan untuk dimensi sensitivity umumnya tinggi. Ketinggian daratan Pulau Barrang Lompo yang dominan berada pada ketinggian kurang dari 1 m, hal ini menjadi ciri spesifik pulau ini dibandingkan pulau lainnya. Demikian juga parameter kemiringan dan penggunaan lahan di Pulau Barrang Lompo memiliki nilai skor yang cukup besar. Kondisi daratan yang datar dengan ketinggian rendah, menyebabkan daratan Pulau Barrang Lompo sangat landai. Parameter kerentanan

119 101 lingkungan dari dimensi adaptive capacity secara umum cukup tinggi, hal ini terlihat dari luasan habitat pesisir, kualitas terumbu karang dan lamun yang masih baik. Karakteristik Pulau Barrang Lompo yang cenderung memiliki nilai sensitivitas yang tinggi dan nilai keterbukaan/ketersingkapan yang tinggi menyebabkan tingkat kerentanan lingkungan juga tinggi, meskipun jika dilihat dari kapasitas adaptifnya masih cukup baik. Nilai indeks kerentanan lingkungan Pulau Saonek juga sudah berada pada kategori kerentanan sedang (lebih dari 6.04). Jika dilihat dari karakteristik dimensi exposure, tinggi gelombang dan pertumbuhan penduduk yang cepat menjadi ciri dari pulau ini. Keberadaan pulau ini pada perairan/lautan yang luas menyebabkan keterbukaan terhadap gelombang yang tinggi. Kenaikan muka laut di perairan sekitar Pulau Saonek lebih tinggi dibandingkan kenaikan muka laut di sekitar Pulau Barrang Lompo dan Pulau Kasu. Karakteristik dimensi sensitivity Pulau Saonek lebih rendah dibandingkan Barrang Lompo. Ketinggian daratan pulau secara merata beradapada ketinggian 0-48 m. Pulau Saonek memiliki bukit dengan ketinggian mencapai 48 m. Karakteristik dimensi adaptive capacity Pulau Saonek lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Barrang Lompo, meskipun Pulau Saonek memiliki ekosistem yang lengkap (terumbu karang, mangrove, dan lamun), namun karena luasan dan kualitasnya relatif sedang, maka nilai adaptive capacity tidak terlalu tinggi. Pulau Kasu memiliki nilai indeks kerentanan lingkungan paling rendah dari 3 pulau yang diteliti. Jika dilihat dari karakteristik dimensi exposure, parameter kerentanan lingkungan yang memiliki nilai tinggi adalah gelombang, sedangkan parameter lainnya berada pada nilai yang rendah sampai sedang. Oleh karena sebagian besar parameter kerentanan lingkungan dimensi exposure masih rendah, maka nilai ketersingkapan pulau ini relatif rendah. Karakteristik dimensi sensitivity yang spesifik dari Pulau Kasu adalah tipologi pemukiman. Pemukiman penduduk di pulau ini dominan berada di atas pemukaan laut, atau berada di depan garis pantai. Pada waktu tertentu, hempasan gelombang laut dari bawah lantai rumah penduduk cukup besar, sehingga dapat merusak lantai rumah penduduk yang berada di atas perairan. Pulau Kasu merupakan pulau petabah dari kelompok pulau berbukit, memiliki ketinggian daratan rata-rata lebih dari 2 m

120 102 di atas permukaan laut. Karakteristik dimensi adaptive capacity Pulau Kasu sama dengan Pulau Saonek. Ekosistem lamun tumbuh dan berkembang dengan baik di pulau ini. Demikian juga luas habitat pesisir lebih besar dibandingkan dengan Pulau Saonek. Ekosistem mangrove yang tumbuh dominan di sekeliling pantai Pulau Kasu menjadi pelindung bagi daratan Pulau Kasu. Secara ringkas karakteristik spesifik dari masing-masing pulau yang mempengaruhi tingkat kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Karakteristik spesifik masing-masing pulau Nilai Kerentanan Pulau Adaptive Indeks Karakteristik spesifik Exposure Sensitivity capacity Kerentanan Kasu Pemukiman terletak di depan garis pantai (berada di atas perairan) Dominan ekosistem mangrove dan lamun Ketinggian daratan pulau dominan di atas 2 m Barrang Lompo Ketinggian pulau dominan kurang dari 2 m Dekat dengan lokasi kejadian tsunami Dominan terumbu karang dan lamun Saonek Gelombang relatif besar Terdapat ekosistem terumbu karang, mangrove, dan lamun Dinamika Kerentanan Dari hasil analisis kecenderungan perubahan nilai parameter kerentanan seperti yang disajikan pada Tabel 19 sebelumnya, diperoleh beberapa parameter yang akan mengalami perubahan pada masa yang akan datang. Parameter yang bersifat dinamis adalah kenaikan muka laut dan pertumbuhan penduduk pada dimensi exposure. Asumsi yang digunakan dalam analisis dinamika kerentanan ini adalah perubahan faktor-faktor eksternal khususnya kenaikan muka laut akan mengalami peningkatan, sehingga memberikan dampak terhadap sistem pulaupulau kecil. Kasus Pulau Kasu, parameter kerentanan yang diprediksi akan berubah untuk 2 tahun ke depan adalah kenaikan muka laut yang berdampak terhadap

121 103 pemukiman penduduk yang terletak di atas permukaan air, serta terendamnya beberapa bagian pulau yang memiliki elevasi rendah. Dengan asumsi yang disebutkan sebelumnya, maka terjadi perubahan nilai parameter kenaikan muka laut dari nilai semula (1) berubah menjadi 2, serta perubahan nilai parameter pemukiman dari semula (4) menjadi 5. Dengan menggunakan perubahan nilai kedua paremeter tersebut, maka kerentanan Pulau Kasu pada 2 tahun ke depan menjadi 5, dengan kofisien kerentanan sebesar Skenario perubahan kerentanan Pulau Kasu ini merupakan skenario minimal, karena tidak memasukkan perubahan laju pertumbuhan penduduk yang berimplikasi pada kepadatan penduduk Pulau Kasu. Kasus Pulau Barrang Lombo, kecenderungan perubahan parameter kerentanan yang akan terjadi adalah perubahan nilai kenaikan muka laut dari nilai semula (2) menjadi 3, serta kemungkinan perubahan nilai parameter terumbu karang pada dimensi adaptive capacity dari nilai semula (4) menjadi 3. Perubahan nilai terumbu karang ini diperkirakan terjadi karena masih berlangsungnya kegiatan penambangan karang oleh masyarakat, sehingga diprediksi akan terjadi penurunan kualitas tutupan karang hidup. Berdasarkan perubahan nilai dari 2 parameter tersebut, diperoleh nilai indeks kerentanan Pulau Barrang Lompo pada 2 tahun kedepan sebesar 9.41, dengan koefisien kerentanan Untuk kasus Pulau Saonek, parameter kerentanan yang cenderung mengalami perubahan adalah kenaikan muka laut yang akan tinggi sehingga diprediksi akan mengubah nilai kenaikan muka laut dari semula (2) menjadi 3. Dengan adanya perubahan kenaikan muka laut ini, nilai kerentanan Pulau Saonek pada 2 tahun kedepan adalah 7.74 dengan koefisien kerentanan sebesar Berdasarkan nilai-nilai koefisien kerentanan seperti yang disebutkan sebelumnya, nilai indeks kerentanan lingkungan ketiga pulau kecil yang diteliti dapat diproyeksikan sampai tahun 2100 seperti pada Gambar 26.

122 Indeks Kerentanan Tahun P. Kasu P. Barrang Lompo P. Saonek Gambar 26. Proyeksi dinamika kerentanan lingkungan Pulau Kasu, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek Seperti terlihat pada Gambar 26, Pulau Barrang Lompo memiliki kerentanan saat ini yang paling tinggi, disusul Pulau Saonek dan Pulau Kasu. Dengan melakukan proyeksi sampai tahun 2100, terlihat bahwa Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek akan mencapai kerentanan sangat tinggi (lebih dari 40.48), sedangkan Pulau Kasu masih berada pada kategori kerentanan rendah (kurang dari 40.48). Perbedaan kerentanan ini sangat ditentukan kondisi lingkungan dan sosial dan ekonomi ketiga pulau tersebut. Perbedaan tersebut terjadi pada komponen exposure, sensitivity dan adaptive capacity Proyeksi Perubahan Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Pulau Kasu Seperti telah dipaparkan pada Gambar 26, dimana terlihat adanya perbedaan kerentanan ketiga pulau kecil, baik kerentanan saat ini maupun proyeksi kerentanan lingkungan pada waktu yang akan datang. Untuk mengkaji lebih jauh perubahan dinamika kerentanan ke 3 pulau kecil tersebut, dilakukan proyeksi berdasarkan 2 skenario pengelolaan, yaitu pengelolaan skenario 1 dan pengelolaan skenario 2. Perubahan kerentanan Pulau Kasu tanpa adanya upaya pengelolaan, kecenderungan yang terjadi adalah kenaikan muka laut dan dampak kenaikan muka laut terhadap pemukiman. Upaya mengurangi peningkatan kerentanan

123 105 Pulau Kasu, dapat dilakukan dengan 2 skenario. Skenario pertama adalah dengan meningkatkan kapasitas adaptif Pulau Kasu dengan mengembangkan atau menetapkan habitat pesisir menjadi kawasan konservasi sekitar 30 % dari habitat pesisir yang ada. Dengan menetapkan kawasan habitat pesisir sebagai kawasan konservasi laut, maka ada jaminan bahwa tidak akan terjadi penurunan kualitas dari habitat pesisir yang ada di pulau ini, sehingga fungsi sebagai pelindung pulau tetap terjamin. Skenario kedua, adalah meningkatkan kawasan konservasi laut menjadi 50 % dari habitat pesisir yang ada, dan juga mengembangkan kebijakan untuk memindahkan pemukiman penduduk ke tempat yang lebih aman di pulau tersebut. Pilihan skenario kedua ini dapat dilakukan sebagai pengelolaan jangka panjang, manakala pilihan skenario pertama sudah tidak dapat mengurangi peningkatan kerentanan Pulau Kasu. Pada Gambar 27 disajikan perbandingan kerentanan Pulau Kasu tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1 dan pengelolaan skenario 2. Indeks Kerentanan Tahun Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2 Gambar 27. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Kasu Pulau Barrang Lompo Pilihan skenario 1 untuk pengelolaan Pulau Barrang Lompo adalah pengembangan kawasan konservasi laut. Hal ini perlu dilakukan mengingat

124 106 habitat pesisir di Pulau Barrang Lompo didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang ini memiliki peran dalam meredam energi gelombang yang mencapai pantai. Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Barrang Lompo adalah adanya aktivitas penambangan karang untuk keperluan bahan bangunan. Dampak kerusakan terumbu karang sudah mulai dirasakan oleh penduduk, khususnya yang berada di sekitar pantai, akibatnya adanya hantaman gelombang pada musimmusim tertentu. Melalui pengembangan kawasan konservasi laut untuk melindungi ekosistem terumbu karang, aktivitas penambangan karang yang selama ini masih dilakukan oleh masyarakat dapat dihentikan. Pengembangan kawasan konservasi laut khususnya ekosistem terumbu karang minimal 30 % dari proporsi habitat pesisir atau sekitar 39 ha dari ha terumbu karang yang ada di pulau ini. Apabila skenario 1 belum efektif menurunkan kerentanan pulau, maka perlu dikembangkan skenario kedua. Ada dua pilihan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mereduksi kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo (skenario 2), yaitu dengan meningkatkan proporsi kawasan konservasi laut menjadi 50 % dari habitat pesisir yang ada atau sekitar 65 ha kawasan terumbu karang dijadikan kawasan konservasi laut. Pilihan pengelolaan yang juga harus dilakukan adalah dengan membuat tembok pelindung pantai yang saat ini sudah sebagian dibangun di sekitar pantai Pulau Barrang Lompo. Pilihan pembangunan pelindung pantai dilakukan manakala peningkatan kapasitas adaptif alami tidak mampu lagi menurunkan kerentanan Pulau Barang Lompo. Karakteristik Pulau Barrang Lompo yang spesifik seperti rendahnya daratan pulau, menyebabkan pilihan-pilihan strategi adaptasi menjadi terbatas. Pada jangka panjang, alternatif pemindahan penduduk ke luar dari Pulau Barang Lompo atau membuat rumah panggung di Pulau Barrang Lompo menjadi pilihan yang bijak, mengingat kerentanan pulau ini sudah sangat tinggi. Pada Gambar 28 disajikan perbandingan kerentanan Pulau Barrang Lompo tanpa adanya pengelolaan, pengelolaan skenario 1 dan pengelolaan skenario 2.

125 Indeks Kerentanan Tahun Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2 Gambar 28. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek Seperti halnya dengan pilihan pengelolaan Pulau Kasu dan Barrang Lompo, pengelolaan skenario 1 untuk Pulau Saonek juga dilakukan dengan mengembangkan kawasan konservasi laut. Baik ekosistem mangrove maupun terumbu karang di Pulau Saonek belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, sehingga terbuka peluang dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Namun dengan penetapan kawasan konservasi laut, upaya-upaya pemanfaatan yang bersifat destruktif tidak akan terjadi. Pilihan skenario 1 ini dilakukan dengan menetapkan seluruh ekosistem mangrove seluas 4.17 ha seluruhnya dijadikan kawasan konservasi laut ditambah dengan ekosistem terumbu karang seluas ha. Skenario kedua dilakukan dengan meningkatkan kawasan konservasi habitat pesisir menjadi 50 % atau sekitar 4.17 ha ekosistem mangrove dan 25 ha dijadikan konservasi laut. Selain itu juga dilakukan upaya perlindungan pantai dengan membangun bangunan pelindung pantai pada pantai berpasir. Pada Gambar 29 disajikan perbandingan kerentanan Pulau Saonek tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1 dan pengelolaan skenario 2.

126 Indeks Kerentanan Tahun Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2 Gambar 29. Proyeksi dinamika kerentanan lingkungan Pulau Saonek 4.8. Perkiraan Laju Perendaman Daratan Pulau Pulau Kasu Laju kenaikan muka laut di sekitar perairan Batam sebesar 3.99 mm/tahun relatif lebih rendah dibandingkan dua pulau lainnya yang diteliti, dan hal ini tidak berimplikasi besar terhadap laju perendaman daratan Pulau Kasu. Hal ini disebabkan karena karakteristik Pulau Kasu sebagai pulau berbukit, dengan ketinggian daratan pulau dominan berada pada ketinggian lebih dari 200 cm, hanya sebagian kecil daratan pulau yang berada pada ketinggian kurang dari 100 cm. Dengan kondisi pulau yang dominan berada pada ketinggian lebih dari 200 cm, maka peluang perendaman daratan pulau sangat kecil. Luas daratan Pulau Kasu yang berada pada ketinggian 0-20 cm adalah 3.61 ha, sedangkan daratan yang berada pada ketinggian cm seluas 1.74 ha. Dengan demikian total luas daratan Pulau Kasu yang berada pada ketinggian kurang dari 40 cm adalah sekitar 5.35 ha atau sekitar % dari luas total daratan Pulau Kasu. Dengan menggunakan data laju kenaikan muka laut sebesar 3.99 mm/tahun maka dapat diprediksi kenaikan muka laut di sekitar Pulau Kasu sampai pada tahun Pada tahun 2020, diperkirakan kenaikan muka laut di sekitar Pulau Kasu sekitar 3.99 cm, pada tahun 2040 meningkat menjadi cm, tahun 2060 menjadi cm, tahun 2080 menjadi cm dan pada tahun 2100 ketinggian muka laut akan meningkat sebesar cm. Hal ini berarti, ketinggian daratan Pulau

127 109 Kasu yang kurang atau sama dengan cm di atas permukaan laut akan mengalami perendaman sampai tahun Berdasarkan analisis ketinggian daratan Pulau Kasu, diketahui bahwa sampai tahun 2100 diperkirakan hanya sekitar 10 % dari daratan Pulau Kasu yang terendam, yaitu luas daratan Pulau Kasu yang memiliki ketinggian kurang dari 40 cm. Pada tahun 2020 dimana diperkirakan kenaikan muka laut di sekitar perairan Pulau Kasu sekitar 3.99 cm, akan berdampak terhadap perendaman Pulau Kasu seluas 1.60 ha atau sekitar 3.45 % dari luas Pulau Kasu. Pada 2040, terjadi perendaman daratan Pulau Kasu sekitar 2.66 ha atau sekitar 5.74 % luas daratan Pulau Kasu, dimana pada tahun tersebut kenaikan muka laut di sekitar pulau ini sekitar cm. Kenaikan muka laut dari tahun 2040 ke 2060 akan meningkatkan daratan Pulau Kasu terendam menjadi 3.61 ha atau sekitar 7.78 %. Adapun kenaikan muka laut pada tahun 2080 akan menyebabkan sekitar 4.64 ha daratan Pulau Kasu akan mengalami perendaman. Hingga tahun 2100 diperkirakan kenaikan muka laut akan mencapai sekitar cm, dimana pada saat itu luas daratan Pulau Kasu yang terendam seluas 4.87 ha. Pada Gambar disajikan prediksi perendaman daratan Pulau Kasu sampai tahun Gambar 30. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun 2020

128 Gambar 31. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun 2040, 2060, 2080, dan

129 Pulau Barrang Lompo Berbeda dengan Pulau Kasu, dampak kenaikan muka laut terhadap perendaman daratan Pulau Barrang Lompo sangat besar. Hal ini disebabkan oleh kenaikan muka laut di Selatan Makasar lebih tinggi dibandingkan di Perairan Sekitar Batam. Selain itu juga karakteristik daratan Pulau Barrang Lompo berbeda dengan karakteristik daratan Pulau Kasu. Pulau Barrang Lompo adalah pulau karang yang memiliki ketinggian daratan di atas permukaan laut sangat rendah dibandingkan Pulau Kasu. Sebagian besar daratan Pulau Barrang Lompo berada pada ketinggian kurang dari 100 cm. Hal ini tentunya berimplikasi pada peluang perendaman daratan Pulau Barrang Lompo yang sangat besar. Seperti telah diuraikan sebelumnya, diketahui bahwa daratan Pulau Barrang Lompo yang berada pada ketinggian 0-20 cm seluas 6.26 ha atau sekitar % dari total luas daratan Pulau Barrang Lompo, ketinggian daratan antara cm seluas 9.99 ha atau sekitar % dari luas daratan pulau, dan ketinggian daratan antara cm seluas 3.14 cm atau % dari luas daratan pulau. Dengan demikian total daratan Pulau Barrang Lompo yang berada pada ketinggian kurang atau sama dengan 60 cm adalah ha atau sekitar % dari total luas pulau. Dengan laju kenaikan muka laut sekitar Pulau Barrang Lompo sekitar 5.09 mm/tahun, maka pada tahun 2020 diperkirakan kenaikan muka laut di sekitar pulau ini mencapai 5.09 cm. Pada tahun 2040, kenaikan muka laut sekitar cm, tahun 2060 akan mencapai cm, tahun 2080 mencapai cm dan pada tahun 2100 akan meningkat menjadi cm. Dengan asumsi laju kenaikan muka laut sekitar 5.09 mm/tahun, maka pada tahun 2020 kenaikan muka laut di sekitar Pulau Barrang Lompo akan mencapai 5.09 cm. Pada tahun 2040 kenaikan muka laut meningkat menjadi cm, tahun 2060 kenaikan muka laut menjadi cm. Pada tahun 2080 kenaikan muka laut mencapai sekitar cm, sedangkan pada tahun 2100, kenaikan muka laut di sekitar Pulau Barrang Lompo mencapai cm. Pada tahun 2020, sekitar 1.21 ha atau 5.88 % daratan Pulau Barrang Lompo diperkirakan akan terendam, dimana pada saat itu kenaikan muka laut mencapai 5 cm. Tahun 2040, terjadi peningkatan daratan Pulau Barrang Lompo yang terendam cukup besar, yaitu sekitar 4.21 ha atau sekitar % dari luas

130 112 daratan Pulau Barrang Lompo. Dari tahun 2040 ke 2060 terjadi peningkatan perendaman sebesar 4.16 ha, sehingga pada tahun tersebut luas daratan Pulau Barrang Lompo yang terendam sekitar 8.37 ha atau sekitar %. Tahun 2080, luas daratan Pulau Barrang Lompo yang terendam adalah ha atau sekitar % dari luas Pulau Barrang Lompo. Pada tahun 2100 sekitar % daratan Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman atau sekitar ha. Dengan demikian, apabila luas Pulau Barrang Lompo sekitar ha, maka hanya tersisa sekitar 3.10 ha yang masih berada di atas pemukaan laut. Besarnya luasan daratan Pulau Barrang Lompo yang akan mengalami perendaman diakibatkan kenaikan muka laut yang lebih besar serta karakteristik daratan pulau yang sangat rendah. Pada Gambar disajikan prediksi perendaman daratan Pulau Barrang Lompo sampai tahun Gambar 32. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun 2020

131 Gambar 33. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun 2040, 2060, 2080, dan

132 Pulau Saonek Sama halnya dengan Pulau Barrang Lompo, Pulau Saonek juga memiliki daratan yang relatif rendah di atas permukaan laut. Pulau ini diperkirakan akan mengalami perendaman pada waktu yang akan datang. Pulau Saonek merupakan pulau karang yang memiliki bukit dengan ketinggian mencapai 48 m. Dengan adanya bukit ini, Pulau Saonek relatif aman dari ancaman penenggelaman pulau karena kenaikan muka laut. Namun demikian, terdapat bagian-bagian pulau yang sangat rendah, yang diprediksi akan mengalami perendaman karena adanya kenaikan muka laut. Luas daratan Pulau Saonek yang berada pada ketinggian 0-20 cm seluas 2.43 ha atau sekitar % dari luas daratan pulau, sedangkan luas daratan pulau yang berada pada ketinggian cm seluas 2.42 ha atau sekitar % dari luas daratan Pulau Saonek. Adapun luas daratan Pulau Saonek yang berada pada ketinggian cm dan cm masing-masing seluas 2.45 ha dan 2.95 atau sekitar % dan % dari total luas daratan Pulau Saonek. Daratan pulau yang memiliki ketinggian sampai sekitar 65 cm inilah yang diprediksi akan mengalami perendaman karena kenaikan muka laut hingga tahun Hasil analisis kenaikan muka laut di perairan sekitar Pulau Saonek, diketahui bahwa laju kenaikan muka laut sekitar 7.06 mm/tahun. Artinya setiap 10 tahun, akan terjadi peningkatan muka laut sekitar 7 cm. Pada tahun 2020, kenaikan muka laut di sekitar Pulau Saonek akan mencapai 7.06 cm, dan akan meningkat menjadi cm pada tahun Pada tahun 2060 kenaikan muka laut menjadi cm, tahun 2080 meningkat menjadi cm, dan pada tahun 2100 kenaikan muka laut di sekitar Pulau Saonek mencapai ketinggian cm. Dengan ketinggian daratan Pulau Saoenk yang sebagian berada pada ketinggian rendah, maka ketinggian daratan pulau yang diprediksi akan mengalami perendaman adalah pada daratan dengan ketinggian 0-80 cm. Pada tahun 2020, kenaikan muka laut diprediksi akan merendam daratan Pulau Saonek sekitar 0.35 ha atau sekitar 1.97 %. Kenaikan muka laut sampai tahun 2020 ini masih berdampak kecil terhadap perendaman daratan Pulau Saonek. Pada tahun 2040, kenaikan muka laut diperkirakan sekitar 14 cm, hal ini diprediksi akan merendam daratan Pulau Saonek sekitar 2.42 ha atau sekitar 13.46

133 115 % luas Pulau Saonek. Kenaikan muka laut yang diprediksi sampai tahun 2100 akan memberikan dampak perendaman daratan Pulau Saonek yang cukup besar. Tahun 2060, luas daratan Pulau Saonek yang akan mengalami perendaman sebesar 3.82 ha atau sekitar %, sedangkan pada tahun 2080 seluas 5.86 ha atau ha. Pada tahun 2100, sekitar % lahan Pulau Saonek atau sekitar 7.08 ha akan mengalami perendaman. Pada Gambar disajikan prediksi perendaman daratan Pulau Saonek sampai tahun Gambar 34. Perkiraan perendaman Pulau Saonek pada tahun 2020

134 Gambar 35. Perkiraan perendaman Pulau Saonek pada tahun 2040, 2060, 2080, dan

135 5. PEMBAHASAN 5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan Seperti telah diuraikan dalam Sub-bab 1.7 (novelty), bahwa salah satu yang membedakan model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi dalam penelitian ini dengan model-model kerentanan yang telah ada sebelumnya, adalah perbedaan konsep dalam menempatkan ekosistem pesisir sebagai salah satu parameter yang mampu mereduksi kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Keterkaitan antara kerentanan lingkungan dan ekosistem pesisir ini telah disajikan pada sub bab (kerentanan lingkungan). Model kerentanan pesisir yang dikembangkan oleh Gornitz (1992) seperti pada persamaan (7) yang kemudian banyak diadopsi dalam menghitung indeks kerentanan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain oleh Doukakis (2005), DKP (2008), Pendleton et al. (2004). Untuk melihat perbedaan sensitivitas antara model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi dalam penelitian ini dengan konsep yang dikemukakan oleh Gornitz (1992), pada Tabel 21 sajikan perbandingan hasil pengujian terhadap nilai parameter kerentanan salah satu lokasi penelitian (Pulau Saonek) sebagaimana yang telah disajikan pada Tabel 19. Indeks 1 adalah indeks kerentanan Pulau Saonek saat ini, sedangkan indeks 2 adalah indeks kerentanan lingkungan Pulau Saonek dengan mengasumsikan dilakukan pengelolaan ekosistem mangrove. Dengan menggunakan konsep kerentanan Gornitz (1992) indeks kerentanan lingkungan Pulau Saonek berada pada kerentanan kategori tinggi ( ), sedangkan model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi pada penelitian ini berada pada kategori kerentanan sedang ( ). Dengan merubah nilai ekosistem mangrove menjadi lebih baik sehingga meningkatkan kapasitas adaptif untuk kasus model indeks kerentanan lingkungan dalam penelitian ini dan menurunkan kerentanan untuk model Gornitz (1992), kedua-duanya mampu menunjukkan perubahan atau penurunan kerentanan. Namun, pada konsep Gornitz (1992) masih berada pada kategori kerentanan tinggi. Untuk model kerentanan yang dikonstruksi dalam penelitian ini mampu menurunkan kerentanan dari kerentanan sedang ke kategori kerentanan rendah ( ).

136 118 Tabel 21. Perbandingan 2 model indeks kerentanan pulau-pulau kecil Model Indeks 1 Indeks 2 Nilai Indeks Nilai Indeks Minimum Maksimum Gornitz (1992) Tahir (2010) Berdasarkan analisis tersebut, terlihat bahwa model indeks kerentanan yang konstruksi dalam penelitian ini, mampu menunjukkan peran ekosistem pesisir sebagai sebuah ekosistem pulau-pulau kecil yang mampu menurunkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Keragaman ekosistem yang terdapat di Pulau Saonek juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas fungsi ekosistem sebagaimana dikemukakan oleh Peterson et al. (1998), yang menyebutkan bahwa semakin tinggi keanekaragaman hayati semakin tinggi stabilitas fungsi ekosistem Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan Analisis Parameter Ketersingkapan/Keterbukaan (Exposure) Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Sub-bab 4.4.1, terdapat 4 parameter dari komponen exposure yang berbeda antara ketiga pulau, yaitu kenaikan muka laut, pertumbuhan dan kepadatan penduduk serta kejadian tsunami. Perbedaan kenaikan muka laut ketiga pulau disebabkan oleh posisi pulau tersebut terhadap kondisi perairan. Seperti telah disebutkan dalam Sub-bab 3.1 (perbedaan lokasi penelitian), bahwa Pulau Kasu berada pada perairan sempit, Pulau Barrang Lompo berada pada perairan yang lebih luas, dan Pulau Saonek berada perairan luas. Perbedaan posisi pulau-pulau tersebut diperkirakan sebagai faktor pembeda laju kenaikan muka laut. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Church et al.(2001) yang menyebutkan bahwa kenaikan muka laut dipengaruhi oleh volume air laut baik yang disebabkan oleh pemanasan global dan mencairnya es di kutub maupun karena faktor meteo-oseanografi regional. Faktor-faktor tersebut tentunya memiliki pengaruh berbeda terhadap ketiga perairan dimana ketiga pulau tersebut berada. Kejadian tsunami juga berbeda antara ketiga pulau. Pulau Barrang Lompo merupakan pulau yang paling dekat dengan kejadian tsunami sebagaimana yang direkam sejak tahun 1900 sampai tahun 2008, jumlah kejadian yang tercatat sebanyak 5 kali. Catatan kejadian tsunami yang pernah terjadi di sekitar Pulau

137 119 Saonek sebanyak 2 kali, sedangkan untuk Pulau Kasu tidak terdapat rekaman kejadian tsunami. Perbedaan kejadian tsunami ini lebih dikarenakan posisi ketiga pulau terhadap karakteristik geologi berbeda. Dengan demikian, Pulau Barrang Lompo memiliki resiko yang tinggi terhadap kemungkinan dampak tsunami pada masa yang akan datang, lebih-lebih lagi karena pulau ini merupakan pulau datar yang memiliki resiko dari kenaikan muka laut. Ketiadaan vegetasi pantai di Pulau Barrang Lompo menjadikan daratan pulau ini sangat rentan terhadap kejadian tsunami dan juga hantaman gelombang pada musim tertentu (pada bulan Desember-Januari). Pertumbuhan penduduk ditentukan oleh 2 faktor, yaitu (1) natalitas dan mortalitas (kelahiran dan kematian), dan (2) migrasi (keluar-masuknya) penduduk dari suatu daerah. Perbedaan laju pertumbuhan penduduk ketiga pulau ini disebabkan oleh faktor-faktor tersebut di atas. Laju pertumbuhan penduduk yang lebih besar di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek disebabkan oleh kedua faktor pertumbuhan di atas. Sebaliknya, pertumbuhan penduduk di Pulau Kasu hanya dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian. Implikasi dari laju pertumbuhan penduduk tersebut adalah tingkat kepadatan penduduk juga akan tinggi, manakala luas areal yang tersedia untuk kawasan pemukiman terbatas dan jumlah penduduk yang besar. Dalam kasus Pulau Barrang Lompo dan Saonek, meskipun tingkat pertumbuhan penduduk sama-sama tinggi dan luas daratan pulau yang tidak terlalu berbeda, namun karena jumlah penduduk di kedua pulau tersebut jauh berbeda menyebabkan tingkat kepadatan penduduk berbeda di kedua pulau tersebut. Hal sebaliknya terjadi pada Pulau Kasu, meskipun jumlah penduduk besar, namun karena luas areal daratan pulau yang jauh lebih besar dibandingkan Pulau Barrang Lompo, maka tingkat kepadatan penduduknya rendah Analisis Parameter Sensitivitas (Sensitivity) Nilai parameter sensitivity yang dipaparkan pada Sub-bab 4.4.2, menunjukkan perbedaan antara ketiga pulau. Ketinggian atau elevasi sebagaimana dipaparkan pada Sub-bab 4.2, memperlihatkan bahwa ketiga pulau memiliki elevasi yang berbeda. Pulau Barrang Lompo memiliki elevasi yang paling rendah, dimana sekitar % dari luas daratan pulau berada pada

138 120 ketinggian kurang dari 100 cm. Sementara itu, daratan Pulau Saonek yang berada pada elevasi kurang dari 100 cm sekitar %, sedangkan Pulau Kasu hanya sekitar %. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan tipologi ketiga pulau. Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek pada prinsipnya memiliki tipologi pulau relatif sama sebagai pulau karang, dimana umumnya memiliki elevasi yang rendah (Woodroffe 2008). Pulau Kasu memiliki tipologi yang berbeda dengan Pulau Barrang Lompo dan Saonek, dimana Pulau Kasu adalah pulau petabah yang umumnya merupakan pulau berbukit (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau Saonek dan Barrang Lompo memiliki sensitivity yang tinggi terhadap kemungkinan perendaman sebagaimana banyak terjadi pada pulau-pulau karang di kawasan Pasifik (Woodroffe 2008). Jika dilihat dari kemiringan, Pulau Barrang Lompo memiliki areal yang paling luas berada pada kemiringan yang paling sensitif (0-8 %), yaitu seluas ha atau sekitar %. Luas daratan Pulau Saonek yang berada pada kemiringan 0-8 % adalah ha atau sekitar %. Adapun daratan Pulau Kasu yang berada pada kemiringan 0-8 % seluas ha atau sekitar %. Tipologi pantai dari ketiga pulau juga memiliki perbedaan. Sebagaimana yang dipaparkan pada Tabel 19 sebelumnya, terlihat bahwa Pulau Saonek memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dibandingkan dengan 2 pulau lainnya. Hal ini disebabkan karena tipologi pantai berpasir cukup dominan di Pulau Saonek. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Pulau Barrang Lompo, hampir seluruh pantai Pulau Barrang Lompo merupakan pantai berpasir, hanya saja lebih dari setengah pantai pulau ini telah dibangun bangunan pelindung pantai, yang kemudian dikategorikan sebagai pantai berbatu. Pulau Kasu memiliki pantai dengan tingkat sensitivitas yang paling rendah. Meskipun pulau ini memiliki pantai berlumpur yang merupakan pantai paling sensitif terhadap kemungkinan terjadinya erosi pantai, namun sebagian besar pantainya merupakan pantai bervegetasi. Perbedaan tipologi pantai ketiga pulau tersebut, memiliki hubungan yang erat dengan jenis pulau, dimana pulau-pulau karang umumnya memiliki pantai berpasir dan berbatu, sedangkan pulau petabah memiliki pantai bervegetasi dan berlumpur. Keberadaan ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun di ketiga pulau tersebut terkait erat dengan jenis pulau (Asriningrum 2009).

139 121 Tipologi penggunaan lahan ketiga pulau juga berbeda. Seperti tersaji pada Tabel 19 sebelumnya, Pulau Barrang Lompo memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi terkait dengan penggunaan lahan, disusul oleh Pulau Saonek dan Pulau Kasu. Perbedaan tipologi penggunaan lahan ini secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan tingkat kepadatan penduduk. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Barrang Lompo berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk pemukiman sangat besar, sementara ketersediaan lahan sangat terbatas. Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, menyebabkan konversi lahan menjadi kawasan pemukiman juga semakin tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada Pulau Kasu, ketersediaan lahan daratan yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan penduduk untuk kawasan pemukiman, sehingga lahan-lahan yang ada dapat diperuntukkan bagi pemanfaatan lain yang memiliki tingkat sensitivitas yang lebih rendah (lahan tidak termanfaatkan dan lahan pertanian/perkebunan). Sensitivitas pemukiman ditentukan dua hal, yaitu letak pemukiman dari garis pantai (jarak dari pantai), dan letak pemukiman dilihat dari ketinggian dari permukaan laut. Sebagaimana telah diulas pada Sub-bab 4.4, letak pemukiman penduduk di Pulau Barrang Lompo dan Saonek relatif sama, yaitu berada di sekitar pantai. Sebaliknya pemukiman penduduk di Pulau Kasu berada di atas perairan. Jika dilihat dari letak pemukiman ini, maka pemukiman yang dibangun di atas perairan lebih sensitif dibandingkan dengan yang berada di sekitar pantai (sempadan pantai). Semakin jauh letak pemukiman dari pantai semakin rendah tingkat sensitivitasnya terhadap kemungkinan gangguan alam seperti badai. Dampak yang dialami oleh pemukiman di atas perairan seperti pada kasus Pulau Kasu adalah kenaikan muka laut yang mencapai lantai rumah penduduk. Sementara untuk permukiman penduduk yang berada di sekitar pantai mengalami ancaman hempasan gelombang yang kadang-kadang mencapai dinding rumah, sebagaimana terjadi pada sebagian rumah penduduk di Pulau Barrang Lompo. Pertumbuhan penduduk di suatu pulau dan perpindahan internal penduduk menjadi faktor pendukung terhadap tekanan berupa peningkatan kebutuhan pemukiman penduduk di wilayah pantai/pesisir kebutuhan utilitas, dan

140 122 penggunaan sumberdaya (Mimura et al. 2007). Perubahan muka laut dan berbagai peristiwa alam memiliki konsekuensi serius terhadap penggunaan lahan Analisis Parameter Kapasitas Adaptif (adaptive capacity) Ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun adalah habitat pesisir yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil. Ketiga ekosistem ini merupakan satu kesatuan ekologi yang memiliki peran dan fungsi yang saling terkait. Hamparan ketiga ekosistem ini akan membentuk suatu habitat yang disebut dengan habitat pesisir. Habitat pesisir dan ketiga ekosistem pulau-pulau kecil ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai gangguan dari luar. Selain itu, konservasi laut juga mampu meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil sebagaimana yang dikemukakan McClanahan et al. (2008). Dalam konteks pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, kapasitas adaptif diartikan sebagai kemampuan dari suatu kelompok untuk mengantisipasi dan merespon terhadap perubahan yang terjadi pada ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang dan lamun) untuk meminimalisasi dan memulihkan dari berbagai konsekuensi (McClanahan et al. 2008). Semakin luas ekosistem pesisir di pulau-pulau kecil, semakin besar kapasitas adaptif dari pulau tersebut. Secara umum, ketiga pulau memiliki kesamaan dalam hal keberadaan habitat pesisir, dimana habitat pesisir lebih luas dibandingkan wilayah daratan. Peran habitat pesisir cukup besar dalam hal perlindungan terhadap daratan pulau. Habitat pesisir Pulau Kasu didominasi oleh vegetasi mangrove dan padang lamun. Kedua jenis habitat pesisir ini berkembang dengan baik di pesisir Pulau Kasu. Keberadaan kedua ekosistem ini berperan penting dalam perlindungan daratan Pulau Kasu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Mazda et al. (2007), bahwa ekosistem mangrove memiliki peran dalam perlindungan pantai dari gelombang, badai dan erosi pantai. Sebagai pencegah erosi, habitat pesisir juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas sedimen di sekitar pantai, sebagaimana yang dikemukakan Victor et al. (2006) bahwa dalam proses sedimentasi sekitar 40 % dari sedimen yang mengalir ke kawasan mangrove terperangkap dalam ekosistem mangrove. Peran ekosistem mangrove dikemukakan Othman (1994) yang menyebutkan bahwa ekosistem mangrove berperan dalam mereduksi energi

141 123 gelombang, perangkap sedimen dan memperlambat proses-proses erosi pantai. Mazda et al. (2007) menambahkan peran mangrove sebagai pelindung dari tsunami. Perlindungan mangrove terhadap tsunami juga dikemukakan Kathiresan dan Rajendran (2005) di sepanjang pantai Parangipettai, Tamil Nadu, India. Ekosistem mangrove yang cukup rapat di Pulau Kasu dan Pulau Saonek memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap gangguan atau hempasan ombak sebagaimana yang dikemukakan Alongi (2008). Semakin tinggi kerapatan pohon mangrove semakin besar kemampuannya mereduksi energi gelombang dan tsunami (Hiraishi dan Harada 2003). Kemampuan mangrove melindungi daratan pulau dari tsunami dan berbagai bencana dari laut sangat dipengaruhi oleh lebar mangrove, kemiringan, diameter pohon dan densitas atau kerapatan (Alongi 2008). Dalam kaitannya dengan kenaikan muka laut, ekosistem mangrove mampu beradaptasi terhadap perubahan muka laut yang terjadi. Gilman et al. (2008) menyebutkan terdapat 3 cara mangrove beradaptasi terhadap kenaikan muka laut, yaitu pada saat kenaikan muka laut stabil, maka kondisi mangrove juga akan berada pada posisi stabil. Apabila muka air laut mengalami penurunan, maka ekosistem mangrove akan berkembang ke arah laut (seaward) untuk menjaga kondisi agar tetap sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan. Pada saat muka laut mengalami kenaikan maka mangrove akan berkembang ke arah darat (landward). Kemampuan mangrove dalam memitigasi dampak dari luar seperti tsunami dikemukakan Kathiresan dan Rajendran (2005); Vermat dan Thampanya (2006). Habitat pesisir di Pulau Barrang Lompo dan Saonek didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Berbeda dengan Pulau Kasu yang merupakan pulau petabah, Pulau Barrang Lompo dan Saonek merupakan pulau karang. Meskipun Saonek dan Barrang Lompo memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup luas, namun karena aktivitas penambangan karang pernah dilakukan di pulau ini, maka dampak dari kerusakan karang terhadap pantai Pulau Saonek dan Barrang Lompo mulai dirasakan oleh masyarakat, yaitu adanya erosi pantai. Rusaknya ekosistem terumbu karang ini, menyebabkan berkurangnya fungsi pelindung dari habitat pesisir terhadap pantai. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Moberg dan Folke (1999) yang menyebutkan bahwa hilangnya perlindungan terumbu

142 124 karang terhadap pantai dari arus, gelombang dan badai menyebabkan hilangnya daratan pulau karena erosi pantai. Hal ini disebakan karena berkurangnya peran terumbu karang sebagai peredam gelombang yang mencapai pantai. Peran kapasitas adaptif di Pulau Barrang Lompo dan Saonek ini lebih didominasi oleh terumbu karang. Terumbu karang merupakan salah satu pemeran dari ketahanan fisik dan sangat penting untuk memahami perilaku garis pantai yang dihadapkan pada permasalahan perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Oleh karena itu, pengelolaan terbaik untuk meningkatkan ketahanan dari sistem pulau-pulau kecil dan mereduksi kerentanan lingkungan dan sosial (Mimura 1999). Konservasi laut di ketiga lokasi belum dilakukan secara formal. Pulau Saonek sudah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut (DPL) tetapi berada pada daerah secara fisik tidak termasuk dalam habitat pesisir Pulau Saonek. Demikian juga ekosistem mangrove belum ditetapkan secara formal dengan suatu aturan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, kesadaran masyarakat yang tinggi tentang peran perlindungan ekosistem mangrove terhadap pulau sangat tinggi, sehingga secara sadar mereka tidak melakukan kegiatan yang merusak ekosistem tersebut. Hal yang sama juga sudah mulai dilakukan untuk terumbu karang, kegiatan penambangan yang pernah dilakukan oleh masyarakat sudah mulai dihentikan. Berbeda dengan Pulau Barrang Lompo, kegiatan penambangan karang masih terus dilakukan. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan yang tegas melarang masyarakat untuk menambang karang. Sebagian masyarakat yang tidak menyadari akan dampak kerusakan karang terhadap keberadaan daratan pulau masih terus melakukan penambangan karang. Masyarakat Pulau Kasu, memiliki kesamaan dengan masyarakat Pulau Saonek. Meskipun secara formal, ekosistem mangrove belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, namun karena masyarakat menyadari arti penting ekosistem ini, maka aktivitas pemanfaatan yang merusak tidak dilakukan. Hal ini berdampak positif terhadap peran habitat pesisir sebagai pelindungan pantai. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan ekosistem ini, perlu penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan konservasi laut secara formal.

143 125 Karakteristik masing-masing pulau dilihat dari parameter kerentanan juga dapat dilihat dari hasil analisis Priciple Component Analisys (PCA) atau analisis komponen utama terhadap parameter kerentanan pulau-pulau kecil. Dari hasil analisis PCA diperoleh beberapa parameter utama yang mencirikan masingmasing pulau kecil. Seperti terlihat pada Gambar 36, Pulau Saonek dan Pulau Barrang Lompo dicirikan oleh kesamaan parameter laju pertumbuhan penduduk (PD), elevasi pulau (EL) dan penggunaan lahan (PL). Sebaliknya Pulau Kasu dicirikan oleh beberapa parameter sebagai pembeda dari Pulau Saonek dan Barrang Lompo, yaitu tipologi pemukiman (PP), habitat pesisir (HP), ekosistem lamun (LM), kemiringan (SL), dan gelombang (GL). Parameter lainnya tidak secara spesifik mencirikan keterkaitannya dengan ketiga pulau kecil yang ditetiti. Biplot (axes F1 and F2: 92,43 %) 4 2 MR PPKasu LM F2 (28,22 %) 0 2 KL SR KP TP TS PS ER TK HP Saonek B. Lompo EL PL GL SL PD F1 (64,21 %) Gambar 36. Biplot parameter kerentanan dengan lokasi penelitian (pulau-pulau kecil)

144 Analisis Skenario Perubahan Kerentanan Lingkungan Sebagaimana telah diuraikan dalam Sub-bab 1.1 bahwa kelebihan konsep kerentanan yang digunakan dalam penelitian ini dikaitkan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil adalah konsep ini lebih aplikatif yang mana mengintegrasikan ekosistem pesisir yang merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil sebagai parameter yang mampu mereduksi kerentanan pulau-pulau kecil. Selain itu, adanya sifat dinamis dari kerentanan, akan menyebabkan perubahan kerentanan lingkungan dari waktu ke waktu sebagaimana dikemukakan Preston dan Stafford- Smith (2009). Perubahan kerentanan ini, juga sudah diindikasikan Lewis (2009) yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil dengan berbagai karakteristik yang melekat padanya, menyebabkannya sebagai objek yang rentan, yang akan selalu mengalami perubahan. Ekosistem pesisir yang terdiri dari terumbu karang, mangrove dan lamun, secara alami akan mengalami pertumbuhan dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan, manakala tekanan terhadap lingkungan sekitarnya sesuai dengan kapasitas pemulihannya. Sayangnya, dalam banyak kasus tekanan terhadap ketiga ekosistem ini, jauh lebih besar dari kemampuan pulihnya, sehingga seringkali tekanan atau perubahan lingkungan yang terjadi semakin memberikan tekanan atau dampak negatif terhadap ekosistem pesisir. Oleh karena itu, untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas ketiga ekosistem ini perlu dilakukan pengelolaan. Konservasi laut merupakan instrumen pengelolaan yang sudah banyak dilakukan untuk mempertahankan atau juga meningkatkan kualitas ekosistem pesisir. Perlindungan dan preservasi (konservasi) memiliki peran dalam meningkatkan kapasitas adaptif dari ekosistem pesisir (McClanahan et al. 2008). Upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut seharusnya didasarkan pada kapasitas alami dari sistem alam yang didukung oleh perencanaan adaptasi seperti pelindung pantai dan infrastruktur sosial (Hay et al. 2003). Melalui konservasi ini, ekosistem pesisir mampu meningkatkan kapasitasnya terhadap penyesuaian perubahan lingkungan yang terjadi. Dengan melakukan konservasi, berarti memberikan kesempatan kepada ekosistem pesisir untuk terus berkembang dengan baik, atau memulihkan diri dari kerusakan yang dialami (recovery). Hubungan antara konservasi dengan upaya penurunan

145 127 kerentanan pulau-pulau kecil dapat pada Gambar 37. digambarkan dalam sebuah argoritma seperti Gambar 37. Algoritma kajian kerentanan pulau-pulau kecil. Kerentanan pulau-pulau kecil dipengaruh oleh faktor eksternal dan internal pulau itu sendiri. Faktor eksternal adalah komponen dimensi exposure, sedangkan faktor internal adalah komponenn dimensi sensitivity dan dimensi adaptive capacity. Komponen kerentanan dimensi sensitivity berbanding lurus dengan kerentanan, artinya semakin tinggii nilai sensitivitas suatuu pulau semakin besar kontribusiny ya terhadap kerentanann pulau-pulau kecil. Sebaliknya, komponen dimensi adaptive capacity berbanding terbalik dengan kerentanan. Hal ini berarti semakin tinggi kapasitas adaptif suatu pulau semakin rendah kerentanan pulau tersebut. Dari 5 parameter kerentanan dimensi adaptive capacity, ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun merupakan parameter yang dinamik, yaitu parameter yang dapat berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Apabila

146 128 kondisi lingkungan mendukung persyaratan pertumbuhan ekosistem ini, maka ekosistem tersebut akan berkembang menjadi lebih baik. Sebaliknya, apabila tekanan lingkungan yang dialami lebih tinggi dari persyaratan hidupnya, maka ekosistem tersebut akan berkembang ke arah yang lebih buruk. Dari data lapangan, terlihat kecenderungan ekosistem tersebut mengalami penurunan karena tekanan penduduk yang cukup besar, terutama di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek. Oleh karena itu, konservasi laut adalah instrumen pengelolaan yang dapat digunakan untuk mempertahakan atau meningkatkan kualitas dari ketiga ekosistem tersebut. Melalui pengembangan konservasi laut, kapasitas adaptif dari pulau-pulau kecil dapat ditingkatkan. Terkait dengan luasan kawasan konservasi, terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam menentukan kawasan konservasi, yaitu kawasan konservasi skala luas dan skala kecil seperti daerah perlindungan laut. Konservasi skala luas di dikenal dengan nama large marine ecosystem (LMEs), yaitu sebuah pendekatan yang digunakan untuk menentukan luasan dari suatu kawasan pesisir dan laut untuk di konservasi. LMEs ini ditetapkan untuk kawasan pesisir dan laut seluas km 2 atau lebih yang dikarakteristikkan oleh kedalaman, hidrografi, produtivitas, aspek antropologi atau penduduk (Mohan et al. 2009). Konsep ini telah digunakan sekitar 25 tahun yang lalu, dan telah diinvestigasi pengaruhnya terhadap ekosistem pesisir dan laut dunia. Konsep ini digunakan untuk mengatasi isu ekosistem pesisir pada skala geografi yang banyak dipengaruhi oleh aspek biofisik. Pendekatan LMEs ini fokus pada lima hal yaitu produktivitas, ikan dan kegiatan perikanan, kesehatan ekosistem, sosial ekonomi dan tata-kelola ekosistem pesisir dan laut. Beberapa kawasan konservasi yang mengikuti pendekatan LMEs adalah kawasan konservasi Phoenix Island di di Republik Kiribati dengan luas km 2, Taman Laut Great Barrier Reef Marine dengan luas km 2, dan Taman Laut Nasional di Pulau Hawai seluas km 2 (Edward 2008). Oleh karena itu, dalam skenario penurunan kerentanan pulaupulau kecil digunakan pendekatan areal yang lebih luas (mencapai 50 % dari habitat pesisir) dari habitat pesisir pulau-pulau kecil. Kisaran luasan konservasi juga dikemukakan Halpern (2003) yang menyebutkan bahwa kawasan konservasi berkisar antara km 2 sampai 846 km 2, dengan nilai tengah 4 km 2. Semua

147 129 kawasan konservasi tersebut memberikan manfaat dengan periode waktu yang berbeda-beda Pulau Kasu Seperti telah diuraikan dalam Sub-bab 4.6 dan 4.7, kerentanan ketiga pulau berbeda, dimana Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek memiliki kerentanan sedang, sedangkan Pulau Kasu masih dalam kategori kerentanan rendah. Setelah mencermati perilaku dari parameter kerentanan dari setiap komponen (exposure, sensitivity, dan adaptive capacity), diperoleh beberapa indikasi parameter yang akan cepat mengalami perubahan. Perubahan kerentanan Pulau Kasu dalam 2 tahun ke depan disebabkan oleh pengaruh kenaikan muka laut terhadap letak pemukiman penduduk yang umumnya dibangun di atas perairan. Hal ini telah diindikasikan oleh dampak yang sudah mulai dirasakan masyarakat, bahwa pada saat pasang tertinggi, permukaan air beberapa kali sudah mencapai lantai rumah penduduk yang berada di atas permukaan laut. Dengan demikian, parameter yang akan mempengaruhi perubahan kerentanan Pulau Kasu secara cepat adalah kenaikan muka laut dan pemukiman penduduk. Dengan mengubah nilai skor dari kedua parameter tersebut, perubahan kerentanan dapat diprediksi hingga tahun Hasil analisis menunjukkan, bahwa akan terjadi perubahan kerentanan secara signifikan pada Pulau Kasu. Tabel 22 menyajikan skenario perubahan kerentanan (tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1, dan pengelolaan skenario 2). Tabel 22. Skenario perubahan kerentanan Pulau Kasu Perubahan Kerentanan No. Skenario Pengelolaan Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. Tanpa pengelolaan Pengelolaan skenario Pengelolaan skenario Dinamika kerentanan Pulau Kasu relatif kecil, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 22 di atas. Perubahan kerentanan baik tanpa dilakukan pengelolaan maupun dilakukan pengelolaan hingga tahun 2100, maksimal hanya berada pada kategori kerentanan tinggi, yang berarti tidak mencapai kategori kerentanan sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena skor masing-masing parameter ketiga

148 130 dimensi kerentanan umumnya berada pada kategori rendah sampai sedang. Jika tidak dilakukan pengelolaan, dalam waktu 7 tahun akan terjadi perubahan kerentanan dari kerentanan saat ini (rendah) menjadi kerentanan sedang. Perubahan kerentanan sedang menjadi kerentanan tinggi akan terjadi dalam waktu 23 tahun. Jika dilakukan pengelolaan skenario 1 (penetapan habitat pesisir Pulau Kasu seluas 30 % menjadi kawasan konservasi), dalam jangka waktu 11 tahun dari sekarang akan terjadi perubahan dari kerentanan saat ini (rendah) menjadi kerentanan sedang. Hal ini berarti perubahan kerentanan dapat diperlambat selama 4 tahun untuk perubahan dari kerentanan rendah ke kerentanan sedang. Untuk perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dibutuhkan waktu sekitar 39 tahun, yang berarti terjadi perlambatan 20 tahun yaitu dari tahun 2040 (tanpa pengelolaan) menjadi tahun 2060 (pengelolaan skenario pengelolaan 1). Apabila dilakukan pengelolaan skenario 2 (penetapan konservasi 50 % dan pemindahan pemukiman), perubahan kerentanan dari keadaan saat ini menjadi kerentanan sedang baru terjadi pada 22 tahun ke depan. Berdasarkan dinamika kerentanan Pulau Kasu ini, dapat disimpulkan bahwa tipologi Pulau Kasu sebagai pulau petabah (berbukit) tidak terlalu rentan terhadap perubahan kenaikan muka laut dan faktor-faktor lainnya seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Karakteristik pulau yang relatif terlindung dengan tingkat kapasitas adaptif yang tinggi, menyebabkan kerentanan Pulau Kasu relatif rendah. Perubahan parameter komponen kerentanan yang ada juga tidak banyak, sehingga dinamika kerentanan pada masa yang akan datang relatif rendah Pulau Barrang Lompo Kerentanan Pulau Barrang Lompo berbeda dengan kerentanan Pulau Kasu sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Pulau Barrang Lompo memiliki kerentanan saat ini (kerentanan awal) sudah berada pada kategori kerentanan sedang. Parameter kerentanan baik pada dimensi exposure maupun dimensi sensitivity umumnya memiliki skor yang sudah tinggi. Hal ini berarti perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo akan akan berubah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke kerentanan tinggi dan kerentanan sangat tinggi. Pada Tabel 23 disajikan skenario perubahan kerentanan dari tiga skenario, yaitu tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1, dan pengelolaan skenario 2.

149 131 Tabel 23. Skenario perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo No. Skenario Pengelolaan Perubahan Kerentanan Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. Tanpa pengelolaan Pengelolaan skenario Pengelolaan skenario Seperti terlihat pada Tabel 23 di atas, apabila tidak dilakukan pengelolaan, dalam 13 tahun ke depan akan terjadi perubahan kerentanan dari kerentanan sedang menjadi kerentanan tinggi. Dalam kurun waktu 51 tahun dari saat ini akan berubah menjadi kerentanan sangat tinggi. Apabila dilakukan pengelolaan dengan skenario 1 (menetapkan 30 % dari habitat pesisir sebagai kawasan konservasi laut), maka perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 17 tahun menjadi tahun 2027, dan 47 tahun berikutnya baru mencapai kerentanan sangat tinggi (2074). Apabila pengelolaan skenario 2 dilakukan (meningkatkan kawasan konservasi menjadi 50 % dan membangun bangunan pelindung pantai) maka perubahan kerentanan dari kerentanan tinggi menjadi kerentanan sangat tinggi dapat diperlambat selama 12 tahun dari skenario 1 menjadi tahun Berdasarkan dinamika kerentanan ini, dapat disimpulkan bahwa tipologi Pulau Barrang Lompo sebagai pulau karang dengan tingkat sensitivitas yang tinggi menyebabkan kerentanan Pulau Barrang Lompo relatif tinggi. Upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptif alami tidak terlalu signifikan dalam menurunkan kerentanan Pulau Barrang Lompo, namun penurunan kerentanan lingkungan dapat dilakukan dengan membangun bangunan pelindung pantai pada seluruh pantai Pulau Barrang Lompo. Karakteristik Pulau Barrang Lompo yang berada Selat Makasar dengan gelombang yang cukup besar menyebabkan juga perlunya membangun alat pemecah ombak pada sisi barat Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek Sama halnya dengan Pulau Barrang Lompo, kerentanan Pulau Saonek masih dalam kategori kerentanan sedang. Hal ini berarti perubahan kerentanan Pulau Saonek akan meningkat ke kerentanan tinggi pada masa yang akan datang. Nilai ketersingkapan dan sensitivitas Pulau Saonek yang cukup tinggi

150 132 menyebabkan kerentanan lingkungan saat ini cukup tinggi (kerentanan sedang). Skenario perubahan kerentanan lingkungan Pulau Saonek disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Skenario perubahan kerentanan Pulau Saonek No. Skenario Pengelolaan Perubahan Kerentanan Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. Tanpa pengelolaan Pengelolaan skenario Pengelolaan skenario Berdasarkan analisis yang disajikan pada Tabel 24, perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi terjadi pada tahun 2027 jika tidak dilakukan pengelolaan, dan perubahan dari kerentanan tinggi ke kerentanan sangat tinggi terjadi pada tahun Jika dilakukan pengelolaan skenario 1, perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 14 tahun menjadi tahun 2041, sedangkan jika dilakukan pengelolaan skenario 2, maka perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 37 tahun menjadi tahun 2064 jika dibandingkan dengan kondisi tidak dilakukan pengelolaan. Baik pengelolaan skenario 1 maupun pengelolaan skenario 2 tidak akan mencapai kerentanan sangat tinggi sampai tahun Analisis Laju Perendaman Daratan Pulau Perendaman (inundation) merupakan salah satu konsekuensi terbesar bagi pulau-pulau kecil terkait dengan kenaikan muka laut sebagaimana yang terjadi di belahan bumi (Woodroffe 2008; Mimura 1999). Perendaman berbeda dengan banjir (flooding), perendaman adalah perembesan air yang terjadi pada saat muka air naik masuk ke dalam daratan pulau, sedangkan banjir adalah aliran air yang melewati suatu daratan yang terjadi ketika curah hujan tinggi atau karena badai siklon. Perendaman pulau sangat terasa bagi pulau-pulau kecil dari kelompok pulau karang atau pulau atol, karena kedua jenis pulau ini memiliki elevasi yang sangat rendah, yang berpeluang akan mengalami perendaman.

151 133 Dari perkiraan laju perendaman daratan pulau yang dipaparkan pada Subbab 4.8, diketahui bahwa Pulau Barrang Lompo yang akan mengalami dampak yang sangat ekstrim dibandingkan dengan Pulau Saonek dan Pulau Kasu. Pada tahun 2040, sekitar % daratan Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman, sedangkan Pulau Saonek dan Pulau Kasu masing-masing hanya sekitar % dan 5.74 %. Pada tahun 2060, daratan Pulau Barrang Lompo yang akan mengalami perendaman sekitar %, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu masing-masing % dan 7.78 %. Pada tahun 2080, persentasi luas daratan Pulau Barrang Lompo yang mengalami perendaman adalah %, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu masing-masing sebesar % dan 9.99 %. Pada akhir tahun 2100 sekitar % lahan daratan Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu sebesar % dan 10.49%. Perbedaan laju perendaman ketiga pulau tersebut disebabkan oleh perbedaan 2 faktor penting yang mempengaruhi perendaman daratan pulau, yaitu elevasi pulau dan laju kenaikan muka laut. Seperti telah diuraikan pada Sub-bab 4.2, sekitar % daratan Pulau Barrang Lompo berada pada ketinggian kurang dari 100 cm. Dengan ketinggian daratan pulau seperti ini, maka peluang daratan tersebut mengalami perendaman karena kenaikan muka laut jauh lebih besar. Berbeda dengan Pulau Barrang Lompo, Pulau Saonek memiliki daratan pulau sekitar % yang ketinggiannya kurang dari 100 cm, sedangkan Pulau Kasu hanya sekitar % yang ketinggiannya kurang dari 100 cm. Faktor kedua yang menyebabkan perbedaan laju perendaman daratan pulau adalah laju kenaikan muka laut. Kenaikan muka laut tertinggi terjadi di perairan sekitar Pulau Saonek yaitu sekitar 7.06 mm/tahun, perairan Pulau Barrang Lompo sekitar 5.09 mm/tahun dan Pulau Kasu sekitar 3.99 mm/tahun. Berdasarkan laju kenaikan muka laut tersebut, pada tahun 2100 daratan dengan ketinggian kurang dari 45 cm di Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman. Adapun daratan setinggi 63 cm di Pulau Saonek akan terendam pada tahun 2100, dan daratan kurang dari 36 cm di Pulau Kasu akan terendam. Perkiraan laju perendaman daratan pulau ini tidak memperhitungkan faktor subsiden dari masing-masing pulau.

152 134 Besarnya dampak kenaikan muka laut terhadap perendaman daratan Pulau Barrang dan Saonek merupakan konsekuensi dari pulau-pulau karang dari kelompok pulau datar, sebagaimana banyak menimpa pulau-pulau kecil di daerah Karibati-Tuvalu yang mengalami ancaman perendaman karena ketinggian kurang dari 2 m (Woodroffe 2008). Perendaman daratan pulau memberikan dampak yang cukup besar terhadap sistem lingkungan pulau-pulau kecil. Selain terganggunya sistem lingkungan pulau-pulau kecil, dampak ekstrim lainnya dari perendaman daratan pulau seperti yang terjadi di Funafuti-Tavalu adalah terjadinya migrasi atau perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya (Mimura 1999). Woodroffe (2008) juga menyebutkan beberapa aspek yang terkait dengan topografi yang mempengaruhi perendaman adalah luas daratan yang berada pada ketinggian kurang dari 2 m, serta kisaran pasang surut dan tinggi gelombang laut. Salah satu pendekatan yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan kerentanan pulau dataran rendah terkait dengan kenaikan muka laut adalah pendekatan morfodinamika (Capobianco et al. 1999). Pendekatan ini didasarkan pada penilaian dinamika alami dari ekosistem pulau dan perencanaan pengelolaan untuk meningkatkan resiliensi atau kapasitas adaptif, guna meminimalisasi dampak dari kenaikan muka laut. 5.5 Rancangan Strategi Adaptasi Berdasarkan analisis perubahan kerentanan dan laju perendaman daratan ketiga pulau yang telah diuraikan di atas, pilihan strategi adaptasi yang dapat dikembangkan untuk ketiga pulau adalah strategi adaptasi yang bersifat reaktif seperti yang dikemukakan UNFCCC (2007). Strategi adaptasi reaktif adalah (a) perlindungan terhadap infrastruktur di wilayah pesisir/pulau-pulau kecil, (b) penyadaran masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap ekosistem pesisir dan laut, (c) pembangunan bangunan pelindung pantai (sea wall), perlindungan dan konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai lainnya. Ketiga strategi adaptasi di atas dapat diimplementasikan untuk ketiga pulau, baik untuk Pulau Kasu, Pulau Barrang Lompo, maupun Pulau Saonek. Pada Tabel 25 disajikan pilihan strategi adaptasi untuk masing-masing pulau.

153 135 Tabel 25. Strategi adaptasi pulau-pulau kecil No. Lingkup Perencanaan 1. Jangka Pendek (1-5 tahun) 2. Jangka menengah (6-10 tahun) 3. Jangka Panjang (11-20 tahun ) Strategi Adaptasi P. Kasu P. Barrang Lompo P. Saonek Penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan konservasi laut sebesar 30 % dari luas habitat pesisir Penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan konservasi laut sebesar 50 % dari luas habitat pesisir Pemindahan sebagian pemukiman penduduk ke lahan daratan pulau Melanjutkan program pemindahan pemukiman penduduk ke lahan daratan pulau Penetapan kawasan terumbu karang sebagai kawasan konservasi laut sebesar 30 % dari luas habitat Penetapan kawasan terumbu karang sebagai kawasan konservasi laut sebesar 50 % dari luas habitat pesisir Membangun pelindung pantai pada bagian pantai berpasir Pembuatan alat pemecah ombak pada sisi luar pulau dan pembangunan rumah panggung Menetapkan kawasan mangrove dan terumbu karang sebagai kawasan konservasi laut sebesar 30 % dari habitat pesisir Menetapkan kawasan mangrove dan terumbu karang sebagai kawasan konservasi laut sebesar 50 % dari habitat pesisir Membangun bangunan pelindung pantai pada pantai berpasir yang mengalami erosi Merelokasi pemukiman penduduk ke tempat yang lebih tinggi yang masih terdapat di pulau ini Strategi adaptasi yang dirancang untuk ketiga pulau adalah (1) pengembangan kawasan konservasi laut (terumbu karang, lamun dan mangrove), termasuk penyadaran masyarakat dan rehabilitasi ekosistem pesisir, (2) perlindungan bangunan pelindung pantai, dan (3) pemindahan lokasi pemukiman penduduk ke tempat yang lebih aman (memiliki daya adaptasi yang tinggi). Strategi adaptasi yang dikemukakan pada Tabel 25 di atas, adalah strategi adaptasi yang sudah umum dilakukan dibanyak tempat. Hal ini seperti yang dikemukakan Bijlsma (1996), bahwa terdapat 3 strategi yang umum dilakukan, yaitu

154 136 perlindungan, akomodasi, dan lokalisir (retreat). Perlindungan dengan teknikal (hard engineering) seperti contruksi groin, seawall, breakwaters, dan bulkheads telah dipraktekkan dalam jangka waktu yang cukup lama untuk mengatasi erosi dan banjir di negara-negara kepulauan. Sayangnya, pendekatan ini tidak selalu efisien dan efektif diimplementasikan karena pada beberapa kasus menimbulkan kerentanan di tempat lain (Mimura dan Nunn 1998; Solomon dan Forbes 1999). Pendekatan ini adalah pilihan terbaik apabila pembangunan pantai dilakukan secara baik dimana ketika infrastruktur vital berada pada kondisi resiko tinggi. Konservasi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptif telah lama dilakukan di negara-negara pasifik seperti Maldives. Selain peningkatkan kawasan konservasi, upaya yang dilakukan adalah mengurangi dampak kegiatan manusia terhadap terumbu karang. Pemindahan penduduk dan penataan kembali pemukiman penduduk merupakan salah satu strategi adaptasi yang efektif untuk meningkatkan resiliensi pemukiman penduduk di suatu pulau (Barnet 2001). Hal ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi dampak kenaikan muka laut yang mengancam pulau-pulau dataran rendah (low-lying). Ekosistem terumbu karang, mangrove dan pantai berbatu merupakan hal penting dalam meningkatkan kapasitas adaptif terhadap bencana alam karena berfungsi sebagai pelindung alami (Mimura 1999). Ekosistem ini cukup efektif sebagai pelindung terhadap keselamatan lahan daratan pulau-pulau kecil. Ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun memiliki keterkaitan dalam melindungi pulau-pulau kecil. Peran secara fisik ketiga ekosistem tersebut adalah sebagai pencegah erosi, perangkap sedimen dan penghalang gelombang dan arus (Moberg dan Folk 1999). Beberapa peran yang tidak tergantikan oleh pembangunan sea wall dalam peningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil sebagaimana yang dimiliki oleh ekosistem mangrove dan terumbu karang adalah sebagai pengatur nutrien, absorsi limbah (waste treatment), pengatur interaksi ekologi dan fungsi-fungsi biologi lainnya, memelihara keanakeragaman hayati. Dalam konteks kestabilan ekosistem dan lingkungan di pulau-pulau kecil, keanekaragaman hayati mempengaruhi kestabilan ekologi/lingkungan (Peterson et al. 1998). Semakin tinggi keanekaragaman hayati suatu lingkungan, semakin tinggi tinggi stabilitas ekologi di lingkungan tersebut (Gambar 38). Peran

155 137 ekosistem terkait dengan keanekaragaman juga dikemukakan oleh Palumbi et al. (2009). Menurutnya ada dua manfaat yang diperoleh dari keanekaragaman, yaitu menyangkut manfaat keanekaraga aman terhadap proses-proses ekosistem dan manfaat keanekaragaman terhadap jasa-jasa ekosistem (Gambar 39). Gambar 38. Peran ekosistem mangrove, lamun dan terumbuu karang meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil Gambar 39. Manfaat keanekaragaman hayati terhadap proses dan fungsi ekosistem

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim dan pemanasan global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (IPCC 2001).

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil

Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil 1. Perhitungan batas bawah Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan Sub-bab 1.7

5. PEMBAHASAN 5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan Sub-bab 1.7 5. PEMBAHASAN 5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan Seperti telah diuraikan dalam Sub-bab 1.7 (novelty), bahwa salah satu yang membedakan model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi

Lebih terperinci

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan,

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan, SUMBER DAYA AIR Perubahan iklim akibat pemanasan global bukan lagi dalam tataran wacana, namun secara nyata telah menjadi tantangan paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Pada dasarnya perubahan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, P. Barrang Lompo dan P. Saonek

3. METODOLOGI. Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, P. Barrang Lompo dan P. Saonek 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data lapang dilakukan selama dua bulan, yaitu dari Bulan Nopember - Desember 2009. Lokasi penelitian adalah 3 pulau sangat kecil yang secara geografis

Lebih terperinci

MODEL DINAMIK TINGKAT KERENTANAN PANTAI PULAU POTERAN DAN GILI LAWAK KABUPATEN SUMENEP MADURA

MODEL DINAMIK TINGKAT KERENTANAN PANTAI PULAU POTERAN DAN GILI LAWAK KABUPATEN SUMENEP MADURA http://journal.trunojoyo.ac.id/jurnalkelautan Jurnal Kelautan Volume 10, No. 1, 2017 ISSN: 1907-9931 (print), 2476-9991 (online) MODEL DINAMIK TINGKAT KERENTANAN PANTAI PULAU POTERAN DAN GILI LAWAK KABUPATEN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil : Kasus Pulau Barrang Lompo-Makasar

Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil : Kasus Pulau Barrang Lompo-Makasar ISSN 0853-7291 Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil : Kasus Pulau Barrang Lompo-Makasar Amiruddin Tahir*, Mennofatria Boer, Setyo Budi Susilo, dan Indra Jaya Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-Institut

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah 5 (lima) kecamatan pesisir Pantai Utara Jakarta, Propinsi DKI Jakarta yang terletak antara 08º22'00-08º50'00 Lintang

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Ernawati Sengaji C64103064 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM. Tjahjo Prionggo

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM. Tjahjo Prionggo OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM Tjahjo Prionggo SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 i PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG (Studi Kasus Pada Unit Bisnis Jasa Angkutan Divisi Regional Sulawesi Selatan) Oleh : Retnaning Adisiwi PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Indeks Kerentanan Saat Ini Sub Bab 1.7

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Indeks Kerentanan Saat Ini Sub Bab 1.7 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Model indeks kerentanan yang dikonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari model statis indeks kerentanan lingkungan dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar populasi dunia bermukim dan menjalani kehidupannya di kawasan pesisir (Bird, 2008), termasuk Indonesia. Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pada wilayah ini terdapat begitu banyak sumberdaya alam yang sudah seharusnya dilindungi

Lebih terperinci

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN OLEH : Arif Satria Fakultas Ekologi Manusia IPB Disampaikan padalokakarya MENGARUSUTAMAKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DALAM AGENDA PEMBANGUNAN, 23 OKTOBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundtland, 1987).

BAB I PENDAHULUAN. mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundtland, 1987). BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

RANCANGBANGUN PENGEL OLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS PEMANFAATAN RUANG (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi)

RANCANGBANGUN PENGEL OLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS PEMANFAATAN RUANG (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi) A-PDF Merger DEMO : Purchase from www.a-pdf.com to remove the watermark RANCANGBANGUN PENGEL OLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS PEMANFAATAN RUANG (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi) MUHAMMAD

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR )

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) TEGUH PAIRUNAN PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) MA SITASARI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN TUBAN

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN TUBAN ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN TUBAN Dosen Pembimbing: 1. Suntoyo, ST, M.Eng, Ph.D 2. Dr. Kriyo Sambodho, ST, M.Eng Oleh: Liyani NRP. 4308100040

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban

Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1 Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban Liyani, Kriyo Sambodho, dan Suntoyo Teknik Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya

Lebih terperinci

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 70 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening Danau Rawa Pening memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan

Lebih terperinci

MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR

MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR University of Hawaii at Manoa Institut Teknologi Bandung DAERAH PESISIR Perubahan Iklim dan Sistem Pesisir Menunjukkan Faktor Utama Perubahan Iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total panjang keseluruhan 95.181

Lebih terperinci

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya hingga Laporan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coatal Managemen-ICM)

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 ANALISA KERENTANAN LINGKUNGAN PESISIR, EKSOSISTEM PESISIR, DAN SUMBERDAYA PERIKANAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI KAWASAN DELTA API KABUPATEN LOMBOK UTARA Gendewa Tunas Rancak 1), Widi Agus Pratikto 2, Suntoyo

Lebih terperinci

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA Oleh : Venny Syahmer PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Hak cipta milik IPB, tahun 2009 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan meyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya unuk kepentingan

Lebih terperinci