PENJOR GALUNGAN DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU DI BALI KAJIAN BENTUK FUNGSI DAN MAKNA Oleh: Ni Putu Winanti*) Abstrac

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENJOR GALUNGAN DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU DI BALI KAJIAN BENTUK FUNGSI DAN MAKNA Oleh: Ni Putu Winanti*) Abstrac"

Transkripsi

1 PENJOR GALUNGAN DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU DI BALI KAJIAN BENTUK FUNGSI DAN MAKNA Oleh: Ni Putu Winanti*) Abstrac Hindu People in Bali in practice life believe in, cannot get out of the symbol use. One of symbol in religious ceremony is penjor Galungan. Penjor made from bamboo, assorted of leaf, Bali traditional snack, cloth, Penjor in certain area experience of the growth which variant. There is use various of idol of Eagle Wisnu, dragon, and other symbol. Penjor Galungan is inclusive of penjor sacral, markedly installing of sanggah penjor in so many form. The form of penjor Galungan is generally of equal totality Bali, there is made with the curve bamboo. The different is decoration ornament. So also form of sangah penjor in some place of a few differing. There is which hence roof of ardha chandra, trilateral and there is do not have roof. Function of Penjor Galungan namely religion function, Gunung Agung symbol of altar istadewata, social function, economic function and function of is beauty. The meaning of Penjor Galungan that is mean the theology, Three Hita Karana, mean the imagery and mean the climb spiritual.. Key Word : Penjor Galungan, Umat Hindu I. PENDAHULUAN Dalam kehidupan beragama, masyarakat Hindu di Bali tidak bisa lepas dari simbol-simbol. Penggunaan simbol-simbol tersebut membuktikan, bahwa budaya Bali dan agama Hindu sulit dipisahkan. Hal itu disebabkan agama Hindu memiliki tiga kerangka yaitu: tattwa (filsafat), susila (etika) dan upacara (ritual). Sudharta dan Ida Bagus Oka Puniatmaja (2001:5) mengemukakan, bahwa tiga kerangka itu diumpamakan bagaikan sebutir telur. Tattwa diibaratkan kuning telur, Susila agama diibaratkan putih telur dan upacara yajña bagaikan kulit telur. Tiga kerangka itu jika dipisahkan akan menyebabkan ketimpangan. Sebab, telur tanpa kulit tidak akan menjadi telur yang utuh dan sempurna. Kewajiban kulit telur adalah melindungi kuning dan putih telur tersebut. Ada pula pendapat, ketiga kerangka Agama Hindu diatas harus diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh umat Hindu, karena menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika dalam kehidupan sehari-hari hanya menonjolkan salah satu di antara ketiga kerangka agama tersebut, akan dapat menimbulkan sifat-sifat negatif. Misalnya, tattwa tanpa susila akan menimbulkan sifat munafik, sombong, dan angkuh. Susila tanpa upacara (dalam arti luas) akan mengakibatkan muncul rasa fanatik dan kebudayaan akan menjadi hilang. Demikian pula upacara tanpa didasari tattwa dan susila mengakibatkan muncul sifat dogmatis. *) Ni Putu Winanti, S.Ag., M.Pd., adalah dosen di lingkungan Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar Dengan mengacu pada perumpamaan itu, maka dapat dikatakan bahwa agama dan budaya dalam perjalanan sejarahnya selalu bersinergi. Titib (2007) mengungkapkan, di Bali sinergi agama Hindu dengan budaya Bali mampu meningkatkan dan mengembangkan kualitas budaya Bali itu sendiri. Dalam sinergi itu, tampak agama Hindu sebagai titik sentral (pusat) yang menjiwai semua aspek budaya Bali. Agama Hindu bersinergi melalui: (1) Sistem bahasa, yakni bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno; (2) Sistem pengetahuan; (3) Sistem sosial seperti desa pakraman dan subak; (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) Sistem mata pencaharian masyarakat; (6) Sistem religi, yaitu agama Hindu menghargai kepercayaan lokal, dan (7) Sistem kesenian seperti seni wali (sakral), seni bebali (dapat berfungsi sebagai seni sakral, dapat pula untuk kegiatan profan), dan seni balih-balihan (hanya untuk hiburan). Sementara itu, Koentjaraningrat (1980: ) mengatakan, masyarakat Bali yang dikenal sangat religius, memiliki budaya yang luluh dengan religi. Religi merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat kompleks dan berkembang di berbagai tempat di seluruh dunia. Menurut Koentjaraningrat, bahwa jika dilihat dari 1

2 sisi bentuk religi di sebagian besar bangsa di dunia, maka pada umumnya dapat terlihat adanya beberapa unsur pokok dari religi tersebut yaitu antara lain, emosi keagamaan atau getaran jiwa, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, baik kehidupan bermasyarakat, lebih-lebih dalam kehidupan beragama, umat Hindu di Bali sering menampilkan produk-produk budaya yang juga merupakan simbol-simbol keagamaan yang memiliki nilai-nilai tertentu sesuai dengan persepsi masing-masing penggunanya. Salah satu produk budaya tersebut adalah penjor. Menurut Atmaja, dkk (2008:49), secara umum, penjor memiliki dua jenis yaitu penjor sakral dan penjor profan. Jenis penjor yang digunakan oleh hotel, Pesta Kesenian Bali, dan beberapa event di luar upacara keagamaan, adalah penjor profan yang sering disebut pepenjoran. Sedangkan penjor sakral, digunakan dalam upacara agama atau yajña oleh umat Hindu. Salah satu jenis penjor yang kita kenal adalah Penjor Galungan. Seiring dengan perkembangan zaman, bentuk-bentuk penjor Galungan semakin variatif. Berdasarkan pengamatan di beberapa daerah, penjor Galungan terutama yang terdapat di Kabupaten Badung, penampilannya semakin berkembang dengan berbagai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda, semakin semarak dan terkesan mewah dan dengan demikian biaya yang ditimbulkannya pun semakin besar pula. Selain dibentuk mewah, juga banyak penjor yang diberi tambahan simbol-simbol Hindu, sehingga selain memiliki harga lebih tinggi juga akan menambah makna pada penjor Galungan tersebut. Dengan adanya penjor Galungan mewah dengan biaya tinggi menimbulkan dampak ekonomi pada masyarakat. Semua keperluan untuk membuat penjor seperti bambu, ambu (daun enau muda), janur, dan berbagai ragam hiasan penjor yang sudah jadi, telah tersedia di pasar. Para ibu rumah tangga atau seseorang yang biasa mengambil pekerjaan mejejaitan, memiliki peluang bisnis untuk meningkatkan atau menambah pendapatan akibat penjor Galungan tersebut. Meskipun perkembangan penjor Galungan semakin variatif, namun umat Hindu masih banyak yang belum mengetahui terutama fungsi dan makna keagamaannya. Berkenaan dengan berbagai fenomena tersebut, maka perlu diadakan pengkajian lebih dalam tentang penjor Galungan. Artikel ini tidak saja akan membahas maknamakna yang terkandung dalam penjor tersebut, namun secara lebih luas akan mengkaji bagaimana dampak yang ditimbulkannya dari perubahan dan perkembangan penampilan penjor, Galungan tersebut. II PEMBAHASAN 2.1 Bentuk Penjor Galungan Bentuk Struktur Penjor Galungan Penjor Galungan adalah salah satu penjor sakral karena digunakan untuk upacara keagamaan. Bahan-bahan baku yang dipakai yaitu (1) bambu yang melengkung, (2) kain putih, (3) Kelapa, (4) Janur dan ambu (daun enau muda), (5) Daun-daunan (daun endongan, daun beringin dan daun plawa), (6) Pala bungkah (umbi- umbian), (7) pala gantung (mentimun) (7) pala wija (bijibijian seperti jagung, padipadi), (8) jajan, (9) Tebu, (10) uang kepeng. Pada ujung penjor digantungkan sampian penjor lengkap dengan porosan (sirih; kapur, pinang) dan bunga. Struktur penjor Galungan dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni bagian pangkal, bagian tengah, dan bagian atas. Bagian pangkal dihiasi dengan berbagai daun-daunan (janur, ambu), plawa, kelapa dan dipasang sanggah penjor. Bagian tengah diisi tebu, pala bungkah, pala gantung, dan dihiasi bakang-bakang dari daun enau muda (ambu) atau janur. Kemudian pada bagian atas, yaitu pada pucuk bambu yang melengkung dipasang kober putih-kuning. Dekat dengan kober itu, digantung jajan Gina dan jajan Uli. Terakhir pada ujung bambu digantung sampian penjor. Masing-masing bahan baku tersebut merupakan simbol ista dewata menurut teologi Hindu. 2

3 2.1.2 Bentuk Penjor Galungan Berdasarkan pengamatan di daerah Tabanan, Badung dan Denpasar, penjor Galungan ditancapkan di depan sebelah kanan pintu masuk pekarangan rumah. Artinya jika sebuah rumah menghadap ke arah barat, maka penjor Galungan ditancapkan di sebelah utara pintu pekarangan. Berdasarkan pengamatan secara umum bentuk penjor tidak berbeda. Kesamaannya, yaitu samasama memakai bambu yang melengkung. Bahanbahan baku yang dipakai untuk penjor Galungan tersebut sebagian besar memakai unsur-unsur yang sama sebagaimana telah disebutkan di atas. Pada ujung penjor digantungkan sampian penjor lengkap dengan porosan (sirih; kapur, pinang) dan bunga. Khusus kain kober, dalam perkembangannya juga ada yang berisi gambar simbol Om atau ongkara. Bagi sebagian besar umat Hindu di Bali, penjor Galungan dibuat sederhana, sesuai dengan kemampuan anggaran yang tersedia. Namun di beberapa tempat, terutama di Kabupaten Badung dan Denpasar, penjor Galungan dibuat mewah sehingga bisa menelan dana jutaan rupiah. Namun beberapa informan mengatakan, mewah atau sederhananya penjor Galungan, bukanlah sesuatu yang penting jika dilihat dari segi agama. Asal sudah membuat penjor, betapapun sederhananya, tidak ada orang yang mencomooh. Bahkan ada warga yang tinggal di gang kecil, tidak membuat penjor Galungan, juga tidak ada yang mempermasalahkan. Namun menurut pengamatan, orang yang tidak membuat penjor saat hari Raya Galungan jumlahnya sangat sedikit. Hal itu pun terjadi karena masalah teknis, misalnya pemilik rumah sedang berada di tempat lain sehingga tidak memungkinkan mereka membuat penjor. Lain halnya di Kabupaten Badung, selain ada penjor yang sederhana, namun banyak pula penjor yang terkesan mewah. Di beberapa tempat di Kabupaten Badung seperti di Kapal, Kecamatan Mengwi, demikian pula di Dalung, Munggu, Kecamatan Kuta, banyak penjor Galungan diberi hiasan dengan berbagai ornamen yang lebih mewah. Di Desa Kapal, Kabupaten Badung, ada sebuah penjor yang dihiasi dengan ornamen seekor naga menyangga burung Garuda yang sedang ditunggangi Dewa Wisnu. Patung tersebut dicat berwarna-warni, sehingga penjor itu menjadi lebih indah. Bagi Jro Mangku Banat yang tinggal di Tabanan (wawancara 6 Mei 2012), adanya penjor seperti itu merupakan kreativitas pembuat atau pemiliknya. Dalam konteks kebebasan beragama dan berkreasi, penjor Galungan diberi ornamen seperti itu masih bisa diterima, karena simbol yang digunakan merupakan simbol Hindu. Lain halnya jika sebuah penjor Galungan diisi tulisantulisan yang berbau reklama, atau gambar-gambar mobil, kapal, apalagi gambar-gambar forno, maka perlu dipermasalahkan. Dengan demikian, menurut Mangku Banat, selama masih memasang simbol Hindu, dan selama tidak menjadikan beban, bentuk penjor seperti itu tidak perlu dipermasalahkan. Menurut informan Bratayasa dari Kapal, Badung, (wawancara, 25 Mei 2012), penjor yang dihiasai ornamen patung tersebut jika dihitung harganya bisa mencapai Rp 2 Juta. Akan tetapi, menurut Bratayasa, hal itu tidak memberatkan bagi pemiliknya. Sebab, ornamen patung yang dipasang itu tidak habis sekali pakai. Patung itu bisa dilepas, disimpan dan bisa digunakan lagi pada saat membuat penjor pada hari raya Galungan yang akan datang. Apalagi pemilik penjor tersebut memang penjual kerajian ukiran, sehingga untuk membuat penjor mewah, tidaklah menjadi beban bagi mereka Bentuk Sanggah Penjor Bentuk sanggah penjor Galungan beraneka ragam. Di beberapa tempat di daerah Tabanan, bentuk sanggah penjor tidak beratap. Sedangkan di daerah Badung dan Denpasar, banyak yang memakai sanggah penjor dengan memakai atap dari anyaman bambu. Atapnya ada yang berbentuk segitiga, dan ada berbentuk ardha chandra, yaitu anyaman bambu berbentuk melengkung menyerupai bulat sabit. Bagi kebanyakan umat, bentuk sanggah penjor itu juga tidak pernah menjadi topik pembicaraan. Beberapa informan yang diwawancarai semua 3

4 mengaku, tidak terlalu mempersoalkan bentuk sanggah penjor tersebut. Yang paling penting adalah kekhusukan saat sembahyang, menghaturkan sesajen persembahan. Dari fenomena di atas dapat dikatakan bahwa dalam perkembangan zaman, bentuk penjor mengalami dinamika yang dipengaruhi oleh kreativitas masyarakatnya. Penampilan bentuk penjor tersebut menunjukkan sesuatu yang baru. Berbagai tanggapan atau pendapat terhadap sesuatu yang dinilai baru, rupanya wajar-wajar saja. Menurut Triguna (dalam Pitana, Eds, 1994:73-74) bahwa agama Hindu yang berkembang di Bali lebih diwarnai dengan pelaksanaan agama melalui jalan bhakti dan karma, sehingga dalam realitasnya lebih menekankan pada bentuk ritus dan simbolik dibandingkan dengan pemahaman atas pengetahuan dan filsafat agama. Hal itu menyebabkan banyak orang menilai, bahwa agama Hindu lebih menekankan pada bentuk ekspresif dibandingkan dengan agama dalam makna pengetahuan atau tattwa. 2.2 Fungsi Penjor Galungan Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali Penjor Galungan ditancapkan pada hari Selasa, Wage, sehari sebelum Galungan yang jatuh pada Rabu, Kliwon, Wuku Dungulan. Namun menurut Sari dalam Nada Atmaja (2008:101) penancapan penjor Galungan di Desa Tunjuk Tabanan, dilakukan pada hari Senin, Pon dua hari sebelum hari Raya Galungan. Penjor itu ditancapkan di sebelah kanan pintu pekarangan rumah. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Adanya perbedaan waktu penancapan ini, rupanya tidak dipermasalahkan, asalkan dilakukan sebelum Galungan. Ada beberapa fungsi Penjor Galungan yang bisa dikemukakan yaitu (1) Fungsi religius, (2) Fungsi sosial, (3) Fungsi ekonomi, dan (4) Fungsi keindahan Fungsi Religius Penjor sebagai Tanda Kemenangan Dharma Melawan Adharma Penjor Galungan memiliki fungsi religius karena merupakan sarana yang dipasang sehubungan dengan upacara keagamaan yang berkaitan dengan hari Raya Galungan dan Kuningan. Penjor Galungan tidak bisa dilepaskan dengan sejarah munculnya hari Raya Galungan yang oleh umat Hindu dimaknai sebagai hari tonggak kemenangan dharma melawan adharma. Dari sudut bahasa, kata galungan berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda dikenal kata galungan yang berarti berperang. Menurut Wiana (1995) kata galungan berasal dari kata Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan yang juga berarti menang. Lebih jauh Wiana mengemukakan, pelaksanaan hari raya Galungan sering dikaitkan dengan legenda Mayadenawa. Dalam Lontar Usana Bali, Mayadenawa dilambangkan sebagai kejahatan atau adharma, dan Dewa Indra sebagai lambang kebajikan atau dharma. Mayadanawa dikisahkan sebagai keturunan Daitya (Raksasa) di daerah Blingkang (sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah raja yang sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Mayadanawa hidup pada masa Mpu Kul Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya. Akan tetapi karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan bahkan Mayadanawa merusak semua pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti. Untuk mengatasi keadaan itu, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik (petunjuk) agar meminta pertolongan ke Jambudwipa (India). Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga, yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Untuk menghadapi Mayadanawa, Dewa Indra mengerahkan pasukan 4

5 sayap kanan yang dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sangjayantaka. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Dewa Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan Naradha. Setelah perang meletus dengan sengit, akhirnya pasukan Dewa Indra unggul. Pasukan Mayadanawa bersama patihnya yang bernawa Kala Wong lari tunggang langgang. Beberapa lama kemudian, akhirnya Mayadenawa dapat dibasmi. Setelah Dewa Indra mengalami kemenangan, maka rakyat merayakan dengan suka cita. Sebagai tanda kemenangan, rakyat lalu menancapkan penjor dan pada hari Rabu, Kliwon, Dungulan selanjutnya disebut hari Raya Bisa ditafsirkan, penjor Galungan sama maknanya dengan bendera negara yang dinaikkan setelah mengalami kemenangan dalam medan perang. Kisah Mayadenawa di atas, adalah sebuah mitologi yang dapat mempertebal keyakinan kepada keagungan Tuhan. Meskipun bukan sejarah, mitologi tersebut memiliki manfaat dalam usaha pendakian spiritual. Sivananda (2003:157) mengatakan bahwa mitologi merupakan satu bagian dari setiap agama. Mitologi tersebut memberikan bayangan kepada pembacanya melalui ajaran-ajaran dan contoh-contoh yang patut dipuji dan mendorong mereka untuk mencapai kesempurnaan atau cita-cita tertinggi Penjor Sebagai Simbol Gunung Agung Tempat Pemujaan Istadewata Penjor Galungan bentuknya melengkung, sebab sarana upacara tersebut merupakan sombol gunung. Titib (2003:154) mengatakan, penjor adalah sarana keagamaan sebagai persembahan dan juga melambangkan gunung Agung. Umat Hindu di Bali meyakini bahwa tempat yang tinggi seperti gunung adalah tempat berstananya Hyang Widhi. Atmaja (2008:152) menggambarkan bahan baku penjor Galungan merupakan simbol 11 nama istadewata. Nama-nama istadewata itu yakni Sanghyang Iswara dilambangkan oleh kober putih kuning, jajan gina/jajan uli sebagai simbol Sanghyang Brahmana, tebu simbol Saghyang Sambu, tiying penjor simbol Sanghyang Mahesora, busung/ambu simbol dari Sanghyang Mahadewa, plawa simbol dari Sanghyang Sangkara, pala bungkah-pala gantung simbol dari Sanghyang Wisnu, sampian penjor simbol dari Sanghyang Pramasiwa, kelapa simbol dari Sanghyang Rudra, sanggah ardha chandra simbol dari Sanghyang Siwa dan banten merupakan simbol Sanghyang Sadasiwa. Berdasarkan pada simbol-simbol tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa penjor Galungan memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan terhadap 11 dewata. Hal itu juga diakui Sudarsana dalam Manik (2006) yang mengulas nama penjor itu sendiri. Menurut Sudarsana, kata penjor berasal dari kata enjor (bahasa Bali) yang artinya ajum atau astawa, mendapat awalan pe menjadi peenjor yang mengandung arti pengajum atau pengastawa. Kemudian menjadi penyesuaian huruf vokal menjadi penyor, akhirnya mendapat pengaruh penekanan pada suara sehingga terjadi perubahan huruf konsonannya menjadi j, sehingga menjadi kata penjor. Menurut Sudarsana, penjor memiliki fungsi sebagai tempat persembahan pada leluhur dan Tuhan yang berstana di puncak gunung tertinggi, yaitu Gunung Agung. Gunung Agung disimboliskan memberi keselamatan dan kesuburan tanah yang juga disebut Naga Basukih Fungsi Sosial Dalam penataan rumah tempat tinggal masyarakat Bali, satu pekarangan rumah bisa dimiliki oleh dua atau lebih dari kepala keluarga. Oleh karena itu, mereka hanya membuat satu penjor Galungan. Menurut Juana, warga Tabanan (wawancara 2 Mei 2012), satu pekarangan rumahnya dimiliki oleh tiga kepala keluarga. Oleh karena hanya membuat satu penjor, maka Juana dan dua kepala keluarga lainnya melakukan kerja sama baik tentang dana maupun pengerjaan untuk membuat satu penjor. Pada saat mengerjakan penjor itu, maka mereka aktif berinteraksi. Pembicaraan tidak hanya menyangkut masalah penjor, tetapi juga hal-hal lain yang dapat 5

6 menjadikan mereka membina kerukunan. Dengan adanya kerukunan itulah, maka masing-masing individu melakukan kewajibannya, sehingga mereka melakukan fungsinya dengan baik. Juana mengatakan, Setiap menjelang Galungan, kami membuat penjor bersama-sama. Kami mengeluarkan urunan untuk membeli segala sesuatu yang diperlukan. Misalnya daun ambu, janur, kelapa. Tetapi jika ada yang sudah punya, ia juga menyumbang secara sukarela. Misalnya jajan, kelapa, mentimun, padi. Jadi, tidak harus mengeluarkan urunan sama rata. Prinsip kami, siapa yang punya lebih akan membantu yang tidak punya. Pernyataan Juana tersebut di atas dapat mencerminkan, bahwa hubungan sosial mereka cukup baik. Dengan adanya pembuatan penjor Galungan itu, mereka melakukan interaksi sosial dan terjadi dalam kegiatan religius, sehingga hubungan tersebut ada dalam suasana kekeluargaan, kesucian, dan kedamaian Fungsi Ekonomi Penjor Galungan juga memiliki fungsi ekonomi. Hal itu disebabkan, dalam proses pembuatan penjor, banyak bahan yang mesti didatangkan dari berbagai tempat. Menurut beberapa pedagang alat-alat upacara di Denpasar, ia menerima pasokan barang dari beberapa tempat. Dari Banyuwangi mendapat pasokan janur. Dari Tabanan, memperoleh pasokan ambu (daun enau muda) dan ron (daun enau yang sudah agak tua). Demikian pula bahan-bahan sesajen lainnya seperti buang pinang, daun sirih, berbagai macam buah, ia menerima pasokan dari berbagai daerah. Bahan-bahan upacara itu, kemudian ia jual kepada konsumen. Dari hasil penjualan itu, seorang pedagang mengaku memperoleh keuntungan dan merupakan sumber pendapatan sehari-hari. Seorang penjual penjor I Nyoman Kawi (wawancara, 27 Mei 2012) di Br. Bayuh, Ungasan, Kabupaten Badung. Menjelang Galungan, ia memang bisa meraih keutunungan yang lebih besar dibandingkan sesudah Galungan. Tentang harga penjor, menurut Kawi, penjor terbesar harganya Rp 2,5 juta, sedangkan penjor biasa harganya dari Rp , sampai Rp Demikian pula Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Seperti dikatakan Nyoman Dewi (wawancara 11 Mei 2012), ia sejak beberapa tahun terakhir ini berjualan sampian penjor, lamak dan perlengkapan penjor lainnya. Dari hasil jual-beli alat-alat upacara termasuk penjor itu, Dewi mengatakan bisa hidup lebih baik. Pemasok ambu dan bambu penjor juga memetik rezeki pada saat menjelang Galungan. Wayan Nada (wawancara 14 Mei 2012) dari Karyasari, Blimbing, Kecamatan Pupuan, Tabanan mendapat tambahan penghasilan relatif meningkat berkat hasil penjualan bambu dan ambu. Dengan demikian, maka banyak pihak yang bisa diuntungkan berkat pembuatan penjor Galungan ini. Selain pedadang, sopir angkutan yang mengangkut bahan-bahan penjor juga meraup rezeki. Dari kasus itu tercermin, bahwa perbuatan yang saling tolong menolong yang dilandasi saling menguntungkan merupakan sebuah kenyataan. Hal itu memang sudah digariskan dalam Bhagawad Gita.III.16 yang menyatakan sebagai berikut: evam pravartitam cakram nanuvartayatiha yah, aghayur indriyaramo mogham partha sa jivati Terjemahan: Demikianlah sebab terjadinya perputaran roda, (dan) ia yang tak ikut dalam perputarannya itu berbuat jahat, selalu berusaha memenuhi nafsu indranya, sesungguhnya ia hidup dalam sia-sia, wahai Partha. (Pudja, 2005: 88) Fungsi Keindahan Bentuk lengkungan bambu yang dipakai sebagai bahan utama sebuah penjor Galungan mengandung keindahan. Keindahan itu terasa alami, yang didapatkan dari anugerah Tuhan. Alam merupakan pengungkapan dari Sang Pencipta (Tuhan), sedang keindahan alam mencerminkan karya kreatif dari Devine Artist (Seniman Sempurna). Keindahan alam adalah 6

7 God s Handiwork (pekerjaan tangan Tuhan) yang diciptakan untuk kesenangan dan pendidikan makhluk-makhluk-nya di dunia (Hunter Mead dalam Gie, 2004 : 55). Suatu benda dianggap memiliki nilai indah sangat tergantung bagi para penikmatnya. Adanya keindahan sangat ditentukan dari pikiran seseorang terhadap benda yang dilihatnya. Sehubungan dengan keindahan subjektif ini, Nyoman Arjana (wawancara,16 Mei 2012) mengatakan, ketika mengunjungi sebuah desa yang memasang penjor Galungan, ia merasakan ada suasana baru yang demikian indah. Lebihlebih di desa tersebut, masing-masing penduduk memiliki angkul-angkul dan tembok tradisional Bali. Dengan ditancapkannya penjor Galungan di depan angkul-angkul tersebut, keindahan pun akan tercipta. Arjana lebih jauh mengatakan bahwa penjor itu menambah dekorasi angkul-angkul sehingga tampak lebih indah. Apalagi ada sanggah penjor yang diisi banten, kemudian ada dupa yang menyemburkan asap. Saya merasa senang dan sering memotret pemandangan yang ada penjornya. Banyak orang yang terpesona melihat penjor yang terpasang di berbagai tempat. Hal itu terbukti, banyaknya foto-foto atau lukisan penjor yang beredar di media massa, lebih-lebih di internet. Foto atau lukisan penjor selain dipajang di tembok rumah, juga banyak dipakai untuk ilustrasi kartu ucapan selamat hari raya Galungan. Hampir semua kartu ucapan selamat Hari Raya Galungan dihiasi gambar atau foto penjor. Hal itu terjadi, mungkin karena selain hari raya Galungan selalu ditandai dengan penancapan penjor, juga karena penjor itu sendiri dapat menciptakan keindahan. Agama Hindu memang bukanlah agama yang semata-mata mengagungkan kebenaran, kesucian, dan kebajikan, melainkan agama yang dilengkapi dengan budi daya manusia yang dinyatakan dengan ungkapan satyam, siwam, sundaram (kebenaran, kesucian, keindahan) Makna Penjor Galungan dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali Makna Teologi Sebagaimana telah dipaparkan bahwa penjor Galungan memiliki berbagai simbol Dewata. Ada 11 nama Dewata yang disimbolkan oleh bahan baku penjor Galungan sebagaimana dikemukakan Atmaja (2008:152). Kesebelas Ista dewata itu adalah: (1) Kober putih-putih kuning simbol Sanghyang Iswara; (2) Jajan gina/jajan uli simbol Sanghyang Brahmana; (3) tebu simbol Sanghyang Sambu; (4) tiying (bambu) penjor simbol Sanghyang Mahesora; (5) busung/ambu simbol Sanghyang Mahadewa; (6) plawa simbol Sanghyang Sangkara; (7) pala bungkah-pala gantung simbol Sanghyang Wisnu; (8) sampian penjor simbol Sanghyang Pramasiwa; (9) kelapa simbol Sanghyang Rudra; (10) sanggah Arda Candra simbol Sanghyang Siwa dan (11) banten merupakan simbol Sanghyang Sadasiwa. Ada perkiraan, ajaran Siva Siddhãnta masuk ke Bali pada abad XVI Masehi. Konsep, sistem, dan penerapan ajaran dari berbagai sekte seperti disebutkan di depan dapat disatukan dalam tatanan kehidupan beragama yang serasi, harmonis, dan efektif di Bali dengan berfokus pada ajaran Siva Tattva (Ketua PHDI Propinsi Bali dalam Tim Penyusun 2000 : vi). Mengacu pada uraian tersebut di atas, maka dalam penjor Galungan terlihat ajaran Siva Siddhãnta diwujudnyatakan. Hal itu bisa dikaji melalui nama-nama Dewata yang diberikan dan disimbolkan dalam penjor Galungan tersebut. Dari gambar Penjor Galungan di atas, terlihat pemujaan diarahkan atau lebih terfokus pada Sanghyang Siwa. Hal itu bisa dilihat pada bentuk sanggah penjor yaitu Arda Candra yang dimbolkan sebagai pemujaan Sanghyang Siwa. Demikian pula banten dalam penjor ini dipandang sebagai simbol Sanghyang Sadasiwa. Dalam gambar penjor di atas, sampian penjor dipandang sebagai simbol Sanghyang Parama Siwa. Ketiga nama dewa tadi merupakan nama lain dari Sanghyang Siwa itu sendiri. Bahkan menurut Mahabharata yang dikutip Titib (2003: ), Sanghyang Sambhu, Mahadewa, Sangkara, Rudra yang juga disimbolkan dalam penjor Galungan tadi, merupakan nama lain dari Siwa. Hanya Sanghyang Brahmana dan Wisnu tidak disebutkan 7

8 sebagai nama lain Sanghyang Siwa. Dengan demikian, penjor Galungan ini mencerminkan sarana pemujaan Sanghyang Siwa. Pemujaan Sanghyang Siwa di sanggar penjor semakin diperkuat dengan adanya pandangan, bahwa penjor merupakan simbol Gunung Agung, yaitu tempat berstananya Sanghyang Siwa. Banyak penjor Galungan juga dipasang kober berwarna putih-kuning yang diisi aksara Om. Aksara suci ini sering pula dijadikan simbol untuk memudahkan memuja Tuhan yang abstrak. Sebab, melakukan pemujaan kepada Tuhan yang abstrak, tidak terbayangkan/terpikirkan (Acintya) sangatlah sulit. Tuhan tidak terpikirkan karena tanpa sifat, tanpa bentuk yang disebut Nirguna Brahman. Tuhan yang nirguna perlu diwujudkan dalam bentuk lain agar bisa terjangkau oleh pikiran umat yang serba terbatas. Tuhan dalam berbagai manifestasinya yang dapat digambarkan dalam pikiran disebut Saguna Brahman. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, penjor Galungan memiliki makna teologi yaitu tentang hakikat Katuhanan dalam Hindu Makna Tri Hita Karana Bentuk dan fungsi penjor Galungan jugs mengandung makna ajaran Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berarti tiga unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan. Ketiga unsur itu adalah unsur Jiwa (Atma); unsur tenaga (kekuatan, prana) dan unsur badan wadah (sarira). Dengan demikian, Tri Hita Karana adalah perwujudan kesejahteraan dan kebahagiaan yang terdiri dari unsur Ida Sanghyang Widhi/Tuhan (super natural power), manusia (Microcosmos), dan alam semesta/bhuwana (Macrocosmos). Hal itu menjadi pola dasar tatanan kehidupan umat Hindu, yang dijadikan budaya perilaku sehari-hari dalam berbagai akitivitas, sehingga muncul konsep mengajarkan pola hubungan yang harmoni (selaras, serasi, dan seimbang) di antara ketiga sumber kesejahteraan dan kebahagiaan. Tiga sumber itu terdiri dari unsur: (1) Parhyangan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta (Brahman); (2) Pawongan, hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia (Microcosmos); dan (3) Pelemahan, hubungan harmonis antara manusia dengan Bhuwana (Macrocosmos). Ketiga aspek itu dapat diuraikan sebagai berikut Aspek Parhyangan Aspek parhyangan tidak bisa dipisahkan dengan aspek lainnya. Ketiga unsur (parhyangan, pawongan dan pelemahan) tidak bisa dibedakan secara dikotomis atau dipisah-pisahkan begitu saja. Menurut Wiana (1995: ) dan Ardana (2007:61), ketiga unsur tersebut harus menyatu terpadu membentuk sikap hidup dalam Tri Hita Karana. Hal itu disebabkan, hubungan antara manusia dengan Tuhan harus mengejawantah pada hubungan antara manusia dengan manusia dan juga dengan alam lingkungan. Oleh karena meningkatnya kualitas hubungan antara manusia dengan Tuhan, maka meningkat pula hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Argumen itu juga didukung oleh sesanti, manava seva is madava seva (melayani manusia juga melayani Tuhan). Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan antara lain diwujudkan dengan melakukan upacara atau ritual. Mendekatkan diri kepada Tuhan menurut kitab suci ada tiga yaitu dengan upasana kanda, karma kanda, dan jñana kanda. Wiana (2000:189) menjelaskan, upasana kanda artinya mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melakukan pemujaan atau bhakti. Mengutip Swami Siwananda, Wiana menjelaskan upasana ini ada dua macam yaitu saguna upasana dan nirguna upasana. Saguna upasana adalah memuja Tuhan dengan sarana simbol-simbol sakral seperti canang, kwangen, dupa, daksina, gambar-gambar atau patung sakral. Sedangkan nirguna upasana, yakni memuja Tuhan tanpa simbol. Dalam hubungannya dengan penjor Galungan, umat Hindu 8

9 melakukan pemujaan yang tergolong saguna upasana. Hal itu bisa dilihat, dengan dilengkapinya penjor dengan sanggah, serta adanya persembahan banten, dupa, air, dan sarana persembahan lainnya Aspek Pawongan Aspek pawongan dapat dilihat ketika berlangsungnya proses pembuatan penjor Galungan. Tidak sedikit penjor Galungan dibuat dengan melibatkan banyak orang. Ketika melakukan pekerjaan itu, maka mereka tentu harus berhubungan antara satu dengan yang lainnya secara harmonis. Tanpa hubungan yang harmonis, pembuatan penjor tentu akan tidak bisa berjalan dengan baik. Adanya hubungan yang harmonis dalam suasana kekeluargaan dan penuh cinta kasih sayang, menyebabkan adanya kebersamaan. Untuk membangun suasana kekeluargaan itu tentu pelu adanya sifat-sifat yang luhur atau masingmasing orang memiliki etika atau sifat-sifat kesusilaan. Menurut Tim Penyusun (1994:140), kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan atau suruhan-suruhan utuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika atau kesusilaan, akan diperoleh tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Dalam poses pembuatan penjor Galungan, sifat-sifat yang mulia dan penuh kasih sayang diharapkan selalu ada dalam setiap umat. Pikiran, perkatan dan perbuatan diharapkan selalu menyenangkan orang lain, karena tanpa itu, tidak akan ada hubungan yang harmonis Aspek Pelemahan Untuk membuat penjor Galungan, diperlukan bambu dan hasil bumi lainnya. Bambu dan hasil bumi tersebut, hanya bisa diperoleh dalam alam lingkungan. Selain menggunakan bambu dan janur, penjor Galungan juga menggunakan antara lain daun beringin, dan daun cemara. Dengan adanya penggunaan tanaman itu, berarti semua tanaman tadi diharapkan ada menjelang hari raya Galungan agar bisa dimanfaatkan ketika membuat penjor. Oleh karena diharapkan ada, maka semua tanaman itu perlu dilestarikan. Dengan demikian, penjor Galungan juga memiliki makna pelestarian lingkungan. Tanpa adanya pelestarian ini, maka tidak akan ada penjor Galungan yang memakai sarana tumbuhtumbuhan. Dalam usaha pelestarian itu, maka antara manusia dan alam, dalam perspektif Hindu memiliki hububungan timbal balik yang harus serasi dan harmonis. Menurut Wiana (2004:153), jika manusia tidak beryajña pada alam lingkungannya, berarti manusia tidak memutar Cakra Yajña sehingga bisa digolongkan makhluk jahat. Melakukan Bhuta Hita berarti menyejahterakan alam lingkungan sebagai wujud perbuatan yang harus dilakukan dalam kaitan Tri Hita Karana. Sehubungan dengan pelestarian lingkungan, apa yang dilakukan penduduk Desa Belimbing, dan desa-desa sekitarnya tampaknya sudah sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana. Menurut Nyoman Arjana (wawancara, 12 Mei 2012) seorang penduduk Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, masyarakat di desanya wajib menanam pohon enau di kebunnya. Adanya kewajiban menanam pohon enau, merupakan sebuah kebijakan yang sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana. Untuk melestarikan alam lingkungan termasuk Bali, menurut Wiana (2006:65-75), yang dipakai landasan adalah Lontar Purana Bali yang menyodorkan konsep Sad Kerti. Dalam Sad Kerti ditentukan tentang pelestarian alam meliputi (1) Samudra Kerti (membangun kelestarian samudra), (2) Wana Kerti (melestarikan hutan), (3) Danu Kerti (melestarikan danau atau sumber-sumber air), (4) Atma Kerti (melakukan upacara penyucian Atma dalam bentuk Pitra Yajña), (5) Jagat Kerti (melestarikan keharmonisan hubungan sosial yang dinamis dan produkstif dalam bentuk Desa Pakraman), dan (6) Jana Kerti (membangun manusia yang sempurna secara individu). Hubungan yang paling erat secara langsung dalam pembuatan penjor yaikni Wana Kerti. Adanya aturan adat tentang kewajiban menanam pohon enau di kebunnya masing-masing merupakan 9

10 kearifan lokal yang sangat positif sebagai upaya pelestarian lingkungan, khususnya hutan Makna Perumpamaan Sebuah penjor, juga sering digunakan sebagai bahan perumpamaan dalam menyampaikan kritik sosial. Kritik sosial tersebut sering diungkapkan oleh para seniman yang sering melakukan seni pertunjukan, seperti topeng prembon, arja, dan wayang kulit. Seorang dalang wayang kulit di Tabanan, Gede Anis (wawancara, 26 Mei 2012) mengatakan, dalam pertunjukan seninya, ia sering melontarkan kritik sosial dengan mengangkat penjor sebagai topik perbincangan. Gede Anis mengatakan bahwa, banyak orang mengatakan, dalam kehidupan sekarang jika bisa diumpamakan seperti penjor, yang lurus ditanam (dibasmi), yang bengkok dihiasi (dipelihara dan dimanjakan). Akan tetapi ada yang memberi arti sebaliknya. Bagi Wayan Supartha, warga Denpasar (wawancara 21 Mei 2012) perumpamaan yang mengambil contoh penjor sebagai bahan kajian, tidak selalu memiliki arti negatif. Ia mengatakan, bahwa batang penjor yang lurus ditanam, yang bengkok dihiasai seindahindahnya, bisa diterjemahkan, bahwa sifat-sifat yang lurus, yang luhur dan yang mulia, perlu ditanamkan, dibumikan, dilestarikan dalam masyarakat. Sedangkan bagian penjor yang bengkok dihiasi seindah-indahnya bisa diterjemahkan, bahwa perbuatan atau sifat-sifat yang negatif itu perlu diberi nasihat-nasihat yang mulia, dibina dengan penuh kasih sayang, sehingga akan menjadi berguna bagi masyarakat. Sebuah penjor juga bisa digunakan sebagai perumpamaan ilmu padi yaitu semakin berisi semakin merunduk. Sebagaimana dapat diamati, penjor Galungan bentuknya melengkung. Beberapa meter pada bagian atas melengkung mengarah ke bawah. Bentuk penjor yang melengkung itu, bisa diibaratkan bahwa semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang, semakin rendah hatilah orang tersebut. Selain itu, sebuah penjor, bisa dijadikan perumpamaan untuk seorang pemimpin yang baik. Bentuk penjor yang melengkung itu bisa dijadikan perumpamaan, bahwa meskipun pemimpin itu berada di posisi yang tinggi, namun ia tidak lupa melihat ke bawah, melihat rakyat, anggota atau anak buah yang dipimpinnya Makna Pendakian Spiritual Bahan baku penjor Galungan antara lain terdiri dari bambu, daun ambu atau janur. Ambu itu dilengkungkan sedemikian rupa dan biasanya disebut bakang-bakang. Jumlah bakang-bakang yang harus dibuat, tergantung pada tinggirendahnya sebuah penjor. Bakang-bakang yang dibuat pada mulanya berukuran besar, kemudian makin banyak makin mengecil, karena mengikuti ukuran bambu yang makin ke atas semakin mengecil. Pada gambar penjor tersebut, tampak bagian bawah dihias mewah. Kemudian makin ke atas semakin sederhana dan pada ujungnya digantung sampain penjor yang berisi porosan, yaitu kapur sirih, buah pinang yang dibungkus dengan daun sirih. Menurut Supartha (wawancara, 23 Mei 2012), bentuk dan materi bahan penjor tersebut bisa ditafsirkan maknanya, bahwa dalam pendakian spiritual, semakin tinggi tingkat religiusitas dan spiritualitas seseorang, semakin sederhanalah mereka. Keinginan mereka pun semakin sederhana, semakin tidak terikat pada kemewahan diniawi, dan pada akhirnya menuju Tuhan Yang Maha Esa. Pada bagian pangkal penjor ada hiasan mewah. Menurut Supartha, hal itu merupakan simbol dari kemewahan duniawi. Orang-orang yang tingkat spiritualitasnya masih rendah, pada umumnya masih menggandrungi kemewahan duniawi. Namun setelah melakukan pendakian spiritual, semakin tinggi, semakin melepaskan keterikatan tersebut, sehingga pada akhirnya menyatu dengan Tuhan. III. SIMPULAN Berdasarkan deskripsi pada uraian bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 10

11 1. Bentuk Penjor Galungan yang digunakan oleh umat Hindu di Bali, berbahan baku antara lain bambu yang masih melengkung, kain putih, kelapa, janur dan ambu (daun enau muda), daun-daunan (daun endongan, daun beringin dan daun plawa), pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (mentimun), pala wija (biji-bijian seperti jagung, padi-padi), jajan, Tebu. Penjor Galungan memiliki struktur tiga bagian yakni bagian pangkal, bagian tengah, dan bagian atas. Penjor Galungan ada yang segi tiga, tidak beratap dan ada berbentuk arda candra (bulan sabit). 2. Fungsi Penjor Galungan dalam kehidupan umat Hindu di Bali, yakni fungsi religius (Penjor sebagai Tanda Kemenangan Dharma Melawan Adharma, sebagai simbol Gunung Agung tempat pemujaan istadewata), fungsi sosial (fungsi ekonomi) dan fungsi keindahan. Memiliki fungsi religius karena penjor Galungan merupakan tempat pemujaan. Memiliki fungsi sosial ekonomi, karena penjor Galungan juga dapat menambah penghasilan. Kemudian memiliki fungsi keindahan, karena penjor Galungan juga dapat menciptakan keindahan suasana. 3 Makna penjor dalam kehidupan umat Hindu di Bali yakni memiliki makna teologi, makna Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, Pelemahan), makna kiasan dan makna pendakian spiritual. Memiliki makna teologi, karena melalui penjor Galungan, umat Hindu dapat mengetahui nama-nama dewata. Mengandung makna Tri Hita Karana, karena berkat penjor Galungan, umat dapat melakukan hubungan harmonis dengan Tuhan dan manifestasinya, menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama, dan melakukan hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan. Penjor juga mengandung kiasan yang sering digunakan untuk melontarkan kritik sosial, misalnya dengan ungkapan yang lurus ditanam, yang bengkok dihiasi. Tetapi ada pula kisasan sebaliknya yakni, yang lurus dan mulia harus ditanamkan, sedangkan yang bengkok dihiasi dengan maksud dilakukan pembinaan. Selain itu, dilihat dari bentuknya yang melengkung, maka penjor juga bisa dijadikan kiasan yakni ibarat ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Juga mengandung makna pendakian spiritual. Hal ini disimbolkan oleh bentuk bakang-bakangnya yang semakin tinggi semakin mengecil. Hal itu menyiratkan, bahwa semakin tinggi spiritual seseorang, semakin sederhana dan semakin melepaskan keterikatannya pada kemewahan duniawi, yang akhirnya berusaha meraih kelepasan atau moksa. DAFTAR PUSTAKA Ardana, I Gusti Gede, Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menghadapi Budaya Global. Denpasar: Pustaka Tarukan Agung. Atmaja, I Made Nada, Dkk Nilai Filosofis Penjor Galungan & Kuningan. Surabaya: Paramita. Gie, The Liang Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB). Koentjaraningrat Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Manik, I Gede, Penjor Galungan. Warta Hindu Dharma No. 478 Nopember Pitana, I Gede, Eds Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Penerbit BP. Pudja, G Bhagavadgita. Surabaya: paramita. Sivananda, Sri Swami, Intisari Ajaran Hindu. Surbaya: Paramita. Tim Penyusun, Buku Pelajaran Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:Hanuman Sakti. Titib, I Made, Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita Sinergi Agama Hindu dan Budaya. Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Sehari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar dengan tema Agama Hindu dan Budaya Bali 11

12 (One Day International Seminar on Hinduism and Balinese Culture) diselenggarakan oleh Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar dalam memperingati Dies Natalis ke-2 Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, tanggal 27 Maret 2007,di Auditorium Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Jalan Ratna no.51 Denpasar Bali. Wiana, I Ketut, Yajña dan Bhakti Dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar: Pustaka Manikgeni., 2000.Makna Agama Dalam Kehidupan.Denpasar: Penerbit BP., Mengapa Bali Disebut Bali? Surabaya: Paramita., Menyayangi Alam Wujud Bhakti Pada Tuhan. Surabaya: Paramita., Pura Besakih Cerminkan Konsep Setara,Bersaudara, dan Kemerdekaan. dalam Bali Post Rabu Paing, 21 Maret

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan Yulia Ardiani Staff UPT Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Perayaan kemenangan dharma melawan

Lebih terperinci

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias pelaksanaan

Lebih terperinci

Keindahan Desain Tamiang, Menghiasi Hari Raya Kuningan di Desa Penarungan

Keindahan Desain Tamiang, Menghiasi Hari Raya Kuningan di Desa Penarungan Keindahan Desain Tamiang, Menghiasi Hari Raya Kuningan di Desa Penarungan Yulia Ardiani Staff UPT Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Salah satu perayaan agama hindu

Lebih terperinci

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Luh Setiani Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar niluhsetiani833@gmail.com

Lebih terperinci

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I EKSISTENSI PALINGGIH RATU AYU MAS SUBANDAR DI PURA DALEM BALINGKANG DESA PAKRAMAN PINGGAN KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI (Perspektif Teologi Hindu) OLEH : I NENGAH KADI NIM. 09.1.6.8.1.0150 Email

Lebih terperinci

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar henysari74@gmail.com ABSTRAK Dalam pengenalan ajaran agama tidak luput dari

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA TUGAS AGAMA DEWA YADNYA NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7 KETUT ALIT WIRA ADI KUSUMA (05) ( KETUA ) NI LUH LINA ANGGRENI (27) ( SEKETARIS ) NI LUH DIAH CITRA URMILA DEWI (14) I PUTU PARWATA (33) SMP N 2 RENDANG

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Sebagai salah satu pulau di Indonesia, Bali memiliki daya tarik yang luar biasa. Keindahan alam dan budayanya menjadikan pulau ini terkenal dan banyak

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach BAB IV ANALISIS DATA A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach Dalam teori Joachim wach dapat diamati dalam tiga bentuk ekspressi keagamaan atau pengalaman beragama baik individu

Lebih terperinci

INSTITUT SENI INDONESIA

INSTITUT SENI INDONESIA KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MERAJUT KEBERSAMAAN PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn PAMERAN: NASIONAL PESTA KESENIAN BALI XXXIII 10 Juni-9 Juli 2011 Di Taman Budaya Denpasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM PENEMPATAN PATUNG GANESHA DI DESA MANISTUTU KECAMATAN MELAYA KABUPATEN JEMBRANA

NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM PENEMPATAN PATUNG GANESHA DI DESA MANISTUTU KECAMATAN MELAYA KABUPATEN JEMBRANA NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM PENEMPATAN PATUNG GANESHA DI DESA MANISTUTU KECAMATAN MELAYA KABUPATEN JEMBRANA Oleh Ni Made Ardani Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar made.ardani6@gmail.com Abstrak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: RIAK KEHIDUPAN. PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: RIAK KEHIDUPAN. PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: RIAK KEHIDUPAN PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn PAMERAN: KOLABORASI INTERNASIONAL ALL GREE VS TAPAK TELU THE INDONESIAN INSTITUTE OF THE ARTS

Lebih terperinci

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu)

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu) PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu) Oleh I Wayan Agus Gunada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Abstrak Ngaben merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

RELIEF TANTRI DI PERTAPAAN GUNUNG KAWI BEBITRA DESA BITERA, GIANYAR. I Putu Yogi Sudiana Program Studi Arkeologi

RELIEF TANTRI DI PERTAPAAN GUNUNG KAWI BEBITRA DESA BITERA, GIANYAR. I Putu Yogi Sudiana Program Studi Arkeologi 1 RELIEF TANTRI DI PERTAPAAN GUNUNG KAWI BEBITRA DESA BITERA, GIANYAR I Putu Yogi Sudiana Program Studi Arkeologi Abstrak Relief of Tantri that is located in Pertapaan Gunung Kawi Bebitra. This area located

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tidak mungkin ada kebudayaan jika tidak ada manusia. Setiap kebudayaan adalah hasil dari ciptaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA : Balinese Lamak PENCIPTA : Ni Luh Desi In Diana Sari, S.Sn.,M.Sn PAMERAN The Aesthetic Of Prasi 23 rd September 5 th October 2013 Cullity Gallery ALVA

Lebih terperinci

DESKRIPSI DUKUH SILADRI. Dipentaskan pada Festival Seni Tradisional Daerah se- MPU di Mataram, Nusa Tenggara Barat 1 Agustus 2010

DESKRIPSI DUKUH SILADRI. Dipentaskan pada Festival Seni Tradisional Daerah se- MPU di Mataram, Nusa Tenggara Barat 1 Agustus 2010 DESKRIPSI FRAGMEN TARI DUKUH SILADRI Dipentaskan pada Festival Seni Tradisional Daerah se- MPU di Mataram, Nusa Tenggara Barat 1 Agustus 2010 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI FAKULTAS

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan

Lebih terperinci

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu ESENSI LINGGA YONI DI PURA BATUR NING DESA PAKRAMAN SAYAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR OLEH: I NYOMAN SUDIANA Email : sudiana_syn@yahoo.com Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pembimbing I I Ketut

Lebih terperinci

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK Dosen : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H OLEH: I PUTU CANDRA SATRYASTINA 15.1.2.5.2.0800 PRODI

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa nilai sosial

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA : Wijaya Kusuma PENCIPTA : Cokorda Alit Artawan, S.Sn.,M.Sn PAMERAN PAMERAN SENI RUPA Exchange Program ISI Art Exhibition (Okinawa Prefectural University

Lebih terperinci

DESKRIPSI PENATAAN TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA DEWATA NAWA SANGA

DESKRIPSI PENATAAN TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA DEWATA NAWA SANGA DESKRIPSI PENATAAN TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA DEWATA NAWA SANGA Produksi ISI Denpasar pada Pembukaan Pesta Kesenian Bali XXX di Depan Museum Bajra Sandhi Tahun 2008 Oleh: I Gede Oka Surya Negara,

Lebih terperinci

UPACARA NGEREBEG DI PURA DUUR BINGIN DESA TEGALLALANG, KECAMATAN TEGALLALANG KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

UPACARA NGEREBEG DI PURA DUUR BINGIN DESA TEGALLALANG, KECAMATAN TEGALLALANG KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) UPACARA NGEREBEG DI PURA DUUR BINGIN DESA TEGALLALANG, KECAMATAN TEGALLALANG KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Putu Ayuk Denyka Mayrina Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah Kabupaten Jembrana

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah sikap hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, budaya, dan agama. Salah satu di antaranya adalah suku Bali yang

Lebih terperinci

Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar TRADISI PERSEMBAHYANGAN TANPA MENGGUNAKAN API DI PURA KAHYANGAN ALAS KEDATON DESA PAKRAMAN KUKUH KECAMATAN MARGA KABUPATEN TABANAN (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari

Lebih terperinci

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Ni Putu Sri Ratna Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan) Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar Kelas 1 Kompetensi Inti KD Lama KD Baru 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya Menunjukkan contoh-contoh ciptaan

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA : Desain Stage Properti Tari Kreasi Baru Satrianing Ganesha PENCIPTA : Cokorda Alit Artawan, S.Sn.,M.Sn DIPENTASKAN PADA PARADE GONG KEBYAR DEWASA DUTA

Lebih terperinci

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO Oleh: Wahyu Duhito Sari program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa Wahyu_duhito@yahoo.com

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pada Peresmian Pesta Kesenian Bali ke-35, Denpasar, 15 Juni 2013 Sabtu, 15 Juni 2013

Sambutan Presiden RI pada Peresmian Pesta Kesenian Bali ke-35, Denpasar, 15 Juni 2013 Sabtu, 15 Juni 2013 Sambutan Presiden RI pada Peresmian Pesta Kesenian Bali ke-35, Denpasar, 15 Juni 2013 Sabtu, 15 Juni 2013 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA PERESMIAN PESTA KESENIAN BALI KE-35 DI ART CENTRE, ARDHA

Lebih terperinci

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu)

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu) TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu) OLEH: KOMANG HERI YANTI email : heryan36@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA PADA SEKAA TARUNA PAGAR WAHANA DI DESA ADAT PELAGA KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG

IMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA PADA SEKAA TARUNA PAGAR WAHANA DI DESA ADAT PELAGA KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG IMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA PADA SEKAA TARUNA PAGAR WAHANA DI DESA ADAT PELAGA KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG Ni Made Sri Windati Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar sriwindati95@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar UPACARA NILAPATI BAGI WARGA MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI DI BANJAR ROBAN DESA TULIKUP KECAMATAN GIANYAR KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI. I Wayan Dirana

BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI. I Wayan Dirana BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI I Wayan Dirana Program Studi Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar diranawayan@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini. Agama Hindu merupakan agama yang mempercayai banyak dewa dan dewi yang tersebar menurut fungsinya

Lebih terperinci

wujud yang dapat ditangkap secara konkret. Jadi, seni adalah suatu imajinasi maupun pikiran

wujud yang dapat ditangkap secara konkret. Jadi, seni adalah suatu imajinasi maupun pikiran Bentuk Seni Lukis Prasi I Oleh Drs. I Nyoman Wiwana, dosen PS Seni Rupa Murni Bentuk merupakan syarat mutlak dalam karya seni. Khususnya seni rupa, yang merupakan kesenian yang hanya dapat dinikmati dengan

Lebih terperinci

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA Produksi ISI Denpasar pada Pembukaan Pesta Kesenian Bali XXXI di Depan Banjar Kayumas Denpasar Tahun 2009 OLEH : I Gede Oka Surya Negara,SST.,M.Sn INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan

Lebih terperinci

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD 27. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD KELAS: I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan

Lebih terperinci

Gambar: 5. 5a. Pasar Bali

Gambar: 5. 5a. Pasar Bali Kelompok lukisan yang secara utuh mengalami pembaharuan pada bidang tema, proporsi, anatomi plastis, pewarnaan, dan sinar bayangan dalam lukis Pita Maha Oleh: Drs. I Dewa Made Pastika a. Judul lukisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama Hindu adalah agama yang telah menciptakan kebudayaan yang sangat kompleks di bidang astronomi, ilmu pengetahuan, filsafat dan lain-lain sehingga timbul

Lebih terperinci

PEMENTASAN WAYANG LEMAH PADA UPACARA CARU BALIK SUMPAH DI DESA PAKRAMAN KENGETAN KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

PEMENTASAN WAYANG LEMAH PADA UPACARA CARU BALIK SUMPAH DI DESA PAKRAMAN KENGETAN KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) PEMENTASAN WAYANG LEMAH PADA UPACARA CARU BALIK SUMPAH DI DESA PAKRAMAN KENGETAN KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) I Putu Gede Buda Adnyana Institut Hindu Dharma Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kata songket. Tanjung Pura Langkat merupakan pusat Pemerintahan Kesultanan

BAB I PENDAHULUAN. kata songket. Tanjung Pura Langkat merupakan pusat Pemerintahan Kesultanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata songket memiliki banyak definisi dari beberapa beberapa para ahli yang telah mengadakan penelitian dan pengamatan terhadap kain songket. Menurut para ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu yang tidak bisa terungkap secara kasat mata. Untuk mengungkapkan sesuatu kadang tabu untuk

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

Komodifikasi Penjor sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu

Komodifikasi Penjor sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2:110-115 Jurnal Studi Kultural http://journals.an1mage.net/index.php/ajsk Laporan Riset Komodifikasi Penjor sebagai Sarana Persembahyangan Umat Hindu Ketut Hery

Lebih terperinci

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Dewa Ayu Putu Warsiniasih Institut Hindu Dharma

Lebih terperinci

ARTIKEL KARYA SENI TRIDATU OLEH : I WAYAN ENDRA WIRADANA NIM :

ARTIKEL KARYA SENI TRIDATU OLEH : I WAYAN ENDRA WIRADANA NIM : ARTIKEL KARYA SENI TRIDATU OLEH : I WAYAN ENDRA WIRADANA NIM : 201202011 PROGRAM STUDI S-1 SENI KARAWITAN JURUSAN KARAWITAN FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 Abstrak Tridatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Penjelasan pertama pada pendahuluan akan menjelaskan mengenai latar belakang dengan melihat kondisi yang ada secara garis besar dan dari latar belakang tersebut didapatkan suatu rumusan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di segala aspek kehidupan. Keanekaragaman tersebut terlihat dari beragamnya kebudayaan

Lebih terperinci

SILABUS PEMBELAJARAN

SILABUS PEMBELAJARAN SILABUS PEMBELAJARAN Sekolah : SMP Kelas : IX/Sembilan Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Hindu Semester : I Standar : Sradha 1. Memahami Awatara, Dewata 1.1 Menguraikan pengertian Awatara, Dewa 1.2 Menguraikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi Bersyukur kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: ENERJIK. PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: ENERJIK. PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: ENERJIK PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn PAMERAN: PEGELARAN SENI (PENCIPTAAN SENI) DANA DIPA ISI DENPASAR, 2010 FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional dibangun, namun cukup banyak ditemukan bangunan-bangunan yang diberi sentuhan tradisional

Lebih terperinci

DISKRIPSI KARYA. Pameran Keragaman Seni Budaya Sebagai Pemersatu Bangsa Judul Karya: Keharmonisan

DISKRIPSI KARYA. Pameran Keragaman Seni Budaya Sebagai Pemersatu Bangsa Judul Karya: Keharmonisan Pameran Keragaman Seni Budaya Sebagai Pemersatu Bangsa 2009 Judul Karya: Keharmonisan Dalam kehidupan bermasyarakat kita harus saling berdampingan dan menghormati, memiliki rasa toleransi yang tinggi dan

Lebih terperinci

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Realisasi pelestarian nilai-nilai tradisi dalam berkesenian, bersinergi dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2005 TENTANG LAMBANG DAERAH DAN LAGU MARS KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa dengan terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Bangsa bisa disebut juga dengan suku,

Lebih terperinci

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

ARTIKEL TENTANG SENI TARI NAMA : MAHDALENA KELAS : VII - 4 MAPEL : SBK ARTIKEL TENTANG SENI TARI A. PENGERTIAN SENI TARI Secara harfiah, istilah seni tari diartikan sebagai proses penciptaan gerak tubuh yang berirama dan diiringi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 26 Tahun 1974 1 April 1974 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TABANAN. NOMOR ; 3/DPRD./1972.- MENETAPKAN PERATURAN DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 1

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali sebuah pulau kecil dengan beribu keajaiban di dalamnya. Memiliki keanekaragaman yang tak terhitung jumlahnya. Juga merupakan sebuah pulau dengan beribu kebudayaan

Lebih terperinci

SEKAPUR SIRIH. - Ciptakan kemitraan strategis dengan berbagai stakeholders untuk membangun kekuatan sebagai agent of change.

SEKAPUR SIRIH. - Ciptakan kemitraan strategis dengan berbagai stakeholders untuk membangun kekuatan sebagai agent of change. SEKAPUR SIRIH Salam Sejahtera untuk Kita Semua, Om Swastiastu, Tingkatkan hubungan harmon is antara manusia-alam-tuhan sehingga mendorong kita untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Kepada Umat Parisada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung nilai filsafat, agama, dan nilai kehidupan. Tutur adalah 'nasehat' atau 'bicara'. Kata perulangan

Lebih terperinci

DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TEDUNG AGUNG

DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TEDUNG AGUNG DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TEDUNG AGUNG Produksi ISI Denpasar pada Pembukaan Pesta Kesenian Bali XXXII Di Depan Gedung Jaya Sabha Denpasar 12 Juni 2010 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,M.Sn.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan keanekaragaman Suku Bangsa, Bahasa, Agama, dan Kebudayaan. Keberagaman budaya bangsa Indonesia bukan berarti untuk

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si Art Exhibition Indonesian Institute of the Arts Denpasar Okinawa Prefectural University of Art OPUA

Lebih terperinci

Taksu Seni Budaya Mewujudkan Ajeg Bali

Taksu Seni Budaya Mewujudkan Ajeg Bali Taksu Seni Budaya Mewujudkan Ajeg Bali Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si Abstrak Berkesenian adalah keseharian masyarakat Bali. Menabuh gamelan, menari, melukis, menembang adalah rutinitas yang mengasyikkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Mustopo Habib berpendapat bahwa kesenian merupakan jawaban terhadap tuntutan dasar kemanusiaan yang bertujuan untuk menambah dan melengkapi kehidupan. Namun

Lebih terperinci

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar.

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar. Pewayangan Pada Desain Undangan Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Sesuatu yang diciptakan oleh manusia yang mengandung unsur keindahan

Lebih terperinci

TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN

TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN Oleh Nyoman Ayu Permata Dewi Mahasiswa Pasca Sarjana Pengkajian Seni ISI Denpasar Email :permatayu94@gmail.com ABSTRAK Kain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Candi adalah bangunan yang menggunakan batu sebagai bahan utamanya. Bangunan ini merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu Budha di Indonesia. Candi dibangun

Lebih terperinci

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 68

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 68 PERKAWINAN GAMYA GAMANA ANTARA MASYARAKAT TIONG HOA DENGAN MASYARAKAT BATUR DI SESA BATUR KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI (Kajian Aksiologi) Oleh Ni Luh Ginanti Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta menyalin dan menciptakan karya-karya sastra baru. Lebih-lebih pada zaman

BAB I PENDAHULUAN. serta menyalin dan menciptakan karya-karya sastra baru. Lebih-lebih pada zaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan karya sastra di Bali, masyarakat tidak segan-segan dan dan tidak bosan-bosannya membaca, menerjemahkan, menghayati, mengkaji, serta menyalin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai salah satu penyimpanan naskah-naskah kuna warisan nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai penyimpanan naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Agama memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Agama memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan. Banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan. Banyak bangunan-bangunan megah yang sengaja dibangun oleh tangan-tangan manusia sebagai wujud berdiamnya Allah di

Lebih terperinci

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015 PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015 I. PENDAHULUAN. Lingsar adalah sebuah Desa yang terletak di Wilayah Kecamatan Lingsar Lombok Barat, berjarak

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka 1935, Jakarta, 7 April 2013 Minggu, 07 April 2013

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka 1935, Jakarta, 7 April 2013 Minggu, 07 April 2013 Sambutan Presiden RI pada Perayaan Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka 1935, Jakarta, 7 April 2013 Minggu, 07 April 2013 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA PERAYAAN DHARMA SHANTI NASIONAL HARI RAYA

Lebih terperinci

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) 16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan

Lebih terperinci

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN AKTIVITAS ASPEK TRADISIONAL RELIGIUS PADA IRIGASI SUBAK: STUDI KASUS PADA SUBAK PILING, DESA BIAUNG, KECAMATAN PENEBEL, KABUPATEN TABANAN I Nyoman Norken I Ketut

Lebih terperinci

Kreativitas Busana Pengantin Agung Ningrat Buleleng Modifikasi

Kreativitas Busana Pengantin Agung Ningrat Buleleng Modifikasi Kreativitas Busana Pengantin Agung Ningrat Buleleng Modifikasi Oleh: Nyoman Tri Ratih Aryaputri Mahasiswa Program Studi Seni Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Denpasar Email: triratiharyaputri3105@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci