BAB I PENDAHULUAN. negara dari pajak baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak. Salah

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Direktorat Jenderal Pajak berupaya untuk mencari sumber penerimaan negara dari pajak baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak. Salah satu upaya tersebut adalah dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 mengenai Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pro dan kontra pemberlakuan peraturan pemerintah tersebut tidak bisa dihindari, hal ini wajar mengingat definisi pajak sebagai iuran wajib ke kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2009). Peningkatan kepatuhan Wajib Pajak merupakan salah satu kebijakan dan langkah penting dibidang perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara, sebagaimana tertuang dalam Nota Keuangan dan APBN Konsep kepatuhan yang sukarela dari Wajib Pajak dibutuhkan karena sistem pemungutan pajak yang dianut di Indonesia adalah Self Assesment System (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000). Self Assesment System memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Pemungutan pajak diterapkan atas dasar kepercayaan pihak otoritas pajak kepada Wajib Pajak (Rahayu, 2007). 15

2 Pemerintah pada tahun 2014 meningkatkan target penerimaan sektor pajak sebesar 66,6% dari total target pendapatan negara (Arianto, 2014). Arianto (2014) menjelaskan bahwa target penerimaan pajak dari tahun-tahun sebelumnya tidak pernah mencapai target. Target penerimaan pajak yang belum tercapai, selain karena perlambatan ekonomi juga karena masih rendahnya kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia. Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengoptimalkan target penerimaan pajak, diantaranya adalah penerapan pajak usaha kecil yang memiliki peredaran usaha besar. Perkembangan usaha-usaha kecil dan menengah yang dinamis membuat Direktorat Jenderal Pajak sulit untuk menjangkau usaha-usaha kecil dan menengah. Meskipun telah digunakan jaring pengaman bagi Wajib Pajak (berupa Nomor Pokok Wajib Pajak) agar Wajib Pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya. Usaha-usaha kecil menengah masih tetap lepas dari jeratan pajak. Menurut Arianto (2014) Wajib Pajak potensial masih banyak yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak. Penerimaan pajak sementara ini masih tergantung pada perusahaan besar dan menengah, penerimaan pajak dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih dibawah 2%. Berdasarkan statistik UMKM dari Kementrian Koperasi dan UKM (2012) perkembangan jumlah UMKM di tahun 2012 yang berjumlah unit lebih besar dari jumlah usaha besar yang berjumlah unit. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM merupakan pelaku usaha terbesar dari total pelaku usaha nasional. Sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku untuk UMKM di tahun 2012 sebesar ,1 milyar rupiah, lebih 16

3 besar daripada sumbangan PDB usaha besar sebesar ,1 milyar rupiah. Berdasarkan data dari Kementrian Koperasi dan UKM dalam Statistik UMKM , UMKM memiliki kontribusi terhadap penciptaan PDB, penyerapan tenaga kerja, penciptaan devisa nasional melalui ekspor dan perkembangan pelaku usahanya. UMKM memiliki posisi yang sangat strategis, karena potensi UMKM yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Campin et al., 2013). Jumlah UMKM yang besar ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan bagi penerimaan pajak di Indonesia. Menurut Sulistiyo (2014) dibanding dengan negara tetangga, rasio penerimaan pajak (tax ratio) di Indonesia sebesar 11,77% dari PDB dan merupakan tax ratio yang tergolong rendah. Tax ratio di Indonesia tertinggal dibanding negara tetangga di ASEAN, terutama Thailand dengan tax ratio di atas 15%, sehingga dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak. UMKM di Indonesia tidak diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan sebagai dasar pemungutan pajak, sehingga konsep kepatuhan suka rela sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Ketidaktaatan dalam membayar pajak banyak terjadi pada lapisan pengusaha, termasuk didalamnya UMKM. Hal ini terjadi selain karena kurangnya penegakkan kepatuhan pajak juga karena sedikit yang diketahui tentang praktek pelaporan keuangan UMKM. Praktek pelaporan keuangan bisnis swasta kecil tidak mudah diketahui karena pelaporan keuangan bisnis swasta kecil tidak diatur (Allee dan Yohn, 2009). 17

4 UMKM akan lebih langsung merasa pengaruh dari peraturan perpajakan dari pada perusahaan multinasional yang besar (Nam dan Radulescu, 2007). Pajak dapat memainkan peran yang lebih penting dalam struktur biaya UMKM karena UMKM tidak memiliki kemampuan keuangan dan manusia untuk mengembangkan strategi penghindaran pajak yang canggih. Alasan lebih lanjut untuk memperhatian kebijakan perpajakan kepada UMKM adalah bahwa UMKM merupakan pengusaha yang akan membayar pajak di masa depan dan tingkat pertumbuhan yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan besar (Hendricks et al.,1997). UMKM secara signifikan mempengaruhi posisi kompetitif ekonomi suatu negara secara keseluruhan (Nam dan Radulescu, 2007). Negara-negara yang memberikan insentif fiskal dan perlakuan pajak preferensial untuk UMKM mengklaim bahwa UMKM dapat menciptakan sejumlah besar pekerjaan dan dapat meningkatkan tingkat kewirausahaan, yang berarti UMKM sangat fleksibel, memiliki kecepatan, mampu mengambil resiko dan inovatif (Chen et al., 2002). Self employment memiliki efek positif yang signifikan terhadap lapangan kerja secara keseluruhan (Folster, 2000). Kewirausahaan dalam hal ini UMKM dapat menciptakan lapangan kerja dimasa depan (Praag dan Versloot, 2007). Perkembangan UMKM dimasa depan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan negara di sektor pajak. Penegakkan kepatuhan pajak telah dilakukan di berbagai negara, dan masing-masing negara memiliki tingkat kesuksesan yang berbeda. Menurut Alm et al. (1999) banyak bukti yang menjelaskan bahwa norma-norma sosial dari 18

5 kepatuhan pajak berbeda di berbagai negara dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi kepatuhan. Perbedaan kesuksesan dalam meningkatkan kepatuhan pajak antara Chile dan Argentina terletak pada kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan sukarela (Bergman, 2003). Kasus penegakan kepatuhan pajak antara Chile dan Argentina berbeda juga disebabkan perbedaan budaya. Konstruksi sosial dari keyakinan dan harapan dari masing-masing negara juga sangat berbeda. Lewis et al. (2009) menyatakan bahwa perbedaan dalam kepatuhan pajak dalam penelitian kepatuhan pajak di Italia dan United Kingdom (UK) setidaknya sebagian karena faktor budaya. Menurut Lewis et al. (2009) penggunaan kebijakan audit sebagai cara dalam meningkatkan kepatuhan pajak kemungkinan akan sangat efektif dilakukan pada negara-negara yang moral pajaknya rendah seperti dalam kasus negara Italia. Italia menerapkan kebijakan fiskal kontemporer dengan meningkatkan deteksi dengan denda dan hukuman yang lebih berat (penggelapan PPN dianggap sebagai kejahatan pidana). Audit dan pinalti tidak cukup menjelaskan derajat tingkat kepatuhan pajak (Thurman, 1991 dalam Trivedi et al., 2003). Upaya penegakan kepatuhan pajak dapat mempengaruhi perilaku sosial yang kemudian perilaku sosial ini dapat mempengaruhi keputusan membayar pajak (Charles Rossotti Commissioner Internal Revenue Service dalam Davis et al., 2003). Kemungkinan akan terjadi peningkatan penghindaran pajak ketika kenalan Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak yang tidak membayar pajak. Andreoni et al. (1998) menjelaskan bahwa model ekonomi tradisional pada 19

6 kepatuhan pajak yang khusus menekankan pada penegakan dan variabel deteksi tidak dapat menjelaskan tingkat kepatuhan saat ini. Penelitian psikologi sosial baru-baru ini telah difokuskan pada mengubah norma-norma sosial (social norms) untuk mempengaruhi perilaku. Tren di penelitian kepatuhan pajak sebelumnya telah mengukur norma sosial sebagai cara untuk menjelaskan perilaku kepatuhan. Alm et al. (1999), Davis et al. (2003) telah menggunakan istilah yang mirip dengan norma sosial tanpa definisi yang tepat dari jenis norma yang benar-benar mempengaruhi perilaku (Bobek et al., 2013, Klein dan Boster, 2005). Menurut Sunstein (1996) sebuah kebijakan peraturan yang menggunakan norma sosial menjadi strategi yang termurah dan paling efektif yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mencegah perilaku yang berisiko. Norma sosial dimungkinkan dapat melengkapi atau bekerja lebih efisien daripada pendekatan peraturan yang ada. Norma sosial dapat dimodifikasi dari waktu ke waktu, dan memiliki hubungan sebab akibat dengan perilaku dan pola interaksi, maka modifikasi normatif dapat menjelaskan perubahan sosial tertentu. Menurut Etzioni (2000) norma-norma sosial memiliki efek yang penting pada perilaku manusia. Norma-norma sosial membantu orang-orang membentuk (dan reformasi) diri, dengan mempengaruhi identitas mereka, pandangan mereka tentang diri mereka sendiri, proyek yang mereka akan lakukan. White et al. (2009) menjelaskan bahwa individu dipengaruhi oleh normanorma kelompok, tidak hanya karena norma kelompok menyebabkan persetujuan sosial dalam konteks publik, tetapi karena mereka merumuskan sikap dan perilaku 20

7 yang sesuai untuk anggota kelompok dalam konteks tertentu. Hasil penelitian White et al. (2009) mendukung pandangan bahwa pengaruh sosial penting dalam Theory of Planned Behavior dan menghilangkan keyakinan bahwa norma tidak dapat memainkan peran secara konsisten dalam hubungan antara sikap dan tindakan. Menurut Alm et al. (1999) norma sosial memiliki pengaruh yang dominan pada tingkat kepatuhan pajak, sehingga norma sosial sangat penting dalam meningkatkan penerimaan perpajakan. Bobek et al. (2007) menyatakan bahwa norma sosial yang meliputi norma deskriptif (descriptive norm), norma penangguhan ( injunctive norm), norma subyektif (subjective norm), dan norma pribadi (personal norm), terkait dengan niat kepatuhan pajak. Secara khusus, ketidakpatuhan Wajib Pajak terhadap norma sosial berhubungan kuat dengan peningkatan kemungkinan niat kecurangan dalam perpajakan. Bobek et al. (2013) melanjutkan penelitiannya dengan meneliti norma sosial secara lebih komprehensif dimana dicari jenis hubungan untuk masing-masing norma apakah hubungannya langsung atau tidak langsung terhadap tingkat kepatuhan pajak. Keempat jenis norma sosial secara signifikan berkorelasi dengan perilaku kepatuhan pajak, analisis jalur menunjukkan bahwa hanya norma subyektif dan norma pribadi terkena dampak langsung niat kepatuhan pembayar pajak. Norma deskriptif dan penangguhan terkait dengan subyektif dan norma pribadi, namun mereka tidak memiliki efek langsung pada niat kepatuhan pajak. Menurut Klein dan Boster (2005) norma subyektif, norma penangguhan, dan norma deskriptif bukan merupakan indikator dari sebuah konstruk, sehingga perlu 21

8 diuji secara sendiri-sendiri. Klein dan Boster (2005) menguji ketiga norma tersebut pada situasi yang berbeda yaitu pada gay marrige, binge drinking, dan facial piercing. Hasil dari pengujiannya menjelaskan bahwa norma penangguhan memiliki pengaruh positif yang kuat terhadap ketiga situasi. Norma deskriptif dan norma subyektif memiliki pengaruh yang lemah dalam ketiga situasi. Norma penangguhan, norma deskriptif, dan norma subyektif merupakan konstruk tersendiri dan bukan merupakan indikator dari sebuah konstruk. Penerapan norma sosial di masing-masing negara berbeda sesuai dengan penelitian Alm dan Sanchez's (1995) yang menemukan perbedaan efek norma sosial di masing-masing negara. Penelitian yang menggunakan pendekatan normanorma sosial telah menjadi populer dimasa kini tetapi hasilnya tidak konsisten (Klein dan Boster, 2005). Penelitian tentang norma sosial sebagai upaya dalam meningkatkan kepatuhan pajak secara komprehensif belum dilakukan pada UMKM. Penelitian lintas budaya telah dilakukan untuk negara lain seperti Australia, Singapura dan Amerika Serikat dan hasilnya relatif sama (Bobek et al., 2007). Alm (1991) menyatakan bahwa be lum ada landasan teoritis mengenai penerapan norma sosial dalam kepatuhan pajak. Dibutuhkan penelitian untuk mengisi kekosongan pengembangan literatur, untuk mengisi kekosongan teoritis analisis efek dari perilaku orang lain, penegakan hukum dan norma-norma sosial dalam dinamika kepatuhan pajak secara lintas budaya. Penelitian ini dilakukan di Indonesia dimana menurut Alm et al. (1999) norma-norma sosial dari kepatuhan 22

9 pajak berbeda di berbagai negara sehingga mempengaruhi kepatuhan pajak yang berbeda. Penelitian ini menguji ulang dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian Bobek et al. (2013) studi tentang analisis norma-norma sosial pada perilaku kepatuhan pajak. Penelitian tersebut menggunakan norma sosial (social norm) yang terdiri dari norma deskriptif ( descriptive norm), norma penangguhan (injunctive norm), norma subyektif ( subjective norm), dan norma pribadi (personal norm). Penelitian ini menggunakan sampel yang sangat berbeda, lebih luas, dan lebih menggambarkan kondisi Wajib Pajak yang sebenarnya dari penelitian sebelumnya yaitu dengan menggunakan sampel UMKM. Penelitian ini menggunakan sample UMKM yang memiliki kontribusi penting bagi perekonomian negara. Pengambilan data dilakukan melalui survei kepada UMKM untuk mencari validitas eksternal sehingga dapat digeneralisasi, sedangkan penelitian sebelumnya pengambilan data dilakukan secara eksperimen kepada mahasiswa dan pembayar pajak yang bukan UMKM. Penelitian ini dilakukan di Indonesia yang berbudaya timur yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu di Amerika yang berbudaya barat. Menurut Alm dan Torgler (2012) Amerika memiliki tax moral yang paling tinggi dibandingkan di semua negara, sehingga dibutuhkan pengujian ulang pada budaya yang berbeda. Perbedaan tingkat kepatuhan di masing-masing negara dapat dijelaskan salah satunya dengan adanya perbedaan norma sosial di masing-masing negara (Cullis et al., 2012). 23

10 Jenis pajak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pajak Penghasilan, dimana pemerintah telah memberlakukan peraturan baru tentang perpajakan yaitu Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun Pajak penghasilan bersifat final yaitu 1% dari peredaran bruto usaha. Peraturan pemerintah ini tidak mewajibkan Wajib Pajak untuk melakukan pembukuan sehingga terdapat kemungkinan terjadinya penipuan Perumusan Masalah Penelitian tentang pengaruh norma sosial telah dilakukan di berbagai negara, namun penelitian mengenai norma sosial yang dilakukan secara komprehensif belum dilakukan pada UMKM. Penelitian ini menguji secara empiris dan komprehensif norma sosial yang dianggap mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak UMKM. Norma sosial ini di ambil dari norma sosial menurut Cialdini dan Trost (1998), yang terdiri dari empat norma sosial yaitu norma deskriptif, norma penangguhan, norma subyektif, dan norma pribadi. Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: apakah norma deskriptif, norma penangguhan, norma subyektif, norma pribadi, berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap kepatuhan pajak Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dengan lebih teliti dan rinci peran norma sosial dalam kepatuhan pajak di Indonesia. Diutamakan sektor 24

11 UMKM, sehingga diharapkan dapat membantu penentu kebijakan dalam memaksimalkan potensi perpajakan UMKM Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Di bidang teori, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang kepatuhan pajak dan akuntansi di lintas budaya, dan di sektor UMKM. b. Di bidang praktek, penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah menentukan kebijakan dalam upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi khususnya UMKM, sehingga pendapatan pemerintah dari sektor pajak akan meningkat. Penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan masalah pemerintah dalam upaya penegakan kepatuhan pajak yang merupakan masalah yang luas. c. Di bidang peningkatan ekonomi global, penelitian ini diharapkan membantu memecahkan masalah dalam peningkatan kebutuhan interaksi dengan orang di berbagai negara seperti pemahaman perbedaan pendekatan pada etika pengambilan keputusan. 25