BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Menurut Ryff (dalam Bianca, 2012), konsep psychological wellbeing (PWB) secara teoritis didasarkan dan bersumber dari terori awal dalam psikologi perkembangan dan psikologi klinis. Teori tersebut menekankan potensi individu untuk hidup yang berarti dan realisasi diri dalam menghadapi tantangan. PWB melihat bagaimana individu berusaha mencapai tujuan yang bermakna, tumbuh dan berkembang serta mengembangkan hubungan yang berkualitas dengan seksama. Ryff (dalam Bianca, 2012) mengatakan bahwa, secara psikologis manusia memiliki sikap positif terhadap diri dan orang lain. Mereka mampu membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah laku mereka, serta mereka mampu memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Setiap orang memiliki tujuan yang berarti dalam hidupnya, dan mereka berusaha untuk menggali dan mengembangkan diri mereka semaksimal mungkin. Menurut Ryff (1989), well-being tidak hanya terdiri dari efek positif, efek negatif, dan kepuasan hidup, melainkan paling baik dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensi yang terdiri dari sikap hidup. Ryff membuat skala dari psychological well-being berdasarkan 11

2 12 pada sebuah integrasi dari kesehatan mental, klinis, dan teori perkembangan rentang kehidupan. 2. Dimensi Psychological Well-Being Menurut Ryff (1995), psychological well-being memiliki enam dimensi, yaitu: a. Penerimaan Diri (Self-acceptance) Menurut Ryff, penerimaan diri tidak hanya mencakup adanya sikap positif terhadap diri sendiri, akan tetapi juga penerimaan terhadap kualitas baik dan kualitas buruk dalam diri seseorang, termasuk juga perasaan positif terhadap masa lalu. Hal ini merupakan ciri kesehatan mental dan juga karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang. Kemampuan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani menandakan psychological well-being yang tinggi. b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with other) Ryff (dalam Birren, 1980), mengatakan bahwa menjadi seseorang yang memiliki kesehatan mental pada umur berapapun dibutuhkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dalam memberi dan membangun hubungan. Kemampuan tersebut untuk meningkatkan hubungan positif dengan orang lain. Individu yang mencapai aktualisasi diri

3 13 memiliki perasaan yang kuat mengenai empati dan kasih sayang terhadap semua manusia serta mampu untuk menjalin hubungan cinta yang lebih baik, persahabatan yang lebih dalam, dan identifikasi yang lebih lengkap dengan orang lain. Ryff (dalam Birre, 1980), mengemukakan bahwa ciri individu yang memiliki skor yang baik dalam hubungan dengan orang lain adalah orang yang memiliki kehangatan, kepuasan, dan hubungan kepercayaan dengan orang lain, peduli mengenai kesejahteraan orang lain, mampu berempati, intimacy, serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan manusia. c. Otonomi (Autonomy) Menurut Ryff, otonomi merupakan keadaan dimana seseorang mengatur nasib mereka sendiri, independen, mampu untuk mengatur perilaku, dan dapat mengambil keputusan sendiri. Karakteristik individu yang memiliki otonomi yang baik adalah self-determining dan independen, mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu, mengulasi tingkah laku dari dalam diri, dan memiliki standar personal untuk mengevaluasi. d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok

4 14 dengan kondisi psikis individu yang merupakan karakteristik dari kesehatan mental. Selama perkembangan hidup, manusia membutuhkan kemampuan untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan. Perspektif ini menunjukkan bahwa partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan hal yang penting dalam kerangka kerja fungsi positif psikologi. Memiliki penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungannya, dapat mengendalikan situasi eksternal yang kompleks, dapat menggunakan kesempatan di lingkungan secara efektif, mengenali lingkungan, serta mampu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan ppersonalnya merupakan karakteristik individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik. e. Tujuan Hidup (Purpose in Llife) Dalam dimensi ini menjelaskan bahwa kesehatan mental melibatkan keyakinan yang memberikan individu perasaan adanya tujuan yang berarti dalam hidupnya. Definisi kematangan juga menekankan pemahaman yang jelas tentang tujuan hidup, rasa ingin mengarahkan, dan intensionalitas. Ryff mengemukakan bahwa karakteristik individu yang memiliki skor yang tinggi adalah memiliki tujuan yang jelas dan terarah, merasakan makna kehidupan sekarang dan masa lalu, serta memegang keyakinan dalam hidupnya. Sebaliknya, individu

