BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1.1 Peserta Program Student Exchange Asal Jepang Tahun (In Bound) No. Tahun Universitas Jumlah

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dan Jepang sudah lama menjadi mitra strategis dalam berbagai bidang perekonomian. Berdasarkan data yang diperoleh dari situs kerjasama ini sudah berlangsung sejak tahun 1958, salah satunya dalam bidang pendidikan. Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan Jepang adalah melalui program pertukaran pelajar. Universitas Padjadjaran merupakan salah satu universitas di Indonesia yang bekerjasama dengan universitas-universitas di Jepang dalam program pertukaran pelajar. Setiap tahunnya Universitas Padjadjaran mengirimkan mahasiswa dari kampusnya ke Jepang dan begitu pula dengan universitas-universitas di Jepang yang menjadi mitra. Program akan berlangsung selama satu semester hingga satu tahun, sesuai dengan program yang mereka pilih. Tujuan program pertukaran pelajar ini adalah untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada mahasiswa asal Jepang yang berada di Indonesia dan begitu pula sebaliknya. Mahasiswa dapat saling bertukar pengetahuan mengenai budaya masing-masing maupun bahasa. Selain itu program ini juga dapat mempererat hubungan persahabatan antar negara Indonesia dengan negara asal mahasiswa asing. Beberapa universitas di Jepang seperti Tenri University, Kyoto Sangyo University, dan Kwansei University selalu mengirimkan mahasiswanya untuk belajar ke Indonesia selama 3 tahun terakhir. Seperti yang bisa dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1.1 Peserta Program Student Exchange Asal Jepang Tahun (In Bound) No. Tahun Universitas Jumlah Kwansei University 1 orang Kyoto Sangyo Univeristy 3 orang 1

2 Nanzan University Tenri University Kwansei University Kyoto Sangyo Univeristy Kwansei University Kyoto Sangyo Univeristy Jumlah 1 orang 1 orang 2 orang 1 orang 3 orang 3 orang 15 orang Sumber: Data berdasarkan jumlah mahasiswa asing yang tercatat di UPT Kerjasama Universitas Padjadjaran Mahasiswa Jepang yang melakukan pertukaran pelajar ke Indonesia sudah dibekali dengan pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia terlebih dahulu sebelum ke Indonesia. Dalam proses komunikasi yang terjadi antara mahasiswa Jepang dengan orang Indonesia tidak selalu berjalan lancar, salah satu hambatannya adalah masalah bahasa (verbal) dan budaya atau adat istiadat ( nonverbal). Ketika baru tiba di Indonesia para mahasiswa Jepang ini masih menggunakan adat istiadat atau karakter khasnya sebagai orang Jepang, mulai dari cara berpakaian, kebiasaan makan, kebiasaan menyapa dan kebiasaan lainnya. Masing-masing individu memiliki perbedaan latar belakang budaya dan bangsa, yaitu budaya Jepang dan Indonesia. Perbedaan latar belakang budaya dan bangsa antar mahasiswa Jepang dengan orang Indonesia ini menimbulkan fenomena komunikasi lintas budaya ketika mereka berinteraksi satu sama lain. Dalam komunikasi sehari-harinya, komunikasi verbal, bahasa Jepang terkenal sebagai bahasa yang rumit karena susah dimengerti oleh orang non- Jepang. Kebanyakan orang Jepang tidak terbiasa berbicara dalam gaya yang jelas, langsung dan logis karena mereka menganut komunikasi budaya konteks tinggi. Dalam berbagai aktivitas komunikasi, orang Jepang menggunakan pernyataan yang tak langsung dan ambigu (bermakna ganda). Ini berlaku baik dalam komunikasi sesama orang Jepang atau dengan non-jepang (Mulyana dan Rakhmat, 2009:206). Orang Jepang tidak terbiasa berbicara secara langsung dan 2

3 lugas. Ketika mereka ingin mengatakan menolak permintaan seseorang, mereka tidak secara langsung mengatakan tidak, namun memilih cara lain seperti diam, menolak menjawab pertanyaan, menunda menjawab pertanyaan, atau meminta maaf. Komunikasi lintas budaya juga memberikan banyak tantangan bagi komunikan maupun komunikator. Hubungan dengan teman atau rekan kerja yang sudah cukup mengenal budaya masing-masing terkadang masih berjalan tidak lancar, apalagi dengan orang-orang yang budaya dan bangsanya sama sekali berbeda. Permasalahan yang sering ditemukan dalam komunikasi lintas budaya adalah bahwa yang dianggap perilaku baik atau perilaku buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan dalam suatu budaya seringkali dipersepsikan berbeda atau bahkan bertentangan dengan budaya lain. Sebagai contoh, di Jepang tidak lazim untuk memanggil nama pertama, umumnya mereka memanggil dengan nama keluarga dan menambahkan San, misalnya Yamada San yang berarti Tuan, Nyonya atau Nona (Mulyana, 2010:12). Sedangkan di Indonesia malah sebaliknya, umumnya orang Indonesia memanggil dengan nama depan saja. Hal ini menurut orang Jepang tidak sopan, apalagi dengan orang yang baru dikenal. Selain masalah panggilan seperti diatas, dalam komunikasi lintas budaya yang paling sering mengalami kesalahpahaman adalah komunikasi nonverbal. Jika komunikasi verbal yang berupa bahasa dan tulisan dapat dipelajari melalui buku dan lainnya, hal ini tidak berlaku untuk komunikasi nonverbal yang biasanya merupakan proses yang spontan karena sudah menjadi budaya dan kebiasaan. Komunikasi nonverbal meliputi gerakan mimik muka, isyarat tangan, postur tubuh, ekspresi muka, setuhan maupun simbol-simbol lainnya. Menurut Deddy Mulyana (2010: 8), bagi orang Jepang, perilaku yang layak untuk menyapa orang lain adalah membungkuk atau ojigi, terutama kepada orang tua dan orang yang mempunyai kedudukan tinggi, yang berstatus rendah membungkuk lebih dulu. Selain untuk menyapa atau, membungkuk, Ojigi juga dilakukan orang Jepang saat mereka akan memberi hadiah, mengucapkan selamat atau tanda simpati, memohon atau meminta maaf, menyatakan setuju, tanda penutup pembicaraan 3

4 bahkan saat menelepon. Sedangkan di Indonesia biasanya mengucapkan selamat atau berkenalan dengan orang orang baru dengan cara bersalaman, yang mana hal ini tidak biasa dilakukan oleh orang Jepang. Hal lain yang berbeda pada komunikasi orang Jepang dengan orang Indonesia adalah tatapan mata, ekspresi wajah, cara menyentuh lawan saat bicara, isyarat tangan, cara mengucapkan salam dan kebiasaan lainnya dalam berkomunikasi. Perbedaan hal-hal seperti diatas tersebut akan membuat mahasiswa Jepang mengalami gegar budaya dengan lingkungan barunya di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini mahasiswa Jepang harus mempelajari budaya Indonesia lebih mendalam tidak hanya dari segi bahasa namun juga dari segi budaya dan kebiasaan sehari-hari orang Indonesia. Oleh karena itu mahasiswa Jepang melakukan adaptasi dengan masyarakat Indonesia mulai dari cara berkomunikasi hingga kebiasaan sehari-hari masyarakat di Indonesia untuk meminimalisir kesalahpahaman yang sering terjadi akibat perbedaan latar belakang budaya. Dalam melakukan proses adaptasi mahasiswa Jepang akan melalui adaptasi interaksi dimana akan ada dua proses komunikasi, yaitu komunikasi konvergensi dan divergensi. Pada komunikasi konvergensi mahasiswa Jepang akan lebih menerima dan meniru perilaku komunikasi lawan bicaranya, yaitu orang Indonesia disini. Sedangkan divergensi sebaliknya, mahasiswa Jepang akan mempertahankan cara komunikasi mereka dan menjaga jarak. Ketika percakapan antar mahasiswa Jepang dengan orang Indonesia berlangsung, komunikan dan komunikator cenderung berperilaku sama, yaitu adanya upaya untuk meniru atau konvergensi dalam suatu pola resiprokal. Pada saat yang lain, ketika mahasiswa Jepang membelakangi atau menjauhi lawan bicara dalam suatu pola yang disebut pola kompensasi. Berdasarkan teori adaptasi interaksi, dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang memengaruhi dan dipengaruhi perilaku orang lain yang menghasilkan pola-pola tertentu yang teratur. Begitu pula dengan yang akan terjadi pada mahasiswa Jepang ketika beradaptasi dengan lingkungan barunya di Indonesia. Dalam Morrisan (2013:136) disebutkan bahwa perilaku awal individu dalam 4

5 interaksi terdiri atas kombinasi dari perilaku verbal dan nonverbal yang mencerminkan posisi interaksi seseorang, faktor lingkungan di mana interaksi terjadi, dan tingkat keahlian yang seseorang miliki. Namun dalam kebanyakan interaksi, perilaku seseorang akan berubah, begitu pula perilaku lawan bicaranya, yaitu ketika seseorang dan lawan bicaranya mulai saling memengaruhi (mutual influence). Berdasarkan hal diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana komunikasi verbal dan noverbal mahasiswa Jepang ketika berinteraksi dengan orang Indonesia dan bagaimana strategi adaptasi mereka ketika berada di Indonesia.. Dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan metode penelitian studi deskriptif karena penulis akan mengamati dan menggambarkan bagaimana cara mahasiswa Jepang berinteraksi, kegiatan sehari-hari mereka dan proses adaptasi interaksi yang terjadi ketika mereka berkomunikasi dengan masyarakat disini. Hal ini membuat penulis tertarik untuk meneliti adaptasi interaksi mahasiswa Jepang yang berada di Indonesia ke dalam judul penelitian: Adaptasi Interaksi Mahasiswa Pertukaran Pelajar Asal Jepang di Universitas Padjadjaran 5

6 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana interaksi sosial mahasiswa Jepang di Indonesia? 2. Bagaimana strategi adaptasi mahasiswa Jepang di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan peneliti di lapangan adalah: 1. Untuk menjabarkan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk interaksi sosial mahasiswa Jepang di Indonesia. 2. Untuk menjabarkan strategi adaptasi mahasiswa Jepang di Indonesia. 1.4 Kegunaan Penelitian Aspek Teoritis 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi, terutama yang berkaitan dengan adaptasi interaksi mahasiswa asing dengan orang Indonesia. 2. Sebagai penambah referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya, sehingga penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan Aspek Praktis 1. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan informasi, masukan dan indikator bagaimana adaptasi interaksi mahasiswa Jepang di Indonesia. 2. Sebagai gambaran bagaimana pola resiprokal dan kompensasi mahasiswa Jepang di Indonesia ketika berkomunikasi. 1.5 Tahapan Penelitian Menurut Moleong (2012: 127), tahapan penelitian kualitatif terdiri dari tahap pra-lapangan, tahap pekerjaan lapangan dan tahap analisis data. 1. Tahap Pra-Lapangan Pada tahap pra-lapangan, kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti kualitatif yaitu menyusun rancangan penelitian, memilih lokasi penelitian, memilih dan memanfaatkan informan serta menyiapkan 6

7 perlengkapan penelitian. Dalam tahapan ini ditambah dengan satu pertimbangan yang perlu dipahami, yaitu etika lapangan. 2. Tahap Pekerjaan Lapangan Pada tahap ini, peneliti perlu memahami kembali latar penelitian terlebih dahulu. Selain itu, peneliti perlu mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun secara mental. Karena dalam penelitian ini, peneliti akanmenggunakan wawancara dan observasi sebagai salah satu metode pengumpulan data. Dengan demikian, peneliti dan subjek penelitian dapat bekerja sama dengan saling bertukar informasi. 3. Tahap Analisis Data Pada tahap ini, semua data baik primer maupun sekunder harus sudah terkumpul dan peneliti tinggal melakukan analisis dengan metode kualitatif studi fenomenologi. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan serta pengujian kesimpulan. Setelah itu, peneliti harus menarik sebuah kesimpulan kuat dari penelitian yang telah dilakukan. Tabel 1.4 Periode Penelitian No Tahapan Bulan Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul 1. Penentuan tema penelitian. 2 Perumusan dan identifikasi masalah. 3 Penelitian lapangan. 4 Wawancara narasumber 5 Pengolahan data. 6 Menyusun laporan Sumber: Olahan Peneliti 7

8 1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian Karena dalam penelitian ini informan adalah mahasiswa Jepang yang berbeda lokasinya dengan peneliti, maka penelitian ini dilakukan dengan menyesuaikan waktu dan lokasi responden beraktivitas Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu kurang lebih delapan bulan, dari bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Juli