Bab 3. Analisis Data. siswa. Kemudian dari data analisis akan dihubungkan dengan fenomena futoukou.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab 3. Analisis Data. siswa. Kemudian dari data analisis akan dihubungkan dengan fenomena futoukou."

Transkripsi

1 Bab 3 Analisis Data Pada bab tiga ini, penulis akan menganalisis sisi eksplisit dan implisit dari budaya siswa. Kemudian dari data analisis akan dihubungkan dengan fenomena futoukou Analisis Timbulnya Futoukou Dari Sisi Eksplisit Budaya Siswa Seperti yang telah dijelaskan dalam bab dua, Tomari dan Kudomi ( 2007: 5 7 ) menjelaskan bahwa sisi eksplisit dari budaya siswa terdapat empat bagian, yaitu nilai akademis siswa, peraturan sekolah, bimbingan masa depan, dan kegiatan spesial sekolah. Akan tetapi, penulis hanya akan membahas dua bagian saja, yaitu nilai akademis siswa dan peraturan sekolah untuk menghubungkan dengan fenomena futoukou. Sebelum menganalisis kedua sisi tersebut, peneliti menemukan hasil survey yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Jepang mengenai alasan yang menyebabkan siswa SD, SMP, dan SMA menjadi futoukou pada tahun Tabel 3.1. Alasan Murid SD dan SMP Menjadi Futoukou Tahun 2009

2 sumber: icsfiles/afieldfile/2011/03/14/ _2.pdf Tabel 3.2. Alasan Murid SMA Menjadi Futoukou Tahun 2009

3 sumber: icsfiles/afieldfile/2011/03/14/ _2.pdf Dari tabel 3.1. menunjukkan jumlah futoukou pada siswa SD dan SMP di Jepang. Penulis hanya mengambil tujuh alasan yang berhubungan dengan kondisi sekolah. Siswa diperbolehkan memilih lebih dari satu alasan yang disediakan oleh Departemen Pendidikan Jepang pada saat mengisi survey. Alasan yang diberikan adalah: 1. Ijime; 2. Permasalahan di dalam persahabatan, kecuali faktor ijime; 3. Permasalahan dengan guru; 4. Nilai akademis buruk;

4 5. Tidak dapat beradaptasi dalam kegiatan klub, dan semacamnya; 6. Permasalahan dengan peraturan sekolah; dan 7. Tidak dapat beradaptasi pada saat memasuki sekolah baru, transfer ke sekolah baru. Di antara ketujuh alasan yang di atas, siswa yang memilih alasan mendapatkan nilai akademis yang buruk sehingga menjadi futoukou adalah dengan total siswa dengan jumlah siswa SD sebanyak siswa dan siswa SMP sebanyak siswa. Sedangkan siswa yang memilih alasan memiliki masalah dengan peraturan sekolah terdapat total siswa, dengan jumlah siswa SD sebanyak 208 siswa dan siswa SMP sebanyak siswa. Kemudian, pada tabel 3.2, merupakan alasan yang menyebabkan siswa SMA di Jepang memilih menjadi futoukou. Dari 15 pilihan yang disediakan oleh Departemen Pendidikan Jepang, penulis hanya mengambil delapan pilihan yang memiliki hubungannya dengan sekolah. Kedelapan alasan tersebut terdiri dari: 1. Ijime; 2. Permasalahan di dalam persahabatan, kecuali faktor ijime; 3. Permasalahan dengan guru; 4. Nilai akademis buruk; 5. Khawatir terhadap masa depan; 6. Tidak dapat beradaptasi dalam kegiatan klub, dan semacamnya; 7. Permasalahan dengan peraturan sekolah; dan

5 8. Tidak dapat beradaptasi pada saat memasuki sekolah baru, transfer ke sekolah baru. Dari kedelapan alasan di atas, penulis hanya menfokuskan pada permasalahan dengan guru dan nilai akademis buruk saja. Siswa SMA yang memilih alasan karena bermasalah dengan guru sebanyak 376 siswa. Sedangkan siswa yang memilih alasan karena nilai akademis buruk sebanyak siswa Analisis Hubungan Nilai Akademis Siswa Sebagai Pemicu Futoukou Setelah Jepang membenah dari sebagai akibat dari Perang Dunia Kedua, sistem pendidikan Jepang mengalami perubahan. Perubahan tersebut berupa perluasan wajib belajar bagi anak anak. Dari sebelumnya sistem pendidikan wajib belajar sembilan tahun menjadi dua belas tahun, yaitu enam tahun di sekolah dasar ( SD ), tiga tahun di sekolah menengah pertama ( SMP ) dan tiga tahun di sekolah menengah atas ( SMA ) (Okano & Tsuchiya, 1999: 30). Untuk menilai prestasi siswa dalam sekolah, dikenallah sistem nilai akademis. Nilai akademis diperoleh dengan cara mengerjakan tugas atau pun ujian sekolah. Sistem pengajaran dari guru dan motivasi siswa sendiri dalam belajar mempengaruhi nilai sekolah mereka. Penulis melihat adanya keterkaitan antara nilai akademis dengan munculnya futoukou. Selain itu, cara mengajar dan motivasi siswa pun secara tidak langsung mempengaruhi kemunculan futoukou. Dalam subbab ini, penulis akan membagi menjadi dua anak subbab, yaitu analisis sistem pengajaran terhadap munculnya futoukou dan analisis motivasi siswa dalam belajar terhadap munculnya futoukou Analisis Sistem Pengajaran Terhadap Munculnya Futoukou

6 Dalam kegiatan belajar mengajar, guru menerapkan sistem pengajaran kepada siswa siswa. Menurut artikel Japanese School dalam Education Japan ( 2011 ) menerangkan bahwa sistem pengajaran yang diterapkan dapat berupa sama maupun berbeda, tergantung dari setiap guru. Namun, dikarenakan guru mendapatkan pelatihan di lembaga lembaga pelatihan guru, sering kali pelatihan yang diajarkan di antara satu tempat dengan tempat lainnya adalah sama. Faktor budaya Jepang yang menerapkan satu untuk semua pun yang menyebabkan pelatihan yang diterapkan di tiap lembaga memiliki pola yang sama. Dalam praktiknya, tidak jarang gaya mengajar yang diterapkan oleh satu guru dengan guru yang lainnya dalam satu sekolah terkesan monoton. Tentu bagi siswa yang memiliki karakter psikologi yang mudah merasa bosan dengan hal yang sama, akan membuat mereka merasa jenuh dengan rutinitas kegiatan belajar mengajar yang monoton. Walaupun mata pelajaran yang diajarkan memiliki topik yang menarik, siswa tetap akan merasa bosan dan tidak akan berusaha untuk mengikuti pelajaran. Sikap mereka yang tidak berusaha untuk mengikuti pelajaran akan menimbulkan keinginan membolos. Hal ini sesuai dengan konsep futoukou yang dijelaskan oleh Monbukagakushou, bahwa faktor psikologis mempengaruhi siswa untuk tidak bersekolah. Jika siswa tersebut membolos selama lebih dari 30 hari, maka dia akan dianggap sebagai futoukou. Bentuk pengajaran monoton yang diterapkan oleh guru di Jepang, dipaparkan oleh Rohlen dan LeTendre ( 1999: 157 ), yaitu metode pengajaran yang diterapkan adalah bersifat intens, memberikan tekanan yang tinggi dan bersifat keras terhadap anak anak dalam pembelajaran. Menurut penulis, maksud dari intens adalah guru lebih menekankan pada hapalan dalam pelajaran yang diajarkan kepada siswa secara terus menerus. Mendengarkan ceramah ceramah dari guru, membuat kelompok belajar untuk menyelesaikan tugas dari guru dan siswa menerima latihan latihan

7 soal setiap hari merupakan bentuk kepatuhan yang bersifat pasif dari siswa. Bentuk kepatuhan pasif yang dimaksudkan adalah tidak adanya interaksi dari siswa kepada guru. Siswa hanya duduk diam saja mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru. Sukmadinata ( 1997 ) memaparkan empat jenis teori pendidikan, yaitu pendidikan klasik, pendidikan pribadi, teknologi pendidikan dan pendidikan interaksional. Menurut penulis, salah satu dari keempat jenis teori pendidikan yang telah dijelaskan pada bab dua sangat sesuai dengan bentuk pengajaran yang diterapkan oleh guru di Jepang, yaitu teori pendidikan klasik. Teori pendidikan klasik lebih menekankan pada isi pelajaran yang diajarkan oleh guru kepada siswa. Bagi penganut teori pendidikan klasik, proses dalam kegiatan belajar mengajar tidaklah terlalu penting jika dibandingkan dengan ilmu yang harus diturunkan dari yang lebih tua ( dalam proses kegiatan belajar mengajar, yang dimaksudkan adalah guru ) kepada yang lebih muda ( yang dimaksudkan adalah siswa ). Peran guru dalam mengajarkan pelajaran lebih aktif dari pada siswa. Guru sebagai sumber informasi yang harus menyalurkan ilmunya kepada anak didik, siswa bertugas untuk menampung ilmu ilmu yang diajarkan oleh pengajar. Hal itu sesuai dengan bentuk pengajaran yang diterapkan oleh guru guru di Jepang, di mana guru lebih dominan dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Siswa harus diam, duduk manis dan mendengarkan ceramah dari guru di dalam kelas. Kemudian, sistem pengajaran yang hanya mendominankan sisi guru, ketimbang sisi siswa adalah sistem pengajaran satu arah. Sistem pengajaran satu arah yang penulis maksudkan adalah guru lebih banyak memberikan kontribusi dalam kegiatan belajar mengajar. Tetapi siswa tidak ikut serta memberikan kontribusi. Bentuk kontribusi dari guru adalah menjelaskan pelajaran. Dan bentuk kontribusi dari siswa adalah siswa secara aktif berdiskusi dengan guru mengenai pelajaran yang sedang

8 dibahas oleh guru. Siswa juga aktif bertanya dan bersikap kritis terhadap pelajaran. Akan tetapi, dalam sistem pengajaran yang diterapkan, kontribusi dari siswa sama sekali tidak ada. Mereka hanya menjawab pertanyaan dari guru pada saat ditunjuk saja. Pertanyaan yang diberikan oleh guru hanya seputar hal yang telah diajarkan sebelumnya ( Benjamin, 1998: 44 ). Tentu maksud dari pertanyaan guru tersebut hanya bersifat repetisi, pengulangan tentang pelajaran yang sudah dibahas. Tujuannya adalah supaya guru mengetahui apakah siswa tersebut memperhatikan atau tidak memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung. Akan tetapi, tidak dipungkiri terkadang ada beberapa pertanyaan yang ditujukan guru untuk mengetahui pengetahuan siswa mengenai mata pelajaran yang sedangatau dan yang akan diajarkan. Menurut penulis, bentuk pengajaran yang hanya bersifat satu arah akan membuat siswa merasa bosan. Terutama jika kegiatan tersebut dilakukan terus menerus atau monoton. Perasaan bosan akan membuat siswa menjadi tidak fokus terhadap kegiatan belajar di kelas. Sebab setiap hari siswa hanya melakukan rutinitas duduk diam, mendengarkan, mengerjakan tugas atau latihan. Mereka dituntut untuk menghapalkan semua pelajaran yang telah dijelaskan oleh guru. Maka dari itu, penulis dapat melihat bahwa sistem pengajaran yang hanya bersifat satu arah merupakan sistem pengajaran yang tidak efektif. Siswa yang tidak sesuai dengan sistem belajar yang dipraktekkan oleh guru, tentu tidak akan mengerti dengan pelajaran. Walaupun guru berusaha menjelaskan sedetail mungkin, karena setiap siswa memiliki daya tangkap yang berbeda beda, tentu yang ditangkap oleh siswa mengenai penjelasan guru akan berbeda. Santrock ( 2009: 7 ) menjelaskan bahwa sistem pengajaran yang tidak efektif adalah sistem pengajaran yang tidak menerapkan satu hal cocok untuk semua. Hal itu dikarenakan setiap siswa

9 memiliki variasi individu yang berbeda. Oleh karena itu, jika guru mengajar dengan satu cara pengajaran saja, yaitu hapalan, selain menimbulkan rasa bosan, siswa pun menjadi tidak mengerti dengan pelajaran meskipun mereka tetap mendengarkan dan mengikuti pelajaran. Tentu efek lanjutannya adalah siswa menjadi tidak mampu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru pada saat mengerjakan latihan maupun ujian. Nilai yang diperoleh pun menjadi buruk. Nilai buruk dapat mempengaruhi psikologis siswa. Hal itu dikarenakan masyarakat jepang percaya bahwa nilai bagus menentukan masa depan anak. Sehingga pada saat siswa menerima kenyataan bahwa nilai yang diperolehnya buruk, mereka menjadi minder. Khususnya siswa yang memiliki perasaan cemas dan khawatir akan pengaruh nilainya dengan masa depannya. Timbullah perasaan gagal menjadi siswa yang memiliki masa depan yang baik sehingga memicu keinginan siswa untuk membolos sekolah. Dalam kepatuhan pasif yang dituntut oleh guru terhadap siswa, selain menimbulkan siswa merasa bosan terhadap pelajaran, tak jarang siswa menjadi stress. Seperti yang dijelaskan oleh Rohlen dan LeTendre ( 1999: 157 ) bahwa guru Jepang bersikap keras dan memberikan tekanan terhadap siswa dalam kelas. Sikap guru yang keras membuat siswa menjadi tidak aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Chi- Hung Ng dan Renshaw ( 2008: ) mengungkapkan bahwa dalam survey tanya jawab yang diberikan kepada siswa siswa SMA, mayoritas memberikan jawaban bahwa mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka kepada guru. Perasaan stress dari tekanan guru mampu menimbulkan efek buruk pada psikologis siswa. Mereka dapat merasa bahwa siswa tidak dihargai oleh guru di dalam sekolah. Mereka dipaksa untuk mempelajari mata pelajaran yang sama sekali tidak mereka sukai, hanya untuk mengejar nilai dalam ujian saja. Siswa tidak

10 dapat merasakan perasaan menikmati proses belajar ( Chi-Hung Ng dan Renshaw, 2008: 248 ). Sehingga perasaan stress yang dialami oleh siswa membuat mereka menolak untuk bersekolah Analisis Motivasi Siswa dalam Belajar Terhadap Munculnya Futoukou Pada tahun 2004, Jepang memperoleh laporan menurunnya jumlah siswa yang lancar membaca, menulis dan berhitung. Dalam ajang debat mengenai menurunnya jumlah siswa yang lancar membaca, menulis dan berhitung tersebut, banyak yang berpendapat bahwa sistem pendidikan yang diterapkan pada saat ini mengakibatkan menurunnya kemampuan siswa. Sistem pendidikan yang dimaksudkan adalah siswa memiliki waktu yang kurang untuk mengembangkan kemampuan mereka di sekolah. Sebab terjadi penurunan waktu bersekolah di Jepang, di mana dalam satu minggu kegiatan belajar mengajar berlangsung hanya selama lima hari saja ( Chi-Hung Ng & Renshaw, 2008: 240 ). Penurunan kemampuan siswa memiliki kaitannya dengan nilai akademis dari siswa siswa Jepang. Akan tetapi, penulis melihat adanya faktor lain yang menyebabkan menurunnya kemampuan siswa dalam membaca, menulis dan berhitung. Faktor tersebut pula yang menyebabkan terjadinya futoukou pada siswa. Mengenai menurunnya kemampuan siswa dalam menulis, membaca dan berhitung, menurut penulis penyebabnya adalah kurangnya motivasi siswa untuk belajar secara ortodidak. Sebab pada zaman sekarang, untuk mendapatkan informasi tidak lagi hanya berasal dari sekolah saja. Buku buku dengan informasi yang tepercaya dengan mudah dapat diperoleh dalam toko buku maupun perpustakaan nasional. Selain itu, di era teknologi tinggi seperti sekarang, untuk mendapatkan informasi secara mudah dapat diakses melalui internet. Sehingga tanpa bantuan dari

11 guru pun siswa dapat belajar sendiri. Mengingat salah satu peran guru adalah sebagai pembimbing siswa di dalam sekolah. Selain itu, penulis menemukan adanya survey yang membahas motivasi dari siswa untuk mengerjakan tugas mereka. Survey yang dilakukan pada tahun 2009 tersebut dipublikasikan oleh Monbukagakushou dalam situs mereka. Survey tersebut menjelaskan secara singkat bahwa mayoritas siswa Jepang menunjukkan perilaku kurangnya kemauan atau motivasi diri untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Dari data terakhir yang penulis dapatkan yaitu pada tahun 2007, rasio siswa yang merasa senang mempelajari matematika dan sains adalah 40% dan 59%. Kemudian rata rata waktu yang dihabiskan siswa untuk mengerjakan pekerjaan rumah adalah satu jam per hari. Dengan motivasi yang rendah dari siswa untuk belajar menyebabkan mereka mendapatkan nilai yang rendah pula. Hal yang menyebabkan siswa memiliki motivasi yang rendah dalam belajar adalah siswa merasa ragu dengan pelajaran yang mereka terima di sekolah akan berguna pada saat lulus dari sekolah (Tomari dan Kudomi, 2007: 6). Selain itu, siswa dari keluarga dengan ekonomi rendah cenderung memiliki nilai akademis yang rendah juga. Dikarenakan adanya faktor lingkungan siswa yang menyebabkan mereka tidak termotivasi untuk belajar. Siswa sadar dengan keadaan ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan mereka untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi. Dalam survey yang dipublikasikan oleh Monbukagakushou ( 2009 ), tercatat jumlah rata rata uang yang dihabiskan oleh orang tua siswa untuk menyekolahkan anak mereka dari TK sampai universitas. Tabel 3.3. Jumlah Rata Rata Biaya Untuk Menyekolahkan Anak Tahun 2008 Kategori Total (Yen) Lulus dari sekolah umum dari TK sampai SMA dan

12 universitas negeri Lulus dari semua sekolah umum Lulus dari sekolah umum tetapi TK dan universitas swasta Lulus terutama dari sekolah swasta dan dari sekolah umum SD dan SMP Lulus terutama dari sekolah swasta dan dari sekolah umum SD Lulus dari semua sekolah swasta sumber: Tabel di atas, dapat dilihat jumlah rata rata biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk anak mereka bersekolah dari TK sampai universitas. Jumlah biaya terendah yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa untuk menyekolahkan anak mereka adalah yen jika anak mereka bersekolah di seluruh sekolah umum, mulai dari TK sampai universitas. Sedangkan jumlah rata rata biaya yang paling tinggi untuk menyekolahkan anak mereka adalah yen jika anak mereka lulus dari seluruh sekolah swasta. Kemudian, Monbukagakushou ( 2009 ) juga menemukan fakta bahwa keluarga yang memiliki pendapatan rata rata empat juta yen atau kurang per tahun, hanya 20,4 % yang menjawab ingin anak mereka lulus dari universitas. Selebihnya, mereka menginginkan anak mereka lebih cepat terjun ke dalam lapangan pekerjaan. Siswa dengan keinginan yang ingin bekerja setelah lulus dari sekolah tanpa melanjutkan pendidikan di universitas, tentu akan menganggap bahwa pelajaran yang mereka terima di sekolah belum tentu bermanfaat di dunia

13 kerja. Oleh karena itu, mereka menjadi malas untuk mengerjakan tugas atau belajar sehingga memberi dampak pada nilai akademis mereka. Perlahan lahan murid memutuskan untuk membolos sekolah Dari analisis yang telah dilakukan oleh penulis dalam kedua sub bab di atas, penulis dapat mengambil simpulan bahwa nilai akademis yang disebabkan oleh bentuk pengajaran dan kurangnya motivasi dari siswa untuk belajar mempengaruhi terhadap munculnya futoukou Analisis Hubungan Peraturan Sekolah Sebagai Pemicu Futoukou Siswa adalah warga sekolah dengan jumlah mayoritas dibandingkan dengan guru. Dengan jumlah banyak seperti itu, dibutuhkan peraturan untuk membantu guru dalam menertibkan siswa siswa, baik di dalam sekolah maupun di dalam kelas. Duiker dan Spielvogel ( 2010: 771 ) mengatakan bahwa siswa di Jepang hidup dalam lingkungan yang sangat teratur, seperti berseragam berwarna hitam dan putih. Menteri Pendidikan Jepang juga berpendapat bahwa peraturan sekolah di Jepang mungkin bersifat keras. Akan tetapi memiliki keunikannya tersendiri. Peraturan yang berlaku di satu sekolah belum tentu juga berlaku di sekolah lainnya. Terutama jika sekolah tersebut adalah sekolah swasta. Tentu akan berbeda dengan sekolah negeri. Meskipun tidak dipungkiri bahwa terdapat beberapa peraturan yang juga berlaku di beberapa sekolah. Salah satu contoh peraturan yang berbeda antara satu sekolah dengan sekolah yang lain adalah seragam sekolah. Duiker dan Spielvogel ( 2010: 771 ) merangkum peraturan sekolah yang berlaku di Jepang ke dalam 12 poin ( lihat di lampiran ).

14 Dari kedua belas peraturan yang terdapat dalam lampiran, penulis melihat bahwa peraturan peraturan tersebut menekankan pada keteraturan dalam segi fisik. Terlebih lagi, peraturan tersebut amat ketat. Salah satunya adalah siswa tidak diperbolehkan memiliki rambut keriting atau gelombang permanen atau mengecat rambut, wanita tidak diperbolehkan menggunakan aksesoris rambut, juga tidak diperbolehkan menggunakan pengering rambut. Peraturan tersebut sangatlah ketat. Mengingat pada saat siswa wanita memasuki usia puber, mereka mulai memperhatikan penampilan fisik mereka ( Arvin, 1996: 76 ). Salah satunya dengan cara merias diri. Tentu tindakan merias diri dengan menggunakan aksesoris atau mengubah potongan rambut akan berlawanan dengan peraturan sekolah di mana melarang siswa memakai aksesoris atau memiliki model rambut berbeda dari ketentuan. Sehingga beberapa siswa menolak untuk sekolah karena mereka merasa peraturan tersebut terlalu ketat. Terutama pada saat usia puber, secara psikologis siswa ingin merias diri tetapi terhalangi oleh peraturan sekolah. Dengan peraturan yang ketat, guru pun dituntut untuk mengawasi siswa agar tidak ada yang melanggar peraturan sekolah. Penulis melihat bahwa beberapa guru di Jepang tidak memberikan sosialisasi bahwa peraturan diciptakan untuk kebaikan siswa. Peraturan disosialisasikan hanya untuk menciptakan sebuah komunitas masyarakat yang homogen ( Benjamin, 1998: ). Padahal di beberapa peraturan terdapat unsur mendidik siswa demi kebaikan mereka. Seperti peraturan yang melarang rambut siswa laki laki menyentuh alis mata, telinga dan kerah baju. Jika dilihat dari sisi positif peraturan tersebut, rambut yang mengenai alis tentu akan sedikit mengganggu pandangan siswa dalam belajar. Siswa akan mengalihkan perhatian mereka ke rambut. Selain itu, siswa juga dilarang untuk menggunakan peralatan merias rambut seperti gel pengeras rambut. Dengan rambut yang panjang,

15 tentu membuat siswa terlihat berantakan. Hal itu tentu akan mengganggu konsentrasi pada saat belajar dan penampilan siswa. Tetapi guru tidak menjelaskan sisi positif peraturan tersebut dibuat. Sehingga siswa hanya mengerti bahwa peraturan sekolah dibuat hanya untuk dipatuhi saja. Siswa yang memiliki karakter pemberontak, tentu akan terus menerus mengulangi pelanggaran peraturanatau disiplin sekolah jika mereka tidak diberikan pengertian oleh guru. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan disiplin siswa yang diungkapkan oleh Komensky dalam Albertoes ( 2007: 234 ), bahwa terhadap pelanggar peraturan hendaknya dididik dengan cara yang lunak dan diberikan pengertian mengenai sisi positif dari peraturan tersebut. Dengan demikian siswa menjadi paham dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Pada saat siswa siswa terus menerus mengulangi kesalahan sebagai akibat dari tidak adanya sosialisasi dari guru mengenai kebaikan dari peraturan, siswa akan merasa jenuh dengan hukuman yang terus menerus mereka terima. Dan akhirnya mereka memilih untuk membolos atau tidak masuk sekolah agar tidak dikenai hukuman lagi. Penulis menemukan pada saat mendisiplinkan siswa, sekolah di Jepang menerapkan hukuman fisik. Hukuman fisik yang diberikan oleh guru dapat berupa pukulan, berdiri di koridor, tendangan, lari keliling lapangan, push up dan lain sebagainya. Namun terkadang hukuman fisik yang diberikan oleh guru dapat menyebabkan kejadian traumatis terhadap siswa, bahkan dapat menyebabkan kematian. Dalam situs Fact and Details ( 2009 ) menuliskan bahwa pada tahun 1995 seorang guru di perfektur Akita menendang, mendorong ke papan tulis dan membanting siswa, berumur 13 tahun, di atas meja sebanyak 40 kali dikarenakan tidak mengerjakan tugas rumahnya. Kemudian situs Asian Off Beat memberitakan pada tahun 2008, seorang guru SD kelas 5 menampar seluruh siswa yang ada di kelasnya dikarenakan beberapa siswa tidak mengikuti instruksinya untuk memulai

16 kegiatan belajar mengajar. Akibatnya guru tersebut menjadi marah dan gelap mata. Kasus hukuman fisik yang menyebabkan kematian adalah pada tahun 1995, seorang siswa perempuan berumur 16 tahun meninggal setelah kepalanya dibanting ke pilar gedung oleh wali kelasnya sehingga menyebabkan otak mengalami pendarahan. Tindakan itu dilakukan karena siswa tersebut menggunakan rok yang lebih pendek dari ketentuan peraturan sekolah ( factsanddetails.com ). Penulis menemukan faktor yang menyebabkan hukuman fisik menjadi pilihan yang sering dilakukan oleh para guru dalam mendisiplinkan siswa. Sebuah survey yang dilakukan oleh situs Blog x Channel Jepang pada tahun 2008 terhadap 427 orang dari umur 20 an, 30 an dan 40 an, untuk menanyakan perlu tidaknya hukuman fisik kepada siswa. Mayoritas mengatakan bahwa mereka setuju dengan adanya hukuman fisik, dengan perbandingan 3 dari 5 orang. Lebih dari setengah menjawab mereka mendapatkan hukuman fisik pada saat sekolah. Dari data tersebut, penulis dapat mengambil simpulan bahwa masyarakat Jepang yakin dengan adanya hukuman fisik akan menimbulkan efek jera kepada siswa. Akan tetapi dapat menimbulkan pengaruh buruk lainnya terhadap siswa. Mereka menjadi menolak untuk bersekolah karena merasa terluka dengan hukuman yang mereka terima. Sehingga menimbulkan efek traumatis terhadap siswa. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Komensky ( Albertoes, 2007: 234 ), bahwa dalam mendisiplinkan siswa dengan kekerasan akan menimbulkan perasaan anti dan membenci terhadap hal yang berhubungan dengan sekolah. Lebih dari itu, hukuman yang diberikan guru juga menimbulkan efek kematian terhadap siswa. Tentu dengan hasil dari hukuman bagi pelanggar yang seperti itu membuat siswa lain menjadi takut untuk melanggar peraturan. Tetapi peraturan yang berlaku bagi siswa pun sangat keras ( Duiker dan

17 Spielvogel, 2010: 771 ). Siswa pun mengalami stress dan mulai menolak untuk masuk sekolah. Dari analisis yang telah dilakukan, penulis dapat mengambil simpulan bahwa peraturan sekolah memang dapat menimbulkan munculnya futoukou pada siswa di Jepang. Terutama jika peraturan sekolah tersebut menerapkan bentuk pendisiplinan siswa dengan cara yang keras. Sehingga dapat menimbulkan efek traumatis terhadap siswa Analisis Timbulnya Futoukou dari Sisi Implisit Budaya Siswa Dalam bab dua,permasalahan dalam sisi implisit yang terkandung di dalam budaya siswa terdiri dari empat hubungan yang terjalin oleh siswa, yaitu teman sekelas, sahabat, ijime, dan hubungan senpai kouhai. Di antara keempat hubungan implisit tersebut, yang paling menonjol adalah ijime ( Tomari dan Kudomi, 2007: 12 ) dan penulis akan mengaitkan permasalahan ijime dengan munculnya kasus futoukou pada siswa sekolah. Dalam tabel 3.1. jumlah siswa SD yang mengalami ijime sehingga menyebabkan mereka menjadi futoukou sebanyak 473 siswa, sedangkan pada siswa SMP terdapat siswa. Kemudia pada tabel 3.2. jumlah siswa yang menjadi futoukou akibat dari ijime pada siswa SMA di tabel 3.1. terdapat 368 siswa. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang sangat setia terhadap kelompoknya. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat homogen. Hal itu dikarenakan masyarakat Jepang tidak mengenal perbedaan dalam satu kelompok. Sebab jika terdapat perbedaan, maka mereka akan berusaha bersama sama untuk menghilangkan perbedaan tersebut ( Hays, 2009 ). Menurut penulis, usaha dari masyarakat Jepang untuk menghilangkan perbedaan di dalam kelompoknya, sangat

18 sesuai dengan teori solidaritas mekanik yang dipaparkan oleh Durkheim ( Sunarto, 2004: 132 ). Durkheim menyatakan bahwa solidaritas mekanik adalah bentuk dari kesadaran seluruh anggota masyarakatnya untuk bertindak dan berperilaku sama. Perbedaan tidak diperbolehkan di dalamnya. Oleh karena itu, penyebab munculnya ijime dikarenakan adanya siswa yang memiliki kemampuan menonjol di dalam kelompoknya. Kemampuan menonjol yang penulis maksudkan adalah siswa yang pintar dalam belajar dan olahraga, supel, atau memiliki fisik yang lebih dari teman temannya. Sehingga menimbulkan rasa iri bagi anggota lainnya. Hal ini sesuai dengan faktor munculnya ijime yang dijelaskan oleh Scaglione ( 2006 ) dalam Sastra ( 2009: ), di mana salah satu faktor munculnya ijime dikarenakan pelaku memiliki rasa iri kepada korban. Selain dikarenakan seorang siswa memiliki kemampuan yang menonjol, siswa yang memiliki kekurangan yang menonjol dalam lingkungan kelas pun dapat menjadikan mereka sebagai korban ijime. Contohnya adalah anak yang lemah, yaitu anak yang tidak dapat melawan jika diserang, pemurung, pendiam, pemalu, dan berkemauan lemah; anak yang tidak menyenangkan, yaitu anak yang sifatnya menentang, suka berbicara buruk, sombong, mau menang sendiri, dan memiliki sifat yang anehatau tidak seperti teman teman di kelasnya; anak yang inferior, yaitu anak yang tidak mampu melakukan sesuatu, pelupa, tidak pandai, kotor, dan dari keluarga miskin; dan yang terakhir adalah anak yang cacat, yaitu baik cacat secara fisik, berwajah aneh, dan lemah dalam olahraga ( Nuryanti, 2005: ). Menurut penulis, siswa yang memiliki kekurangan kerap menjadi bahan olok olokan oleh teman temannya. Pengolok olokan sering terjadi pada anak SD di mana anak anak sering melakukan hal tersebut hanya untuk bercanda. Akan tetapi semakin lama, intensitas siswa mengolok olok siswa yang memiliki kekurangan semakin sering

19 dan berakhir dengan munculnya ijime. Akan tetapi pada saat memasuki tingkatan SMP dan SMA, pengolok olokan hanya untuk sekedar bercanda atau dengan maksud meng-ijime semakin sulit ditentukan. Karena pelaku ijime umumnya menyembunyikan perbuatan ijimenya dari orang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu karakter ijime yang terjadi di Jepang yang dipaparkan oleh Morita, yaitu aksi ijime tidak terlihat oleh orang lain maupun guru. Sehingga terkadang terdapat siswa yang membolos sekolah secara tiba tiba dan menjadi futoukou padahal tidak terlihat memiliki masalah dengan teman teman di sekitarnya. Akan tetapi sebenarnya dia menjadi korban ijime oleh teman temannya. Selain adanya perbedaaan, baik kelebihan maupun kekurangan dalam siswa yang mengakibatkan munculnya ijime, faktor dari luar siswa juga memicu munculnya ijime. Salah satunya adalah tekanan dari sekolah untuk belajar memicu stress pada siswa. Sehingga siswa membutuhkan pelampiasan akan stress yang mereka hadapi di sekolah. Oleh karena itu, tidak jarang pelaku ijime bisa terjadi di antara sahabat dekat. Bahkan bisa terjadi pada siapa saja De Mente ( 2006: 165 ) juga menyatakan bahwa pendidikan yang dijalani oleh siswa difokuskan untuk mempersiapkan mereka dalam ujian. Sehingga tidak jarang siswa menjadi stress dan mulai meng ijime teman teman di kelasnya, maupun sahabatnya sendiri. Departemen Pendidikan Jepang melakukan survey terhadap bentuk ijime yang kerap terjadi pada siswa. Pada tabel di bawah ini tercatat bentuk bentuk ijime yang terjadi dengan jumlah kasus yang terjadi pada setiapnya di tahun 2008 dan Tabel ini dapat dilihat pada website MEXT pada tahun 2009.

20 Tabel 3.4. Bentuk Bentuk Ijime yang Dialami Siswa sumber: icsfiles/afieldfile/2011/03/14/ _2.pdf Dari tabel di atas tercatat ada delapan macam bentuk ijime yang terjadi dalam lingkungan sekolah SD, SMP, SMA dan sekolah khusus di Jepang. Bentuk ijime yang pertama adalah tindakan mengejek, menggoda, berkata kasar, dan mengancam; yang kedua adalah dengan cara mengucilkan korban; yang ketiga adalah memukul dengan ringan, ditendang, dipukul, dan mengatakan hanya bermain main saja; yang keempat adalah dipukul dan ditendang dengan keras; yang kelima adalah dimintai uang secara paksa atau dipalak; yang keenam adalah uang korban disembunyikan, dicuri, dan dibuang; yang ketujuh adalah korban disuruh untuk melakukan hal hal yang buruk, berbahaya maupun hal yang memalukan; yang kedelapan adalah difitnah dan dijelek jelekkan melalui ponsel dan komputer; dan yang terakhir adalah lain

21 lainnya. Siswa yang menjawab survey ini diperbolehkan untuk memilih lebih dari satu bentuk ijime yang pernah diterima oleh korban. Jika dilihat secara keseluruhan, bentuk ijime yang paling sering diterjadi dalam kasus ijime adalah pada pilihan pertama, yaitu mengejek, menggoda, berkata kasar dan mengancam. Jumlah kasus tersebut yang terjadi di lingkungan siswa SD pada tahun 2008 terdapat kasus dan pada tahun 2009 terdapat kasus; pada siswa SMP di tahun 2008 terdapat kasus dan pada tahun 2009 terdapat kasus; pada siswa SMA di tahun 2008 terdapat kasus dan pada tahun 2009 terdapat kasus; dan pada siswa sekolah khusus di tahun 2008 terdapat 173 kasus dan tahun 2009 terdapat 120 kasus. Kasus terbanyak kedua terjadi pada bentuk ijime dengan cara mengucilkan korban. Pada siswa SD tahun 2008 terjadi kasus, pada tahun 2009 terjadi kasus; pada siswa SMP di tahun 2008 terjadi kasus, pada tahun 2009 terjadi kasus. Akan tetapi pada siswa SMA dan sekolah khusus, bentuk ijime yang paling banyak kedua adalah bentuk ijime yang ketiga, yaitu memukul dengan ringan, ditendang, dipukul, dan mengatakan hanya bermain main saja, di mana pada siswa SMA di tahun 2008 terjadi kasus dan tahun 2009 terjadi kasus, lalu pada siswa sekolah khusus di tahun 2008 terjadi 47 kasus dan tahun 2009 terjadi 70 kasus. Berbeda dengan bentuk ijime kedua, yaitu mengucilkan korban, pada siswa SMA hanya terjadi kasus pada tahun 2008 dan 842 kasus pada tahun 2009; di lingkungan siswa sekolah khusus terjadi 30 kasus di tahun 2008 dan 22 kasus di tahun Jumlah kasus bentuk ijime mengucilkan yang terjadi pada siswa SD menunjukkan angka yang berdekatan dengan bentuk ijime memukul secara ringan, yaitu kasus pada tahun 2008 dan kasus pada tahun Kemudian bentuk ijime berupa menfitnah dan menjelek jelekkan korban melalui ponsel dan komputer banyak terjadi pada siswa SMP dan SMA, akan tetapi sangat

22 sedikit terjadi di dalam lingkungan siswa SD. Hal ini dikarenakan penggunaan komputer pada siswa SD masih sedikit meskipun di rumah mereka memiliki komputer desktop. Orang tua siswa sering melarang anaknya menggunakan komputer disebabkan oleh banyaknya virus yang akan menyerang komputer jika anak mereka tidak mengerti tentang situs yang memungkinkan adanya virus pada saat menjelajahi dunia maya ( Shariff, 2008: 48 ). Berbeda dengan anak anak SMP dan SMA, hampir atau sebagian besar setiap siswa memiliki ponsel. Di dalam ponsel mereka terdapat fasilitas untuk berinternet. Orang tua siswa tidak melarang anak anak mereka menggunakan ponsel karena ponsel tersebut adalah properti anak anaknya. Berbeda dengan komputer yang terpasang di rumah yang penggunanya adalah seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu, penggunaan ponsel untuk melakukan aksi ijime lebih populer dibandingkan menggunakan komputer. Dari semua bentuk ijime yang ada di atas, mengejek, mengolok olok, berkata kasar, mengancam, memukul dan mengucilkan adalah bentuk ijime yang paling sering dilakukan oleh pelaku ijime. Hal ini sesuai dengan definisi dari Monbukagakushou ( 2009 ) yang menjelaskan bahwa ijime terjadi dengan penyerangan secara fisik maupun mental kepada korban sehingga menyebabkan penderitaan. Akibat dari penderitaan secara mental yang diderita korban, korban merasa takut untuk bersekolah menghadapi pelaku ijime. Mereka tidak tahu penderitaan apa lagi yang akan dideritanya jika bersikukuh masuk sekolah. Di dalam ketakutan korban akan ijime, korban pun menolak untuk bersekolah. Sehingga pada saat korban membolos lebih dari 30 hari, maka dia dianggap sebagai futoukou. Dari analisis telah ditulis di atas, penulis dapat mengambil simpulan bahwa ijime dapat menyebabkan korban menolak untuk bersekolah. Bentuk ijime yang paling banyak dilakukan oleh pelaku ijime adalah melalui verbal.

Bab 5. Ringkasan. antara munculnya fenomena futoukou dengan school culture yang berlaku di sekolah

Bab 5. Ringkasan. antara munculnya fenomena futoukou dengan school culture yang berlaku di sekolah Bab 5 Ringkasan Tujuan disusunnya penulisan ini adalah karena penulis tertarik dengan kasus futoukou yang terjadi di Jepang. Secara tidak sengaja, penulis menemukan hubungan antara munculnya fenomena futoukou

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Jepang merupakan salah satu negara maju yang ada di dunia. Jepang juga di kenal sebagai negara yang menjunjung tinggi kebudayaan. Sebagai negara maju, Jepang tidak

Lebih terperinci

PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGIS KORBAN CYBER BULLYING. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd Dr. Ali Muhtadi, M.Pd

PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGIS KORBAN CYBER BULLYING. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd Dr. Ali Muhtadi, M.Pd PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGIS KORBAN CYBER BULLYING Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan Konseling Dosen Pengampu: Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd Dr. Ali Muhtadi,

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dalam pendidikan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dalam pendidikan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka

Lebih terperinci

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN 1. Kondisi dan kesan umum (ciri fisik). 2. Kondisi lingkungan rumah tempat tinggal dan lingkungan tetangga serta lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu modal yang harus dimiliki untuk hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari tingkat TK sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam zaman pembangunan di Indonesia dan globalisasi dunia yang menuntut kinerja yang tinggi dan persaingan semakin ketat, semakin dibutuhkan sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan nasional Indonesia menyatakan perlunya masyarakat melaksanakan program pembangunan nasional dalam upaya terciptanya kualitas manusia dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. berguna untuk menelaah data yang telah diperoleh peneliti dari informan maupun

BAB IV ANALISIS DATA. berguna untuk menelaah data yang telah diperoleh peneliti dari informan maupun BAB IV ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian Tahapan selanjutnya adalah proses penganalisaan terhadap data dan fakta yang di temukan, kemudian di implementasikan berupa hasil temuan penelitian untuk diolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap negara. Di Jepang sendiri, ijime adalah sebuah fenomena sosial yang cukup serius. Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Begitu banyaknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya pemberitaan di media massa terkait dengan tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, nampaknya semakin melegitimasi tuduhan miring soal gagalnya sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan orang lain. Kehidupan manusia mempunyai fase yang panjang, yang di dalamnya selalu mengalami

Lebih terperinci

#### Selamat Mengerjakan ####

#### Selamat Mengerjakan #### Apakah Anda Mahasiswa Fak. Psikolgi Unika? Ya / Bukan (Lingkari Salah Satu) Apakah Anda tinggal di rumah kos / kontrak? Ya / Tidak (Lingkari Salah Satu) Apakah saat ini Anda memiliki pacar? Ya / Tidak

Lebih terperinci

ABSTRAK USAHA USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG. atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh para para pelajar.

ABSTRAK USAHA USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG. atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh para para pelajar. ABSTRAK USAHA USAHA PENANGGULANGAN IJIME DI KALANGAN SISWA DI JEPANG Ijime adalah gangguan yang berisi ejekan, penindasan, perendahan martabat, atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh para para pelajar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

Bagaimana Memotivasi Anak Belajar?

Bagaimana Memotivasi Anak Belajar? Image type unknown http://majalahmataair.co.id/upload_article_img/bagaimana memotivasi anak belajar.jpg Bagaimana Memotivasi Anak Belajar? Seberapa sering kita mendengar ucapan Aku benci matematika atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

Pertama Kali Aku Mengenalnya

Pertama Kali Aku Mengenalnya 1 Pertama Kali Aku Mengenalnya Aku berhasil menjadi kekasihnya. Laki-laki yang selama 4 tahun sudah aku kagumi dan cintai. Aku pertama kali bertemu dengannya ketika aku duduk di bangku SMP. Saat itu hidupku

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Negeri 2 Sumbergempol Tulungagung, terlihat bahwa secara terus-menerus

BAB IV HASIL PENELITIAN. Negeri 2 Sumbergempol Tulungagung, terlihat bahwa secara terus-menerus BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data Paparan data penelitian disajikan untuk mengetahui karakteristik data pokok berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Berdasarkan hasil interview, observasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi dan modernisasi yang sedang berjalan pada saat ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi dan modernisasi yang sedang berjalan pada saat ini, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi dan modernisasi yang sedang berjalan pada saat ini, memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Perubahan tersebut meliputi beberapa aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..).

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN B.F. SKINNER SERTA RELEVANSI PEMIKIRAN KEDUA TOKOH TERSEBUT TENTANG HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN

BAB IV PERBANDINGAN PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN B.F. SKINNER SERTA RELEVANSI PEMIKIRAN KEDUA TOKOH TERSEBUT TENTANG HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN BAB IV PERBANDINGAN PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN B.F. SKINNER SERTA RELEVANSI PEMIKIRAN KEDUA TOKOH TERSEBUT TENTANG HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN A. Perbandingan Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. suatu hal baru dan orang orang tertentu akan turut mengikuti hal tersebut, terutama

Bab 5. Ringkasan. suatu hal baru dan orang orang tertentu akan turut mengikuti hal tersebut, terutama Bab 5 Ringkasan Pada dasarnya, Jepang adalah negara yang mudah bagi seseorang untuk menciptakan suatu hal baru dan orang orang tertentu akan turut mengikuti hal tersebut, terutama remaja putri Jepang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diperlukan adanya pembinaan dan bimbingan yang dapat dilaksanakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diperlukan adanya pembinaan dan bimbingan yang dapat dilaksanakan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan suatu bangsa merupakan proses yang berkesinambungan dan melibatkan keseluruhan lapisan masyarakat. Generasi muda sebagai salah satu unsur lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik yang melibatkan remaja sebagai pelaku ataupun korban. Kekerasan yang sering terjadi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Masa anak usia sekolah merupakan masa dimana anak mulai mengalihkan perhatian dan hubungan dari keluarga ke teman-teman sebayanya. Pada masa sekolah anak lebih

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes BAB V PEMBAHASAN A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes grafis dan observasi mendapatkan hasil yang berbeda pada masingmasing subyek. Penelitian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghantarkan siswa atau peserta didik agar mampu menghadapi perubahan

I. PENDAHULUAN. menghantarkan siswa atau peserta didik agar mampu menghadapi perubahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Latar Belakang Sekolah yang merupakan suatu sarana pendidikan diharapkan dapat menghantarkan siswa atau peserta didik agar mampu menghadapi perubahan jaman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa sekolah bagi anak adalah masa yang paling dinantikan. Anak bisa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa sekolah bagi anak adalah masa yang paling dinantikan. Anak bisa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa sekolah bagi anak adalah masa yang paling dinantikan. Anak bisa mendapatkan teman baru selain teman di rumahnya. Anak juga dapat bermain dan berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Film Ip Man III Dikisahkan kehidupan seorang guru besar bela diri aliran Wing Chun yang sangat dihormati oleh masyarakat di wilayah itu bernama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam hidupnya. Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. yang mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam hidupnya. Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan untuk memberdayakan diri. Pendidikan telah mulai dilaksanakan sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, atau dengan cakupan yang lebih luas yaitu teman sebaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan terhadap orang lain serta perusakan terhadap benda masih merupakan topik yang sering muncul baik di media massa maupun secara langsung kita temui

Lebih terperinci

INSTRUMEN PENELITIAN PROFIL PROAKTIVITAS PESERTA DIDIK SMP PETUNJUK PENGISIAN

INSTRUMEN PENELITIAN PROFIL PROAKTIVITAS PESERTA DIDIK SMP PETUNJUK PENGISIAN INSTRUMEN PENELITIAN PROFIL PROAKTIVITAS PESERTA DIDIK SMP Identitas Diri Nama : Tanggal : Jenis Kelamin : L / P Kelas : PETUNJUK PENGISIAN Assalamu alaikum Wr.Wb. Angket ini bukan suatu tes, tidak ada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying merupakan fenomena yang marak terjadi dewasa ini terutama di lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya baik di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anak merupakan harta yang tak ternilai bagi suatu keluarga, dan menjadi aset yang berharga bagi suatu bangsa. Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi anak saat ini akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan adanya motivasi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan adanya motivasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan adanya motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran, karena motivasi yang tepat akan memunculkan hasil belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga dewasa manusia memerlukan bantuan dan kerja sama dengan manusia lain, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. hingga dewasa manusia memerlukan bantuan dan kerja sama dengan manusia lain, baik dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah mampu hidup seorang diri. Sejak lahir hingga dewasa manusia memerlukan bantuan dan kerja sama dengan manusia lain, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi sekarang ini, setiap orang dihadapkan pada berbagai macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut maka setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada siswanya. Kerapkali guru tidak menyadari bahwa jebakan rutinitas seperti duduk, diam,

BAB I PENDAHULUAN. pada siswanya. Kerapkali guru tidak menyadari bahwa jebakan rutinitas seperti duduk, diam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku siswa tentu tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan pembelajaran di sekolah, karena itu seorang guru harus peduli terhadap apa yang dialami serta perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang tua menginginkan dan mengharapkan anak yang dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan pintar. Anak-anak yang patuh, mudah diarahkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana guru mengajar, berperilaku dan bersikap memiliki pengaruh terhadap siswanya (Syah, 2006). Biasanya,

Lebih terperinci

PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK

PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK Oleh : Lukman Aryo Wibowo, S.Pd.I. 1 Siapa yang tidak kenal dengan televisi atau TV? Hampir semua orang kenal dengan televisi, bahkan mungkin bisa dibilang akrab

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN 77 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Paparan Data dan Analisis Data 1. Faktor yang menyebabkan kesulitan belajar peserta didik mata pelajaran Matematika pada materi pembagian peserta didik kelas III MI Darussalam

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 2 DATA DAN ANALISA 2 BAB 2 DATA DAN ANALISA Produk utama yang akan dibuat berbentuk sebuah game interaktif untuk anak anak. Game tersebut mengajarkan sekaligus mendidik anak anak mulai dari usia 7-9 tahun mengenai sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, kasus tindak kekerasan semakin marak terjadi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di tempat yang rawan kriminalitas saja tetapi juga banyak terjadi di berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan sekolah dibuat agar siswa dapat beradaptasi dengan lingkungan sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan tuntutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tata aturan dan norma sosial yang berlaku,hal seperti ini disebut perilaku

BAB I PENDAHULUAN. tata aturan dan norma sosial yang berlaku,hal seperti ini disebut perilaku 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam setiap dinamika kehidupan pada setiap negara pasti akan selalu ada perilaku dari warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan dan

Lebih terperinci

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Paparan Data 1. Deskripsi Lokasi an an ini mengambil lokasi di SDLB Negeri Panggungsari yang terletak di Desa Panggungsari, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek.

Lebih terperinci

Bab 4. Simpulan dan Saran

Bab 4. Simpulan dan Saran Bab 4 Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Setelah melakukan analisis pada bab 3 sebelumnya, penulis membuat simpulan mengenai faktor-faktor psikologis yang berkaitan dengan hikikomori pada kasus-kasus remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa remaja ini mengalami berbagai konflik yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS PERUSAHAAN

BAB 3 ANALISIS PERUSAHAAN BAB 3 ANALISIS PERUSAHAAN 3.1 Data Perusahaan Westin School adalah sekolah yang mengajarkan siswa dari Kelompok Bermain sampai Sekolah Menengah Atas pelajaran dengan kurikulum pemerintah dan Singapura.Sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi manusia. Pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah proses bimbingan yang berisi keterampilan keterampilan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.

Lebih terperinci

Apa respons masyarakat terhadap individu yang sukses atau gagal dalam hidup?

Apa respons masyarakat terhadap individu yang sukses atau gagal dalam hidup? PENGASUHAN POSITIF KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN PENDIDIKAN MASYARAKAT DIREKTORAT PEMBINAAN PENDIDIKAN KELUARGA 2017 Apa respons masyarakat terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam bidang pendidikan proses pembelajaran di sekolah menjadi pilar utama, karena tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan nasional sangat ditentukan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu berbuat untuk hal yang lebih baik. Untuk mengubah prilaku menuju ke hal yang lebih baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan Sains di Indonesia terdapat pada setiap tingkat satuan pendidikan baik SD, SMP, atau SMA. Pendidikan sains merupakan pengetahuan yang menekankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kadang berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Salah satu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kadang berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Salah satu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang pasti menginginkan mendapatkan nilai yang bagus dalam setiap ujian yang mereka lakukan, ataupun dalam tugas tugas yang mereka kerjakan, dan kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan mental memiliki arti penting dalam kehidupan seseorang, dengan mental yang sehat maka seseorang dapat melakukan aktifitas sebagai mahluk hidup. Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ijime adalah kata yang sering terdengar di Jepang. Banyak terjadi kasus ijime di Jepang yang akhirnya menyebabkan korban dari ijime itu sendiri memutuskan untuk mengakhiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena pada dasarnya belajar merupakan bagian dari pendidikan. Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. karena pada dasarnya belajar merupakan bagian dari pendidikan. Selain itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan aktivitas yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Pendidikan itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari istilah belajar karena pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mengalami proses perkembangan secara bertahap, dan salah satu periode perkembangan yang harus dijalani manusia adalah masa remaja. Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan data dalam penelitian ini adalah dengan tes tertulis serta wawancara dengan semua subjek. Tes tertulis dan wawancara tahap pertama dilakukan pada tanggal 16 November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, BAB I PENDAHULUAN Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat penelitian serta mengulas secara singkat mengenai prosedur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Sebaliknya, suatu negara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Sebaliknya, suatu negara dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peran yang penting bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Suatu bangsa akan tertinggal dari bangsa lain apabila pendidikan rakyatnya

Lebih terperinci

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Self Esteem Korban Bullying 115 SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Stefi Gresia 1 Dr. Gantina Komalasari, M. Psi 2 Karsih, M. Pd 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keterampilan berbicara sangat diperlukan untuk berkomunikasi lisan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Keterampilan berbicara sangat diperlukan untuk berkomunikasi lisan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keterampilan berbicara sangat diperlukan untuk berkomunikasi lisan. Akan tetapi, apabila kegiatan berkomunikasi terjadi tanpa diawali keterampilan berbicara

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Haditono.S, 1991, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta, Gadjah Mada University

DAFTAR PUSTAKA. Haditono.S, 1991, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta, Gadjah Mada University 94 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 1996, Prosedur penelitian, Jakarta, Mujahid press Asmani, J. 2012, Mengatasi kenakalan remaja di sekolah, Yogyakarta, Buku biru. Azwar, S. 2011, Penyusunan skala psikologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah salah satu generasi harapan bangsa dimana masa depan yang dicita-citakan bangsa ini berada di tangan mereka. Banyak orang menganggap bahwa mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci