BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Daun Benalu (Dendrophtoe pentandra L. Miq.) D. pentandra merupakan jenis benalu yang masuk dalam suku Loranthaceae. D. pentandra ditemukan di daerah hutan hujan atau di hutan yang terbuka, di perkebunan, di taman-taman kota, hingga di sekitar pemukiman penduduk. Penyebarannya terjadi melalui burung-burung pemakan bijinya. Kemampuan benalu ini tidak hanya menyerang jenis tumbuhan inang tertentu melainkan dapat memarasit berbagai jenis tumbuhan inang, baik berupa semak ataupun pohon, selama beberapa tahun. D. pentandra dapat hidup pada jenis-jenis tumbuhan yang beragam serta rentang sebaran ekologis yang cukup luas. Sebagai jenis tumbuhan parasit keberadaan benalu D. pentandra sering mengindikasikan terjadinya gangguan ataupun kerusakan tumbuh-tumbuhan inangnya, apalagi bila keberadaannya dalam jumlah yang banyak (Sunaryo, 2008). Menurut National Center for Biotechnology Information/NCBI (2014) klasifikasi D. pentandra L. Miq adalah sebagai berikut: Superkingdom : Eukaryota Kingdom : Viridiplantae Filum : Streptophyta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Ordo : Santales Famili : Loranthaceae Genus : Dendrophthoe Spesies : Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. Benalu D. pentandra dideskripsikan sebagai berikut: berupa tumbuhan perdu, bersifat hemiparasit, agak tegak, bercabang banyak, tinggi 0,5 1,5 m. Daun seperti terlihat pada Gambar 1 letaknya tersebar atau sedikit berhadapan, menjorong, panjang 6 13 cm dan lebar 1,5 8 commit cm, pangkal to user menirus membaji, ujung tumpul xx 4

2 5 runcing, panjang tangkai daun 5 20 mm. Perbungaan tandan dengan 6 12 bunga, panjang sumbu perbungaan mm. Bunga dengan 1 braktea di pangkal, biseksual, diklamid, kelopak mereduksi; mahkota bunga terdiri atas 5 cuping, di bagian bawah saling berpautan, agak menggembung, panjang mm, menyempit membentuk leher, bagian ujung mengganda, mula-mula hijau kemudian hijau kekuningan sampai kuning jingga atau merah jingga, panjang tabung 6 12 mm dan menggenta; benang sari 5, panjang kepala sari 2 5 mm dan tumpul serta melekat pada bagian pangkal (basifik); putik dengan kepala putik membintul. Buah berbentuk bulat telur, panjang mencapai 10 mm dengan lebar 6 mm, bila masak kuning jingga. Berbiji 1, biji ditutupi lapisan lengket (Sunaryo, 2008). Gambar 1. Ilustrasi D. pentandra (Linnaeus) Miquel; (1) cabang berbunga dan terdapat berdaun, (2) kuncup bunga, (3) bunga, (4) braktea, (5) buah (Sheng, 2004) Tumbuhan benalu yang selama ini sering dikenal sebagai parasit ternyata memiliki khasiat, yaitu ampuh menghambat laju pertumbuhan penyakit kanker, karena di dalamnya terkandung kuersetin yang merupakan glikosida flavonol yang aglikonnya adalah kuersetin. Kuersetin termasuk dalam turunan flavonoid yang merupakan senyawa golongan fenol senyawa ini merupakan metabolik sekunder yang memiliki efek pengobatan. Penelitian commit to sebelumnya user memberikan hasil bahwa xxi

3 6 dari hasil ekstrak D. pentandra menggunakan pelarut yang larut dalam air (etil asetat dan metanol) terdeteksi beberapa senyawa metabolit yang bersifat antikanker seperti flavonoid, tanin dan terpenoid. Kandungan kimia lain yang terdapat dalam benalu D. pentandra adalah asam amino, karbohidrat, alkaloid dan saponin (Fajriah dkk., 2007; Ikawati, 2008). a. Flavonoid - Kuersetin Kuersetin telah dipelajari secara luas dan ditemukan mampu untuk menghambat pertumbuhan tumor dan memiliki antioksidan. Selain itu, kuersetin telah dilaporkan dapat menghambat timbulnya papiloma dan tumor yang disebabkan oleh 7,12 - dimetilbenzantrasena (DMBA) pada hamster. Beberapa efek anti karsinogenesis dari kuersetin telah diketahui dengan penelitian secara in vivo, termasuk di dalamnya adalah penghambatan azoxymethane (AOM) yang diketahui dengan diinduksikannya neoplasia kolon padtikus betina model CF-1, tikus jantan albino Swiss yang diinduksi fibrosarkoma untuk mengetahui penghambatan 20-methyl cholanthrene (20-MC) yang merupakan agen karsinogenik (oral). Beberapa mekanisme yang mungkin untuk mengetahui aktivitas kuersetin dalam interaksi kemopreventif kanker secara in vivo telah dilakukan, seperti penghambatan peristiwa biokimia tertentu yang berkaitan dengan promosi tumor (misalnya perubahan dalam protein kinase C), penghambatan lipid peroksidase dan sitokrom P-450 (dibarengi dengan peningkatan kadar glutathione S-transferase), dan induksi apoptosis oleh kuersetin. Selain itu, kuersetin ditemukan mampu menurunkan regulasi transduksi sinyal pada sel kanker payudara manusia (Tringali, 2004). Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder dari golongan senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari 2 cincin karbon benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linear yang terdiri dari 3 atom karbon atau digambarkan sebagai deretan senyawa C 6 -C 3 -C 6. Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar dan merupakan senyawa organik (Ariani dkk., 2008). Struktur kuersetin dapat dilihat pada Gambar 2. commit to user xxii

4 7 Gambar 2. Struktur Kuersetin (Ariani dkk., 2008) Kuersetin merupakan senyawa yang bersifat mutagen, namun dalam ekstrak etanol kuersetin tidak menunjukkan efek mutagenik pada sel mamalia. Tes yang digunakan untuk mengetahui hal tersebut di antaranya adalah uji Hipoksantin Guanidin Phosphoribosyl Transferase (HGPRT), unschedule DNA Synthesis (sintesis DNA yang tak terjadwal), uji transformasi sel menggunakan sel embrio hamster Suriah, uji bintik rambut tikus, dan uji kelainan kromosom menggunakan sel sumsum tulang hamster Cina (Tracy dan Kingston, 2007). Purba (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa kuersetin terbukti mampu menghambat sel kanker melalui hambatan protein kinase C (PKC), menekan aktivasi epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase dengan cara menghambat proses fosforilasi, menginduksi dan mengikat reseptor estrogen yang mengakibatkan pertumbuhan sel terhambat. Selain itu kuersetin dapat meningkatkan ekspresi gen p53 dan p21 yang merupakan gen pengaktif terjadinya apoptosis serta menekan cyclin D1, D2, A, E. Kuersetin juga menginduksi apoptosis sel kanker melalui penghambatan sintesis heat shock protein (HSP), peningkatan ekspresi Fas/Fas ligand (FasL), annexin V laneling, dan aktivitas caspase-3. Manggau dkk (2007) juga menjelaskan bahwa kuersetin mampu menghambat siklooksigenase berkaitan dengan aktivitas antiradikal bebasnya. b. Alkaloid Potensi senyawa alkaloid sebagai antikanker diduga melalui tahapan awal commit to user menghambat enzim DNA Topoismerase II, dengan dihambatnya aktivitas enzim xxiii

5 8 DNA topoisomerase, maka proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker semakin lama, sehingga akan terbentuk Protein Linked DNA Breaks (PLDB), akibatnya terjadi fragmentasi atau kerusakan DNA sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses replikasi sel kanker. Selanjutnya gen p53 sebagai gen supresor tumor akan terakumulasi, menghentikan replikasi DNA pada check point dan memberi kesempatan kepada DNA untuk memperbaiki diri. Bila proses perbaikan gagal, p53 akan merangsang mitokondria mengeluarkan sitokrom c ke sitosol, dan dalam hal ini akan dihalangi oleh anti-apoptosis member yaitu gen Bcl-2. Sitosol sitokrom c bersama dengan Apoptosis Protease Activating Factor-1 (Apaf-1) dan procaspase 9 membentuk caspase 9, komplek ini disebut apoptosome. Terbentuk caspase 9 sebagai caspase awal akan mengaktifkan caspase eksekusioner, yaitu caspase 3, 6 dan 7 sehingga dapat menyebabkan kematian sel secara apoptosis (Sukardiman dkk., 2006). c. Tanin Tanin memiliki sifat antioksidan yang lebih tinggi daripada vitamin E dan C, serta lebih stabil. Sifat tanin yang demikian membuat tanin menjadi senyawa yang mampu mencegah penyakit degeneratif, salah satunya adalah kanker (Suarni & Subagio, 2013). Potensi tanin sebagai antikanker adalah berperan sebagai antiproliferatif sel kanker yang bekerja pada tingkat sel dengan memblokade fase S dari siklus sel. Tanin dapat menginduksi apoptosis dan menghambat proses angiogenesis (Mustafida dkk., 2014). d. Terpenoid Potensi senyawa terpenoid dalam fungsinya sebagai antikanker adalah dapat memblok siklus sel pada fase G2/M dengan menstabilkan benang-benang spindle pada fase mitosis sehingga menyebabkan proses mitosis terhambat. Pada tahap selanjutnya, akan terjadi penghambatan proliferasi sel dan pemacuan apoptosis. Senyawa terpenoid juga mampu menghambat enzim topoisomerase pada sel mamalia. Enzim topoisomerase adalah enzim di dalam inti sel yang mampu memodifikasi topologi DNA dan berperan pada replikasi, transkripsi, dan rekombinasi yang sangat penting dalam pembentukan striktur kromosom, kondensasi/dekondensasi serta segregasi commit to kromosom. user Enzim ini ditemukan dalam xxiv

6 9 jumlah yang berlebihan pada sel kanker dibandingkan sel sehat/normal. Ada dua kelas enzim topoisomerase pada sel mamalia, tipe I yang memotong dan memecah untai tunggal dari DNA dan tipe II yang memotong dan memecah DNA untai ganda. Inhibitor enzim topoisomerase akan menstabilkan kompleks topoisomerase dan DNA terpotong, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan DNA. Adanya kerusakan DNA dapat menyebabkan terekspresinya protein proapoptosis sehingga dapat memacu terjadinya apoptosis (Setiawati dkk., 2007; Windarti, 2013). e. Saponin Senyawa saponin telah diketahui dapat menghambat pembentukan Bcl-2 yang diekspresikan terlalu tinggi, menginduksi protein caspase-3 (protein eksekutor terjadinya apoptosis) yang diekspresikan terlalu rendah, meningkatkan ekspresi p53, dan dapat pula memicu G1 cell cycle arrest (Fitria dkk., 2011). 2. Karsinoma Nasofaring Karsinoma atau kanker merupakan penyakit yang melibatkan faktor genetik dalam proses patogenesisnya, proses pembelahan sel menjadi tidak terkontrol karena gen yang mengatur pertumbuhan sel telah dirusak. Peningkatan ketahanan hidup sel sebagai akibat perubahan genetik yang mencegah terjadinya apoptosis misalnya aktivasi Bcl-2 atau inaktivasi p53 menyebabkan tumor bertambah besar (Marleen dkk., 2008). Kanker nasofaring adalah kanker yang dimulai di bagian nasofaring, bagian atas tenggorokan di belakang hidung dan dekat pangkal tengkorak. Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di belakang hidung. Bagian ini tampak sebagai ruang yang berbentuk seperti kotak dengan ukuran sekitar 1 ½ inci di setiap sisinya. Nasofaring seperti terlihat pada Gambar 3 terletak tepat di atas bagian lunak atap mulut (soft palate) dan tepat di belakang dari bagian hidung (American Cancer Society, 2013). commit to user xxv

7 10 Gambar 3. Nasofaring (American Cancer Society, 2013) Stadium Kanker Nasofaring menurut American Cancer Society (2013) a. Stadium 0: Kanker dalam keadaan in situ. Sel-sel kanker hanya pada lapisan permukaan nasofaring tetapi belum tumbuh menjadi lapisan yang lebih dalam. Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya atau tempat yang jauh. b. Stadium I: Tumor di nasofaring dan mungkin telah menyebar ke jaringan lunak rongga hidung dan atau orofaring tetapi belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh. c. Stadium II: Tumor telah tumbuh ke dalam jaringan dari sisi kiri atau kanan dari bagian atas tenggorokan tetapi belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh. Tumor mungkin masih terbatas pada nasofaring, atau mungkin telah menyebar ke jaringan lunak rongga hidung atau orofaring, atau sisi kiri atau kanan dari bagian atas tenggorokan. Kanker telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening di dekatnya (kelenjar getah bening leher atau di sisi lain kelenjar getah bening di belakang tenggorokan (kelenjar getah bening retropharyngeal), dengan ukuran tidak lebih besar dari 6 cm (sekitar 2 ½ inci). Kanker belum menyebar ke tempat commit yang to jauh. user xxvi

8 11 d. Stadium III: Tumor telah menyebar ke sinus atau tulang dekat nasofaring dan kemungkinan telah menyebar ke kelenjar getah bening di leher atau di belakang tenggorokan, namun ukuran kelenjar getah bening tidak lebih besar dari 6 cm. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh, atau tumor mungkin masih terbatas pada nasofaring, atau mungkin telah tumbuh menjadi jaringan lunak rongga hidung atau orofaring, di sisi kiri atau kanan dari bagian atas tenggorokan. Tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening di leher terdekat di kedua sisi, ukuran kelenjar getah bening tidak lebih besar dari 6 cm. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh. e. Stadium IVA: Tumor telah tumbuh dan menyebar ke dalam tengkorak dan atau saraf kranial, hipofaring (bagian bawah tenggorokan), mata, atau pada jaringan di sekitarnya. Diperkirakan kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekat leher, ukuran kelenjar getah bening tidak lebih besar dari 6 cm. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh. f. Stadium IVB: Tumor mungkin diperkirakan telah meluas ke jaringan lunak di dekatnya atau ke tulang. Tumor juga telah menyebar ke kelenjar getah bening yang ukurannya lebih besar dari 6 cm dan atau berlokasi di daerah bahu di atas tulang selangka. Kanker belum menyebar ke tempat yang jauh (American Cancer Society, 2013). Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada laki laki dan urutan ke 8 pada perempuan. Karsinoma nasofaring paling sering di fossa Rosenmuller yang merupakan daerah transisional epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Gejala dan tanda karsinoma nasofaring yang sering berupa benjolan di leher (78%), obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%) dan diplopia. Gejala lain termasuk adenopati leher, epistaksis, otitis media efusi, gangguan pendengaran unilateral atau bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus kranial, retrosphenoidal syndrome of Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata commit dan to rahang), user retroparotidian syndrome of xxvii

9 12 Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah dan leher), nyeri telinga yang menjalar (Ariwibowo, 2013). Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas terbanyak di daerah kepala dan leher. Kebanyakan penderita KNF datang berobat di klinik sudah stadium lanjut. Metode pengobatan kanker yang banyak digunakan saat ini adalah metode kemoterapi, radiasi, dan operasi. Metode-metode tersebut bertujuan untuk mengangkat jaringan kanker atau mematikan sel kanker, akan tetapi metodemetode tersebut belum maksimal, bahkan memberikan efek samping pada sel normal yang berada di sekitar kanker atau organ lain. Operasi akan berhasil pada beberapa tumor yang telah berkembang, tetapi sulit mengobati pada stadium awal metastasis. Pengobatan dengan radiasi mampu membunuh tumor lokal namun radiasi juga dapat menimbulkan resistensi kanker, sehingga senyawa kanker tersebut tidak sensitif. Terapi KNF dengan radioterapi konvensional seperti ini seringkali hasilnya kurang memuaskan. Kegagalan radioterapi konvensional (2 dimensional radiation therapy / 2 DRT) dalam memberantas (eradikasi) sel kanker di nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar leher (loco-regional failure) cukup tinggi, mencapai angka 40%-80%. Selain itu, pasca radioterapi seringkali dijumpai metastasis jauh (15%-57%) (Kentjono, 2003; Multiawati, 2013). Salah satu faktor resiko mayor terjadinya karsinoma nasofaring adalah virus Epstein Barr (Ariwibowo, 2013). Hampir semua sel kanker nasofaring mengandung bagian dari virus Epstein-Barr (EBV), dan kebanyakan orang dengan kanker nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini dalam darah mereka. Infeksi EBV sangat umum di seluruh dunia, sering terjadi pada masa kanak-kanak (American Cancer Society, 2013). 3. Epstein-Barr virus Epstein-Barr Virus (EBV) termasuk dalam genus Lymphocryptovirus, subfamili Gamma-herpesvirinae, dan dari famili Herpesviridae. EBV merupakan virus komplek yang diselubungi envelope dan berkembang biak di dalam inti sel inang. EBV mampu menginfeksi limfosit-b yang dalam kondisi istirahat dan sel epitel, kemudian bermultiplikasi dan menetap sebagai infeksi laten dalam limfosit- B. Orang yang terinfeksi dapat menghasilkan commit to user virion, membawa CTLs (Cytotoxic T xxviii

10 13 Lymphocytes) virus yang spesifik, menghasilkan antibodi spesifik EBV, dan kemudian berlabuh secara laten di limfosit-b yang terinfeksi (WHO, 2013). Seperti virus herpes lainnya, EBV adalah virus DNA dengan protein inti berbentuk toroid yang dibungkus dengan DNA, sebuah nukleokapsid dengan 162 capsomers, disusun oleh protein tegument antara nukleokapsid dan amplop, dan amplop luar dengan eksternal virus yang dikodekan glikoprotein yang berbentuk runcing seperti ditunjukkan pada Gambar 4 (IARC, 1997). Gambar 4. Virus Epstein-Barr (Cullen, 2010) EBV dapat menginfeksi sel limfosit-β dan menyebabkan keganasan pada sel tersebut. Sel yang terinfeksi EBV akan mengekpresikan protein yang menjadikan sel resisten terhadap apoptosis. Salah satu model sel limfosit-β yang terinfeksi oleh Eipstein-Barr Virus (EBV) yang biasanya digunakan untuk penelitian adalah sel Raji (Diastuti dkk., 2009). 4. Infeksi Epstein-Barr virus (EBV) pada Karsinoma Nasofaring Infeksi EBV yang laten dan persisten pada KNF menunjukkan pola laten yang salah satunya ditandai dengan ekspresi latent membrane protein-1 (LMP-1). LMP-1 merupakan onkogen virus yang mirip reseptor permukaan sel yang dapat mencegah sel yang terinfeksi EBV dari apoptosis dengan menginduksi protein antiapoptotik seperti BCL-2. LMP-1 juga terlibat dalam jalur pensinyalan yang mengatur proliferasi sel dan apoptosis yaitu memicu progresifitas dan proliferasi sel melalui siklus sel (fase G1/S) dan inhibisi apoptosis. EBV dapat mengikat protein p53 normal dan menghilangkan fungsi protektifnya. Gen p53 merupakan salah satu dari gen supresor tumor. Gen ini mendeteksi commit to kerusakan user DNA, membantu perbaikan xxix

11 14 DNA melalui penghentian fase G1 dari siklus sel dan memicu gen yang memperbaiki DNA. Apabila terjadi kehilangan p53 secara homozigot, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi pada sel yang membelah sehingga sel akan mengalami transformasi keganasan (Yenita, 2012). EBV menginfeksi sel-sel B di sirkulasi yang melalui orofaring, menghasilkan infeksi laten. EBV akan memicu limfosit B untuk berproliferasi, yang mana hal ini akan diekspresikan oleh spesific growth-promoting genes, yang mempunyai kemampuan untuk menjadi tumor. Ada beberapa jalur sinyal yang diindikasikan sebagai fungsi dari LMP 1 yaitu Nuclear Factor - NF-ĸB, JNK (c-jun N Terminal Kinase)/AP-1 (Activator Protein-1), MAPK (Mitogen-activated Protein Kinase) dan Phosphoinositide 3-kinase (PI3K)-Akt: a. LMP1 mengaktivasi NF-КB melalui TRAF1, TRAF2 dan TRAF3, yang juga menginduksi PI3K yang akan mengaktivasi Akt (protein kinase B). NF-КB aktif menginduksi immortalisasi sel dengan menghambat apoptosis sel melaui peningkatan regulasi aktivitas survivin, survivin merupakan anggota prtotein penghambat apoptosis yang menurunkan regulasi dari gen P21, hal ini menyebabkan kerja cyclin-dependent kinase 4 (CDK4) dalam mempromosikan progresi siklus sel melalui transisi G1/S. b. JNK (c-jun N Terminal Kinase) juga dikenal sebagai protein kinase yang aktif karena stress yang terlibat dalam kelangsungan hidup sel dan kematian sel. Biasanya, akibat dari aktivasi berkepanjangan dari JNK dapat menyebabkan apoptosis sel sedangkan aktivasi sementara menyebabkan kelangsungan hidup dan proliferasi seluler (aktivasi dari cycle 2/cyclin B (CDC2/cyclin B)) dengan cara menginhibisi gen penekan tumor p53. c. Mitogen-activated protein kinase (MAPK) merupakan jalur sinyal yang memainkan peran kunci dalam regulasi ekspresi gen, pertumbuhan sel, dan survival sel. Keadaan abnormal pada sinyal MAPK dapat menyebabkan peningkatan atau tidak terkendalinya proliferasi sel dan ketahanan sel terhadap apoptosis. Anggota MAPK diantaranya adalah molekul sinyal Ras, Raf, MEK, dan ERK. Pada sel normal, faktor pertumbuhan ekstraseluler mengikat dan mengaktifkan reseptor tirosin kinase, hal ini menyebabkan penurunan sinyal pada ke bagian selanjutnya. Aktivasi commit to dari user ERK yang terus menerus dapat xxx

12 15 menginkativasi gen p27 yang merupakan protein pengatur regulasi siklus sel, inaktivasi dari gen p27 mengaktifkan kompleks CDK2/cyclin E yang menyebabkan sel memasuki fase S. d. Phosphoinositide 3-kinase (PI3K) adalah kelompok enzim yang terlibat dalam fungsi sel yang beragam termasuk pertumbuhan sel, proliferasi, diferensiasi, motilitas, survival, dan pengedaran intraseluler. Aktivasi dari PI3K memicu terjadinya fosforilasi dan aktivasi serin / treonin kinase protein B (Akt), hal ini menyebabkan terjadinya degradasi dari cycli-dependent inhibitor p27 (Astuty, 2010; Tulalamba, 2012). 5. Cell Line Raji Sel raji merupakan derivat cell line Burkitt s lymphoma pada penderita kanker getah bening yang banyak ditemukan pada penderita kanker sebagai penyebab kematian. Sel ini melayang-layang pada medium sehingga tidak membutuhkan tripsin pada saat pengkulturan. Medium RPMI 1640 digunakan sebagai medium kultur yang banyak mengandung nutrisi yang baik untuk pertumbuhan sel. Sel Raji dipilih pada penelitian karena sel raji merupakan salah satu cell line yang aman digunakan pada uji sitotoksisitas, mudah dalam pengkulturan dan perlakuan (Wahyudi dan Djajanegara, 2008). Salimi dan Zakaria (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa sel Raji berasal dari kultur sel lymphoblastoid yang diturunkan dari lymphoma Burkitt. Burkitt merupakan sejenis kanker yang terdapat pada sistem limpa khususnya pada limfosit B. Sel ini termasuk sel limfoblast yang secara morfologi berbentuk bulat dan tumbuh dalam suspensi tanpa melekat di permukaan. Sel Raji merupakan sel limfosit-β yang terinfeksi oleh EBV. Sel yang terinfeksi EBV akan mengekpresikan protein yang menjadikan sel resisten terhadap apoptosis (Komano et al., 1998 dalam Diastuti et al., 2009). 6. Siklus Sel Siklus sel pada sel eukariotik merupakan suatu tahapan kompleks meliputi penggandaan materi genetik, pengaturan waktu pembelahan sel, dan interaksi antara protein dan enzim. Siklus sel commit pada to sel user eukaryotik dapat dibagi menjadi 4 xxxi

13 16 tahap, yaitu: G1 (Gap 1), S (Sintesis), G2 (Gap 2), dan M (Mitosis). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 dimana tahap G1 merupakan selang antara tahapan M dengan S. Pada tahap ini sel terus tumbuh dan melakukan persiapan untuk sintesis DNA. Sel akan melakukan sintesis DNA dan terjadi proses replikasi kromosom pada saat berada di tahap S. Tahap G2, sel yang telah mereplikasi kromosom akan menduplikasi keseluruhan komponen seluler lainnya. Selain itu terjadi pula sintesis mrna dan beberapa protein tertentu. Secara umum tahap G0, G1, S, dan G2 disebut juga sebagai tahap interfase. Tahap M terjadi mitosis/pembelahan sel, pergerakan kromosom bisa diikuti dari tengah ke tepi, akan menjadi sitokinesis (1 sel menjadi 2 sel), tahap ini terdiri dari empat sub tahapan, yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Kondisi tertentu, sel-sel yang tidak membelah, karena tidak berdiferensiasi, meninggalkan tahap G1 dan pindah ke dalam tahap G0. Sel-sel yang berada dalam tahap G0 sering disebut sedang beristirahat/ diam (quiescent) (Murti dkk., 2007; Albert et al., 2008). Gambar 5. Siklus Sel (Reece et al., 2010). G0 (quiscent) merupakan fase dimana sel berada pada fase G1 terlalu lama, pada fase ini, sel tetap menjalankan fungsi metabolisnya dengan aktif, tetapi tidak lagi melakukan proliferasi secara aktif. Sebuah sel yang berada pada fase G0 dapat memasuki siklus sel kembali, atau tetap pada fase tersebut hingga terjadi apoptosis (Sarmoko dan Larasati, 2012). commit to user xxxii

14 17 7. Proliferasi Proliferasi sel adalah pembelahan sel (cell division) dan pertumbuhan sel (cell growth), yang mendasari mekanisme dan pengaturan proliferasi sel adalah siklus sel. Proliferasi sel distimulasi oleh faktor pertumbuhan intrinsik, jejas, kematian dan kerusakan sel, mediator biokimiawi dari lingkungan. Kelebihan stimulus atau kekurangan inhibitor akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tak terkontrol atau terjadinya kanker. Penginduksian pertumbuhan sel dihubungkan dengan pemendekan siklus sel pada fase G0 sampai sel memasuki siklus sel, pada fase G0 sampai memasuki siklus sel terdapat penghambatan fisiologis untuk terjadinya proliferasi sel. Pertumbuhan sel dapat dicapai dengan memperpendek atau memperpanjang siklus sel (Hartono, 2009). Proliferasi sel merupakan siklus pembelahan sel, dimana sel tersebut tumbuh, mereplikasi DNA-nya, dan kemudian membagi menjadi dua sel anak. Pada jaringan dewasa, ukuran proliferasi sel ditentukan oleh kecepatan proliferasi, diferensiasi, dan kematian oleh apoptosis. Mekanisme pertumbuhan yang paling penting adalah perubahan sel-sel yang dalam keadaan istirahat atau quiescent cells ke sel yang berproliferasi dengan membuat sel tersebut memasuki siklus sel (Laksmini, 2013). Salah satu parameter utama dalam mengukur sifat proliferatif sel adalah cell cycle progression. Proses ini diatur oleh regulator positif (onkogen) dan regulator negatif (Tumor supressor gene) (Budiyastomo, 2010). Proliferasi siklus sel pada kondisi normal melalui tahapan sebagai berikut: a. Faktor pertumbuhan terikat pada reseptor spesifik membran sel b. Aktivasi reseptor faktor pertumbuhan yang bersifat sementara dan terbatas, kemudian akan mengaktivasi beberapa protein transduksi sinyal pada bagian membran plasma c. Transmisi sinyal transduksi melintasi sitosol menuju inti second messenger d. Induksi dan aktivasi faktor pengendali pada inti yang menhinisiasi transkripsi DNA e. Sel kemudian memasuki siklus sel, menghasilkan pembelahan sel (Contrans 1999 dalam Budiyastomo, 2010) commit to user xxxiii

15 18 8. Apoptosis Apoptosis merupakan proses kematian sel secara terprogram (programmed cell death). Senyawa antitumor yang baik adalah senyawa yang dapat menginduksi terjadinya apoptosis. Gen yang sangat berperan dalam peristiwa apoptosis adalah gen p53. Gen p53 juga berperan sebagai supresor tumor. Gen p53 merupakan salah satu gen penekan terjadinya tumor. Gen p53 merupakan penjaga gawang stabilitas genomik yang berperan dalam siklus regulasi DNA, apoptosis dan kontrol proliferasi sel (Nursid dkk., 2006). Sitoplasma sel tidak keluar pada peristiwa apoptosis sehingga berbagai respon radang tidak terjadi. Apoptosis merupakan proses aktif yang memerlukan energi karena prosesnya terjadi oleh sel sendiri hingga mengakibatkan kematian sel. Sel yang apoptosis akan mengalami perubahan morfologi seperti: sel mengecil, terjadi kondensasi kromatin dan fragmentasi inti. Apoptosis memiliki peran dalam proses fisiologis autodestruksi seluler yang penting bagi perkembangan, pemeliharaan homeostasis dan pertahanan hospes organisme multiseluler. Apoptosis merupakan bagian dari perkembangan fisiologis tubuh normal selama masa perkembangan serta sebagai mekanisme homeostasis jaringan dan mekanisme pertahanan tubuh (Hadi, 2011). Proses apoptosis ini diatur melalui 2 jalur yaitu jalur ekstrinsik (sitoplasma) melalui aktifitas Fas death receptor dengan mengaktivasi interaksi Fas-Fas ligand (FasL) dan jalur intrinsik (mitokondria) yang memacu pelepasan sitokrom C yang tergantung pada pengaturan protein Bcl-2 (B cell lymphoma) sebagai protein antiapoptosis dan Bax sebagai protein pro-apoptosis. Protein penekan tumor p53 terlibat pada proses pemacuan apoptosis dengan menginduksi ekspresi dari protein proapoptosis (Cahyanti, 2008; Meiyanto, 2006). Menurut Hermawan (2012) selama proses apoptosis terjadi perubahan morfologi sel yang dapat dibagi dalam tiga fase yang ditunjukkan pada Gambar 5, yaitu: a. Fase inisiasi atau induksi heterogen yang bergantung pada stimulus, sel menerima stimulus yang menginduksi kematian, kehilangan faktor-faktor yang menunjang ketahanan hidup, kekurangan suplai untuk metabolisme dan terjadi pengikatan reseptor yang meneruskan commit sinyal to user kematian. xxxiv

16 19 b. Fase efektor, pada fase ini reaksi metabolik dengan pola yang lebih teratur, dan sel mengambil keputusan atau komitmen untuk bunuh diri. c. Fase degradasi atau eksekusi saat sel-sel yang bersangkutan memperlihatkan gambaran biokimia dan morfologi apoptosis. Terjadi peningkatan berbagai aktivitas, termasuk peningkatan aktivasi enzim-enzim katabolik dan produksi reactive oxygen species (ROS). Pada fase ini perubahan morfologi dan biokimia sel, di antaranya fragmentasi DNA, degradasi berbagai jenis protein dan lain-lain menjadi lebih jelas. Semua sel mengalami apoptosis menurut pola tertentu dan menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengekspresikan semua komponen protein yang diperlukan untuk mengeksekusi kematian sel. Gambar 6. Perubahan morfologi sel pada Apoptosis; 1.fase inisiasi, 2.fase efektor, 3. fase degradasi (Hermawan, 2012). 8. Uji Sitotoksik Evaluasi preklinik merupakan salah satu hal yang penting untuk mengetahui potensi aktivitas neoplastiknya dalam pengembangan obat antikanker baru sebagai agen-agen kemoterapi kanker. Evaluasi ini tidak hanya digunakan untuk obat-obat commit to user xxxv

17 20 antikanker, tetapi juga untuk obat-obat lainnya, kosmetik, zat tambahan makanan, pestisida dan lainnya. Evaluasi yang telah terstandarisasi untuk menentukan apakah suatu material mengandung bahan yang berbahaya (toksik) secara biologis disebut uji sitotoksisitas. Syarat yang harus dipenuhi untuk sistem uji sitotoksisitas di antaranya adalah sistem pengujian harus dapat menghasilkan kurva dosis-respon yang reprodusibel dengan variabilitas yang rendah, kriteria respon harus menunjukan hubungan linier dengan jumlah sel serta informasi yang didapat dari kurva dosis-respon harus sejalan dengan efek yang muncul pada in vivo. Salah satu metode yang umum digunakan untuk menetapkan jumlah sel adalah metode MTT (CCRC, 2012). Uji MTT (Methylthiazol Tetrazolium) adalah uji sensitif, kuantitatif dan terpercaya. Reaksi MTT merupakan reaksi reduksi seluler yang didasarkan pada pemecahan garam tetrazolium MTT berwarna kuning menjadi kristal formazan berwarna biru keunguan. Metode perubahan warna tersebut digunakan untuk mendeteksi adanya proliferasi sel. Sel yang mengalami proliferasi, mitokondria akan menyerap MTT sehingga sel-sel tersebut akan berwarna ungu akibat terbentuknya kristal tetrazolium (formazan) (ATCC, 2011). Penambahan reagen stopper (bersifat detergenik) akan melarutkan kristal berwarna formazan yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader. Intensitas warna ungu yang terbentuk proporsional dengan jumlah sel hidup. Sehingga jika intensitas warna ungu semakin besar, maka berarti jumlah sel hidup semakin banyak (CCRC, 2012). MTT merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menetapkan jumlah sel. Prinsip dari metode MTT adalah terjadinya reduksi garam kuning tetrazolium MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromid) oleh sistem reduktase. Suksinat tetrazolium yang termasuk dalam rantai respirasi dalam mitokondria sel-sel yang hidup membentuk kristal formazan berwarna ungu dan tidak larut air (CCRC, 2012). Enzim suksinat dehidrogenase pada mitokondria sel hidup mampu memecah MTT menjadi kristal formazan. Reaksi tersebut melibatkan piridin nukleotida kofaktor NADH dan NADPH yang hanya dikatalisis oleh sel hidup, sehingga jumlah formazan yang terbentuk sebanding dengan jumlah sel yang hidup. Semakin banyak sel yang commit hidup, to semakin user banyak kristal formazan yang xxxvi

18 21 terbentuk (Biranti dkk., 2009). Penambahan reagen stopper/ SDS 10% (bersifat detergenik) pada proses akhir uji sitotoksik akan melarutkan kristal berwarna ini yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader (CCRC, 2012). Ningsih (2011) menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mengetahui LC 50 suatu ekstrak uji terhadap sel uji dapat digunakan uji sitotosik metode MTT. Gambar 7. Reaksi reduksi MTT menjadi formazan oleh enzim reduktase (Biranti dkk., 2009) LC 50 (Lethal Concentration) adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan setengah populasi (50%) yang ada. Nilai LC 50 tidak konstan, artinya nilainya berbeda antar spesies yang satu dengan spesies yang lain karena adanya variasi antar spesies. Nilai LC 50 merupakan bentuk statistika yang didesain untuk menggambarkan respon yang mematikan komponen dalam beberapa populasi dari suatu percobaan. Faktor yang berpengaruh di dalamnya antara lain: umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur (Finney, 1971 dalam Setiarto, 2009). Tingkat toksisitas dari ekstrak tumbuhan dapat ditentukan dengan melihat harga LC 50 -nya. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC 50 di bawah 30 μg/ml, dianggap toksik bila memiliki nilai LC μg/ml, dan dianggap tidak toksik bila nilai LC 50 di atas 1000 μg/ml. Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga LC 50 semakin toksik suatu senyawa dan semakin berpotensi sebagai senyawa antitumor. Sedangkan dilihat dari kemurniannya, suatu senyawa murni dianggap memiliki aktivitas biologis terhadap sel kanker/toksik apabila nilai LC 50 <200 μg/ml dan ekstrak dianggap memiliki aktivitas biologis apabila nilai LC 50 <1000 μg/ml (Meyer et al,. 1982; Anderson, 1991 dalam Aprelia & Suyatno, 2013). commit to user xxxvii

19 22 Uji sitotoksik selain digunakan untuk menentukan parameter nilai LC 50 juga dapat digunakan untuk menentukan nilai IC jam. Nilai IC menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi sel sebesar 50% dan nilai ini merupakan patokan untuk melakukan uji pengamatan kinetika proliferasi sel (Ernawati, 2010). Pelarut ekstrak yang digunakan pada uji sitotoksik adalah dimetil sulfoksida (DMSO). DMSO dipilih sebagai pelarut karena telah dilaporkan bahwa penggunaan DMSO tidak berpengaruh pada proliferasi sel. Penggunaan DMSO dilaporkan relatif tidak berpengaruh terhadap proliferasi sel (Maryati, 2007). 9. Skrining Fitokimia dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Skrining fitokimia merupakan uji kualitatif kandungan senyawa kimia dalam bagian tumbuhan, terutama kandungan metabolit sekunder yang di antaranya adalah alkaloid, antrakuinon, flavonoid, glikosida jantung, kumarin, saponin (steroid dan triterpenoid), tanin (polifenolat), minyak atsiri (terpenoid), dan sebagainya. Tujuan pendekatan skrining fitokimia adalah mengetahui kandungan bioaktif atau kandungan yang berguna untuk pengobatan dalam tumbuhan. Metode yang digunakan untuk melakukan skrining fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain sederhana, cepat, dapat dilakukan dengan peralatan minimal, bersifat semikuantitatif yaitu memiliki batas kepekaan untuk senyawa yang bersangkutan, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari, dan dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya senyawa tertentu dalam dari golongan senyawa yang dipelajari (Septyaningsih, 2010). Prosedur uji dengan KLT dilakukan untuk lebih menegaskan hasil yang didapat dari skrining fitokimia. Karena berfungsi sebagai penegasan, maka uji KLT hanya dilakukan untuk golongan-golongan senyawa yang menunjukkan hasil positif pada skrining fitokimia seperti flavonoid. Uji KLT pada tanin dan polifenol tidak dilakukan karena tidak ditemukan prosedur yang tepat (Harborne, 1996 dalam Marliana et al., 2005). Identifikasi senyawa hasil ekstraksi dilakukan dengan menginjeksikan larutan standar (dalam penelitian ini adalah kuersetin), larutan yang mengandung hasil ekstraksi pada plat kromatografi commit to lapis user tipis (KLT) dengan elusidasi xxxviii

20 23 menggunakan fase gerak campuran n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan perbandingan (4:1:5), sehingga didapat nilai Rf (Retardation factor), bercak dan wama yang sama dari dari masing-masing larutan kemudian dibandingkan dengan nilai Rf bercak serta warna dari standar kuersetin. Hasil deteksi dengan menggunakan lampu UV pada panjang gelombang 366 nm (Koirewoa dkk., 2012). Data yang diperoleh dari hasil KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal, oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0 (Alegantina dan Isnawati, 2010). B. Kerangka Pemikiran Sel Raji merupakan continous cell line yang diturunkan dari sel ß-Limfoma (kanker nasopharing) pada manusia (Lonza, 2011). Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas terbanyak di daerah kepala dan leher. Terapi KNF dengan radioterapi konvensional seperti ini seringkali hasilnya kurang memuaskan. Kegagalan radioterapi konvensional cukup tinggi (40%-80%), paska radioterapi seringkali dijumpai metastasis jauh (15%-57%) (Kentjono, 2003). Selain itu walaupun pengobatan dengan radiasi mampu membunuh tumor lokal namun radiasi juga dapat membunuh sel normal di sekitarnya (Lockshin et al., 2007 dalam Multiawati, 2013), dengan alasan tersebut maka diperlukan penelitian bahan alam yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan kanker nasofaring secara aman. Sel Raji merupakan sel limfosit-β yang terinfeksi oleh Eipstein-Barr Virus (EBV). Sel yang terinfeksi EBV akan mengekpresikan protein yang menjadikan sel resisten terhadap apoptosis (Komano et al., 1998 dalam Diastuti et al., 2009). Infeksi EBV yang laten ditandai dengan ekspresi latent membrane protein-1 (LMP-1). LMP-1 merupakan onkogen virus yang mirip reseptor permukaan sel yang terlibat dalam jalur pensinyalan yang mengatur proliferasi sel dan apoptosis yaitu memicu progresifitas dan proliferasi sel melalui siklus sel (fase G1/S) dan inhibisi apoptosis. Virus Epstein-Barr dapat mengikat protein p53 normal dan menghilangkan fungsi protektifnya. Gen p53 merupakan salah satu dari gen supresor tumor (Yenita, 2012). Virus Epstein Barr menginfeksi sel-sel B di sirkulasi yang melalui orofaring, menghasilkan infeksi laten. Virus Epstein commit to Barr user akan memicu limfosit B untuk xxxix

21 24 berproliferasi, yang mana hal ini akan diekspresikan oleh spesific growth-promoting genes, yang mempunyai kemampuan untuk menjadi tumor. Beberapa jalur sinyal yang diindikasikan sebagai fungsi dari LMP 1 yaitu Nuclear Factor - NF-ĸB, JNK (c-jun N Terminal Kinase)/AP-1 (Activator Protein-1), MAPK (Mitogen-activated Protein Kinase) dan Phosphoinositide 3-kinase (PI3K)-Akt. NF-КB aktif menginduksi immortalisasi sel dengan menghambat apoptosis sel melaui peningkatan regulasi aktivitas survivin, survivin merupakan anggota prtotein penghambat apoptosis yang menurunkan regulasi dari gen P21, hal ini menyebabkan kerja cyclin-dependent kinase 4 (CDK4) dalam mempromosikan progresi siklus sel melalui transisi G1/S. JNK (c-jun N Terminal Kinase) dapat menyebabkan apoptosis sel sedangkan aktivasi sementara menyebabkan kelangsungan hidup dan proliferasi seluler (aktivasi dari cycle 2/cyclin B (CDC2/cyclin B)) dengan cara menginhibisi gen penekan tumor p53. Keadaan abnormal pada sinyal MAPK dapat menyebabkan peningkatan atau tidak terkendalinya proliferasi sel. Anggota MAPK diantaranya adalah molekul sinyal Ras, Raf, MEK, dan ERK. Aktivasi dari ERK yang terus menerus dapat menginkativasi gen p27 yang merupakan protein pengatur regulasi siklus sel, inaktivasi dari gen p27 mengaktifkan kompleks CDK2/cyclin E yang menyebabkan sel memasuki fase S. Aktivasi dari PI3K memicu terjadinya fosforilasi dan aktivasi serin / treonin kinase protein B (Akt), hal ini menyebabkan terjadinya degradasi dari cycli-dependent inhibitor p27 (Astuty, 2010; Tulalamba, 2012). Tumbuhan benalu yang selama ini sering dikenal sebagai parasit ternyata memiliki khasiat, yaitu mampu menghambat laju pertumbuhan penyakit kanker, karena di dalamnya terkandung kuersetin (Sudaryono, 2011). Kuersetin berperan dalam megaktifkan/meningkatkan ekspresi protein p53 (Lamson et al., 2000; Saifillah, 2011). Protein p53 mampu menginduksi protein p21 yang menginaktifkan CDK2 dan CDK4 (fosforilasi Rb (Retinoblastoma) terhambat dan pelepasan faktor transkripsi E2F terhenti, DNA mempunyai kesempatan memperbaiki diri sebelum masuk ke tahap pembelahan selanjutnya (dari fase G1 ke fase S), jika kerusakan DNA berat dan tidak dapat diperbaiki maka sel akan memasuki jalur apoptosis (Budiyastomo, 2010). commit to user xl

22 25 EBV SEL sebelum diberi ekstrak setelah diberi ekstrak Keterangan: meningkatkan menurunkan/menghambat mempengaruhi Gambar 8. Bagan alur kerangka pemikiran Selain kuersetin (flavonoid) di dalam daun D. pentandra L. Miq menggunakan pelarut polar tekandung beberapa senyawa metabolit yang bersifat antikanker seperti terpenoid, tanin saponin dan alkaloid (Fajriah, 2007; Ikawati, 2008). Alkaloid dan terpenoid dapat mengaktifkan gen p53 dengan mekanisme penghambatan kerja DNA Topoisomerase II yang menyebabkan kerusakan DNA sel tumor (Sukardiman dkk, 2006; Setiawati dkk, 2007). Saponin dapat menghambat pembentukan Bcl-2 yang diekspresikan terlalu tinggi, Bcl2 merupakan anggota famili protein anti apoptotik Senyawa saponin telah diketahui dapat meningkatkan ekspresi p53, dan dapat pula memicu G1 cell cycle arrest (Fitria et al., 2011). Tanin yang merupakan senyawa polifenol dapat meningkatkan protein p27 yang menghambat siklus sel (Nam et al dalam Sahid et al. 2013). Protein p27 commit adalah to protein user yang mengikat siklin dan cdk xli

23 26 sehingga terjadi hambatan menuju fase S (Wuryanto, 2004). Keberadaan metabolit sekunder yang bersifat antikanker yang terkandung di dalam ekstrak daun D. pentandra L. Miq diharapkan mampu menghambat proliferasi sel Raji. C. Hipotesis 1. Ekstrak etanol daun benalu kersen (D. pentandra L. Miq) mengandung senyawa metabolit sekunder yang dapat dideteksi secara kualiatif 2. Pemberian ekstrak etanol daun benalu kersen (Dendrophthoe pentandra L. Miq) dapat menghambat proliferasi sel Raji secara invitro commit to user xlii

AKTIVITAS ANTIPROLIFERASI EKSTRAK ETANOL DAUN BENALU KERSEN (Dendrophtoe pentandra L. Miq.) TERHADAP KULTUR SEL KANKER NASOFARING (RAJI CELL LINE)

AKTIVITAS ANTIPROLIFERASI EKSTRAK ETANOL DAUN BENALU KERSEN (Dendrophtoe pentandra L. Miq.) TERHADAP KULTUR SEL KANKER NASOFARING (RAJI CELL LINE) AKTIVITAS ANTIPROLIFERASI EKSTRAK ETANOL DAUN BENALU KERSEN (Dendrophtoe pentandra L. Miq.) TERHADAP KULTUR SEL KANKER NASOFARING (RAJI CELL LINE) TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal (Herien, 2010). Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel yang tidak normal. (yaitu, tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol, dan tidak berirama). Penyakit kanker merupakan penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit infeksi. Pada tahun-tahun terakhir ini tampak adanya peningkatan kasus kanker disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum untuk sekelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan

BAB 6 PEMBAHASAN. ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan menurunnya atau penghambatan pertumbuhan karsinoma epidermoid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia setelah penyakit jantung (Baratawidjaya & Rengganis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia setelah penyakit jantung (Baratawidjaya & Rengganis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia setelah penyakit jantung (Baratawidjaya & Rengganis, 2010). Data WHO menunjukkan terdapat sekitar 7,4 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 6 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi tanaman uji dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UMS dengan cara mencocokkan tanaman pada kunci-kunci determinasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker adalah suatu penyakit yang terjadi akibat pertumbuhan sel pada jaringan tubuh secara terus-menerus dan tidak terkendali sehingga dapat mneyebabkan kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyebab kematian dengan urutan ke-2 di dunia dengan persentase sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular (Kemenkes, 2014). Data Riset Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak terkendali. Di perkirakan setiap tahun 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

dan tiga juta di antaranya ditemukan di negara sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan

dan tiga juta di antaranya ditemukan di negara sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan I. PENDAHULUAN Kanker masih merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia dan menjadi penyebab kematian kelima di Indonesia. Jumlah penderita baru per tahun 5,9 juta di seluruh dunia dan tiga juta

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal, (yaitu tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol, dan tidak berirama) yang dapat menyusup ke jaringan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel-sel di dalam tubuh yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel-sel di dalam tubuh yang tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel-sel di dalam tubuh yang tidak terkendali. Salah satu jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi tinggi di dunia adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata Linn) Terhadap Konfluenitas Sel Hepar Baby Hamster yang Diinduksi DMBA (7,12-Dimetilbenz(α)antracene) Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (medicinal mushroom) adalah Ganoderma lucidum. Jamur ini telah digunakan

I. PENDAHULUAN. (medicinal mushroom) adalah Ganoderma lucidum. Jamur ini telah digunakan 1 I. PENDAHULUAN Jamur makroskopis digolongkan menjadi 4 kategori berdasarkan khasiatnya, yaitu jamur yang dapat dimakan, jamur berkhasiat obat, jamur beracun dan jamur yang belum diketahui khasiatnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia kasus kanker rongga mulut berkisar 3-4% dari seluruh kasus kanker yang terjadi. Sekitar 90-95% dari total kanker pada rongga mulut merupakan kanker sel skuamosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada wanita dengan insiden lebih dari 22% (Ellis et al, 2003) dan angka mortalitas sebanyak 13,7% (Ferlay

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO), negara negara di Afrika, Asia dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO), negara negara di Afrika, Asia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Menurut World Health Organization (WHO), negara negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TIJAUA PUSTAKA A. Kanker dan Kanker Payudara Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya abnormalitas regulasi pertumbuhan sel dan meyebabkan sel dapat berinvasi ke jaringan serta

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Hasil analisis normalitas sebaran data persentase kematian sel Raji... 49

DAFTAR TABEL. Hasil analisis normalitas sebaran data persentase kematian sel Raji... 49 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi DAFTAR SINGKATAN...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyakit yang melibatkan faktor genetik dalam proses

BAB 1 PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyakit yang melibatkan faktor genetik dalam proses BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyakit yang melibatkan faktor genetik dalam proses patogenesisnya, proses pembelahan sel menjadi tidak terkontrol karena gen yang mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker kolon merupakan salah satu penyebab umum kematian yang berasal dari transformasi epitel usus normal polip adenomatosa dan kanker invasive (Palozza et

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang telah menjadi

I. PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang telah menjadi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan kanker dengan insidensi dan mortalitas terbanyak pada wanita di dunia, yaitu sebanyak 1.384.155 kejadian dan 458.503 kematian (IARC, 2013). 70%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sering terjadi pada wanita dan menjadi penyebab kematian utama. Kanker

BAB I PENDAHULUAN. yang sering terjadi pada wanita dan menjadi penyebab kematian utama. Kanker BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kanker merupakan penyakit yang dikelompokkan sebagai penyakit terminal (Sudiana, 2011). Kanker menjadi penyebab kematian terbesar di dunia, sebanyak 7,6 juta orang

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. lengkap baik dari segi farmakologi maupun fitokimia. Pemanfaatan Phaleria macrocarpa ini

BAB 6 PEMBAHASAN. lengkap baik dari segi farmakologi maupun fitokimia. Pemanfaatan Phaleria macrocarpa ini BAB 6 PEMBAHASAN Phaleria macrocarpa merupakan salah satu tanaman obat tradisional Indonesia yang mempunyai efek anti kanker, namun masih belum memiliki acuan ilmiah yang cukup lengkap baik dari segi farmakologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara disebut juga dengan carsinoma mammae merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara disebut juga dengan carsinoma mammae merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara disebut juga dengan carsinoma mammae merupakan pertumbuhan sel payudara yang tidak terkontrol karena adanya perubahan abnormal dari gen yang berperan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Uji Sitotoksisitas Senyawa Golongan Poliketida terhadap Sel HeLa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Uji Sitotoksisitas Senyawa Golongan Poliketida terhadap Sel HeLa 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Sitotoksisitas Senyawa Golongan Poliketida terhadap Sel HeLa Uji sitotoksisitas senyawa aktif golongan poliketida daun sirsak (A. muricata L.) terhadap sel HeLa dilakukan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

Dokumen nomor : CCRC Tanggal : 23 April 2013 Mengganti nomor : CCRC Tanggal : 26 Februari 2009

Dokumen nomor : CCRC Tanggal : 23 April 2013 Mengganti nomor : CCRC Tanggal : 26 Februari 2009 Hal. 1 dari 8 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Herwandhani Putri Edy Meiyanto Tanggal 23 April 2013 PROTOKOL UJI SITOTOKSIK

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM. Dokumen nomor : CCRC Tanggal : Mengganti nomor : - Tanggal : -

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM. Dokumen nomor : CCRC Tanggal : Mengganti nomor : - Tanggal : - Hal. 1 dari 8 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf CCRC Staf CCRC Supervisor CCRC Pimpinan CCRC Paraf Nama Sendy Junedi Adam Hermawan Muthi Ikawati Edy Meiyanto Tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Pemeriksaan tumor pada kolon secara makroskopis, berhasil tumbuh 100%

BAB VI PEMBAHASAN. Pemeriksaan tumor pada kolon secara makroskopis, berhasil tumbuh 100% 63 BAB VI PEMBAHASAN Pemeriksaan tumor pada kolon secara makroskopis, berhasil tumbuh 100% dari masing-masing kelompok dan bersifat multipel dengan rerata multiplikasi dari kelompok K, P1, P2, dan P3 berturut-turut

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak.

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak. BAB 2 TUMOR 2.1 Definisi Tumor Sel mempunyai tugas utama yaitu bekerja dan berkembang biak. Bekerja bergantung kepada aktivitas sitoplasma sedangkan berkembang biak bergantung pada aktivitas intinya. Proliferasi

Lebih terperinci

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry 8 serta doxorubicin 1 µm. Penentuan nilai konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan daya penghambatan yang dimungkinkan pada uji sel hidup dan rataan tengah dari range konsentrasi perlakuan. Uji Sitotoksik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan, radioterapi dan sitostatika. Pembedahan dan radioterapi

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan, radioterapi dan sitostatika. Pembedahan dan radioterapi 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Terapi kanker payudara yang berlaku selama ini adalah dengan pembedahan, radioterapi dan sitostatika. Pembedahan dan radioterapi bersifat terapi definitif lokal, sedangkan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi sebagai penyebab kematian di dunia, khususnya di negara-negara berkembang (Anderson et al., 2001;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Determinasi Tanaman. acuan Flora of Java: Spermatophytes only Volume 2 karangan Backer dan Van

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Determinasi Tanaman. acuan Flora of Java: Spermatophytes only Volume 2 karangan Backer dan Van 22 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi merupakan suatu langkah untuk mengidentifikasi suatu spesies tanaman berdasarkan kemiripan bentuk morfologi tanaman dengan buku acuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian tomat (Solanum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian tomat (Solanum 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian tomat (Solanum lycopersicum L.) terhadap perubahan histologi kelenjar mammae mencit betina yang diinduksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan komponen yang berfungsi dalam sistem transportasi pada tubuh hewan tingkat tinggi. Jaringan cair ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian cair yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, penyakit kanker merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam dalam dunia kesehatan (Ganiswara dan Nafrialdi, 1995). Kanker adalah pembentukan

Lebih terperinci

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Sel Kanker Serviks (HeLa) Secara In Vitro

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Sel Kanker Serviks (HeLa) Secara In Vitro SIDANG TUGAS AKHIR Uji Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Sel Kanker Serviks (HeLa) Secara In Vitro Hani Tenia Fadjri 1506 100 017 DOSEN PEMBIMBING: Awik Puji Dyah Nurhayati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker endometrium adalah kanker paling sering pada saluran genitalia wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia setelah payudara,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia telah mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat sebagai obat. Banyak tanaman yang terdapat di alam selalu digunakan sebagai obat, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia setelah kanker paru-paru, hepar dan kolon. Insidensi kanker payudara

BAB I PENDAHULUAN. di dunia setelah kanker paru-paru, hepar dan kolon. Insidensi kanker payudara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker penyebab kematian di dunia setelah kanker paru-paru, hepar dan kolon. Insidensi kanker payudara di Amerika pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia terletak di daerah tropis dan sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM Hal. 1 dari 7 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Dyaningtyas Dewi PP Rifki Febriansah Adam Hermawan Edy Meiyanto Tanggal 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, invasi jaringan, dan metastasis yang luas (Chisholm-Burns et al., 2008). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mutagen (mutagene) adalah bahan yang dapat menginduksi. deoxyribonucleic acid (DNA) menjadi mutasi. Adapun yang dimaksud dengan

BAB I PENDAHULUAN. Mutagen (mutagene) adalah bahan yang dapat menginduksi. deoxyribonucleic acid (DNA) menjadi mutasi. Adapun yang dimaksud dengan BAB I PENDAHULUAN 2.1 Latar Belakang Mutagen (mutagene) adalah bahan yang dapat menginduksi deoxyribonucleic acid (DNA) menjadi mutasi. Adapun yang dimaksud dengan mutasi adalah perubahan susunan nukleotida

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berat badan lahir merupakan berat bayi baru lahir yang diukur dalam satu jam pertama kehidupan. Bayi baru lahir normal adalah bayi baru lahir dari kehamilan yang aterm

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kanker Serviks (Leher Rahim) Kanker serviks merupakan salah satu ancaman malignansi terbesar bagi wanita. Di negara berkembang, kanker serviks menduduki urutan teratas bagi kanker

Lebih terperinci

MOLEKULER ONKOGENESIS

MOLEKULER ONKOGENESIS MOLEKULER ONKOGENESIS Perpustakaan Nasional Katalog dalam Terbitan (KDT) Molekuler Onkogenesis (Konsep Genetik, Virus, Radiasi - Kimia, Mutasi Gen, Epigenetik dan Signalling) dr. H. Agung Putra, M.Si.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker kepala dan leher adalah berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas (UADT), meliputi rongga mulut, nasofaring, orofaring, hipofaring dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat. Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016

Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat. Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016 Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016 Definisi & Tujuannya - Pembelahan sel reproduksi sel, pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan salah satu penyebab kematian yang utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, penyakit kanker menyebabkan kematian sekitar 8,2 juta orang. Kanker

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehingga berpengaruh pada kondisi kesehatan dan kemungkinan mengakibatkan. berbagai penyakit-penyakit yang dapat dialaminya.

I. PENDAHULUAN. sehingga berpengaruh pada kondisi kesehatan dan kemungkinan mengakibatkan. berbagai penyakit-penyakit yang dapat dialaminya. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan faktor penting dalam menunjang segala aktifitas hidup seseorang. Namun banyak orang yang menganggap remeh sehingga mengabaikan kesehatan dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Kanker payudara menempati urutan kedua penyebab kematian di dunia. Kanker menduduki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker (Djajanegara dan Wahyudi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Rimpang temu putih yang sudah dipotong kecil-kecil didestilasi dengan

BAB VI PEMBAHASAN. Rimpang temu putih yang sudah dipotong kecil-kecil didestilasi dengan 40 BAB VI PEMBAASAN 6.1 Isolasi Minyak Atsiri dengan Destilasi Uap Rimpang temu putih yang sudah dipotong kecil-kecil didestilasi dengan menggunakan destilasi uap. Pemotongan sampel dengan ukuran kecil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daun pohpohan merupakan bagian tanaman yang digunakan sebagai lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki aktivitas antioksidan yang besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada tahun 2004 (WHO, 2009). Berdasarkan data dari Globocan

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada tahun 2004 (WHO, 2009). Berdasarkan data dari Globocan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan penyebab utama kematian di dunia dengan 7,4 juta atau 13% kematian pada tahun 2004 (WHO, 2009). Berdasarkan data dari Globocan International Agency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insiden penyakit kanker di dunia mencapai 12 juta penduduk dengan PMR 13%. Diperkirakan angka kematian akibat kanker adalah sekitar 7,6 juta pada tahun 2008. Di negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia. Kanker rongga mulut ditemukan 2-5% dari seluruh keganasan, dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia. Kanker rongga mulut ditemukan 2-5% dari seluruh keganasan, dan merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan penyakit yang saat ini mendapatkan perhatian serius di dunia. Kanker rongga mulut ditemukan 2-5% dari seluruh keganasan, dan merupakan urutan ke-6 terbanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Timbal merupakan logam yang secara alamiah dapat ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2. Logam ini telah digunakan sejak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, jumlah penderita kanker di Indonesia belum diketahui secara pasti, tetapi peningkatannya dari tahun ke tahun dapat dibuktikan sebagai salah satu penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor seperti radiasi, senyawa kimia tertentu, dan virus. Faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. faktor seperti radiasi, senyawa kimia tertentu, dan virus. Faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutasi merupakan perubahan yang terjadi pada gen atau pada kromosom yang berkaitan dengan timbulnya beragam kelainan, termasuk penyakit kanker. Selain dapat terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tumor odontogenik adalah tumor yang berasal dari jaringan pembentuk gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling sering ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manggis merupakan tumbuhan fungsional karena sebagian besar tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat. Akan tetapi, masih belum diketahui efek sampingnya (Pasaribu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat diperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyakit degeneratif merupakan penyakit tidak menular yang berlangsung kronis seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes dan lainnya. Penyakit ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kongenital. Diperkirakan ada kasus baru pada setiap

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kongenital. Diperkirakan ada kasus baru pada setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit yang terjadi karena pembelahan sel yang tidak terkontrol dan tidak terbatas (Djajanegara, 2010). Di beberapa bagian dunia, dalam waktu singkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kanker payudara (KPD) merupakan salah satu tumor ganas penyebab

I. PENDAHULUAN. Kanker payudara (KPD) merupakan salah satu tumor ganas penyebab I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara (KPD) merupakan salah satu tumor ganas penyebab kematian wanita nomor satu (14,7%) di seluruh dunia (Globocan-IARC, 2012). International Agency for Research

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ganoderma spp. sebagai jamur dengan genus paling besar. Menurut Bhosle (2010),

I. PENDAHULUAN. Ganoderma spp. sebagai jamur dengan genus paling besar. Menurut Bhosle (2010), 1 I. PENDAHULUAN Berbagai jenis jamur tumbuh di daerah Banyumas. Di antaranya adalah Ganoderma spp. sebagai jamur dengan genus paling besar. Menurut Bhosle (2010), Karsten pada tahun 1881 menemukan jamur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Wijen (Sesamum indicum L) 1. Sistematika Tanaman Tanaman wijen mempunyai klasifikasi tanaman sebagai berikut : Philum : Spermatophyta Divisi : Angiospermae Sub-divisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap jejas yang terjadi dalam tubuh manusia. Inflamasi, bila terjadi terus menerus dalam waktu lama maka merupakan salah satu faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma secara harafiah berarti pertumbuhan baru, adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Sel neoplastik adalah otonom dalam arti tumbuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker ditetapkan sebagai penyebab utama kematian di dunia dengan angka yang mencapai 7,6 juta atau (sekitar 13% dari semua kematian setiap tahunnya) pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah suatu massa yang abnormal dengan pertumbuhan yang tidak teratur (melampaui batas normal dan tidak terkoordinasi) dan dapat bermetastasis (Stricker & Kumar,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel sel kanker akan berkembang dengan cepat, tidak terkendali,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan yang tidak terkendali dan penyebaran sel-sel abnormal. Kanker disebabkan oleh faktor eksternal (tembakau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Retinoblastoma merupakan keganasan intraokular paling sering pada anak, yang timbul dari retinoblas immature pada perkembangan retina. Keganasan ini adalah keganasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik (McKenzie, 1996). Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah immatur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai tanaman obat. Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai tanaman obat. Masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora yang sangat beragam, salah satunya kekayaan tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai tanaman obat. Masyarakat menggunakan tanaman obat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini di jaman yang sudah modern terdapat berbagai macam jenis makanan dan minuman yang dijual di pasaran. Rasa manis tentunya menjadi faktor utama yang disukai

Lebih terperinci