ANALISIS FAKTOR PENDORONG PERUBAHAN PENUTUPAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIMANDIRI DAN CIBUNI BHRE WIJAYA AROENGBINANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS FAKTOR PENDORONG PERUBAHAN PENUTUPAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIMANDIRI DAN CIBUNI BHRE WIJAYA AROENGBINANG"

Transkripsi

1 ANALISIS FAKTOR PENDORONG PERUBAHAN PENUTUPAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIMANDIRI DAN CIBUNI BHRE WIJAYA AROENGBINANG DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri dan Cibuni adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau diutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015 Bhre Wijaya Aroengbinang NIM A

4 ABSTRAK BHRE WIJAYA AROENGBINANG. Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan Lahan di Daerah Alian Sungai Cimandiri dan Cibuni. Dibimbing oleh KASWANTO Laju pembangunan di wilayah Jawa Barat menjadi semakin cepat dari waktu ke waktu. Di sisi lain, pembangunan di Jawa Barat bagian selatan terbilang lambat, padahal cukup banyak sumberdaya lahan yang bisa dimanfaatkan. Terdapat dua DAS yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat bagian Utara, yaitu DAS Cimandiri dan DAS Cibuni. Data pendukung untuk perencanaan lanskap yang dapat memanfaatkan potensi yang belum dimanfaatkan dengan tetap mempertimbangkan kondisi lingkungan secara keseluruhan untuk Low Carbon Societies (LCS) diperlukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni serta mengetahui faktor pendorongnya. Metode yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing dan analisis regresi logistik. Hasil dari penelitian ini adalah peta penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni tahun 1978, 1995/6, dan Sawah, hutan, dan semak mendominasi di kedua DAS. Terdapat empat faktor di DAS Cimandiri dan tiga faktor di DAS Cibuni yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan. Keywords: Sistem informasi geografis, Citra LANDSAT, Perubahan penutupan dan penggunaan lahan, Pengelolaan DAS. ABSTRACT BHRE WIJAYA AROENGBINANG. Driving Factor Analysis for Landuse and Cover Change in Cimandiri and Cibuni Watershed. Supervised by KASWANTO North region West Java s development around Jakarta is constantly accelerating. The development itself has caused many problems which are happening until today. However, the development in south region of West is very slow, although there are many potential land for development. Two watersheds which are located in south region, namely Cimandiri and Cibuni watershed are less developed than the watersheds in the north region of West Java. Therefore, supporting landscape planning to explore the watershed resources potential and landscape management to consider the environmental impacts for supporting the Low Carbon Societies (LCS) movement is needed. The purposes of this research are to analyze land use and land cover changes, and to determine the driving factor of the changes in Cimandiri and Cibuni watershed. The used methods are supervised classification and Logistic Regression Analysis (LRA). The results are land use map of Cimandiri and Cibuni watershed in 1978, 1995/6, and Farm field, forest, and bushes field are dominating in both watersheds. The driving factors for Cimandiri watershed show that there are four factors while there are three factors in Cibuni watershed that are significantly affecting land use and cover change. Keywords: Geographic Information System, Landsat Image, Land Use and Land Cover Change, Watershed Management.

5 ANALISIS FAKTOR PENDORONG PERUBAHAN PENUTUPAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIMANDIRI DAN CIBUNI BHRE WIJAYA AROENGBINANG Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7

8 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri dan Cibuni. Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Institut Pertanian Bogor. Atas segala bentuk dukungan dan bantuan yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bambang Sutjahjo Aroengbinang dan Dewi Erlinda Nasution, orangtua tercinta yang telah mempercayakan penulis untuk dapat menyelesaikan studi S1 di Institut Pertanian Bogor. 2. Dr. Kaswanto selaku dosen pembimbing atas panduan, masukan, pencerahan, saran, dan kritik yang bermanfaat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Fitriyah Nurul Hidayati Utami, ST, MT selaku dosen pembimbing akademik yang selalu membimbing penulis selama menjalani masa perkuliahan di Departemen Arsitektur Lanskap IPB. 4. Dr. Syartinilia Wijaya, SP, MSi dan Ir. Qodarian Pramukanto, MSi selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak masukan yang sangat bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini. 5. Rezky Krisrachmansyah, SP, MT selaku dosen pembahas seminar hasil akhir dan pembimbing langsung kegiatan-kegiatan sayembara yang penulis ikuti selama di Departemen Arsitektur Lanskap IPB. 6. Pingkan Nuryanti, ST, M.Eng selaku dosen pembahas kolokium. 7. Annisa Hersyafira atas support dan kesabarannya yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. 8. Yuliana Arifasihati, teman satu bimbingan, satu judul, dan seperjuangan selama penyusunan skripsi ini. 9. Indra Bachtiar dan Adhrid Rahmad Fani, SP, teman-teman kos C/8 yang satu atap namun tidak satu rumah. 10. Teman-teman Departemen Arsitektur Lanskap angkatan 47 dan 48 yang telah banyak menghabiskan waktu bersama dalam proses meraih gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015 Bhre Wijaya Aroengbinang

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Daerah Aliran Sungai (DAS) 3 Penutupan dan Penggunaan Lahan 3 Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan 4 Geographic Information System (GIS) 4 Ketimpangan Pembangunan 5 Logistic Regression Analysis (LRA) 5 METODE 6 Lokasi dan Waktu 6 Alat dan Bahan 6 Metode Penelitian 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Kondisi Umum 11 Klasifikasi Penutupan Lahan DAS Cimandiri dan DAS Cibuni Tahun 1978, 1995/6, dan Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cimandiri dan Cibuni 38 Faktor Pendorong Perubahan Penutupan Lahan 48 KESIMPULAN DAN SARAN 55 Kesimpulan 55 Saran 56 DAFTAR PUSTAKA 56 LAMPIRAN 57 x x

10 DAFTAR TABEL 1 Alat yang digunakan dalam penelitian 6 2 Jenis dan sumber data penelitian 7 3 Kriteria kelas penutupan lahan 9 4 Variabel-variabel dalam Logistic Regression Analysis 11 5 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun Matriks nilai keterpisahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/ Matriks nilai keterpisahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/ Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun Matriks kesalahan klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan tahun Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1995/ Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun Nilai penutupan lahan yang berubah Nilai penutupan lahan yang tetap Perbandingan luas dan laju peningkatan DAS Cimandiri Perbandingan luas dan laju peningkatan DAS Cibuni Perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri Matriks perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri Perubahan penutupan lahan secara umum di DAS Cibuni Matriks perubahan penutupan lahan di DAS Cibuni Persamaan model regresi logistic utuk driving factor 49 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pikir penelitian 2 2 Lokasi penelitian 6 3 Alur penelitian 7 4 Matriks post classification comparison 10 5 Peta batas kecamatan DAS Cimandiri 12 6 Peta batas kecamatan DAS Cibuni 13 7 Peta jenis tanah DAS Cimandiri 13 8 Peta jenis tanah DAS Cibuni 14 9 Peta elevasi DAS Cimandiri Peta elevasi DAS Cibuni Peta kemiringan lereng DAS Cimandiri Peta kemiringan lereng DAS Cibuni Peta curah hujan tahunan DAS Cimandiri Peta curah hujan tahunan DAS Cibuni Peta jumlah penduduk DAS Cimandiri Peta jumlah penduduk DAS Cibuni Peta kepadatan penduduk DAS Cimandiri Peta kepadatan penduduk DAS Cibuni 20

11 19 Peta jarak dari pusat kota DAS Cimandiri Peta jarak dari pusat kota DAS Cibuni Peta jarak dari jalan utama DAS Cimandiri Peta jarak dari jalan utama DAS Cibuni Tutupan badan air di Situ Gunung, Sukabumi Tutupan hutan di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Kebun pisang di sekitar Taman nasional Gunung Gede Pangrango Lahan kosong di wilayah Sukabumi Kawasan pemukiman di wilayah Sukabumi Lahan sawah basah di wilayah Sukabumi Semak belukar di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Citra saat stripping dan setelah dilakukan gapfill Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/ Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1995/ Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun Peta perubahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun / Peta perubahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/ Grafik arah perubahan penutupan lahan dari hutan di DAS Cimandiri Grafik perubahan penutupan lahan dari semak di DAS Cimandiri Grafik perubahan penutupan lahan ke pemukiman di DAS Cimandiri Peta perubahan penutupan lahan DAS Cibuni tahun / Peta perubahan penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1995/ Grafik arah perubahan penutupan lahan dari hutan di DAS Cibuni Grafik arah perubahan penutupan lahan dari semak di DAS Cibuni Grafik arah perubahan penutupan lahan ke pemukiman di DAS Cibuni Ilustrasi pengaruh elevasi terhadap perubahan lahan Ilustrasi pengaruh kemiringan lereng terhadap perubahan lahan Ilustrasi pengaruh curah hujan terhadap perubahan lahan Ilustrasi pengaruh kepadatan penduduk terhadap perubahan lahan Ilustrasi pengaruh jarak dari pusat kota terhadap perubahan lahan Ilustrasi rekomendasi konservasi dan reboisasi hutan Ilustrasi rekomendasi penyuluhan pertanian organik dan pekarangan Ilustrasi rekomendasi migrasi dari kota ke daerah 55

12

13 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Laju pembangunan di wilayah Jawa Barat, khususnya yang berbatasan dengan DKI Jakarta, menjadi semakin cepat dari waktu ke waktu. Selain dekat dengan pusat pemerintahan, wilayah Jawa Barat bagian Utara sekaligus menjadi salah satu pusat perekonomian di pulau Jawa. Namun, pesatnya laju pembangunan ini berdampak negatif terhadap kondisi ekologis wilayah itu sendiri. Bencana banjir dan erosi yang dengan konstan terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya menjadi salah satu bukti telah rusaknya lingkungan akibat pembangunan. Di sisi lain, pembangunan di Jawa Barat bagian selatan terbilang lambat, padahal cukup banyak sumberdaya lahan dan potensi pariwisata yang bisa dimanfaatkan. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 28 tahun 2010 tentang pengembangan wilayah Jawa Barat bagian Selatan tahun , wilayah Jawa Barat bagian Selatan meliputi Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Cianjur. Saat ini, istilah ketimpangan pembangunan sudah umum digunakan oleh masyarakat untuk menggambarkan kondisi Jawa Barat saat ini. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuat Peraturan Daerah yang telah disebutkan di atas, dengan harapan mampu meningkatkan laju pembangunan di Jawa Barat bagian Selatan dengan tetap melindungi kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan dan bencana alam yang terjadi di suatu wilayah tidak lepas dari keterkaitan antara hulu-tengah-hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) pada wilayah tersebut. DAS merupakan suatu kesatuan ekosistem dimana organisme dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik dan memiliki ketergantungan satu sama lain dalam setiap komponennya (Asdak 2002). Salah satu aspek terpenting dalam keberadaan DAS saat ini adalah fungsinya sebagai daerah resapan karbon. Dalam wilayah Jawa Barat bagian Selatan, terdapat dua DAS yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat bagian Utara, yaitu DAS Cimandiri dan DAS Cibuni, yang berhulu dari Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak. Kondisi kedua DAS tersebut saat ini memang belum banyak dimanfaatkan. Belajar dari pembangunan yang terjadi di DAS Jawa Barat bagian Utara, seharusnya pembangunan DAS Jawa Barat bagian Selatan harus bisa lebih memperhatikan aspek ekologis agar tidak berdampak pada bencana-bencana alam di masa yang akan datang. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan yang tepat dan holistik harus dilakukan oleh Pemprov setempat. Dengan mengacu pada perubahan pembangunan pada tahun-tahun sebelumnya dan mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan tersebut, perencana akan dapat memanfaatkan potensi yang belum dimanfaatkan dengan tetap mempertimbangkan kondisi lingkungan secara keseluruhan. Pembangunan yang dilakukan juga harus mempertimbangkan fungsi DAS sebagai daerah penyimpanan karbon (carbon stock), dalam mendukung Low- Carbon Societies, yaitu sebuah proyek penelitian yang dipublikasikan oleh Britania Raya dan Jepang pada ulang tahun pertama Kyoto Protocol tahun Untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan pembangunan serta faktor yang mendorong perubahan tersebut, perlu dilakukan pendekatan secara spasial untuk melihat penutupan dan penggunaan lahan yang terjadi pada tiga

14 2 dekade sebelumnya, serta menganalisis faktor apa yang mempengaruhinya. Hal tersebut akan lebih efektif dilakukan melalui pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG), dengan melakukan analisis melalui citra satelit dan data lainnya terkait aspek fisik, geografis, dan demografi. Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni secara periodik, mengetahui perubahan penutupan dan penggunaan lahannya, serta menganalisis faktor pendorong perubahan tersebut. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi banyak pihak, selain dapat menambah wawasan bagi mahasiswa yang melaksanakan penelitian, diharapkan juga dapat dijadikan sebagai salah satu alat bantu bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, khususnya bagian selatan, dalam pembangunan wilayah tersebut. Kerangka Pikir Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan, khususnya pada kawasan DAS, yaitu DAS Cimandiri dan Cibuni. Kedua DAS ini perlu dimanfaatkan, namun tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Untuk melakukannya diperlukan perencanaan pembangunan yang tepat, sehingga membutuhkan informasi spasial mengenai perubahan penutupan lahan di kedua DAS tersebut, serta analisis faktor pendorong perubahannya yang dilakukan melalui pendekatan GIS. Terwakili oleh DAS (Cimandiri dan Cibuni) Pembangunan di Jawa Barat Selatan Masih kurang dimanfaatkan Nilai ekonomi rendah, tetapi ekologis Pemanfaatan tanpa merusak nilai ekologis Perencanaan pembangunan yang tepat Dalam upaya mendukung Low- Carbon Societies (LCS) Perubahan penutupan dan penggunaan lahan periodik Analisis faktor pendorong perubahan penutupan dan penggunaan lahan Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri dan Cibuni Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

15 3 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas komponen-komponen biofisik dan sosial (human systems) yang dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain (Dharmawan et al. 2005). Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS terbagi atas bagian hulu, tengah, dan hilir, pembagian tersebut didasarkan pada kondisi topografi dari wilayah DAS itu sendiri. Penutupan dan Penggunaan Lahan Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan (land cover). Penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban manusia yang menghuninya. Justice dan Townshend (1981) juga memiliki pendapat mengenai penutupan lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Sedangkan Barret dan Curtis (1982), mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain sebagainya; sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan lahan). Suatu unit penggunaan lahan mewakili tidak lebih dari suatu mental construct yang didesain untuk memudahkan inventarisasi dan aktivitas pemetaan (Malingreau dan Rosalia 1981). Interpretasi penggunaan lahan dari foto udara ini dimaksudkan untuk memudahkan deliniasi. Pemanfaatan data penginderaan jauh digunakan untuk dapat mempercepat hasil inventarisasi dengan hasil yang cukup baik karena dari tersebut memungkinkan diperoleh informasi tentang penggunaan lahan secara rinci. Selain itu, adanya perubahan pemanfaatan lahan kota yang cepat dapat dimonitor dari data penginderaan jauh.

16 4 Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad 1989 dalam As-syakur et. al. 2010). Kebutuhan dan keinginan manusia yang sulit terpenuhi mendorong manusia untuk melakukan modifikasi dan rekayasa-rekayasa terhadap tempat-tempat yang mereka tempati. Faktor sosialekonomi, politik, dan budaya menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan tersebut. Menurut Jayadinata (1992), tindakan manusia menunjukkan bagaimana manusia atau masyarakat bertindak dalam hubungannya dengan nilai (values) dan cita-cita (ideas) mereka. Identifikasi perubahan penggunaan lahan pada suatu DAS merupakan suatu proses mengindentifikasi perbedaan keberadaan suatu objek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda di DAS tersebut. Indentifikasi perubahan penggunaan lahan memerlukan suatu data spasial temporal (As-syakur et. al. 2010). Geographic Information System (GIS) Geographic Information System (GIS) yang dalam bahasa Indonesia lebih sering disingkat SIG (Sistem Informasi Geografis) dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena-fenomena dimana lokasilokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. SIG dapat didefinisikan sebagai kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang memungkinkan untuk mengelola (manage), menganalisa, memetakan informasi spasial berikut data atributnya (data deskriptif) dengan akurasi kartografi (Basic 2000 dalam Prahasta 2002). SIG secara formal dapat didefinisikan sebagai suatu koleksi terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografis dan para pelakunya, yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara efektif untuk mengambil, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk geografi berdasarkan atas informasi yang tersedia (ESRI, 1990). Menurut Wang (1991), SIG memberikan kebebasan pada pengguna untuk mengkombinasi, mengoverlay, dan mengalaisa data dari berbagai sumber yang berbeda, tanpa memperhatikan skala, keakurasian, resolusi, dan kualitas data. Kemampuan untuk menyimpan, memetakan, dan menganalisa data dari berbagai tipe data secara bersamaan, termasuk mentransformasikan data sehingga skala geografi dan proyeksinya dapat diperbandingkan, membuat SIG lebih daripada suatu sistem pemetaan secara komputerisasi. Perangkat lunak SIG yang biasa digunakan antara lain ArcView, ArcGis, MapInfo, ERDAS. Pada penelitian ini perangkat lunak GIS yang digunakan adalah ArcMap 10.2 dalam proses manipulasi dan penyajian data serta ERDAS dalam proses klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan karena kemampuannya menganalisis lebih baik dan kemampuan software dalam membuat klasifikasi penutupan lahan.

17 5 Ketimpangan Pembangunan Menurut Kuncoro (2006), kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyrakat, sebab kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan ini yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno 2004). Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2012). Menurut Hipotesa Neo-Klasik dalam Sjafrizal (2012), pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf u terbalik. Logistic Regression Analysis (LRA) Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989) regresi logistik biner merupakan suatu metode untuk mengkaji hubungan antara satu atau lebih peubah penjelas dengan peubah respon yang biner atau dikotom. Data hasil pengamatan memiliki peubah penjelas dengan peubah respon, dengan mempunyai dua kemungkinan nilai yaitu 0 dan 1. Peluang bersyarat untuk peubah respon Y jika x diketahui, ditunjukkan oleh P (Y=1 x) = π(x). Fungsi regresi logistik dapat dituliskan sebagai berikut: π(x) = exp (β 0 + β 1 X β p X p ) 1 + exp (β 0 + β 1 X β p X p ) Secara umum, regresi logistik cocok untuk menjelaskan dan menguji hipotesis tentang hubungan antara variabel hasil dengan satu atau lebih variabel penduga. Metode yang digunakan dalam regresi logistik pada penelitian ini adalah dengan prosedur stepwise. Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989), seleksi variabel menggunakan stepwise banyak digunakan dalam regresi linear. Prosedur stepwise apapun untuk seleksi maupun penghapusan variabel dari model berbasis pada algoritma statistik yang memeriksa kepentingan dari varabel-variabel tersebut, dan memasukan ataupun tidak memasukan variabel tersebut dalam pengambilan keputusan tetap.

18 6 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di DAS Cimandiri dan DAS Cibuni, yaitu pada daerah hulu, tengah, dan hilir, mencakup wilayah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan sebagian Bandung (Gambar 1). Kegiatan penelitian berlangsung selama tiga belas bulan, yaitu dimulai dari bulan Februari 2014 hingga bulan Februari Gambar 2 Lokasi penelitian Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) (Tabel 1). Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat dari tiga periode yang berbeda yang bisa diunduh gratis dari situs earthexplorer.usgs.gov dan peta-peta lainnya yang didapatkan dari instansi-instansi terkait. Spesifikasi jenis dan data yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 1 Alat yang digunakan dalam penelitian Hardaware dan Software Hardware Kamera Canon EOS 400D Global Positioning System (GPS) Fungsi Pengambilan foto Ground check dan penitikan lokasi kelas penutupan lahan

19 7 Tabel 1 Alat yang digunakan dalam penelitian (lanjutan) Software ERDAS Imagine 9.2 ArcMAP 10.2 MS Excel 2013 MS Word 2013 Proses klasifikasi citra Pengolahan data citra satelit Pengolahan data Penyusunan skripsi No. Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian Jenis Data 1. LANDSAT1 MSS - 17 Juli 1978, Path 131, Row Juli 1978, Path 130, Row 065 LANDSAT5 TM - 8 Agustus 1995, Path 122, Row Juli 1996, Path 122, Row 065 LANDSAT7 ETM Mei Tahun 2012, Path 122, Row 065 Bentuk Data Raster, resolusi 30x30m Sumber earthexplorer.usgs.gov 2. Peta Batas DAS Vektor Departemen Kehutanan 3. Peta DEM Jawa Barat Raster Departemen Kehutanan 4. Peta Jenis Tanah Jawa Barat Vektor DIPERTA Jawa Barat 5. Peta Curah Hujan Jawa Barat Tabular BMKG Jawa Barat 6. Data Kependudukan Tabular Pemprov Jawa Barat Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi ke dalam empat bagian, yaitu 1) Persiapan Penelitian, 2) Inventarisasi, 3) Analisis, dan 4) Output. Persiapan Penelitian Inventarisasi Analisis Output Persiapan administrasi dan persiapan teknis (peralatan): 1. Surat izin penelitian 2. GPS 3. Software ArcGIS dan ERDAS Pengumpulan data: 1. Spasial 2. Non-spasial Pengolahan data pra analisis: 1. Koreksi geometrik 2. Gap-Filling 3. Gapfill Survei lapang (ground check): 1. Dokumentasi 2. Penitikan kelas penutupan lahan Gambar 3 Alur penelitian Supervised classification Post Classification Comparison Analisis driving factor Peta klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan Peta perubahan penutupan dan penggunaan lahan & statistiknya dalam bentuk grafik batang Variabel driving factor yang paling dominan

20 8 Inventarisasi Tahap inventarisasi ini meliputi pengumpulan data spasial dan non-spasial, termasuk pengolahan citra sebelum melakukan analisis, dan survei lapang dengan melakukan ground check. Data yang dikumpulkan berupa data spasial, yaitu citra dari 3 periode waktu yang telah disebutkan, serta data non-spasial berupa data fisik dan biofisik. Pada kegiatan survei lapang telah dilakukan pengambilan titik menggunakan GPS pada tujuh kelas penutupan lahan (hutan, pemukiman, badan air, semak belukar, perkebunan, kebun, dan sawah), dan dokumentasi tapak. Data spasial yang digunakan pada penelitian ini adalah citra dari LANDSAT1 untuk tahun 1978, LANDSAT4 untuk tahun 1995, dan LANDSAT7 untuk tahun Citra yang telah diperoleh telah dikoreksi geometrik dan di subset area penelitian. Selain itu, dikarenakan tutupan awan pada citra LANDSAT4 tahun 1995 yang tersedia sangat tinggi, perlu dilakukan proses masking dengan citra LANDSAT4 tahun 1996, yaitu menambal tutupan awan pada tahun 1995 dengan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1996, dengan asumsi bahwa penutupan lahan pada kedua periode tersebut tidak berubah secara signifikan. Analisis Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Supervised Classification, yaitu dengan membuat training area sesuai dengan kelas penutupan lahan yang telah disebutkan di atas dengan menggunakan software ERDAS Imagine 9.2. Setelah mendapatkan peta penutupan lahan dari tiap DAS pada tiap periode, ketepatan hasil tersebut telah diuji dengan menggunakan accuracy assessment, dengan akurasi minimal 75%. Setelah itu telah dilakukan perbandingan perubahan pentupan lahan dari ketiga periode tersebut dengan menggunakan metode Post Comparison Classification. Supervised Classification Metode klasifikasi terbimbing ini didasarkan pada statistik dari training area yang merepresentasikan objek pada lahan yang berbeda, yang dipilih secara subjektif oleh pengguna berbasis pada pengetahuan dan pengalaman pengguna itu sendiri (Liu dan Mason 2012). Penelitian ini menggunakan Maximum Likelihood Classifier, yaitu metode yang umum digunakan dalam melakukan klasifikasi penutupan lahan. Metode ini mempertimbangkan peluang suatu piksel pada training area yang sudah dibuat untuk dikelaskan pada kelas tertentu. Training Area Pembuatan training area merupakan bagian terpenting dari melakukan klasifikasi penutupan lahan. Training area yang dibuat untuk setiap kelas penutupan lahan harus bisa dengan jelas membedakan satu kelas dengan yang lainnya pada citra. Sebelum melalui tahap pembuatan training area, perlu ditetapkan batasan yang jelas mengenai kelas-kelas yang telah diklasifikasikan untuk memberi kejelasan saat pembuatan training area. Batasan deskriptif untuk setiap kelas penutupan lahan bisa dilihat pada Tabel 3.

21 Pembuatan training area pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan AOI Tools pada software ERDAS, yaitu dengan membuat polygonpolygon yang terdiri dari 9 sampai 16 piksel dengan gradasi warna yang serupa. Setiap kelas penutupan lahan terdiri dari minimal 10 training area. Tabel 3 Kriteria kelas penutupan lahan No. Label Kelas Deskripsi 1 Awan Seluruh area yang berupa kumpulan piksel berwarna putih yang menutupi penutupan lahan di bawahnya (no data). 2 Badan air Seluruh area yang didominasi oleh perairan. 3 Hutan Hamparan yang didominasi oleh pepohonan. 4 Kebun Seluruh lahan yang ditanami tanaman kebun dengan tutupan dan diameter tajuk yang seragam. 5 Lahan kosong Seluruh lahan tanah kosong yang tidak dimanfaatkan. 6 Pemukiman Seluruh lahan terbangun berupa perumahan atau bangunan lainnya. 7 Sawah Seluruh lahan kering maupun basah yang ditanami tanaman padi dan palawija. 8 Semak belukar Seluruh lahan yang ditumbuhi vegetasi rendah sampai tinggi yang tumbuh secara liar. Accuracy Assessment Pendugaan akurasi dilakukan setelah peta penutupan lahan tahun 2012 telah dihasilkan untuk mengukur validitas peta klasifikasi penutupan lahan yang telah dibuat pada taraf persentase akurasi. Akurasi tersebut ditampilkan dalam bentuk matriks kesalahan (error matrix). Matriks kesalahan tersebut memberikan informasi mengenai galat klasifikasi berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau emission dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau comission. Akurasi hasil klasifikasi secara keseluruhan dapat diukur menggunakan akurasi Kappa (Kappa accuracy). Kappa dapat digunakan untuk mengukur kesesuaian antara model prediksi dengan realitas (Congalton, 1991). Penghitungan akurasi Kappa memperhitungkan seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan, sehingga metode ini lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode akurasi Kappa dengan software ERDAS. Secara matematis, akurasi Kappa dirumuskan sebagai berikut: r N X i Zi. Yi i 1 i 1 k x100% 2 N Zi. Yi Keterangan: Zi = jumlah piksel pada baris ke-i Yi = jumlah piksel dalam kolom ke-i Xi = piksel pada diagonal utama N = jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan r 9

22 10 Deteksi Perubahan Penutupan Lahan Setelah peta klasifikasi penutupan lahan pada tiap DAS dan tiap periode telah dibuat, telah dicari perubahan penutupan lahan pada tiap DAS dari ketiga periode yang telah disebutkan. Untuk mengetahuinya, digunakan metode Post Classification Comparison. Ilustrasi matriks metode ini disajikan pada Gambar 4. Metode ini menggunakan fungsi perkalian antara nilai kelas penutupan tahun 1978 dengan tahun 1995, dan nilai kelas penutupan lahan tahun 1995 dengan tahun 2012 yang telah di-recode terlebih dahulu. Proses tersebut telah menghasilkan image baru berupa peta penutupan lahan yang mengalami perubahan dan yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut. Proses recode dilakukan menggunakan software ERDAS, yang selanjutnya telah dilakukan fungsi perkalian nilai antar kelas dengan menggunakan modeler fungsi perkalian. Dari hasil perkalian matriks tersebut telah diperoleh kelas penutupan lahan dengan nilai baru yang menggambarkan perubahan masing-masing kelas dalam kurun waktu , dan Gambar 4 Matriks post classification comparison Analisis Driving Factor Perubahan Analisis Driving Factor perubahan penutupan dan penggunaan lahan DAS dapat diketahui melalui pendekatan persamaan Logistic Regression Analysis, yang menggunakan model regresi dengan variabel terikat alternatif (Mironuic dan Robu, 2012). Logistic Regression Analysis digunakan melalui pendekatan pemodelan matematik yang dapat mendeskripsikan hubungan dari 8 variabel penduga (X1, X2,,X8) dengan variabel tujuan (Y) (Tabel 4).

23 11 Tabel 4 Variabel-variabel dalam Logistic Regression Analysis Variabel Tujuan (Y) Variabel Perubahan (0 = tidak berubah; 1 = berubah) Variabel Penduga (X) 1. Jenis tanah 2. Elevasi 3. Kemiringan lereng 4. Curah hujan 5. Jumlah Penduduk 6. Kepadatan penduduk 7. Jarak ke Pusat Kota 8. Jarak dari jalan Nilai yang masuk ke dalam model tersebut adalah nilai piksel dari variabel y untuk setiap variabel x yang diduga. Karena jumlah total piksel baik di DAS Cimandiri dan DAS Cibuni mencapai lebih dari piksel, maka digunakan sampling untuk mengambil titik acak yang mewakili setiap DAS. Metode sampling yang digunakan adalah dengan rumus Slovin sebagai berikut: N n = 1 + Ne 2 Keterangan: n = jumlah sampel N = jumlah populasi e = batas toleransi kesalahan (5%) Dengan menggunakan rumus Slovin tersebut, didapat 400 sampel untuk setiap DAS, dan digunakan fungsi create random points di ArcGIS untuk membuat 400 sampling acak di setiap DAS. HASIL DAN PEMBAHASAN Letak Geografis Tapak Kondisi Umum Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimandiri dan Cimandiri merupakan DAS yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Hulu DAS Cimandiri terletak di pegunungan Gede-Pangrango pada bagian timur laut, mengalir menuju Teluk Pelabuhan Ratu di selatan Jawa Barat, sedangkan hulu DAS Cibuni terletak di dataran tinggi Kecamatan Rancabali, mengalir menuju Kecamatan Tegal Buleud dan bermuara ke Samudra Hindia. Letak geografis dari kedua DAS ini saling bersebelahan, dengan DAS Cimandiri yang terletak pada 6 o sampai 7 o 8 45 LS dan 106 o sampai 107 o 4 50 BT dan DAS Cibuni yang terletak pada 7 o 0 40 sampai 7 o LS dan 106 o sampai 107 o BT. Berdasarkan deliniasi batas DAS oleh Kemenhut, DAS Cimandiri memiliki luas hektar yang membentang dari Kabupaten Sukabumi sampai ke

24 12 sebagian Kabupaten Cianjur, sedangkan DAS Cibuni memiliki luas hektar yang membentang dari Kabupaten Sukabumi, Cianjur, dan sebagian Bandung. Dengan deliniasi batas DAS oleh Kemenhut yang di-overlay dengan batas administratif kecamatan Indonesia oleh BPS, DAS Cimandiri meliputi 43 kecamatan dalam Kabupaten Sukabumi, dan 7 kecamatan dalam Kabupaten Cianjur (Gambar 5) dan DAS Cibuni meliputi 8 kecamatan dalam Kabupaten Sukabumi, 12 kecamatan dalam Kabupaten Cianjur 2 kecamatan dalam Kabupaten Bandung, dan 2 kecamatan dalam Kabupaten Bandung Barat (Gambar 6). Jenis Tanah Gambar 5 Peta batas kecamatan DAS Cimandiri Jenis tanah di DAS Cimandiri dan Cibuni didominasi oleh tanah latosol (Gambar 7 dan Gambar 8). Menurut Dudan dan Suparaptoharjo (1957), tanah latosol merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dengan kandungan bahan organik, mineral primer dan unsur hara rendah, bereaksi masam (ph 4,5 5,5), tanah berwarna merah, coklat kemerahan hingga coklat kekuningan atau kuning. Walaupun kandungan unsur haranya rendah, tanah latosol bisa ditanami oleh padi (persawahan), sayur-sayuran dan buah-buahan, palawija, kelapa sawit, karet, cengkeh, kopi dan lada. Dari identifikasi jenis tanah tersebut, dapat dikatakan bahwa lahan pada kedua DAS sesuai untuk lahan pertanian dan perkebunan.

25 13 Gambar 6 Peta batas kecamatan DAS Cibuni Gambar 7 Peta jenis tanah DAS Cimandiri

26 14 Gambar 8 Peta jenis tanah DAS Cibuni Jenis tanah merupakan salah satu variabel yang dianalisis pengaruhnya terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Hal tersebut karena penutupan dan penggunaan yang berbasis lahan sangat berkaitan dengan jenis tanahnya karena tanah merupakan salah satu kriteria terpenting dalam kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan. Jenis tanah yang sesuai untuk berbagai penggunaan lahan memungkinkan terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan di lahan itu sendiri. Elevasi Topografi merupakan aspek utama dalam analisis lahan berskala DAS karena DAS itu sendiri terbentuk dari kondisi topografi. Dengan menggunakan data Digital Elevation Model (DEM) dari ASTER GDEM, informasi mengenai ketinggian dan kemiringan lahan di kedua DAS dapat diketahui. Selanjutnya, informasi ketinggian tempat di DAS bisa menjadi acuan utama dalam pembagian daerah DAS: hulu, tengah, dan hilir, dimana tempat dengan ketinggian tinggi merupakan daerah hulu, dan yang paling rendah menuju laut adalah daerah hilir. Mengacu kepada peta elevasi kedua DAS (Gambar 9 dan Gambar 10), dapat diketahui bahwa wilayah dengan warna merah sampai dengan warna jingga merupakan daerah hulu, warna kuning adalah daerah tengah, dan warna hijau adalah daerah hilir. Walaupun tidak ada deliniasi yang jelas, konsep hulu-tengahhilir sudah cukup menjelaskan keterkaitan daerah-daerah itu sendiri dalam satu lingkup DAS, dimana siklus air dalam satu DAS akan mengalir dari daerah hulu sampai ke hilir. Faktor elevasi diduga memberikan pengaruh terhadap perubahan penutupan lahan karena daerah hilir cenderung lebih dimanfaatkan daripada daerah hulu di sebuah DAS.

27 15 Gambar 9 Peta elevasi DAS Cimandiri Gambar 10 Peta elevasi DAS Cibuni

28 16 Kemiringan Lereng Kondisi kemiringan lahan di kedua DAS tersebut berdasarkan klasifikasi kemiringan lahan menurut Kemenhut (2013) dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Kondisi kemiringan lahan di DAS Cimandiri memiliki lahan datar yang lebih besar daripada DAS Cibuni, sehingga memang lebih memungkinkan untuk dibangun kota besar dan akses utama yang lebih baik daripada di DAS Cibuni. Kemiringan lahan juga merupakan variabel yang dianalisis pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan karena sama seperti jenis tanah, kemiringan lahan juga menjadi kriteria terpenting dalam kesesuaian lahan. Penggunaan lahan, khususnya yang diperuntukkan untuk aktivitas manusia, akan cenderung dikembangkan pada lahan dengan kemiringan lahan landai karena daerah tersebutlah yang paling memungkinkan untuk ditempati oleh manusia. Sebaliknya, daerah dengan kondisi kemiringan yang sangat curam cenderung dikonservasi untuk penggunaan ekologis karena dapat memberi dampak negatif baik bagi manusia maupun lingkungan apabila digunakan untuk kebutuhan manusia. Curah Hujan Berdasarkan peta rata-rata curah hujan tahunan periode di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat oleh BMKG, DAS Cimandiri dan DAS Cibuni memiliki curah hujan sekitar mm/tahun (Gambar 13 dan Gambar 14). Dalam skala DAS, curah hujan yang merupakan data diskontinyu bisa menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi di hulu DAS, mengakibatkan pendangkalan sungai di hilir akibat sedimentasi. Hal tersebut bisa terjadi apabila tutupan vegetasi di hulu yang pada dasarnya bisa menampung curah hujan, dikonversi menjadi tutupan lahan lain sehingga terjadi run off air hujan dan melimpah ke sungai utama. Curah hujan dan temperatur merupakan faktor terpenting dalam pembentukan agro climatical zone. Selain itu, curah hujan dan faktor iklim lainnya juga mempengaruhi tingkat kenyamanan manusia dalam menempati suatu wilayah. Tempat dengan tingkat kenyamanan yang rendah cenderung dihindari dalam pembangunan lanskap untuk keperluan rekreatif. Hal tersebut yang menjadi landasan kenapa curah hujan menjadi salah satu variabel yang dianalisis pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Dengan menggabungkan antara peta batas kecamatan di kedua DAS dengan data kependudukan tahun 2010 dari BPS Kabupaten yang bersangkutan (Lampiran 1 dan 2), dihasilkan peta jumlah penduduk (Gambar 15 dan Gambar 16) dan kepadatan penduduk (Gambar 17 dan Gambar 18). Pada peta kepadatan penduduk, ada beberapa kecamatan yang dihilangkan karena kecamatan-kecamatan tersebut tidak seluruhnya berada pada deliniasi DAS. Sehingga, apabila dikalkulasikan kepadatannya, maka akan menghasilkan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan akan menjadi data pencilan yang bisa mengurangi akurasi model Logistic Regression Analysis yang akan dibuat.

29 17 Gambar 11 Peta kemiringan lereng DAS Cimandiri Gambar 12 Peta kemiringan lereng DAS Cibuni

30 18 Gambar 13 Peta curah hujan tahunan DAS Cimandiri Gambar 14 Peta curah hujan tahunan DAS Cibuni

31 19 Gambar 15 Peta jumlah penduduk DAS Cimandiri Gambar 16 Peta jumlah penduduk DAS Cibuni

32 20 Gambar 17 Peta kepadatan penduduk DAS Cimandiri Gambar 18 Peta kepadatan penduduk DAS Cibuni

33 Kebutuhan manusia akan lahan merupakan fenomena yang akan terus berlangsung. Selain untuk tempat tinggal, lahan juga digunakan untuk mencari sumber makanan dan kebutuhan hidup lainnya. Semakin banyak jumlah manusia yang memadati suatu tempat, maka akan semakin banyak juga kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga lahan yang diperlukan juga semakin banyak. Asumsi tersebut yang menjadi landasan untuk menganalisis kedua variabel tersebut, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk. Jarak dari Pusat Kota Variabel lainnya yang diidentifikasi adalah jarak dari pusat kota yang dipetakan secara spasial pada kedua DAS. Peta ini dihasilkan dengan menggunakan fungsi euclidean distance pada ArcGIS, yaitu membuat area buffer dari titik-titik balai kota di dalam maupun di luar wilayah DAS. Terdapat 2 titik pusat kota di DAS Cimandiri (Gambar 19), yaitu Kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu, sementara di DAS Cibuni tidak ada titik pusat kota sama sekali (Gambar 20). Semakin dekat suatu tempat dengan pusat kota, kecenderungan terjadinya perubahan penutupan lahan akan lebih tinggi daripada yang jauh dengan pusat kota. 21 Gambar 19 Peta jarak dari pusat kota DAS Cimandiri Jarak dari Jalan Utama Selain jarak dari pusat kota, jarak dari jalan juga merupakan variabel yang diduga mempengaruhi perubahan penutupan lahan. Jalan utama merupakan jalur sirkulasi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Berkembangnya pembangunan di suatu tempat juga dapat diukur dari kondisi jalan di tempat tersebut.

34 22 Saat ini banyak kota atau daerah di Indonesia yang pola pembangunannya mengikuti bentuk jalannya. Ketika dibangun jalan, maka saat itu juga di sisi kanan dan kiri jalan tersebut akan mulai terjadi pembangunan-pembangunan. Pada DAS Cimandiri, terdapat dua jenis jalan utama, yaitu jalan kolektor dan jalan tol nasional (Gambar 21), sedangkan pada DAS Cibuni hanya terdapat satu jenis, yaitu jalan kolektor (Gambar 22). Peta jarak dari jalan utama ini juga dibuat dengan fungsi yang sama dengan jarak dari pusat kota, yaitu fungsi euclidean distance. Gambar 20 Peta jarak dari pusat kota DAS Cibuni Penutupan dan Penggunaan Lahan Jenis penutupan dan penggunaan lahan yang diamati pada penelitian ini sesuai dengan kelas penutupan dan penggunaan lahan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu badan air, hutan, kebun, lahan kosong, pemukiman, sawah, dan semak belukar. Luas penutupan lahan minimal yang dapat diidentifikasi adalah seluas m 2 pada tahun 1978 dan 900 m 2 pada tahun 1995/6 dan 2012 yang merupakan ukuran satu piksel dari citra LANDSAT yang digunakan. Untuk mengidentifikasi setiap kelas penutupan lahan tersebut, dilakukan ground truth check pada tapak untuk mengambil data primer berupa dokumentasi di lapang serta untuk melihat kondisi aktual yang ada di tapak. Beberapa dokumentasi di lapang yang telah diambil antara lain:

35 23 Gambar 21 Peta jarak dari jalan utama DAS Cimandiri Gambar 22 Peta jarak dari jalan utama DAS Cibuni

36 24 Badan Air Badan air merupakan tutupan lahan berupa genangan air yang berada di atas permukaan tanah dan dibatasi oleh permukaan tanah. Beberapa jenis badan air yang diklasifikasikan menjadi kelas penutupan lahan badan air adalah danau atau situ dan sungai. Klasifikasi badan air menggunakan citra LANDSAT yang memiliki resolusi mengenah cenderung sulit dan kurang akurat karena ukurannya yang kecil seringkali tidak terklasifikasi secara spasial. Hutan Gambar 23 Tutupan badan air di Situ Gunung, Sukabumi Hutan merupakan tutupan lahan berupa kumpulan tegakan pohon yang tumbuh secara alami maupun buatan dengan tinggi dan tutupan tajuk yang massive dan acak. Tutupan lahan ini sering ditemukan di dekat puncak gunung, contohnya di Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak. Tutupan lahan hutan ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam beberapa penggunaan lahan, seperti hutan primer dan hutan sekunder, namun pengklasifikasian tersebut tidak dilakukan di penelitian ini karena analisis yang lebih spesifik tentang penggunaan lahan tersebut tidak digunakan kali ini. Gambar 24 Tutupan hutan di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango

37 25 Kebun Kebun merupakan tutupan lahan berupa kumpulan tanaman yang ditanam langsung oleh manusia, biasanya ditanam serempak sehingga tinggi dan diameter tajuknya seragam. Penutupan lahan ini akan terlihat mirip dengan hutan, namun karena jenis vegetasi pada perkebunan yang biasanya sama dan tutupan tajuknya yang seragam, secara spasial akan terlihat perbedaannya. Gambar 25 Kebun pisang di sekitar Taman nasional Gunung Gede Pangrango Lahan Kosong Lahan kosong merupakan tutupan lahan berupa hamparan tanah dan batu yang tidak dibangun perkerasan maupun ditanami vegetasi. Area tambang juga dapat diklasifikasikan ke dalam lahan kosong karena penampakkan tutupan lahannya sangat walaupun sedikit berbeda warnanya. Lahan kosong juga biasa ditemukan pada lahan yang sedang dipersiapkan untuk dikonversi menjadi tutupan atau penggunaan lahan lainnya. Gambar 26 Lahan kosong di wilayah Sukabumi

38 26 Pemukiman Pemukiman merupakan penutupan lahan yang terdiri dari lahan-lahan terbangun, baik perumahan, kawasan industri, maupun lahan perkotaan. Penutupan lahan ini akan mudah ditemukan di kota-kota besar, dalam penelitian kali ini di Kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu, dan di sekitar akses utama antar wilayah. Sawah Gambar 27 Kawasan pemukiman di wilayah Sukabumi Sawah merupakan penggunaan lahan pertanian yang dominan ditanami dengan tanaman padi dan palawija. Kondisi penggunaan lahan ini akan terlihat berbeda dari citra satelit baik sebelum masa panen, saat masa panen, dan saat musim hujan, sehingga proses klasifikasi untuk penutupan lahan ini akan lebih spesifik. Gambar 28 Lahan sawah basah di wilayah Sukabumi

39 27 Semak Belukar Semak belukar merupakan penutupan lahan yang didominasi oleh tanamantanaman pohon dan semak yang rendah yang tutupan tajuknya tidak rapat. Jenis tutupan lahan tersebut dapat ditemukan di sekitar tutupan lahan hutan karena tutupan lahan ini biasanya terbentuk akibat deforestasi yang tidak segera dikonversi menjadi tutupan lahan lainnya. Gambar 29 Semak belukar di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Klasifikasi Penutupan Lahan DAS Cimandiri dan DAS Cibuni Tahun 1978, 1995/6, dan 2012 Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan yang sudah dilakukan pada citra LANDSAT pada tiga periode tersebut menghasilkan masing-masing tiga periode peta penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni. Kondisi citra LANDSAT yang berawan di beberapa titik pada lokasi penelitian mengharuskan peneliti untuk mengklasifikasikan satu kelas penutupan lahan tambahan, yaitu awan. Awan didefinisikan sebagai kelas yang tidak memiliki informasi apapun mengenai tutupan lahan atau no data, karena kondisi yang berawan tersebut menutupi tutupan lahan yang ada di bawahnya. Selain awan, pada citra LANDSAT tahun 2012 terdapat stripping. Stripping adalah kondisi citra LANDSAT yang tidak sempurna dikarenakan oleh garis-garis hitam yang menutupi sebagian besar citra tersebut, sehingga informasi-informasi yang ingin didapatkan dari citra tersebut tidak optimal. Kondisi stripping ini bisa diperbaiki dengan metode gapfill (Gambar 30), yaitu dengan menambal garisgaris hitam di citra utama yang akan digunakan dengan menggunakan citra-citra lain yang periodenya hanya terpaut beberapa bulan dari citra utama. Penggunaan citra dengan periode yang sebentar tersebut dengan pertimbangan bahwa penutupan dan penggunaan lahan tidak secara signifikan terjadi dalam kurun waktu yang singkat, sehingga hasil tambalan dari peta-peta tersebut masih memiliki informasi yang cukup representatif mengenai tutupan dan penggunaan lahannya.

40 28 Gambar 30 Citra saat stripping dan setelah dilakukan gapfill Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cimandiri Berdasarkan Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 (Gambar 31), dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode ini adalah semak belukar yaitu sebesar ,24 ha atau sekitar 41,54 % dari total luas DAS Cimandiri, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah badan air jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 1.568,52 ha atau sekitar 0,86 % dari total luas DAS Cimandiri. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%) 1 Awan (no data) 3.127,32 1,70 2 Badan air 1.586,52 0,86 3 Hutan ,96 22,18 4 Kebun ,12 18,03 5 Lahan kosong 1.605,24 0,87 6 Pemukiman 2.973,6 1,62 7 Sawah ,48 13,19 8 Semak belukar ,24 41,54 Total ,48 100,00 Pada periode ini, Kabupaten Sukabumi memang belum banyak dimanfaatkan lahannya. Infrastruktur berupa jalan yang belum banyak di bangun pada saat itu merupakan salah satu aspek yang membatasi pembangunan pada DAS ini. Aksesibilitas yang lebih mudah dan diutamakan pada periode tersebut adalah melalui jalur air, karenanya wilayah Pelabuhan Ratu merupakan salah satu yang wilayah yang sudah mulai dikembangkan pada saat itu. Uji akurasi klasifikasi penutupan lahan tidak dilakukan pada periode ini karena memerlukan metode yang lebih spesifik lagi dalam membuat reference point di periode waktu yang jauh dari waktu saat ini. Reference point itu sendiri merupakan suatu titik geogrfis yang memiliki informasi mengenai penutupan lahan aktual di tapak, sehingga dapat dijadikan acuan untuk menguji akurasi hasil klasifikasi. Penelusuran arsip peta rupa muka bumi dan wawancara langsung dengan warga sekitar yang mengetahui penutupan lahan pada periode tersebut

41 merupakan salah satu cara untuk mendapatkan reference point yang dimaksud, namun hal tersebut memerlukan kajian tersendiri yang lebih lanjut sehingga tidak dilakukan pada penelitian ini. 29 Gambar 31 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 Karena uji akurasi menggunakan reference point tidak digunakan, maka cara lain untuk menguji akurasi klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan nilai keterpisahan antar kelas (Tabel 6). Nilai keterpisahan antar kelas digunakan untuk menguji tingkat kemiripan training area antar kelas penutupan lahan yang telah diklasifikasi. Semakin tinggi nilai keterpisahannya, maka pembuatan training area yang telah dilakukan semakin baik dalam membedakan antar kelas penutupan lahan. Matriks nilai keterpisahan hanya akan ditampilkan pada pembahasan DAS Cimandiri karena nilai keterpisahan kedua DAS sama pada setiap periode. Tabel 6 Matriks nilai keterpisahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 Penutupan Lahan Awan Badan air , , , Hutan Ladang Lahan kosong , , ,85 Pemukiman , Sawah , , , ,87 Semak belukar , ,87 0 Xmin = 1.382,23 Xmax = X rata-rata = 1.977,64

42 30 Pada hasil klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 (Gambar 31), rata-rata nilai keterpisahannya adalah sebesar 1.997,64, sehingga dapat dikatakan bahwa interpretasi peneliti saat melakukan klasifikasi sangat baik. Nilai keterpisahan terendah terdapat antara kelas sawah dengan lahan kosong, yaitu sebesar 1.382,23. Peta tahun 1978 merupakan peta yang masih memiliki 4 band peta, sehingga variasi nilai spektrum yang ada di peta pun menjadi lebih sedikit. Rendahnya nilai separabilitas antara kelas sawah dan lahan kosong bisa terjadi karena rendahnya nilai spektrum yang membedakan antara kedua kelas penutupan lahan tersebut. Periode berikutnya adalah tahun 1995/6, periode ini memiliki kurun waktu, berbeda dari periode lainnya. Hal tersebut dikarenakan tutupan awan pada tahun 1995 dan 1996 sangat tinggi, sehingga apabila hanya menggunakan satu periode saja, maka akan menghasilkan peta tutupan lahan dengan tutupan awan yang sangat tinggi. Peta hasil klasifikasi pada periode ini dihasilkan dengan melakukan koreksi tutupan awan melalui proses masking pada peta hasil klasifikasi tahun 1995 dengan peta tahun 1996, dengan asumsi bahwa penutupan lahan tidak berubah secara signifikan selam periode kurang dari 1 tahun. Hasil klasifikasi pada periode tersebut (Gambar 32) menunjukkan bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode tersebut adalah sawah yaitu sebesar ,86 ha atau sekitar 30,10% dari total luas DAS Cimandiri, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah lahan kosong jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar ha atau sekitar 0,44% dari total luas DAS Cimandiri. Berbeda dari periode sebelumnya, pada periode ini sawah mendominasi DAS Cimandiri. Kabupaten Sukabumi merupakan daerah yang memiliki karakteristik perekonomian agraris, dimana sektor pertanian masih mendominasi perekonomian daerah. Pada periode 1990-an, Kabupaten Sukabumi dikelompokkan pada daerah yang masih tradisional dengan kontribusi sektor industri di bawah angka sepuluh persen (Irena, 2013). Pembangunan lahan pemukiman juga sudah mulai dilakukan, terlihat peningkatan persentasenya dari 1,62% menjadi 4,00%, yang terpusat di kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6 No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%) 1 Awan (no data) 6.707,70 3,66 2 Badan air 1.439,91 0,79 3 Hutan ,47 25,91 4 Kebun ,23 7,73 5 Lahan kosong 809,19 0,44 6 Pemukiman 7.321,86 4,00 7 Sawah ,86 30,10 8 Semak belukar ,54 27,36 Total ,76 100,00

43 31 Gambar 32 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6 Pada hasil klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6, rata-rata nilai keterpisahannya adalah sebesar 1.990,67, sehingga dapat dikatakan bahwa interpretasi peneliti saat melakukan klasifikasi sangat baik (Tabel 8). Nilai keterpisahan terkecil terdapat antara kelas sawah dengan semak belukar, yaitu sebesar 1.740,53, walaupun nilai keterpisahan tersebut termasuk sangat tinggi. Dari hasil klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri pada dua periode ini, hasil nilai keterpisahannya tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa akurasi kedua peta tersebut akurat, namun belum bisa dikatakan valid karena tidak dievaluasi menggunakan data aktual yang ada di lapangan. Tabel 8 Matriks nilai keterpisahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6 Penutupan Lahan Hutan Badan air Ladang Lahan kosong , Pemukiman Sawah Semak belukar , ,53 Awan ,53 0 Xmin= 1.740,53 Xmax= Xrata-rata=1.990,67 Hasil klasifikasi pada periode berikutnya, tahun 2012 (Gambar 33), menunjukkan bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode tersebut adalah sawah yaitu sebesar ,62 ha atau sekitar 32,32% dari total luas DAS Cimandiri, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah badan air jika dibandingkan

44 32 dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 674,19 ha atau sekitar 0,37% dari total luas DAS Cimandiri. Gambar 33 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 2012 Sama seperti periode sebelumnya, penutupan lahan sawah kembali mendominasi pada periode ini. Terjadinya penurunan luas semak belukar pada periode ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi pemanfaatan lahan semak belukar yang tidak fungsional menjadi penggunaan lahan lain yang fungsional, seperti pemukiman, sawah, dan perkebunan. Konversi lahan menjadi lahan terbangun merefleksikan pertumbuhan nasional sebagai destinasi rekreasi dan tempat peristirahatan (Napton et al., 2010). Penutupan lahan hutan juga meningkat pada periode ini. Lahan pertanian yang terabaikan memungkinkan untuk beregenerasi menjadi hutan (Schweizer dan Matlack, 2013). Selain itu, badan air merupakan tutupan lahan yang selalu menurun dari tahun 1978 sampai dengan Hal tersebut dapat terjadi karena pembangunan yang pesat di wilayah hulu (kota Sukabumi) sehingga aliran sungai di hilir mengalami sedimentasi yang menyebabkan penurunan luas permukaan badan sungai. Hilangnya vegetasi (hutan) pada suatu daerah aliran sungai, selain menyebabkan limpasan juga sekaligus meningkatkan laju erosi. Erosi yang berlangsung secara terus menerus pada musim hujan dapat menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas (top soil), yang kemudian terbawa aliran sungai dan seterusnya menyebabkan sedimentasi di sungai (pendangkalan sungai) (Mawardi, 2010). Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 9.

45 33 Tabel 9 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 2012 No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%) 1 Awan (no data) 4.093,56 2,23 2 Badan air 674,19 0,37 3 Hutan ,51 21,57 4 Kebun ,83 7,72 5 Lahan kosong ,63 5,91 6 Pemukiman ,95 6,36 7 Sawah ,62 32,32 8 Semak belukar ,90 23,52 Total ,19 100,00 Hasil klasifikasi peta penutupan lahan tahun 2012 diuji akurasinya dengan menggunakan metode accuraccy assessment. Uji akurasi tersebut disajikan dalam bentuk matriks kesalahan yang didapatkan setelah menggunakan fitur accuracy assessment dengan menggunakan software ERDAS (Tabel 10). Matriks kesalahan tersebut memberikan informasi mengenai kesalahan klasifikasi berupa kelebihan (omission) dan kekurangan (commission) jumlah piksel dari setiap kelas penutupan lahan. Kesalahan kelebihan piksel (omission eror) disebut juga dengan istilah akurasi pembuat (producer s accuracy). Akurasi pembuat adalah akurasi yang diperoleh dengan membagi jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Pada tabel pendugaan akurasi diatas diketahui bahwa akurasi pembuat tertinggi adalah kelas hutan dan pemukiman, yaitu sebesar 100%, sedangkan untuk akurasi pembuat terendah terdapat pada badan air dan semak belukar, yaitu sebesar 73,33%. Selain akurasi pembuat juga terdapat akurasi pengguna atau dikenal sebagai user s accuracy. Akurasi pengguna adalah akurasi yang diperoleh melalui pembagian antara jumlah piksel yang benar dengan total keseluruhan piksel setiap kelas, akurasi ini disebut dengan istilah kesalahan komisi (Commission eror). Pada tabel diketahui bahwa nilai akurasi tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan badan air sebesar 100%, sedangkan yang terendah terendah terdapat pada kelas penutupan sawah sebesar 76,47%. Tabel 10 Matriks kesalahan klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan tahun 2012 Kelas Data Acuan Total UA Baris % , , , , , ,57 Total Kolom PA 73, , ,67 73,33 Overal Accuracy 86,67 Kappa Accuracy 84,44 Ket: 1 = Badan air; 2 = Hutan; 3= Kebun; 4 = Lahan kosong; 5 = Pemukiman; 6 = Sawah; 7 = Semak belukar; UA = User s accuracy; PA = Producer s accuracy

46 34 Hasil akurasi keseluruhan klasifikasi dilihat dari akurasi umum overall accuracy) dan akurasi Kappa. Akurasi umum adalah akurasi yang dihitung berdasarkan pembagian antara jumlah keseluruhan piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dengan jumlah total piksel yang digunakan, sedangkan akurasi Kappa melibatkan seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur akurasi hasil klasifikasi. Overall dan Kappa accuracy dari hasil klasifikasi penutupan pada periode ini mencapai 86,67% dan 84,44%, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil klasifikasi tersebut sangat baik. Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cibuni Berdasarkan Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1978 (Gambar 34), dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode tersebut adalah semak belukar yaitu sebesar ,92 ha atau sekitar 47,54 % dari total luas DAS Cibuni, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah pemukiman jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 831,24 ha atau sekitar 0,58 % dari total luas DAS Cibuni. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1978 No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%) 1 Awan (no data) 1.135,44 0,79 2 Badan air 1.067,04 0,74 3 Hutan ,24 24,35 4 Kebun ,68 8,47 5 Lahan kosong 1.080,00 0,75 6 Pemukiman 831,24 0,58 7 Sawah ,16 16,79 8 Semak belukar ,92 47,54 Total ,72 100,00 DAS Cibuni merupakan DAS yang sebagian besar berada di kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur yang memiliki kondisi topografi pegunungan yang tinggi dan sangat curam memang tidak memungkinkan untuk dibuat kota besar yang mampu mendukung perkembangan infrastruktur di daerah tersebut. Kelas penutupan lahan semak belukar hampir mencapai 50% pada periode ini dan tutupan hutan yang hampir mencapai 25%, dengan kata lain hampir 3/4 bagian dari DAS Cibuni ini masih berupa tutupan lahan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia. Terlebih lagi dengan resolusi LANDSAT-1 yang masih cukup tinggi (70 x 70 m), pemukiman kecil di pegunungan yang seharusnya ada menjadi tidak terklasifikasi sama sekali. Pendugaan akurasi pada DAS Cibuni tidak lagi dibahas, baik dengan nilai keterpisahan ataupun dengan akurasi Kappa karena akurasi hasil klasifikasi di DAS Cimandiri dan Cibuni sama pada setiap periode.

47 35 Gambar 34 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1978 Selanjutnya pada peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1995/6 (Gambar 35), memiliki kondisi yang sama dengan DAS Cimandiri, yaitu kondisi tutupan awan yang sangat tinggi dan juga sudah dilakukan masking untuk meminimalisasi tutupan awan pada hasil klasifikasi periode ini. Dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode tersebut adalah hutan yaitu sebesar ,73 ha atau sekitar 32,93% dari total luas DAS Cibuni, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah lahan kosong jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 235,35 ha atau sekitar 0,17% dari total luas DAS Cibuni. Terjadi perubahan dominasi penutupan lahan pada periode ini, yaitu dari semak belukar menjadi hutan. Semak belukar yang merupakan kumpulan tanaman-tanaman rendah yang menyebar secara acak, yang apabila tidak dimanfaatkan sama sekali dalam kurun waktu yang lama, memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi hutan-hutan kecil. Dibandingkan dengan periode sebelumnya yang berjarak tahun, menjadi mungkin bahwa semak belukar yang tadinya mendominasi berubah secara alami menjadi tutupan hutan di DAS ini. Sawah dan pemukiman juga meningkat pada periode ini, menandakan bahwa sudah mulai ada aktivitas pemanfaatan lahan manusia yang lebih signifikan pada periode ini. Konversi lahan belum banyak dilakukan, terlihat dari luasan lahan kosong yang biasanya terjadi saat proses konversi lahan merupakan tutupan lahan paling sedikit pada periode ini. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 12.

48 36 Gambar 35 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1995/6 Tabel 12 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1995/6 No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%) 1 Awan (no data) 1.419,39 1,01 2 Badan air 790,65 0,56 3 Hutan ,73 32,93 4 Kebun ,51 11,18 5 Lahan kosong 235,35 0,17 6 Pemukiman 1.214,10 0,86 7 Sawah ,08 28,29 8 Semak belukar ,09 25,00 Total ,90 100,00 Pada Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 2012 (Gambar 36), dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode tersebut kembali menjadi semak belukar yaitu sebesar ,79 ha atau sekitar 29,99% dari total luas DAS Cibuni, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah badan air jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 582,20 ha atau sekitar 0,41% dari total luas DAS Cibuni. Pada periode ini, semak belukar kembali mendominasi penutupan lahan, walaupun berbeda sedikit dengan hutan dan sawah yang berada diantara angka 25 30%. Kemungkinan yang menyebabkan penutupan semak belukar kembali mendominasi pada periode ini adalah sudah direncanakannya alih fungsi lahan, namun tidak segera dilaksanakan sehingga lahan yang telah dikonversi ditumbuhi lagi tanaman menjadi semak belukar.

49 37 Gambar 36 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 2012 Arah alih fungsi penutupan lahan tersebut tidak dapat diidentifikasi dengan efektif karena cukup banyaknya informasi penutupan lahan yang tidak diketahui pada periode sebelumnya. Lahan pertanian juga kembali meningkat pada periode ini, walaupun lahan pemukiman tidak bertambah. Dapat dikatakan bahwa pemanfaatan lahan pada DAS Cibuni saat ini lebih banyak dilakukan untuk kebutuhan pertanian, dengan melihat peningkatannya yang konsisten dari ketiga periode tersebut. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 2012 No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%) 1 Awan (no data) 4.014,81 2,79 2 Badan air 583,20 0,41 3 Hutan ,53 24,81 4 Kebun ,03 7,65 5 Lahan kosong 5.581,44 3,88 6 Pemukiman 2.550,96 1,78 7 Sawah ,01 28,70 8 Semak belukar ,79 29,99 Total ,77 100,00

50 38 Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cimandiri dan Cibuni Kebutuhan manusia akan lahan yang sangat tinggi mendorong terjadinya konversi lahan, sesuai dengan kebutuhan penggunaan lahannya. Secara spasial, perubahan penutupan dan penggunaan lahan tidak dapat secara signifikan terlihat dalam kurun waktu yang singkat, sehingga informasi-informasi yang ingin diketahui dari perubahan tersebut tidak dapat digali secara optimal, maka dibutuhkan pengamatan penutupan lahan secara spasio-temporal. Pada penelitian ini, periode perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni yang digunakan berjarak 17 tahun secara berturut-turut, sehingga data yang dihasilkan dapat merepresentasikan dengan akurat perubahan yang terjadi. Deteksi perubahan penutupan lahan dilakukan dengan metode Post Classification Comparison, seperti yang sudah dijabarkan dalam metode analisis. Setelah nilai piksel yang telah di-recode terlebih dahulu dikalikan antar periode, didapatkan nilai-nilai baru yang menunjukkan informasi perubahan penutupan lahan di periode tersebut. Nilai-nilai tersebut disajikan dalam Tabel 14 dan Tabel 15. Dengan menggunakan informasi tersebut, tabel atribut dari hasil deteksi perubahan penutupan lahan dapat dipilah untuk mengetahui informasi perubahan penutupan lahan yang diperlukan. Tabel 14 Nilai penutupan lahan yang berubah Nilai Perubahan Nilai Perubahan 12 Badan air ke Hutan 105 Lahan kosong ke Pemukiman 13 Badan air ke Kebun 112 Lahan kosong ke Sawah 14 Badan air ke Lahan kosong 119 Lahan kosong ke Semak belukar 15 Badan air ke Pemukiman 99 Pemukiman ke Badan air 16 Badan air ke Sawah 108 Pemukiman ke Hutan 17 Badan air ke Semak belukar 117 Pemukiman ke Kebun 33 Hutan ke Badan air 126 Pemukiman ke Lahan kosong 39 Hutan ke Kebun 144 Pemukiman ke Sawah 42 Hutan ke Lahan kosong 153 Pemukiman ke Semak belukar 45 Hutan ke Pemukiman 110 Sawah ke Badan air 48 Hutan ke Sawah 120 Sawah ke Hutan 51 Hutan ke Semak belukar 130 Sawah ke Kebun 55 Kebun ke Badan air 140 Sawah ke Lahan kosong 60 Kebun ke Hutan 150 Sawah ke Pemukiman 70 Kebun ke Lahan kosong 170 Sawah ke Semak belukar 75 Kebun ke Pemukiman 121 Semak belukar ke Badan air 80 Kebun ke Sawah 132 Semak belukar ke Hutan 85 Kebun ke Semak belukar 143 Semak belukar ke Kebun 77 Lahan kosong ke Badan air 154 Semak belukar ke Lahan kosong 84 Lahan kosong ke Hutan 165 Semak belukar ke Pemukiman 91 Lahan kosong ke Kebun 176 Semak belukar ke Sawah

51 39 Tabel 15 Nilai penutupan lahan yang tetap Nilai Penutupan Lahan 11 Badan air 36 Hutan 65 Kebun 98 Lahan kosong 135 Pemukiman 160 Sawah 187 Semak belukar Korelasi Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cimandiri dan Cibuni Dengan membandingkan luasan penutupan lahan di setiap periode, delta perubahan luas antar periode serta laju perubahannya dapat diketahui. Informasi tersebut perlu disajikan untuk mengetahui besarnya perubahan yang terjadi untuk setiap kelas penutupan lahan dan seberapa cepat laju perubahannya dengan lebih akurat. Tabel tersebut disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17 di bawah. Kelas Penutupan Lahan Tabel 16 Perbandingan luas dan laju peningkatan DAS Cimandiri Perubahan Luas (ha) Persentase Perubahan Luas (%) /6 - Laju perubahan /6 1995/ / / / Awan 3.580, ,14 1,96-1,43 4,24-3,09 Badan air -146,61-765,72-0,08-0,42-0,54-4,74 Hutan 6.690, ,96 3,74-4,34 0,84-1,13 Kebun ,89 12,60-10,31 0,01-4,73 0,01 Lahan kosong -796, ,44-0,43 5,47-3,81 16,22 Pemukiman 4.348, ,09 2,38 2,36 5,01 2,91 Sawah , ,76 16,92 2,22 4,57 0,46 Semak belukar , ,64-14,18-3,84-2,34-0,93 Kelas Penutupan Lahan Tabel 17 Perbandingan luas dan laju peningkatan DAS Cibuni Perubahan Luas (ha) Persentase Perubahan Luas (%) /6 Laju perubahan /6 1995/ / / / Awan 283, ,42 0,22 1,79 1,24 6,50 Badan air -276,39-207,45-0,18-0,16-1,67-1,90 Hutan , ,20 8,58-8,12 1,55-1,64 Kebun 3.526, ,48 2,71-3,53 1,41-2,25 Lahan kosong -844, ,09-0,58 3,72-8,46 19,79 Pemukiman 382, ,86 0,29 0,91 2,10 4,64 Sawah , ,93 11,50 0,41 2,77 0,22 Semak belukar , ,70-22,54 4,99-3,70 1,27 Pada periode /6, kelas penutupan lahan dengan laju perubahan paling tinggi di DAS Cimandiri dan Cibuni adalah pemukiman dan sawah,

52 40 sementara pada periode 1995/ adalah lahan kosong dan pemukiman. Dari perolehan tersebut dapat dikatakan bahwa pada periode /6, pertanian sedang banyak dikembangkan di kedua DAS. Seperti pada pembahasan sebelumya, pada periode ini Kabupaten Sukabumi masih memfokuskan bidang pertanian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Didukung lagi dengan program PELITA yang menargetkan untuk membuka lahan pertanian sebanyakbanyaknya pada tahun 1980, dikenal dengan program pembukaan satu juta lahan pertanian di seluruh wilayah Indonesia. Pada pembahasan sebelumnya, telah disinggung bahwa secara spasial, lahan pertambangan dan indsutri terklasifikasikan sebagai lahan kosong. Pada periode 1995/6 2012, pembangunan sektor industri di Kabupaten Sukabumi diarahkan untuk mendorong terciptanya struktur ekonomi yang seimbang dan kokoh (BPS Kabupaten Sukabumi, 2013). Potensi penggalian di Kabupaten Sukabumi cukup banyak, sehingga lahan-lahan penggalian banyak yang dibuka. Deforestasi mulai terjadi pada periode ini di kedua DAS, walaupun laju perubahannya tidak begitu tinggi. Kedua sektor utama perekonomian tersebut tentu membutuhkan serapan tenaga kerja, sehingga baik pertumbuhan sektor pertanian maupun industri, akan turut mendorong pertumbuhan lahan pemukiman dan terbangun di sekitarnya. Konversi lahan menjadi pemukiman pada DAS Cimandiri lebih cepat laju perubahannya pada periode /6, sedangkan pada DAS Cibuni, konversi lahan tersebut lebih cepat pada periode 1995/ Arah konversi lahan menjadi pemukiman ini akan dibahas pada pembahasan berikutnya. Perubahan Penutupan Lahan di DAS Cimandiri Dari matriks yang telah disajikan di atas, terdapat dua jenis informasi yang dihasilkan dan dibahas pada bagian ini, yaitu perubahan penutupan lahan secara biner (berubah dan tidak berubah) dan perubahan penutupan lahan terhadap kelas penutupan lahan tertentu. Hutan merupakan tutupan lahan yang mulai menurun pada periode 1995/ Fenomena deforestasi ini akan mengakibatkan banyak dampak negatif bagi lingkungan sekitar apabila dilakukan tanpa kebijakan yang tepat, sehingga perlu dianalisis arah konversi lanskap hutan: berapa besar yang tetap, dan berapa besar yang berubah, serta menjadi tutupan lahan apa hutan tersebut berubah. Selain hutan, tutupan lahan semak juga menjadi aspek penting yang perlu dianalisis karena semak merupakan tutupan lahan yang cenderung mudah berubah menjadi penggunaan lahan lainnya. Oleh karena itu, arah perubahannya perlu diketahui dan dibahas lebih lanjut. Yang terakhir, pemukiman, merupakan salah satu indikator berkembangnya peradaban manusia di suatu tempat. Arah perubahan penutupan lahan menjadi pemukiman dianalisis untuk mengetahui besarnya penutupan lahan dari masing-masing kelas yang berubah menjadi lahan pemukiman. Pada DAS Cimandiri, dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang berubah selama periode /6 (59,85%) lebih besar daripada periode 1995/ (55,00%) (Tabel 18). Peta perubahan penutupan lahan DAS dapat dilihat pada Gambar 37 dan Gambar 38, sedangkan matriks perubahan penutupan lahannya disajikan pada Tabel 19.

53 Tabel 18 Perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri Perubahan /6 1995/ Luas (ha) Persentase Luas (ha) Persentase Tetap ,64 40,15% ,05 45,00% Berubah ,83 59,85% ,26 55,00% TOTAL ,47 100% ,31 100% Tabel 19 Matriks perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri Tahun /6 Tahun 1995/ Perubahan Luas (ha) (%) Perubahan Luas (ha) (%) Tetap Badan Air 437,76 0,25 Tetap Badan Air 346,95 0,20 Badan Air ke Hutan 58,32 0,03 Badan Air ke Hutan 144,00 0,08 Badan Air ke Kebun 44,46 0,03 Badan Air ke Kebun 26,19 0,02 Badan Air ke Lahan Kosong 12,96 0,01 Badan Air ke Lahan Kosong 103,05 0,06 Badan Air ke Pemukiman 80,46 0,05 Badan Air ke Pemukiman 73,89 0,04 Badan Air ke Sawah 798,57 0,46 Badan Air ke Sawah 626,04 0,36 Badan Air ke Semak 142,83 0,08 Badan Air ke Semak 82,44 0,05 Hutan ke Badan Air 210,6 0,12 Hutan ke Badan Air 19,80 0,01 Tetap Hutan ,78 13,41 Tetap Hutan ,90 14,03 Hutan ke Kebun 2.248,74 1,29 Hutan ke Kebun 2.884,05 1,67 Hutan ke Lahan Kosong 30,33 0,02 Hutan ke Lahan Kosong 510,30 0,30 Hutan ke Pemukiman 1.076,31 0,62 Hutan ke Pemukiman 543,78 0,31 Hutan ke Sawah 7.094,16 4,08 Hutan ke Sawah ,47 6,57 Hutan ke Semak 5.081,67 2,93 Hutan ke Semak 4.520,61 2,61 Kebun ke Badan Air 93,6 0,05 Kebun ke Badan Air 9,00 0,01 Kebun ke Hutan 8.605,44 4,95 Kebun ke Hutan 1.240,92 0,72 Tetap Kebun 3.369,78 1,94 Tetap Kebun 1.320,66 0,76 Kebun ke Lahan Kosong 86,94 0,05 Kebun ke Lahan Kosong 964,53 0,56 Kebun ke Pemukiman 1.030,68 0,59 Kebun ke Pemukiman 1.782,81 1,03 Kebun ke Sawah 9.514,35 5,48 Kebun ke Sawah 5.934,60 3,43 Kebun ke Semak 9.071,82 5,22 Kebun ke Semak 2.899,35 1,68 Lahan Kosong ke Badan Air 18,00 0,01 Lahan Kosong ke Badan Air 1,89 0,00 Lahan Kosong ke Hutan 114,75 0,07 Lahan Kosong ke Hutan 31,50 0,02 Lahan Kosong ke Kebun 106,02 0,06 Lahan Kosong ke Kebun 20,43 0,01 Tetap Lahan Kosong 15,21 0,01 Tetap Lahan Kosong 255,06 0,15 Lahan Kosong ke Pemukiman 81,09 0,05 Lahan Kosong ke Pemukiman 100,53 0,06 Lahan Kosong ke Sawah 711,36 0,41 Lahan Kosong ke Sawah 158,49 0,09 Lahan Kosong ke Semak 500,40 0,29 Lahan Kosong ke Semak 241,20 0,14 Pemukiman ke Badan Air 54,27 0,03 Pemukiman ke Badan Air 21,24 0,01 Pemukiman ke Hutan 150,39 0,09 Pemukiman ke Hutan 249,12 0,14 Pemukiman ke Kebun 215,91 0,12 Pemukiman ke Kebun 233,01 0,13 Pemukiman ke Lahan Kosong 12,60 0,01 Pemukiman ke Lahan Kosong 495,09 0,29 Tetap Pemukiman 446,40 0,26 Tetap Pemukiman 3.958,74 2,29 Pemukiman ke Sawah 1.614,42 0,93 Pemukiman ke Sawah 1.605,96 0,93 Pemukiman ke Semak 404,37 0,23 Pemukiman ke Semak 754,02 0,44 Sawah ke Badan Air 396,54 0,23 Sawah ke Badan Air 255,51 0,15 Sawah ke Hutan 2.526,75 1,45 Sawah ke Hutan 6.822,63 3,95 Sawah ke Kebun 2.392,65 1,38 Sawah ke Kebun 4.133,61 2,39 Sawah ke Lahan Kosong 91,62 0,05 Sawah ke Lahan Kosong 4.081,59 2,36 Sawah ke Pemukiman 2.368,71 1,36 Sawah ke Pemukiman 3.730,77 2,16 Tetap Sawah ,55 6,71 Tetap Sawah ,14 14,78 Sawah ke Semak 4.190,40 2,41 Sawah ke Semak ,55 6,10 Semak ke Badan Air 194,58 0,11 Semak ke Badan Air 15,48 0,01 Semak ke Hutan ,85 5,95 Semak ke Hutan 5.194,08 3,00 Semak ke Kebun 5.767,02 3,32 Semak ke Kebun 5.090,94 2,94 Semak ke Lahan Kosong 559,35 0,32 Semak ke Lahan Kosong 4.000,68 2,31 Semak ke Pemukiman 2.228,94 1,28 Semak ke Pemukiman 1.157,58 0,67 Semak ke Sawah ,60 13,62 Semak ke Sawah ,44 7,19 Tetap Semak ,16 17,57 Tetap Semak ,60 12,79 41

54 42 Gambar 37 Peta perubahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun /6 Gambar 38 Peta perubahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6 2012

55 Berdasarkan peta perubahan DAS Cimandiri, terlihat bahwa daerah Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak adalah yang paling stabil penutupan lahannya, selain itu terlihat juga bahwa tengah terjadi urbanisasi di Kota Sukabumi yang sudah banyak dibangun lahan pemukiman juga terlihat stabil dari tahun 1995/6 sampai Selain kedua wilayah tersebut, perubahan penutupan lahan terjadi secara menyebar dan memiliki pola yang mirip dari periode satu dengan lainnya. Merujuk kepada matriks perubahan penutupan lahan, beberapa arah perubahan penutupan lahan yang ingin dianalisis dapat disajikan dalam bentuk grafik, sehingga informasi yang diperoleh lebih efektif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perubahan dari hutan, dari semak, dan ke arah pemukiman perlu dianalisis lebih lanjut. Oleh karena itu, grafik konversi lahan dari hutan, dari semak, dan menuju pemukiman disajikan pada Gambar 39, Gambar 40, dan Gambar (ha) Hutan ke Badan Air Hutan ke Kebun 30 Hutan ke Lahan Kosong Hutan ke Pemukiman Hutan ke Sawah Hutan ke Semak Gambar 39 Grafik arah perubahan penutupan lahan dari hutan di DAS Cimandiri (ha) Semak ke Badan Air Semak ke Hutan Semak ke Kebun Semak ke Lahan Kosong Semak ke Pemukiman Semak ke Sawah Gambar 40 Grafik perubahan penutupan lahan dari semak di DAS Cimandiri (ha)

56 (ha) Badan Air ke Pemukiman Hutan ke Pemukiman Kebun ke Pemukiman Lahan Kosong ke Pemukiman Sawah ke Pemukiman Semak ke Pemukiman Gambar 41 Grafik perubahan penutupan lahan ke pemukiman di DAS Cimandiri Merujuk kepada grafik-grafik tersebut, konversi lahan dari hutan dan semak terbesar terjadi ke arah sawah untuk setiap periode. Kesuburan lanskap hutan dan semak belukar yang tinggi mendorong manusia untuk mengkonversi lahan tersebut agar memiliki nilai ekonomi yang lebih. Namun, konversi lahan menjadi pemukiman juga paling besar terjadi dari arah sawah. Hal tersebut bisa terjadi karena lahan sawah yang digunakan terus menerus tanpa dilakukan pemeliharaan terhadap lahannya, lama kelamaan akan menurunkan produktivitas tanaman produksi pada periode-periode berikutnya. Sehingga, lahan yang tidak produktif ini akan ditinggalkan oleh petani, dan dijual atau dibangun menjadi lahan pemukiman. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang ditujukkan untuk meningkatkan nilai ekonomi memang perlu dilakukan, namun proses konversi tersebut harus dilakukan secara bertahap. Hal tersebut ditujukkan agar dampak negatif dari berkurangnya lahan hutan tidak secara signifikan terjadi langsung di daerah-daerah sekitarnya. Dengan melakukannya secara bertahap, siklus alami yang terjadi di hutan akan sedikit demi sedikit diadaptasi di lahan-lahan pertanian yang baru dibuat, sehingga dampak-dampak yang tidak diinginkan akan dapat diminimalisasi. Sedangkan untuk konversi lahan menjadi pemukiman yang dominan berasal dari pertanian dapat diminimalisasi dengan memberikan edukasi kepada petani lokal agar dapat mengolah kembali lahan sawahnya yang sudah tidak produktif dengan penerapan pertanian organik. Petani lokal yang saat ini masih banyak bergantung kepada bahan-bahan kimia, dan pertanian instan dari zaman revolusi hijau harus dirubah paradigmanya untuk beralih ke pertanian organik agar sektor pertanian di wilayah Jawa Barat dapat lebih berkelanjutan dan produktivitasnya pun akan meningkat di kemudian hari. Perubahan Penutupan Lahan di DAS Cibuni Pada DAS Cibuni, diketahui bahwa penutupan lahan yang berubah selama periode /6 (60,54%) lebih besar dari periode 1995/ (55,77%) (Tabel 20). Peta perubahan penutupan lahan DAS dapat dilihat pada Gambar 42 dan Gambar 43, sedangkan matriks perubahan penutupan lahannya disajikan pada Tabel 21, dan grafiknya pada Gambar 44, Gambar 45, dan Gambar 46.

57 Tabel 20 Perubahan penutupan lahan secara umum di DAS Cibuni Perubahan /6 1995/ Luas (ha) Persentase Luas (ha) Persentase Tetap ,15 36,93% ,84 38,04% Berubah ,31 63,07% ,70 61,96% TOTAL ,46 100% ,54 100% Tabel 21 Matriks perubahan penutupan lahan di DAS Cibuni Tahun /6 Tahun 1995/ Perubahan Luas (ha) (%) Perubahan Luas (ha) (%) Tetap Badan Air 257,13 0,19 Tetap Badan Air 246,06 0,18 Badan Air ke Hutan 105,75 0,08 Badan Air ke Hutan 88,65 0,07 Badan Air ke Kebun 108,18 0,08 Badan Air ke Kebun 27,18 0,02 Badan Air ke Lahan Kosong 0,54 0,00 Badan Air ke Lahan Kosong 36,54 0,03 Badan Air ke Pemukiman 56,97 0,04 Badan Air ke Pemukiman 13,50 0,01 Badan Air ke Sawah 405,72 0,30 Badan Air ke Sawah 310,68 0,23 Badan Air ke Semak 51,30 0,04 Badan Air ke Semak 69,39 0,05 Hutan ke Badan Air 113,31 0,08 Hutan ke Badan Air 46,53 0,03 Tetap Hutan ,91 15,70 Tetap Hutan ,00 14,87 Hutan ke Kebun 2.259,45 1,65 Hutan ke Kebun 2.909,07 2,14 Hutan ke Lahan Kosong 29,52 0,02 Hutan ke Lahan Kosong 871,92 0,64 Hutan ke Pemukiman 253,35 0,19 Hutan ke Pemukiman 471,96 0,35 Hutan ke Sawah 5.133,42 3,75 Hutan ke Sawah ,76 7,73 Hutan ke Semak 4.477,86 3,27 Hutan ke Semak 8.522,64 6,26 Kebun ke Badan Air 30,24 0,02 Kebun ke Badan Air 32,13 0,02 Kebun ke Hutan 3.728,52 2,72 Kebun ke Hutan 1.752,03 1,29 Tetap Kebun 1.362,06 0,99 Tetap Kebun 1.752,84 1,29 Kebun ke Lahan Kosong 50,22 0,04 Kebun ke Lahan Kosong 745,74 0,55 Kebun ke Pemukiman 82,44 0,06 Kebun ke Pemukiman 554,58 0,41 Kebun ke Sawah 2.978,46 2,18 Kebun ke Sawah 7.402,77 5,44 Kebun ke Semak 3.443,85 2,52 Kebun ke Semak 3.569,76 2,62 Lahan Kosong ke Badan Air 7,92 0,01 Lahan Kosong ke Badan Air 0,27 0,00 Lahan Kosong ke Hutan 178,74 0,13 Lahan Kosong ke Hutan 76,32 0,06 Lahan Kosong ke Kebun 176,22 0,13 Lahan Kosong ke Kebun 26,73 0,02 Tetap Lahan Kosong 1,89 0,00 Tetap Lahan Kosong 9,90 0,01 Lahan Kosong ke Pemukiman 6,03 0,00 Lahan Kosong ke Pemukiman 2,79 0,00 Lahan Kosong ke Sawah 446,85 0,33 Lahan Kosong ke Sawah 50,58 0,04 Lahan Kosong ke Semak 216,45 0,16 Lahan Kosong ke Semak 71,10 0,05 Pemukiman ke Badan Air 16,29 0,01 Pemukiman ke Badan Air 2,88 0,00 Pemukiman ke Hutan 136,35 0,10 Pemukiman ke Hutan 297,18 0,22 Pemukiman ke Kebun 132,93 0,10 Pemukiman ke Kebun 19,71 0,01 Pemukiman ke Lahan Kosong 1,08 0,00 Pemukiman ke Lahan Kosong 110,70 0,08 Tetap Pemukiman 15,39 0,01 Tetap Pemukiman 150,48 0,11 Pemukiman ke Sawah 282,78 0,21 Pemukiman ke Sawah 236,70 0,17 Pemukiman ke Semak 212,49 0,16 Pemukiman ke Semak 368,73 0,27 Sawah ke Badan Air 176,67 0,13 Sawah ke Badan Air 224,19 0,16 Sawah ke Hutan 6.018,57 4,40 Sawah ke Hutan 6.776,91 4,98 Sawah ke Kebun 4.005,81 2,93 Sawah ke Kebun 3.475,53 2,55 Sawah ke Lahan Kosong 13,41 0,01 Sawah ke Lahan Kosong 1.855,80 1,36 Sawah ke Pemukiman 301,32 0,22 Sawah ke Pemukiman 778,14 0,57 Tetap Sawah 7.117,92 5,20 Tetap Sawah ,73 9,73 Sawah ke Semak 5.627,52 4,11 Sawah ke Semak ,46 9,65 Semak ke Badan Air 182,79 0,13 Semak ke Badan Air 20,70 0,02 Semak ke Hutan ,22 9,95 Semak ke Hutan 5.433,12 3,99 Semak ke Kebun 7.481,07 5,46 Semak ke Kebun 2.549,61 1,87 Semak ke Lahan Kosong 136,26 0,10 Semak ke Lahan Kosong 1.758,69 1,29 Semak ke Pemukiman 473,85 0,35 Semak ke Pemukiman 504,99 0,37 Semak ke Sawah ,59 16,93 Semak ke Sawah 8.627,04 6,34 Tetap Semak ,85 14,84 Tetap Semak ,83 11,85 45

58 46 Gambar 42 Peta perubahan penutupan lahan DAS Cibuni tahun /6 Gambar 43 Peta perubahan penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1995/6 2012

59 Sama seperti DAS Cimandiri, pola perubahan penutupan lahan di DAS Cibuni cenderung tetap di wilayah pegunungan yang didominasi oleh hutan. Untuk skala DAS, hal tersebut sudah sangat baik karena daerah pegunungan yang berada di wilayah hulu yang tetap dipertahankan hutan lindungnya akan melindungi wilayah-wilayah di bawahnya. Arah perubahan penutupan lahannya pun samak seperti DAS Cimandiri, perubahan dari hutan dan semak terbesar terjadi ke arah sawah. Namun, untuk perubahan ke arah pemukiman, semak menjadi yang tertinggi pada tahun /6 dan sawah pada tahun 1995/ (ha) Hutan ke Badan Air Hutan ke Kebun Hutan ke Lahan Kosong Hutan ke Pemukiman Hutan ke Sawah Hutan ke Semak Gambar 44 Grafik arah perubahan penutupan lahan dari hutan di DAS Cibuni (ha) Semak ke Badan Air Semak ke Hutan Semak ke Kebun Semak ke Lahan Kosong Semak ke Pemukiman Semak ke Sawah Gambar 45 Grafik arah perubahan penutupan lahan dari semak di DAS Cibuni

60 (ha) Badan Air ke Pemukiman Hutan ke Pemukiman Kebun ke Pemukiman Lahan Kosong ke Pemukiman Sawah ke Pemukiman Semak ke Pemukiman Gambar 46 Grafik arah perubahan penutupan lahan ke pemukiman di DAS Cibuni Perubahan penutupan lahan yang terjadi dari tahun 1978 sampai dengan 2012 telah diduga dan dianalisis penyebabnya. Beberapa penyebabnya antara lain: (1) program pembukaan 1 juta lahan pertanian yang berkaitan dengan ketinggian lahan dan kemiringan lerengnya, (2) rendahnya produktivitas lahan pertanian yang berkaitan dengan jenis tanah dan curah hujannya, (3) kebutuhan manusia akan lahan yang berkaitan dengan jumlah dan kepadatan penduduk, dan (4) urbanisasi yang berkaitan dengan jarak dari jalan utama dan pusat kota. Faktor-faktor yang terkait tersebut sesuai dengan variabel yang dihipotesis untuk analisis faktor pendorong perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Analisis berikutnya dilakukan untuk mengetahui faktor mana yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Faktor Pendorong Perubahan Penutupan Lahan Penutupan dan penggunaan lahan serta perubahannya telah diidentifikasi dan diduga penyebabnya. Dugaan-dugaan tersebut perlu dianalisis lebih lanjut signifikansi pengaruhnya terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan di kedua DAS. Diduga ada delapan variabel yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan di kedua DAS, yaitu jenis tanah (X1), elevasi (X2), kemiringan lereng (X3), curah hujan (X4), jumlah penduduk (X5), kepadatan penduduk (X6), jarak dari pusat kota (X7), dan jarak dengan jalan utama (X8). Dengan menggunakan menggunakan metode Logistic Regression Analysis, diketahui bahwa terdapat 4 variabel yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri, yaitu variabel elevasi (X2), curah hujan (X4), kepadatan penduduk (X6), dan jarak dari pusat kota (X7). Sedangkan di DAS Cibuni terdapat 3 variabel, yaitu elevasi (X2), kemiringan lahan (X3), dan kepadatan penduduk (X6). Persamaannya dapat dilihat pada Tabel 20. Nilai positif pada variabel mengartikan bahwa semakin tinggi variabel tersebut, maka perubahan semakin sering terjadi, sebaliknya nilai negatif mengartikan bahwa semakin tinggi variabel, maka perubahan semakin jarang terjadi.

61 49 Tabel 22 Persamaan model regresi logistic utuk driving factor DAS Periode Persamaan Cimandiri /6 Y = 4,795 0,02 X 2 0,0016 X 4 + 0,0003 X 6 + 0,00007 X 7 Cibuni /6 Y = 1,263 0,00007 X 2 0,015 X 3 Cimandiri 1995/ Y = 1,272 0,002 X 2 Cibuni 1995/ Y = 0,897 0,0008 X 2 + 0,0001 X 6 Elevasi (X2) Variabel ini memberikan pengaruh negatif di setiap DAS dan setiap periode, artinya perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni sangat dipengaruhi oleh ketinggian lahannya, dimana perubahan lebih cepat terjadi di daerah dataran rendah. Faktor elevasis sangat terkait dengan karakteristik umum di setiap DAS, dimana okupasi lahan di hilir lebih besar daripada di tengah, dan lebih besar daripada di hulu (Gambar 47). Elevasi dan kemiringan lereng merupakan dua hal yang saling terkait, karena pada umumnya lahan dengan kemiringan lereng yang curam biasanya terdapat di dataran tinggi menuju sedang, sedangkan lahan dengan kemiringan lereng yang landai biasanya terdapat di dataran rendah. Dari hasil yang didapatkan di penelitian ini, kedua variabel tersebut juga menunjukkan korelasi yang serupa. Berdasarkan hasil penelitian oleh MacDonald et al. (2000), lahan yang ditinggalkan biasanya terjadi pada ketinggian tinggi dan di lereng curam yang sulit diakses dengan mesin-mesin berat. Gambar 47 Ilustrasi pengaruh elevasi terhadap perubahan lahan (Sumber: Faktor Kemiringan Lereng (X3) Variabel kemiringan lereng memberikan pengaruh negatif pada DAS Cimandiri periode /6, dengan kata lain semakin landai lerengnya, maka perubahan penutupan dan penggunaan lahan akan semakin cepat (Gambar 48). Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dalam suatu

62 50 kota adalah bentuk lereng di mana semakin datar maka peluang untuk berubah khususnya menjadi area pemukiman semakin besar (Bourne 1982). Gambar 48 Ilustrasi pengaruh kemiringan lereng terhadap perubahan lahan Faktor Curah Hujan (X4) Pada DAS Cibuni periode /6, variabel curah hujan memberikan pengaruh negatif terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Semakin rendah curah hujan di suatu wilayah, maka perubahan penutupan lahanya semakin cepat. Kondisi tersebut dapat dibandingkan antara lanskap pertanian yang memiliki curah hujan tinggi dengan yang rendah. Tingginya curah hujan di lanskap tersebut akan berpengaruh terhadap kesuburan tanaman pertanian yang ada, sehingga lanskap tersebut akan lebih dipertahankan di DAS Cibuni yang juga memiliki karakteristik perekonomian agraris. Sebaliknya, apabila curah hujannya rendah, kesuburan tanamannya akan lebih buruk dibandingkan dengan lanskap dengan curah hujan yang tinggi, sehingga akan cenderung dirubah menjadi tutupan lahan lain yang tidak memerlukan curah hujan yang tinggi (Gambar 49). Keterbatasan dan ketidakteraturan curah hujan sering menjadi sebab penurunan dan kegagalan usaha pertanian (Yusuf 1991). Gambar 49 Ilustrasi pengaruh curah hujan terhadap perubahan lahan

63 51 Kepadatan Penduduk (X6) Berdasarkan dua variabel kependudukan yang dianalisis, ternyata variabel yang memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan adalah variabel kepadatan penduduk. Variabel tersebut berpengaruh positif di DAS Cimandiri pada periode /6 dan di DAS Cibuni pada periode 1995/ Notasi positif pada variabel tersebut memiliki arti bahwa semakin padat penduduk di suatu tempat, maka perubahan penutupan lahannya akan semakin cepat terjadi. Berdasarkan hasil penelitian oleh Shoshany dan Goldshleger (2002), reaksi publik dan perubahan kebijakan perencanaan fisik akan menyebabkan peningkatan efisiensi pemanfaatan ruang karena meningkatnya kepadatan penduduk di daerah yang lebih maju. Kota Sukabumi yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi merupakan salah satu wilayah dengan perubahan penutupan dan penggunaan lahan yang cepat, terutama ke arah pemukiman (Gambar 50). Gambar 50 Ilustrasi pengaruh kepadatan penduduk terhadap perubahan lahan Jarak dari Pusat Kota (X7) Variabel jarak dari pusat kota memberikan pengaruh positif pada DAS Cimandiri periode /6, sehingga dapat diartikan bahwa semakin jauh dari pusat kota, maka perubahan penutupan lahan akan semakin cepat terjadi. Berbeda dengan kondisi pada umumnya, dimana pusat kota adalah titik yang menjadi poros pembangunan di suatu wilayah. Namun apabila dilihat dari kondisi DAS Cimandiri, kedua pusat kota yang ada di DAS ini belum mampu untuk menjadi magnet bagi pembangunan di DAS itu sendiri, sehingga pembangunan masih tertarik ke arah pusat-pusat kota di arah utara (Jabodetabek). Selain itu, karena karakteristik perekonomiannya yang agraris, pembangunan terutama di bidang pertanian cenderung memilih lahan yang jauh dari kota karena kondisi lahannya yang masih baik dan harga lahannya yang relatif lebih murah dibanding di dekat kota (Gambar 51).

64 52 Gambar 51 Ilustrasi pengaruh jarak dari pusat kota terhadap perubahan lahan Rekomendasi Pengelolaan DAS Faktor-faktor pendorong perubahan penutupan lahan yang telah diketahui dapat dijadikan acuan dalam menyusun rekomendasi-rekomendasi pengelolaan di DAS Cimandiri dan Cibuni melalui pendekatan arsitektur lanskap. Rekomendasi tersebut disusun untuk menjawab permasalahan ketimpangan pembangunan dengan meminimalisasi kerusakan ekologi yang terjadi di kedua DAS akibat dari perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Beberapa rekomendasi pengelolaan DAS yang dapat disusun terkait faktor-faktor pendorong di atas adalah sebagai berikut: 1 Faktor kemiringan lereng (X2) dan elevasi (X7): mengonservasi lanskap hutan di dataran rendah dan landai dan mempertegas regulasi Pembahasan sebelumnya telah menyebutkan bahwa lahan datar dan dataran rendah memiliki kecenderungan untuk mengalami perubahan penutupan lahan. Lahan di dataran rendah dan landai memang sangat sesuai untuk kebutuhan manusia, namun pada lahan tersebut juga terdapat sistem ekologis yang seharusnya tidak diganggu. Untuk menghindari terjadinya kerusakan ekologis, terutama permasalahan kurangnya daerah resapan air karena penebangan hutan, lanskap hutan di daerah tengah-hilir perlu dikonservasi keberadaannya. Sementara untuk menunjang pembangunan, pemanfaatan lahan semak untuk daerah pertanian dan pemukiman bisa tetap dilakukan karena dampak ekologisnya yang masih dapat ditolerir. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 17 ayat 5, disebutkan bahwa dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai. Sementara itu, tutupan lahan hutan di DAS Cimandiri tahun 2012 hanya sebesar 21,57%, sedangkan di DAS Cibuni tahun 2012 hanya sebesar 24,81%. Apabila tidak dilakukan konservasi, angka tersebut akan semakin turun dan

65 dampaknya terhadap lingkungan akan semakin signifikan. Selain itu, untuk meningkatkannya mencapai angka 30%, reboisasi di daerah hulu bisa menjadi solusi yang tepat untuk dilakukan (Gambar 52). Selain hutan, lahan sawah juga memiliki kecenderungan yang tinggi untuk dikonversi menjadi pemukiman. Permasalahan ini memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap kondisi ekonomi dan ketahanan pangan masyarakat karena lahan pertanian menjadi tumpuan ekonomi Kabupaten Sukabumi yang memiliki karakteristik pertanian agraris. Konversi lahan pertanian tersebut dapat dikendalikan dengan cara meningkatkan pajak tanah untuk pembangunan lahan pemukiman, khususnya apabila dibangun menggantikan lahan pertanian. Dengan demikian, pembangunan lahan pemukiman akan memakan biaya yang sangat tinggi dan perusahaan properti yang tetap membangun akan mengalami kerugian. 53 Gambar 52 Ilustrasi rekomendasi konservasi dan reboisasi hutan 2 Faktor curah hujan (X3): meningkatkan infrastruktur sektor pertanian yang didukung dengan program penyuluhan kepada petani lokal Lanskap dengan curah hujan yang rendah, terutama di lanskap pertanian, diduga memiliki kesuburan tanah yang rendah, sehingga cenderung dapat dirubah menjadi penggunaan lahan lainnya. Karakteristik perekonomian agraris merupakan alasan utama mengapa lahan pertanian menjadi penggunaan lahan yang paling dominan di kedua DAS. Apabila lahan pertanian semakin banyak dikonversi menjadi pemukiman, maka kesejahteraan masyarakat yang secara ekonomi bertumpu pada pertanian akan semakin menurun. Salah satu cara untuk mencegah konversi lahan pertanian menjadi pemukiman adalah dengan meningkatkan infrastruktur dari sektor pertanian itu sendiri. Apabila masyarakat, khususnya petani merasa bahwa sektor pertanian lebih menjanjikan, maka konversi lahan pertanian pun akan berkurang. Selain itu juga perlu dukungan dari kebijakan pemerintah, seperti meningkatkan pajak tanah apabila tanah tersebut dikonversi dari pertanian. Dengan demikian, selain melakukan pemerataan pembangunan pada sektor pertanian, perubahan penutupan lahan pun dapat dicegah. Selain itu, salah satu cara untuk meningkatkan kesuburan tanah pada lahan dengan curah hujan yang rendah adalah dengan menerapkan sistem pertanian

66 54 organik. Dengan menggunakan kotoran hewan ternak dan pelapukan jerami, kandungan bahan organik pada lahan dapat meningkat. Namun dikarenakan kebanyakan petani lokal masih bergantung pada pestisida dan pertanian instant, hal tersebut akan sulit untuk diterapkan. Pengetahuan mengenai hal tersebut masih belum banyak diketahui oleh petani-petani lokal, oleh karenanya perlu dilakukan penyuluhan langsung ke daerah-daerah pertanian (Gambar 53). Selain pertanian organik, sistem pekarangan di lahan pertanian yang sudah terlanjur dijadikan pemukiman juga akan sangat baik untuk dilakukan. Dengan melakukan pemanfaatan lahan seperti itu, masyarakat menjadi mampu untuk melakukan kegiatan ekonomi baik di lahan pertanian maupun di rumahnya sendiri. Gambar 53 Ilustrasi rekomendasi penyuluhan pertanian organik dan pekarangan 3 Faktor kepadatan penduduk (X5) dan jarak dengan pusat kota (X6): Menekan urbanisasi di kota besar dengan melakukan migrasi ke daerah yang belum terlalu padat dan pembangunan vertikal Rekomendasi yang terakhir terkait kepadatan penduduk dan jarak dari pusat kota. Populasi penduduk, khususnya di kota-kota besar cenderung akan selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Selain bertambah dari datangnya warga dari desa, angka kelahiran di kota pun juga terus menambah kepadatan penduduk di perkotaan. Untuk membatasi ledakan populasi tersebut, perlu dipertegas kebijakan yang melarang migrasi dari desa ke kota. Didukung lagi dengan pemerataan pembangunan di wilayah pedesaan, khususnya pada bidang pertanian seperti pada rekomendasi nomor 2, sehingga penduduk desa merasa berkecukupan di desa tanpa harus pindah ke kota. Untuk menekan jumlah penduduk dari dalam kota itu sendiri, perlu menghidupkan lagi program Keluarga Berencana (KB) yang ditujukan kepada masyarakat di daerah yang sudah padat penduduknya. Dengan program KB yang publikasinya baik serta sarana dan fasilitas pelayanan kepada masyarakatnya turut menunjang, populasi penduduk di daerah tersebut bisa lebih dikontrol, sehingga kepadatan penduduk pun dapat ditekan. Selain KB, bisa juga dengan melakukan migrasi dari kota ke daerah yang masih belum berkembang. Namun, proses migrasi ini bukan untuk menyebabkan perubahan penutupan lahan di daerah tujuan migrasi itu sendiri, melainkan memanfaatkan sumberdaya yang sudah ada tanpa merubahnya (Gambar 54). Penyamarataan penduduk ini juga dapat memberikan pengaruh untuk menyelesaikan masalah ketimpangan pembangunan yang terjadi di kedua DAS.

67 Selain dengan program migrasi, kepadatan penduduk yang sangat identik dengan pembangunan pemukiman juga harus diantisipasi. Apabila pembangunan pemukiman memiliki koefisien dasar bangunan (KDB) yang rendah, maka kerusakan ekologis yang terjadi dapat diminimalisasi serta lahan yang bisa dimanfaatkan menjadi pemukiman akan lebih efisien. Salah satu aplikasinya adalah dengan pembangunan vertikal dalam bentuk rumah susun atau mesh. Solusi ini sedang sering dilakukan di Jakarta untuk mengatasi pemukiman liar yang berada di lahan pemerintah. Untuk mencegah permasalahan pemukiman liar seperti di Jawa Barat bagian utara tersebut, pembangunan mesh harus dimulai sejak awal, sehingga kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal pun menjadi terpenuhi. 55 Gambar 54 Ilustrasi rekomendasi migrasi dari kota ke daerah KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, beberapa simpulan yang dapat diambil untuk menjawab tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan pada tahun 1978 diketahui bahwa kelas penutupan lahan yang terbesar untuk kedua DAS adalah semak. Penutupan lahan sawah mendominasi di DAS Cimandiri pada tahun 1995/6 dan 2012, sedangkan di DAS Cibuni, penutupan lahan hutan mendominasi pada tahun 1995/6, dan semak kembali mendominasi pada tahun Kappa akurasi klasifikasi mencapai 84,44%. 2. Penutupan lahan yang berubah dari tahun 1978 sampai dengan 1995/6 sebesar 59,85% di DAS Cimandiri dan 63,07% di DAS Cibuni, sedangkan dari tahun 1995/6 sampai dengan tahun 2012 sebesar 55,00% di DAS Cimandiri dan 61,96% di DAS Cibuni. Konversi lahan hutan dan semak terbesar terjadi ke arah sawah, sedangkan konversi lahan menjadi pemukiman terbesar terjadi dari arah sawah.

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

Laporan Praktikum III KLASIFIKASI CITRA SATELIT MENGGUNAKAN ERDAS IMAGINE

Laporan Praktikum III KLASIFIKASI CITRA SATELIT MENGGUNAKAN ERDAS IMAGINE Mata Kuliah Dasar Sistem Informasi Geografi dan Lingkungan [PSL640] Dosen : Prof.Dr.Ir. Lilik B. Prasetyo Laporan Praktikum III KLASIFIKASI CITRA SATELIT MENGGUNAKAN ERDAS IMAGINE Oleh : Muhammad Ramdhan

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor dengan menganalisis Ruang Terbuka Hijau. Waktu penelitian dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan Oktober

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014.

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. 33 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. Adapun penelitian dilaksanakan di pesisir Kabupaten Lampung Timur. Berikut ini

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Juni sampai dengan bulan September 2009. Lokasi Penelitian adalah di Kawasan Agropolitan Cendawasari, Desa Karacak,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sintang Kalimantan Barat, terletak kurang lebih 395 km dari K ota Pontianak Ibu Kota Propinsi Kalimantan Barat. Meliputi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit Latar Belakang Meningkatnya pembangunan di Cisarua, Bogor seringkali menimbulkan dampak tidak baik terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembangunan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai dari Bulan Juni sampai dengan Bulan Desember 2009. Penelitian ini terbagi atas pengambilan dan pengumpulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hidrologi sebagai cabang ilmu yang basisnya adalah pengukuran Fenomena Alam, dihadapkan pada tantangan bagaimana memodelkan atau memprediksi proses hidrologi pada

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 9 bulan (Maret - November 2009), dan obyek penelitian difokuskan pada tiga kota, yaitu Kota Padang, Denpasar, dan Makassar.

Lebih terperinci

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis M. ABDUL BASYID, DIAN SURADIANTO Jurusan Teknik Geodesi FTSP

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Gambar 1 Lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan tapak ini dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Gambar

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian 16 III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian Ruang lingkup dan batasan-batasan kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Wilayah kajian adalah wilayah administratif Kabupaten b.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012 dengan memilih Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau sebagai studi kasus penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Distribusi dan Kecukupan Luasan Hutan Kota sebagai Rosot Karbondioksida dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG Rina Sukesi 1, Dedi Hermon 2, Endah Purwaningsih 2 Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis Widiarti 1 dan Nurlina 2 Abstrak: Kalimantan Selatan mempunyai potensi untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 9 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan data atribut berupa data sosial masyarakat dilakukan di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Banten (Gambar

Lebih terperinci