4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Fitokimia (berdasarkan metode Harborne 1984) Uji fitokimia merupakan pengujian kualitatif untuk mengetahui keberadaan senyawa-senyawa fitokimia. Uji fitokimia pada penelitian ini dilakukan terhadap daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. segar (Lampiran 11) dan bubuk daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. (Lampiran 12). Hasil uji fitokimia disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil uji fitokimia Hasil uji fitokimia Nama senyawa Daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. segar Bubuk daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. Alkaloid + + Steroid - - Saponin + + Fenol hidrokuinon + + Molisch + + Benedict + + Biuret + - Ninhidrin + - Flavonoid + - Tanin + + Keterangan: + = senyawa terdeteksi - = senyawa tidak terdeteksi Daun Cincau Hijau P. oblongifolia Merr. Segar a) Uji alkaloid Uji alkaloid pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang positif. Hasil tersebut diindikasikan oleh adanya endapan pada ketiga larutan uji dengan masing-masing jenis pereaksi yang berbeda. Pada larutan uji dengan pereaksi Mayer dihasilkan sedikit endapan berwarna putih. Pada larutan uji dengan pereaksi Dragendorff dihasilkan sedikit endapan merah jingga. Pada larutan uji dengan pereaksi Wagner dihasilkan sedikit endapan berwarna coklat. Ketiga hasil uji alkaloid tersebut sesuai dengan Harborne (1984). Intensitas dan jumlah endapan yang rendah pada hasil reaksi dengan masing-masing pereaksi dapat disebabkan oleh sampel yang berupa daun segar. Hal ini karena sampel tersebut hanya dihaluskan dengan mortar dan tidak diberi perlakuan tertentu sebelum diuji, sehingga senyawa alkaloid belum terekstrak dengan baik.

2 52 Keberadaan senyawa alkaloid pada daun cincau hijau segar menunjukkan bahwa daun cincau hijau memiliki potensi sebagai bahan antikanker. Hal sesuai dengan pernyataan Kintzios dan Barberaki (2004) serta Meiyanto et al. (2008) bahwa alkaloid merupakan senyawa yang dapat berperan sebagai antikanker. b) Uji steroid Uji steroid pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini diindikasikan oleh adanya pembentukan warna hijau muda transparan pada larutan uji. Hasil uji steroid yang positif diindikasikan oleh adanya pembentukan warna hijau-biru (Harborne 1984) pada larutan uji. c) Uji saponin Uji saponin pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang positif. Hasil uji saponin menunjukkan adanya pembentukan busa yang stabil selama 30 menit pada permukaan larutan uji, dan jika ditambahkan satu tetes HCl 2 N busa tidak hilang (Harborne 1984). d) Uji fenol hidrokuinon Uji fenol hidrokuinon pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang positif. Hal ini karena uji fenol hidrokuinon menunjukkan adanya pembentukan warna hijau muda setelah ditambahkan FeCl 3 pada larutan uji. Indikasi positif pada hasil uji fenol hidrokuinon ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna hijau atau hijau biru setelah ditambahkan FeCl 3 pada larutan uji (Harborne 1984). Intensitas warna hasil uji fenol hidrokuinon yang rendah dapat disebabkan oleh sampel yang berupa daun segar. Hal ini karena sampel tersebut hanya dihaluskan dengan mortar dan tidak diberi perlakuan tertentu sebelum diuji, sehingga senyawa fenol hidrokuinon belum terekstrak dengan baik. e) Uji Molisch Uji Molisch pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang positif. Hasil uji Molisch menunjukkan adanya pembentukan warna ungu di antara dua lapisan cairan pada larutan uji. Warna ungu tersebut terbentuk di antara lapisan berwarna merah bata pada bagian atas dan lapisan transparan di bagian bawah larutan uji (Harborne 1984). Hasil uji Molisch berperan untuk mengidentifikasi keberadaan karbohidrat pada bahan yang diuji (Harborne 1984). Hasil uji Molisch pada daun cincau hijau

3 53 segar ini sesuai dengan hasil analisis proksimat karbohidrat (by difference) dan hasil analisis serat sebagaimana penelitian Chalid (2003) dan Jacobus (2003). Serat merupakan salah satu jenis karbohidrat. f) Uji benedict Uji benedict berperan untuk mengidentifikasi keberadaan gula pereduksi (Harborne 1984). Uji benedict pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna hijau. Harborne (1984) menyatakan bahwa indikasi positif pada hasil uji benedict ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna hijau, kuning atau endapan merah bata pada larutan uji. g) Uji biuret Uji biuret berperan untuk mengidentifikasi keberadaan senyawa peptida (Harborne 1984). Uji biuret pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna ungu (Harborne 1984) pada larutan uji. Warna ungu terbentuk di bagian tengah larutan yang didominasi warna hijau tosca. Warna ungu tersebut terbentuk setelah larutan uji dibiarkan selama beberapa saat. Hal ini memungkinkan terjadinya reaksi kimia, yaitu bereaksinya pereaksi biuret dengan senyawa peptida, sehingga dapat terbentuk warna ungu pada larutan uji. h) Uji ninhidrin Uji ninhidrin berperan untuk mengidentifikasi keberadaan asam amino (Harborne 1984). Uji ninhidrin pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna ungu (Harborne 1984) pada larutan uji. Warna ungu tersebut terbentuk setelah larutan uji dibiarkan selama beberapa saat, yaitu setelah pemanasan. Hal ini memungkinkan terjadinya reaksi kimia, yaitu bereaksinya asam amino dengan suhu pemanasan dan pereaksi ninhidrin, sehingga dapat terbentuk warna ungu pada larutan uji. Proses pemanasan tersebut merupakan tahapan penting. Hal ini karena proses pemanasan dapat membantu terjadinya denaturasi protein (Lehninger 1982), sehingga protein pada daun cincau hijau segar dapat terurai dan susunan asam aminonya menjadi lebih mudah terdeteksi.

4 54 i) Uji flavonoid Uji flavonoid pada daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. segar menunjukkan hasil yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna kuning pada lapisan amil alkohol (Harborne 1984) pada larutan uji. Intensitas warna kuning tersebut rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh sampel yang berupa daun segar. Sampel tersebut hanya dihaluskan dengan mortar dan tidak diberi perlakuan tertentu sebelum diuji, sehingga senyawa flavonoid belum terekstrak dengan baik. j) Uji tanin Uji tanin pada daun cincau hijau segar menunjukkan hasil yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna coklat kehijauan pada larutan uji. Harborne (1984) menyebutkan bahwa hasil uji tanin adalah adanya pembentukan warna hijau kehitaman pada larutan uji. Warna coklat kehijauan pada larutan hasil uji dapat dikatakan memiliki intensitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil uji tanin dalam Harborne (1984). Hal ini dapat disebabkan oleh sampel yang berupa daun segar. Sampel tersebut hanya dihaluskan dengan mortar dan tidak diberi perlakuan tertentu sebelum diuji, sehingga senyawa tanin belum terekstrak dengan baik. Bubuk Daun Cincau Hijau P. oblongifolia Merr. a) Uji alkaloid Uji alkaloid pada bubuk daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. menunjukkan hasil yang positif. Hasil tersebut diindikasikan oleh adanya endapan pada ketiga larutan uji dengan masing-masing jenis pereaksi yang berbeda. Pada larutan uji dengan pereaksi Wagner dihasilkan endapan berwarna coklat. Pada larutan uji dengan pereaksi Mayer dihasilkan endapan berwarna putih. Pada larutan uji dengan pereaksi Dragendorff dihasilkan endapan merah jingga. Ketiga hasil uji alkaloid tersebut sesuai dengan Harborne (1984). Warna coklat dan jumlah endapan pada masing-masing pereaksi dengan sampel bubuk daun ini lebih pekat dibandingkan pada sampel daun segar. Hal ini karena sampel bubuk daun tersebut sudah mengalami perlakuan pendahuluan. Perlakuan tersebut meliputi penghancuran daun segar dalam media air dengan bantuan blender, kemudian dibiarkan semalam sehingga sebagian menjadi gel,

5 55 dikeringkan dengan drum dryer dan dihancurkan kembali dengan blender, sehingga diperoleh bubuk daun cincau hijau dengan ukuran partikel yang lebih kecil. Perlakuan tersebut memungkinkan senyawa alkaloid dapat terekstrak dengan baik, sehingga pada uji alkaloid dapat terdeteksi dengan baik. Keberadaan senyawa alkaloid pada daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. segar menunjukkan bahwa daun cincau hijau memiliki potensi sebagai bahan antikanker. Hal sesuai dengan pernyataan Kintzios dan Barberaki (2004) serta Meiyanto et al. (2008) bahwa alkaloid merupakan senyawa yang dapat berperan sebagai antikanker. b) Uji steroid Uji steroid pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini diindikasikan oleh adanya pembentukan warna hijau kecoklatan pada larutan uji. Hasil uji steroid yang positif, yaitu diindikasikan oleh adanya pembentukan warna hijau-biru (Harborne 1984) pada larutan uji. c) Uji saponin Uji saponin pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang positif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1984). Hal ini karena uji saponin menunjukkan adanya pembentukan busa yang stabil selama 30 menit pada permukaan larutan uji, dan jika ditambahkan satu tetes HCl 2 N busa tidak hilang. Warna coklat busa pada larutan uji dengan sampel bubuk daun ini lebih rendah dibandingkan pada sampel daun segar. Hal ini karena sampel bubuk daun tersebut sudah mengalami perlakuan pendahuluan yang memungkinkan kerusakan saponin. Wiesman dan Chapagain (2002) menyatakan bahwa saponin adalah metabolit sekunder tanaman yang berupa molekul glikosilat dengan bobot molekul besar, terdiri atas gula yang berikatan dengan triterpen atau aglikon steroid. d) Uji fenol hidrokuinon Uji fenol hidrokuinon pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang positif. Hal ini karena uji fenol hidrokuinon menunjukkan adanya pembentukan warna hijau gelap setelah ditambahkan FeCl 3 pada larutan uji. Harborne (1984) menyatakan bahwa indikasi positif pada hasil uji fenol hidrokuinon ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna hijau atau hijau biru

6 56 setelah ditambahkan FeCl 3 pada larutan uji. Warna coklat warna hasil uji fenol hidrokuinon yang pekat dapat disebabkan oleh sampel yang berupa bubuk daun. Kondisi sampel yang telah diberi perlakuan pendahuluan. Perlakuan tersebut memungkinkan senyawa fenol hidrokuinon dapat terekstrak dengan baik, sehingga pada uji fenol hidrokuinon dapat terdeteksi dengan baik. e) Uji Molisch Uji Molisch pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang positif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1984). Hal ini karena uji Molisch menunjukkan adanya pembentukan warna ungu di antara dua lapisan cairan pada larutan uji. Warna ungu tersebut terbentuk di antara lapisan berwarna merah bata pada bagian atas dan lapisan transparan di bagian bawah larutan uji. f) Uji benedict Uji benedict berperan untuk mengidentifikasi keberadaan gula pereduksi (Harborne 1984). Uji benedict pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna hijau. Harborne (1984) menyatakan bahwa indikasi positif pada hasil uji benedict ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna hijau, kuning atau endapan merah bata pada larutan uji. g) Uji biuret Uji biuret berperan untuk mengidentifikasi keberadaan senyawa peptida (Harborne 1984). Uji biuret pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna hijau muda pada larutan uji. Harborne (1984) menyatakan bahwa hasil uji biuret yang positif diindikasikan oleh pembentukan warna ungu. Hasil seperti ini dapat terjadi karena proses pengeringan panas dengan drum dryer sebagai perlakuan pendahuluan. Proses tersebut menyebabkan denaturasi protein, yaitu pada ikatan peptida yang mengikat antar asam amino, sehingga tidak terdeteksi pada uji biuret (Lehninger 1982). h) Uji ninhidrin Uji ninhidrin pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna kuning pada larutan

7 57 uji. Harborne (1984) menyatakan bahwa hasil uji ninhidrin yang positif diindikasikan oleh pembentukan warna ungu. Hasil uji ninhidrin sesuai dengan hasil uji biuret. Hasil seperti ini dapat terjadi karena proses pengeringan panas dengan drum dryer sebagai perlakuan pendahuluan. Disamping itu, metode uji ninhidrin menggunakan suhu tinggi. Kedua proses panas tersebut menyebabkan denaturasi protein yang berlebih pada struktur asam amino (Lehninger 1982), sehingga tidak terdeteksi pada uji ninhidrin. i) Uji flavonoid Uji flavonoid pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna hijau muda pada larutan uji. Harborne (1984) menyatakan bahwa hasil uji flavonoid yang positif diindikasikan oleh pembentukan warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. Hal ini dapat terjadi karena proses pengeringan panas dengan drum dryer sebagai perlakuan pendahuluan. Proses tersebut menyebabkan kerusakan senyawa flavonoid, sehingga tidak terdeteksi pada uji flavonoid. Penelitian Raharjo (2004) pada cincau hijau Cylea barbata L.Miers menyatakan bahwa kandungan flavonoid pada bubuk daun cincau hijau yang relatif rendah disebabkan oleh kerusakan senyawa flavonoid pada saat pembuatan bubuk gel cincau hijau yang menggunakan drum dryer pada suhu 100 C. j) Uji tanin Uji tanin pada bubuk daun cincau hijau menunjukkan hasil yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembentukan warna coklat kehijauan pada larutan uji. Harborne (1984) menyebutkan bahwa hasil uji tanin adalah adanya pembentukan warna hijau kehitaman pada larutan uji. Warna coklat kehijauan pada larutan hasil uji dapat dikatakan memiliki warna coklat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil uji tanin dalam Harborne (1984). Hal ini dapat disebabkan oleh sampel yang berupa bubuk daun. Sampel tersebut telah diberi perlakuan pendahuluan berupa proses pengeringan panas dengan drum dryer. Proses tersebut dapat menyebabkan kerusakan senyawa tanin, sehingga menunjukkan efektivitas deteksi yang rendah pada hasil uji tanin.

8 Uji Aktivitas Antioksidan Berdasarkan Penangkapan Radikal Bebas DPPH Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH yang digunakan pada penelitian ini dimodifikasi dari penelitian Aryudhani (2007). Modifikasi dilakukan pada jumlah pelarut dan jenis pelarut. Pada penelitian ini, pelarut yang digunakan hanya satu jenis, yaitu metanol (pro analysis). Marxen et al. (2007) menyatakan bahwa DPPH merupakan radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol. Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah efficient concentration (EC 50 ), yang disebut juga inhibition concentration (IC 50 ) (Molyneux 2004). IC 50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin rendah nilai IC 50 maka aktivitas antioksidan semakin besar (Molyneux 2004, Moongkarndi et al. 2004). Sampel yang digunakan untuk uji aktivitas antioksidan dengan penangkapan radikal bebas DPPH adalah ekstrak metanol daun segar dan bubuk daun. Pada 4,96 g sampel daun segar yang diekstrak, rendemen dari ekstrak metanol yang dihasilkan adalah 61,48%. Pada 2,05 g sampel bubuk daun yang diekstrak, rendemen dari ekstrak metanol yang dihasilkan adalah 97,44%. Proses pengolahan sebagai perlakuan awal pada penyiapan sampel kering diduga juga berperan mempengaruhi hasil pengeluaran senyawa yang diinginkan dari bubuk daun cincau hijau, sehingga bubuk daun sebagai sampel kering memiliki jumlah rendemen ekstrak yang lebih banyak dibandingkan daun segar. Data uji aktivitas antioksidan berdasarkan penangkapan radikal bebas DPPH disajikan pada Tabel 7.

9 59 Larutan Ekstrak metanol sampel daun segar Ekstrak metanol bubuk daun Tabel 7 Hasil uji aktivitas antioksidan cincau hijau P. oblongifolia Merr. Konsentrasi (µg/ml) Absorbansi Daya hambat (%) 100 0,181 14, ,181 14, ,176 16, ,171 18, ,176 16, ,059 72, ,024 88, ,02 90, ,021 90, ,022 89,57 Persamaan logaritmik aktivitas antioksidan IC 50 (µg/ml) y = 3,57ln(x) 2,55 (R 2 2,48x10 = 0,61; r = 0,78) y = 15,05ln(x) + 7,45 (R 2 16,90 = 0,68; r = 0,82) Nilai IC 50 ekstrak metanol sampel daun segar adalah 2,4771x10 6 µg/ml. Nilai IC 50 tersebut sangat tinggi. Nilai IC 50 ekstrak metanol bubuk daun adalah 16,90 µg/ml. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Moongkarndi et al. (2004) yang menunjukkan bahwa semakin rendah IC 50 suatu sampel maka aktivitas antioksidannya makin tinggi. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak metanol bubuk daun cincau hijau lebih efektif dalam menangkap radikal bebas DPPH dibandingkan ekstrak metanol daun segarnya. Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh daun segar dan bubuk daun cincau hijau ini ditunjang oleh hasil uji fitokimia. Senyawa-senyawa fitokimia seperti alkaloid, saponin, fenol hidrokuinon serta tanin tergolong senyawa antioksidan (Kintzios dan Barberaki 2004). Dengan demikian, senyawa-senyawa tersebut mampu menangkap radikal bebas DPPH. Selanjutnya, hal ini dapat mendukung pernyataan Moongkarndi et al. (2004) dan Meiyanto et al. (2008) bahwa pencegahan kanker berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan Pakan Mencit C3H Pada penelitian ini, modifikasi komposisi pakan standar dan pakan uji mencit C3H dari AIN (1976) dilakukan pada persentase komposisi pakan. Chalid (2003) menggunakan dua jenis perlakuan pakan uji, yaitu perlakuan seduh dan bubuk gel dari kedua jenis cincau hijau, C. barbata L. Miers dan P. oblongifolia Merr.. Penelitian ini menggunakan bubuk daun cincau hijau P. oblongifolia Merr.. Pada dosis, Chalid (2003) menggunakan satu dosis pada 6

10 60 pakan uji, yaitu 0,88%. Penelitian ini menggunakan tiga dosis bubuk daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. pada pakan uji, yaitu 0,88%, 1,76% dan 2,64%. Bentuk bubuk daun dipilih karena lebih mudah disimpan Pertumbuhan mencit C3H Berat Badan Mencit Masa adaptasi diberlakukan selama satu minggu untuk membiasakan mencit terhadap lingkungan dan pakan yang baru. Masa adaptasi juga ditujukan untuk melihat kondisi kesehatan mencit yang akan mendapat perlakuan. Pergantian pakan dilakukan setiap hari agar mencit selalu mendapat makanan yang segar serta untuk mengetahui jumlah konsumsi pakan mencit setiap harinya. Mencit diukur berat badannya setiap dua kali dalam satu minggu. Setiap kelompok mencit mengalami kenaikan berat badan selama perlakuan sebelum transplantasi tumor. Penurunan berat badan di beberapa titik pada masa ini lebih disebabkan oleh pengaruh adaptasi mencit terhadap lingkungan, stres akibat pemberian pakan, penimbangan berat badan, atau penggantian air minum. Kondisi stres akan mempengaruhi selera makan mencit yang kemudian berefek terhadap berat badan yang turun. Pada masa adaptasi, mencit kelompok perlakuan memiliki berat badan yang bervariasi terhadap kontrol (Lampiran 14). Berat badan mencit kelompok C (21,10±1,60 g) dan D (20,80±1,40 g) menunjukkan korelasi yang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 15). Berat badan mencit kelompok C dan D nyata lebih besar terhadap mencit kelompok kontrol A (19,60±1,70 g) dan B (19,50±2,00 g). Mencit kelompok E memiliki rata-rata berat badan sebesar 17,20±1,00 g yang nyata lebih kecil terhadap kontrol dan kelompok C dan D. Mencit yang mengkonsumsi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau dosis 0,88% (C) dan 1,76% (D) memiliki berat badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mencit kontrol A dan B (pakan mengandung bubuk daun cincau hijau dosis 0%). Mencit dengan dosis bubuk daun cincau hijau 2,64% (E) memiliki berat badan yang lebih rendah dari mencit kontrol. Grafik berat badan mencit pada awal perlakuan disajikan pada Gambar 14.

11 61 25,0 Berat badan (g) 20,0 15,0 10,0 5,0 0, Amencit kontrol negatif (A) Bmencit kontrol positif (B) Cmencit perlakuan dosis 0,76% (C) Dmencit perlakuan dosis 1,88% (D) Emencit perlakuan dosis 2,64% (E) Pengukuran ke- Gambar 14 Grafik berat badan mencit setelah masa adaptasi Pada pertumbuhannya (Lampiran 16), terjadi penurunan dan kenaikan berat badan mencit C3H. Hal ini dijelaskan dengan delta sebagai selisih angka rata-rata berat badan pada tiap pengukuran dengan angka rata-rata berat badan pada pengukuran pertama. Rata-rata berat badan mencit pada pengukuran pertama meliputi mencit kelompok A sebesar 19,70 g, B 20,10 g, C 20,72 g, D 20,70 g dan E 16,94 g. Rata-rata delta berat badan mencit dari seluruh pengukuran (Lampiran 17) meliputi mencit kelompok A (-0,13+1,70 g), B (- 0,57+1,96 g), C (0,43+1,64 g), D (0,12+1,44 g) dan E (0,29+1,01 g). Tanda negatif pada nilai rata-rata delta menunjukkan terjadinya penurunan berat badan, sedangkan tanda positif pada nilai rata-rata delta menunjukkan terjadinya kenaikan berat badan. Analisis ragam (Lampiran 18) terhadap rata-rata delta berat badan pada tiap kelompok mencit tersebut menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada awal perlakuan, penurunan dan kenaikan berat badan pada pertumbuhan mencit C3H merupakan hal yang nomal. Pertumbuhan mencit yang diberi pakan dengan dosis bubuk daun cincau hijau 0% (mencit kelompok A dan B), 0,88% (mencit kelompok C), 1,76% (mencit kelompok D) serta 2,64% (mencit kelompok E) menunjukkan perbedaan pertumbuhan yang tidak nyata antarkelompok mencit. Hal ini mengingat bahwa pada awal perlakuan, mencit belum ditransplantasi tumor.

12 62 Selanjutnya, hal ini didukung oleh hasil perhitungan jumlah konsumsi pakan. Pada masa awal perlakuan, jumlah konsumsi pakan pada mencit C, D dan E tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 32). Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi mencit perlakuan secara berturut-turut adalah 1,77±0,21 g, 1,80±0,31 g dan 1,83±0,13 g (Lampiran 31). Dalam hal ini, jumlah konsumsi pakan tidak berbeda nyata dan dosis bubuk daun cincau hijau meningkat. Sementara itu, ratarata jumlah konsumsi mencit kelompok kontrol negatif (A) adalah 2,24±0,28 g dan kelompok kontrol positif (B) adalah 1,78±0,19 g. Pada masa setelah transplantasi tumor, berat badan mencit secara umum mengalami kenaikan (Lampiran 19). Hal ini karena terdapat pertumbuhan jaringan tumor. Pada pengukuran berat badan, yang diukur adalah berat badan mencit ditambah dengan berat jaringan tumor. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chalid (2003), yang menyatakan dapat diduga bahwa pertambahan berat badan tersebut ditunjang oleh pertumbuhan tumor yang juga membesar. Mencit kelompok kontrol negatif (A), C, dan D cenderung memiliki berat badan yang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 20). Rata-rata berat badan masingmasing kelompok ini secara berturut-turut adalah 22,70±1,40 g, 22,50±0,50 g dan 22,00±0,40 g. Hal ini diduga karena pengaruh konsumsi pakan dengan dosis bubuk daun cincau hijau 0,88% dan 1,76% terhadap rata-rata berat badan yang tidak berbeda nyata (p>0,05) antara mencit perlakuan C dan D dengan kelompok kontrol negatif (A). Mencit kelompok kontrol positif (B) memiliki rata-rata berat badan 21,20±0,50 g, sedangkan mencit kelompok E memiliki rata-rata berat badan sebesar 18,40±1,30 g. Pada pertumbuhan di akhir perlakuan ini, rata-rata berat badan mencit pada pengukuran pertamanya meliputi mencit kelompok A sebesar 21,36 g, B 20,84 g, C 22,04 g, D 22,56 g dan E 17,40 g (Lampiran 21). Rata-rata delta berat badan mencit dari seluruh pengukuran (Lampiran 22) meliputi mencit kelompok A (1,37+1,36 g), B (0,38+0,54 g), C (0,47+0,54 g), D (-0,52+0,40 g) dan E (1,03+1,32 g). Tanda negatif pada nilai rata-rata delta menunjukkan terjadinya penurunan berat badan, sedangkan tanda positif pada nilai rata-rata delta menunjukkan terjadinya kenaikan berat badan. Analisis ragam (Lampiran 23) terhadap rata-rata delta berat badan antara kelompok A dan E

13 63 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05), demikian halnya dengan rata-rata delta berat badan antara kelompok B dan C. Pertumbuhan mencit kelompok A dan E nyata lebih besar (p<0,05) dibandingkan mencit kelompok B dan C. Mencit kelompok D memiliki rata-rata delta berat badan yang nyata lebih kecil terhadap kontrol (A dan B) dan kelompok C dan D. Hal ini menunjukkan bahwa pada akhir perlakuan, penurunan dan kenaikan berat badan pada pertumbuhan mencit C3H merupakan hal yang diduga sudah dipengaruhi oleh hasil transplantasi tumor. Pada akhir perlakuan, jumlah konsumsi pakan pada mencit kelompok C, D dan E tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 34). Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi mencit kelompok C, D dan E secara berturut-turut adalah 1,91±0,05 g, 1,83±0,23 g dan 1,91±0,21 g (Lampiran 33). Dalam hal ini, jumlah konsumsi pakan tidak berbeda nyata dan dosis bubuk daun cincau hijau meningkat, sehingga mempengaruhi berat badan mencit pada kelompok E atau dosis bubuk daun cincau hijau 2,64%. Sementara itu, rata-rata jumlah konsumsi pakan mencit kelompok kontrol negatif (A) dan kontrol positif (B) berturut-turut adalah 2,45±0,58 g dan 1,66±0,25 g. Pada akhir perlakuan ini, mencit kelompok B memiliki rata-rata jumlah konsumsi pakan yang menurun dibandingkan mencit kelompok yang lain (A, C, D dan E). Rata-rata jumlah konsumsi pakan mencit kelompok A, C, D dan E mengalami kenaikan. Hal ini diduga karena pakan dengan dosis bubuk daun cincau hijau 0% dan perlakuan transplantasi tumor menjadi faktor yang meningkatkan stres pada mencit kelompok B sehingga mengalami penurunan rata-rata jumlah konsumsi pakan. Selanjutnya, dalam hal ini mencit kelompok E memiliki rata-rata berat badan paling rendah. Disamping itu, rata-rata delta berat badan mencit kelompok E tidak berbeda nyata dengan mencit kelompok A. Hal ini dapat diduga bahwa dosis 2,64% pada pakan mencit kelompok E dan transplantasi tumor menjadikan pertumbuhannya masih dapat disetarakan dengan mencit kelompok A yang pakannya mengandung dosis 0% dan tidak ditransplantasi tumor. Rata-rata delta berat badan mencit kelompok E dan A berbeda nyata (p<0,05) dengan mencit kelompok B. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata dari

14 64 transplantasi tumor terhadap jumlah konsumsi pakan dan pertumbuhan mencit. Grafik berat badan mencit setelah transplantasi tumor disajikan pada Gambar ,0 Berat badan (g) 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0, Amencit kontrol negatif (A) Bmencit kontrol positif (B) Cmencit perlakuan dosis 0,76% (C) Dmencit perlakuan dosis 1,88% (D) Emencit perlakuan dosis 2,64% (E) Pengukuran ke- Gambar 15 Grafik berat badan mencit setelah transplantasi tumor Faktor-faktor lingkungan baik internal maupun eksternal dapat menginduksi perubahan fisiologis atau tingkah laku dari hewan percobaan. Faktor-faktor tersebut dinamakan stressor. Berbagai macam stressor tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kondisi stres. Stres yang dialami mencit juga dapat disebabkan oleh luka pascatransplantasi sel tumor di daerah subkutan aksila kanan. Efek dari adanya luka yang dialami mencit adalah rasa sakit (NAS 1996). Luka tersebut mengakibatkan rasa sakit sebagai efek adanya stressor transplantasi. Efek ini diatasi dengan menggunakan etanol 70% pada bagian tubuh yang ditransplantasikan sel tumor. Hal ini sebagai tindakan pengurangan rasa sakit yang dialami mencit, sehingga diharapkan stres yang muncul selama masa pertumbuhan tumornya dapat diringankan. Secara umum hal tersebut terbukti dengan kondisi naiknya berat badan mencit pascatransplantasi tumor. Kenaikan berat badan, disamping ditunjang oleh pertumbuhan tumor, dalam hal ini juga menggambarkan bahwa mencit mengkonsumsi ransum yang disediakan. Dengan demikian, berat badan mencit mengalami kenaikan, pertumbuhan tumor dapat terjadi, dan kondisi stres dapat diringankan.

15 65 Jika mencit tidak bisa beradaptasi dengan stressor yang ada, maka mencit akan mengalami respon fisiologis atau tingkah laku yang abnormal atau dalam kondisi distress. NAS (1996) menambahkan bahwa tanda-tanda secara klinis dan perubahan tingkah laku menjadi abnormal yang diakibatkan oleh adanya luka dan distress dapat mempengaruhi konsumsi pakan dan air minum, akumulasi eksudat berwarna coklat kemerahan di sekeliling mata dan lubang hidung, hilangnya berat badan, penurunan aktivitas, postur yang membungkuk, piloereksi, poor grooming habits, pernafasan yang sulit, vokalisasi, meningkat atau menurunnya keagresifan, dan self-mutilation. Selanjutnya, berdasarkan Gambar 15, profil berat badan mencit kontrol positif (B) dan perlakuan (C, D dan E) setelah transplantasi cenderung berada di bawah mencit kelompok kontrol negatif (A). Hal ini membuktikan bahwa kondisi mencit bertumor menyebabkan berat badan mencit cenderung menurun. Sindrom seperti ini sering terjadi pada penderita kanker, yang dinamakan kakeksia. Kakeksia dicirikan dari profil berat badan yang menurun dan lebih dari 80% pasien yang menderita kanker mengalami kakeksia sebelum kematiannya. Menurut Setiawati (2003), kakeksia pada mencit diduga akibat metabolit abnormal yang dihasilkan selama perkembangan tumor baik oleh sistem imun maupun oleh tumor itu sendiri. Interaksi tumor dengan inangnya juga dapat mempengaruhi metabolisme di dalam tubuh. Sel-sel tumor juga membutuhkan asupan nutrisi untuk terus bertahan hidup. Asupan nutrisi tersebut diperoleh dari inangnya. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa dalam tubuh penderita kanker terjadi gangguan metabolisme, baik makronutrien maupun mikronutrien. Gangguan tersebut mungkin meliputi gangguan pada metabolisme karbohidrat, oksidasi lipid, peningkatan katabolisme protein otot, atau penurunan sintesis protein otot. Dengan demikian, hal ini sesuai dengan pernyataan Setiawati (2003), bahwa meski kecukupan gizi mencit telah terpenuhi dengan baik ternyata banyak faktor lain yang dapat menyebabkan mencit mengalami kekurangan gizi dan terjadi kakeksia. Menurut Acharyya et al. (2005), kakeksia merupakan konsekuensi berupa kondisi tubuh yang lemah akibat kanker pada penderita dan dapat menyebabkan kematian.

16 Volume Tumor Rata-rata volume tumor secara berturut-turut dari mencit B, C, D, dan E adalah 0,55±0,69 cm 3, 0,21±0,11 cm 3, 0,15±0,08 cm 3 dan 0,20±0,06 cm 3 (Lampiran 24). Pertumbuhan tumor secara umum cenderung naik, kecuali pada mencit kelompok E yang mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setiawati (2003), bahwa mencit yang telah mengkonsumsi cincau tetap mengalami pertumbuhan pada tumornya. Hal ini terjadi karena interaksi tumor di dalam tubuh sangat kompleks. Grafik ukuran volume tumor disajikan pada Gambar 16. 1,8000 ukuran volume tumor (cm 3 ) 1,6000 1,4000 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 0,2000 0, Emencit perlakuan dosis 2,64% (E) Dmencit perlakuan dosis 1,88% (D) Cmencit perlakuan dosis 0,76% (C) Bmencit kontrol positif (B) A Pengukuran ke- Gambar 16 Grafik ukuran volume tumor (diukur dengan jangka sorong digital) Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada pertumbuhan tumor antara mencit kelompok B dan mencit kelompok perlakuan C, D dan E. Volume tumor mencit B meningkat secara signifikan pada 11 hari setelah tranplantasi sel tumor. Hal ini didukung oleh pernyataan Pranoto (2003), bahwa sel tumor yang ditransplantasikan dari mencit donor sudah berada dalam tahap propagasi atau mungkin metastasis. Pada tahap tersebut sel tumor mampu tidak terlokalisasi melalui pembuluh darah sehingga sulit untuk dicegah. Data tersebut memperlihatkan kemungkinan adanya pengaruh cincau hijau terhadap pertumbuhan tumor pada mencit secara in vivo. Analisis ragam

17 67 menunjukkan bahwa pertambahan volume tumor pada mencit perlakuan C, D, dan E tidak berbeda nyata (p>0,05). Sementara itu, pertambahan volume tumor pada mencit kelompok kontrol positif (B) menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan pengaruh konsumsi bubuk daun cincau hijau dalam menghambat pertambahan volume tumor pada mencit perlakuan. Dengan demikian, bubuk daun cincau hijau diduga mengandung senyawa atau komponen yang mampu mengganggu pertumbuhan tumor sehingga menghambat pertambahan volume tumor. Komponen atau senyawa kimia seperti antioksidan, termasuk senyawa fitokimia pada tanaman, menunjukkan kemampuan selektif dalam hal membunuh sel kanker dengan cara apoptosis sambil tetap mencegah terjadinya apoptosis pada sel normal secara in vitro dan in vivo, serta mengambat angiogenesis tumor dan metastasis (Borek 2004). Alkaloid yang terdapat pada tomat, baik hijau maupun merah, menunjukkan kemampuan untuk menghambat pertumbuhan sel tumor. Ekstrak tomat hijau aktif melawan semua galur sel kanker dan lebih mampu menghambat sel kanker dibandingkan tomat merah. Komponen alkaloid yang diduga bertanggung jawab dalam efek antikarsinogenik adalah glikoalkaloid, yang memiliki mekanisme antikanker berbeda dengan likopen pada tomat (Friedman et al. 2009). Reaksi biokimia kompleks juga berperan mempengaruhi metabolisme seperti enzim pencernaan, senyawa pembawa untuk absorbsi, sistem transportasi, dan gangguan metabolisme pada penderita kanker (Almatsier 2001). Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa terdapat senyawa atau komponen yang mampu mengganggu pertumbuhan tumor sehingga menghambat pertambahan volume tumor Masa Laten Masa laten waktu pertumbuhan tumor dari awal transplantasi sampai tumor dapat diraba dengan menggunakan kepekaan tangan (Chalid 2003). Masa laten bisa berbeda-beda di setiap individu. Pada penelitian ini, jumlah masa laten yang terdeteksi merupakan rata-rata dari perkiraan waktu pertama kali terasa munculnya benjolan tumor pada mencit dalam hitungan hari. Perabaan untuk mengetahui munculnya benjolan tersebut pada minggu-minggu pertama juga mulai dilakukan pada hari pertama pengukuran tumor tersebut, sehingga

18 68 pengukuran tumor dilakukan dua kali seminggu. Dengan demikian, hasil pengamatan akan berbeda jika dibandingkan dengan penelitian sejenis yang mendeteksi masa laten mulai dari hari pertama setelah transplantasi sel tumor dilakukan. Pada penelitian ini masa laten tumor (Lampiran 26) pada kelompok B (kontrol positif) adalah 4,6 hari. Tumor pada mencit kelompok C (dosis bubuk cincau hijau 0,88%) memiliki masa laten 5,4 hari, tumor pada kelompok D (dosis bubuk cincau hijau 1,76%) memiliki masa laten 4 hari, dan tumor pada kelompok E (dosis bubuk cincau hijau 2,64%) memiliki masa laten 4,8 hari. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum bubuk daun cincau hijau P. oblongifolia Merr. yang diberikan pada mencit memiliki kemampuan menghambat munculnya pertumbuhan tumor pada mencit. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 27), masa laten tumor pada tiap kelompok mencit menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05), sebagaimana hasil penelitian Chalid (2003) Berat Tumor Data berat tumor diperoleh pada akhir penelitian, yaitu pada akhir masa pemeliharaan mencit, melalui proses terminasi mencit. Berat jaringan tumor mencit kelompok B, C, D dan E secara berturut-turut adalah 0,87±0,81 g, 1,18±0,12 g, 0,15±0,09 g dan 0,27±0,28 g (Lampiran 28). Berdasarkan data tersebut, tampak bahwa berat jaringan tumor kelompok C tidak berbeda nyata terhadap kelompok B (p>0,05) (Lampiran 29). Berat jaringan tumor mencit kelompok D dan E tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata bila dibandingkan dengan mencit B dan C. Menurut Chalid (2003), perbedaan yang tidak nyata tersebut dapat disebabkan oleh cara pemberian dan dosis ekstrak daun cincau. Berat tumor pada kelompok perlakuan D dan E yang diberikan dosis 1,76% dan 2,64% bubuk daun cincau hijau menunjukkan berat yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan kontrol negatif A yang tidak ditransplantasi tumor. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi aktivitas penghambatan pertumbuhan tumor. Rata-rata berat tumor kelompok C yang lebih besar dari tumor kelompok B, meski tidak berbeda nyata, hal ini dapat dijelaskan berdasarkan nilai standar deviasi kelompok B yang lebih besar dibandingkan kelompok C. Nilai standar deviasi kelompok B yang lebih besar dibandingkan

19 69 kelompok C menunjukkan bahwa sebaran data kelompok B cenderung lebih beragam, sedangkan data kelompok C cenderung lebih seragam. Hal ini diduga karena mencit kelompok B tumbuh lebih alami dalam populasinya karena tidak ada pengaruh dari perlakuan, sehingga tumor dapat tumbuh dengan ukuran yang besar atau kecil sesuai dengan keadaan individu masing-masing. Selain itu, nilai standar deviasi yang besar pada kelompok E juga diakibatkan dari rata-rata berat tumor yang berbeda-beda pada tiap kelompok, berkisar antara 0,09 sampai 0,77 g. Grafik berat tumor mencit disajikan pada Gambar 17. Berat tumor (g) 1,4000 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 0,2000 0,0000 1,18 0,12 b 0,87 0,81 b 0,15 0,09 a 0,27 0,28 a 0,00 0,00a A B C D E Kelompok mencit Keterangan: A = mencit perlakuan dosis 0% tanpa transplantasi tumor (kontrol negatif); B = mencit perlakuan dosis 0% dengan transplantasi tumor (kontrol positif); C = mencit perlakuan dosis 0,76% dengan transplantasi tumor; D = mencit perlakuan dosis 1,88% dengan transplantasi tumor; E = mencit perlakuan dosis 2,64% dengan transplantasi tumor. Gambar 17 Grafik berat tumor mencit; huruf yang berbeda (a, b) menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p<0,05) pada uji lanjut Duncan Tumor yang ditransplantasikan pada mencit merupakan suatu material biologis yang disuntikkan bagi tubuh mencit. Pada umumnya hewan model di laboratorium yang diberikan material-material biologis ditujukan sebagai imunosupresan. Tumor yang ditransplantasikan tersebut juga termasuk sebagai material biologis yang berpotensi sebagai imunosupresan. Neoplasma juga dapat mengakibatkan imunosupresi dengan cara invasi dan penghancuran sistem imun jaringan normal (NAS 1989). Dengan demikian, adanya tumor di dalam tubuh mencit berpotensi sebagai penginduksi terjadinya imunodefisiensi tubuh mencit.

20 Analisis Jaringan Tumor Profil umum tumor mencit C3H disajikan berdasarkan berat tumor (g), volume tumor (cm 3 ), rata-rata skor pewarnaan dengan HE, rata-rata skor hasil IHK terhadap keberadaan CD31, dan rata-rata skor hasil IHK terhadap keberadaan kaspase-3. Profil umum jaringan tumor mencit C3H dinilai berdasarkan ukuran tumor yang terkecil dan terbesar. Ukuran tersebut berupa berat dan volume tumor yang terkecil dan terbesar pada masing-masing kelompok perlakuan. Mencit yang memiliki berat dan volume terkecil selanjutnya diberi kode angka 1, sedangkan mencit yang memiliki berat dan volume terbesar selanjutnya diberi kode angka 2. Profil jaringan tumor dianalisis berdasarkan penilaian atau pemberian skor (scoring) terhadap hasil pewarnaan, yaitu pewarnaan HE (haematoxylin-eosin) dan IHK (imunohistokimia) dengan sistem HRP (horseradish peroxidase) dan substrat DAB (diaminobenzidine). Profil tumor mencit C3H disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8 Profil jaringan tumor mencit C3H Rata-rata skor Berat Volume Penanda vaskularisasi Penanda apoptosis mencit tumor tumor CD31 kaspase-3 (g) (cm 3 ) HE tidak tidak terlokalisasi terlokalisasi terlokalisasi terlokalisasi 1 0,10 0,08 5,00+0,71 0,00+0,00 2,29+0,49 0,00+0,00 1,60+0,70 B 2 2,15 1,39 6,50+0,55 0,00+0,00 2,71+1,25 0,38+1,26 1,88+0,62 1 1,17 0,04 2,00+1,29 0,57+0,54 4,30+4,52 2,20+0,79 C 2 1,19 0,57 6,60+0,55 0,00+0,00 2,80+0,45 1,82+2,32 2,07+0,78 1 0,06 0,04 3,00+2,28 1,00+1,55 1,50+2,35 1,00+0,00 D 2 0,29 0,47 4,40+0,55 5,50+6,33 2,50+1,18 21,83+6,24 1,00+0,00 1 0,09 0,13 3,00+0,00 0,00+0,00 3,83+0,98 0,44+0,73 3,33+1,58 E 2 0,77 0,39 4,00+0,00 0,00+0,00 4,17+0,75 0,38+0,74 3,38+0,92 Berdasarkan data rata-rata berat tumor secara keseluruhan, maka dapat diketahui bahwa rata-rata berat tumor terkecil terdapat pada kelompok perlakuan D, yaitu kelompok perlakuan dengan dosis bubuk daun cincau hijau pada pakan sebanyak 1,76%. Rata-rata berat tumor tersebut adalah 0,06 g (D1). Rata-rata berat tumor tertinggi terdapat pada kelompok B, yaitu kelompok kontrol positif. Rata-rata berat tumor tersebut adalah 2,15 g (B2).

21 71 Berdasarkan data rata-rata volume tumor secara keseluruhan, maka dapat diketahui bahwa rata-rata volume tumor terkecil terdapat pada kelompok perlakuan C dan D. Rata-rata volume tumor tersebut adalah 0,04 cm 3 (C1 dan D1). Rata-rata volume tersebut ditunjang oleh rata-rata berat tumor. Dalam hal ini, rata-rata berat tumor D1 lebih kecil dibandingkan C1. Hal ini menunjukkan bahwa dosis bubuk daun cincau hijau yang lebih tinggi pada pakan mencit kelompok D dibandingkan kelompok C, diduga dapat mengurangi rata-rata berat tumor. Selanjutnya, rata-rata volume tumor terbesar terdapat pada kelompok B, yaitu sebesar 1,39 cm 3 (B2). Pada masing-masing data rata-rata berat dan volume tumor, rata-rata berat dan volume tumor terkecil terdapat pada mencit dari kelompok perlakuan D. Rata-rata berat dan volume tumor terbesar terdapat pada mencit kelompok B sebagai kontrol positif. Mencit dari kelompok kontrol positif memiliki rata-rata berat dan volume tumor lebih besar dibandingkan rata-rata berat dan volume tumor dari mencit kelompok perlakuan. Dosis bubuk daun cincau hijau pada pakan yang dikonsumsi oleh mencit dari kelompok perlakuan, diduga memberikan pengaruh dalam menurunkan berat dan volume tumor. Dosis yang makin tinggi memungkinkan kandungan senyawa fitokimia yang makin tinggi. Kintzios dan Barberaki (2004) menyatakan bahwa alkaloid sebagai salah satu senyawa fitokimia memiliki aktivitas antitumor, sehingga berpotensi menurunkan berat dan volume tumor. Hal ini menunjukkan bahwa pakan tanpa dosis bubuk daun cincau hijau pada kelompok B, diduga dapat menyebabkan peningkatan ratarata berat dan volume tumor mencit Analisis Hasil Pewarnaan HE (haematoxylin-eosin) Analisis pewarnaan HE dilakukan pada mencit C3H berdasarkan ukuran tumor yang terkecil dan terbesar. Ukuran tersebut berupa berat dan volume tumor yang terendah dan tertinggi pada masing-masing kelompok perlakuan. Penentuan derajat diferensiasi jaringan tumor hasil pewarnaan HE meliputi kepadatan sel tumor, pleomorfisme inti sel dan tingkat mitosis sel pada jaringan tumor. Hasil pewarnaa HE disajikan pada Tabel 9.

22 72 Tabel 9 Hasil pewarnaan HE mencit C3H pemberian skor jumlah derajat diferensiasi mencit lapang rata-rata rata-rata rata-rata pandang jumlah kepadatan sel pleomorfisme tingkat mitosis tumor inti sel sel 1 5 1,00+0,00 2,00+0,00 2,00+0,71 5,00+0,71 B 2 6 2,50+0,55 2,50+0,55 1,50+0,55 6,50+0,55 C 2 5 2,00+0,00 2,00+0,00 2,60+0,55 6,60+0,55 D 2 5 1,20+0,45 1,20+0,45 2,00+0,00 4,40+0,55 E 1 5 1,00+0,00 1,00+0,00 1,00+0,00 3,00+0, ,80+0,45 1,20+0,45 1,00+0,00 4,00+0,00 Berdasarkan Tabel 9, jumlah rata-rata skor HE pada kelompok B adalah 5,00+0,71 (B1) dan 6,50+0,71 (B2). Pada kelompok C adalah 6,60+0,55 (C2), untuk C1 belum ada preparatnya. Pada kelompok D adalah 4,40+0,55 (D2), untuk D1 belum ada preparatnya. Pada kelompok E adalah 3,00+0,00 (E1) dan 4,00+0,00 (E2). 1) Jaringan tumor mencit kelompok B Gambar jaringan tumor mencit B1 dan B2 disajikan pada Gambar 18. Pada Gambar 18 (a), skor mencit B1 menunjukkan bahwa sel-sel pada jaringan kurang seragam yang disertai dengan ukuran inti sel yang mulai membesar dan warna inti sel yang mulai menghitam. Pada Gambar 18 (b) terlihat bahwa kepadatan sel tumor meningkat dan mulai menuju kondisi ruang antarsel yang sangat rapat (skor 3). Skor mencit B1 menunjukkan bahwa sel-sel pada jaringan kurang seragam sehingga derajat diferensiasinya lebih tinggi dibandingkan B2. Skor mencit B2 menunjukkan bahwa sel-sel pada jaringan makin seragam sehingga derajat diferensiasinya rendah, sebagaimana pernyataan Twite (2005). Gambar 18 (a, b) menunjukkan bahwa inti sel pada jaringan payudara mencit kelompok B sudah banyak mengalami perubahan dan variasi bentuk. Skor mencit B2 menunjukkan bahwa sel-sel pada jaringan tumornya memiliki tingkat mitosis yang lebih rendah dibandingkan mencit B1. Skor mitosis tersebut ditunjang oleh skor rata-rata kepadatan sel dan pleomorfisme inti sel pada jaringan tumor mencit B2. Skor tersebut menunjukkan bahwa tingkat mitosis yang lebih tinggi terjadi pada sel-sel pada tumor yang ukurannya lebih kecil, sehingga

23 73 pertumbuhannya lebih cepat. Spector dan Spector (1993) menyatakan bahwa mitosis menunjukkan derajat ketidakteraturan dalam sel-sel tumor. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor pakan dengan dosis bubuk daun cincau hijau 0% pada mencit kelompok B. (a) (b) Gambar 18 Inti sel pada jaringan tumor mencit yang diberi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau 0% dengan ditransplantasi tumor (a= jaringan tumor mencit B1, b= jaringan tumor mencit B2; HE 40 kali)

24 74 2) Jaringan tumor mencit kelompok C Gambar jaringan tumor mencit C2 disajikan pada Gambar 19. Gambar 19 Inti sel pada jaringan tumor mencit yang diberi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau 0,88% dengan ditransplantasi tumor (HE 40 kali; tanda panah kuning menunjukkan sel darah merah) Berdasarkan skor rata-rata jumlah derajat diferensiasi sel pada jaringan tumor mencit C2, skornya adalah 6,60+0,55. Skor tersebut menunjukkan bahwa secara umum, tumor pada mencit C2 memiliki derajat diferensiasi yang rendah dibandingkan tumor pada mencit kelompok yang lain. Hal ini sebagaimana derajat diferensiasi tumor pada mencit kelompok B (B1 dan B2). Hal ini ditunjang oleh hasil pengukuran rata-rata berat tumor dari seluruh mencit kelompok C tidak berbeda nyata dibandingkan rata-rata berat tumor seluruh mencit kelompok B. Berdasarkan tingkat kepadatan sel dan pleomorfisme inti sel, sel-sel pada jaringan tumor mencit C2 secara umum memiliki derajat diferensiasi yang lebih tinggi dibandingkan B (B1 dan B2). Selanjutnya, hal ini ditunjang oleh hasil pengukuran rata-rata berat dan volume tumor. Berdasarkan Gambar 16, rata-rata

25 75 berat tumor dari seluruh mencit kelompok C (1,18+0,12 g) tidak berbeda nyata dibandingkan rata-rata berat tumor seluruh mencit kelompok B (0,87+0,81 g). Rata-rata volume tumor dari seluruh mencit kelompok C (0,20+0,06 cm 3 ) lebih rendah dibandingkan rata-rata volume tumor seluruh mencit kelompok B (0,55+0,69 cm 3 ). Selanjutnya, jika dibandingkan dengan skor E1 (1,00+0,00) dan E2 (1,20+0,45), maka skor kelompok C2 (2,00+0,00) lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sel pada jaringan tumor mencit kelompok C lebih seragam dibandingkan kelompok E, sehingga derajat diferensiasi kelompok C lebih rendah dibandingkan E. Hal ini ditunjang oleh hasil pengukuran rata-rata berat dan volume tumor. Rata-rata berat tumor dari seluruh mencit kelompok C (1,18+0,12 g) berbeda nyata dibandingkan rata-rata berat tumor seluruh mencit kelompok E (0,27+0,28 g). Rata-rata volume tumor dari seluruh mencit kelompok C (0,20+0,06 cm 3 ) lebih tinggi dibandingkan rata-rata volume tumor seluruh mencit kelompok E (0,20+0,06 cm 3 ). Hal ini dapat diduga bahwa faktor pakan pada mencit kelompok C yang diberi dosis bubuk gel cincau hijau 0,88% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan mencit kelompok B yang pakannya tidak diberi dosis bubuk daun cincau hijau. Selanjutnya, rata-rata berat tumor dari seluruh mencit kelompok C berbeda nyata dibandingkan rata-rata berat tumor seluruh mencit kelompok E. Hal ini dapat diduga sebagai pengaruh dari pemberian dosis bubuk daun cincau hijau sebanyak 0,88% pada pakan mencit kelompok C belum sebaik dosis 2,64% pada pakan mencit kelompok E dalam menjaga derajat diferensiasi sel. 3) Jaringan tumor mencit kelompok D Berdasarkan skor rata-rata jumlah derajat diferensiasi sel pada jaringan tumor mencit D2 (4,40+0,55), menunjukkan secara umum bahwa tumor pada mencit D2 memiliki derajat diferensiasi yang tinggi dibandingkan tumor pada mencit kelompok yang lain. Jika dibandingkan dengan kedua skor mencit B (B1 1,00+0,00 dan B2 2,50+0,55), maka skor rata-rata kepadatan sel tumor mencit D2 lebih tinggi dibandingkan B1 dan lebih rendah dibandingkan B2. Hal ini menunjukkan bahwa sel pada jaringan tumor mencit D2 lebih padat dibandingkan B1, sehingga derajat diferensiasi D2 lebih rendah dibandingkan B1. Selanjutnya,

26 76 hal ini juga menunjukkan bahwa sel pada jaringan tumor mencit B2 lebih padat dibandingkan D2, sehingga derajat diferensiasi D2 lebih tinggi dibandingkan B2. Gambar jaringan tumor mencit D2 disajikan pada Gambar 20. Gambar 20 Inti sel pada jaringan tumor mencit yang diberi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau 1,76% dengan ditransplantasi tumor (HE 40 kali; tanda panah kuning menunjukkan sel nekrotik) Skor rata-rata pleomorfisme inti sel pada jaringan tumor mencit D2 adalah 1,20+0,45. Jika dibandingkan dengan skor pleomorfisme inti sel pada jaringan tumor mencit B2 (2,50+0,55) dan B1 (2,00+0,00), maka skor kelompok D lebih rendah. Skor rata-rata pleomorfisme inti sel pada jaringan tumor mencit kelompok D tersebut sama dengan jaringan tumor mencit kelompok E pada tumor dengan ukuran terbesar (1,20+0,45). Hal ini menunjukkan bahwa sel pada jaringan tumor mencit kelompok B lebih seragam dibandingkan kelompok D. Skor rata-rata tingkat mitosis sel pada jaringan tumor mencit D2 adalah 2,00+0,00. Jika skor D2 tersebut dibandingkan dengan skor rata-rata tingkat mitosis sel tumor mencit kelompok B (B1 2,00+0,71 dan B2 1,50+0,55), maka skor D2 sama dengan B1 dan lebih tinggi dibandingkan B2. Hal ini ditunjang oleh hasil pengukuran rata-rata berat dan volume tumor. Berdasarkan Gambar 16, rata-rata berat tumor dari seluruh mencit kelompok D (0,15+0,09 g) berbeda nyata dengan rata-rata berat tumor seluruh mencit

27 77 kelompok B (0,87+0,81 g). Rata-rata volume tumor dari seluruh mencit kelompok D (0,15+0,08 cm 3 ) lebih rendah dibandingkan rata-rata volume tumor seluruh mencit kelompok B (0,55+0,69 cm 3 ). Rata-rata berat tumor dari seluruh mencit kelompok D (0,15+0,09 g) tidak berbeda nyata dibandingkan rata-rata berat tumor seluruh mencit kelompok E (0,27+0,28 g). Selisih rata-rata volume tumor dari seluruh mencit kelompok D (0,15+0,08 cm 3 ) dengan rata-rata volume tumor seluruh mencit kelompok E (0,20+0,06 cm 3 ) hanya sedikit. Dengan demikian, dapat diduga bahwa pengaruh dari pemberian dosis bubuk daun cincau hijau sebanyak 1,76% pada pakan mencit kelompok D yang tidak berbeda nyata dengan dosis bubuk daun cincau hijau sebanyak 2,64% pada pakan mencit kelompok E. 4) Jaringan tumor mencit kelompok E Berdasarkan skor rata-rata jumlah pada derajat diferensiasi sel pada jaringan tumor mencit kelompok E, skor E1 adalah 3,00+0,00 dan E2 adalah 4,00+0,00. Kedua skor tersebut menunjukkan bahwa secara umum, tumor pada mencit kelompok E memiliki derajat diferensiasi yang paling tinggi dibandingkan tumor pada mencit kelompok yang lain. Pada Tabel 9, skor rata-rata kepadatan sel tumor, pada mencit E1 adalah 1,00+0,00. Skor tersebut merupakan skor rata-rata kepadatan sel tumor terendah dari seluruh mencit. Rata-rata kepadatan sel tumor tertinggi terdapat pada mencit E2, yaitu dengan skor 1,80+0,45. Skor tersebut menunjukkan bahwa mencit E2 memiliki jaringan tumor dengan sel-sel yang lebih padat dibandingkan E1. Skor mencit E2 menunjukkan bahwa sel-sel pada jaringan mulai seragam sehingga derajat diferensiasinya rendah. Skor mencit E1 menunjukkan bahwa sel-sel pada jaringan kurang seragam sehingga derajat diferensiasinya lebih tinggi dibandingkan E2. Jaringan tumor mencit E1 dan E2 disajikan pada Gambar 21.

28 78 (a) (b) Gambar 21 Inti sel pada jaringan tumor mencit yang diberi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau 2,64% dengan ditransplantasi tumor (a= jaringan tumor mencit E1, b= jaringan tumor mencit E2; HE 40 kali; tanda panah kuning menunjukkan sel darah merah)

29 79 Sebagaimana Gambar 21 (a, b), hal ini menunjukkan bahwa inti sel pada jaringan payudara mencit kelompok E belum banyak mengalami perubahan dan variasi bentuk. Pada tingkat mitosis sel, hasil pewarnaan HE jaringan tumor menunjukkan bahwa skor rata-rata tingkat mitosis sel tumor pada mencit E1 sama dengan E2, yaitu 1,00+0,00. Skor yang sama tersebut mengasumsikan bahwa selsel tumor pada mencit E1 dan E2 memiliki tingkat pertumbuhan sel tumor yang sama. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor pakan yang mengandung dosis bubuk daun cincau hijau 2,64% sebagai dosis tertinggi. Makin tinggi dosis bubuk daun cincau hijau pada pakan mencit, makin tinggi kemungkinan untuk dapat menjaga jaringan pada kelompok E agar tetap terdiferensiasi dengan baik. Hal ini dimungkinkan karena bubuk daun cincau hijau mengandung sejumlah senyawa fitokimia yang berkorelasi dengan aktivitas antioksidan dan antikanker, sebagaimana pernyataan Moongkarndi et al. (2004) dan Meiyanto et al. (2008). Hasil pewarnaan HE dispesifikasi lanjut dengan hasil pewarnaan IHK. Pemberian skor pada jaringan hasil pewarnaan IHK dilakukan berdasarkan kepekatan warna substrat DAB sebagai hasil reaksi dengan enzim HRP (horseradish peroxidase) yang telah terlabel pada antibodi sekunder. Reaksi antara HRP dan DAB menghasilkan warna coklat (Kiernan 1990) Hasil Pewarnaan IHK Pewarnaan IHK yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua jenis antibodi primer, yaitu antibodi anti-cd31 dan antibodi antikaspase-3. CD31 sebagai penanda vaskularisasi dan kaspase-3 sebagai penanda apoptosis. Pada penanda vaskularisasi, keberadaan DAB menunjukkan terjadinya vaskularisasi pada jaringan tumor. Berdasarkan Tabel 8, pada penanda vaskularisasi, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar keberadaan DAB bersifat tidak terlokalisasi. Warna coklat DAB yang tidak terlokalisasi terdapat pada semua kelompok mencit. Skor rata-rata warna coklat DAB yang tertinggi terdapat pada jaringan tumor mencit kelompok E, yaitu pada mencit E2, dengan skor 4,17+0,75. Skor rata-rata warna coklat DAB yang terendah terdapat pada jaringan tumor mencit kelompok C, yaitu pada mencit C2, dengan skor 0,57+0,54. Selanjutnya, skor rata-rata warna coklat DAB yang terlokalisasi hanya terdapat

30 80 pada tiga ekor mencit, yaitu mencit C1, D1 dan D2. Skor tersebut berturut-turut adalah 2,00+1,29, 3,00+2,28 dan 5,50+6,33. Chantrain et al. (2003) menyatakan bahwa kuantifikasi vaskularisasi pada sediaan histopatologi sangat memungkinkan untuk mendeteksi struktur nonendotelial, sehingga menjadikan hasil pewarnaan IHK menjadi tidak terlokalisasi. Pada dasarnya, antibodi anti-cd31 merupakan antibodi yang memiliki sensitivitas tinggi untuk mendeteksi keberadaan CD31. Pada kondisi tertentu, adakalanya antibodi tersebut mendeteksi sel plasma dan area nekrotik. Hal ini menyebabkan warna coklat hasil reaksi DAB dengan HRP yang terlabel pada antibodi sekunder menjadi tidak spesifik dan intensitas warna coklatnya rendah. Dengan demikian, skor penanda vaskularisasi tertinggi pada mencit kelompok E diduga karena adanya dosis bubuk daun cincau hijau tertinggi (2,64%) pada pakan meningkatkan jumlah sel plasma serta terjadinya nekrosis pada jaringan tumor. Pada penanda apoptosis, keberadaan DAB menunjukkan terjadinya apoptosis pada jaringan tumor. Berdasarkan Tabel 7, maka dapat diketahui bahwa keberadaan DAB ditemukan pada sebagian besar jaringan tumor mencit dari semua kelompok, baik bersifat terlokalisasi maupun tidak terlokalisasi. Warna coklat DAB yang tidak terlokalisasi terdapat pada semua kelompok mencit. Dalam hal ini, skor rata-rata warna coklat DAB yang tertinggi terdapat pada jaringan tumor mencit E2, yaitu 3,38+0,92. Skor rata-rata warna coklat DAB yang terendah terdapat pada jaringan tumor mencit kelompok D (D1 dan D2) yaitu 1,00+0,00. Selanjutnya, skor rata-rata warna coklat DAB yang terlokalisasi terdapat pada sebagian besar mencit dari semua kelompok. Skor rata-rata warna coklat DAB yang tertinggi terdapat pada jaringan tumor mencit D2, yaitu 21,83+6,24. Skor rata-rata warna coklat DAB yang terendah terdapat pada dua ekor mencit, yaitu mencit B2 (0,38+1,26) dan E2 (0,38+0,74). Terdapat satu ekor mencit yang pada lapang pandang keberadaan DAB pada jaringannya tidak ditemukan DAB terlokalisasi, yaitu mencit B1 dengan skor 0,00+0,00. Berdasarkan skor rata-rata warna coklat DAB, dapat diketahui bahwa skor mencit kelompok B lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan (C, D dan E). Hal ini diduga sebagai pengaruh dosis bubuk daun cincau hijau 0% pada pakan

31 81 mencit kelompok B, sehingga tidak dapat mengaktivasi proses apoptosis dengan baik. Skor tertinggi yang terlokalisasi terdapat pada mencit kelompok D (pakan mengandung bubuk daun cincau hijau dosis 1,76%). Hal ini dapat didukung oleh pernyataan Hadjiloucas et al. (2001), bahwa keberadaan kaspase-3 menunjukkan awal terjadinya apoptosis. Hadjiloucas et al. (2001) juga menyatakan bahwa apoptosis akan lebih banyak terjadi pada jaringan tumor yang invasif. Selanjutnya, warna coklat DAB yang tidak terlokalisasi disebabkan hanya sejumlah kecil sel (kurang dari 0,01%) yang mengalami apoptosis. Pada dasarnya, sel tersebut menunjukkan perubahan morfologis yang disebabkan oleh apoptosis. Jumlah sel yang sedikit menyebabkannya tidak dapat terwarnai secara kontras oleh DAB. Perbedaan skor IHK kaspase-3 pada mencit kelompok perlakuan (C, D dan E), diduga karena perbedaan dosis bubuk daun cincau hijau pada pakan. Pada kategori terlokalisasi, mencit kelompok D memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan mencit kelompok C dan E. Pada kategori tidak terlokalisasi, mencit kelompok D memiliki skor yang lebih rendah dibandingkan mencit kelompok C dan E, sedangkan skor mencit kelompok E lebih tinggi dibandingkan C. Hal ini berkorelasi dengan rata-rata berat dan volume tumor mencit kelompok D yang nilainya terkecil dibandingkan mencit kelompok B, C dan E. Hal ini diduga karena dosis bubuk daun cincau hijau 1,76% pada pakan mencit kelompok D berpotensi lebih baik dalam meningkatkan jumlah kaspase-3 untuk mengaktivasi terjadinya apoptosis dibandingkan dosis 0,88% dan 2,64%. Makin tinggi dosis bubuk daun cincau hijau pada pakan, maka makin tinggi kandungan senyawa fitokimia yang berperan sebagai antioksidan dan antikanker. Pandoyo (2000) menyatakan bahwa sifat antikanker cincau hijau P. oblongifolia Merr. diduga karena mengandung alkaloid. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanani et al. (2005), bahwa alkaloid juga memiliki aktivitas antioksidan. Data uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol bubuk daun cincau hijau menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan memiliki tingkat efektivitas, yaitu pada konsentrasi 200 µg/ml. Konsentrasi larutan ekstrak metanol bubuk daun cincau hijau lebih dari 200 µg/ml menunjukkan penurunan aktivitas antioksidan.

32 82 Hal ini dapat mempengaruhi perbedaan efektivitas dosis 1,76% dan 2,64% pada pakan. Berdasarkan skor IHK kaspase-3, dosis 1,76% memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan dosis 0,88% dan 2,64% dalam meningkatkan jumlah kaspase-3 untuk mengaktivasi terjadinya apoptosis. Salah satu jenis alkaloid adalah bisbenzylisoquinolines (Oliveira et al. 2009), yang mana salah satu jenis bisbenzylisoquinolines adalah tetrandrin, yang berfungsi sebagai senyawa antikanker dengan cara menginduksi terjadinya apoptosis (Levine 2005). Hal ini berkorelasi dengan rata-rata berat dan volume tumor mencit kelompok D yang nilainya terkecil dibandingkan mencit kelompok B, C dan E. Selanjutnya, Hua dan Xu (2000) dan Dash (2005) menyatakan bahwa enzim kaspase-3 dapat mengaktivasi DNase yang akan berperan dalam fragmentasi DNA sebagai tahap lanjut terjadinya apoptosis. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa apoptosis berperan mengurangi rata-rata berat dan volume tumor mencit. Jaringan tumor mencit kelompok B sebagai hasil pewarnaan IHK CD31 dan kaspase-3 disajikan pada Gambar 22.

33 83 (a) (b) (c) Keterangan: tanda panah merah menunjukkan DAB yang terlokalisasi; lingkaran merah menunjukkan DAB yang tidak terlokalisasi. Gambar 22 Hasil IHK pada jaringan tumor mencit yang diberi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau 0% dengan ditransplantasi tumor (a= CD31 jaringan tumor mencit B2 (100 kali); b= CD31 jaringan tumor mencit B1 (100 kali); c= kaspase-3 jaringan tumor mencit B2 (100 kali); d= kaspase-3 jaringan tumor mencit B1 (100 kali)) (d)

34 84 Jaringan tumor mencit kelompok C sebagai hasil pewarnaan IHK CD31 dan kaspase-3 disajikan pada Gambar 23. (a) (b) (c) Keterangan: tanda panah merah menunjukkan DAB yang terlokalisasi; lingkaran merah menunjukkan DAB yang tidak terlokalisasi. Gambar 23 Hasil IHK pada jaringan tumor mencit yang diberi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau 0,88% dengan ditransplantasi tumor (a= CD31 jaringan tumor mencit C2 (40 kali); b= CD31 jaringan tumor mencit C1 (40 kali); c= kaspase-3 jaringan tumor mencit C2 (40 kali); d= kaspase- 3 jaringan tumor mencit C1 (40 kali)) (d)

35 85 (a) (b) (c) Keterangan: tanda panah merah menunjukkan DAB yang terlokalisasi. (d) Gambar 24 Hasil IHK pada jaringan tumor mencit yang diberi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau 1,76% dengan ditransplantasi tumor (a= CD31 jaringan tumor mencit D2 (40 kali); b= CD31 jaringan tumor mencit D1 (40 kali); c= kaspase-3 jaringan tumor mencit D2 (40 kali); d= kaspase-3 jaringan tumor mencit D1 (40 kali))

36 86 Jaringan tumor mencit kelompok E sebagai hasil pewarnaan IHK CD31 dan kaspase-3 disajikan pada Gambar 25. (a) (b) (c) Keterangan: tanda panah merah menunjukkan DAB yang terlokalisasi; lingkaran merah menunjukkan DAB yang tidak terlokalisasi. Gambar 25 Hasil IHK pada jaringan tumor mencit yang diberi pakan mengandung bubuk daun cincau hijau 2,64% dengan ditransplantasi tumor (a= CD31 jaringan tumor mencit E2 (100 kali); b= CD31 jaringan tumor mencit E1 (40 kali); c= kaspase-3 jaringan tumor mencit E2 (40 kali); d= kaspase-3 jaringan tumor mencit E1 (40 kali)) (d)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus

3. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 2010 di Area Perlindungan Laut Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Juli 2012. Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel yang dilakukan di persawahan daerah Cilegon,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang volatil (mudah

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Sebanyak 5 kg buah segar tanaman andaliman asal Medan diperoleh dari Pasar Senen, Jakarta. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2014 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di net house Gunung Batu, Bogor. Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 17 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari Januari sampai April 2010. Keong pepaya dibeli dari nelayan di sekitar Perairan Cirebon. Analisis proksimat keong ini dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pohon mangrove Api-api (Avicennia marina) Lampiran 2 Perhitungan analisis proksimat daun Api-api (Avicennia marina)

Lampiran 1 Pohon mangrove Api-api (Avicennia marina) Lampiran 2 Perhitungan analisis proksimat daun Api-api (Avicennia marina) LAMPIRAN 74 Lampiran 1 Pohon mangrove Api-api (Avicennia marina) Lampiran 2 Perhitungan analisis proksimat daun Api-api (Avicennia marina) a. Kadar air % Kadar air U 1 % Kadar air U 2 Kadar air rata-rata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) MARIATI Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Politeknik Negeri Tanah Laut, Jl. A. Yani, Km

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2013 di Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 4). Dimana penelitian ini meliputi persiapan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Penyiapan Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat dan biji alpukat (Persea americana Mill). Determinasi dilakukan di Herbarium Bandung Sekolah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Ekstrak Ampas Teh Hijau Metode Difusi Agar Hasil pengujian aktivitas antibakteri ampas teh hijau (kadar air 78,65 %

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini rimpang jahe merah dan buah mengkudu yang diekstraksi menggunakan pelarut etanol menghasilkan rendemen ekstrak masing-masing 9,44 % dan 17,02 %.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

MEKANISME AKTIVITAS ANTITUMOR BUBUK DAUN CINCAU HIJAU (Premna oblongifolia Merr.) PADA MENCIT C3H YANG DITRANSPLANTASI SEL TUMOR PAYUDARA

MEKANISME AKTIVITAS ANTITUMOR BUBUK DAUN CINCAU HIJAU (Premna oblongifolia Merr.) PADA MENCIT C3H YANG DITRANSPLANTASI SEL TUMOR PAYUDARA MEKANISME AKTIVITAS ANTITUMOR BUBUK DAUN CINCAU HIJAU (Premna oblongifolia Merr.) PADA MENCIT C3H YANG DITRANSPLANTASI SEL TUMOR PAYUDARA NINDIRA ARYUDHANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Lampung Selatan, analisis aktivitas antioksidan dilakukan di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan Maret-Juni 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan Maret-Juni 2013. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Penelitian

Lebih terperinci

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati 6 konsentrasi yang digunakan. Nilai x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva udang. Ekstrak dinyatakan aktif apabila nilai LC50 lebih kecil dai 1000 μg/ml.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material, dan Laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian 3 METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 15 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai bulan Mei 2010. Tempat penelitian di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran 1. Bagan Alir Uji Fitokimia. a. Uji Alkaloid

Lampiran 1. Bagan Alir Uji Fitokimia. a. Uji Alkaloid LAMPIRAN 58 59 Lampiran 1. Bagan Alir Uji Fitokimia a. Uji Alkaloid Sampel Daun Enhalus acoroides - Ditimbang sebanyak 1 gram - Dilarutkan dengan amonia (NH₄OH 10%) sampai terendam kemudian ditambahkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2014 sampai dengan bulan Januari 2015 bertempat di Laboratorium Riset Kimia Makanan dan Material serta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tanaman Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini didesain sedemikian rupa sehingga diharapkan mampu merepresentasikan aktivitas hipoglikemik yang dimiliki buah tin (Ficus carica L.) melalui penurunan kadar glukosa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit 8 s n i1 n 1 x x i 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit s RSD (%) 100% x Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit Pengujian Alkaloid Satu gram contoh dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Determinasi Tanaman. acuan Flora of Java: Spermatophytes only Volume 2 karangan Backer dan Van

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Determinasi Tanaman. acuan Flora of Java: Spermatophytes only Volume 2 karangan Backer dan Van 22 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi merupakan suatu langkah untuk mengidentifikasi suatu spesies tanaman berdasarkan kemiripan bentuk morfologi tanaman dengan buku acuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Cyclea barbata Meer), cincau hitam (Mesona palustris), cincau minyak

BAB I PENDAHULUAN. (Cyclea barbata Meer), cincau hitam (Mesona palustris), cincau minyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki beragam tanaman yang dapat digunakan sebagai obat. Seiring dengan kemajuan ilmu teknologi, para ilmuwan terus melakukan penelitian tentang khasiat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengumpulan Tanaman Pada penelitian ini digunakan Persea americana Mill yang diperoleh dari perkebunan Manoko, Lembang, sebanyak 800 gram daun alpukat dan 800 gram biji alpukat.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang diperoleh dari perkebunan murbei di Kampung Cibeureum, Cisurupan

Lebih terperinci

Ekstrak salam Uji Bogor Sukabumi Cianjur Alkaloid Saponin Flavonoid Fenolik hidrokuinon Triterpenoid + + +

Ekstrak salam Uji Bogor Sukabumi Cianjur Alkaloid Saponin Flavonoid Fenolik hidrokuinon Triterpenoid + + + ml larutan uji. Campuran kontrol tanpa perlakuan dibuat sama seperti campuran sampel tetapi 1 ml larutan uji diganti dengan 1 ml air bebas ion. Campuran pembanding yang dibuat terdiri atas ml bufer fosfat.1

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan November 2011 sampai Mei 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2014 yang sebagian besar dilakukan di Laboratorium Riset Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai dari bulan Februari sampai Juni 2014. Lokasi penelitian dilakukan di berbagai tempat, antara lain: a. Determinasi sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Teh adalah jenis minuman non alkohol yang terbuat dari daun teh

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Teh adalah jenis minuman non alkohol yang terbuat dari daun teh BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan minuman yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Teh adalah jenis minuman non alkohol yang terbuat dari daun teh yang mengalami proses pengolahan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, dilakukan ekstraksi fikosianin dari spirulina yang digunakan sebagai pewarna alami pada minuman. Fikosianin ini memberikan warna biru alami, sehingga tidak memberikan

Lebih terperinci

IV. HasildanPembahasan

IV. HasildanPembahasan IV. HasildanPembahasan A. Kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis Hasil penelitian tentang kelimpahan di stasiun satu berkisar 34-40 individu/m 2. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.229

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proksimat Semanggi Air (Marsilea crenata) Semanggi air yang digunakan dalam penelitian ini merupakan semanggi air yang berasal dari daerah Surabaya, Jawa Timur kemudian semanggi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 18 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Pantai Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk, Muara Karang, Jakarta Utara.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Ekstrak Kasar Petrosia nigricans dan Nilai Rendemen Proses ekstraksi meliputi penghancuran sampel, maserasi dalam pelarut dengan penggoyangan menggunakan orbital shaker, penyaringan,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat-alat - Beaker glass 1000 ml Pyrex - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex - Maserator - Labu didih 1000 ml Buchi - Labu rotap 1000 ml Buchi - Rotaryevaporator Buchi R 210 - Kain

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 6 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi tanaman uji dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UMS dengan cara mencocokkan tanaman pada kunci-kunci determinasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaya hidup remaja yang telah digemari oleh masyarakat yaitu mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada organ hati

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pamahan-Jati Asih, Bekasi. Dan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Latar dan Waktu Penelitian Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dari tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal 6 dari 1 maka volume bakteri yang diinokulasikan sebanyak 50 µl. Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flaonoid dilarutkan dengan 3 ml kloroform dan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 2 dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah, selain itu daun anggrek merpati juga memiliki kandungan flavonoid yang tinggi, kandungan flavonoid yang tinggi ini selain bermanfaat sebagai antidiabetes juga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan 4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol, maserasi dilakukan 3 24 jam. Tujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit, mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jintan hitam (Nigella sativa) yang berasal dari Yogyakarta, Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging puyuh merupakan produk yang sedang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Meskipun populasinya belum terlalu besar, akan tetapi banyak peternakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi.

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah aktivitas antioksidan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen

Lebih terperinci

Uji Makanan dengan Lugol, Benedict, Biuret, Kertas Minyak

Uji Makanan dengan Lugol, Benedict, Biuret, Kertas Minyak Uji Makanan dengan Lugol, Benedict, Biuret, Kertas Minyak Bahan makanan yang kita konsumsi sehari-hari harus mengandung nutrient yang diperlukan tubuh. Karbohidrat, lemak dan protein merupakan nutrient

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daun salam (Syzygium polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu, dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cibarunai, Kelurahan Sarijadi, Bandung. Sampel yang diambil berupa tanaman

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap kemampuan ekstrak daun beluntas (Pluchea indica Less.) dalam menghambat oksidasi gula. Parameter

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang 26 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi fisiologis ternak dapat diketahui melalui pengamatan nilai hematologi ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang mengandung butir-butir

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Desikator. H 2 SO 4 p.a. pekat Tanur pengabuan

3 METODOLOGI. Desikator. H 2 SO 4 p.a. pekat Tanur pengabuan 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011. Sampel anemon laut (Stichodactyla gigantea) diambil disekitar kawasan Pulau Pramuka, Taman Nasional

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR LAMPIRAN...ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan

Lebih terperinci

6 AKTIVITAS NANOPROPOLIS SEBAGAI ANTIKANKER PAYUDARA PADA TIKUS BETINA STRAIN SPRAGUE-DAWLEY YANG DIINDUKSI DMBA. 6.1 Pendahuluan

6 AKTIVITAS NANOPROPOLIS SEBAGAI ANTIKANKER PAYUDARA PADA TIKUS BETINA STRAIN SPRAGUE-DAWLEY YANG DIINDUKSI DMBA. 6.1 Pendahuluan 46 6 AKTIVITAS NANOPROPOLIS SEBAGAI ANTIKANKER PAYUDARA PADA TIKUS BETINA STRAIN SPRAGUE-DAWLEY YANG DIINDUKSI DMBA 6.1 Pendahuluan Kanker merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar di dunia

Lebih terperinci

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia terletak di daerah tropis dan sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan fitokimia merupakan suatu metode kimia untuk mengetahui kandungan kimia suatu simplisia, ekstrak ataupun fraksi senyawa metabolit suatu tanaman herbal. Hasil penapisan

Lebih terperinci