V. HASIL DAN PEMBAHASAN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan arahan pengisian ruang oleh unsur-unsur pembentuk ruang dengan harapan tercapainya tata ruang yang mencerminkan keseimbangan antara fungsi ruang yang diemban dengan mekanisme kegiatan yang diperkirakan akan berlangsung. Menurut Dardak (25), Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan dasar bagi pemanfaatan ruang/lahan. Rencana tata ruang adalah produk rencana yang berisi rencana pengembangan struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang yang hendak dicapai pada akhir tahun perencanaan. Sasaran yang ingin dicapai dalam mewujudkan tujuan diatas adalah terumuskannya tata ruang ruang wilayah Kota Tasikmalaya sesuai dengan visi, misi dan tujuan pengembangan wilayah Kota Tasikmalaya. Peraturan perundangan yang dijadikan Landasan Penyusunan RTRW Kota Tasikmalaya adalah :. Undang-undang No. 24 Tahun 2 tentang Penataan Ruang 2. Perda Kota Tasikmalaya No. 2 Tahun 23 tentang Renstra Kota Tasikmalaya 3. Perda Kabupaten Tasikmalaya No. Tahun tentang RUTR Wilayah Pengembangan Kota Tasikmalaya. 4. Undang-undang No. Tahun 2 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya; 5. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 6 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang; 6. Peraturan Pemerintah No, 47 Tahun 7 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dalam menetapkan RTRW Kota Tasikmalaya dipengaruhi oleh faktor kebijakan, analisis daya dukung lahan dan faktor kelembagaan, yang selanjutnya ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. Tahun 24. Faktor kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan pemerintah dalam menetapkan rencana tata ruang dengan mempertimbangkan Kota Tasikmalaya sebagai wilayah fungsional perkotaan, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,

2 pelayanan sosial serta kegiatan ekonomi. Analisis daya dukung lahan dalam menyusun RTRW menghasilkan indikator lahan-lahan mana saja yang layak dikembangkan sebagai kawasan perkotaan dengan kriteria, kondisi kemiringan dan kesetabilan lahan. Faktor kelembagaan dalam proses penyusunan RTRW Kota Tasikmalaya yang terlibat adalah: lembaga formal pemerintahan, lembaga fungsional, dan organisasi kemasyarakatan. Proses penyusunan RTRW disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan kota yang sejalan dengan penerapan Otonomi Daerah. Pihak yang memiliki peranan penting dalam kegiatan penataan ruang dan sebagai pengambil keputusan adalah Pemerintah Kota (Pemkot) Tasikmalaya, dimana Kepala Bapeda selaku ketua, Dinas PU, Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan dan Perekebunan, Dinas Pertanian, Dinas Perhubungan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan, Badan Kesatuan Bangsa, BPS, Bagian Hukum, Bagian Administrasi pemerintahan dan Camat-camat, Koperasi dan UKM, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pertambangan dan Energi. Rencana struktur tata ruang Kota Tasikmalaya disusun pada tahun 23 dan di-perdakan dengan Nomor Tahun 24, terbagi menjadi lima Bagian Wilayah Kota (BWK). Pembagian tersebut dimaksudkan untuk mengurangi pemusatan kegiatan di pusat kota, sehingga pengembangan di distribusikan ke pinggiran kota sesuai dengan kecenderungan perkembangan dan potensi yang dimiliki. Pertimbangan lain dalam pembagian BWK, yaitu memudahkan dalam mengamati intensitas perkembangan penggunaan lahan, pola pergerakan dan aksesibilitas. Pembagian diatas meliputi : - BWK-I Pusat Kota sebagai Central Business District (CBD),dengan cakupan sebagian kecamatan Cihideung, sebagian kecamatan Tawang dan sebagaian kecamatan Cipedes, dengan fungsi utama sebagai pusat perdagangan dan jasa regional. Arahan pusat kota dalam rencana tata ruang Kota Tasikmalaya adalah sekitar Alun-Alun kota diperuntukan kawasan komersil dan dalam arahan ini diusulkan untuk mendukung terwujudnya PKW di Kota Tasikmalaya dan sentra kegiatan komoditas di Kawasan Andalan Priangan Timur.

3 - BWK-II sebagai kawasan perumahan dan permukiman, dengan cakupan sebagian Kecamatan Cihideung sebagian Kecamatan Cipedes dan sebagian Kecamatan Indihiang dengan arahan sekitar perumahan perumnas Cisalak. - BWK-III sebagai pusat permukiman, perumahan, pusat industri kecil dan kerajinan, militer, dan kompleks pendidikan, dengan cakupan sebagian kecamatan Mangkubumi, sebagian kecamatan Tawang dansebagian kecamatan Cihideung - BWK-IV dengan fungsi utama sebagai kawasan perumahan dengan industri kecil, perdagangan dan pemerintahan sebagai penunjang. dengan cakupan sebagian kecamatan Tamansari, sebagian kecamatan Mangkubumi dan sebagian kecamatan Kawalu. - BWK-V sebagai kawasan perdagangan, terminal dan jasa skala regional, dengan cakupan sebagian kecamatan Cihideung, sebagian kecamatan Cipedes dan sebagian kecamatan Indihiang. Arahan yang diusulkan sekitar pusat kecamatan Indihiang atau berdekatan dengan Terminal baru Indihiang. Pola pemanfaatan ruang wilayah Kota Tasikmalaya ditetapkan meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung atau kawasan berfungsi lindung yang direncanakan dan ditetapkan dalam wilayah kota Tasikmalaya, meliputi kawasan sempadan sungai, sempadan jaringan listrik tegangan tinggi/sutet dan sempadan danau. Kawasan budidaya di Kota Tasikmalaya adalah kawasan budidaya perkotaan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi seperti diuraikan dalam PERDA No. Th. 24 sebagai berikut:. Kawasan budidaya berfungsi lindung seperti Hutan Negara dan Hutan Rakyat yang keberadaannya tetap dipertahankan sebagai kawasan konservasi dan pengawasannya oleh Dinas Kehutanan Kota Tasikmalaya. 2. Kawasan budidaya perkotaan yang meliputi, yaitu kawasan pusat kota (CBD), Perdagangan, Koridor Perdagangan, Pemerintahan, Pendidikan, Kesehatan, Kawasan Pergudangan, Pasar, pemukiman, Gardu PLN, Rekreasi dan Olahraga

4 (obyek wisata) dan Terminal. Pola pemanfaatan ruang berdasarkan RTRW dapat dilihat pada Tabel 2 dan peta RTRW pada Gambar 4. Tabel 2. Pola Pemanfaatan Ruang RTRW Kota Tasikmalaya Luas No Pola Pemanfaatan Ruang ha % Kawasan Lindung 473,6 2,76 Sempadan Danau 42,43,25 2 Sempadan Sutet 43,43 2,5 Kawasan Budidaya 6.62,34 7,24 3 Hutan 55,74,5 4 Industri 7,73,4 5 Kesehatan 7,72,4 6 Koridor Perdagangan,4 5,35 7 Makam dan TPU 4,27,6 Pasar 2,43,7 Pendidikan 2,7,7 Pergudangan 53,46,3 Perkantoran 22,37,3 2 Permukiman 4.63,2 27,3 3 Pertanian Lahan Basah 5.6,35 2,5 4 Pertanian Lahan Kering 5.4,36 2,3 5 Pusat Kota 3,2,66 6 Rekreasi dan Olah Raga 423,3 2,47 7 Rencana Gardu PLN 4,45,2 Terminal,2,5 Jumlah 7.56,2, Sumber: Bapeda (24) Wilayah Kota Tasikmalaya luasnya 7.56,2 ha, terbagi menjadi kecamatan dan 6 kelurahan. Pemanfaatan ruang Kota Tasikmalaya ditetapkan dalam RTRW Tahun menunjukkan karakter kegiatan perkotaan yaitu sebagai pusat pelayanan wilayah sekitarnya. Namun demikian lahan pertanian untuk sawah/lahan basah dan lahan kering menempati porsi terbesar yang ditetapkan dalam RTRW masing-masing luasnya 5.6,35 ha (2,5%) dan 5.4,36 ha (2,3%) dari wilayah Kota Tasikmalaya. Pemanfaatan ruang untuk permukiman yang didistribusikan menjadi Pemukiman/perumahan, koridor Perdagangan, Industri, Pasar, Terminal, Pergudangan, Perkantoran, Pendidikan, Pusat Kota, dan Kesehatan, Gardu PLN, Rekreasi dan Olah Raga dan Terminal dengan total luasnya 6.76,77 ha (3,4%). Pemanfaatan lainnya berupa Hutan

5 luasnya 55,35 ha, Sempadan SUTET Danau luasnya 473,6 ha, Makam dan TPU luasnya 4,27 ha. Rencana alokasi pemanfaatan ruang dalam RTRW Kota Tasikmalaya seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Rencana Alokasi Pemanfaatan Ruang dalam RTRW No Pemanfaatan Ruang Alokasi Pemanfaatan Kelurahan Kecamatan Danau Tamanjaya, Linggajaya Tamansari 2 Sutet Melintasi beberapa kelurahan Tawang, Cihideung, Mangkubumi 3 Hutan Urug Kawalu Kawalu, Indihiang, 4 Industri Sambong jaya. Kawalu Mangkubumi, Kawalu 5 Kesehatan Tugujaya, Mangkubumi Mangkubumi 6 Koridor Perdagangan Menyebar 7 Makam dan TPU Setianegara Cibeureum Pasar Tuguraja Cihideung Pendidikan Kahuripan Tawang Sepanjang jalan Arteri, jalan primer, jalan sekunder Pergudangan Sambongpari Mangkubumi Perkantoran Tawangsari,Yudanegara, Empangsari Cihideung 2 Pemukiman Menyebar Seluruh kecamatan 3 Lahan Basah Menyebar Kecuali Cihideung 4 Lahan Kering Menyebar Seluruh Kecamatan 5 Pusat Kota Tawangsari,Yudanegara, Empangsari 6 Rekreasi dan Olah Raga Tamanjaya Cihideung Tamansari 7 Gardu PLN Tamanjaya Tamansari Terminal Menyebar Indihiang, Kawalu, Mangkubumi

6 Pemanfaatan jalur SUTET melintasi beberapa kelurahan di kecamatan Tawang, Kawalu, cihideung, Mangkubumi dan Indihiang. Koridor Perdagangan ditetapkan dalan RTRW menyebar sepanjang jalan arteri, jalan kolektor dan jalan primer, sedangkan kawasan perkantoran ditempatkan menyebar di kelurahan Tawangsari, Empangsari dan Yudanegara di kecamatan Cihideung. Ruang permukiman menyebar di seluruh kecamatan dan terkonsentrasi di kecamatan Cihideung. Penempatan lahan basah menyebar diseluruh kecamatan, kecuali di kecamatan Cihideung yang merupakan pusat Kota, sedangkan lahan kering juga menyebar di seluruh kecamatan namun terbanyak penyebarannya di kecamatan Kawalu dan Tamansari Penggunaan Lahan Eksisting Kota Tasikmalaya Hasil analisis peta land use tahun 26 (Gambar 5) dan interpretasi foto udara tahun 27 didapat kelas penggunaan lahan eksisting di Kota Tasikmalaya yang terdiri dari: Bandara, Danau, Hutan, Padang Rumput, Perkebunan, Permukiman, Sawah, Kebun Campuran, Tanah Berbatu, Tanah Ladang dan Danau/Situ. Distribusi penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Tabel 4 dan peta penggunaan lahan eksisting Tahun 27 pada Gambar 6. Tabel 4. Distribusi Penggunaan Lahan Eksisting Kota Tasikmalaya Tahun 27 Tahun 27 No Penggunaan Lahan ha % Bandara 32,7, 2 Danau 4,5,2 3 Hutan 5,3,7 4 Padang Rumput 32,7, 5 Perkebunan.72,,7 6 Permukiman 4.7, 25,75 7 Sawah 5.6,3 2,76 Kebun campuran 4.63,7 27,4 Tanah Berbatu,, Tanah Ladang 66, 4,6 Jumlah 7.56,2, Sumber: Hasil olahan

7 PETA RTRW KOTA TASIKMALAYA PROPINSI JAWA BARAT N W E INDIHIANG S 2 Km 5 CIPEDES CIHIDEUNG TAWANG CIBEUREUM MANGKUBUMI TAMANSARI KAWALU 5 Batas Kecamatan RTRW Kota Tas ikmalaya Hutan Industri Kesehatan Koridor Perdagangan Mak am dan TP U Pasar Pendidik an Pergudangan Perkantoran Permukim an Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Pusat Kota Rekreasi dan Olah Raga Rencana Gardu PLN Sempadan Danau Sempadan Sutet Terminal SUM BER : Peta R TRW Kota Tasikm alaya Tahun Indek Peta PS. I LM U PEREN CANAAN WILAYAH INST ITUT PERTAN IAN BO GOR TAHUN 2 Gambar 4. Peta RTRW Kota Tasikmalaya Gambar 5. Peta Land Use Kota Tasikmalaya Tahun 26

8 KEC. INDIHIANG KEC. CIPEDES 5 PETA PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING KOTA TASIKMALAYA TAHUN 27 KEC. CIHEDEUNG KEC. MANGKUBUMI KEC. CIBEUREM KEC. TAWANG KEC. TAMANSARI 7 2 N 2 Kilometers LEGENDA Bts_kec_grs.shp Tatguna eksisting.shp Bandara Danau Hutan Padang Rumput Perkebunan Permukiman Sawah Kebun Campuran Tanah Berbatu Tanah Ladang KEC. KAWALU PS. PERENCANAAN WILAYAH INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN Indeks Peta Gambar 6. Peta Land Use Existing Tahun 7 Distribusi penggunaan lahan eksisting, yaitu berupa lahan basah (sawah) luasnya mencapai 5.6,35 ha atau 2,76% dan tersebar di seluruh kecamatan. Penggunaan lahan eksisting berupa Padang Rumput, Perkebunan, Kebun Campuran, Tanah Berbatu dan Tanah Ladang dengan luas total 7., ha (4,3%), dimana pemanfaatannya dalam RTRW sebagai lahan kering. Penggunaan lahan hutan hanya berada di kecamatan Kawalu yang luasnya 5,3 ha atau,7%, sedangkan penggunaan lahan permukiman seluas 4.7, ha atau 27,5 % dari luas wilayah Kota Tasikmalaya dimana sebagian besar terkonsentrasi di pusat kota dan pemanfaatannya dalam RTRW adalah sebagai pemukiman/perumahan, Industri, kesehatan, Perdagangan, Makam/TTPU, Pasar, Pendidikan, Pergudangan, Perkantoran, Pusat Kota, Rekreasi dan Olah Raga sertaterminal yang luasnya 6.76,77ha. Penggunaan lahan lainnya seperti: Bandara, Danau, porsinya tidak begitu besar yaitu masing-masing 32,7 ha dan 4,5 ha. Pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam RTRW 24-24, jika dipadukan dengan penggunaan lahan eksisting tahun 27 tertera pada Tabel 5

9 serta perbandingan luas penggunaan lahan eksisting dan RTRW pada Tabel 6. Tabel 5. Padanan Penggunaan Lahan Eksisting dan Pemanfaatan Ruang (RTRW) No Penggunaan Lahan Eksisting Rencana Pemanfaatan Ruang (RTRW) Permukiman Industri, Perdagangan, Pasar, Pendidikan, Pergudangan, Perkantoran, Pusat Kota, Pemukiman, Rekreasi dan Olah Raga, Sempadan SUTET dan Terminal. 2 Sawah Lahan Basah 3 Padang Rumput, Perkebunan, Semak Belukar, Tanah Berbatu, Tanah Ladang. Lahan Kering 4 Danau Sempadan Danau 5 Hutan Hutan Negara 6 Bandara Sebagian Makam/TPU Tabel 6. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Eksisting dan RTRW Jenis Luas Land RTRW Kesesuaian Luas No Penggunaan Use Eksisting ha ha Penggunaan Permukiman 4.7, 6.76,77 Belum terealisasi seluruhnya 2 Lahan Basah 5.5,35 5.6,35 Melebihi rencana 3 Lahan Kering 6.2,2 5.4,36 Melebihi rencana 4 Bandara 32,7 4,27 Beralih fungsi 5 Hutan 5,3 55,74 Terjadi penurunan 6 Danau 4,5 42,43 Melebihi rencana Jumlah 7.56,2 7.56,2 Permukiman yang belum terealisasi berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) seluas 2.43,67 ha, pada kondisi eksisting berupa lahan basah dan lahan

10 kering seperti terlihat pada tabel diatas, sedangkan penggunaan lahan basah dan lahan kering pemanfaatannya melebihi rencana tata ruang. Penggunan lahan Bandara (32,7 ha) beralih fungsi pemanfaatannya dalam RTRW menjadi makam/tpu seluas 4,27 ha dan sebagian memanfaatkan lahan basah. Penggunaan lahan Hutan eksisting (5,3 ha) di kecamatan Kawalu mengalami penurunan luas dari ketetapan dalam RTRW, yaitu seluas 55,74 ha. Hal ini terjadi karena adanya permukiman di areal Hutan. Penggunaan lahan Danau (4,5 ha) melebihi rencana tata ruang (42,43 ha), karena telah dibangunnya tempat-tempat rekreasi berupa pemancingan dan restoran yang luasnya mencapai 6,7 hadan terlihat menyerupai danau di kecamatan Cibeureum, sehingga luas Danau bertambah. Ruang terbuka hijau (RTH) baik ditingkat kecamatan maupun di wilayah Kota Tasikmalaya secara keseluruhan masih memenuhi syarat, yaitu 53,4%. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 27, ruang terbuka hijau sekurangkurangnya 3% dari luas wilayah. Ruang Terbuka Hijau di Kota Tasikmalaya ditetapkan dalam RTRW terdiri dari lahan pertanian (lahan kering dan basah) dan taman kota. Peningkatan luas penggunaan lahan permukiman di Kota Tasikmalaya dapat dipengaruhi oleh aksesibilitas di Kota Tasikmalaya yang semakin baik, misalnya: adanya jalan lingkar (Ring Road) yang menghubungkan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya menuju Terminal atau Kota, dibangunnya jalan-jalan kolektor dan berkembangnya jalan desa dan jalan lingkungan serta dibangunnya pusat pemerintahan Kota Tasikmalaya yang baru. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan luas penggunaan lahan kebun campuran/tegalan atau pertanian lahan sawah yang dikonversi menjadi kawasan terbangun, yaitu berupa permukiman dan sarana prasarana sebagai penunjang kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Konversi lahan di Kota Tasikmalaya banyak terjadi pada pertanian lahan kering dan lahan basah, misalnya di kecamatan Mangkubumi kelurahan Cilembang telah dibangun fasilitas-fasilitas kantor pemerintah Wali Kota dan dinas-dinas lainnya yang mendukung kegiatan pemerintahan Kota. Terjadinya perubahan penggunaan lahan untuk suatu kegiatan, mendorong berkembangnya

11 penggunaan lahan disekitarnya berupa pemukiman-pemukiman baru dan sarana pendukung lainnya. Terjadinya penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, seperti terjadi dibeberapa kecamatan yaitu perubahan dari pertanian lahan basah dan lahan kering menjadi beberapa perumahan dan sarana lainnya. Hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap kualitas lahan, seperti penurunan kapasitas air dalam tanah, penyerapan air (infiltrasi) berkurang sehingga terjadi aliran permukaan (run off) meningkat yang berdampak pada peningkatan erosi dan sedimentasi serta potensi banjir. Perubahan penggunaan lahan disebabkan karena terdesak kebutuhan ruang sejalan dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat di Kota Tasikmalaya. Pertumbuhan penduduk mencapai 2,5% per-tahun (BPS, 26) menyebabkan terjadinya peningkatan pada kegiatan ekonomi, terutama pada sektor Jasa, Perkantoran, Industri dan Perdagangan. Persaingan dalam pemanfaatan ruang mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan guna memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal. Perubahan penggunaan lahan pertanian di Kota Tasikmalaya menjadi permukiman (kawasan industri, perdagangan, jasa, sarana pendidikan, sarana olah raga dan lain-lain) memiliki dampak terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Tasikmalaya antara tahun 23-26, rata-rata mencapai 2,4% pertahun. Hal tersebut terjadi karena adanya tambahan dari sektor pajak (PBB) serta pertambahan lapangan pekerjaan, yang berarti juga peningkatan aktivitas perekonomian. Indikator yang sering digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara makro adalah pendapatan per kapita. Semakin tinggi pendapatan yang diterima penduduk disuatu wilayah maka tingkat kesejahteraan di wilayah yang bersangkutan dapat dikatakan bertambah baik Penyimpangan Penggunaan Lahan Kota Tasikmalaya Penyimpangan penggunaan lahan adalah kondisi akhir dari penggunaan lahan yang tidak sesuai penggunaannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya, atau dengan kata lain Penyimpangan merupakan bentuk perubahan/konversi penggunaan lahan yang tidak sejalan dengan RTRW.

12 Peta penyimpangan diperoleh dengan melakukan overlay antara peta land use eksisting dengan peta RTRW tahun Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW di Kota Tasikmalaya adalah.55,4 ha atau sekitar,24%. Penggunaan lahan yang sesuai dengan RTRW adalah 5.57,6 ha atau,76 % dari luas Kota Tasikmalaya. Luas penyimpangan tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Luas Penyimpangan Penggunaan Lahan Kota Tasikmalaya Luas Luas Penyimpangan No Kecamatan Wilayah (ha) (ha) % Cihideung 53,2 7,5,4 2 Cipedes, 6,56, 3 Tawang 533,3,2,65 4 Indihiang 3.,3 3,74,6 5 Cibeureum 2.4,3 77,67,3 6 Tamansari 2.52,2 333,37,4 7 Kawalu 4.2,4 6,, Mangkubumi 2.36,2 27,37,73 Kota Tasikmalaya 7.56,2.55,4,24 Sumber : Hasil olahan Berdasarkan Tabel diatas, penyimpangan terbesar terjadi di kecamatan Tamansari sebesar 333,37 ha atau,4% dan kecamatan Indihiang seluas 3,74 ha atau sekitar,6%. Di kecamatan Mangkubumi luas penyimpangan adalah 27,77 ha atau sekitar,73% dan kecamatan Kawalu luasnya 6, ha atau penyimpangan sekitar,%. Luas penyimpangan terkecil ada di kecamatan Cihideung sebesar 7,47 ha (,4%), karena kecamatan Cihideung kedudukannya sebagai pusat kota dan mempunyai kepadatan penduduk cukup tinggi, yaitu mencapai orang/km 2, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk berkembang. Peta penyimpangan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 7. Penyimpangan permukiman seluas 4, ha, dimana dalam RTRW ditetapkan sebagai Pertanian Lahan Basah dari luas Kota Tasikmalaya. Sementara itu penyimpangan terbesar ada di kecamatan Indihiang, Cibeureum dan Tamansari masing-masing sebesar 22,72 ha, 5,26 ha dan 3,75 ha. Penyimpangan permukiman yang berada di pertanian lahan kering luasnya mencapai 2,57 ha

13 atau,7% dan tebesar ada di kecamatan Tamansari seluas 54,3 ha, sedangkan kawasan hutan di kecamatan Kawalu, tepatnya di kelurahan Urug yang menjadi permukiman sebesar 3,6 ha, sebagian menjadi rumah penduduk dan kebun campuran. Permukiman yang tidak sesuai dengan RTRW yang berada di sepanjang jalur SUTET, luasnya mencapai 6,6 ha, sedangkan lokasi terbesar berada di kecamatan Mangkubumi dan kecamatan Kawalu. Distribusi penyimpangan penggunaan lahan tertera pada Tabel. Tabel. Distribusi luas Penyimpangan Penggunaan Lahan per kecamatan Kecamatan Indihiang Lhn Bsh- Prmk (ha) SUTT - Prmk (ha) Lhn kr- Prmk (ha) Prdg- Prmk (ha) TPU- Prmk (ha) Indtr- Prmk (ha) Indtr- Swh (ha) 22,7 2 5,3 37,57 47,52 Htn- Prm k (ha) Kawalu,6 5,72 4,66,7,3,3 3,6 Mangkubu, 23, mi 3 7,46 42,56 6,55 Cipedes 7, 7,45 3,7 54,3 Tamansari 5 4, 25, 5, Tawang 23,63 3,65 65,2, Cibeureum 5,2 6,57 4,3 3,45 Cihideung 2,3 3,7,35 Jumlah 4, 6,6 2,5 7 35, 3, 4,, 3,6 Sumber: Hasil Olahan

14 PETA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN KOTA TASIKMALAYA PROPINSI JAWA BARAT N INDIHIANG W E CIPEDES CIHIDEUNG TAWANG MANGKUBUMI CIBEUREUM KAWALU TAMANSARI S 2 Km 5 5 LEGENDA Batas Kecamatan Bentuk Penyimpangan RTRW : hutan exist: mukim RTRW: TPU, exist: mukim RTRW: industri, exist: mukim RTRW: industri, exist: sawah RTRW: kntor, exist: gudang RTRW: ptanian lhn bsh, exist: mukim RTRW: semp sutet, exist: mukim RTRW:lhn kering, exist: mukim SUMBER :. Peta RT RW Kota T asi kmalaya Tahun Peta Batas Administrasi Kota Ta sikmalaya 3. Hasi l pengecekan ke lapangan Indek P eta PS. ILMU PERENCANAAN WILAYAH INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2 Ganbar 7. Peta Penyimpangan dari RTRW Kota Tasikmalaya Perubahan penggunaan lahan disebabkan karena terdesak kebutuhan ruang sejalan dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat di Kota Tasikmalaya. Pertumbuhan penduduk mencapai 2,5% per-tahun (BPS, 26) menyebabkan terjadinya peningkatan pada kegiatan ekonomi, terutama pada sektor Jasa, Perkantoran, Industri dan Perdagangan. Persaingan dalam pemanfaatan ruang mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan guna memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal ataupun untuk tempat usaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara lahan yang tersedia sifatnya terbatas, pada akhirnya mendorong orang untuk membuka lahan baru, terutama pada areal pertanian. Hal ini banyak terjadi pada kecamatan-kecamatan yang mempunyai lahan pertanian cukup luas, misalnya kecamatan Indihiang, Kawalu, Cibeureum dan Mangkubumi Kondisi Fisik Wilayah Penyimpangan Pertanian lahan basah menjadi permukiman seluas 4, ha. Penyimpangan terbesar terjadi di kecamatan-kecamatan Indihiang, Mangkubumi,

15 Kawalu dan Cibeureum, mengingat di kecamatan tersebut luas penggunaan lahan sawah cukup besar. Di kecamatan Cihideung tidak terjadi penyimpangan penggunaan lahan sawah, karena kedudukannya sebagai pusat kota sangat padat dan luas penggunaan lahan basah semakin berkurang, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk dikembangkan menjadi permukiman-permukiman baru. Selain itu, penyimpangan penggunaan lahan pertanian (sawah) menjadi permukiman mengindikasikan lemahnya lembaga perijinan, sehingga banyak berdiri bangunan di areal yang seharusnya untuk penggunaan lahan pertanian. Permukiman berada pada lahan sawah dapat dilihat pada Gambar. Gambar. Penyimpangan lahan basah menjadi permukiman. Hasil temuan dilokasi penyimpangan menunjukkan tingkat pendidikan rendah, pendapatan rata-rata endah, pekerjaan sebagai petani dan buruh, kepemilikan lahan rata-rata milik sendiri atau tanah warisan. Pengetahuan masyarakat tentang RTRW sangat rendah disebabkan kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Pertanian lahan kering menjadi permukiman seluas 2,57 ha, terjadi di kecamatan Indihiang, Kawalu, Mangkubumi, Tamansari dan Cibeureum. Penyimpangan yang terbesar terjadi di kecamatan Tamansari sebesar 54,3 ha, mengingat di kecamatan Tamansari penggunaan lahan kering (berupa kebun campuran) masih cukup luas. Penyimpangan terkecil berada di kecamatan Cibeureum seluas 4,37 ha. Penggunaan lahan kering menjadi permukiman, diantaranya telah dibangunnya perumahan real eastate oleh pengembang dengan perijinan yang legal dan perumahan tradisional yang terbentuk karena kepemilikan lahan. Hasil temuan dilapangan menunjukkan tingkat pendidikan renbah, pendapatan rata-rata rendah, pekerjaan sebagai petani dan buruh. Kepemilikan lahan adalah milik sendiri dan pengetahuan tentang tata ruang sangat

16 rendah (tidak tahu). Contoh penyimpangan penggunaan pertanian lahan kering menjadi pemukiman dapat dilihat pada Gambar. Gambar. Penyimpangan lahan kering menjadi permukiman. Permukiman berada di bawah jalur SUTET, tersebar sepanjang jalur SUTET dan melewati kecamatan-kecamatan Indihiang, Kawalu, Mangkubumi, Tamansari, Tawang dan Cibeureum. Penyimpangan yang terbesar terjadi di kecamatan Mangkubumi sebesar 7,46 ha dan terkecil di kecamatan Cihideung seluas 2,2 ha. Hasil pengamatan di lapangan permukiman sudah ada sebelum jalur SUTET dibuat dan dibangun, sebagian sudah dibebaskan karena pembebasan lahan belum menyeluruh dan masyarakat kurang peduli terhadap pelanggaran tersebut. Tingkat pendidikan rendah, pendapatan rendah dan pekerjaan rata-rata sebagai buruh serta pengetahuan masyarakat mengenai RTRW sangat rendah. Karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah kota. Permukiman berada di kawasan perdagangan seluas 35, ha, dan tersebar di kecamatan Indihiang, Kawalu, Mangkubumi, Cipedes, Tamansari, Tawang dan Cibeureum. Penyimpangan yang terbesar terjadi di kecamatan Mangkubumi sebesar 3,6 ha. Kawasan Perdagangan yang ditetapkan dalam RTRW disepanjang koridor jalan utama dan jalan kolektor. Hal tersebut terjadi disebabkan lokasi yang diperuntukan kawasan perdagangan, ternyata yang berkembang permukiman karena kebutuhan akan tempat tinggal lebih mendesak sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Hasil kuesioner menunjukkan tingkat pendidikan rendah, pendapatan masyarakat rendah dan pengetahuan masyarakat mengenai RTRW sangat kurang, sehingga lahan tersebut tidak digunakan sebagaimana fungsinya yang ditetepkan dalam RTRW.

17 Permukiman berada di kawasan TPU seluas 3, ha, terjadi di kecamatan Kawalu, Tamansari dan Tawang. Penyimpangan terbesar terjadi di kecamatan Tawang sebesar,3 ha. Hasil temuan dilapangan, permukiman sebagian sudah ada pada saat penetapan TPU dalam RTRW. Permukiman berkembang turun-temurun, karena kepemilikan tanah sendiri dan tanah warisan. Permukiman berada di kawasan Peruntukan Industri dalam RTRW seluas 4, ha, terjadi di kecamatan Kawalu dan Cihideung. Penyimpangan terbesar di kecamatan Cihideung, luasnya mencapai 3,7 ha. Hasil temuan dilapangan, dalam RTRW telah ditetapkan kawasan Industri, tetapi Pemukiman sudah berkembang lebih dulu bahkan bercampur dengan home industry (kerajinan anyaman dan bordir), sehingga yang lebih dominan berkembang adalah pemukiman. Kawasan Industri mwnjadi lahan Sawah menjadi terjadi di kecamatan Mangkubumi luasnya mencapai,55 ha dan Cihideung. Hasil temuan di lapangan tidak terjadi penyimpangan yang sebenarnya, karena kawasan industri yang ditetapkan dalam RTRW belum seluruhnya terjadi (sebagian masih berupa sawah). Permukiman berada di kawasan Hutan terjadi di kecamatan Kawalu tepatnya di kelurahan Urug, luasnya mencapai 3,67 ha. Pemukiman penduduk menyebar di sekitar kawasan Hutan. Pada umumnya penduduk yang tinggal sekitar hutan adalah petani penggarap tanaman tumpang sari di kawasan Hutan yang berkembang turun-temurun. Pendidikan dan penghasilan rata-rata rendah. Pekerjaan sebagai petani penggarap dan buruh. Pengetahuan masyarakat mengenai RTRW sangat rendah dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah kota mengenai rencana tata ruang. Penyimpangan penggunaan lahan di kawasan Hutan mengindikasikan lemahnya pengawasan dan manjemen dari pengelolaan kawasan Hutan yang ditetapkan dalam RTRW sebagai kawasan lindung. Penyimpangan sebagian kawasan Hutan menjadi permukiman dapat dilihat pada Gambar.

18 Gambar. Lahan Hutan menjadi sebagian permukiman. Berdasarkan hasil temuan di lapangan terhadap penggunaan lahan yang tidak sejalan dengan RTRW secara umum dibagi dalam tiga kategori penyimpangan, yaitu sebagai berikut:. Terjadi penyimpangan dari RTRW 24-24, karena belum diperbaruinya batas untuk berbagai penggunaan lahan pada RTRW yang baru, padahal penggunaan lahan tersebut merupakan existing condition, yang sudah ada sejak sebelum berlakunya/ditetapkannya RTRW Penyimpangan tersebut bukan merupakan pelanggaran batas-batas RTRW, melainkan terjadi karena belum terealisasinya penggunaan lahan tersebut. 2. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW yang merupakan penyimpangan sebenarnya berupa pelanggaran terhadap batas-batas penggunaan lahan yang sudah ditetapkan dalam RTRW. Hal ini dapat disebabkan karena terdesak kebutuhan lahan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan karena nilai lahan yang cukup tinggi, menyebabkan terjadinya konversi lahan. 3. Penyimpangan yang terjadi karena teknis pemetaan, yaitu oleh karena perbedaan koreksi geometris, dan perbedaan skala peta yang digunakan. pada RTRW skala peta yang digunakan belum detil (:5.), sehingga ketika proses overlay dengan peta land use ( :.) ditemui beberapa jenis penggunaan lahan (poligon) yang sebenarnya tidak terjadi di lapangan. Hal ini dilakukan koreksi geometris terhadap poligon-poligon kecil (digeneralisasi) kedalam poligon yang lebih besar.

19 Penyimpangan penggunaan lahan yang sebenarnya terjadi adalah sebagai berikut, dapat dilihat pada Tabel. Tabel. Distribusi Penyimpangan sebenarnya hasil koreksi Luas Penyimpangan No Penyimpangan ha % Pemukiman pada areal Hutan 3,6,2 2 Lahan basah menjadi pemukiman 4, 4,6 3 Pemukiman pada sempadan sutet 6,6.5 4 Lahan kering menjadi pemukiman 2,57 2,35 5 Permukiman pada TPU 3,,7 Jumlah.25,7 7, Luas penyimpangan sebesar 7,% dari luas wilayah Kota Tasikmalaya pada Tabel adalah merupakan penyimpangan sebenarnya yang harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan RTRW yang akan datang, karena merupakan pelanggaran pada batas-batas penggunaan lahan yang ditetapkan dalam RTRW Penyimpangan tersebut berupa lahan pertanian ( lahan basah dan lahan kering), areal Hutan dan TPU. Pemukiman di bawah SUTET merupakan pelanggaran pada batas sempadan, karenanya harus ditertibkan atau direlokasi Faktor yang Mempengaruhi Penyimpangan Penggunaan Lahan Faktor yang diduga mempengaruhi penyimpangan dari data Potensi Desa Kota Tasikmalaya Tahun 26, menunjukan bahwa dari variabel asal yang terkoleksi diperoleh kelompok data baru sebanyak 5 variabel dasar, yaitu variabel-variabel dasar tersebut mengandung informasi setara dengan informasi yang terkandung dalam satu variabel asal. Nilai eigenvalues dari scree plot yang diperoleh dari hasil pengolahan PCA dengan menggunakan software statistika 6., terlihat bahwa hasil grafik yang lebih curam yang ditentukan oleh titik yang berada di atas nilai terdapat 4 titik, yang artinya terdapat 4 faktor terpilih yang memenuhi syarat ( > 7%) diduga sebagai penentu penyimpangan dari RTRW. Nilai prosentase total komulatif eigenvalue yang dihasilkan dari analisis PCA

20 adalah sebesar 5,7% yang artinya, bahwa ke-4 faktor tersebut dapat menerangkan 5,7% keragaman data awal 5 variabel yang terkoleksi menjadi 2 variabel yang berpengaruh terhadap penyimpangan. Hasil proses PCA dapat dilihat pada Tabel 2 (Eigenvalues) dan Tabel 2 adalah faktor loading yang memiliki bobot dalam setiap variabel yang dikandungnya. Tabel 2. Eigenvalues Hasil PCA Eigenvalues Extraction: Principal components Eigenvalue % Total Cumulative Cumulative variance Eigenvalue % 3,4633 3,46 3,4633 3,46 2 2,62 2,62 6,25 6, 3,7476 7,4,5562 5,56 4,222,22, ,7 Sumber data: Hasil Olahan Tabel 2. Nilai Faktor Loading Variabel Penentu Penyimpangan dari RTRW Factor Loadings (Varimax normalized) (podes kota tasik terbaru) Extraction: Principal components (Marked loadings are >.7) variabel faktor faktor 2 faktor 3 faktor 4 Kepadatan Penduduk jumlah petani jml rmh prmk kmh jml kelg pmk kumuh jml kelg di sektr bantaran jml bang rmh di sekitr bantaran luas lahan sawah luas lhn swh yang diusahakan luas lahn bukan sawah luas lahan pertanian luas lahan utk non pertanian jrk desa. ke pst Kota Expl.Var Prp.Totl Sumber: Hasil Olahan PCA

21 Berdasarkan Tabel 2 dapat dijelaskan, hasil olahan PCA ada 4 faktor yang diduga berpengaruh terhadap penyimpangan penggunaan lahan adalah sebagai berikut: Faktor ke- yang paling berpengaruh terhadap penyimpangan penggunaan lahan, yaitu kepadatan penduduk, jumlah rumah dan keluarga dipemukiman kumuh, luas lahan sawah dan lahan yang diusahakan. Hal tersebut menunjukkan hubungan kepadatan penduduk dimana tingginya kepadatan penduduk akan diikuti oleh tingginya pemukiman kumuh serta luas lahan sawah akan berpengaruh terhadap luas ladang yang diusahakan. Hal ini berarti dengan bertambahnya jumlah penduduk dipermukiman kumuh akan bertambah pula penggunaan lahan untuk pemukiman dan fasilitas pendukungnya, sehingga mendorong terjadinya penyimpangan dari RTRW. Faktor 2 yang berpengaruh adah luas lahan sawah dan luas ladang yang diusahakan. Hal tersebut menunjukkan hubungan penggunaan lahan, dimana meningkatnya luas lahan sawah sejalan dengan meningkatnya luas lahan sawah pengairan yang diusahakan. Faktor ke- 3 yang berpengaruh terhadap penyimpangan adalah jumlah keluarga dan jumlah rumah di sekitar Bantaran, yaitu menunjukkan hubungan penggunaan lahan, dimana menurunnya jumlah keluarga di sekitar bantaran mengakibatkan menurun pula bangunan-bangunan di sekitar bantaran. Penggunaan lahan sisekitar bantaran merupakan pelanggaran garis sempadan Sungai yang selanjutnya diduga berpengaruh terhadap penyimpangan, karena menurunnya luas lahan pertaninan disebabkan penggunaan lahan untuk permukiman, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan luas ladang (lahan pertanian) yang diusahakan. Faktor ke- 4 yang berpengaruh terhadap penyimpangan adalah luas lahan non pertanian dan jarak desa ke pusat kota. Hal tersebut menunjukkan semakin besar luas lahan non pertanian akan semakin mendekati pusat kota, dimana setiap pembangunan cenderung mendekati pusat-pusat kota.

22 Tabel 22. Hasil pengolahan Regresi untuk penyimpangan penggunaan lahan. Regression Summary for Dependent Variable: PENYIMPANGAN R=.3435 R²=.34 Adjusted R²= F(4,64)=.233 p<.7 Std.Error of estimate: 54.7 N = 6 Beta Std.Err. B Std.Err. t(64) p-level Intercept Factor Factor Factor Factor Sumber: Hasil olahan Hasil diatas menunjukan bahwa: kepadatan penduduk (F) mengakibatkan terjadinya peningkatan luas lahan permukiman. Bertambahnya jumlah keluarga di permukiman kumuh, akan bertambah pula bangunan disekitarnya. Bertambahnya luas lahan sawah sejalan dengan luas lahan yang diusahakan. Hal ini berarti dengan bertambahnya jumlah penduduk akan mendorong terjadinya berbagai penyimpangan. Demikian juga yang dipengaruhi oleh faktor 2 adalah luas lahan sawah akan berpengaruh terhadap pertambahan luas lahan bukan sawah (terbangun) dalam memenuhi kebutuhan ruang. Faktor yang ke 3 adalah bangunan di sekitar Bantaran, jika terus meningkat maka penyimpangan akan terus bertambah. Faktor ke 4 adalah pengaruh jarak ke pusat Kota cenderung terjadinya penyimpangan, dimana permukiman berkembang selalu mendekati lokasi kerja/pusat Kota. Pada Tabel 22, selanjutnya dilakukan analisis untuk mengkorelasikan secara langsung variabel penentu penyimpangan dengan proporsi luas penyimpangan dari RTRW. Hasil regresi luas penyimpangan penggunaan lahan disajikan berikut ini : Y = 34, ,546 X,244 X 2 + 3,2446 X 3 -,63 X 4 Dimana : Y = luas penyimpangan X = Faktor (Kepadatan penduduk) X2 = Faktor 2 (lahan pertanian)

23 X3 = Faktor 3 (bangunan di bantaran sungai) X4 = Faktor 4 (jarak ke pusat kota) Faktor yang mempengaruhi penyimpangan berdasarkan hasil wawancara dan kondisi lapangan: Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lapangan, hasil wawancara dan kuesioner secara purposive sampling dengan masyarakat di lokasi penyimpangan adalah sebagai berikut: ) Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata rendah 2) Pekerjaan sebagai petani, buruh dan pengangguran 3) Kepemilikan tanah, sebagian besar adalah lahan sendiri dan warisan. 4) Pengetahuan masyarakat mengenai rencana tata ruang sangat rendah. 5) Kurang sosialisasi dari pemerintah pada masyarakat mengenai RTRW. Penyimpangan penggunaan lahan perkotaan tidak lepas dari faktor perilaku serta latar belakang masyarakat yang menempatinya, misalnya tumbuhnya permukiman kumuh dan bangunan sekitar bantaran atau terbentuknya ruang-ruang hunian sederhana atau kumuh dibagian kota yang sebenarnya terlarang untuk menjadi tempat tinggal. Hal ini memperlihatkan ciri-ciri perilaku penghuninya dalam penggunaan lahan, yaitu sebagai berikut:. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah membuat orang cenderung untuk melanggar aturan. Bagi masyarakat yang berpendidikan cara penggunaan lahan yang menyimpang mengandung resiko. Dengan demikian dapat dikatakan seseorang yang memiliki pendidikan tinggi memiliki pengetahuan untuk tidak menggunakan lahan yang tidak syah. Pengetahuan dalam menentukan keputusan untuk bertindak atau memilih suatu resiko didasarkan pada pandangan rational choice. Sastraprateja (3) mengemukakan bahwa pengetahuan menghasilkan nilai untuk menentukan atau memilih. 2. Pekerjaan dan pendapatan merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan untuk menempati lahan, misalnya masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung untuk mengabaikan faktor legal dalam memiliki tanah karena keterbatasan biaya, sehingga mempunyai keterbatasan dalam melakukan investasi pembelian lahan yang dapat dijadikan tempat tinggal.

24 3. Kepemilikan lahan (sebagian besar lahan sendiri dan warisan) di lokasi penyimpangan dapat mendorong terjadinya penyimpangan penggunaan lahan. Pada lahan tersebut dapat dengan mudah berpindah tangan/kepemilikan, karena terdesak kebutuhan dan nilai ekonomis lahan cukup tinggi. Sehingga sulit untuk mencegah terjadinya konversi lahan. 4. Pengetahuan masyarakat yang rendah mengenai rencana tata ruang dapat menyebabkan orang tidak menyadari bahwa telah menempati tempat yang salah atau tidak sesuai. 5. Kurang sosialisasi dari pemerintah pada masyarakat mengenai RTRW menyebabkan masyarakat tidak tahu rencana apa yang akan dibangun di lokasi tempat tinggalnya. Namun demikian ada usaha pemerintah Kota untuk menertibkan atau meminimalkan berbagai penyimpangan yang terjadi, yaitu menertibkan/merelokasi hunian tempat-tempat kumuh, mempertahankan kawasan resapan air yang dimiliki penduduk di kecamatan Tawang. Pertumbuhan Industri (rumahan) di Kota Tasikmalaya, berupa Kerajinan Tangan dan Bordir cukup pesat sejalan dengan visi Kota Tasikmalaya dalam RTRW sebagai pusat Perdagangan dan Industri termaju di wilayah Priangan Timur. Hal tersebut membawa konsekwensi logis terhadap datangnya tenaga kerja dari luar Kota Tasikmalaya. Persoalan muncul dalam hal mengimplementasikan RTRW Kota Tasikmalaya dalam mengakomodasi dinamika perkembangan pemanfaatan ruang. Penurunan luas Hutan sejalan dengan tumbuhnya pemukiman di areal Hutan yang dihuni sebagian besar oleh petani penggarap tanaman Tumpang sari, demikian juga penurunan luas lahan pertanian karena bertambah/terdesak kebutuhan akan permukiman 5.6. Arahan Penyusunan RTRW Kota Tasikmalaya yang baru Arahan penyusunan Rencana Tata Ruang yang dilakukan berdasarkan kondisi penggunaan lahan eksisting dan penyimpangan yang terjadi di lapangan, dengan mempertimbangkan Kota Tasikmalaya sebagai wilayah fungsional perkotaan, mengurangi kepadatan aktifitas di pusat kota dengan tujuan tercapainya keseimbangan pembangunan disetiap kecamatan. Karena keterbatasan data, maka dalam menyusun arahan ini tidak didukung oleh data analisis

25 kesesuaian lahan dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kota Tasikmalaya. Arahan penyusunan RTRW yang akan datang adalah sebagai berikut:. Pada beberapa lokasi (terutama di BWK II dan BWK V) dengan cakupan Kecamatan Cihideung, sebagian Kecamatan Cipedes dan sebagian Kecamatan Indihiang telah terjadi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW. Peregeseran fungsi kawasan BWK II dalam RTRW diarahkan untuk fungsi kawasan perumahan dan permukiman, sedangkan kondisi eksisting menjadi fungsi kawasan industri (mendong). Pada BWK V dalam RTRW diarahkan fungsi utamanya sebagai kawasan terminal regional, kawasan perdagangan, dan jasa regional bergeser menjadi kegiatan pemerintahan. 2. Kawasan perdagangan dan Industri di kecamatan Mangkubumi dan Kawalu, yang sudah terlanjur menjadi permukiman diarahkan untuk dipertimbangkan pada penetapan RTRW Permukiman sebagian sudah ada pada saat ditetapkannya RTRW Sawah dan lahan kering yang belum terealisasi menjadi kawasan Industri dan Perdagangan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW 24-24, diarahkan untuk dipertahankan. Kawasan Industri dan perdagangan yang belum terealisasi dapat diarahkan menyebar ke tingkat kecamatan yang belum berkembang. 4. Permukiman berada di bawah SUTET, hal ini merupakan pelanggaran pada garis sempadan, maka arahan bagi pemerintah kota untuk menertibkan bangunan-bangunan yang berada dibawah SUTET. 5. Permukiman yang menempati lahan TPU (Taman Pemakaman Umum), sebagian sudah terbangun sebelum RTRW ditetapkan dan berkembang karena terdesak kebutuhan ruang permukiman. Arahan dalam RTRW yang akan datang supaya permukiman dibatasi perkembangannya dan ditetapkan dalam RTRW yang baru dengan mempertahankan TPU yang belum termanfaatkan untuk keperluan RTH (Ruang Terbuka Hijau). 6. Permukiman yang berkembang di kawasan Hutan di kecamatan Kawalu (berupa Hutan Negara), diarahkan untuk ditertibkan dengan merelokasi ke luar sekitar Hutan, untuk mencegah terjadinya penurunan luas Hutan lebih lanjut.

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.. Luas Wilayah Kota Tasikmalaya berada di wilayah Priangan Timur Provinsi Jawa Barat, letaknya cukup stratgis berada diantara kabupaten Ciamis dan kabupaten Garut.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1 Wilayah Administrasi dan Letak Geografis Wilayah administrasi Kota Tasikmalaya yang disahkan menurut UU No. 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pemerintah Kota Tasikmalaya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa untuk menata dan mengarahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan proses desentralisasi, pembangunan sebagai konsekwensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Kemampuan daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT NINA RESTINA 1i SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA GEOGRAFIS KABUPATEN BANGKA PKL Sungailiat PKW PKNp PKWp PKW PKW Struktur Perekonomian Kabupaten Bangka tanpa Timah Tahun 2009-2013 Sektor 2009 (%)

Lebih terperinci

INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN

INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN LAMPIRAN IV INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN 2010-2030 NO. PROGRAM KEGIATAN LOKASI BESARAN (Rp) A. Perwujudan Struktur Ruang 1 Rencana Pusat - Pembangunan dan

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

LUAS WILAYAH ADMINISTRATIF KECAMATAN DAN JUMLAH WILAYAH ADMINISTRATIF KELURAHAN DI KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2016 IBU KOTA KECAMATAN

LUAS WILAYAH ADMINISTRATIF KECAMATAN DAN JUMLAH WILAYAH ADMINISTRATIF KELURAHAN DI KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2016 IBU KOTA KECAMATAN KONDISI GEOGRAFI KOTA TASIKMALAYA A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Tasikmalaya termasuk kedalam Wilayah Pengembangan (WP) Priangan Timur dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pasar Rakyat mempunyai peranan penting dalam menggerakkan dan menumbuhkan perekonomian masyarakat. Dengan berkembangnya Toko Modern dikhawatirkan keberadaan Pasar Rakyat

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANJARMASIN 2013-2032 APA ITU RTRW...? Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan Pola Ruang Wilayah Kota DEFINISI : Ruang : wadah yg meliputi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO. Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo

KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO. Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo Abstrak: Terbentuknya Provinsi Gorontalo pada tahun 2000

Lebih terperinci

RENCANA PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA, SERTA PRASARANA DAN SARANA UMUM

RENCANA PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA, SERTA PRASARANA DAN SARANA UMUM RENCANA PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA, SERTA PRASARANA DAN SARANA UMUM 6 6.1 Rencana Penyediaan Ruang Terbuka Tipologi Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung berdasarkan kepemilikannya terbagi

Lebih terperinci

Gambar 3.16 Peta RTRW Kota Bogor

Gambar 3.16 Peta RTRW Kota Bogor Gambar 3.16 Peta RTRW Kota Bogor 39 Gambar 3.17 Peta RTRW Kabupaten Bogor 40 Gambar 3.18 Peta RTRW Kota Depok 41 Gambar 3.19 Peta RTRW Kota Tangerang 42 Gambar 3.20 Peta RTRW Kabupaten Tengarang 43 Gambar

Lebih terperinci

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD Oleh : Linda Dwi Rohmadiani Abstrak Proporsi Ruang Terbuka Hijau sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON 110 BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON Pada Bab ini dilakukan analisis data-data yang telah diperoleh. Untuk mempermudah proses analisis secara keseluruhan, dapat

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA TASIKMALAYA TAHUN

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA TASIKMALAYA TAHUN - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2011-2031 I. UMUM Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI

BAB IV GAMBARAN LOKASI BAB IV GAMBARAN LOKASI 4.1 Tinjauan Umum Kota Banjar Baru A. Lokasi Kota Banjarbaru sesuai dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 memiliki wilayah seluas ±371,38 Km2 atau hanya 0,88% dari luas wilayah Provinsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi Secara historis kota Sukabumi dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Burgerlijk Bestuur (1914) dengan status Gemeenteraad Van Sukabumi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh berbagai macam faktor-faktor perubahan yang menyangkut segi-segi sosial, ekonomi, politik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai Dari data hasil Sensus Penduduk 2010, laju pertumbuhan penduduk Kota Binjaitahun 2000 2010 telah mengalami penurunan menjadi

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografi Secara geografis Kota Bekasi berada pada posisi 106 o 48 28 107 o 27 29 Bujur Timur dan 6 o 10 6 6 o 30 6 Lintang Selatan. Letak Kota Bekasi yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

VI. HASIL PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN

VI. HASIL PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN VI. HASIL PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN Pemilihan lokasi perumahan oleh penghuni, pengembang, dan pemerintah dianalisis berdasarkan hasil kuesioner dengan menggunakan sofware SPSS for windows. Penentuan faktor-faktor

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, pembangunan perkotaan cenderung meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan terbuka hijau dialih fungsikan menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, kawasan industri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang terus membenahi dirinya melalui pembangunan di segala bidang agar dapat menjadi negara yang makmur setara dengan negara-negara maju

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA 6-1 BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA Kecenderungan dan pola spasial alih fungsi lahan sawah yang telah terjadi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2.1. Tujuan Penataan Ruang Kota Bengkulu Tujuan penataan ruang wilayah kota dirumuskan berdasarkan: 1) visi dan misi pembangunan wilayah kota; 2) karakteristik wilayah kota;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini merupakan paparan pendahuluan yang menunjukkan gejala-gejala

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini merupakan paparan pendahuluan yang menunjukkan gejala-gejala 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan paparan pendahuluan yang menunjukkan gejala-gejala kesenjangan yang terjadi di lapangan dengan teori yang ada, maka dengan demikian perlu dilakukan penelitian ini.

Lebih terperinci

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN Bab ini menjelaskan aspek-aspek yang dianalisis dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan data (time-series) serta peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI

BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI 62 b a BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI Bahasan analisis mengenai persepsi masyarakat tentang identifikasi kondisi eksisting ruang terbuka di Kelurahan Tamansari,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR

BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR 24 BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR 4.1 Profil Wilayah Kota Bogor Kota Bogor secara geografis terletak pada 106 o 48 Bujur Timur dan 6 o 36 Lintang Selatan dengan jarak ± 56 km dari ibukota Jakarta. Wilayah

Lebih terperinci

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan I.3 Ruang Lingkup I.4 Keluaran I.5 Jadwal Pelaksanaan III.1 III.2 III.3 III.3

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bagian ini akan menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran studi, ruang lingkup, metode studi, manfaat studi, serta sistematika penulisan yang akan digunakan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Setelah era reformasi yang menghasilkan adanya otonomi daerah, maka daerah administrasi di Provinsi Kalimantan Barat yang telah mengalami

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 133 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dari studi penelitian dan rekomendasi yang bisa di ambil dalam studi. Selain itu akan dibahas mengenai kelemahan studi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS UNIT INSPEKTORAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN Lampiran VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR TAHUN 2011 LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2011 2031 MATRIK

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

Aria Alantoni D2B Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Aria Alantoni D2B Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro EVALUASI IMPLEMENTASI PERDA KOTA SEMARANG NO.5 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SEMARANG (Kajian Terhadap Fungsi Pengendali Konversi Lahan Pertanian di Kota Semarang) Aria Alantoni D2B006009

Lebih terperinci

L E M B A R A N D A E R A H

L E M B A R A N D A E R A H L E M B A R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN TAHUN 2004 NOMOR 1 SERI E NO. SERI 1 P E R A T U R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2016-2036 Menimbang : DENGAN

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memacu pertumbuhan di berbagai sendi kehidupan seperti bidang ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. memacu pertumbuhan di berbagai sendi kehidupan seperti bidang ekonomi, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan di berbagai sendi kehidupan seperti bidang ekonomi, politik, pendidikan,

Lebih terperinci

III. GAMBARAN UMUM. 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun )

III. GAMBARAN UMUM. 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun ) III. GAMBARAN UMUM 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi 2011-2031 (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031) Berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 19 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian di lapangan dilaksanakan pada pertengahan bulan Februari hingga April 2010. Lokasi penelitian adalah areal perkebunan inti dan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon 41928 K I S A R A N 2 1 2 1 6 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 5 Tahun 2000 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG WALIKOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 5 Tahun 2000 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG WALIKOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 5 Tahun 2000 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 23 TAHUN 2000 T E N T A N G RENCANA TATA RUANG WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Bab I merupakan pendahuluan yang merupakan framework dari penyusunan laporan ini. Pada bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran. Dibahas pula ruang lingkupnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan

Lebih terperinci

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3 LAMPIRAN VI : PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN TABEL-2 KLASIFIKASI ZONA DAN SUB ZONA HIRARKI I fungsi lindung adm fungsi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO PENGARUH PEMBANGUNAN HOTEL IMPERIUM ASTON TERHADAP PERUBAHAN HARGA LAHAN DI PUSAT KOTA PURWOKERTO

UNIVERSITAS DIPONEGORO PENGARUH PEMBANGUNAN HOTEL IMPERIUM ASTON TERHADAP PERUBAHAN HARGA LAHAN DI PUSAT KOTA PURWOKERTO UNIVERSITAS DIPONEGORO PENGARUH PEMBANGUNAN HOTEL IMPERIUM ASTON TERHADAP PERUBAHAN HARGA LAHAN DI PUSAT KOTA PURWOKERTO TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan salah satunya dengan cara mengedepankan sektor industri.

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Depok 5.1.1. Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Quickbird Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird Kecamatan Depok adalah

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan fisik Kota Taliwang tahun 2003-2010 Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan lahan dari rawa, rumput/tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah Muhamad Irdan Rusyaman, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah Muhamad Irdan Rusyaman, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu penggerak perekonomian suatu wilayah yang terdiri dari berbagai kegiatan didalamnya. Berbagai kegiatan tersebut memiliki keterkaitan

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN INTENSITAS PEMANFAATAN RUANG KORIDOR JALAN LETJEND S. PARMAN - JALAN BRAWIJAYA DAN KAWASAN SEKITAR TAMAN BLAMBANGAN

Lebih terperinci

BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN

BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN Penerapan konsep magersari pada kawasan permukiman magersari adalah berupa usulan perbaikan terhadap kawasan permukiman magersari, yang menghasilkan

Lebih terperinci

PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN

PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN Pemilihan lokasi perumahan oleh penghuni, pengembang, dan pemerintah dianalisis berdasarkan hasil kuesioner dengan teknik analisis komponen utama menggunakan sofware SPSS for

Lebih terperinci