5 15 yang memiliki skor yang rendah cenderung hanya memiliki sedikit tujuan, tidak terarah, serta tidak mengetahui tujuan dan makna dalam hidupnya. f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth) Dinamika ini merupakan kebutuhan untuk mengoptimalkan fungsi psikologis tidak hanya meningkatkan karakteristik sebelumnya, tetaoi juga terus mengembangkan potensi untuk terus berkembang sebagai pribadi. Menurut Ryff, individu yang memiliki skor yang tinggi adalah individu yang memiliki keinginan untuk selalu berkembang, melihat diri sebagau pribadi yang terus tumbuh, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi diri, kemajuan diri, dan tingkah laku setiap saat, serta melakukan perubahan yang merefleksikan pemahaman diri serta efektivitas. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang, antara lain (Ryff, 1995): 1. Faktor Demografis Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychologicall well-being antara lain, sebagai berikut: a. Usia Ryff mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi psychological well-being.

6 16 Dalam penelitiannya, Ryff menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Namun, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia. b. Jenis Kelamin Penelitian Ryff menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. c. Status Sosial Ekonomi Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study (dalam Ryff, 1995) memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi well-being pada dewasa madya. Data tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan meningkatkan psychological well-being, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup.

7 17 d. Budaya Penelitian mengenai psychological well-being (dalam Ryff, 1995) yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita. 2. Dukungan Sosial Menurut Davis (dalam Pratiwi, 2000), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological wellbeing yang lebih tinggi. Dukungan sosial dapat diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang di dapat dari orang lain atau kelompok. Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial. Terdapat empat jenis dukungan sosial (Ryff, dalam Sarafino, 1990), yaitu:

8 18 a. Dukungan Emosional (Emotional Support) Dukungan emosi melibatkan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang. Dukungan ini memberikan rasa nyaman, aman, dimiliki, dan dicintai pada individu penerima, terutama pada saat-saat stres. b. Dukungan Penghargaan (Esteem Support) Dukungan penghargaan muncul melalui pengungkapan penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran atau perasan, dan juga perbandingan yang positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini membangun harga diri, kompetensi, dan perasaan dihargai. c. Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental Support) Dukungan ini melibatkan tindakan konkrit atau memberikan pertolongan secara langsung. d. Dukungan Informasional (Informational Support) Dukungan ini meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang. 3. Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup Ryff (dalam Sarafino, 1990) mengemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Pengalaman-

9 19 pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode kehidupan. 4. Locus of Control (LOC) Locus of control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku tertentu. 5. Faktor Religiusitas Penelitian mengenai psikologi dan religiusitas yang dilakukan oleh Ellison dan Levin (dalam Bianca, 2012) menemukan hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being. Mereka menemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama, antara lain: doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, dan keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup. B. PERILAKU PROSOSIAL 1. Definisi Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented) dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku prososial menurut William (dalam Dayakisni, 2003) yaitu perilaku yang memiliki intensi

10 20 untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara mental maupun psikologis. Bringham (dalam Dayakisni, 2003) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud menyumbang kesejahteraan orang lain, dengan kedermawaan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu manfaat langsung kepada orang yang melakukan tindakan menolong tersebut, dan bahkan mungkin memberikan resiko bagi orang yang menolong. Dividio (dalam Franzio, 2009) mengungkapkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang dengan sukarela bertujuan untuk menolong orang lain. Perilaku prososial juga dikatakan lebih mendasar, yang artinya tindakan tersebut bermaksud untuk memperbaiki situasi si penerima pertolongan, tindakan tersebut tidak dimotivasi oleh penyempurnaan tanggung jawab profesional, dan penerima adalah orang dan bukan organisasi. Prososial diartikan sebagai suatu tindakan heroik dengan tujuan untuk menolong orang lain. Definisi dalam konteks psikologi sosial menyebutkan definisi prososial sebagai tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu

11 21 keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut (Edwina, 2002). Dari beberapa pendapat para ahli tentang perilaku prososial diatas, maka ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan perilaku prososial dalam konteks penelitian ini adalah membantu orang lain dengan cara meringankan beba fisik atau psikologi orang tersebut, memperhatikan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri (tanpa mengharapkan imbalan), dan ikut menyokong dengan tenaga dan pikiran. 2. Faktor-faktor Penentu Perilaku Prososial Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain (Baron, 2006): a. Faktor internal, terdiri dari guilt dan mood. b. Faktor eksternal, terdiri dari social norms, number of bystanders, time pressures, dan similarity. c. Faktor karakteristik penolong (helpers dispositions), terdiri dari personality trait, gender, dan religius faith. Menurut Sarwono dan Meinarno (2009) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu: a. Pengaruh Faktor Situasional 1. Bystander Orang-orang yang berada di sekitar kejadian mempunyai peran sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan

12 22 antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat. 2. Daya Tarik Seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik) akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. 3. Atribusi terhadap korban Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa letidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban. 4. Ada model Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. 5. Desakan waktu Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya. 6. Sifat kebutuhan korban Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan, korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan, dan

13 23 bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain. b. Pengaruh Faktor dalam Diri 1. Suasana hati Emosi positif dan emosi negatif mempengaruhi kemunculan tingkah laku. 2. Sifat Karakteristik seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan menolong orang lain. 3. Ada model Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Menurut Sears (2994) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain: a. Faktor situasi, terdiri dari: 1) Kehadiran orang lain Kehadiran orang lain terkadang dapat menghambat usaha untuk menolong, karena orang yang begitu banyak menyebabkan terjadinya penyebaran tanggung jawab.

14 24 2) Kondisi lingkungan Kondisi lingkungan disebut juga sebagai keadaan fisik, mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Keadaan fisik ini meliputi cuaca, ukuran wilayah, dan tingkat kebisingan. b. Faktor karakteristik penolong, terdiri dari: 1) Kepribadian Kepribadian setiap individu berbeda-beda, salah satunya adalah kepribadian individu yang mempunyai kebutuhan tinggi untuk dapat diakui oleh lingkungannya. Kebutuhan ini akan memberikan corak yang berbeda dan memotivasi individu untuk memberikan pertolongan. 2) Suasana hati Suasana hati yang buruk menyebabkan kita memusatkan perhatian pada diri kita sendiri yang menyebabkan mengurangi kemungkinan untuk membantu orang lain. 3) Rasa bersalah Rasa bersalah merupakan perasaan gelisah yang timbul bila kita melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah dapat menyebabkan kita menolong orang yang kita rugikan atau berusaha menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang lebih baik.

15 25 4) Distress diri dan rasa empati Distress diri adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialami. Empatik adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. c. Faktor yang membutuhkan pertolongan, terdiri dari: 1) Menolong orang yang disukai Individu yang mempunyai perasaan suka terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik atau adanya kesamaan antar individu. 2) Menolong orang yang pantas ditolong Individu lebih cenderung melakukan tindakan menolong apabila individu tersebut yakin bahwa timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut. 3. Aspek Perilaku Prososial Carlo dan Randal (2002), mengemukakan 6 aspek perilaku prososial, yaitu : a. Altruism Perilaku prososial altruistic merupakan motivasi membantu orang lain terutama yang berhubungan dengan kebutuhankebutuhan dan kesejahteraan orang lain, seringkali disebabkan oleh

16 26 respon-respon simpati dan diinternalisasikan ke dalam normanorma atau prinsip-prinsip yang tetap dengan membantu orang lain. Asspek yang mendasari perilaku altruistik adalah adanya simpati dan internalisasi norma-norma atau prinsip-prinsip (internalized norms/principles). Empati merupakan reaksi emosi terhadap suatu hal/situasi. Empati dapat memunculkan simpati dan personal distress. Personal distress adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya dan perhatian terhadap orang lain. Aspek lainnya yang berkorelasi dengan perilaku altruistik adalah internalized norms/principles. Orang yang memiliki prinsip yang tinggi dalam menolong cenderung memiliki kesukaan untuk memberi manfaat kepada orang lain. Internalized norms merupakan level tertinggi dari moral reasoning. b. Compliant Perilaku prososial compliant merupakan menolong orang lain sebagai respon terhadap permintaan baik berupa verbal ataupun nonverbal. Compliant ini lebih sering dilakukan secara spontan. Individu yang memiliki tingkat compliant yang tinggi berkaitan dengan approval oriented yang turun dari moral reasoning. c. Emotional Perilaku prososial emotional adalah kecenderungan menolong orang lain atas dasar situasi emosional yang tinggi. Hal ini dapat

17 27 dipengaruhi oleh hubungan atau kesamaan. Respon emosional ini dihubungkan dengan kemampuan regulasi emosi dan perilaku menolong. Bagi seseorang, memunculkan perilaku menolong ketika berada dalam situasi emosional yang tinggi dikarenakan perlunya untuk mengatasi personal distress. Karena ketika seseorang mampu memberikan pertolongan kepada orang lain, maka perilaku tersebut dapat meningkatkan suasana hati seseorang. Bagi yang lainnya, perilaku muncul dikarenakan adanya dorongan simpati. Namun, pada umumnya, perilaku prososial yang muncul karena tingkat emosional yang tinggi berkaitan erat dengan simpati dan otheroriented personal tendencies. d. Public Perilaku prososial yang dilakukan di depan orang lain yang dimotivasi dengan keinginan untuk mendapatkan penerimaan dan penghormatan ataupun pengakuan dari orang lain serta meningkatkan harga diri. Peneliti mengemukakan bahwa perilaku ini didasari oleh selforiented, sehingga mendorong perilaku prososial muncul di depan banyak orang. Self-oriented ini, perilaku prososial yang dilakukan di depan orang lain juga berhubungan dengan approval-priented dan social desirability.

18 28 e. Anonymous Perilaku prososial anonymous didefinisikan sebagai menolong yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang ditolong. f. Dire Dire mengacu pada menolong orang ketika dihadapkan pada keadaan krisis atau situasi darurat. Perilaku ini sama halnya dengan perilaku altruistik,, perilaku ini muncul dikarenakan adanya perasaan empati terhadap seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan. C. PELAYAN KHUSUS Dalam Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), memiliki pelayan khusus yang bertugas sebagai petugas dalam pelaksanaan acara gereja maupun sebagai pemerhati jemaat di gereja. Pelayan khusus tersebut adalah Pendeta, Pertua dan Diaken. 1. Pendeta Pendeta (yang disingkat Pdt) berstatus sebagai pendeta Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dan ditempatkan melayani Runggun, Klasis, dan Sinode serta di luar GBKP. Seseorang yang berhak menjadi Pdt adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan minimal sarjana teologi dari perguruan tinggi teologi yang diakui oleh GBKP. Dalam proses pendidikan, maka seorang calon Pdt akan diajari mengenai fungsi dan tugas Pdt sebagai gembala, guru, dan juga pemimpim jemaat. Seorang Pdt memiliki tanggung jawab untuk

19 29 memahami dan mematuhi Alkitab, Pengakuan Iman GBKP, dan Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015). 2. Pertua Pertua (yang disingkat Pt) berstatus sebagai pertua GBKP yang berbasis pada Runggun yang memilihnya. Seorang Pt memiliki masa jabatan dalam 1 periode adalah selama 5 tahun kecuali diakhiri atau ditanggalkan. Seseorang yang menjabat sebagai Pt di gereja, harus memiliki panggilan dalam pelayanan kepemimpinan, menunjukkan keaktifan dalam kegiatan gereja, memperlihatkan keteladanan dalam iman dan dalam kehidupan moral sehari-hari serta memiliki karunia untuk memimpin dan melayani jemaat (dalam Tata Gereja GBKP, 2015). 3. Diaken Diaken (yang disingkat Dk) berstatus sebagai diaken GBKP yang berbasis pada Runggun yang memilihnya. Seorang Dk memiliki masa jabatan dalam 1 periode adalah selama 5 tahun kecuali diakhiri atau ditanggalkan. Seseorang yang menjabat sebagai Dk di gereja, harus memiliki panggilan dalam pelayanan kepada orang-orang yang menderita, menunjukkan keaktifan dalam kegiatan gereja, memperlihatkan keteladanan dalam iman dan dalam kehidupan moral sehari-hari serta memiliki karunia untuk memimpin dan melayani jemaat (dalam Tata Gereja GBKP, 2015).

20 30 D. PELAYANAN KHUSUS DI GBKP 1. Pendeta Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015), adapun tugas Pendeta adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan pemberitaan Firman Tuhan. 2. Melayankan sakramen-sakramen. 3. Melayankan sidi, penerimaan, dan penerimaan kembali warga. 4. Menyampaikan berkat Tuhan dengan penumpangan tangan. 5. Melayani kebaktian-kebaktian. 6. Menahbiskan pendeta dengan penumpangan tangan. 7. Menahbiskan atau mengukuhkan pertua dan diaken. 8. Melaksanakan pemberkatan perkawinan. 9. Melaksanakan pendidikan dan pembinaan terutama katekisasi. 10. Memperhatikan dan menjaga ajaran yang berkembang dalam jemaat agar sesuai dengan Firman Allah dan ajaran GBKP. 11. Melaksanakan tri tugas panggilan gereja, yakni persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. 12. Melaksanakan kegiatan lainnya membantu, mendukung, mendirikan, menjadi inspirasi, dan menyediakan fasilitas bagi pengembangan masyarakat. 2. Pertua Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015), adapun tugas Pertua adalah sebagai berikut:

21 31 1. Memimpin dan melayani jemaat, bersama-sama dengan pelayan khusus lainnya. 2. Menjadi pembimbing, pendorong, dan teladan bagi warga gereja dalam pertumbuhan menuju kedewasaan iman dalam kehidupan yang bersekutu, bersaksi, dan melayani. 3. Melakukan perkunjungan rumah tangga, memperhatikan kesejahteraan jasmani maupun rohani warga gereja, dan melaporkan kepada Majelis Runggun apabila ada warga yang perlu dibantu secara khusus. 4. Menyelenggarakan pelayanan kebaktian, pemberitaan firman, persiapan-persiapan sakramen, persiapan-persiapan pemberkatan perkawinan, persiapan sidi, penyelanggaraan pendidikan agama, menilik isis pengajaran yang tidak sesuai dengan pengajaran GBKP, serta menggembalakan warga gereja. 5. Mendampingi warga gereja yang sedang menghadapi kesulitan dirumah tangga, di lingkungan masyarakat atau di tempat kerja guna membantu mencapai jalan keluar dan menyimpan kerahasiaan yang menyangkut pribadi-pribadi warga gereja dengan sebijaksana mungkin. 3. Diaken Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015), adapun tugas Diaken adalah sebagai berikut:

22 32 1. Memberikan perhatian dan pelayanan kepada jemaat dan masyarakat yang menderita, karena: sakit dan berkebutuhan khusus, yatim piatu, terpenjara, kemiskinan., bencana alam., kemalangan, tertindas, korban ketidakadilan, korban kekerasan, dan lain-lain. 2. Menjadi pembimbing dan pendorong bagi warga gereja dalam pertumbuhan menuju kedewasaan iman dalam kehidupan yang bersekutu, bersaksi, dan melayani. 3. Menyelenggarakan pelayanan kebaktian-kebaktian. 4. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga Kristen, lembagalembaga pemerintah dan lembaga-lembaga dalam masyarakat yang bergerak di bidang masalah-masalah sosial, ekonomi, bantuan hukum atau upaya-upaya hukum dan lain-lain. Tugas ini dilaksanakan atas keputusan Majelis Runggun. 5. Melaksanakan pelayanan cinta kasih yang tertuju kepada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan hidup warga gereja dan masyarakat sekitar. 6. Mengusahakan dan mengembangkan bentuk-bentuk baru bagi pelayanan cinta kasih gereja di tengah-tengah masyarakat yang terus menerus berubah dan berkembang. 7. Mendampingi warga gereja yang sedang menghadapi kesulitan di rumah tangga, di lingkungan masyarakat atau di tempat kerja guna mencapai jalan keluar dan menyimpan kerahasiaan yang

23 33 menyangkut pribadi-pribadi warga gereja dengan sebijaksana mungkin. E. DINAMIKA HUBUNGAN PERILAKU PROSOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING Bagi pelayan khusus di gereja, tentunya banyak tuntutan-tuntutan dalam melakukan pelayanan, terutama tuntutan kerja dalam gereja. Pelayan khusus yang memiliki timgkat religiusitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jemaatnya, mampu merasakan kebahagiaan, kedamaian, kenyamanan dan juga kesejahteraan secara psikologis (Pinquart, 2001). Tidak banyak yang memilih untuk menjadi pelayan khusus di gereja, terutama mereka tidak menerima imbalan (gaji) atas pelayanan yang mereka lakukan. Namun, karena bekerja sebagai pelayan khusus mendapatkan kesejahteraan psikologis, kedamaian, dan kenyamanan secara iman, hal tersebutlah yang mendorong seseorang untuk bersedia bekerja sebagai pelayan di gereja. Bagi pelayan khusus, mereka merasakan kesejahteraan secara psikologis (psychological well-being) karena mereka mampu meresapi tugas panggilan yang berasal dari hati untuk melayani dalam nama Tuhan (Binarti, 2012). Ryff menjelaskan bahwa ketika seseorang mlebih merasakan kesejahteraan psikologis (psychological well-being), akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku prososial. Dalam penelitiannya, Sears mengatakan bahwa perilalu menolong dapat memberikan kepuasan dan

24 34 dapat meningkatkan perasaan mereka sehingga tercapainya psychological well-being. Tugas dan tanggung jawab dalam pelayanan mereka tidak terlepas dari perilaku prososial, dimana mereka harus menaungi jemaat yang ada di gereja. Sebagai pelayan khusus harus siap untuk membantu jemaat baik dalam keadaan sukacita maupun dukacita. Seorang pelayan khusus yang mampu memaknai tugas dan tanggung jawabnya sebagai panggilan dari Tuhan, mereka akan melakukan pelayanan mereka dengan sungguh-sungguh (Karina, 2015). Ketika pelayan khusus memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi maka mereka akan lebih mampu melakukan pelayanan di gereja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan khusus. F. HIPOTESIS Berdasarkan teori yang telah diuraikan dan analisis terhadap teoriteori tersebut, diajukan hipotesis sebagai berikut: Perilaku prososial memiliki hubungan dengan Psychological Well- Being.

25 35 G. Kerangka Berpikir PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PENGERTIAN Pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan sebagai hasil dari evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya, baik evaluasi secara kognitif maupun secara emosi. Aspek psychological well-being: Self-acceptance, personal growth, purpose in life, positive relation with others, dan autonomy. Pelayan khusus di gereja, memiliki tingkat psychological well-being yg tinggi. Orang yang hidupnya berorientasi dengan Tuhan mampu merasakan kenyamanan, damai, bahagia dan juha merasa sejahtera secara psikologis. Tugas dan tanggung jawab sbg pelayan khusus di gereja adalah melayani warga jemaat. Pelayanan tsb tidak terlepas dari perilaku prososial. Pelayanan dalam gereja dapat berupa, kunjungan ketika sukacita maupun dukacita, kunjungan orang sakit, memasuki rumah baru, mendampingi jemaat dan melakukan pastoral konseling (pelayanan diakonia). Perilaku prososial merupakan perilaku yg bertujuan untuk memberi keuntungan pada penerima bantuan tanpa adanya kompensasi timbal balik yang jelas atas perilaku tersebut. Kenyataannya tdk semua pelayanan diakonia memunculkan perilaku prososial yang tinggi. Dari data wwcr yang di dapat banyak jemaat di gereja yang masih belum puas terhadap pelayanan diakonia. Ketika pelayan khusus memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi maka mereka akan mampu menunjukkan pelayanan. Dengan demikian, apakah ada hubungan perilaku prososial dengan psychological well-being pada pelayan khusus?

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen,

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Penetapan Presiden RI Nomor 1 tahun 1965). Setiap agama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini ialah: Variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Prososial pada Remaja Sears dkk. (1994: 47), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Asih dan Pratiwi (2010) merupakan salah suatu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya,

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tak dapat dipungkiri bahwa agama yang dianut seseorang membentuk dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya, dalam membentuk kepribadiannya,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial memiliki arti sebagai sosial positif atau mempunyai konsekuensi positif. Sosial positif ini didasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented) dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menolong merupakan perbuatan yang mulia, sejauh pertolongan itu dibutuhkan sehingga bermanfaat. Namun terkadang pertolongan justru tidak datang saat dibutuhkan. Banyak

Lebih terperinci

c. Pengalaman dan suasana hati.

c. Pengalaman dan suasana hati. PERILAKU PROSOSIAL Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981) membatasi perilaku prososial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan perbedaan, salah satunya adalah agama. Setiap agama di Indonesia memiliki pemuka agama. Peranan pemuka agama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan seseorang tentunya tidak akan pernah lepas dari peranan orang tua karena orang tua merupakan tumpuan pertama anak dalam memahami dunia. Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, didapatkan data jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 87% memeluk agama

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, didapatkan data jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 87% memeluk agama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat enam agama resmi yang dapat dianut, yaitu Islam, Budha, Hindu, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Kong Hu Cu. Kebebasan memilih agama

Lebih terperinci

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Disusun Oleh Nama : Pandu Perdana NPM : 15512631 Kelas : 4PA05 Keluarga Perceraian

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gereja, tetapi di sisi lain juga bisa membawa pembaharuan ketika gereja mampu hidup dalam

BAB I PENDAHULUAN. gereja, tetapi di sisi lain juga bisa membawa pembaharuan ketika gereja mampu hidup dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja tidak bisa lepas dari proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat seperti modernisasi dan sekularisasi. Perubahan akan menimbulkan permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan Masyarakat Kristen (BIMAS Kristen, 2010) Departemen Agama Propinsi

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan Masyarakat Kristen (BIMAS Kristen, 2010) Departemen Agama Propinsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kristen Protestan, merupakan salah satu agama yang diakui keberadaannya oleh Departemen Agama Repubulik Indonesia. Data yang diperoleh dari Pusat Pembinaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA FUNGSI KONSELING PASTORAL BAGI WARGA JEMAAT POLA TRIBUANA KALABAHI

BAB IV ANALISA FUNGSI KONSELING PASTORAL BAGI WARGA JEMAAT POLA TRIBUANA KALABAHI BAB IV ANALISA FUNGSI KONSELING PASTORAL BAGI WARGA JEMAAT POLA TRIBUANA KALABAHI Permasalahan hidup yang dihadapi oleh warga jemaat Pola Tribuana Kalabahi meliputi beberapa aspek, yaitu aspek fisik, sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang berkepanjangan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang berkepanjangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang berkepanjangan. Krisis ini telah berdampak kepada berbagai aspek kehidupan. Sejak krisis moneter sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Indonesia sejak dulu dikenal oleh dunia karena masyarakatnya yang hidup dengan rukun, saling tolong menolong, saling mensejahterakan dan penuh keramahan. Namun

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pendampingan dan konseling pastoral adalah alat-alat berharga yang melaluinya gereja tetap relevan kepada kebutuhan manusia. 1 Keduanya, merupakan cara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN.. Abstrak Penelitian ini berjudul studi kasus mengenai profil Psychological Well- Being pada anak yatim piatu di Panti Asuhan Putra X Bandung. Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Masing-masing agama memiliki pemuka agama. Peranan pemuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organizational Citizenship Behavior 2.1.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational citizenship behavior

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kepemimpinan merupakan hal yang penting berada dalam gereja. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan gereja sebagai organisasi. Dalam teori Jan Hendriks mengenai jemaat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Pengertian Kebahagiaan Menurut Seligman (2005) kebahagiaan hidup merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama Kristen Protestan merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Pada Agama Kristen biasanya memiliki suatu organisasi di gereja yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PEMAHAMAN MENGENAI BENTUK-BENTUK PELAYANAN KOMISI DOA DI JEMAAT GPIB BETHESDA SIDOARJO SESUAI DENGAN

BAB IV ANALISA PEMAHAMAN MENGENAI BENTUK-BENTUK PELAYANAN KOMISI DOA DI JEMAAT GPIB BETHESDA SIDOARJO SESUAI DENGAN BAB IV ANALISA PEMAHAMAN MENGENAI BENTUK-BENTUK PELAYANAN KOMISI DOA DI JEMAAT GPIB BETHESDA SIDOARJO SESUAI DENGAN PRESPEKTIF KONSELING PASTORAL DAN REFLEKSI TEOLOGIS Dalam Bab ini akan dipaparkan analisa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Flow 2.1.1 Definisi Flow Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan kesuksesan dalam kegiatan terlihat mudah, walaupun banyak energi fisik dan mental yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki keterbatasan sehingga manusia dapat melakukan ritual - ritual atau kegiatan keagamaan lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan penduduk (Badan

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan penduduk (Badan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan melewati berbagai tahapan perkembangan yang berbeda dalam hidupnya. Tahapan perkembangan yang terakhir dalam hidup manusia adalah masa lansia.

Lebih terperinci

1. LATAR BELAKANG MASALAH

1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1 1. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia dalam kehidupannya memiliki banyak kebutuhan, antara lain : kebutuhan untuk diperhatikan, mendapatkan bimbingan, pemeliharaan, asuhan, penghiburan,

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Alat Ukur

LAMPIRAN A. Alat Ukur LAMPIRAN A Alat Ukur A1. Kuesioner PWB Petunjuk pengisian : Di balik halaman ini terdapat sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan apa yang Saudara rasakan terhadap diri sendiri dan kehidupan Saudara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini dapat terwujud dengan adanya partisipasi dan dukungan perangkat yang baik. Salah satu perangkat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab 5 ini, akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian, saran-saran juga akan dikemukakan untuk perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

UKDW. Bab I. Pendahuluan

UKDW. Bab I. Pendahuluan Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Permasalahan Tak dapat dipungkiri bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, maka dari itu kehidupan seorang manusia yang dimulai dari kelahiran dan diakhiri dengan

Lebih terperinci

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU Program Studi PG-PAUD FKIP Universitas Riau email: pakzul_n@yahoo.co.id ABSTRAK Kesejahteraan guru secara umum sangat penting diperhatikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP Setelah melalui tahap pembahasan dan analisis, maka selanjutnya pada bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kehidupan dirasakan semakin sulit. Biaya kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kehidupan dirasakan semakin sulit. Biaya kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini kehidupan dirasakan semakin sulit. Biaya kebutuhan hidup seperti biaya untuk pangan, pendidikan dan kesehatan terus melambung. Berbagai tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Kecemasan 2.1.1. Definisi Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fausiah&Widury, 2007), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH (1) Tata Gereja GKJ adalah seperangkat peraturan yang dibuat berdasarkan Alkitab sesuai dengan yang dirumuskan di dalam Pokok-pokok Ajaran GKJ dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan arus globalisasi, maka muncul pula persoalan-persoalan baru yang harus dihadapi oleh sumber daya manusia yang ada di dalam Gereja. Oleh

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi. 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Psychological Well Being merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Eudaimonia (kebahagiaan) dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah psychological well-being.

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Brigham (dalam Dayakisni, 2009) menerangkan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku untuk menyokong kesejahteraan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa kecenderungan untuk Kepercayaan pada suatu kekuatan Transenden yang menimbulkan cara hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

Hubungan antara Social Support dengan Self Esteem pada Andikpas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung

Hubungan antara Social Support dengan Self Esteem pada Andikpas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Hubungan antara Social Support dengan Self Esteem pada Andikpas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung 1 Haunan Nur Husnina, 2 Suci Nugraha 1,2 Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS Kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Siapa saja bisa mengalami hal itu, baik tua atau pun muda, miskin atau pun kaya, baik perempuan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Manusia hidup tidak selamanya berada dalam kondisi dimana semuanya berjalan lancar sesuai dengan apa yang direncanakan dan diingininya. Ada saat dimana muncul ketegangan-ketegangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) memiliki 44 wilayah klasis, 2.504 jemaat, dengan jumlah warga mencapai 1.050.411 jiwa yang dilayani oleh 1.072 pendeta, (Lap. MS-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu gereja yang sudah berdiri sejak tahun 1950 di Indonesia adalah Gereja Kristen Indonesia atau yang biasa disebut GKI. GKI adalah sekelompok gereja

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Dina Meyraniza Sari,2013

DAFTAR ISI Dina Meyraniza Sari,2013 DAFTAR ISI Halaman Halaman Pernyataan... i Kata Pengantar... ii Hikmah... iii Ucapan Terima Kasih... iv Abstrak... vi Abstract... vii Daftar Isi... viii Daftar Tabel... xi Daftar Gambar... xii Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sebelum dilakukan analisis statistik dengan menggunakan product moment dari Pearson, maka dilakukan uji asumsi normalitas dan linearitas. 1. Uji Asumsi Uji

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci