V KESESUAIAN KAWASAN UNTUK PERMUKIMAN DI DAS CILIWUNG HULU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V KESESUAIAN KAWASAN UNTUK PERMUKIMAN DI DAS CILIWUNG HULU"

Transkripsi

1 91 V KESESUAIAN KAWASAN UNTUK PERMUKIMAN DI DAS CILIWUNG HULU 5.1. Pendahuluan Pembangunan berkelanjutan bertumpu pada kemampuan daya dukung lingkungan (Rees 1996; Khanna et al. 1999; Richard 2002). Lahan adalah salah satu sumber daya alam yang sering dipakai untuk menentukan daya dukung lingkungan (Rees 1996; Richard 2002). Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat akan meningkatkan kebutuhan lahan permukiman, sehingga luas lahan permukiman semakin membesar, sedangkan luas lahan yang sesuai untuk permukiman terbatas, akibatnya daya dukung lingkungan terlampaui Daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu berfungsi sebagai pengatur tata air bagi keseluruhan DAS. Sejalan dengan hal tersebut, tujuan pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan untuk menjamin berlangsungnya fungsi ekologi DAS. Berdasarkan karakteristik fisik lingkungan, diperkirakan daya dukung lingkungan DAS Ciliwung hulu untuk permukiman terbatas. Hal tersebut ditunjukkan oleh penelitian Syartinilia et al.(2006) di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua luas lahan yang tidak potensial untuk dijadikan kawasan lindung (non potential protection area) atau kawasan yang dapat dijadikan kawasan budidaya sebesar 15,70% dari luas tiga kecamatan tersebut. Oleh karena itu sejalan dengan tujuan pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu, maka pengembangan kawasan permukiman harus diselaraskan dengan daya dukung lingkungan DAS untuk permukiman. DAS Ciliwung hulu mengalami perkembangan permukiman yang pesat, luas lahan permukiman meningkat 5 kali lipat dari 3,96% tahun 1992, menjadi 20,17% tahun Perkembangan permukiman di DAS Ciliwung hulu selain pesat juga cenderung kurang terkendali, permukiman tidak hanya berlokasi di kawasan permukiman, tetapi juga di kawasan yang seharusnya berfungsi lindung

2 92 yaitu di hutan lindung dan sempadan sungai. Perkembangan kawasan permukiman di DAS Ciliwung yang pesat dan kurang terkendali, dikhawatirkan akan melampaui daya dukung lingkungan DAS. Pembangunan permukiman yang melebihi daya dukung dapat menjadi pemicu terjadinya degradasi DAS. Salah satu penyebab terjadinya degradasi DAS adalah pemanfaatan lahan dari segi lokasi maupun alokasi tidak sesuai dengan daya dukung DAS (Weng 2002: Loi 2006). Degradasi DAS diperlihatkan oleh longsor, lahan kritis, erosi dan limbah permukiman. Longsor antara lain di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua tahun 2007, tahun 2009 terjadi longsor di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung dan tahun 2010 kembali terjadi longsor di Desa Megamendung dan Desa Cipayung Kecamatan Megamendung serta di Desa Leuwimalang Kecamatan Cisarua. Lahan kritis sebesar 4.119,90 ha di Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung tahun 2001 (Sabar 2004); erosi sebesar 247,28 ton/ha/tahun 2001 menjadi 443,21 ton/ha/tahun pada tahun 2002 (Qodariah 2004). Akibat mengalami degradasi, fluktuasi debit sungai Ciliwung membesar, dan sedimentasi meningkat. Fluktuasi debit sungai Ciliwung di Bendung Katulampa cenderung membesar dari 127,90 m 3 /detik tahun 1990, menjadi 518,82 m 3 /detik tahun 2002 (Kadar 2003). Sedimentasi 19,7 ton/ha/tahun (2001) menjadi 36,96 ton/ha/tahun (2002) (Qodariah et al. 2004). Dampak selanjutnya adalah banjir pada saat musim hujan dan pasokan air berkurang pada saat musim kemarau, serta kualitas air menurun akibat pencemaran oleh limbah permukiman. Kontribusi DAS Ciliwung hulu terhadap banjir di wilayah Jakarta sebesar 43,2% tahun 1981, meningkat menjadi 50,7% tahun 1999 (Irianto 2000). Kualitas air menurun dari 95 WQI tahun 1995 menjadi 70,65 WQI tahun 2005 (Fachrul et al. 2005). Konsep daya dukung sebagai operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan, selain memperhitungkan seberapa besar populasi yang dapat didukung oleh suatu sumberdaya, juga memperhitungkan dimana mereka akan dialokasikan (Khanna et al. 1999). Oleh karena itu, untuk mengetahui daya dukung lingkungan DAS, perlu dianalisis alokasi lahan permukiman dan lokasi

3 93 kawasan yang sesuai untuk permukiman dan jumlah penduduk yang dapat ditampung oleh kawasan permukiman tersebut. Pengelolaan permukiman, selain menata juga mengendalikan dan mengawasi perkembangan kawasan permukiman. Pengendalian dan pengawasan, memerlukan evaluasi terhadap implementasi RTRW dan keselarasannya terhadap hasil analisa kawasan untuk permukiman; serta keselarasan pemanfaatan lahan eksisting terhadap hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dipakai untuk mengevaluasi kawasan permukiman (Ligtenberg et al. 2004; Syartinilia et al. 2006; Saroinsong et al. 2006;). Kelebihan SIG adalah kemampuannya menangani kompleksitas dan volume basis data yang besar secara efisien, serta mampu memvisualisasikan hasil secara efektif sehingga mudah dimengerti oleh pengguna (Shasko dan Keller 1989; Mustafa et al. 2005). Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian adalah mengetahui kesesuaian kawasan untuk permukiman. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman; penilaian keselarasan antara RTRW dengan kesesuaian kawasan untuk permukiman; penilaian keselarasan antara tutupan lahan eksisting dengan kesesuaian kawasan untuk permukiman; serta penilaian keselarasan antara RTRW dengan tutupan lahan eksisting Data Kawasan Permukiman Jenis dan Sumber Data Data yang dipakai dalam penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa sampel data untuk mengecek hasil interpretasi citra sesuai atau tidak dengan kenyataan di lapangan. Data yang diambil sebanyak 49 titik diperoleh melalui observasi lapangan. Data sekunder berupa peta-peta digital diperoleh dari berbagai instansi, seperti Bakosurtanal, Bapeda Kabupaten Bogor, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor, PPLH-IPB, BP DAS Citarum-Ciliwung, dan Biotrop.

4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer berupa sampel data dilakukan dengan cara mencatat koordinat tutupan lahan di lapangan dengan GPS. Titik-titik pengecekan berjumlah 49 titik, ditentukan secara purposive terdiri atas 6 klasifikasi tutupan lahan yang tersebar di Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung dan Sukaraja. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kunjungan ke instansi, telaah dokumen dan literatur, serta mengunduh dari media elektronik. Data sekunder terdiri atas peta-peta digital yaitu: Rupa Bumi Indonesia (RBI), jenis tanah, curah hujan, Koordinat DAS Ciliwung hulu, tutupan lahan tahun 1992, 1995, 2000, Citra tahun 2006, indeks konservasi alami, lahan kritis tahun 2006, rawan longsor, izin lokasi tahun 2005, RTRW Kabupaten Bogor dan Selanjutnya data yang dipergunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Data Kawasan Permukiman, Sumber dan Kegunaan Data Sumber Kegunaan Jenis Data : Primer 1. Sampel data untuk pengecekan citra. Observasi lapangan Kesesuaian analisis citra di lapangan. Jenis Data : Sekunder 1. Rupa Bumi lembar , Skala 1: Bakosurtanal Peta dasar bagi pembuatan peta analisis 2. Batas DAS Ciliwung hulu skala PPLH IPB/ Biotrop Deliniasi DAS Ciliwung hulu. 1: Curah hujan, skala 1: PPLH IPB Analisis kawasan budidaya 4. Kemiringan lereng, skala 1: RBI Analisis kws budidaya dan tapak permukiman 5. Ketinggian tempat, skala 1: RBI Analisis kws budidaya dan tapak permukiman 6. Jenis tanah, skala 1: BP DAS Citarum- Ciliwung Analisis kawasan budidaya 7. Bencana longsor, skala 1: BP DAS Citarum Ciliwung Analisis permukiman berada di kws aman dari bencana 8 Jaringan sungai, skala 1: RBI Menentukan sempadan sungai 9. RTRW Kabupaten Bogor dan , 1: Bapeda Kab Bogor Analisis keselarasan kws permukiman thd RTRW 10. Citra landsat ETM 2006 path /raw Biotrop Analisis keselarasan tutupan lahan eksisting terhadap RTRW; analisis keselarasan tutupan lahan ekisting 11. Izin Lokasi tahun 2005 Skala 1: Din. Tata Ruang & pertanahan Kab Bogor thd. kesesuaian kws permukiman. Analisis keselarasan izin lokasi terhadap RTRW

5 95 Data Sumber Kegunaan Dinas Tata Ruang dan pertanahan Kab Bogor 12. Indeks konservasi Alami (IKa) Skala 1: Penyebaran lahan kritis Skala 1: Dinas Tata Ruang dan pertanahan Kab Bogor. Analisis kesesuaian kws permukiman terhadap IKa Analisis lokasi permukiman eksisting terhadap lahan kritis Metode Analisis Analisis Kesesuaian Kawasan Permukiman Kriteria dan Parameter Kawasan Sesuai Permukiman Analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman menggunakan kriteria kesesuaian lahan (Van der Zee 1990) dan standar serta peraturan yang berkaitan dengan penataan permukiman. Untuk menilai kawasan permukiman digunakan 3 kriteria, yaitu : berada di kawasan budidaya, aman dari bencana alam dan tapak permukiman. 1) Kriteria lokasi permukiman berada di kawasan budidaya : Kriteria lokasi permukiman dianalisis dengan menggunakan PP No 26/2008; Keppres No 32/1990; SK Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan No 073/Kpts/1994 dan Perda Provinsi Jawa Barat No 2/2006. Berdasarkan PP No 26/2008, DAS Ciliwung hulu merupakan kawasan konservasi air dan tanah, maka hutan lindung yang ada perlu dilestarikan dan pemanfaatan lahan bukan hutan yang berada di kawasan dengan status hutan harus dihindari. Dengan demikian faktor yang dijadikan parameter penelitian adalah: jenis tanah, curah hujan, kemiringan lereng, sempadan sungai, ketinggian tempat dan status hutan. 2) Kriteria lokasi permukiman aman dari bencana alam: Berdasarkan penilaian terhadap kriteria aman dari bencana alam dengan menggunakan : PP No 26/2008 tentang RTRWN, data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi (ESDM 2008), bencana alam yang mungkin terjadi di DAS Ciliwung hulu adalah longsor, sehingga parameter yang digunakan adalah bencana longsor. Bencana gerakan tanah tidak dijadikan parameter, karena di kawasan penelitian, daerah gerakan

6 96 tanah yang dijumpai di kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung, berpotensi menengah (ESDM 2008), sehingga tidak menjadi faktor pembatas. Bencana gunung api juga tidak dijadikan parameter penelitian, karena bencana yang diakibatkan letusan gunung api, seperti aliran lava ataupun lahar, diprediksi tidak terjadi di kawasan penelitian. Hal tersebut disebabkan Gunung Pangrango sudah tidak aktif, dan aliran lahar/lava dari Gunung Gede mengalir kearah Kabupaten Cianjur, sehingga kawasan penelitian aman dari bahaya tersebut (Suhari et al. 1991). 3) Kriteria lokasi permukiman berdasarkan tapak permukiman: Berdasarkan SK Menteri PU No 20/1986; Van der Zee (1990); dan Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota ( Dep. PU 1979). Parameter yang digunakan untuk menilai tapak permukiman adalah ketinggian tempat (<1000 m) dan kemiringan lereng (0-15%). Faktor aksesibilitas dan ketersediaan air tidak dijadikan parameter karena : a) Kawasan penelitian berada dikaki gunung Gede-Pangrango, sumber air tersedia dalam bentuk air permukaan (sungai) dan air tanah. Sebagai kawasan DAS hulu, potensi air permukaan berasal dari Sungai Ciliwung dengan anak-anak sungainya tersebar di kawasan penelitian, sehingga tidak menjadi faktor pembatas. Potensi air tanah erat kaitannya dengan sistem akuifer endapan gunung api (G. Gede- Pangrango). Jenis akuifer di kawasan G Gede-Pangrango adalah akuifer tak tertekan dengan jenis mata air dominan karena adanya rekahan. Zona resapan berada pada puncak gunung hingga elevasi 600 m dpl, selanjutnya zona resapan-keluaran dijumpai pada elevasi 1000 m m dpl (LPPM-ITB 1997). Tipologi akuifer endapan gunung api yang produktif mengandung air tanah yang bersumber dari infiltrasi air hujan. Air tanah mengalir secara gravitasional dan dikendalikan oleh topografi kearah kaki gunung lalu muncul sebagai mata air. Berdasarkan kondisi tersebut, maka faktor ketersediaan air tidak

7 97 merupakan faktor pembatas bagi kawasan permukiman di daerah penelitian. b) Kawasan penelitian berada di wilayah yang relatif sudah berkembang dan dilalui oleh jalan nasional, provinsi, kabupaten dan jalan desa/lokal, sehingga secara umum aksesibilitas kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu relatif baik. Berdasarkan kondisi tersebut, maka aksesibilitas tidak merupakan faktor pembatas kawasan permukiman Tahap Analisis Kesesuaian Kawasan Permukiman Analisis terhadap kriteria permukiman berlokasi di kawasan budidaya dilakukan melalui 5 tahap yaitu : 1) Tahap I memakai parameter kemiringan lereng, curah hujan dan jenis tanah, menghasilkan 3 klasifikasi yaitu: kawasan budidaya dengan skor 124; kawasan penyangga (kawasan budidaya non permukiman atau budidaya pertanian) dengan skor ; dan kawasan lindung dengan skor >175. 2) Tahap II memakai parameter kemiringan lereng < 15 % dan jenis tanah regosol, litosol, organosol, renzina, untuk menyaring hasil analisis tahap I; 3) Tahap III memakai parameter sempadan sungai 50 m kiri kanan sungai untuk menyaring hasil analisis tahap II ; 4) Tahap IV memakai parameter status hutan untuk menyaring hasil analisis tahap III ; 5) Tahap V memakai parameter ketinggian tempat < 2000 m dpl untuk menyaring hasil analisis tahap IV (Tabel 23). Tabel 23 Kriteria Kawasan Budidaya Tahap Parameter Keterangan I Jenis tanah, curah hujan, lereng. Klas Tnh Skor Klas Ch Skor Klas Lrg Skor (SK Dirjen RRL No /Kpts/1994) Klasifikasi 124 Kws budidaya * Kws budidaya/ (penyangga *2 ) 175 Kws lindung

8 98 Tahap Parameter Keterangan II Jenis tanah, dan lereng Jenis Tanah Lereng Klasifikasi (SK Dirjen RRL No Regosol, litosol,organo < 15 % Kws budidaya 073/Kpts/1994; Keppres No sol,dan renzina 32/1990; PP No 26/2008. >15% Kws lindung III Sempadan Sungai Sempadan Sungai Klasifikasi (Keppres No 32/1990 ; Perda Prov Jawa Barat No 50 m Kws budidaya 2/2006) <50 m Kws lindung IV V Status hutan (Keppres No 32/1990; PP No 26/2008; Perda Kab Bogor No 19/2008) Status Hutan Klasifikasi a. Hutan Lindung Kws lindung b. Hutan Konservasi Kws lindung c. Hutan Produksi Kws budidaya d. Bukan hutan Kws budidaya Ketinggian tempat Ketinggian Klasifikasi (Keppres No 32/1990 ; Perda Prov Jawa Barat No 2/2006;SK Men PU No 20/KPTS/1986) < 2000 m dpl Kws budidaya Keterangan : *1 Budidaya terdiri dari permukiman dan pertanian tanaman semusim; *2 Penyangga merupakan kawasan budidaya untuk tanaman tahunan. Selanjutnya hasil analisis tahap V disaring kembali dengan menggunakan parameter bencana alam longsor pada tahap VI. Bencana longsor di DAS Ciliwung hulu terdiri dari 4 klasifikasi yaitu normal, potensial, bahaya dan sangat bahaya (BP DAS Citarum-Ciliwung 2007). Klasifikasi longsor normal dan potensial digunakan untuk kawasan permukiman, sedangkan klasifikasi bahaya digunakan untuk kawasan budidaya non permukiman, dan klasifikasi sangat bahaya digunakan untuk kawasan lindung. Klasifikasi kawasan permukiman terdiri atas kawasan sesuai untuk permukiman (zona sesuai permukiman dan zona agak sesuai permukiman); dan kawasan tidak sesuai untuk permukiman (Zona budidaya non permukiman dan zona lindung) ( Tabel 24). Tabel 24. Penilaian Kawasan Permukiman Berdasarkan Bencana Longsor Tahap VI Parameter Longsor Klasifikasi (PP No 26/2008) 1. Normal Kws. sesuai permukiman (Zona sesuai permukiman) 2. Potensial Kws. sesuai permukiman (Zona agak sesuai permukiman) 3. Bahaya Kws. tidak sesuai permukiman (Zona budidaya non permukiman) 4. Sangat bahaya Kws. tidak sesuai permukiman (Zona lindung) Selanjutnya hasil analisis tahap VI disaring menggunakan parameter ketinggian tempat pada tahap VII dan parameter kemiringan lereng pada tahap

9 99 VIII. Hal analisis membagi DAS Ciliwung hulu menjadi 2 klasifikasi yaitu: a).kawasan sesuai untuk permukiman terdiri dari zona sesuai permukiman dan zona agak sesuai permukiman; b) Kawasan tidak sesuai untuk permukiman terdiri dari zona budidaya non permukiman dan zona lindung ( Tabel 25). Tabel 25 Penilaian Kesesuaian Kawasan Permukiman Berdasarkan Tapak Permukiman Tahap Parameter Klasifikasi Ketinggian Tempat (SK Menteri PU No 20/1986; Pedoman Perencanaan Lingkungan VII Permukiman Kota, Dep. PU 1979) a. <1000 m Kws. sesuai permukiman (Zona sesuai & agak sesuai permukiman) b m Kws. tidak sesuai permukiman (Zona budidaya non permukiman) c. > 2000 m Kawasan tidak sesuai permukiman (Zona lindung) VIII Kemiringan Lereng (SK Menteri PU No 20/1986; Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota, Dep. PU 1979) 0-8 % Kws. sesuai permukiman (Zona sesuai permukiman) 8-15 % Kws. sesuai permukiman (Zona agak sesuai permukiman 15-40% Kws. tidak sesuai permukiman (Zona budidaya non permukiman) >40 % Kawasan tidak sesuai permukiman (Zona lindung) Untuk menganalisis kawasan sesuai untuk permukiman digunakan sistem informasi geografis (SIG) (Ligtenberg et al. 2004; Syartinilia et al. 2006; Saroinsong et al. 2006), melalui perangkat lunak Arcview GIS 3.3 dengan fasilitas geoprosessing (Nuarsa 2005) Evaluasi Kawasan Permukiman Evaluasi kawasan permukiman dilakukan untuk menganalisis keselarasan atau penyimpangan yang terjadi antara: a) Kesesuaian kawasan untuk permukiman dengan RTRW; b) Kesesuaian kawasan permukiman dengan tutupan lahan eksisting tahun 2006; c) RTRW dengan tutupan lahan eksisting tahun 2006; d) tutupan lahan eksisting tahun 2006, dengan RTRW dan kesesuaian kawasan untuk permukiman. Metode analisis yang digunakan adalah SIG melalui perangkat lunak ArcView GIS 3.3 dengan fasilitas geoprocessing. Peta kesesuaian kawasan untuk permukiman, peta RTRW ( dan ), dan peta tutupan lahan tahun 2006 ditumpangsusunkan (overlay) satu terhadap yang lain. Peta tutupan lahan eksisting tahun 2006 dihasilkan dari analisis citra landsat

10 100 ETM Citra landsat diproses menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc View GIS 3.3. Penentuan sistem referensi (koordinat, proyeksi dan datum) menggunakan Word Geodetic System(WGS) 1984 dengan sistem proyeksi UTM-48. Data citra diklasifikasikan menjadi 6 yaitu: lahan kering, lahan basah/badan air, kebun teh, permukiman, vegetasi lebat/hutan dan lain-lain (tertutup awan). Metode klasifikasi yang digunakan klasifikasi terbimbing, menggunakan band 5(red), band 4 (green) dan band 2(blue)(Weng 2002). Tingkat akurasi citra hasil klasifikasi diukur dengan menggunakan matriks kesalahan (Lillesand dan Kiefer 2000). Tingkat akurasi berdasarkan nilai Overall Accuracy dan Khat (Ќ ) statistik sebagai berikut: ( X ii ) Overall Accuracy= X 100 % N = jumlah sampel keseluruhan N X ii = jumlah sampel kolom diagonal Khat (Ќ )statistik = N ( X ii - (X i+.x +i ) X i+ = total sampel baris ke i N 2 - (X i+.x +i ) X +i = total sampel kolom ke i N = total sampel X i i = jumlah sampel kolom diagonal Hasil perhitungan terhadap tingkat akurasi klasifikasi citra landsat tahun 2006, menunjukkan overall accuracy 84,14 % dan Khat Statistik 0,8215. Artinya tingkat keakurasian hasil klasifikasi mencapai lebih dari 80 % Hasil dan Pembahasan Hasil Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Permukiman Berdasarkan kriteria permukiman harus berlokasi di kawasan budidaya, diperoleh hasil sebagian besar (56,72%) DAS Ciliwung hulu sesuai untuk kawasan lindung, sedangkan sisanya sesuai untuk kawasan budidaya. Kawasan budidaya umumnya mempunyai jenis tanah latosol dengan karakteristik kurang peka terhadap erosi, curah hujan berkisar antara mm/tahun, kemiringan lereng < 15%, jarak dari sempadan sungai >50 m, tidak berstatus kawasan hutan dan terletak pada ketinggian <1000 m (Tabel 26).

11 101 Tabel 26. Kesesuaian Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu dengan Kriteria Permukiman Berlokasi di kawasan Budidaya (Tahap I V) Luas No Kesesuaian Kawasan Permukiman (ha) % 1 Kawasan Budidaya (permukiman dan non permukiman) 6.439,89 43,29 2 Kawasan Lindung 8.436,47 56,71 Jumlah , Sumber: hasil analisis menggunakan kriteria tahap I-V Selanjutnya hasil penilaian Tabel 26 ditambahkan kriteria permukiman harus aman dari bencana tanah longsor. Hasil analisis menunjukkan kawasan budidaya permukiman menempati 23,16% luas DAS Ciliwung hulu, sisanya merupakan kawasan tidak sesuai permukiman yang terdiri dari zona budidaya non permukiman sebesar 20,13% dan zona lindung sebesar 56,71% (Tabel 27). Tabel 27 Kesesuaian Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu dengan Penambahan Kriteria Permukiman Aman dari Bencana (Tahap VI) No 1 Kawasan Permukiman Kesesuaian Kawasan Permukiman Luas ha % a. Zona sesuai permukiman 2.585,30 17,38 b. Zona agak sesuai permukiman 860,47 5,78 2 Kawasan Tidak Sesuai Permukiman a. Zona Budidaya non Permukiman 2.994,12 20,13 b. Zona Lindung 8.437,47 56,71 Jumlah , Sumber: hasil analisis menggunakan kriteria VI Zona sesuai permukiman terletak pada lokasi yang aman atau klasifikasi bahaya longsor normal. Pada zona ini sangat jarang atau tidak pernah terjadi longsor yang mengancam permukiman. Zona agak sesuai permukiman terletak pada lokasi yang jarang mengalami longsor akan tetapi berpotensi mengalami longsor apabila terjadi gangguan pada lereng dengan kemiringan 8-15%. Secara visual zona sesuai permukiman terletak di bagian tengah DAS, sedangkan zona agak sesuai permukiman terletak memanjang di utara bagian bawah dan tengah DAS Ciliwung hulu. Zona sesuai permukiman terletak pada ketinggian <1000 m dan kemiringan lereng antara 0-8 %, sedangkan zona agak sesuai permukiman terletak pada

12 102 ketinggian <1000 m dpl dan kemiringan lereng antara 8-15%. Oleh karena itu, apabila hasil penilaian pada Tabel 27 ditambahkan kriteria tapak permukiman, maka kawasan permukiman (zona sesuai dan agak sesuai permukiman) berkurang sebesar 3,27 %. Terjadi penambahan luas kawasan tidak sesuai permukiman yaitu di zona budidaya non permukiman sebesar 2,52 % di zona lindung sebesar 0,75 % Hasil analisis kesesuaian kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu tahap VII dan VIII menunjukkan luas kawasan sesuai untuk permukiman adalah 2.958,93 ha (19,89%) dari luas DAS Ciliwung hulu (Tabel 28). Tabel 28 Kesesuaian Kawasan untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu dengan Penambahan kriteria Tapak Permukiman(Tahap VII -VIII) No Kesesuaian Kawasan untuk Permukiman Luas ha % 1 Kawasan Sesuai Untuk Permukiman a. Zona Sesuai permukiman 1.580,80 10,63 b. Zona Agak sesuai permukiman 1.378,13 9,26 2 Kawasan Tidak Sesuai Untuk Permukiman a. Zona Budidaya non Permukiman 3.369,82 22,65 b.zona Lindung 8.547,62 57,46 Jumlah ,38 100,00 Sumber: hasil analisis menggunakan kriteria VII dan VIII Selanjutnya berdasarkan ketinggian tempat, DAS Ciliwung hulu dibagi menjadi bagian atas (ketinggian >1000 m), tengah (ketinggian m) dan bawah (ketinggian <500 m). Sebagian besar kawasan sesuai untuk permukiman yaitu zona sesuai permukiman (98,32%) dan zona agak sesuai permukiman (86,36%) berlokasi di DAS Ciliwung hulu bagian tengah. Bagian tengah DAS Ciliwung hulu merupakan kelompok morfologi pedataran tinggi (Suhari et al. 1991) dengan ketinggian antara m dpl dan kemiringan 0-8 %, kecuali pada lembah sungai kemiringannya >8%. Bagian tengah DAS Ciliwung hulu relatif aman dari bahaya longsor. Longsor terjadi di bagian yang kemiringan lerengnya curam (>25%) pada tebing sungai atau perbukitan. Sebagian besar kawasan tidak sesuai untuk permukiman yaitu zona lindung (75,26%) berlokasi di bagian atas (hulu) DAS Ciliwung hulu. Bagian atas DAS Ciliwung hulu termasuk kelompok morfologi perbukitan terjal (Suhari et al. 1991) dengan kemiringan lereng curam (25-40%) sampai sangat curam (>40 %),

13 103 ketinggian tempat antara m dpl, jenis tanah andosol yang peka terhadap erosi, dan merupakan daerah rawan longsor terutama pada saat curah hujan tinggi (Gambar 19 Tabel 29). Indarti KD Gambar 19 Kesesuaian Kawasan Permukiman Di DAS Ciliwung Hulu Tabel 29 Kesesuaian Kawasan Untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu di Bagian Atas, Tengah, dan Bawah LOKASI Kawasan Sesuai Utk Permukiman Kawasan Tidak Sesuai Utk Permukiman Zona Sesuai Zona Agak Sesuai Zona Budidaya non Permukiman Zona Lindung ha % ha % ha % ha % Bagian Bawah Ciawi Megamendung Sukaraja Kota Bogor Jumlah Bagian Tengah Ciawi Megamendung , , Sukaraja Cisarua Jumlah 1, , , , Bagian Atas

14 104 LOKASI Kawasan Sesuai Utk Permukiman Kawasan Tidak Sesuai Utk Permukiman Zona Sesuai Zona Agak Sesuai Zona Budidaya non Permukiman Zona Lindung ha % ha % ha % ha % Ciawi Megamendung , Cisarua , Jumlah , Total Luas 1, , , , % Thd DAS Ciliwung hulu 10,63 9,26 22,65 57,46 Sumber: Hasil analisis peta kesesuaian kawasan permukiman dengan peta sub DAS dan peta administrasi Evaluasi Kawasan Permukiman 1) Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor Terhadap Kawasan Sesuai untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu Sebagian besar DAS Ciliwung hulu berlokasi di wilayah Kabupaten Bogor, oleh karena itu, maka RTRW yang dipakai adalah RTRW Kabupaten Bogor. Pada bulan Desember 2008, RTRW Kabupaten Bogor tahun 2010 telah direvisi menjadi RTRW tahun 2025 melalui Perda Kabupaten Bogor No 19/2008. Oleh karena itu, maka evaluasi keselarasan kawasan permukiman terhadap RTRW menggunakan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2010 dan Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan lokasi dan alokasi kawasan permukiman antara hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman dengan RTRW Kabupaten Bogor 2010 maupun 2025 sebagai berikut : a.peruntukan permukiman berdasarkan RTRW 2010 maupun RTRW 2025, tidak hanya berlokasi di zona sesuai dan agak sesuai permukiman, tetapi juga di zona budidaya non permukiman, dan zona lindung. Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kesesuaian kawasan untuk permukiman dengan hasil analisis. b.pada RTRW peruntukan non permukiman sebesar 23,74% dan pada RTRW sebesar 37,48% berlokasi pada zona sesuai dan agak sesuai untuk permukiman. Artinya terdapat ketidakkeselarasan antara RTRW dengan hasil analisis. c.pada RTRW 2025 peruntukan permukiman di di zona lindung sebesar 12,79%, relatif menurun dibandingkan RTRW 2010 sebesar 17,82%. Hal ini

15 105 karena zona lindung (hutan lindung) pada RTRW 2025 sudah berpedoman pada Perpres No 58/2008 (Tabel 30). Tabel 30 Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor dan Terhadap Kawasan Sesuai Untuk Permukiman Di DAS Ciliwung Hulu RTRW Kabupaten Bogor Kesesuaian Kawasan Untuk Permukiman Kws Sesuai Permukiman Kws Tidak Sesuai Permukiman Zona Sesuai (%) Zona Agak Sesuai (%) Zona Budi daya non pmk(%) Zona Lindung (%) Jumlah ha % Permukiman RTRW ,58 15,28 41,33 17, , RTRW ,48 17,66 45,08 12, , Non Permukiman 1. Budidaya Non Pmk RTRW ,71 13,03 28,48 47, , RTRW ,11 19,37 43,38 19, , Lindung RTRW ,14 99, , RTRW ,02 99, , Kota Bogor ,91 8,09 85, Sumber : Hasil analisis peta RTRWKab. Bogor dan dengan peta hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman Keterangan : Peruntukan Non Pmk : 1. Budidaya non permukiman terdiri atas: perkebunan, hutan produksi, pertanian lahan kering, dan tanaman tahunan; 2. Lindung terdiri atas : sungai, hutan konservasi dan hutan lindung 2) Keselarasan Tutupan Lahan Eksisting Tahun 2006 Terhadap Kesesuaian Kawasan Untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu Kondisi pemanfaatan ruang secara tidak langsung dapat dideteksi dari keadaan tutupan lahannya. Hasil tumpang susun (overlay) antara peta kesesuaian kawasan untuk permukiman terhadap peta tutupan lahan eksisting 2006 menunjukkan ketidakselarasan antara lokasi kawasan yang sesuai untuk permukiman dengan tutupan lahan eksisting tahun 2006 sebagai berikut: a. Sebagian besar permukiman eksisting berlokasi di zona tidak sesuai untuk permukiman yaitu di zona budidaya non permukiman (41,21%) dan di zona lindung (16,70%). Hal tersebut menunjukkan perkembangan permukiman tidak terkendali. b. Permukiman eksisting yang berlokasi di zona sesuai permukiman 45,82% dari luas zona, dan permukiman eksisting di zona agak sesuai permukiman sebesar

16 106 39,05 % dari luas zona. Hal tersebut menunjukkan kawasan sesuai untuk permukiman belum dimanfaatkan secara optimal (Tabel 31). Tabel 31 Keselarasan Tutupan Lahan Tahun 2006 Terhadap Kesesuaian Kawasan Untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu % 1.Kebun Teh 0,39 0,19 12,19 87, , Lahan Basah 18,55 15,40 37,29 28,75 546, Lahan Kering 14,24 14,05 30,18 41, , Veg. Lbt/hutan 0,71 1,04 4,10 94, , Lain-lain ,00 0, Permukiman 24,14 17,94 41,21 16, , (% terhadap kesesuaian kws utk pmk) (45,82) (39,06) (36,69) (5,86) Sumber: hasil analisis peta kesesuaian kawasan permukiman dengan peta tutupan lahan tahun 2006 Keterangan : Luas permukiman eksisting (2006) adalah 2.999,88 ha. Lain-lain adalah tertutup awan 3) Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor Terhadap Tutupan Lahan Eksisting Tahun 2006 di DAS Ciliwung Hulu Analisis keselarasan antara tutupan lahan tahun 2006 terhadap RTRW Kabupaten Bogor bertujuan menilai sejauhmana keberhasilan penerapan RTRW di Kabupaten Bogor. Oleh karena RTRW diperdakan bulan Desember 2008, maka belum dapat dievaluasi. Dengan demikian untuk menilai keberhasilan penerapan RTRW di Kabupaten Bogor, analisis menggunakan RTRW Hasil analisis menunjukkan terdapat ketidakselarasan antara RTRW dengan pelaksanaan di lapangan sebagai berikut : a) Peruntukan kawasan lindung pada RTRW sebesar 0,25% telah ditempati permukiman. b) Peruntukan kegiatan budidaya non permukiman pada RTRW sebesar 20,22% telah ditempati permukiman. c) Peruntukan permukiman pada RTRW belum dimanfaatkan secara optimal hanya ditempati kegiatan permukiman sebesar 46,86% (Tabel 32).

17 107 Tabel 32. Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor Terhadap Tutupan Lahan Eksisting (2006) di DAS Ciliwung Hulu. RTRW Kabupaten Bogor Kebun Teh Lahan Basah Tutupan Lahan Tahun 2006 (%) Veg Lahan lebat/ Permu kering hutan kiman Lainlain Jml 1. Kawasan Lindung a. Hutan Lindung 16,94 0,25 8,55 74,10 0,15 0, b. Sungai Besar 0 69,40 18,37 0,51 11, Jumlah Kawasan Lindung 16,78 0,90 8,65 73,41 0,25 0, Kawasan Budidaya A. Non Permukiman a. Lahan Basah 1,56 12,64 56,03 5,47 24, b. Lahan kering 1,96 8,20 52,05 2,99 34, c. Perkebunan 28,86 1,06 40,65 17, d. Tanaman tahunan 9,15 1,04 62,21 14,97 12, e. Pariwisata 0 3,38 41,26 2,45 52, Jm Non Permukiman 16,00 4,57 47,71 11,69 20, B. Permukiman a. Perdesaan 2,21 6,09 40,02 3,48 48, b. Perkotaan 0,62 5,15 46,87 2,16 45, Jumlah Permukiman 1,50 5,67 43,09 2,89 46, C. Kota Bogor 0 10,06 12,04 1,70 76, Sumber: hasil analisis peta RTRW Kab. Bogor dan peta tutupan lahan tahun 2006; Keterangan : Lain-lain = tertutup awan. 4) Keselarasan Antara Tutupan Lahan Eksisting (2006) Dengan RTRW Kabupaten Bogor( ) dan Kesesuaian Kawasan Permukiman kawasan Analisis keselarasan antara tutupan lahan eksisting, dengan kesesuaian untuk permukiman dan RTRW Kabupaten Bogor bertujuan untuk mengetahui penyebaran lokasi permukiman eksisting terhadap RTRW dan kawasan sesuai permukiman hasil analisis. RTRW yang digunakan adalah RTRW tahun Hasil analisis menunjukkan lokasi permukiman eksisting dengan klasifikasi sebagai berikut: a) Sesuai RTRW dan sesuai dengan kawasan sesuai permukiman hasil analisis, sebesar 25,45 % ; b) Sesuai RTRW tetapi tidak sesuai dengan kawasan sesuai permukiman hasil analisis, sebesar 35,30 %; c) Tidak sesuai RTRW tetapi sesuai dengan kawasan sesuai permukiman hasil analisis, sebesar 16,75 %; d) Tidak sesuai RTRW dan tidak sesuai dengan kawasan sesuai permukiman hasil analisis, sebesar 22,50 % (Gambar 20).

18 108 Indarti KD Gambar 20 Keselarasan Antara Tutupan Lahan Permukiman Eksisting dengan RTRW Kabupaten Bogor dan Kawasan Sesuai Untuk Permukiman Pembahasan Berdasarkan hasil analisis terhadap kesesuaian kawasan untuk permukiman di DAS Ciliwung hulu, alokasi ideal kawasan sesuai untuk permukiman adalah 19,89%, dan kawasan tidak sesuai untuk permukiman adalah 80,11%. Temuan tersebut tidak berbeda jauh dari hasil penelitian Syartinilia et al.(2006), yang mengidentifikasi kawasan potensial untuk permukiman +16% dan kawasan potensial untuk lindung + 84% dari luas DAS Ciliwung hulu. Kawasan tidak sesuai untuk permukiman tersebut, terdiri dari zona lindung sebesar 57,46% dan Zona budidaya non permukiman sebesar 22,65%. Apabila berpedoman pada UUPR No 26/2007(ps 17:5) yang menyebutkan bahwa luas minimal kawasan hutan adalah 30 % dari luas daerah aliran sungai (DAS), maka luas zona lindung sebesar 57,46% harus berupa hutan agar memenuhi persyaratan tata ruang. Apabila hasil kesesuaian kawasan untuk permukiman dibandingkan dengan indeks konservasi alami (IKa) yaitu parameter kemampuan ideal kawasan

19 109 untuk konservasi air, hasilnya menunjukkan klasifikasi IKa sangat tinggi sebagian besar (94,55%) berlokasi di zona lindung. Klasifikasi IKa tinggi, kurang-lebih 70% berlokasi di zona tidak sesuai permukiman, yaitu 40,80% di zona lindung dan 29,12% di zona budidaya non permukiman. Artinya lokasi kawasan permukiman hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman menjamin keberlanjutan konservasi air karena kondisi hidrologi ideal dipertahankan (Tabel 33). Berdasarkan hal tersebut maka dari segi penataan ruang maupun fungsi DAS Ciliwung hulu sebagai daerah konservasi air dan tanah, alokasi dan lokasi kawasan sesuai untuk permukiman tersebut cukup ideal. Tabel 33 Keselarasan Indeks Konservasi Alami (Ika) Terhadap Kawasan Sesuai Untuk Permukiman Kesesuaian Kawasan Indeks Konservasi Alami (Ika) untuk Permukiman Sedang Tinggi Sangat Tinggi Nd (ha) 1. Zona Sesuai Pmk 34,26 2, ,58 14,38 18,30 0, Zona Agak Sesuai Pmk 46,82 3, ,33 15,71 85,64 2, Zona Tidak Sesuai a. Budidaya non Pmk 473,06 37, ,43 29, ,03 82,65 b. Lindung 717,20 56, ,35 40, ,98 94,55 28,08 Jumlah 1.271, , , ,73 Sumber: hasil analisis peta Indeks konservasi alami (IKa) dan peta kesesuaian kawasan permukiman Keterangan : Nd= tidak ada data. Terdapat perbedaan lokasi permukiman antara RTRW Kabupaten Bogor dengan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman. Hal tersebut disebabkan pada RTRW Kabupaten Bogor tahun maupun tahun , kawasan rawan longsor tidak/belum dimasukan sebagai salah satu faktor penentu kesesuaian kawasan untuk permukiman. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis antara RTRW Kabupaten Bogor dengan kawasan rawan longsor sebagai berikut (Tabel 34): a. Peruntukan permukiman pada RTRW Kabupaten Bogor sebesar 20,63% dan pada RTRW Kabupaten Bogor sebesar 18,78% berlokasi di kawasan rawan longsor dengan klasifikasi bahaya.

20 110 b. Peruntukan permukiman pada RTRW Kabupaten Bogor sebesar 12,59% dan pada RTRW Kabupaten Bogor sebesar 10,82% berlokasi di kawasan rawan longsor dengan klasifikasi sangat bahaya. Tabel 34 Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor dan Terhadap Kawasan Rawan Longsor Di DAS Ciliwung Hulu Kawasan RTRW Kab. Bogor RTRW Kab.Bogor Rawan Longsor A B A B ha % ha % ha % ha % 1. Normal 1.920,02 54, ,28 26, ,42 52, ,24 26,76 2. Potensial 439,70 12, ,24 23,60 669,67 18, , Bahaya 728,72 20, ,53 48,62 689,36 18, ,09 50,01 4. Sangat Bahaya 444,79 12,59 197,10 1,74 396,97 10,82 114,72 1,02 Jumlah 3.533, , , , Sumber: hasil analisis peta RTRW Kab. Bogor dan , serta peta bencana longsor Keterangan : A = Peruntukan permukiman; B = peruntukan non permukiman dan lindung. Tidak atau belum dimasukannya kawasan rawan longsor, terutama dengan klasifikasi bahaya dan sangat bahaya, dalam RTRW Kabupaten Bogor dapat menjadi masukan bagi pembuatan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua, khususnya yang berkaitan dengan peruntukan kawasan permukiman. Sesuai dengan PP 26/2008 tentang RTRWN, pembangunan di kawasan rawan bencana perlu dibatasi. Pembatasan perkembangan kegiatan budidaya terbangun di kawasan rawan bencana tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana. Penyebaran lokasi kawasan permukiman eksisting tidak terkendali, hal tersebut ditunjukkan oleh lokasi permukiman eksisting dikawasan peruntukan permukiman berdasarkan RTRW hanya 46,86%, sisanya sebesar 53,14% berlokasi diluar peruntukan kawasan permukiman berdasarkan RTRW. Selain itu terdapat permukiman eksisting sebesar 22,50% yang berlokasi di kawasan peruntukan non permukiman menurut RTRW dan kawasan tidak sesuai permukiman berdasarkan hasil analisis. Lemahnya pengendalian perkembangan permukiman diperlihatkan pula oleh permukiman eksisting di zona lindung dengan peruntukan hutan lindung yang berada pada kawasan rawan longsor dengan klasifikasi bahaya (Gambar 21).

21 111 Indarti KD Gambar 21 Tutupan Lahan Permukiman Eksisting (2006) di Kawasan Rawan Longsor DAS Ciliwung Hulu 5.5. Kesimpulan Luas alokasi kawasan untuk permukiman adalah 19,89 % dari luas DAS Ciliwung hulu, sisanya sebesar 80, 11% dialokasikan sebagai kawasan tidak sesuai untuk permukiman. Kawasan tidak sesuai permukiman terdiri atas zona lindung 57,46% dan zona budidaya non permukiman 22,65 %. Kawasan tidak sesuai untuk permukiman (zona lindung) sebagian besar berlokasi DAS Ciliwung hulu bagian atas. Dari segi alokasi komposisi tersebut cukup ideal karena sudah sesuai dengan ketentuan kawasan lindung di DAS yaitu minimal 30 % dari luas DAS. Sementara itu dari segi lokasi, penyebaran zona lindung, zona budidaya non permukiman dan zona sesuai permukiman sudah memperhitungkan fungsi DAS Ciliwung hulu sebagai kawasan resapan air. Penyebaran lokasi kawasan permukiman eksisting tidak terkendali, hal tersebut diperlihatkan oleh ketidakselarasan (penyimpangan) antara lokasi permukiman eksisting dengan peruntukan permukiman berdasarkan RTRW dan kawasan yang sesuai untuk permukiman hasil analisis.

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu tantangan pembangunan jangka panjang yang harus dihadapi Indonesia terutama di kota-kota besar adalah terjadinya krisis air, selain krisis pangan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan selama bulan Juli 2007 sampai Maret 2008. Lokasi penelitian adalah DAS Ciliwung hulu yang terletak pada koordinat 106 0 50 50

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang studi, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, metoda penelitian (meliputi ruang lingkup, pendekatan, sumber dan cara mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan 27 METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas ruang sifatnya

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o LS-6 o LS

BAB III METODE PENELITIAN. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o LS-6 o LS 27 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o 40 30 LS-6 o 46 30 LS dan 106

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah 25 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH Bab ini akan memberikan gambaran wilayah studi yang diambil yaitu meliputi batas wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, kondisi fisik DAS, keadaan sosial dan ekonomi penduduk, serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian di DAS Ciliwung bagian hulu

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian di DAS Ciliwung bagian hulu III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret hingga September 2007 di hulu DAS Ciliwung, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, hulu DAS Ciliwung terletak pada 106º55

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Firman Farid Muhsoni Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo JL. Raya Telang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik serta alatalat tertentu(surakhmad

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecamatan Cipanas berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Berdasarkan

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 19 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sepanjang sempadan Sungai Ciliwung, Kota Bogor (Gambar 7). Panjang Sungai Ciliwung yang melewati Kota Bogor sekitar 14,5 km dengan garis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap persiapan disusun hal hal yang harus dilakukan dengan tujuan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2009 dan selesai pada

Lebih terperinci

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG Sidang Ujian PW 09-1333 ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG IKA RACHMAWATI SURATNO 3606100051 DOSEN PEMBIMBING Ir. SARDJITO, MT 1 Latar belakang Luasnya lahan

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

EVALUASI KERAWANAN BENCANA TANAH LONGSOR DI KAWASAN PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU

EVALUASI KERAWANAN BENCANA TANAH LONGSOR DI KAWASAN PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU Evaluasi Kerawanan Bencana Tanah Longsor di Kawasan Permukiman didaerah Aliran Sungai (Das) Ciliwung Hulu EVALUASI KERAWANAN BENCANA TANAH LONGSOR DI KAWASAN PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 3 C. Tujuan... 4 D. Manfaat...

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan wilayah yang didominasi oleh permukiman, perdagangan, dan jasa. Perkembangan dan pertumbuhan fisik suatu kota dipengaruhi oleh pertambahan penduduk,

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Metode dalam penelitian ini adalah Studi Pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku atau laporanlaporan yang ada hubungannya

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang lalu adalah letusan terbesar jika dibandingkan dengan erupsi terbesar Gunung Merapi yang pernah ada dalam sejarah yaitu tahun 1872.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

IV KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU

IV KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU 51 IV KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU 4.1. Kondisi Fisik DAS Ciliwung Hulu Luas DAS Ciliwung bagian hulu adalah + 14.876,37 ha. Curah hujan ratarata tahun 1989-2001 adalah 3.636

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK i UCAPAN TERIMA KASIH ii DAFTAR ISI iii DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR TABEL viii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Manfaat

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian 16 III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian Ruang lingkup dan batasan-batasan kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Wilayah kajian adalah wilayah administratif Kabupaten b.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA Julhija Rasai Dosen Fakultas Teknik Pertambangan, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Email.julhija_rasai@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan sumberdaya alam terutama air dan tanah oleh masyarakat kian hari kian meningkat sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³ KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG BERAPI DI KOTA TOMOHON Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³ ¹Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E PEMODELAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN LAHAN UNTUK EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OPAK HULU Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Zonasi Kerawanan Longsoran Proses pengolahan data sampai ke tahap zonasi tingkat kerawanan longsoran dengan menggunakan Metode Anbalagan (1992) sebagai acuan zonasi dan SIG

Lebih terperinci