VIII. NILAI EKONOMI EROSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. NILAI EKONOMI EROSI"

Transkripsi

1 VIII. NILAI EKONOMI EROSI Pada bab ini akan dibahas tentang pengukuran nilai ekonomi dampak erosi lahan budidaya intensif terhadap on-farm di sub-sistem hulu waduk serta eksternalitas yang terjadi pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Pengukuran nilai ekonomi didekati dengan konsep biaya on-site maupun off-site erosi serta harga bayangan ketebalan lapisan tanah melalui konsep user cost. Pembahasan nilai ekonomi erosi diawali dengan deskripsi dinamika cadangan atau stok dan ekstrasi sumberdaya ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) dan kapasitas tampungan waduk Cadangan dan Ekstrasi Sumberdaya Dinamika stok ketebalan lapisan tanah ditunjukkan dalam kolom SD; dan tingkat ekstrasinya diwakili oleh variabel kehilangan lapisan tanah kumulatif (CSL) pada setiap periode (Tabel 22 dan 23). Dinamika stok kapasitas waduk diwakili oleh volume tampungan mati yang belum terisi (Vsa 2b ) dan ekstrasi setiap periode digambarkan oleh volume sedimen baru yang masuk ke dalam waduk setiap tahun (Vms) sebagaimana seperti yang terdapat pada Tabel 24. Berdasarkan dinamika kondisi fisik ketebalan lapisan tanah pada Tabel 22 dapat diperoleh gambaran bahwa ekstrasi SD setiap periode di wilayah Subsub DAS Sumber Brantas paling tinggi terjadi pada lahan tegal, kemudian secara berurutan diikuti oleh lahan kebun dan sawah. Pada akhir horizon waktu (2020), CSL yang dihasilkan paket pola tanam apel pada lahan tegal relatif lebih besar daripada lahan kebun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada wilayah Sub-sub DAS yang sama dapat terjadi CSL yang bervariasi menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan dan pola tanam.

2 Tabel 22. Ketebalan Lapisan Tanah dan Kumulatif Kehilangan Tanah Setiap Periode dari Aktivitas Optimal Sub-Sub DAS Sumber Brantas Menurut Klasifikasi Fungsi dan Kemiringan Lahan Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Kebun I Tahun Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Kentang-Wortel Apel Apel SD CSL SD CSL SD CSL SD CSL SD CSL (cm) (mm) (cm) (mm) (cm) (mm) (cm) (mm) (cm) (mm) Sumber: Olahan data Ekstrasi SD setiap periode pada paket pola tanam kentang-wortel yang terjadi di wilayah Sub-sub DAS Bango relatif jauh lebih tinggi daripada di wilayah Sumber Brantas (Tabel 23); yakni 0.31 cm/th untuk Sub-sub DAS Bango dan 0.13 cm/th untuk Sumber Brantas. Kehilangan ketebalan lapisan tanah (Soil Loss atau SL) setiap periode maupun kumulatifnya (CSL) pada paket pola tanam Jg-Jg-Sy yang terjadi di wilayah Sub-sub DAS Metro menunjukkan angka yang paling tinggi; urutan berikutnya ditempati wilayah Lesti dan Amprong. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pola tanam yang sama pada lahan tegal kemiringan I (0 15%) akan terjadi keragaman CSL menurut Sub-sub DAS. Keragaman tersebut tidak hanya terjadi pada lahan tegal kemiringan I, namun juga pada klasifikasi fungsi lahan yang lain. Hal itu terjadi karena adanya keragaman tingkat erosi menurut wilayah. Dari kondisi tersebut selanjutnya perlu digali deskripsi hubungan antara tingkat erosi dan biaya erosi; yakni deskripsi

3 yang mencerminkan apakah suatu paket pola tanam yang menghasilkan tingkat erosi tinggi akan mempunyai biaya erosi yang tinggi. Untuk itu dapat ditinjau dari harga bayangan ketebalan lapisan tanah yang diuraikan pada sub-bab 8.3. Tabel 23. Ketebalan Lapisan Tanah dan Kumulatif Kehilangan Tanah Setiap Periode dari Aktivitas Optimal pada Lahan Tegal Kemiringan I Menurut Sub-Sub DAS (cm) Bango Sb Brantas Amprong Lesti Metro Tahun Kentang-Wortel Kentang-Wortel Jg-Jg-Sy Jg-Jg-Sy Jg-Jg-Sy SD CSL SD CSL SD CSL SD CSL SD CSL Sumber: Olahan data Apabila dinamika perubahan SD dan CSL setiap periode tersebut (Tabel 22 dan 23) disajikan dalam bentuk grafik, maka dapat diperoleh kecenderungan hubungan antara stok dan ekstrasi ketebalan lapisan tanah. Dalam hal ini CSL dianalogikan sebagai tingkat ekstrasi SD selama horizon waktu. Dalam bentuk grafik dinamika SD dan CSL pada lahan tegal kemiringan I dengan pola tanam Jg-Jg-Sy di wilayah Sub-sub DAS Metro disajikan pada Gambar 8. Kurve CSL berbentuk linier mencerminkan perubahan ekstrasi intertemporal yang konstan, sehingga menjadikan bentuk kurva SD juga linier, karena proporsi menurunnya SD ditentukan oleh kendala transisi pada persamaan (6.2). SL adalah konstan

4 karena besaran SL merupakan hasil bagi antara tingkat erosi dan berat jenis tanah; sementara tingkat erosi setiap hektar lahan tetap pada setiap periode. Soil Depth & Soil Loss (cm) Periode (Tahun) Gambar 8. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Ketebalan Lapisan Tanah Lahan Tegal Kemiringan I (0 5%) pada Pola Tanam Pd-Pd-Sy di Wilayah Sub-Sub DAS Metro Volume stok air (Vsa 1 ) dari Waduk Sengguruh setiap tahun mengalami penurunan sebesar 0.45 juta m 3 (Tabel 24) karena digantikan oleh sedimen yang masuk kedalam waduk; yakni sebesar bertambahnya volume stok sedimen (Vss 1 ). Sementara itu, agar manfaat bersih sosial menjadi maksimal, pengerukan sedimen yang dilakukan tahun 2007 adalah 0.24 juta m 3. Pada kondisi riil di lapangan, pengerukan telah dilakukan setiap tahun sejak beberapa tahun sebelum 2003 (PJT I, 1998). Volume sedimen yang masuk Waduk Sengguruh pada tahun 2004 sampai 2006 menggantikan volume stok air sebesar 0.45 juta m 3. Khusus pada tahun 2007, volume sedimen yang masuk Waduk Sengguruh sebagian menggantikan volume stok air (Vsa 1 ) sebesar 0.21 juta m 3 dan sebagian yang lain (0.24 juta m 3 ) dikeruk. Volume stok air (Vsa 1 ) berkurang dan volume stok sedimen bertambah (Vss 1 ), yakni sebesar volume sedimen baru yang masuk. Pengerukan sedimen

5 setiap periode dari tahun 2008 hingga 2020 sebesar volume sedimen baru yang masuk waduk (Tabel 24), yaitu sebesar 0.45 juta m 3. Tabel 24. Pendugaan Volume Stok Air dan Volume Sedimen pada Waduk Sengguruh dan Sutami Sengguruh Sutami Tahun Vsa 1 Vss 1 Vks 1 Wo 1 Vsa 2 Vss 2 Vsa 2a Vsa 2b Wo 2... (juta m 3 )... (m 3 /det)... (juta m 3 )... (m 3 /det) Sumber: Olahan data Batas fasilitas operasi minimal Waduk Sengguruh adalah elevasi operasi m, yakni dengan volume sebesar 1.36 juta m 3 (Tabel 4). Secara teknis, volume stok sedimen (Vss 1 ) lebih besar dari 1.36 juta m 3 akan dilakukan pengerukan sedimen. Pengerukan dilakukan agar turbin pada PLTA Sengguruh tetap berfungsi. Pada tabel 24 tampak bahwa Vss 1 pada tahun 2006 sebesar 1.67 juta m 3 volume tersebut lebih besar daripada volume stok sedimen yang diperbolehkan. Agar turbin pada PLTA Sengguruh masih tetap berfungsi, semestinya pada tahun 2006 ada aktivitas pengerukan sedimen sebanyak 0.31 juta m 3. Hasil pendugaan volume sedimen yang dikeruk (VKS 1 ) yang terdapat dalam Tabel 24 didasarkan pada rumusan kendala pada persamaan (6.3b). Hal tersebut belum mencerminkan batas fasilitas operasi minimal Waduk Sengguruh

6 pada elevasi m. Oleh karena itu, maka dalam perumusan optimasi dinamik perlu ditambahkan persamaan batas atas dari variabel Vss 1 sebesar 1.36 juta m 3. Dari Tabel 24 juga dapat diinformasikan bahwa: (1) pendugaan volume air yang tersimpan pada tampungan efektif Waduk Sutami selama horizon waktu sebesar volume yang dipertahankan ( juta m 3 ), (2) kapasitas tampungan mati Waduk Sutami pada setiap periode (Vsa 2 b(t) Vsa 2 b (t+1)) semakin berkurang sebesar 0.75 juta m 3, yakni sebesar perubahan volume stok sedimen dalam waduk (Vss 2 (t) Vss 2 (t+1)), dan (3) kapasitas tampung mati Waduk Sutami yang belum terisi hingga akhir horizon waktu sebesar juta m 3. Hasil pendugaan volume sedimen yang tertahan dalam Waduk Sutami yang terjadi setiap periode (0.75 juta m 3 ) tersebut jauh lebih kecil dari kondisi riil di lapangan. Rata-rata yang diperoleh dari data sekunder menunjukan bahwa sedimen yang terjadi tiap tahun sebesar 3.96 juta m 3 (Tabel 5). Hal tersebut terjadi karena tingkat erosi setiap paket pola tanam yang dipergunakan sebagai dasar pendugaan relatif kecil bila dibandingkan dengan keadaan riil. Perubahan volume kapasitas tampungan mati Waduk Sutami selama horizon waktu disajikan pada Gambar 9. Dengan membandingkan dua periode dapat diinterpretasikan bahwa volume tampungan mati Waduk Sutami (Vsa 2 b) selama periode perencanaan terjadi perubahan sebesar 5%. Volume air yang tersimpan dalam tampungan efektif (Vsa 2a ) adalah konstan sepanjang periode perencanaan, yakni juta m 3 yang merupakan asumsi untuk mempertahankan kapasitas tampung Waduk Sutami sepanjang horizon waktu.

7 Vsa 2b =12% Vss 2 = 26% Vsa 2b= 7% Vss 2 = 31% Vsa 2a = 62% Vsa 2a = 62% a. Kondisi tahun 2003 b. Kondisi tahun 2020 Gambar 9. Pendugaan Volume Tampungan Efektif dan Tampungan Mati Waduk Sutami pada Tahun 2003 dan 2020 Deskripsi hubungan antara stok dan ekstrasi sumberdaya di DTA Waduk Sutami-Sengguruh disajikan pada Gambar 10. Sebaran stok sumberdaya selama horizon waktu membentuk kurva linier dengan kelerengan (slope) negatif, sedangkan ekstraksi sumberdaya mempunyai slope positif. Massa sedimen yang konstan pada setiap periode menghasilkan perubahan volume sedimen yang tertahan dalam Waduk Sutami (Vss 2 ) menjadi konstan, yakni sebesar 0.75 juta m 3. Kapasitas tampungan mati yang belum terisi dianalogikan sebagai stok sumber-daya, sedangkan kumulatif volume sedimen baru yang tertahan dalam Waduk Sutami pada setiap periode (kumulatif perubahan Vss 2 ) dianalogikan sebagai ekstrasi stok sumberdaya. Dengan volume stok sedimen Waduk Sutami yang konstan pada setiap periode, menjadikan pengurangan kapasitas tampungan mati juga konstan (Tabel 24). Kurva cadangan dan ekstrasi tampungan mati Waduk Sutami pada Gambar 10 mendeskripsikan hubungan antara kapasitas tampungan mati yang

8 belum terisi (Vsa 2 b) dan kumulatif sedimen yang masuk (kumulatif perubahan Vss 2 ) setiap periode. Stok sumberdaya yang cenderung semakin kecil antar waktu; dan ekstrasi stok sumberdaya tampak semakin besar. Deskripsi yang terjadi tersebut diharapkan mampu menggambarkan dinamika stok dan ekstrasi sumberdaya pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk TM yg belum terisi & Ekstrasi TM kumulatif (juta m3) Tampungan mati yg blm terisi (VSA 2B) Kumulatif perubahan (VSS 2) Periode (tahun) Gambar 10. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Tampungan Mati Waduk Sutami Pengaruh perubahan aktivitas pola tanam terhadap perubahan kapasitas tampungan waduk secara matematis dapat dilihat melalui persamaan (6.10a) untuk Waduk Sengguruh dan persamaan (6.10b) untuk Waduk Sutami. Dari persamaan tersebut dapat mendeskripsikan fenomena arah perubahan yang terjadi serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan. Apabila terjadi peningkatan aktivitas pola tanam seluas satu hektar (X ijk ) akan menyebabkan: (1) inflow air meningkat sebesar d s, dan (2) kapasitas tampungan waduk menurun sebesar volume sedimen baru yang tertahan. Besarnya (magnitude) perubahan kapasitas tampungan waduk dipengaruhi oleh berat jenis sedimen (KVS), rasio transportasi sedimen (SDR) setiap Sub-sub DAS, dan tingkat erosi per hektar dari paket pola tanam yang dikelola (e ijk ).

9 8.2. Pendugaan Biaya On-Site Erosi Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa besarnya biaya on-site erosi didekati dengan nilai sekarang (present value atau PV) dari pendapatan bersih yang akan datang sebagai akibat dari erosi tanah yang terjadi pada saat ini. Pendapatan bersih tersebut secara matematis ditunjukan oleh unsur kedua sebelah kanan tanda sama dengan (right hand side) pada persamaan (6.12a). Dari perubahan PV pendapatan per hektar pola tanam apel (aktivitas pola tanam optimal pada lahan tegal II) dari Sub-sub DAS Sumber Brantas (tabel 20) dan besaran SL setiap tahun pada Tabel 23, maka dapat diperoleh pendugaan besaran biaya on-site erosi yang disajikan pada Tabel 25. Dari Tabel 25 terdapat tendensi bahwa biaya on-site erosi semakin kecil antar periode. Pendapatan bersih yang diperoleh pada tahun 2004 seiring dengan terjadinya SL akibat aktivitas pertanian selama tahun 2003, yakni sebesar Rp 6.55 juta/mm/ha. Tabel 25. Pendugaan Biaya On-Site Erosi pada Pola Tanam Apel Lahan Tegal Kemiringan II di Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas Tahun Pendapatan (juta Rp/ha) SL Biaya on-site erosi PV Delta (mm) (ribu Rp/mm/ha) (juta Rp/mm/ha) Sumber: olahan data

10 Dengan membandingkan antara besaran PV pendapatan per hektar dan biaya on-site erosi, tampak bahwa biaya on-site erosi pada periode t+1 hampir sama dengan PV pendapatan per hektar pada periode t. Hal tersebut karena pengukuran biaya on-site erosi hanya didasarkan pada pendekatan nilai perubahan produktivitas, serta tanpa mempertimbangkan investasi dalam bentuk biaya pembuatan dan perawatan bangunan teras Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah Nilai ekonomi dampak erosi dapat didasarkan pada konsep user cost, yaitu melalui harga bayangan atau biaya kesempatan (opportunity cost) pada periode yang akan datang (t+1) yang diakibatkan dari keputusan ekstrasi SD pada periode saat ini (t). Hasil pendugaan besaran biaya disajikan dalam bentuk present value (ρλ 1ijk(t+1) ) maupun dalam bentuk nominal (λ 1ijk(t+1) ). Valuasi ekonomi dampak erosi terhadap kehilangan ketebalan lapisan tanah (soil loss) per hektar didekati dengan harga bayangan (shadow price) yang ditunjukan oleh angka pengganda Lagrange yang terkait dengan kendala transisi (motion equation) ketebalan lapisan tanah. Dari perspektif ekonomi sumberdaya, pengganda Lagrange dari kendala transisi disebut dengan user cost, yakni yang mencerminkan harga bayangan dari state variable. Besarnya harga bayangan dari perumusan optimasi dinamik problem diskrit adalah λ (t+1) (Conrad, 1999; Sagarra dan Taylor, 1987). Berdasarkan formula Lagrange pada persamaan (6.7), besarnya dampak erosi terhadap SD adalah λ 1ijk (t+1). Besaran tersebut mencerminkan perubahan PV manfaat sosial bersih dari perubahan satu cm SD dari klasiikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan pola tanam optimal ke-j pada Sub-sub DAS ke-k.

11 Tabel 26. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah pada Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Beberapa Klasifikasi Lahan Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas (ribu Rp/cm/ha) Pd-Pd-Sy Apel Tahun Sawah I λ 113 (t+1) Sawah II λ 122 (t+1) Tegal II λ 1417 (t+1) Kebun I λ 1519 (t+1) Kebun II λ 1623 (t+1) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) Sumber: Olahan data

12 Pada Tabel 26 hingga Tabel 29 tampak bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah (user cost of soil erosion atau UCSE) selama horizon waktu cenderung menurun, baik dalam nilai nominal maupun nilai sekarang. Deskripsi kecenderungan UCSE yang semakin menurun antar periode mirip dengan hasil kajian Walker (1982) dan Van Kooten et al. (1989). Diuraikan bahwa semakin dalam SD, besarnya UCSE tahun berjalan (current) semakin menurun; serta pada SD 12 inchi UCSE semakin kecil antar waktu. Besaran yang terdapat pada Tabel 26 hingga 29 tersebut dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan satu cm SL akibat dari akivitas pola tanam ke-j pada lahan ke-i di wilayah ke-k pada periode t akan menyebabkan UCSE periode t+1 sebesar λ 1ijk (t+1). Secara umum dapat dideskripsikan bahwa UCSE terkecil terjadi pada pola tanam tebu pada lahan kebun kemiringan I (0 15%); sedangkan tertinggi dari paket pola tanam Kentang-Wortel pada lahan tegal kemiringan I. Secara spesifik, dari wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas (Tabel 30) terdapat tendensi bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah dari paket pola tanam Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I relatif sama dengan lahan sawah kemiringan II. UCSE dari aktivitas optimal tanaman apel pada lahan kebun kemiringan II ( 15%) relatif sama dengan kemiringan I; dan pada lahan tegal klasifikasi kemiringan II sedikit lebih tinggi. Hasil UCSE lahan tegal klasifikasi kemiringan I dengan pola tanam Kentang-Wortel di Sub-sub DAS Sumber Brantas relatif lebih tinggi daripada Bango (Tabel 27). Rata-rata selisih nilai nominal selama horizon waktu sebesar Rp UCSE pola tanam Jg-Jg-Sy tertinggi terjadi di wilayah Sub-sub DAS Metro; yang diikuti oleh Lesti dan Amrong. Dari hasil pendugaan harga bayangan ketebalan lapisan tanah di wilayah Sub-sub DAS Metro (Tabel 28) dapat diperoleh kecenderungan bahwa UCSE

13 Tabel 27. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (dari Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Lahan Tegal Kemiringan I (0 15%) di Beberapa Wilayah Sub-Sub DAS (ribu Rp/cm/ha) Paket Pola Tanam dan Sub-sub DAS Kentang-Wortel Jg-Jg-Sy Tahun λ 1311k (t+1) λ 139k (t+1) Bango Sb. Brantas Amprong Lesti Metro PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) PV (ρλ t ) Nominal (λ t ) Sumber: Olahan data

14 Tabel 28. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ 1ij5 (t+1)) Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Beberapa Klasifikasi Lahan di Sub-Sub DAS Metro (ribu Rp/cm/ha) Jg-Jg-Sy (λ 1ij5 (T+1)) Jeruk (λ 1ij5 (T+1)) Tahun Tegal I Tegal II Sawah II Kebun I Kebun II PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal (ρλ t ) (λ t ) (ρλ t ) (λ t ) (ρλ t ) (λ t ) (ρλ t ) (λ t ) (ρλ t ) (λ t ) Sumber: Olahan data

15 pada pola tanam Jg-Jg-Sy jauh lebih tinggi daripada pola tanam tunggal jeruk. UCSE lahan sawah II dengan pola tanam jeruk relatif lebih tinggi daripada lahan kebun; dan UCSE antara lahan kebun klasifikasi kemiringan I relatif sama dengan kemiringan II. Harga bayangan ketebalan lapisan tanah pola tanam Pd-Pd-Sy lahan sawah kemiringan I yang tertinggi terjadi pada wilayah Sub-sub DAS Metro kemudian diikuti oleh Lesti, Sumber Brantas dan Bango (Tabel 33). Dari tabel tersebut juga tercermin bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah beragam menurut wilayah Sub-sub DAS. Tabel 29. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ 113 (t+1)) Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan I (0 15%) Menurut Sub-Sub DAS (ribu Rp/cm/ha) Sub-sub DAS Tahun Bango Sb Brantas Lesti Metro ρλ 1131t λ 1131t ρλ 1132t λ 1132t ρλ 1134t λ 1134t ρλ 1135t λ 1135t Sumber: Olahan data Dari Tabel 26 hingga 29 tersebut, tampak adanya kecenderungan bahwa UCSE di DTA Waduk Sengguruh-Sutami bervariasi menurut: (1) paket pola tanam, (2) klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan, dan (3) wilayah Sub-sub DAS. Dengan asumsi bahwa penerapanan teknologi di seluruh DTA, harga komoditi dan biaya per hektar yang sama; maka keragaman UCSE bisa jadi disebabkan

16 oleh perbedaan nilai produk marjinal dari setiap komoditas (persamaan 6.12a). Karena tingkat erosi yang berbeda mengakibatkan tingkat respon terhadap produk fisik marjinal juga berbeda. Dengan memperhatikan sebaran hasil pendugaan UCSE (Tabel 26 hingga 29) dan tingkat erosi (Tabel 15 dan 16), tidak didapatkan adanya kecenderungan hubungan langsung antara tingkat erosi yang tinggi akan diikuti dengan UCSE yang tinggi. Pendugaan besaran biaya implisit erosi atau harga bayangan ketebalan lapisan tanah (λ 1t+1 ) juga ditentukan oleh besaran user cost kendala transformasi kapasitas tampungan Waduk Sengguruh (λ 2t+1 ) dan Sutami (λ 4t+1 ). Berdasarkan persamaan (6.7) tercermin bahwa marjinal manfaat sosial bersih pada periode ke-t sama dengan harga bayangan atau biaya kesempatan dari ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk. Dari hasil kajian Walker (1982), McConnell (1983), Segarra dan Taylor (1987), Van Kooten et al. (1989), serta Barbier (1990) dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempunyai sumbangan terhadap besaran pendugaan user cost atau harga bayangan ketebalan lapisan tanah adalah: (1) ketebalan lapisan tanah, (2) harga komoditas, (3) produk marjinal fisik dari kehilangan lapisan tanah, (4) harga input, (5) nilai produk marjinal dari input produktif (pf 1 ), dan (6) tingkat bunga. User cost pada kajian McConnell (1983) dan Barbier (1990) ditunjukkan oleh besaran λ(t); karena perumusan optimasi dinamik didasarkan pada problem kontinyu. Dari nilai nominal biaya implisit erosi yang terjadi pada pola tanam Pd-Pd-Sy lahan tegal kemiringan I di Wilayah Bango dari Tabel 29 didapatkan kurva user cost intertemporal seperti yang terdapat pada Gambar 11. Kurva biaya implisit erosi mempunyai kelerengan atau

17 slope negatif. Kodisi tersebut mencerminkan biaya kesempatan semakin kecil antar periode. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa biaya kesempatan setiap periode yang akan datang semakin kecil karena ketersediaan lapisan tanah (sebagai sumberdaya) di daerah penelitian relatif tebal. Sementara itu, apabila pergerakan user cost yang semakin meningkat selama periode perencanaan (time horizon) mencerminkan sumberdaya yang tersedia semakin sedikit. Nominal harga bayangan (user cost) Soil Depth ( ribu Rp /cm/ha) Periode (Tahun) Gambar 11. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan I (0 15%) Sub-Sub DAS Bango Pada Gambar 12 menjelaskan hubungan antara UCSE dan SD; yakni antara hasil pendugaan λ 1ijk (t+1)

18 yang terdapat pada Tabel 23 dan perubahan SD yang terdapat pada Tabel 27. Kurva tersebut menunjukan hubungan yang positif; yang menggambarkan penurunan ketebalan lapisan tanah (SD) akan diikuti dengan UCSE yang semakin kecil seiring dengan bertambahnya periode waktu. Perubahan biaya implisit erosi didasarkan pada kerangka logika turunan parsial fungsi Lagrange persamaan yang berkenaan dengan perubahan state variable ketebalan lapisan tanah sebagaimana seperti yang terdapat pada persamaan (6.12a). Dalam tataran teoritis, salah satu syarat dalam pemecahan optimasi dinamik adalah kondisi orde pertama yang berkenaan dengan perubahan state variable sama dengan nol (Conrad, 1999 dan Chiang, 1992). Pengganda Lagrange antar waktu; yakni (λ t+1 λ t ) mencerminkan tambahan nilai marjinal manfaat bersih dari fungsi tujuan karena tambahan satu unit sumberdaya. Disamping itu dari beberapa peneliti (McConnell, 1983; Saliba, 1985; dan Segarra dan Taylor, 1987) telah mengapli-kasikannya untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan biaya implisit erosi Harga bayangan (user cost) Soil Depth (ribu Rp/cm/ha)

19 Gambar 12. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Kentang-Wortel pada Lahan Tegal I (0 15%) Sub- Sub DAS Bango Selama periode harizon waktu, pendugaan UCSE yang terjadi di DTA Waduk Sutami dan Sengguruh menunjukan perubahan yang semakin meningkat (Tabel 30). Besaran UCSE yang terdapat pada tabel tersebut mencerminkan bahwa aktivitas optimal akan mendatang kerugian sebesar λ t+1 apabila pada periode t sumberdaya ketebalan lapisan tanah dipertahankan tidak dieksploitasi. Perubahan UCSE ( & λ 1ijk ) meningkat antar waktu. Tabel 30 Perubahan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ 1t+1 λ t ) dari Beberapa Aktivitas Optimal Menurut Sub-Sub DAS Selama Horizon Waktu (ribu Rp/cm/ha) Bango Sumber Brantas Sawah I Tegal I Sawah I Tegal I Tahun Pd-Pd-Sy (λ 131 ) Kn-Wrl (λ 3111 ) Pd-Pd-Sy (λ 132 ) Kn-Wrl (λ 3112 ) λ t λ t+1 -λ t λ t λ t+1 -λ t λ (t) λ (t+1) -λ (t) λ t λ t+1 -λ t

20 Sumber: Olahan data Perubahan UCSE antar waktu sebesar λ 1ijk (t+1) λ 1ijk (t) atau & λ i1ijk yang bertanda negatif pada Tabel 30 dapat diinterpretasikan bahwa aktivitas optimal pada periode t akan mendatang kerugian sebesar λ(t+1) bila pada periode t tidak terjadi pengurangan ketebalan lapisan tanah. Dengan demikian hasil pendugaan UCSE bisa dipergunakan sebagai dasar pijakan logika untuk mendeteksi eksploitasi ketebalan lapisan tanah. Dari kajian Segarra dan Taylor (1987) menunjukkan bahwa pertumbuhan atau perubahan UCSE, dipengaruhi oleh tingkat bunga (r), dikurangi kontribusi soil depth terhadap keuntungan pada periode saat ini dan ditambah dampak perubahannya pada periode sesudahnya (t+1). Disamping itu, ditentukan oleh pengaruh SD terhadap pengurangan produktivitas lahan pada periode (t+1). Kondisi tersebut dapat disimak pada persamaan (4.19b). Penelitian yang dilakukan oleh McConnell (1983) menjelaskan bahwa tingkat perubahan UCSE ( & λ ) meningkat seiring dengan perkembangan tingkat bunga (r) dan mempunyai hubungan negatif dengan besarnya tambahan sumbangan SD terhadap keuntungan tahun berjalan (persamaan 4.29d). Saliba (1985) mengungkapkan bahwa secara tidak langsung tingkat perubahan nilai marjinal SD ( & λ ) tergantung pada tingkat bunga (r), nilai costate variable tahun berlaku λ(t), harga komoditas (p 1 & p 2 ), dan pengaruh produktivitas tanah terhadap produksi tanaman [ f/ h(s)], serta pengaruh SD terhadap produktivitas [ h(s)/ s]. Perilaku tersebut didasarkan pada keterkaitan antar variabel yang terdapat pada persamaan (4.24b). Kajian Barbier (1990) mendapatkan bahwa & λ

21 fenomena perubahan UCSE ( ) selama horizon waktu dipengaruhi oleh tingkat bunga (r) dan kontribusi lahan terhadap keuntungan periode berjalan, pf 2. Melalui turunan parsial dari persamaan (6.12a) yang berkenaan dengan state variable SD; tingkat perubahan UCSE yang terjadi di DTA Waduk Sutami- Sengguruh (λ1t+1-λt) dipengaruhi oleh: (1) UCSE periode t+1 atau λ 1ijk (t+1), (2) kontribusi perubahan SD terhadap fungsi tujuan (manfaat bersih) pada periode (t+1) karena erosi atau ( z( )/ S ijk (t)), (3) harga komoditas (PCi) dan luas lahan optimal (X ijk (t)), dan (4) produk marjinal SD pada periode t atau ( Y( )/ S ijk (t)). Sementara itu, kontribusi variabel SD terhadap fungsi tujuan pada periode t+1 sangat bervariasi. Keragaman tersebut dipengaruhi oleh perubahan SL karena variasi tingkat erosi, mengingat dalam ( z( )) terkandung variabel tingkat erosi Pendugaan Biaya Off-Site Pendugaan besaran biaya off-site erosi (off-site cost of erosion atau OFCE) didekati dengan harga bayangan (shadow price) yang ditunjukan oleh angka pengganda Langrange yang terkait dengan kendala transisi kapasitas tampungan waduk. PV dari OFCE per periode cenderung menurun; sedangkan nilai nominalnya konstan sepanjang horizon waktu (Tabel 31). OFCE tersebut dapat diinterpretasikan bahwa biaya kesempatan setiap satu m 3 air yang tersimpan pada tahun ke-t sebesar λ t+1. Sebagai contoh, OFCE pada Waduk Sengguruh (λ 2t+1 ) tahun 2004 sebesar 97.43; yang bisa diartikan bahwa setiap satu m 3 yang tersimpan sejak akhir tahun 2003 mempunyai biaya kesempatan sebesar Rp Besaran OFCE gabungan pada Tabel 31 dimaksudkan untuk memberikan valuasi dampak erosi terhadap sedimentasi waduk menjadi satu nilai. Penentuan nilai gabungan dengan pertimbangan perbedaan proporsi sedimen yang tertahan pada masing-masing waduk. OFCE yang terjadi di Waduk Sengguruh relatif lebih besar daripada Waduk Sutami. Hal itu karena

22 harga bayangan dari kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dipengaruhi oleh harga per unit produksi listrik PLTA Sengguruh (PE 1 ) dan harga per unit produksi listrik PLTA Sutami (PE 2 ); sedangkan pada Waduk Sutami hanya dipengaruhi oleh PE 2. Besaran OFCE disamping ditentukan oleh PE juga dipengaruhi oleh harga air untuk pengairan (PI) serta industri (PM). Pada Tabel 31 tampak bahwa nominal OFCE setiap periode adalah konstan sepanjang horizon waktu. Hal tersebut bisa terjadi karena PE 1, PE 2, PI dan PM diasumsikan tetap sepanjang horizon waktu. Secara manual, hasil pendugaan OFCE yang terdapat pada Tabel 31 dapat dihitung berdasarkan persamaan (6.11c) untuk Waduk Sengguruh dan persamaan (6.11b) untuk Sutami. Disamping itu, dari kedua persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mem-pengaruhi harga bayangan dari kapasitas tampungan waduk.

23 Tabel 31. Pendugaan Biaya Off-Site Erosi (Rp/m 3 ) Selama Horizon Waktu Sengguruh Sutami Gabungan*) Tahun PV (ρλ 2t+1 ) Nominal (λ 2t+1 ) PV (ρλ 4t+1 ) Nominal (λ 4t+1 ) PV (ρλ t+1 ) Nominal (λ t+1 ) Sumber: Olahan data Keterangan: *) 0.4 Sengguruh Sutami Dari perspektif ekonomi, apabila biaya pengerukan sedimen lebih besar daripada biaya kesempatan air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh, maka untuk mengatasi sedimentasi relatif lebih murah dengan mengatur pola tanam di DTA daripada melakukan aktivitas pengerukan sedimen. Secara riil biaya sedimen sebesar Rp 7,507/m 3, sedangkan OFCE yang mencerminkan biaya kesempatan air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh adalah Rp 107/m 3. Dari aspek teknis, kegiatan pengerukan (Vks 1 ) dilakukan apabila stok sedimen melebihi batas volume pada elevasi m yang mengganggu operasi turbin. Pengaturan pola tanam di DTA merupakan salah satu metode penanganan sedimen dalam jangka panjang. Metode tersebut telah diterapkan dalam rangka pengendalian erosi di daerah DAS Kali Brantas melalui berbagai bentuk program maupun proyek dengan dana dari berbagai sumber (sub-bab dan 2.5.4). Bahkan pada tahun 2002 telah dilakukan gerakan penanaman sejuta pohon di

24 DTA Sutami yang diprakarsai oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Malang. Namun demikian, pada kenyataannya tingkat sedimentasi waduk masih tetap tinggi (Tabel 5). Berdasarkan efektifitas penggunaan dana proyek (yang telah dilakukan sejak tahun tujuh puluhan) dan dana hasil retribusi terhadap keberhasilan penanganan erosi tersebut belum mencerminkan penanganan yang didasarkan konsep hulu-hilir yang holistik dan komprehensif. Oleh karena itu diperlukan model kelembagaan yang mampu menangani sedimentasi secara komprehensif yang didasarkan pada aplikasi unsur-unsur manajemen secara lengkap (POAC = planning, organizing, actuating dan controlling). Biaya off-site erosi diusulkan sebagai dasar untuk menetapkan pungutan iuran (retribusi) dari masyarakat dalam rangka menggalang dana untuk kelestarian dan konservasi DTA. Penetapan pungutan iuran didasarkan pada prinsip pengguna air waduk yang membayar dan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar. Penetapan pungutan dengan prinsip pengguna air waduk yang membayar dapat dihitung berdasarkan persamaan (6. 11c) dan (6. 11b). Dari persamaan tersebut dapat ditetapkan besarnya retribusi yang seharusnya dibayar oleh: 1. Pengguna air waduk untuk produksi listrik PLTA Sengguruh adalah 7.74% PE 1 dan PLTA Sutami sebesar 23.40% PE Pengguna air waduk untuk pengairan adalah 28.77% PI. 3. Pengguna air waduk untuk industri adalah 2.06% PM. Retribusi yang seharusnya dibayar oleh pengguna air waduk untuk industri sangat kecil karena kontribusi outflow Sutami terhadap volume air untuk industri di daerah hilir sangat kecil, yakni 2.06% (Lampiran 7 baris ke-2). Dalam penetapan nominal retribusi tersebut, yang harus diperhatikan adalah harga air per unit menurut penggunaannya. Oleh karena harga air bervariasi menurut

25 dimensi waktu, maka nominal retribusi yang dibebankan pada pengguna air waduk juga harus berubah menurut dimensi waktu. Berdasarkan persamaan (5.3a), (5.3c) dan (5.3e), dapat dikatakan bahwa persentase sumbangan PE terhadap OFCE dipengaruhi oleh: (1) efisiensi turbin dan generator dan (2) tinggi jatuh efektif. Sementara itu, di daerah DAS Kali Brantas terdapat empat bendungan lain yang dilengkapi dengan PLTA; yaitu bendungan Wlingi, Lodoyo, Tulung Agung dan Selorejo. Setiap bendungan tersebut mempunyai spesifiksi waduk secara fisik yang berbeda, sehingga efisiensi turbin dan generator dan tinggi jatuh efektif juga berbeda. Oleh karena itu, dalam penetapan retribusi air untuk listrik di seluruh DAS Kali Brantas harus berbeda atau bervariasi menurut dimensi ruang. Dengan demikian persentase sumbangan PE terhadap biaya kesempatan kapasitas tampungan suatu waduk tidak berlaku umum, namun spesifik menurut lokasi keberadaan waduk. Hal yang sama juga berlaku untuk persentase sumbangan harga air untuk pengairan dan industri, mengingat kontribusi outflow setiap waduk terhadap pemenuhan air pengairan dan industri yang cenderung berbeda. Berdasarkan rata-rata harga produksi listrik tahun 2002 dan 2003, secara normatif retribusi yang harus dibayar oleh produsen listrik PLTA Sengguruh adalah Rp 31.11/kWh dan PLTA Sutami sebesar Rp 30.84/kWh. Dari data sekunder tahun 2003, retribusi yang dipungut dari produsen listrik sebesar Rp /kwh. Retribusi riil tersebut telah diberlakukan secara umum untuk seluruh PLTA yang ada di wilayah DAS Kali Brantas. Perbedaan besarnya retribusi antara kondisi riil dan perhitungan normatif tersebut perlu diinformasikan kepada pihak otorita dan didiskusikan bagaimana kemungkinan diaplikasikannya metode penetapan retribusi secara normatif tersebut.

26 Aplikasi persamaan (6.11b) dan (6.11c) adalah untuk menduga sumbangan (share) masing-masing per unit harga air waduk menurut penggunaannya terhadap biaya kesempatan per m 3 kapasitas tampungan waduk. Penentuan sumbangan tersebut dirasa penting dilakukan, khususnya untuk listrik, mengingat dalam penentuan harga per unit daya listrik telah memasukan unsur biaya pemeliharaan DTA, yakni unsur biaya C-EP (pada sub-sub bab 5.1.3). Rumusan penentuan sumbangan harga produk daya listrik terhadap biaya kesempatan air waduk diharapkan dapat menanggulangi perbedaan pendapat antara pihak otoritas pengelola waduk dan produsen tentang besaran retribusi air untuk PLTA. Penetapan pungutan dengan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar dapat diturunkan dari persamaan (6.10c) dan (6.10d). Penetapan biaya eksternal erosi yang ditimbulkan oleh setiap hektar lahan yang berada di daerah Sub-sub DAS Metro didasarkan pada persamaan : 0.58 KVS SDR 5 e ij5 λ 4 (t+1) (8.1) Sedangkan untuk daerah Sub-sub DAS selain Metro didasarkan pada persamaan berikut : {0.40 KVS SDR k e ijk λ 2 (t+1)} + {0.58 KVS SDR k e ijk λ 4 (t+1)}, k = 1, 2,..., 3 (8.2) Dimana koefisien 0.40 dan 0.58 merupakan efisiensi tangkapan sedimen pada Waduk Sengguruh dan Sutami; KVS merupakan berat jenis sedimen; SDR ialah rasio transportasi sedimen; e ijk adalah tingkat erosi lahan budidaya intensif pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan pola tanam ke-j di daerah Sub-sub DAS ke-k; serta λ 2 (t+1) dan λ 4 (t+1) masing-masing adalah OFCE (Tabel 31). Dasar penetapan tersebut juga untuk menduga biaya eksternal erosi dari

27 lahan non-budidaya intensif; yakni dengan notasi tingkat erosi E ijk dan luas lahan L ijk. Dimana i adalah pekarangan, semak dan hutan. Dengan mencermati persamaan (6.10) dan (6.11) dapat dikatakan bahwa besaran biaya eksternal erosi per hektar lahan ditentukan oleh variabel teknis (ET, KVS, SDR, e ijk atau E ijk ) dan harga air baku menurut penggunaannya (PE 1, PE 2, PI dan PM). Oleh karena e ijk suatu pola tanam berbeda menurut lokasi dan cenderung terjadi perubahan harga air untuk berbagai kegunaan, maka besarnya retribusi yang dibebankan kepada penghasil eksternalitas erosi harus bervariasi menurut lokasi dan dinamik menurut dimensi waktu. Bertitik tolak dari sumber sedimentasi waduk yang berasal dari sampah rumah tangga, maka persamaan (8.1) dan (8.2) memungkinkan dikembangkan untuk menghitung pungutan iuran penyebab sedimentasi waduk pada umumnya. DTA Bendungan Sutami-Sengguruh meliputi daerah perkotaan yang termasuk pada wilayah administrasi Pemerintah Daerah Kota Batu dan Kota Madya Malang, maka dana untuk kelestarian dan konservasi DTA bisa berasal dari pengelola pusat perbelanjaan maupun pasar tradisional sebagai penghasil sampah tingkat primer. Apabila pungutan diambil langsung pada tingkat rumah tangga akan dihadapkan pada kesulitan operasional karena jumlah penduduk yang sangat besar. Untuk menetapkan besarannya pungutan tersebut perlu dikembangkan penelitian lanjutan. Berkaitan dengan pungutan jasa lingkungan dan biaya eksternalitas erosi tersebut perlu dikaji bagaimana mekanisme penerapannya dan siapa yang bertanggung jawab. Dalam hal ini diperlukan panitia khusus yang mampu mengelola dana dari dan untuk masyarakat di daerah hulu maupun hilir. Retribusi dengan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar, dewasa ini belum diterapkan. Oleh karena itu konsep tersebut perlu

28 disosialisasikan dan dikaji lebih mendalam bagaimana kemungkinannya bisa diterapkan di lapangan. Bentuk kurva biaya off-site erosi (OFCE) pada Gambar 13 agak berbeda bila dibandingkan dengan harga bayangan ketebalan lapisan tanah (UCSE) pada Gambar 11, namun mempunyai arah kelerengan (slope) yang sama. Kurva OFCE menunjukkan perubahan yang semakin menurun antar periode Sengguruh Sutami Gabungan Biaya off-site erosi (Rp/m 3 ) Periode (tahun) Gambar 13. Kurva Biaya Off-Site Erosi Pendugaan besaran biaya off-site erosi yang terdapat pada Tabel 32 pada kondisi harga listrik, harga air baku untuk pengairan dan industri tahun Besaran biaya tersebut akan mengalami perubahan bila terjadi perubahan pada harga listrik, harga air baku untuk pengairan dan industri maupun harga komoditas pertanian yang dikelola pada daerah sub-sistem hulu waduk. Berdasarkan nilai pada kolom MARGINAL output GAMS dari persamaan kapasitas waduk, keseimbangan air tersimpan dan sedimen yang tertahan dalam waduk, didapatkan fenomena bahwa : 1. Harga bayangan dari air yang masuk ke Waduk Sengguruh (Vma 1 )sama dengan harga bayangan kapasitas tampungan waduk (Vkp 1 ) maupun air yang tersimpan dalam Waduk Sengguruh (Vsa 1 ).

29 Tabel 32. Perubahan Biaya Off-Site Erosi (Rp/m 3 ) pada Waduk Senguruh (λ 2 (t+1) λ 2 (t)) dan Waduk Sutami (λ 4 (t+1) λ 4 (t)) Sengguruh Sutami Tahun ρλ 2 (t) ρλ 2 (t+1)-ρλ 2 (t) ρλ 4 (t) ρλ 4 (t+1)-ρλ 4 (t) Sumber: Olahan data 2. Harga bayangan air yang masuk dari daerah sub-sub DAS Metro ke WadukSutami (Vma M ) sama dengan harga bayangan kapasitas tampungan waduk (Vkp 1 ) maupun air yang tersimpan dalam WadukSutami (Vsa 2 ). 3. Harga bayangan sedimen yang masuk ke Waduk Sengguruh (Vms) sama dengan harga bayangan kapasitas tampungan WadukSutami (Vkp 2 ). Dengan demikian, maka untuk menduga OFCE bisa didasarkan pada harga bayangan kapasitas waduk atau air yang tersimpan dalam waduk Ikhtisar Ketersediaan sumberdaya ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) intertemporal membentuk kurva yang mempunyai kelerengan (slope) negatif, sedangkan pada ekstrasinya (soil loss atau SL) mempunyai slope positif. Bentuk kedua kurva tersebut adalah linier; yakni dengan perubahan ekstrasi intertemporal SL yang konstan. Pengurangan SD ditentukan oleh SL yang merupakan hasil bagi antara tingkat erosi yang terjadi dan berat jenis tanah.

30 Perubahan SL yang konstan menyebabkan perubahan volume sedimen yang tertahan dalam waduk yang konstan pada setiap periode. Dengan demikian pengurangan kapasitas tampungan mati mempunyai perubahan yang konstan. Biaya on-site erosi didekati dengan PV dari pendapatan bersih yang diperoleh pada periode t+1 yang sejalan dengan terjadinya SL karena aktivitas pola tanam selama periode t. Pendapatan pengelolaan komoditas apel lahan tegal II di daerah Sub-sub DAS Sumber Brantas pada tahun 2004 sebesar Rp 6.55 juta per mm SL. Besaran pendugaan biaya on-site erosi tersebut belum mempertimbangkan investasi konservasi tanah. Dari hasil analisis menunjukkan tendensi bahwa biaya on-site erosi semakin menurun antar periode. Dari pemecahan optimasi intertemporal dari model daerah tangkapan air (Model-DTA) dapat diperoleh gambaran fenomena biaya implisit erosi atau harga bayangan ketebalan lapisan tanah atau user cost of soil erosion (UCSE) sebagai berikut: 1. Pendugaan nilai nominal maupun nilai sekarang semakin menurun dengan semakin bertambahnya periode dengan perubahan yang semakin besar. 2. Bervariasi menurut paket pola tanam, klasifikasi fungsi lahan dan daerah Sub-sub DAS. 3. Tingkat erosi yang tinggi tidak selalu diikuti dengan UCSE yang tinggi. Kecenderungan semakin menurunnya UCSE selama horizon waktu ditunjukkan oleh kurva dengan kelerengan negatif. Kodisi tersebut mencerminkan biaya kesempatan SD semakin menurun antar periode, dan perubahan UCSE semakin besar. Tendensi UCSE yang semakin menurun antar waktu karena SD yang terdapat pada lokasi penelitian relatif tebal. Hal tersebut sejalan dengan hasil

IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS

IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS IX. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL EKONOMI DAN TEKNIS 9.1. Perubahan Harga Komoditas Diskripsi pengaruh perubahan harga didasarkan pada dua skenario; yaitu yang didasarkan pada rata-rata pendugaan perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai km 2 dengan

I. PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai km 2 dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai 11 800 km 2 dengan curah hujan berkisar antara 1 370 hingga 2 960 mm per tahun (Nippon Koei, 1998). Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI DISERTASI Oleh: RINI DWIASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR DI DAERAH TANGKAPAN AIR BENDUNGAN SUTAMI DAN SENGGURUH: SUATU PENDEKATAN OPTIMASI EKONOMI DISERTASI Oleh: RINI DWIASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air

Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Tugas Akhir Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Oleh : Sezar Yudo Pratama 3106 100 095 JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG Suroso, M. Ruslin Anwar dan Mohammad Candra Rahmanto Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. sekarang(present value) selama horizon waktu dari tahun yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. sekarang(present value) selama horizon waktu dari tahun yang 155 VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1 Net Social Benefit dari Fungsi Obyektif 7.1.1 Nilai Obyektif Setiap Skenario Fungsi obyektif optimal manfaat sosial bersih yang dihitung dengan nilai sekarang(present

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. prasarana pengairan seperti waduk. Sejumlah besar waduk di Indonesia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. prasarana pengairan seperti waduk. Sejumlah besar waduk di Indonesia saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selain memiliki potensi air permukaan yang begitu besar Wilayah Sungai (WS) Brantas juga dihadapkan dengan permasalahan bidang pengairan seperti penyediaan air baku

Lebih terperinci

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Oleh : Idung Risdiyanto Permasalahan utama DTA Waduk Saguling adalah tingkat sedimentasi, limpasan permukaan yang tinggi dan kondisi neraca air DAS yang defisit.

Lebih terperinci

II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI-SENGGURUH

II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI-SENGGURUH II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK SUTAMI-SENGGURUH 2. 1. Letak dan Kondisi Fisik Daerah tangkapan air (DTA) Waduk Sutami dan Sengguruh merupakan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi disaat musim penghujan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) berfungsi sebagai penampung air hujan, daerah resapan, daerah penyimpanan air, penangkap air hujan dan pengaliran air. Wilayahnya meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING

ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING VII ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING 7.1. Penentuan Model Linear Programming Produksi Tempe Dampak kenaikan harga kedelai pada pengrajin tempe skala kecil, menengah, dan besar dianalisis dengan menggunakan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN 8.1. Kesimpulan Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan dengan memanfaatkan harga bayangan air irigasi. Dalam penelitian

Lebih terperinci

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan: 1. Dengan telah dapat dibangunnya model ASDIJ sehingga dapat menjawab

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan: 1. Dengan telah dapat dibangunnya model ASDIJ sehingga dapat menjawab 178 VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa simpulan: 1. Dengan telah dapat dibangunnya model ASDIJ sehingga dapat menjawab (1) alokasi air yang optimal

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Dieng merupakan salah satu kawasan penting dalam menyangga keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 sampai dengan 2093

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejalan dengan hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan persediaan air yang berlebihan dimusim penghujan dan kekurangan dimusim kemarau. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan suatu waduk merupakan salah satu upaya manusia untuk mencukupi kebutuhan dan menjaga ketersediaan air sepanjang tahun sesuai dengan fungsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan isu terkini yang menjadi perhatian di dunia, khususnya bagi negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kedua fenomena tersebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN dan DAERAH STUDI

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN dan DAERAH STUDI 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN dan DAERAH STUDI 3.1 Tahap Tahap Penelitian a. Identifikasi Masalah Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah Sulitnya data debit jangka panjang pada sungai untuk

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume 9, Issue 2: 57-61 (2011) ISSN 1829-8907 STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) Rathna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Lahan-lahan yang ada pada suatu DAS merupakan suatu

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Ekonomi 3.1.1.1 Fungsi Produksi Dalam proses produksi terkandung hubungan antara tingkat penggunaan faktorfaktor produksi dengan produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off).

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off). BAB VII. EROSI DAN SEDIMENTASI A. Pendahuluan Dalam bab ini akan dipelajari pengetahuan dasar tentang erosi pada DAS, Nilai Indeks Erosivitas Hujan, Faktor Erodibilitas Tanah, Faktor Tanaman atau Faktor

Lebih terperinci

KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS. Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran

KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS. Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran 69 III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran dan berkontribusi penting sebagai sumber nafkah utama

Lebih terperinci

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU ISSN 197-877 Terbit sekali 2 bulan Volume Nomor. Juni 29 PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU Curah hujan tinggi yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Rancangan Penulisan

BAB III METODOLOGI Rancangan Penulisan BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Metodologi penelitian adalah semacam latar belakang argumentatif yang dijadikan alasan mengapa suatu metode penelitian dipakai dalam suatu kegiatan penelitian. Metodologi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan milik masyarakat berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha kebun berorientasi komersil. Karena nilai ekonomi lahan yang semakin meningkat maka opportunity

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data Data yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini merupakan data sekunder. Data-data yang diperlukan antara lain, data hujan, peta daerah tangkapan air, peta

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Barbier, E.B The Farm-Level Economics of Soil Conservation: The Uplands of Java. Land Economics, 66 (2):

DAFTAR PUSTAKA. Barbier, E.B The Farm-Level Economics of Soil Conservation: The Uplands of Java. Land Economics, 66 (2): DAFTAR PUSTAKA Anderson, J.R. and J. Thampapillai. 1990. Soil Conservation in Development Countries: Project and Policy Intervention. Working Paper Policy and Research Series No: 8. World Bank, Washington,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumberdaya alam utama yang mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Sebagai sumberdaya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi 3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi Erosi berasal dari bahasa latin erodere yang berarti menggerogoti atau untuk menggali. Istilah erosi ini pertama kali digunakan dalam istilah geologi untuk menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Accept Responden. nilai WTA dari masing-masing responden adalah:

III. KERANGKA PEMIKIRAN Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Accept Responden. nilai WTA dari masing-masing responden adalah: III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Accept Responden Asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pelaksanaan pengumpulan nilai WTA dari masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran Sungai yang mengalir meliputi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Bandung dan Sumedang yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mencakup segala pengusahaan yang di dapat dari alam dan merupakan barang biologis atau hidup, dimana hasilnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Bab V Analisa dan Diskusi

Bab V Analisa dan Diskusi Bab V Analisa dan Diskusi V.1 Pemilihan data Pemilihan lokasi studi di Sungai Citarum, Jawa Barat, didasarkan pada kelengkapan data debit pengkuran sungai dan data hujan harian. Kalibrasi pemodelan debit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat air bagi kehidupan kita antara

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara III. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, menganalisis harga dan integrasi pasar spasial tidak terlepas dari kondisi permintaan, penawaran, dan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. DAS Citarum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005).

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bendungan besar menurut kriteria International Commission on Large Dams (ICOLD) adalah bendungan dengan tinggi tanggul 15 m dan tampungan minimal 500.000 m 3, atau tinggi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Suripin 2004). Erosi merupakan tiga proses

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tank Model Penerapan Tank Model dilakukan berdasarkan data harian berupa data curah hujan, evapotranspirasi dan debit aliran sungai. Data-data tersebut digunakan untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Merden Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.3 menunjukan bahwa luas DTA

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

Erosi. Rekayasa Hidrologi

Erosi. Rekayasa Hidrologi Erosi Rekayasa Hidrologi Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Erosi merupakan tiga proses yang berurutan, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 9 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Analisis Regresi Perubahan nilai suatu variabel dapat disebabkan karena adanya perubahan pada variabel - variabel lain yang mempengaruhinya. Misalnya pada kinerja

Lebih terperinci

Departemen of Agriculture (USDA) atau klasifikasi kesesuaian lahan yang dikembangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO).

Departemen of Agriculture (USDA) atau klasifikasi kesesuaian lahan yang dikembangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO). 29 KERANGKA PEMIKIRAN Lahan dan air adalah sumberdaya alam yang merupakan faktor produksi utama selain input lainnya yang sangat mempengaruhi produktivitas usahatani padi sawah. Namun, seiring dengan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tingkat Produksi Kedelai Peluang peningkatan produksi kedelai di dalam negeri masih terbuka

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi,

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, III. KERANGKA TEORI Pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia dapat dilihat dari sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, keterkaitan ketiga pasar tersebut dapat

Lebih terperinci

PERENCANAAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO DI BENDUNGAN SEMANTOK, NGANJUK, JAWA TIMUR

PERENCANAAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO DI BENDUNGAN SEMANTOK, NGANJUK, JAWA TIMUR Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Bendungan Semantok, Nganjuk, Jawa Timur PERENCANAAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO DI BENDUNGAN SEMANTOK, NGANJUK, JAWA TIMUR Faris Azhar, Abdullah

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan hidup yang sangat mendasar bagi makhluk hidup, namun hingga kini belum semua masyarakat mampu menikmatinya secara maksimal.

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Sistem Budidaya Padi Konvensional Menurut Muhajir dan Nazaruddin (2003) Sistem budidaya padi secara konvensional di dahului dengan pengolahan

Lebih terperinci

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung)

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-1 Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung) Anindita Hanalestari Setiawan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL 7.1 Analisis Perbandingan Penerimaan Usaha Tani Analisis ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan antara

Lebih terperinci

III. PEMBAHASAN. dan strictly decreasing terhadap serta kontinu dan strictly increasing terhadap. Dua nilai kritis dari didefinisikan untuk

III. PEMBAHASAN. dan strictly decreasing terhadap serta kontinu dan strictly increasing terhadap. Dua nilai kritis dari didefinisikan untuk 4 Opsi Beli Opsi beli memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli suatu aset pada harga tertentu yang disebut harga eksekusi (exercise/strike price) pada atau sebelum tanggal jatuh tempo (maturity)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan air tawar, salah satunya waduk menempati ruang yang lebih kecil bila dibandingkan dengan lautan maupun daratan, namun demikian ekosistem air tawar memiliki

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia yaitu sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, sehingga dalam pengelolaannya harus sesuai dengan kemampuannya agar tidak menurunkan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mencakup wilayah kawasan hutan dimana akan dilakukan kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT Tambang Semen Sukabumi (PT

Lebih terperinci