ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI
|
|
- Surya Tanudjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
2 ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITIT PERTANIAN BOGOR 2007
3 RINGKASAN WAHYU ARIYADI. Estimasi Evapotranspirasi Spasial Menggunakan Suhu Permukaan Darat (LST) Dari Data MODIS Terra/Aqua Dan Pengaruhnya Terhadap Kekeringan. Dibimbing oleh Yon Sugiarto, S. Si., M. Sc. IT. Evapotranspirasi merupakan informasi penting dalam perkembangan bidang pertanian di Indonesia. Keterbatasan jumlah stasiun cuaca yang melakukan pengukuran mengenai evaporasi dan evapotranspirasi di Indonesia, merupakan salah satu penyebab kurang meratanya penelitian mengenai evapotranspirasi di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengestimasi evapotranspirasi dari nilai suhu permukaan darat (LST), dan menganalisis adanya hubungan antara evapotanspirasi dengan kekeringan. Penggunaan metode penginderaan jauh dalam penelitian ini dilakukan untuk mengatasi keterbatasan data dari stasiun cuaca. Hasil yang diperoleh dari pendugaan evapotranspirasi menggunakan data Citra MODIS Terra/Aqua di Bogor nilainya berkisar antara mm/8 hari, Indramayu berkisar mm/8 hari, Malang berkisar antara mm/8 hari dan Surabaya berkisar antara mm/8 hari. Sedangkan nilai evapotranspirasi dari pengukuran lapang di Bogor berada pada kisaran mm/8 hari, Indramayu berada di kisaran mm/8 hari, Malang berada pada kisaran mm/ 8 hari dan Surabaya berada pada kisaran mm/8 hari. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa evapotranspirasi bukan merupakan satu satunya unsur meteorologi yang mempengaruhi terjadinya kekeringan. Dan tinggi rendahnya evapotranspirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti topografi, keadaan atmosfer/cuaca (CH, kelembaban, suhu, angin, dll). Nilai keeratan antara LST dengan lebih tinggi dibandingkan nilai keeratan antara NDVI dengan. Dalam hal ini proses evapotranspirasi merupakan salah satu faktor tak langsung pada suatu kejadian kekeringan. Kata kunci : Suhu permukaan, evapotranspirasi, penginderaan jauh, MODIS, kekeringan. ii
4 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... iv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 1 Hasil yang diharapkan TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh dan Karakteristik Satelit MODIS TERRA / AQUA... 1 Suhu Permukaan... 2 NDVI... 2 Evapotranspirasi... 2 Kekeringan... 4 Hubungan antara Evapotranspirasi () dengan Suhu Permukaan (Ts) METODOLOGI Waktu dam Tempat Penelitian... 5 Alat dan Bahan... 5 Metode Penelitian... 5 Pengolahan Awal Data Satelit... 5 Pengolahan Lanjutan Data Satelit HASIL DAN PEMBAHASAN Korelasi antara Suhu Permukaan Darat (LST) dengan Lapang... 7 Korelasi antara NDVI dengan Lapang... 9 Korelasi antara Lapang dengan dari Citra MODIS Analisis Hubungan Evapotranspirasi dengan Kekeringan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Karakteristik dan kegunaan umum kanal kanal satelit MODIS... 3 Tabel 2. Koefisien untuk Algorithma LST satelit MODIS... 6 Tabel 3. Regresi LST MODIS dengan Lapang Tabel 4. Regresi NDVI dengan lapang... 9 Tabel 5. Regresi lapang dengan MODIS DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air... 2 Gambar 2. Diagram alir penelitian... 7 Gambar 3. Sebaran LST di P. Jawa dan Bali... 7 Gambar 4. Hubungan nilai LST MODIS dengan lapang Bogor Gambar 5. Hubungan nilai LST MODIS dengan lapang Indramayu... 8 Gambar 6. Hubungan nilai LST MODIS dengan lapang Malang... 8 Gambar 7. Hubungan nilai LST MODIS dengan lapang Surabaya... 8 Gambar 8. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan lapang Bogor... 9 iii
5 Gambar 9. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan lapang Indramayu... 9 Gambar 10. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan lapang Malang... 9 Gambar 11. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan lapang Surabaya... 9 Gambar 12. Hubungan nilai lapang dengan MODIS Bogor Gambar 13. Hubungan nilai lapang dengan MODIS Indramayu Gambar 14. Hubungan nilai lapang dengan MODIS Malang Gambar 15. Hubungan nilai lapang dengan MODIS Surabaya Gambar 16. Bencana kekeringan tahun Gambar 17. bulanan di tiga daerah yang mengalami kekeringan tahun DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Peta sebaran wilayah Bogor bulan Juni Lampiran 2. Peta sebaran wilayah Bogor bulan Juli Lampiran 3. Peta sebaran wilayah Bogor bulan Agustus Lampiran 4. Peta sebaran wilayah Indramayu bulan Juni Lampiran 5. Peta sebaran wilayah Indramayu bulan Juli Lampiran 6. Peta sebaran wilayah Indramayu bulan Agustus Lampiran 7. Peta sebaran wilayah Malang bulan Juni Lampiran 8. Peta sebaran wilayah Malang bulan Juli Lampiran 9. Peta sebaran wilayah Malang bulan Agustus Lampiran 10. Peta sebaran wilayah Surabaya bulan Juni Lampiran 11. Peta sebaran wilayah Surabaya bulan Juli Lampiran 12. Peta sebaran wilayah Surabaya bulan Agustus Lampiran 13. Peta sebaran P. Jawa dan Bali bulan Juni Lampiran 14. Peta sebaran P. Jawa dan Bali bulan Juli Lampiran 15. Peta sebaran P. Jawa dan Bali bulan Agustus Lampiran 16. Sebaran 8 harian wilayah Bogor (Juni Agustus) Lampiran 17. Sebaran 8 harian wilayah Indramayu (Juni Agustus) Lampiran 18. Sebaran 8 harian wilayah Malang (Juni Agustus) Lampiran 19. Sebaran 8 harian wilayah Surabaya (Juni Agustus) Lampiran 20. Nilai dari Citra MODIS dengan Lapang Lampiran 21. Hubungan LST dengan Lapang Lampiran 22. Hubungan NDVI dengan LST Lampiran 23. Hubungan NDVI dengan Lapang Lampiran 24. Analisis sidik ragam antara LST Vs Lapang Bogor Lampiran 25. Analisis sidik ragam antara LST Vs Lapang Indramayu Lampiran 26. Analisis sidik ragam antara LST Vs Lapang Malang Lampiran 27. Analisis sidik ragam antara LST Vs Lapang Surabaya Lampiran 28. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan Lapang Bogor Lampiran 29. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan Lapang Indramayu Lampiran 30. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan Lapang Malang Lampiran 31. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan Lapang Surabaya Lampiran 32. Analisis sidik ragam MODIS dengan Lpg Bogor Lampiran 33. Analisis sidik ragam MODIS dengan Lpg Indramayu Lampiran 34. Analisis sidik ragam MODIS dengan Lpg Malang Lampiran 35. Analisis sidik ragam MODIS dengan Lpg Surabaya Lampiran 36. Data luas kekeringan (Ha) iv
6 Judul : Estimasi Evapotranspirasi Spasial Menggunakan Suhu Permukaan Darat (LST) Dari Data MODIS Terra/Aqua Dan Pengaruhnya Terhadap Kekeringan. Nama : Wahyu Ariyadi NRP : G Menyetujui Pembimbing 1 Yon Sugiarto, S. Si., M. Sc. IT. NIP Mengetahui Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. NIP Tanggal Lulus :
7 LAMPIRAN
8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1984, dari Ayah dan Ibu yang bernama R. Waseso dan Edi Budayanti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMUN 99 Cibubur Jakarta Timur pada tahun 2002, pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri, dan diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Program Studi Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama studi di IPB penulis aktif di himpunan keprofesian atau organisasi kemahasiswaan (HIMAGRETO) dan menjabat sebagai anggota Departemen Dana dan Kewirausahaan (DANUS) tahun ( , ). i
9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga laporan hasil penelitian (Skripsi) yang berjudul Estimasi Evapotranspirasi Spasial Menggunakan Suhu Permukaan Darat (LST) Dari Data MODIS Terra/Aqua Dan Pengaruhnya Terhadap Kekeringan dapat segera diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Geofisika dan Meteorologi Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada Allah Yang Maha Esa dan kepada Ayah, Ibu serta adikku yang tiada hentinya memberikan dorongan semangat dan motivasi serta yang selalu mendoakan keberhasilan penulis. Yon Sugiarto S.Si., M.Sc IT, yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penelitian ini, dosen penguji serta sebagai guru yang membimbing mahasiswanya dengan penuh kesabaran. Teman-teman angkatan 39, Lina, Ana, Basyar, Eko, Zainul, Deni, Samba, Sapta, Ridwan, Anton, Aprian, La Ode, Mian, Joko, Rudi, Hesti, Nana, Vivi, Lupi, Gian, Linda, Sasat, Dwi, Dwinita, Ani, Yohana, Ipit, Misna, Nida, Fio, Kiki, dan An-an beserta putri kecilnya. Segenap civitas GEOMET FMIPA, Pa Toro, Bu Indah, Aa Aziz, Pa Jun, Pa Pono, Mba Wanti, Mba Icha, Pa Kaerun, Pa Udin, serta seluruh staf dosen dan pengajar atas bimbingan dan kuliahnya selama ini. Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua kebaikan dan dukungan yang telah diberikan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Juli 2007 Wahyu Ariyadi ii
10 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena di atmosfer yang dapat dirasakan akibat adanya perubahan tutupan awan. Dikarenakan adanya fenomena itu, maka suhu permukaan dapat dijadikan suatu indikator untuk mengukur tingginya evapotranspirasi di wilayah tertentu. Pendugaan suhu permukaan dapat menggunakan teknologi penginderaan jauh (penginderaan jauh), karena metode ini memiliki kemampuan deteksi yang tak terbatas ruang dan waktu. Untuk memperoleh nilai pendugaan evapotranspirasi yang baik pemanfaatan penginderaan jauh juga diintegrasikan dengan pendekatan termodinamika serta data curah hujan yang terdapat di beberapa stasiun cuaca yang mewakili daerah tersebut. Di dalam penelitian ini suhu permukaan dapat diperoleh dari citra satelit MODIS Terra / Aqua. Satelit ini digunakan karena memiliki 36 kanal dengan berbagai fungsi yang menjadi ciri khasnya, dan satelit ini juga memiliki jangkauan yang berbeda beda, yaitu 250m, 500m, dan 1km. Citra satelit MODIS Terra / Aqua yang digunakan untuk menduga suhu permukaan beresolusi 1km x 1km. Penelitian untuk mengukur nilai evaporasi / evapotranspirasi di Indonesia belum dilakukan secara meluas dan seragam, serta masih tetap dikembangkan. Dikatakan bahwa pengukuran masih terbatas dilakukan di pulau Jawa, sedang diluar Jawa dengan areal 93% dari Indonesia, belum merata diukur dan hanya dilakukan pendugaan (Nasir, 1976 dalam Napitupulu, 1984). Di Indonesia hanya terdapat beberapa stasiun cuaca yang melakukan pengukuran evaporasi dan evapotranspirasi. Karena adanya keterbatasan jumlah stasiun stasiun cuaca yang melakukan pengukuran mengenai evaporasi dan evapotranspirasi di Indonesia, maka diharapkan dengan metode penginderaan jauh ini dapat dilakukan pendugaan evaporasi dan evapotranspirasi yang merupakan informasi penting dalam perkembangan bidang pertanian di Indonesia. Informasi mengenai evapotranspirasi sangat penting dalam pertanian. Karena evapotranspirasi merupakan salah satu unsur dalam kesetimbangan energi dan air. Evapotranspirasi merupakan unsur penting dalam keseimbangan air dan energi. Karena nilai evapotranspirasi bervariasi menurut ruang dan waktu, maka pemahaman mengenai distribusi merupakan faktor kunci dalam keberhasilan mengoptimalkan model keseimbangan air dan pengaturan air irigasi pertanian (Yang, 1994 dalam Khomarudin, 2003). Penelitian ini akan menduga nilai evapotransiprasi dari nilai suhu permukaan darat (LST) citra Modis Terra / Aqua, dan untuk mempelajari adanya pengaruh evaporasi / evapotranspirasi terhadap kekeringan di Pulau Jawa tahun Dari hasil penelitian ini diharapkan metode penginderaan jauh dapat dijadikan salah satu referensi untuk mengatasi keterbatasan dari stasiun stasiun cuaca dalam melakukan pengukuran serta pendugaan evaporasi dan evapotranspirasi di Indonesia Tujuan 1. Estimasi evapotranspirasi () spasial dengan suhu permukaan darat (LST) dari data MODIS Terra/Aqua. 2. Menganalisis hubungan antara evapotranspirasi dengan kekeringan Hasil yang diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk menduga nilai evapotranspirasi () yang dihitung dengan input berupa nilai LST dan NDVI menggunakan metode penginderaan jauh. Serta mempelajari hubungan antara evapotranspirasi dengan kekeringan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi dalam pendugaan nilai evapotranspirasi di berbagai wilayah di Indonesia dengan menggunakan metode penginderaan jauh. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Penginderaan Jauh dan Karakteristik Satelit MODIS TERRA / AQUA Sistem penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang sedang dikaji. Prinsip utama dari sistem penginderaan jauh adalah 1
11 interaksi gelombang elektromagnetik dengan permukaan bumi. Energi elektromagnetik yang mengenai suatu objek, akan mengalami tiga bentuk energi. Interaksi ke-3 jenis energi ini dapat ditulis dengan : ( λ ) = ER( λ ) + EA( λ ) ET( λ ) EI +...(1) Keterangan : EI (λ) = Energi EM yang diterima ER (λ) = Energi EM yang direfleksikan EA (λ) = Energi EM yang absorbsi ET (λ) = Energi EM yang ditransmisikan Gambar 1. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air (Lillesand and Kiefer, 1993) Modis adalah salah satu instrumen utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra Satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Satelit Terra diluncurkan pada Desember 1999 dan telah disempurnakan dengan satelit Aqua pada tahun MODIS mengorbit bumi secara polar pada ketinggian 705 km. lebar cakupan yang pada permukaan bumi setiap putarannya 2330 km. pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 kanal (36 interval panjang gelombang), mulai dari µm µm (1 µm = 1/1,000,000 meter). Untuk mengetahui karakteristik kanal kanal satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel Suhu Permukaan Suhu permukaan didefinisikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Suhu permukaan suatu objek tidak sama tergantung pada sifat fisik permukaan objek. Sifat fisik objek tersebut adalah emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas thermalnya rendah maka suhu permukaannya akan menurun, contohnya pada permukaan tubuh air. Sedangkan jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah dan konduktivitas thermalnya tinggi maka suhu permukaan akan meningkat, contohnya pada permukaan darat (Sutanto, 1994). Selanjutnya oleh Stefan-Boltzmann hubungan radiasi dengan suhu permukaan dinyatakan dalam rumus : F = ε σ T s 4...(2) Keterangan : F : Limpahan radiasi (MJ / m 2 / hari) ε : Emisivitas permukaan (ε =1, pada benda hitam) σ : Tetapan Stefan-Boltzmann (5.67*10-8 W/m 2 /K 4 ) T s : Suhu permukaan (K) 2. 3 NDVI NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) atau indeks vegetasi adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai 1. nilai ini menggambarkan bahwa semakin tinggi nilainya maka kondisi tanaman tampak subur dan rapat, sebaliknya jika nilainya semakin rendah maka kondisi tanaman kurang subur atau terjadi pembukaan lahan hutan maupun persawahan. NDVI merupakan indeks yang dibuat dengan berbagai asumsi dan tengantung pada ekstrasi nilai digital kanal dari citra satelit. Banyak faktor yang menyebabkan korelasi yang lemah antara NDVI dan vegetasi, seperti sudut radiasi surya, sudut pemantauan satelit, faktor-faktor atmosfer seperti debu (aerosol) dan uap air maupun faktor vegetasi itu sendiri seperti struktur kanopi (Asner, 2000) Evapotranspirasi Evaporasi adalah suatu jumlah maksimum dari air yang berhasil diubah ke dalam fase uap air, berlangsung pada suatu permukaan rata, datar dan basah yang dapat dicapai secara bebas oleh seluruh faktor faktor iklim (Robertson, 1955). Evapotranspirasi adalah kombinasi dari dua proses yaitu proses kehilangan air pada permukaan tanah yang disebut evaporasi dan proses kehilangan air dari tanaman (Allen, et al., 1998). Pada daerah bervegetasi, air diuapkan dari permukaan tanaman melalui jaringan 2
12 tanaman dengan proses fisiologi yang disebut transpirasi. Di alam proses evaporasi dan transpirasi terjadi bersama sama sehingga menimbulkan istilah yang disebut evapotranspirasi. Tabel 1. Karakteristik dan kegunaan umum kanal kanal satelit MODIS Kanal Reflektan (nm) Emisivitas (µm) Kegunaan Transformasi absolut penutupan lahan, vegetasi, klorofil vegetasi Jumlah awan, transformasi penutupan lahan Perbedaan tanah/vegetasi Vegetasi hijau Perbedaan kanopi/daun Perbedaan awan/salju Sifat awan, sifat permukaan Klorofil Klorofil Klorofil Klorofil Sedimen 13h Atmosfer, sedimen 13l Atmosfer, sedimen 14h Sebaran klorofil 14l Sebaran klorofil Sifat aerosol Sifat aerosol, sifat atmosfer Sifat atmosfer, sifat awan Sifat atmosfer, sifat awan Sifat atmosfer, sifat awan Suhu permukaan awan Kebakaran hutan dan gunung berapi Suhu awan, suhu permukaan Suhu awan, suhu permukaan Fraksi awan, suhu troposfer Fraksi awan, suhu troposfer Fraksi awan (Cirrus tipis), suhu troposfer Kelembaban troposfer bagian tengah Kelembaban troposfer bagian atas Suhu permukaan Ozon Suhu awan, kebakaran hutan dan gunung berapi, suhu permukaan Tinggi awan, kebakaran hutan dan gunung berapi, suhu permukaan Fraksi awan, tinggi awan Fraksi awan, tinggi awan Fraksi awan, tinggi awan Fraksi awan, tinggi awan (Sumber : LPDAAC.usgs.gov/modis/table2.asp) Laju evapotranspirasi suatu area ditentukan oleh dua kendali utama yaitu ketersediaan kelengasan pada permukaan dan kemampuan atmosfer untuk menguapkan dan memindahkan uap air ke atmosfer. Jika kelengasan selalu tersedia, kemudian evapotranspirasi akan terjadi pada laju maksimum yang memungkinkan pada lingkungannya dikenal dengan konsep evapotranspirasi potensial (). Menurut Handoko (1994) hubungan antara dengan evapotranspirasi standar yang 3
13 terukur dengan lysimeter (ETo) adalah ETo. Evapotranspirasi dipengaruhi oleh faktor faktor cuaca, jenis dan tingkat pertumbuhan vegetasi, serta kelengasan dan sifat fisik tanah. Faktor faktor cuaca yang menentukan adalah radiasi matahari, suhu dan kelembaban udara dan angin, yang secara umum berkorelasi positif dengan, kecuali kelembaban udara (Ward, 1975). Menurut De Vries dan Van Duin (1953) (dalam Ward, 1975), kecepatan angin dikatakan sebagai faktor sekunder untuk menentukan. Jackson (1977) mengemukakan bahwa evaporasi dipengaruhi oleh faktor meteorologi, termasuk didalamnya radiasi surya, suhu permukaan, evaporasi, selisih tekanan uap, kecepatan angin dan turbulensi udara. Radiasi surya merupakan sumber energi utama. Sedangkan Nieuwolt (1977) (dalam Sarvina, 2005) menyatakan bahwa evapotranspirasi dikendalikan oleh tiga kondisi, yaitu kapasitas udara untuk menampung lebih banyak uap air, jumlah energi yang tersedia dan digunakan dalam proses evaporasi dan transpirasi sebagai bahan laten, dan derajat turbulensi atmosfer bagian bawah yang dibutuhkan untuk memindahkan lapisan udara yang telah jenuh dengan uap air dekat permukaan dan menggantinya dengan udara yang belum jenuh. Data evapotranspirasi di lapang pada stasiun klimatologi tidak semuanya tersedia. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perhitungan evapotranspirasi dilakukan menggunakan persamaan empirik dari peneliti berdasarkan penelitian di lapang yang sudah divalidasi dan dapat digunakan untuk perhitungan evapotranspirasi. Nilai evapotranspirasi diduga dari unsur unsur iklim. Beberapa contoh model evapotranspirasi yang telah dikembangkan adalah persamaan Thornhtwaite (1984) hanya menggunakan suhu udara, persamaan Blaney Criddle (1950) menggunakan input suhu rata rata dan kecepatan angin bulanan, persamaan Penman (1948) menggunakan input suhu udara, radiasi surya, kecepatan angin dan kelembaban udara (Usman, 1996) Kekeringan Kekeringan memiliki beragam definisi, hal ini bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Kekeringan merupakan peristiwa meteorologi dan lingkungan yang ditunjukkan oleh ketiadaan hujan dalam periode waktu yang cukup lama, yang menyebabkan penurunan kelembaban tanah dan merusak tanaman. Periode waktu itu sendiri bergantung pada jenis tanaman, daya pegang air dan kondisi atmosfer yang mempengaruhi laju evaporasi dan transpirasi (Kramer, 1980 dalam Turyanti, 1995). Menurut Ventskevich (1961) (dalam Turyanti, 1995) yang menyatakan bahwa keadaan tersebut diikuti oleh suhu udara tinggi, kelembaban udara rendah dan kurangnya pasokkan air untuk kebutuhan tanaman Hubungan antara Evapotranspirasi () dengan Suhu Permukaan (Ts) Suhu merupakan salah satu parameter fisika lingkungan yang dipastikan akan mengalami perubahan sebagai akibat terjadinya perubahan iklim karena kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca. Suhu udara dan suhu permukaan yang berevaporasi mempunyai pengaruh nyata pada evapotranspirasi. Secara umum semakin tinggi suhu, seperti suhu udara maupun suhu permukaan, laju penguapan akan semakin besar. Karena besarnya ketergantungan evaporasi potensial terhadap suhu, karena suhu merupakan pengintegrasi beberapa variable lingkungan, suhu digunakan sebagai masukan utama sejumlah model untuk pendugaan evapotranspirasi. Suhu mempengaruhi evapotranspirasi melalui empat cara (Rosenberg et al, 1983 dalam Usman, 1996) yaitu 1) jumlah uap air yang dapat dikandung udara (atmosfer) meningkat secara eksponensial dengan naiknya suhu udara. Dengan begitu, peningkatan suhu menyebabkan naiknya tekanan uap permukaan yang berevaporasi, mengakibatkan bertambahnya defisit tekanan uap antara permukaan dengan udara sekitar. Keadaan demikian bertahan sepanjang suplai air mencukupi untuk tercapainya kejenuhan udara dekat permukaan evaporasi. Karena udara dapat menampung dan membawa uap air lebih banyak dengan naiknya suhu maka menyebabkan semakin besar defisit tekanan uap antara udara dengan permukaan, dan permintaan evaporasi udara bertambah (meningkat) dengan bertambah panasnya udara. 2) Udara yang panas dan kering dapat mensuplai energi ke permukaan. Laju penguapan bergantung pada jumlah energi 4
14 bahang yang dipindahkan, karena itu semakin panas udara semakin besar gradient suhu dan semakin tinggi laju penguapan. Di sisi lain, bila permukaan evaporasi yang lebih panas, akan lebih sedikit bahang terasa (sensible) yang diekstrak dari udara dan penguapan akan menurun. 3) Pengaruh lainnya suhu udara terhadap penguapan muncul dari kenyataan bahwa akan dibutuhkan lebih sedikit energi untuk menguapkan air yang lebih hangat. Jadi untuk masukan energi yang sama akan lebih banyak uap air yang dapat diuapkan pada air yang lebih hangat. 4) Suhu juga dapat mempengaruhi penguapan melalui pengaruhnya pada celah (lubang) stomata daun. Berkaitan dengan pengaruh suhu pada evapotranspirasi, Monteith dan Unsworth (dalam Usman, 1996) menerangkan bahwa penguapan akan meningkat atau menurun dengan suhu tergantung pada nilai awalnya, apakah lebih besar atau lebih kecil dari radiasi bersih, yaitu pada apakah permukaan lebih panas atau lebih dingin dari udara. 3. METODOLOGI 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lab Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, pada bulan Mei 2006 sampai Januari Bahan dan Alat Daerah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Pulau Jawa. Dan alat yang digunakan pada penelitian ini ialah sebagai berikut : Citra MODIS Terra / Aqua Pulau Jawa hari ke (2004). (sumber : LAPAN, NASA) Data pengukuran NDVI Pulau Jawa hari ke (2004). (sumber : LAPAN, NASA) Data luas kekeringan daerah Bogor, Indramayu dan Malang tahun (sumber : DepTan) Data curah hujan dan suhu bulanan dari 4 stasiun meteorologi di Pulau Jawa tahun 2004 (Baranangsiang Bogor, Indramayu Indramayu, Pujon Malang, dan Perak 1 Surabaya). (sumber : BMG, Dept. GFM) Hardware : PC (personal computer) dan Printer Software : ER Mapper, ArcView 3.3, Corel Draw 12 dan MS. Office Metode Penelitian Pengolahan Awal Data Satelit Untuk menduga kisaran suhu permukaan menggunakan data citra satelit dengan teknologi penginderaan jauh meliputi langkah langkah sebagai berikut : Koreksi Geometrik Koreksi geometrik merupakan tahapan pengolahan awal. Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki kerusakan atau pergeseran posisi piksel dan perbedaan ukuran piksel pada citra, karena ketidaksesuaian posisi lintang dan bujur yang sebenarnya. Setelah citra terkoreksi maka dapat dilakukan croping (pemotongan) pada daerah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan citra yang komposit atau bebas dari awan agar didapat nilai suhu permukaan yang baik. Kalibrasi Radiometrik Kalibrasi ini dilakukan untuk mengubah nilai digital (digital number) piksel menjadi albedo. Dalam penelitian ini tidak dilakukan kalibrasi radiometrik karena citra MODIS yang digunakan sudah terkoreksi secara radiometrik Pengolahan Lanjutan Data Satelit Ekstraksi Suhu Permukaan Menghitung suhu permukaan hanya dilakukan pada piksel yang bebas awan. Selanjutnya, perhitungan suhu permukaan pada piksel-piksel yang bebas awan. Dapat menggunakan algorithma sebagai berikut : T lst 1 = T31+ a1 + a2 ( T31 T 32) + a3 ( T31 T32) ( a + aw)( 1 ε ) + ( a + a W) Δε 4 5 (sumber : Sobrino dan El Kharraz, 2003) (3) Keterangan : a i = koefisien untuk LST MODIS (Tabel 2) W = total uap air di atmosfer ε = ( ε31 + ε32) 2, Δε = ε 31 ε 32 Tlst = suhu permukaan 5
15 Tabel 2. Koefisien untuk Algorithma LST satelit MODIS Algorithma T LST1 a a a a a a a (Sumber : Sobrino dan El Kharraz, 2003) Nilai suhu permukaan diambil menggunakan metode pengambilan regiondi sekitar lokasi stasiun pada citra MODIS. Hal ini dilakukan agar dapat memperoleh nilai suhu permukaan dan NDVI disekitar lokasi stasiun, agar nilainya memiliki faktor kesalahan yang kecil. Menduga Evapotranspirasi Untuk menduga nilai menggunakan teknologi penginderaan jauh terdapat beberapa metode perhitungan evapotranspirasi potensial yang di klasifikasikan dalam 5 kelas yaitu, metode radiasi, metode evaporasi, metode suhu udara, dan kombinasi (Khomarudin 2003). Terdapat dua model yang biasa digunakan untuk menduga evapotranspirasi, yaitu model Thornthwaite dan model Haergreaves. Kedua model ini dapat di gunakan dengan menggunakan dua variabel iklim, suhu dan radiasi. Perbandingan evapotranspirasi dari model Haergreaves dan Thronthwaite yang ditunjukkan oleh Narongrit dan Yasuoka pada tahun 2003, menjelaskan bahwa kedua model dapat dimanfaatkan pada musim hujan hingga awal musim panas. Dalam Narongrit dan Yasuoka tahun 2003 diperoleh hasil analisis regresi yang dapat digunakan untuk menduga ET, hasil regresinya dapat ditulis seperti berikut : ET = LST NDVI RS...(4) Model ini memiliki nilai nilai keakuratan mendekati 1 (R 2 = ). RS RS Model regresi ini digunakan Narongrit dan Yasuoka untuk menduga evapotransporasi pada sebuah lahan pertanian di negara Thailand. Di dalam penelitian ini juga dilakukan perbandingkan antara data evapotranspirasi potensial () yang didapat menggunakan penginderaan jauh dengan data perhitungan evapotranspirasi potensial () yang dihitung dengan metode Panci kelas A (Kp = 0.75). Untuk metode Panci kelas A, pendugaan nilai evapotranspirasi potensial () digunakan persamaan sebagai berikut: = Kp Eo...(5) Keterangan : = Evapotranspirasi Kp = Koef. Panci (0.75) Eo = Evaporasi Nilai evaporasi dibangkitkan menggunakan software Climatic Generator 2.0 dengan input berupa data rata rata curah hujan bulanan tahun Hubungan Kekeringan dengan Evapotranspirasi Evapotranspirasi sangat dipengaruhi oleh suhu permukaan darat (LST), jadi meningkatnya suhu yang disebabkan oleh pemanasan global dapat mempengaruhi nilai ET (Narongrit dan Yasuoka 2003). Fitter dan Hay (1991) (dalam Turyanti, 1995) menyatakan bahwa laju pertumbuhan sel tanaman dan effisiensinya akan maksimum jika turgor maksimum. Tekanan turgor itu sendiri ditentukan oleh masuknya air kedalam sel tanaman. Masuknya air kedalam sel tanaman melalui perakaran ditentukan oleh laju evapotranspirasi. Sehingga pada musim kemarau tumbuhan layu karena laju evapotranspirasi potensial meningkat sedangkan ketersediaan air menurun. Untuk mengidentifikasi potensi kekeringan dilakukan evaluasi antara data hasil pendugaan menggunakan penginderaan jauh dengan data yang diperoleh dari stasiun-stasiun cuaca di sekitar pulau Jawa. 6
16 Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 2004 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo NDVI LST Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi LST MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan *) = Hasil Bangkitan Gambar 2. Diagram alir penelitian 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Korelasi antara Suhu Permukaan Darat (LST) dengan Lapang Pengukuran suhu permukaan untuk menduga evapotranspirasi potensial di Pulau Jawa dilakukan pada siang hari, menggunakan Citra dari satelit MODIS Terra / Aqua. Untuk memperoleh nilai evapotranspirasi digunakan persamaan yang dikembangkan Narongrit dan Yasuoka dan telah digunakan untuk menduga nilai evapotranspirasi di negara Thailand. Untuk menduga evapotranspirasi menggunakan persamaan (13), dengan input suhu permukaan (LST) dan sebaran NDVI dari pengolahan Citra MODIS Terra / Aqua, sebaran NDVI dengan LST dapat dilihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa kisaran suhu permukaan di daerah Pulau Jawa bagian utara terlihat lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan bagian selatan. Dan sebagian besar wilayah timur Pulau Jawa memiliki kisaran suhu permukaan yang tinggi. Secara fisis hal ini disebabkan karena di bagian utara Pulau Jawa, memiliki dataran yang lebih rendah daripada daerah selatan Jawa. Dan suhu permukaan Pulau Jawa dan Bali yang terukur berada pada kisaran 280 K hingga 314 K, atau sekitar 7 C hingga 41 C. Berikut ini adalah hasil korelasi antara suhu permukaan dari Citra MODIS Terra / Aqua dengan nilai evapotranspirasi potensial () dibeberapa daerah di Pulau Jawa LST Vs Lapang Bogor y = x R 2 = Gambar 3. Sebaran LST di P. Jawa dan Bali LST Gambar 4. Hubungan nilai LST MODIS dengan lapang Bogor. 7
17 Nilai kisaran LST dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 4 secara berturut turut ialah C dan mm/8hari. Gambar 4 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1 C maka akan menyebabkan meningkatnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.7 mm/8 hari LST VS Lapang Indramayu y = x R 2 = LST Gambar 5. Hubungan nilai LST MODIS dengan lapang Indramayu. Nilai kisaran LST dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 5 secara berturut turut ialah C dan mm/8hari. Gambar 5 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1 C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 4.7 mm/8 hari LST Vs Lapang Malang y = x R 2 = LST Gambar 6. Hubungan nilai LST MODIS dengan lapang Malang. Nilai kisaran LST dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut turut ialah C dan mm/8hari. Gambar 6 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1 C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 1.6 mm/8 hari LST Vs Lapang Surabaya y = 1.802x R 2 = LST Gambar 7. Hubungan nilai LST MODIS dengan lapang Surabaya. Nilai kisaran LST dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 7 secara berturut turut ialah C dan mm/8hari. Gambar 7 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1 C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 6.1 mm / 8 hari. Tabel 3. Regresi LST MODIS dengan Lapang Daerah Regresi R 2 y = x Bogor Indramay u Malang y = x y = x Surabaya Y = 1.802x Dari Gambar 4, 5, 6 dan 7 dapat dikatakan bahwa korelasi antara suhu permukaan dari citra MODIS dengan evapotranspirasi potensial hasil pengukuran membentuk sebuah hubungan linier. Pada Tabel 3, korelasi antara nilai LST dan evapotranspirasi potensial () lapang menghasilkan nilai keeratan (R 2 ) yang cukup tinggi, yaitu berada pada kisaran 55% 67%. Nilai R 2 yang tertinggi ditunjukkan di Malang, sedangkan yang terendah di Bogor. Hubungan linier pada Gambar 4, 5, 6 dan 7, antara LST dengan Lapang menunjukkan bahwa terdapatnya hubungan antara suhu permukaan dengan evapotranspirasi. Nilai evapotranspirasi dipengaruhi oleh suhu permukaan (LST). Akan tetapi tingginya nilai evapotranspirasi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor LST, melainkan masih ada faktor faktor lainnya seperti kecepatan angin, tahanan vertikal dan kelembaban udara. Untuk wilayah yang berbatasan dengan laut, adanya pengaruh transfer uap 8
18 air antara daratan dan lautan yang terjadi bersama sama dengan angin darat dan angin laut mempengaruhi proses evapotranspirasi. Menurut Turner et al. (1985), menyatakan bahwa defisit tekanan uap air merupakan tenaga pendorong (driving force) untuk proses evapotranspirasi Korelasi antara NDVI dengan Lapang Untuk menduga nilai evapotranspirasi menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Narongrit dan Yasuoka pada empat daerah yang berbeda, membutuhkan input berupa nilai NDVI. Berikut ini adalah hubungan yang diperoleh antara NDVI dengan evapotranspirasi dari data lapang di beberapa daerah NDVI Vs Lapang Bogor y = x R 2 = NDVI Gambar 8. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan lapang Bogor. Nilai kisaran NDVI dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut turut ialah dan mm/8hari. Gambar 8 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.5 mm/8 hari. Di Bogor diperoleh bentuk linier yang berbeda dengan ketiga wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan Bogor memiliki topografi yang berbeda dengan ketiga daerah lain NDVI Vs Lapang Indramayu y = x R 2 = NDVI Gambar 9. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan lapang Indramayu. Nilai kisaran NDVI dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 9 secara berturut turut ialah dan mm/8hari. Gambar 9 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 1.05 mm/8 hari NDVI Vs Lapang Malang y = x R 2 = NDVI Gambar 10. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan lapang Malang. Nilai kisaran NDVI dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 11 secara berturut turut ialah dan mm/8hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.4 mm/8 hari NDVI Vs Lapang Surabaya y = x R 2 = NDVI Gambar 11. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan lapang Surabaya. Nilai kisaran NDVI dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 11 secara berturut turut ialah dan mm/8hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.8 mm/8 hari. Tabel 4. Regresi NDVI dengan lapang Daerah Regresi R 2 Bogor y = x Indramay y = x
19 u Malang y = x Surabaya y = x Dari hubungan antara NDVI dengan nilai evapotranspirasi hasil pengukuran di tiap stasiun diperoleh nilai keakuratan yang sangat rendah. Pada Tabel 4, nilai keeratan yang rendah dari hubungan antara NDVI dan evapotranspirasi dikarenakan tidak hanya dipengaruhi oleh NDVI saja, tetapi perlu adanya faktor lainnya yaitu keadaan atmosfer. Karena tinggi rendahya sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca Korelasi antara Lapang dengan dari Citra MODIS Hasil yang diperoleh dari korelasi antara nilai evapotranspirasi potensial () dari Citra MODIS Terra / Aqua dengan nilai evapotranspirasi potensial () melalui metode lapang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Regresi lapang dengan MODIS Daerah Regresi R 2 y = x Bogor Indramay u Malang Surabaya y = x y = x y = x Tabel 5 menunjukkan korelasi nilai dari Citra Satelit MODIS Terra / Aqua dengan nilai lapang. Untuk wilayah Bogor ialah , wilayah Indramayu , Malang , dan Surabaya adalah MOD Vs Lapang Bogor y = x R 2 = Gambar 12. Hubungan nilai lapang vs MODIS Bogor. Nilai kisaran MODIS dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 12 secara berturut turut ialah mm/8hari dan mm/8hari. Gambar 12 juga menjelaskan bahwa MODIS meningkat sebesar 1 mm/8hari maka akan nilai evapotranspirasi potensial di lapang meningkat sebesar 2.1 mm/8 hari MOD VS Lapang Indramayu y = x R 2 = MOD Gambar 13. Hubungan nilai lapang dengan MODIS Indramayu. Nilai kisaran MODIS dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut turut ialah mm/8hari dan mm/8hari. Gambar 13 juga menjelaskan bahwa apabila MODIS meningkat sebesar 1 mm/8hari maka akan menyebabkan naiknya yang terukur di lapang sebesar 2.1 mm/8 hari MOD Vs Lapang Malang y = x R 2 = MOD Gambar 14. Hubungan nilai lapang vs MODIS Malang. Nilai kisaran MODIS dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 14 secara berturut turut ialah mm/8hari dan mm/8hari. Gambar 14 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 1 mm/8hari maka nilai evapotranspirasi potensial yang terukur di lapang akan meningkat sebesar 1.5 mm/8 hari MOD 10
20 MOD Vs Lapang Surabaya y = x R 2 = MOD Gambar 15. Hubungan nilai lapang vs MODIS Surabaya. Nilai kisaran MODIS dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 15 secara berturut turut ialah mm/8hari dan mm/8hari. Gambar 15 juga menjelaskan bahwa apabila yang terukur dengan MODIS meningkat 1 mm/8hari maka akan nilai evapotranspirasi potensial yang terukur di lapang meningkat sebesar 9.6 mm/8 hari. Dari korelasi yang dihasilkan antara MODIS dengan lapang, di empat daerah dengan ketinggian berbeda. Diperoleh empat nilai keeratan (R 2 ) yang cukup tinggi (55 % < R 2 < 65 %). Hal ini menunjukkan adanya kedekatan antara nilai MODIS dengan nilai dari hasil perhitungan lapang. Dengan nilai keeratan yang berada pada kisaran 55 % 65 %, maka persamaan yang dikembangkan oleh Narongrit dan Yasuoka dapat digunakan untuk menduga evapotranspirasi di wilayah Indonesia. Tetapi agar hasil pendugaan evapotrnaspirasi lebih optimal maka perlu memodifikasi persamaan tersebut Analisis Hubungan Evapotranspirasi dengan Kekeringan Data luas kekeringan ketiga daerah ini didasarkan oleh adanya lahan pertanian di daerah tersebut. Surabaya tidak termasuk dikarenakan karena didaerah tersebut tidak terdapat lahan pertanian. Tabel 6. Data CH, MODIS, lapang dan Luas kekeringan. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa intensitas curah hujan lebih banyak terjadi di Bogor, pada bulan Juli sebesar mm/bln. Sedangkan curah hujan yang terjadi di dua kota lainnya jauh lebih rendah dari Bogor. Terdapatnya perbedaan intensitas terjadinya curah hujan ini dapat dikatakan bahwa kapasitas air tanah di Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas air tanah di daerah Indramayu dan Malang. Pada bulan Agustus, di daerah Indaramayu terjadi bencana kekeringan terluas dibanding Bogor dan Malang. Bencana kekeringan yang terjadi mencapai 846 Ha, Bogor seluas 13 Ha dan Malang seluas 5 Ha. Lalu hasil pendugaan evapotranspirasi baik melalui penginderaan jauh dan metode panci kelas A, menunjukkan bahwa evapotranspirasi potensial paling besar terjadi di Bogor pada bulan Agustus sebesar 71.7 mm/bln dan mm/bln. Dengan hasil yang diperoleh pada Tabel 6, maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara evapotranspirasi potensial dengan pengaruh terjadinya kekeringan memiliki keeratan yang rendah. Sehingga untuk menduga terjadinya kekeringan di suatu tidak dapat diduga hanya dengan mengukur tingginya evapotranpirasi potensial, tetapi diperlukan faktor faktor lainnya, seperti sistem irigasi, jenis tanaman, jenis tanah, kapasitas air tanah, suhu, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk daerah Indramayu yang terkena bencana kekeringan paling luas, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Seperti rendahnya curah hujan, suhu yang tinggi, dan adanya pengaruh dari sistem irigasi. Karena kurangnya keterangan mengenai sistem irigasi di Inderamayu maka dalam penelitian ini tidak membahas sistem irigasi secara mendalam. Dari Tabel 6 dapat dikatakan bahwa pengaruh terjadinya kekeringan dengan evapotranspirasi potensial tidak berkaitan secara langsung. Tahun Daerah Bulan CH MOD Lapang L. Kekeringan (mm/bln) (mm/bln) (mm/bln) (Ha) Juni Bogor Juli Agustus Juni Indramayu Juli Agustus Malang Juni
21 Juli Agustus
22 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa evapotranspirasi dapat diduga menggunakan metode penginderaan jauh, dengan menggunakan input berupa suhu permukaan dan NDVI yang diperoleh dari citra satelit MODIS Terra / Aqua. Nilai keeratan yang diperoleh dalam penelitian ini cukup tinggi, yaitu berkisar antara 55 % 65 %. Hal ini dikarenakan metode pendugaan evapotranspirasi hanya mempergunakan fungsi suhu permukaan dan NDVI, sehingga nilai keakuratan untuk menduga evapotranspirasi () di tiap daerah kurang maksimal. Dalam penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi akan semakin tinggi kearah timur. Hal ini sesuai dengan hasil pernyataan Suharsono (1989). bahwa evaporasi pada musim kemarau (juni - Agustus) semakin ke timur maka nilai evaporasi tahunannya semakin bertambah besar. Ini dikarenakan wilayah timur memiliki curah hujan yang rendah, sehingga radiasi surya yang besar digunakan untuk memanaskan permukaan dan udara. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa evapotranspirasi bukan merupakan satu satunya unsur meteorologi yang mempengaruhi terjadinya kekeringan. Sehingga korelasi antara evapotranspirasi potensial dengan pengaruh terjadinya kekeringan memiliki keeratan yang rendah. Dalam hal ini proses evapotranspirasi potensial lebih dipengaruhi oleh keadaan atmosfer, dan merupakan salah satu faktor tidak langsung pada suatu kejadian kekeringan. Secara keseluruhan dari penelitian ini, metode pendugaan evapotranspirasi () dengan konsep penginderaan jauh dapat dijadikan salah satu referensi dalam menduga nilai Saran Untuk menduga nilai Evapotranspirasi menggunakan metode penginderan jauh perlu menambah jumlah data pengukuran lapang sebagai referensi, dan menggunakan persamaan regresi yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan keadaan iklim serta topografi di wilayah kajian agar dapat memperoleh hasil pendugaan yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Asner, G.P Ecosystems and The Carbon Cycle. Terrestrial Carbon Cycle Models : Principles and Approaches. Campbell, G. S., 1977 An Introduction to Ennvironmental Biophysics. New York. 159p. Handoko Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Khomarudin, M.R Estimasi Evapotranspirasi dengan Pendekatan Penginderaan Jauh. Program Studi Agroklimatologi. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Khomarudin, M.R Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Lillesand, T.M. dan Kiefer, R.W Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Terjemahan, cetakan kedua). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Monteith, J. L., Principles of Environmental Physics. New York. American Elsevier. Napitupulu, B Telaah Pengukuran dan Pendugaan Evapotranspirasi Potensial (EP) di Ciledug Jakarta. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Narongrit, C., and Yasuoka, Y The Use of Terra-MODIS Data for Estimating Evapotranspiration and Its Change Caused By Global Warming. Environmental Informatics Archives, Vol 1(2003), ISEIS. Nath, A.N Retrieval Of Sea Surface Temperature Using NOAA- AVHRR Data For Identification Of Potential Fishing Zones Dissemination And Validation. 13
23 Lecture Notes International Workshop On Application Of Satelite Penginderaan jauh For Identifying And Forecasting Potential Fishing Zones In Developing Countries, Hyderabad. India, 7-11 December Robertson, G.W., The Standardization of Measurement of Evaporation as Climatic Factor. World Meteorological Organization. Technical Notes No. 11. Geneva. Sobrino, J. A. El Kharraz, and Li, Z-L Surface temperature and water vapour retrieval from MODIS data. Intl. J. Remote Sensing. 24 (24) Suharsono, H Evaporasi dan Neraca Air di Pulau Jawa. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Sutanto Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Tasumi, Evapotranspiration Estimation From Satellite Imagery. Department of Agricuture Engineering. University of Idaho. USA. Turner, N. C., Schulze, E. D., and Gollan, T The Responses of Stomata and Leaf Gas Exchange to Vapour Pressure Deficits and Soil Water Content. I. Spesies Comparisons at High Soil Water Contents. Oecologia, 63 : Turyanti, A Sebaran Indeks Kekeringan Wilayah Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Usman Analisis Kepekaan Beberapa Metode Pendugaan Evapotranspirasi Potensial terhadap Perubahan Iklim. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Ward, R. C Principles of Hydrology. McGraw Hill. Co. Ltd. London. Warlina, L Distribusi Evapotranspirasi Potensial Wilayah Pulau Jawa. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. http ://LPDAAC.csgs.gov/modis/table2.asp 14
24 Lampiran 1. Peta sebaran wilayah Bogor bulan Juni 2004 Lampiran 2. Peta sebaran wilayah Bogor bulan Juli
25 Lampiran 3. Peta sebaran wilayah Bogor bulan Agustus 2004 Lampiran 4. Peta sebaran wilayah Indramayu bulan Juni
26 Lampiran 5. Peta sebaran wilayah Indramayu bulan Juli 2004 Lampiran 6. Peta sebaran wilayah Indramayu bulan Agustus
27 Lampiran 7. Peta sebaran wilayah Malang bulan Juni 2004 Lampiran 8. Peta sebaran wilayah Malang bulan Juli
28 Lampiran 9. Peta sebaran wilayah Malang bulan Agustus 2004 Lampiran 10. Peta sebaran wilayah Surabaya bulan Juni
29 Lampiran 11. Peta sebaran wilayah Surabaya bulan Juli 2004 Lampiran 12. Peta sebaran wilayah Surabaya bulan Agustus
30 Lampiran 13. Peta sebaran P. Jawa dan Bali bulan Juni
31 Lampiran 14. Peta sebaran P. Jawa dan Bali bulan Juli
32 Lampiran 15. Peta sebaran P. Jawa dan Bali bulan Agustus
33 Bogor 8 harian ke 153 Bogor 8 harian ke 161 Bogor 8 harian ke 169 Bogor 8 harian ke 177 Bogor 8 harian ke 185 Bogor 8 harian ke 193 Bogor 8 harian ke 201 Bogor 8 harian ke 209 Bogor 8 harian ke 217 Bogor 8 harian ke 225 Bogor 8 harian ke 233 Bogor 8 harian ke 241 Lampiran 16. Sebaran 8 harian wilayah Bogor (Juni Agustus) 2004 Bogor 8 harian ke
34 Indramayu 8 harian ke 153 Indramayu 8 harian ke 161 Indramayu 8 harian ke 169 Indramayu 8 harian ke 177 Indramayu 8 harian ke 185 Indramayu 8 harian ke 193 Indramayu 8 harian ke 201 Indramayu 8 harian ke 209 Indramayu 8 harian ke 217 Indramayu 8 harian ke 225 Indramayu 8 harian ke 233 Indramayu 8 harian ke 241 Lampiran 17. Sebaran 8 harian wilayah Indramayu (Juni Agustus) 2004 Indramayu 8 harian ke
35 Malang pada hari ke 153 Malang pada hari ke 161 Malang pada hari ke 169 Malang pada hari ke 177 Malang pada hari ke 185 Malang pada hari ke 193 Malang pada hari ke 201 Malang pada hari ke 209 Malang pada hari ke 217 Malang pada hari ke 225 Malang pada hari ke 233 Malang pada hari ke 241 Lampiran 18. Sebaran 8 harian wilayah Malang (Juni Agustus) 2004 Malang pada hari ke
36 Surabaya 8 harian ke 153 Surabaya 8 harian ke 161 Surabaya 8 harian ke 169 Surabaya 8 harian ke 177 Surabaya 8 harian ke 185 Surabaya 8 harian ke 193 Surabaya 8 harian ke 201 Surabaya 8 harian ke 209 Surabaya 8 harian ke 217 Surabaya 8 harian ke 225 Surabaya 8 harian ke 233 Surabaya 8 harian ke 241 Lampiran 19. Sebaran 8 harian wilayah Surabaya (Juni Agustus) 2004 Surabaya 8 harian ke
ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI
ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA
1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan
Lebih terperinciESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI
ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)
xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh
Lebih terperinciIndeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada
Lebih terperinciMETODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN
METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian
PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat
Lebih terperinciLampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997
LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan
Lebih terperinciBAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya
Lebih terperinciGambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang
Lebih terperinciESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI
ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode
Lebih terperinciANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)
ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) Oleh : Dawamul Arifin 3508 100 055 Jurusan Teknik Geomatika
Lebih terperinci1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun
Lebih terperinciLampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.
LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,
Lebih terperinci(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN
PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN
Lebih terperinciEvapotranspirasi. 1. Batasan Evapotranspirasi 2. Konsep Evapotranspirasi Potensial 3. Perhitungan atau Pendugaan Evapotranspirasi
Evapotranspirasi 1. Batasan Evapotranspirasi 2. Konsep Evapotranspirasi Potensial 3. Perhitungan atau Pendugaan Evapotranspirasi Departemen Geofisika dan Meteotologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Lebih terperinciIDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI
IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN
Lebih terperinciPENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG
Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air tanaman adalah banyaknya air yang dibutuhkan tanaman untuk membentuk jaringan tanaman, diuapkan, perkolasi dan pengolahan tanah. Kebutuhan
Lebih terperinciANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO
ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:
Lebih terperinciPemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)
Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik
Lebih terperinciPENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)
PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) ANDIKA PRAWANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA
Lebih terperinciBAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL
BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.
Lebih terperinciANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16
ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Lebih terperinciVARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI
VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI iii MOTTO iv DEDIKASI v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI viii DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiv DAFTAR
Lebih terperinciNilai Io diasumsikan sebagai nilai R s
11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara
Lebih terperinciJURUSAN TEKNIK & MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
Kompetensi dasar Mahasiswa mampu melakukan analisis evapotranspirasi pengertian dan manfaat faktor 2 yang mempengaruhi evapotranspirasi pengukuran evapotranspirasi pendugaan evapotranspirasi JURUSAN TEKNIK
Lebih terperinciESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS
ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS M. Rokhis Khomarudin 1, Orta Roswintiarti 1, dan Arum Tjahjaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia
Lebih terperinciix
DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288
Lebih terperinciANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT
ANALISIS TINGKAT SERANGAN WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal.) BERDASARKAN FAKTOR IKLIM (Studi Kasus : 10 Kabupaten Endemik di Provinsi Jawa Barat) SYAHRU ROMADHON G24103044 DEPARTEMEN GEOFISIKA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera
Lebih terperinciKEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?
KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak
Lebih terperinciPOTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI
POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
52 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS pada Wilayah Penelitian 5.1.1 Gambaran Umum Data Land Surface Temperature (LST) MODIS LST MODIS merupakan suatu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air
TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.
Lebih terperinciDISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E
DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satu dari komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia selain padi dan jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki arti penting
Lebih terperinciLOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya
PEMBAHASAN 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya Pemetaan Geomorfologi,NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah Pemetaan Geomorfologi
Lebih terperinciIII. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya
Lebih terperinciANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G
ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA
Lebih terperinciEvapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri
Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri 1 Evapotranspirasi adalah. Evaporasi (penguapan) didefinisikan sebagai peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan
Lebih terperinciPENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)
PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) EKO SUPRIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA
Lebih terperinciANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN
ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciSTUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI
STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinci1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial
Unsur-unsur Iklim 1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran - 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Puncak Atmosfer ( 100 km ) Tekanan Udara
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme
Lebih terperinciPEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu
BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama
Lebih terperinciIV. PENGUAPAN (EVAPORATION)
IV. PENGUAPAN (EVAPORATION) Penguapan (E) merupakan suatu proses berubahnya molekul air di permukaan menjadi molekul uap air di atmosfer. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap besarnya penguapan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan
Lebih terperinciOleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi
Lebih terperinciEVALUASI KEBUTUHAN AGROKLIMAT TANAMAN MELON (Cucumis melo L.) DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA DI JAWA BARAT SAMBA WIRAHMA G
EVALUASI KEBUTUHAN AGROKLIMAT TANAMAN MELON (Cucumis melo L.) DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA DI JAWA BARAT SAMBA WIRAHMA G24102025 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciSTUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS
STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat
Lebih terperinciLuas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetimbangan radiasi pada vegetasi hutan adalah ρ + τ + α = 1, di mana α adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun,
Lebih terperinciKajian Hidro-Klimatologi Daerah Cirebon-Indramayu-Majalengka- Kuningan (Ciayu Majakuning)
Jurnal Biologi Indonesia 5 (3):355-361 (2009) Kajian Hidro-Klimatologi Daerah Cirebon-Indramayu-Majalengka- Kuningan (Ciayu Majakuning) Dodo Gunawan Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Meteorologi
Lebih terperinciHIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)
HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1.PANCARAN RADIASI SURYA Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan
Lebih terperinciHidrometeorologi. Pertemuan ke I
Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA...
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara
Lebih terperinciANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR
ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI
Lebih terperinciDISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+
DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI
Lebih terperinciRANCANGAN DAM UJI COBA LlSlMETER PORTABEL TiPE HlDRQlblK
RANCANGAN DAM UJI COBA LlSlMETER PORTABEL TiPE HlDRQlblK Oleh F A L A H U D I N F 23. 0217 1991 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R Falahudin. F 23.0217. Rancangan dan Uji Coba
Lebih terperinciIII. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen
7 radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi. Kebutuhan
Lebih terperinciPENYUSUNAN MODEL SPASIAL UNTUK MEMPREDIKSI PENYEBARAN MALARIA (STUDI KASUS KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT) FIOLENTA MARPAUNG
PENYUSUNAN MODEL SPASIAL UNTUK MEMPREDIKSI PENYEBARAN MALARIA (STUDI KASUS KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT) FIOLENTA MARPAUNG DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada
Lebih terperinciPemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas
Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k
Lebih terperinciKARAKTERISTIK SIKLON TROPIS SEKITAR INDONESIA AN-AN MUSTIKA
KARAKTERISTIK SIKLON TROPIS SEKITAR INDONESIA AN-AN MUSTIKA DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KARAKTERISTIK SIKLON TROPIS
Lebih terperinciSENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO YANUAR MURIANTO
SENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO YANUAR MURIANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
Lebih terperinciAPLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO
APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Awan berpengaruh terhadap terhadap keseimbangan energi di atmosfer melalui proses penyerapan, pemantulan, dan pemancaran energi matahari. Awan memiliki ciri tertentu
Lebih terperinciDAFTAR ISI. 1.2 RUMUSAN MASALAH Error Bookmark not defined. 2.1 UMUM Error Bookmark not defined.
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN MOTTO KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI ABSTRAK BAB IPENDAHULUAN DAFTAR ISI halaman i ii iii iv v vii
Lebih terperinciSTAF LAB. ILMU TANAMAN
STAF LAB. ILMU TANAMAN Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman Suhu berkorelasi positif dengan radiasi mata hari Suhu: tanah maupun udara disekitar
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam
Lebih terperinciAnalisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b
Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi
Lebih terperinciKAJIAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL STANDAR PADA DAERAH IRIGASI MUARA JALAI KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU
Kajian Evapotranspirasi Potensial Standar Pada Daerah Irigasi Muara Jalai KAJIAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL STANDAR PADA DAERAH IRIGASI MUARA JALAI KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU Djuang Panjaitan Abstrak
Lebih terperinciGenerated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN
23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi
Lebih terperinciBAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan
5 Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Lahan Albedo (Unitless) Min Max Mean Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur 0.051 0.065 0.053 Karet
Lebih terperinciTIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan
Materi #10 Pengertian 2 Global warming atau pemanasan global adalah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global permukaan bumi telah 0,74 ± 0,18 C (1,33 ±
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya jumlah curah hujan di bawah normal pada suatu periode atau biasa disebut dengan kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama yang selanjutnya mulai
Lebih terperinciPemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)
Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Nurul Aini Dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas
Lebih terperinciGambar 1. Peta DAS penelitian
Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume
Lebih terperinciBAB III DATA DAN METODOLOGI
BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya
Lebih terperinciGambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.
11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan
Lebih terperinciANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN
ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN Jonizar 1,Sri Martini 2 Dosen Fakultas Teknik UM Palembang Universitas Muhammadiyah Palembang Abstrak
Lebih terperinciBAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN
BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang
Lebih terperinci