DESAIN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SECARA BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU ADRIMAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DESAIN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SECARA BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU ADRIMAN"

Transkripsi

1 DESAIN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SECARA BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU ADRIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Oktober 2012 Adriman NRP. P

3 ABSTRACT ADRIMAN Design for Sustainable Management of Coral Reef Ecosystem in the Regional Marine Conservation Area of East Bintan Riau Islands. Under the Supervision of ARI PURBAYANTO, SUGENG BUDIHARSONO, dan ARIO DAMAR. The purpose of this study are: (1) to analyze the condition of coral reefs and the factors that influence it, (2) to analyze the index and sustainability status of coral reef ecosystem management, (3) to identify management existing and to build strategies scenarios of sustainable management of coral reef ecosystems; and (4) to build management strategies of coral reef ecosystems in a sustainable manner. A survey method was used, data were collected by using questionnaires and field surveys. Some analysis tools used were Principal Component Analysis (PCA), Method of Multi Dimensional Scaling Approach (MDS), and prospective analysis. The results showed that the condition of coral reef in the Regional Marine Conservation Areas of East Bintan considered moderate to good. Management of coral reef ecosystems currently showed imbalance between the dimension of economic, ecological, social cultural, and technological infrastructure, and law and institutions. There were ten key factors that influence to the sustainability, namely the condition of coral reefs, protected area, the public revenue, tourism employment, human resource availability, government policies, coordination among stakeholders, community compliance, environmental legal counseling, and surveillance infrastructure. Design an implementation strategy of coral reef management in the Regional Marine Conservation Area of East Bintan using an integrative approach by improving and increasing the dominant factor among others: (a) improving coordination among stakeholders; (b) increasing monitoring, supervision and enforcement of the law consistently, (c) empowering coastal communities through the development of alternative livelihoods; (d) improving the quality of coastal human resources, and (e) conducting rehabilitation of coral reef ecosystems and pollution control and prevention. Keywords : Design, management, conservation, coral reef, sustainability, East Bintan ecosystems,

4 RINGKASAN ADRIMAN Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, SUGENG BUDIHARSONO, dan ARIO DAMAR. Kawasan pesisir Bintan Timur Kabupaten Bintan yang ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang sangat potensial termasuk terumbu karang. Ekosistem terumbu karang di pesisir Bintan Timur ini telah sejak lama dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti lokasi penangkapan ikan dan wisata bahari dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders). Meningkatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir Bintan Timur telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya perairan pesisir termasuk ekosistem terumbu karang. Untuk itu perlu pengelolaan yang komprehensif dengan pendekatan yang bersifat multidimensi sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan. Tujuan utama penelitian ini adalah membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepuluan Riau. Tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) menganalisis kondisi terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; (2) menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang; (3) mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan; dan (4) membangun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Untuk mengkaji permasalahan akibat beragamnya kegiatan masyarakat pesisir di Bintan Timur yang memiliki potensi ekosistem terumbu karang cukup tinggi, maka dilakukan pendekatan komprehensif dan multidimensi. Beberapa alat analisis yang digunakan adalah Analisis Komponen Utama (PCA), Metode Pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS), dan analisis prospektif. Hasil penggunaan analisis tersebut diharapkan dapat memberikan telaah secara komprehensif tentang keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Kondisi terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur tergolong sedang sampai baik. Kondisi ini disebabkan oleh tekanan dari aktivitas penduduk pada masa silam (penambangan pasir laut, pembuangan limbah tailing pencucian bauksit, tailing penambangan pasir darat, dan penangkapan ikan dengan bom) yang dampaknya masih berlanjut sampai saat penelitian dilakukan. Dengan adanya Program Coremap II di Kabupaten Bintan, maka secara berangsur kondisi terumbu karang semakin baik. Disamping itu, penggunaan alat tangkap seperti bubu, bagan tancap juga dapat merusak terumbu karang. Hasil analisis korelasi antara faktor kondisi lingkungan perairan dengan tutupan karang hidup menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berkorelasi negatif dengan sebagian besar variabel parameter lingkungan seperti kecepatan arus, salinitas, TSS, DO, BOD 5, nitrat, sedimentasi dan alga. kecuali suhu, kecerahan, dan kedalaman serta posfat berkorelasi positif. Pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini belum menunjukkan seimbangnya antar dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan di KKLD Bintan Timur. Nilai indeks

5 keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk dimensi ekologi 63,00 (cukup berkelanjutan), dimensi ekonomi 57,48 (cukup berkelanjutan), dimensi sosial budaya 52,03 (cukup berkelanjutan), dimensi infrastruktur dan teknologi 51,18 (cukup berkelanjutan) serta hukum dan kelembagaan sebesar 49,91 (kurang berkelanjutan). Dengan demikian pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur berada pada tingkat katagori kurang berkelanjutan sampai cukup berkelanjutan. Ada sepuluh atribut utama atau faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, yaitu kondisi terumbu karang, luas area dilindungi, pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja pariwisata, ketersediaan SDM, kebijakan pemerintah, koordinasi antar stakeholders, kepatuhan masyarakat, penyuluhan hukum lingkungan, serta sarana dan prasarana pengawasan. Strategi implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur menggunakan pendekatan integratif dengan melakukan perbaikan dan peningkatan pada faktor dominan antara lain: (a) peningkatan koordinasi antar stakeholders; (b) peningkatan pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten; (c) pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pengembangan mata pencaharian alternatif; (d) meningkatkan kualitas SDM pesisir; dan (e) melakukan rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan pengendalian serta penanggulangan pencemaran. Kata kunci: Desain, pengelolaan, konservasi, ekosistem, terumbu karang, berkelanjutan, Bintan Timur

6 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 DESAIN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SECARA BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU ADRIMAN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi: Pada Ujian Tertutup : Jumat/10 Agustus 2012 : 1. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Pada Ujian Terbuka : Rabu/17 Oktober 2012 : 1. Dr. Ir. T. Efrizal, M.Si Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjung Pinang 2. Prof (R). Dr. Suharsono Peneliti Senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta

9 Judul Disertasi Nama NRP : Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau : Adriman : P Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr Tanggal Ujian : 17 Oktober 2012 Tanggal Lulus :

10 ix KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya, sehingga disertasi dengan judul Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau di bawah bimbingan dan arahan Komisi Pembimbing telah dapat diselesaikan. Dalam menyelesaikan disertasi ini, berbagai pihak telah banyak membantu. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga dalam penyusunan disertasi ini. 2. Ketua Program Studi PSL-IPB, Sekretaris Program beserta staf yang senantiasa memberikan motivasi dan layanan administrasi yang baik. 3. Bapak Prof. Dr. Anshaluddin Jalil, M.S. Rektor Universitas Riau yang telah memberikanan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Bustari Hasan, M.Sc. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau yang selalu memberi motivasi penulis dalam menempuh pendidikan program doktor ini. 5. Semua pihak yang telah berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data lapangan hingga tersusunnya disertasi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan masukan yang konstruktif sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini nermanfaat bagi kita semua. Bogor, Oktober 2012 Adriman

11 x RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sawah Air Tiris pada tanggal 01 Januari 1964 dari pasangan H. Ilyas (Alm) dan Halimah (Almh), merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Hj. Hidayati dan telah dikaruniai empat orang anak, yaitu Putri Adriyati, Hairatunnisa, Muhammad Adriyan Putra dan Widya Adriyati Putri. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau pada tahun Pada tahun 1991 penulis mulai bekerja sebagai Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Selanjutnya pada tahun 1993 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana Program Magister (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Sains (M.Si) pada tahun Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan S3 telah diterbitkan dua artikel, yaitu: (1) Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau di Jurnal Berkala Perikanan Terubuk, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Volume 41 No. 1 Februari 2012; (2) Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau di Jurnal Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Volume 17 No. 1 Juni Karya-karya tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.

12 xi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii I. PENDAHULUAN Latar Belakang... Perumusan Masalah... Tujuan Penelitian... Kerangka Pemikiran... Manfaat Penelitian... Kebaruan (Novelti)... II. TINJAUAN PUSTAKA Batasan Wilayah Pesisir... Ekosistem Terumbu Karang... Pembangunan Berkelanjutan... Daya Dukung... Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang... Kawasan Konservasi Laut... Sistem dan Pendekatan Sistem... Penelitian Terdahulu... III. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... Pendekatan Penelitian... Jenis dan Sumber Data... Metode Pengumpulan Data... Metode Analisis Data... IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis dan Administrasi... Topografi dan Iklim... Hidrooseanografi... Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya... Sarana dan Prasarana Pariwisata... Potensi Kelautan dan Perikanan

13 xii V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Kondisi Terumbu Karang... Karakteristik Lingkungan Perairan... Sedimentasi... Beban Pencemaran... Korelasi Antara Karakteristik Biofisik-Kima Lingkungan Perairan dengan Masing-masing Lokasi Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Pengelolaan Saat ini dan Skenario Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Saat Ini... Skenario Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Arahan Strategi dan Implementasi Program Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 xiii DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian Faktor konstanta beban limbah organik Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan Persentase penutupan karang (Gomez and Yap, 1988) Dimensi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kategori status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap- Insus-COREMAG Pedoman penilaian analisis prospektif Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan Faktor-faktor kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang Hasil analisis skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Tujuan, peubah, metode analisis data dan output yang diharapkan Luas wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan tahun Sebaran lokasi dan jenis obyek wisata yang dapat di kembangkan di Gugus Pulau Bintan Data kualitas perairan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau tahun Beban sedimen melayang yang masuk ke laut dari masingmasing sungai di KKLD Bintan Timur tahun

15 xiv 18. Hasil perhitungan beban pencemaran yang berasal dari sungai yang bermuara ke perairan pesisir Bintan Timur Estimasi beban pencemaran pencemaran yang berasal dari kegiatan penduduk Matriks korelasi parameter karakteristik lingkungan perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Nilai indeks multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Nilai stress dan koefisien determinasi multidimensi Hasil analisis Monte Carlo multidimensi Landasan hukum kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang Tutupan karang hidup dalam pengamatan di perairan Bintan Timur Kepulauan Riau Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis MDS Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis kebutuhan Faktor-faktor kunci multidimensi yang berpengaruh terhadap sistem pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur Perubahan keadaan (state) faktor-faktor kunci/penentu dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepri Hasil analisis skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Kabupaten Bintan Kepri Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 1 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 1 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Kabupaten Bintan Kepri Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 2 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang

16 xv 34. Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 3 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario 1, 2, 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Perubahan kenaikan skala atribut pada masing-masing dimensi dan indikator keberhasilan pada skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Strategi dan implementasi program kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri

17 xvi DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian model pengelolaan ekosistem Terumbu karang berkelanjutan di KKLD Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Peta lokasi penelitian di KKLD Bintan Timur Propinsi Kepulauan Riau Tahapan penelitian yang dilakukan Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Peta potensi ekosistem utama pesisir di Kabupaten Bintan Jumlah genera karang batu yang ditemukan di KKLD Bintan Timur Kondisi tutupan karang hidup di beberapa stasiun pengamatan pada KKLD Bintan Timur tahun Persentase tutupan karang dari kategori benthic lifeform di KKLD Bintan Timur Tahun Laju sedimentasi di KKLD Bintan Timur Grafik analisis komponen utama parameter fisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2). A: Korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan Grafik analisis komponen utama parameter fisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F3). A: Korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan parameter karakteristik biofisik-kimia lingkungan perairan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi

18 xvii 18. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam erubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial budaya Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial budaya yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi dan infrastruktur yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Nilai sensitivitas atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Diagram layang (kite diagram) keberlanjutan multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Persentase rata-rata tutupan karang hidup di KKLD Bintan Timur dari tahun 2007 sampai 2010 (Coremap II LIPI, 2010) Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap pertama) Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap kedua) Nilai indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario 1, 2 dan 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Kedudukan UPTD KKLD Bintan pada struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan Struktur kemitraan pengelolaan KKLD antara UPTD KKLD dengan FP-TKB Usulan struktur organisasi FP-TKB mitra pengelolaan KKLD Bintan

19 xviii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Persentase tutupan dari kategori benthic lifeform di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Tahun Data Kualitas Perairan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Tahun Akar ciri dan persentase kontribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi Kualitas representasi kosinus kuadrat dari fisika-kimia perairan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) Kualitas representasi kosinus kuadrat lokasi pengamatan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) Dimensi ekologi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Dimensi sosial budaya dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Dimensi teknologi dan infrastruktur serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Dimensi hukum dan kelembagaan serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Perhitungan beban pencemaran dari penduduk, hotel dan restoran serta peternakan Matrik strategi dan implementasi program, capaian program menurut waktu serta indikator kinerja utama (IKU), pelaksanaan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau

20 xi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii I. PENDAHULUAN Latar Belakang... Perumusan Masalah... Tujuan Penelitian... Kerangka Pemikiran... Manfaat Penelitian... Kebaruan (Novelti)... II. TINJAUAN PUSTAKA Batasan Wilayah Pesisir... Ekosistem Terumbu Karang... Pembangunan Berkelanjutan... Daya Dukung... Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang... Kawasan Konservasi Laut... Sistem dan Pendekatan Sistem... Penelitian Terdahulu... III. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... Pendekatan Penelitian... Jenis dan Sumber Data... Metode Pengumpulan Data... Metode Analisis Data... IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis dan Administrasi... Topografi dan Iklim... Hidrooseanografi... Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya... Sarana dan Prasarana Pariwisata... Potensi Kelautan dan Perikanan

21 xii V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Kondisi Terumbu Karang... Karakteristik Lingkungan Perairan... Sedimentasi... Beban Pencemaran... Korelasi Antara Karakteristik Biofisik-Kima Lingkungan Perairan dengan Masing-masing Lokasi Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Pengelolaan Saat ini dan Skenario Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Saat Ini... Skenario Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Arahan Strategi dan Implementasi Program Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

22 xiii DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian Faktor konstanta beban limbah organik Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan Persentase penutupan karang (Gomez and Yap, 1988) Dimensi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kategori status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap- Insus-COREMAG Pedoman penilaian analisis prospektif Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan Faktor-faktor kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang Hasil analisis skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Tujuan, peubah, metode analisis data dan output yang diharapkan Luas wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan tahun Sebaran lokasi dan jenis obyek wisata yang dapat di kembangkan di Gugus Pulau Bintan Data kualitas perairan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau tahun Beban sedimen melayang yang masuk ke laut dari masingmasing sungai di KKLD Bintan Timur tahun

23 xiv 18. Hasil perhitungan beban pencemaran yang berasal dari sungai yang bermuara ke perairan pesisir Bintan Timur Estimasi beban pencemaran pencemaran yang berasal dari kegiatan penduduk Matriks korelasi parameter karakteristik lingkungan perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Akar ciri dan persentase kontribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi Nilai indeks multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Nilai stress dan koefisien determinasi multidimensi Hasil analisis Monte Carlo multidimensi Landasan hukum kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang Tutupan karang hidup dalam pengamatan di perairan Bintan Timur Kepulauan Riau Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis MDS Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis kebutuhan Faktor-faktor kunci multidimensi yang berpengaruh terhadap sistem pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur Perubahan keadaan (state) faktor-faktor kunci/penentu dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepri Hasil analisis skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Kabupaten Bintan Kepri Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 1 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 1 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Kabupaten Bintan Kepri

24 xv 34. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 2 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 3 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario 1, 2, 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Perubahan kenaikan skala atribut pada masing-masing dimensi dan indikator keberhasilan pada skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Strategi dan implementasi program kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri

25 xvi DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian model pengelolaan ekosistem Terumbu karang berkelanjutan di KKLD Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Peta lokasi penelitian di KKLD Bintan Timur Propinsi Kepulauan Riau Tahapan penelitian yang dilakukan Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Peta potensi ekosistem utama pesisir di Kabupaten Bintan Jumlah genera karang batu yang ditemukan di KKLD Bintan Timur Kondisi tutupan karang hidup di beberapa stasiun pengamatan pada KKLD Bintan Timur tahun Persentase tutupan karang dari kategori benthic lifeform di KKLD Bintan Timur Tahun Laju sedimentasi di KKLD Bintan Timur Grafik analisis komponen utama parameter fisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2). A: Korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan Grafik analisis komponen utama parameter fisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F3). A: Korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan parameter karakteristik biofisik-kimia lingkungan perairan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi

26 xvii 18. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam erubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial budaya Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial budaya yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi dan infrastruktur yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Nilai sensitivitas atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan Diagram layang (kite diagram) keberlanjutan multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Persentase rata-rata tutupan karang hidup di KKLD Bintan Timur dari tahun 2007 sampai 2010 (Coremap II LIPI, 2010) Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap pertama) Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap kedua) Nilai indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario 1, 2 dan 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Kedudukan UPTD KKLD Bintan pada struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan Struktur kemitraan pengelolaan KKLD antara UPTD KKLD dengan FP-TKB Usulan struktur organisasi FP-TKB mitra pengelolaan KKLD Bintan

27 xviii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Persentase tutupan dari kategori benthic lifeform di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Tahun Data Kualitas Perairan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Tahun Kualitas representasi kosinus kuadrat dari fisika-kimia perairan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) Kualitas representasi kosinus kuadrat lokasi pengamatan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) Dimensi ekologi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Dimensi sosial budaya dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Dimensi teknologi dan infrastruktur serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Dimensi hukum dan kelembagaan serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Perhitungan beban pencemaran dari penduduk, hotel dan restoran serta peternakan Matrik strategi dan implementasi program, pelaksana, kelompok sasaran seta waktu pelaksanaan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau

28 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia memiliki sekitar km 2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan nusantara. Potensi lestari sumberdaya perikanan yang terkandung di dalamnya diperkirakan sebesar ton/km 2 /tahun, meliputi berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Terumbu karang yang masih utuh juga memberikan nilai pemandangan yang sangat indah. Keindahan tersebut merupakan potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal (Dahuri et al., 1996). Indonesia memiliki keanekaragaman terumbu karang yang sangat tinggi, dimana ditemukan 75 genera yang terdiri dari 350 spesies (Borel-Best et al., 1989 diacu dalam Supriharyono, 2007). Ekosistem terumbu karang sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik. Nilai ekonomi terumbu karang yang terdapat di Indonesia dari kegiatan perikanan, perlindungan pantai, pariwisata sekitar 1,6 milyar dolar AS (Burke et al., 2002). Disisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan ekosistem terumbu karang di beberapa wilayah perairan telah berlangsung secara berlebihan, sehingga cenderung mengalami kerusakan yang parah (Edwards dan Gomez, 2007; Dahuri et al., 1996). Secara umum kerusakan terumbu karang disebabkan oleh gangguan alam dan kegiatan manusia. Kegiatan manusia yang dapat mengancam terumbu karang antara lain kegiatan penangkapan ikan dan

29 2 pariwisata. Kunzmann (2001) mengatakan bahwa lebih dari 60% ekosistem terumbu karang dunia terancam oleh kegiatan penangkapan ikan dan pariwisata. Hasil pengamatan terhadap 324 lokasi terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 43% terumbu karang rusak atau bahkan dapat dianggap berada diambang kepunahan, sedangkan yang masih sangat baik hanya sekitar 6,48% (Soekarno, 1995). Selanjutnya Sjafrie (2011) melaporkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dari 985 stasiun yang tercatat sampai dengan tahun 2008 menunjukkan hanya 5,48% terumbu karang di Indonesia dalam keadaan sangat baik. Secara garis besar kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh enam faktor utama, yaitu (1) penambangan karang (coral mining) untuk keperluan bahan bangunan, pembuatan jalan, dan bahan hiasan; (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak; (3) kegiatan wisata bahari yang kurang memperhatikan pelestarian sumberdaya laut; (4) pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan-kegiatan ekonomi (pembangunan) di darat dan di laut; (5) kekeruhan dan sedimentasi akibat pengelolaan lahan atas (upland areas) yang tidak atau kurang mengindahkan kaedah-kaedah ekologis (pelestarian lingkungan); dan (6) sebab-sebab alamiah, termasuk pemanasan global yang telah mengakibatkan coral bleaching (Dahuri et al., 1996). Selanjutnya Burke et al. (2002) melaporkan, bahwa 25% terumbu karang di di Asia Tenggara termasuk Indonesia terancam akibat pembangunan di wilayah pesisir, 7% terancam akibat pencemaran laut, 21% terancam akibat sedimentasi dan pencemaran dari darat, 64% terancam akibat penangkapan berlebihan, 56% terancam akibat penangkapan ikan dengan cara yang merusak. Kabupaten Bintan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 240 pulau-pulau kecil serta memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang sangat potensial. Luas wilayah Kabupaten Bintan sekitar ,84 km² yang sebagian besar wilayahnya (98,51%) merupakan perairan laut serta memiliki garis pantai sepanjang 728 km. Jumlah penduduk Kabupaten Bintan pada tahun 2008 tercatat sebanyak jiwa. Sektor perikanan merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian masyarakat, dimana pada tahun 2007

30 3 tercatat sebanyak RTP, sebagian besar (96,3%) bergerak di bidang penangkapan ikan (BPS Kabupaten Bintan, 2007). Wilayah pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem terumbu karang seluas ,83 ha, mangrove 6.774,86 ha, padang lamun 1.334, 327 ha dan rumput laut 1.156,11 ha yang tersebar hampir merata di sepanjang pesisir Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil (DKP, 2007). Luas ekosistem terumbu karang Kabupaten Bintan ini meliputi 43,5% dari luas ekosistem terumbu karang di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu ha (Zieren et al., 1997). CRITC- COREMAP II - LIPI (2007) melaporkan bahwa di perairan Pulau Bintan dan sekitarnya ditemukan 14 famili dan 78 jenis karang dengan kondisi buruk sampai sedang. Ekosistem perairan laut dan sumberdaya yang dikandungnya harus dijaga kelestarian dan harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, untuk itu perlu ada usaha melalui konservasi. Menurut Dight et al. (1999), bahwa Kawasan Konservasi Laut mempunyai potensi untuk berperan jauh lebih besar terhadap keberhasilan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan di wilayah terumbu karang dan ekosistem-ekosistem lain yang berhubungan. Selanjutnya Halim (1998) mengatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi laut diperlukan zonasi tertentu untuk menunjang mata pencaharian masyarakat, maupun kegiatan lainnya sesuai dengan azas kelestarian. Pengelolaan yang dilakukan harus didasari pada tiga aspek konservasi, yaitu perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah dan pelestarian ekosistem. Menurut Statistik Ditjen PHPA 1997/91998 Indonesia memiliki 374 unit kawasan konservasi dengan luas total ,25 ha. Kawasan-kawasan tersebut terdiri dari 347 unit kawasan konservasi daratan dengan luas ,90 ha dan 27 unit kawasan konservasi laut seluas ,35 ha. Kawasan konservasi darat terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, Taman Buru, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan kawasan konservasi laut terdiri dari Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Cagar Alam Laut dan Suaka Margasatwa Laut (Manulang, 1999). Sebagai upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang dan pemanfaatan sumberdaya hayati yang terkandung di dalamnya secara

31 4 berkelanjutan di Kabupaten Bintan, pemerintah pada tahun 2006 telah menetapkan kawasan pesisir timur Pulau Bintan sebagai salah satu lokasi COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) Fase II. Secara administrasi lokasi Coremap ini berada pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang meliputi empat desa (Kelurahan Kawal, Desa Gunung Kijang, Desa Malang Rapat dan Desa Teluk Bakau) dan Kecamatan Bintan Pesisir satu desa yaitu Desa Mapur. Selanjutnya pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Bintan telah menetapkan kawasan pesisir timur Pulau Bintan ini sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dengan SK Bupati Bintan No. 261/VIII/2007 dengan luas kawasan ha. Meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Bintan baik di daratan maupun di perairan pesisir telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya perairan pesisir termasuk ekosistem terumbu karang di KKLD. Saat ini terdapat berbagai institusi, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun swasta yang mengelola bagian-bagian wilayah pesisir KKLD Kabupaten Bintan secara sendirisendiri dengan mekanisme yang tumpang tindih. Kegiatan pembangunan di daratan meliputi kegiatan pertambangan, industri, pariwisata (hotel dan restoran), permukiman, dan pertanian. Sementara itu kegiatan pembangunan di perairan pesisir meliputi pelabuhan, dan transportasi laut, penangkapan ikan, dan pariwisata bahari. Semua kegiatan pembangunan tersebut belum menunjukkan keterpaduan sebagaimana persyaratan pembangunan wilayah pesisir sebagai suatu ekosistem yang kompleks Dalam konteks pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan tidak bisa terlepas dari pengelolaan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur memerlukan suatu perencanaan pengelolaan yang terpadu yang melibatkan banyak stakeholders. Mengingat bahwa aspek keberlanjutan merupakan aspek kunci dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan mengandung berbagai dimensi yang cukup kompleks, maka perlu dikaji aspek keberlanjutan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara komprehensif dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang khususnya di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.

32 Perumusan Masalah Penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di perairan pesisir Pulau Bintan termasuk di KKLD dapat dibedakan ke dalam dua faktor, yaitu (1) kegiatan pembangunan di wilayah daratan (external factors) yang meliputi : kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan pertambangan bauksit, granit, dan pasir darat; pencemaran dari industri, domestik, hotel dan restoran serta pertanian, dan (2) kegiatan pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya di dalam perairan itu (internal factors) yang meliputi; penambangan karang (coral mining), penggunaan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak dalam penangkapan ikan di kawasan terumbu karang; pelabuhan dan transportasi laut serta kegiatan wisata yang berkaitan dengan pemanfaatan keindahan terumbu karang (Bapedalda Kabupaten Kepulauan Riau, 2002). Saat ini kegiatan pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir Bintan Timur yang menjadi lokasi KKLD adalah kegiatan pertambangan, perikanan, pelabuhan dan transportasi laut, pariwisata bahari, hotel dan restoran serta sebagai kawasan industri akan berdampak terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang. Jumlah industri di wilayah pesisir Bintan Timur baik industri besar maupun industri kecil dan menengah sampai tahun 2008 sebanyak 8 industri. Kegiatan pertambangan meliputi pertambangan bauksit, granit dan pasir darat. Pertambangan bauksit tersebar pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 459,96 ha; pertambangan granit pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 111,22 ha dan pertambangan pasir darat pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 132,20 ha. Disamping itu wilayah pesisir Bintan Timur merupakan kawasan pengembangan wisata di Kabupaten Bintan yang menyebabkan tumbuhnya hotel dan restoran. Jumlah hotel di wilayah pesisisr Bintan Timur pada tahun 2008 tercatat sebanyak 6 (enam) hotel dengan jumlah kamar 400 unit. Sedangkan jumlah restoran sebanyak 22 buah dengan jumlah tempat duduk 911 kursi (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Meningkatnya kegiatan pembangunan di Bintan akan berdampak terhadap meningkatknya jumlah limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Menurut Hughes et al. (1999), bahwa pembuangan limbah industri dan domestik akan meningkatkan nutrien dan racun di lingkungan terumbu karang serta dapat menyebabkan pertumbuhan alga yang berlebihan. Limbah kaya nutrisi dari

33 6 pembuangan atau dari sumber lain sangat mengganggu karena dapat menyebabkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga akan mendominasi terumbu karang hingga akhirnya melenyapkan karang. Sementara itu kegiatan pertambangan di Bintan akan meningkatkan kekeruhan air dan sedimentasi di perairan. Partini (2009) menemukan bahwa laju sedimentasi pada ekosistem terumbu karang Bintan Timur berkisar 4,00 78,24 mg/cm 2 /hari (ringan berat). Kondisi ini berkorelasi negatif terhadap tutupan karang dan berkorelasi positif terhadap indeks mortalitas karang. CRITC-COREMAP II - LIPI (2007) melaporkan bahwa kondisi terumbu karang di KKLD Bintan berada dalam kategori buruk sampai sedang. Tutupan karang hidup pada beberapa lokasi bervariasi, diantaranya di perairan pantai Trikora tutupan karang hidup berkisar 5 61,90% dengan rerata persentase tutupan karang hidup 25,27%, Pulau Gyn dan Pulau Numbing tutupan karang hidup berkisar 5 42,11% dengan rerata tutupan karang hidup 21,88 %. Penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di KKLD ini adalah akibat penangkapan ikan dengan cara destruktif (bahan peledak dan sianida, dan bubu), pencermaran (dari pertambangan, domestik, hotel dan restoran), pariwisata bahari (penyelaman, penambatan kapal) dan pengambilan batu karang untuk bangunan (Coremap II Bintan, 2008). Selanjutnya CRITIC Bintan (2009) melaporkan bahwa masih ditemukan penurunan persentase tutupan karang hidup pada beberapa titik pemantauan pada periode 2008 sampai 2009 di lokasi KKLD ini. Lokasi yang mengalami penurunan persentase tutupan karang hidup adalah di Desa Malang Rapat dari 17,5 % menjadi 16,35 %, Desa Teluk Bakau dari 59,6% menjadi 52,8 % dan Desa Kawal dari 42,19% menjadi 36,8 %. Penurunan tutupan karang hidup ini diduga akibat kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan penambangan bauksit, granit dan pasir darat. Dampak terhadap ekosistem terumbu karang akan mengakibatkan kerugian ekonomi, berupa pendapatan nelayan turun, hilangnya potensi sumberdaya alam yang seharusnya dimanfaatkan. Kerugian ekologi berupa penurunan populasi biota karang, kerusakan karang, sedangkan kerugian sosial adalah hilangnya kesempatan kerja, serta terjadinya konflik sosial. Oleh karena itu perlu pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan yang dapat menjamin kelestariannya.

34 7 Menurut Ariani (2006) bahwa permasalahan yang mendasar sebagai penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Bintan Timur adalah (1) kemiskinan masyarakat dan kesulitan adaptasi pada mata pencaharian alternatif, (2) keserakahan pemilik modal, (3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan (4) kebijakan pemerintah yang belum memberikan perhatian pada pengelolaan kualitas lingkungan di wilayah pesisir Bintan Timur. Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan pembangunan di daratan yang paling berpengaruh terhadap tutupan karang hidup adalah pembukaan lahan yang menyebabkan kekeruhan dan sedimentasi di ekosistem terumbu karang. Disamping itu LIPI (2009) melaporkan bahwa kesulitan dalam koordinasi antar sektor juga merupakan kendala dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini. Kegiatan pembangunan yang masih sektoral dan berorientasi ekonomi semata, sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Trimades P2O LIPI (2010) melaporkan bahwa di wilayah pesisir Bintan Timur potensi konflik pemanfaatan antara stakeholders cukup tinggi, terutama antara masyarakat nelayan dengan pengusaha wisata, dan antara nelayan dengan nelayan. Solusi dari permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang kompleks tersebut di atas memerlukan suatu pendekatan yang bersifat multidimensi sehingga konsep pembangunan berkelanjutan pada sumberdaya pesisir termasuk terumbu karang dapat diwujudkan. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur yang selama ini masih bersifat sektoral dan belum didasarkan atas pertimbangan multi sektoral dan multi dimensi. Kondisi ini telah menimbulkan kerugian ganda yang berupa hilangnya penerimaan negara, kerusakan lingkungan dan masalah sosial. Pertanyaan penelitian terkait dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana kondisi ekosistem terumbu karang saat ini? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang tersebut? 2) Bagaimana status keberlanjutan ekosistem terumbu karang saat ini? 3) Bagaimana pengelolaan saat ini dan bagaimana skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan? 4) Bagaimana strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan?

35 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membangun disain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Guna mewujudkan tujuan tersebut maka penelitian diarahkan untuk memperoleh tujuan operasional sebagai berikut : 1) Menganalisis kondisi terumbu karang dan kualitas lingkungan perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2) Menganalisis status keberlanjutan ekosistem terumbu karang. 3) Mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 4) Menyusun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan Kerangka Pemikiran Ekosistem terumbu karang merupakan sub sistem dari ekosistem wilayah pesisir, sehingga secara geografis terkait dengan wilayah daratannya. Ekosistem terumbu karang memiliki interaksi yang dinamis dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan perairan maupun lingkungan daratan. Oleh karena itu ekosistem terumbu karang tergolong kedalam ekosistem terbuka, sehingga dinamika lingkungannya akan berdampak terhadap kondisi terumbu karang. Ekosistem terumbu karang di perairan pesisir Pulau Bintan termasuk di KKLD dipengaruhi dua faktor, yaitu (1) kegiatan pembangunan di wilayah daratan (external factors) yang meliputi : kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan pertambangan bauksit, granit, dan pasir darat; pencemaran dari industri, domestik, hotel dan restoran serta pertanian, dan (2) kegiatan pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya di dalam perairan itu (internal factors) yang meliputi; penambangan karang (coral mining), penggunaan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak dalam penangkapan ikan di kawasan terumbu karang dan kegiatan wisata yang berkaitan dengan pemanfaatan keindahan terumbu karang. Kegiatan-kegiatan tersebut telah menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan perlu pengelolaan. Ekosistem terumbu karang memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang

36 9 menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik. Menyadari peran strategis ekosistem terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungannya maka pemerintah menempatkan terumbu karang sebagai ekosistem yang dilindungi. Namun demikian, pola pembangunan yang sektoral di wilayah pesisir dan semata berorientasi ekonomi telah menimbulkan pengelolaan yang distorsi. Selanjutnya fungsi ekosistem terumbu karang sebagai kawasan lindung menjadi terancam karena tekanan antropogenik yang tinggi. Beragamnya aktivitas di kawasan ekosistem terumbu karang dengan pola pengelolaan yang tidak jelas menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya kerusakan lingkungan biofisik, potensi konflik dan ancaman degradasi sosial ekonomi. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya harus dibangun atas dasar pertimbangan daya dukung dan prinsip keberlanjutan. Pengelolaan terumbu karang dapat dilakukan melalui pengendalian terhadap faktor-faktor penyebab kerusakan karang. Pengendalian terhadap faktor eksternal atau kegiatan di daratan dapat dilakukan melalui pengurangan jumlah limbah dan sedimen yang masuk ke perairan. Sedangkan pengendalian faktor internal atau kegiatan di dalam perairan adalah dengan pengaturan dan pengawasan terhadap penangkapan ikan yang merusak dan pariwisata bahari serta pelarangan menambang batu karang. Implementasi strategi pemanfaatan yang berbasis daya dukung dan keberlanjutan ialah kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang harus berbasis pada keterpaduan wilayah dan dimensi. Keterpaduan antara kawasan perairan pesisir dengan daerah daratan (upland), antara stakeholder dalam sistem tersebut dan antara berbagai dimensi seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan harus menjadi dasar dalam pengelolaan. Oleh karena itu dibutuhkan desain pengelolaan ekosistem yang berorientasi pada keberlanjutan. Prinsip penting pengelolaan berkelanjutan ialah adanya keterpaduan wilayah, keterpaduan kebutuhan dan keterpaduan para pihak. Dengan demikian melalui desain pengelolaan yang dibangun atas dasar landasan tersebut maka ekosistem terumbu karang diyakini dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakatnya secara berkelanjutan. Gambar 1 menunjukkan kerangka pikir penelitian.

37 10 Desain Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau

38 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam implementasi kebijakan dan desain sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 2. Sebagai bahan masukan bagi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan terutama di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. 3. Sebagai bahan pengembangan konsep dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 1.6 Kebaruan (Novelty) Sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik menyangkut pengelolaan ekosistem terumbu karang, analisis keberlanjutannya, maupun lokasi penelitian dilaksanakan. Dari penelitian-penelitian tersebut belum ada yang menganalisis secara multidimensi dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di Kabupaten Bintan. Adapun penelitian yang terkait yang telah dilakukan adalah : - Ariani (2006) meneliti tentang pengaruh kegiatan pembangunan pada ekosistem terumbu karang (studi kasus: efek sedimentasi di wilayah pesisir timur Pulau Bintan). - Partini (2009) meneliti tentang efek sedimentasi terhadap terumbu karang di pantai timur Kabupaten Bintan. - Febrizal (2009) melakukan penelitian tentang kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Kabupaten Bintan dan alternatif pengelolaannya. - Alustco (2009) melakukan kajian kualitas tutupan karang hidup dan kaitannya dengan Acthaster planci di Kabupaten Bintan. - Apriliani (2009) meneliti tentang strategi rehabilitasi terumbu karang untuk pengembangan pariwisata bahari di Pulau Mapur Kabupaten Bintan Kepulauan Riau.

39 12 Berdasarkan hasil kajian-kajian tersebut ditemukan kebaruan (novelty) baik dilihat dari segi pendekatan metode yang digunakan maupun hasil penelitian. Dari segi pendekatan metode, penelitian ini menerapkan beberapa metode analisis yang dilaksanakan secara komprehensif (PCA, Rap-Insus COREMAG, Analisis Prospektif) dalam membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Dari segi hasil penelitian, dihasilkan konsep baru pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur yang mengintegrasikan faktor-faktor yang sifatnya spesifik dalam pengelolaan terumbu karang.

40 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batasan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir secara ekologis adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan sedangkan ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan (Dahuri et al. 1996). Di wilayah pesisir terdapat ekosistem yang terkait satu dengan lainnya. Ekosistem pesisir merupakan suatu unit tatanan interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan secara bersama-sama menjalankan fungsinya masing-masing pada suatu tempat atau habitat (Odum, 1971). Selanjutnya dikatakan bahwa komponen hayati dan nirhayati secara fungsional hubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu sistem dari kedua komponen tersebut, maka dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya (Bengen 2002). Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (nutrient, sedimentasi dan bahan pencemar) yang kesemuanya akan bermuara ke perairan pesisir. Selain itu, pola pergerakan massa air ini juga akan berperan dalam perpindahan biota perairan (plankton, ikan, udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Bengen, 2002). Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai 4 (empat) fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen, 2002). Sedangkan menurut ( Dahuri et al., 1996), wilayah pesisir secara keseluruhan memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi manusia sebagai berikut: 1. Penyedia sumberdaya alam hayati, seperti sumber pangan (protein) dan sebagai obat-obatan untuk kesehatan.

41 14 2. Penyedia sumberdaya alam non hayati, yakni dapat menyediakan lapangan pekerjaan seperti kegiatan industri, pertambangan dan sebagainya. 3. Penyedia energi, dengan menggunakan gelombang pasang-surut dapat membangkitkan tenaga listrik. 4. Sarana transportasi, untuk membangun pelabuhan atau dermaga sebagai bongkar muat barang. 5. Rekreasi dan pariwisata, yakni didukung oleh pasir putih, terumbu karang dan sebagainya. 6. Pengatur iklim dan lingkungan hidup, laut berperan mengatur suhu udara dan iklim laut, menyerap CO 2, menjaga lingkungan laut agar sirkulasi air dunia terjamin sehingga daerah tropis air laut tidak terlalu panas dan sebaliknya daerah subtropis. 7. Penampung limbah, bentuk apapun limbah yang dibuang ketempat terakhirnya adalah muara sungai di laut. 8. Sumber plasma nutfah, yakni tempat hidupnya beraneka ragam biota dan plasma nutfah sehingga merupakan bagian kepentingan manusia. 9. Pemukiman, yaitu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat yang mempunyai kegiatan di pesisir. 10. Kawasan industri, yakni digunakan untuk pembangunan industri sehingga memudahkan kegiatan ekspor dan impor barang. 11. Pertahanan dan keamanan, wilayah pesisir mengelilingi pulau sehingga pulau merupakan wilayah pengaman dan pendukung kekuatan hankam. Sebagai wilayah yang mempunyai karakteristik tersendiri, maka faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, serta faktor fisik dan kimia lainnya lebih bervariasi dibandingkan dengan ekosistem yang terdapat di laut lepas maupun yang terdapat di perairan darat. Karakteristik hidro-oseanografi yang sangat dinamis ini menjadikan pengelolaan wilayah pesisir baik untuk kepentingan perikanan budidaya, konstruksi, pariwisata, serta kegiatan lainnya harus dikerjakan secara bijak dan hati-hati.

42 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang pada hakekatnya mempunyai multi fungsi. Selain sebagai habitat berbagai jenis biota, ekosistem ini berfungsi sebagai sumberdaya hayati, sumber keindahan dan perlindungan pantai. Sebagai habitat, ekosistem terumbu karang merupakan tempat untuk tinggal, berlindung, mencari makan dan berkambang biaknya biota, baik yang hidup di dalam ekosistem terumbu karang maupun dari perairan di sekitarnya ( Nybakken, 1992: Mumby and Steneck, 2008). Di dalam ekosistem ini terdapat kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkatan tropik yang mempunyai sifat saling ketergantungan. Biota tersebut meliputi berbagai jenis ikan karang, teripang, rumput laut, dan beberapa jenis moluska yang bernilai ekonomi. Sebagai sumber keindahan, ekosistem terumbu karang dengan keanakeragaman jenis, bentuk biota dan keindahan warna, serta jernihnya perairan mampu membentuk perpaduan harmonis dan estetis, ideal untuk tempat rekreasi bawah laut Aspek Biologi dan Ekologi Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur, terutama karang batu (stony coral) dan alga berkapur (calareous algae). Terumbu karang berupa gugusan karang yang terbentuk dari endapan masif kristal kalsium karbonat (CaCO 3 ), berasal dari epidermis pada setengah bagian bawah kolom dan binatang karang (polip menetap), alga dan organisme lain penghasil kalsium karbonat tersebut. Terumbu karang mempunyai respon spesifik terhadap lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan yang pesat pada kedalaman rata-rata 2 15 meter, dan cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikalnya (Nybakken, 1992). Karang pembentuk terumbu hanya dapat tumbuh dengan baik pada daerahdaerah tertentu, seperti pulau-pulau yang sedikit mengalami proses sedimentasi atau di sebelah timur dari benua yang umumnya tidak terpengaruh oleh adanya arus dingin (Suharsono, 1996). Keberadaan terumbu karang ditandai oleh menonjolnya jenis biota yang hidup di dalamnya, diperkirakan menempati sekitar 0,2% dari luas samudera dunia sekitar km 2 atau 70,8% permukaan

43 16 bumi. Sebagian besar terumbu karang (coral reef) tumbuh di perairan tropis yang jernih dan agak dangkal pada rentang isothermal 20 o C dengan ketersediaan nutrisi rendah, dan pada kedalaman kurang dari 40 meter (Allister, 1989; Hardianto et al., 1998). Jutaan hektar terumbu karang terdapat di daerah pantai tropis dunia. Di daerah Mediterania Asiatik yaitu kawasan laut dalam dan sekitar Kepulauan Indonesia mulai dari Australia bagian utara sampai China bagian selatan, total luas terumbu karang adalah 18,2 juta ha (30% dari total luas terumbu karang dunia), yang merupakan kawasan terumbu karang terluas di dunia (Smith, 1978 dalam Schroder, 1986). Sementara itu, di Kepulauan Philipina luas terumbu karang adalah 4,41 juta ha (Dizon, 1986). Menurut Suharsono (1996) sebaran terumbu karang di Indonesia lebih banyak terdapat di sekitar pulau Sulawesi, laut Flores dan Banda. Sebaran karang di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan dibatasi oleh tingginya sedimentasi. Tumbuh dan berkembangnya karang dengan baik di Sulawesi (utara) adalah karena adanya arus lintas Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari Laut Pasifik dan Laut Hindia. Sebagai suatu ekosistem yang sangat produktif, terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, sehingga menampakkan panorama dasar laut yang sangat indah. Ekosistem ini terdiri atas jaringan mata rantai yang menumbuhkan siklus fauna, siklus flora, siklus air dan berbagai siklus lainnya yang saling berkaitan. Karena itu, menurut Salim (1992), ekosistem terumbu karang memiliki lima fungsi penting, yaitu : (a) fungsi keterkaitan, (2) fungsi keanekaragaman, (c) fungsi keserasian antar komponen satu dengan yang lain, (d) fungsi efisien, dan (e) fungsi keberlanjutan Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang Menurut Nybakken (1992) faktor-faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan serta kelangsungan hidup terumbu karang adalah sebagai berikut: 1. Suhu. Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang di perairan adalah berkisar o C dengan suhu minimum 18 o C. Namun hewan ini masih bisa hidup sampai suhu 15 o C, tetapi akan terjadi penurunan

44 17 pertumbuhan, reproduksi, metabolisme serta produktivitas kalsium karbonat. 2. Tingkat Pencahayaan. Intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kelangsungan hidup karang. Dalam proses kehidupannya, hewan ini bersimbiosis dengan mikro alga (zooxanthellae) yang dalam hidupnya mutlak memerlukan cahaya matahari sebagai energi utama untuk pembentukan zat hijau daun (Chlorophyl). Faktor kedalaman dan intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kehidupan binatang karang, sehingga pada daerah yang keruh serta daerah dalam tidak ditemukan terumbu karang. Kedalaman air untuk terumbu karang tidak lebih dari 50 meter. 3. Salinitas. Hewan karang peka terhadap perubahan salinitas (kadar garam), sehingga pada perairan yang tidak banyak mengalami perubahan salinitas atau relatif stabil saja karang bisa hidup normal. Salinitas optimal untuk kehidupan terumbu karang antara o / oo, sehingga jarang ditemukan pada daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam tinggi (hipersalin). 4. Kejernihan air. Kejernihan air ini sangat erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari, agar cahaya dapat mencapai dasar perairan, syarat kejernihan air diperlukan. Bila terdapat benda-benda yang larut atau melayang di laut akan mengganggu masuknya cahaya matahari. Pasir dan lumpur bisa menutupi polip dan akhirnya mematikan hewan karang ini. 5. Pergerakan Air. Ombak dan arus turut berperan dalam pertumbuhan karang. Ombak dan arus membawa oksigen dan bahan makanan; oleh karena karang batu yang hidup menetap di dasar dan tidak berpindah tempat maka karang batu ini hanya dapat mengandalkan bahan makanan yang dibawa oleh arus. Di samping itu arus atau ombak dapat membersihkan polip dari kotoran-kotoran yang menempel atau masuk kedalamnya. Kedalaman 3 10 meter merupakan lingkungan yang menguntungkan bagi hewan karang untuk hidup.

45 Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem kawasan pesisir, berperan besar sebagai: (a) tempat tumbuh biota lain karena fungsinya sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut, (b) sumber plasma nutfah, (c) mencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, dan (d) melindungi pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai, disamping melindungi berbagai macam bangunan fisik (Nybakken, 1992; Dahuri, 1996). Selain itu terumbu karang merupakan sumber baku untuk berbagai macam kegiatan, seperti karang batu dan pasir sebagai bahan bangunan, karang hitam (black coral) sebagai bahan perhiasan, dan kerang atau moluska yang dapat untuk bahan penghias rumah (Sukarno, 1995). Di negara-negara berkembang, terumbu karang secara tidak langsung sebagai penghasil protein bagi penduduk, disamping sebagai obyek wisata, penangkal ombak atau pelindung usaha perikanan laguna, pelindung pelabuhan-pelabuhan kecil dari badai dan hempasan air laut, serta kegunaan lainnya. Supriharyono (2007) mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas primer yang tinggi, terutama karena adanya simbiosis antara koloni karang dan zooxanthellae, yakni sel-sel alga renik pada jaringan terluar dari karang yang membangun terumbu karang. Selanjutnya Purnomo et al. (2010) mengatakan bahwa zooxanthellae merupakan salah satu biota dalam kelompok dinoflagellata fototrofik. Organisme ini selalu hidup bersimbiosis dengena beberapa invertebrata laut. Hubungan antara zooxanthellae dengan karang bersifat mutualistik yang dicirikan dengan adanya ciri transfer nutritif dan fisiologis. Dengan karakter ini, maka hampir tidak ditemukan karang dapat hidup tanpa zooxanthellae. Terumbu karang di Indonesia tergolong yang terkaya di dunia dengan kandungan keanekaragaman tumbuhan dan hewan laut yang luar biasa. Saat ini, lebih 480 jenis karang batu telah didata di wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan (Suharsono, 1998). Hasil temuan terdahulu diketahui bahwa pada ekosistem terumbu karang yang sehat menghasilkan 35 ton ikan/km 2 /tahun, sedangkan dalam ekosistem terumbu karang rusak menghasilkan kurang dari lima ton ikan (Allister, 1989). Dalam kondisi fisik yang baik, terumbu karang dapat berfungsi

46 19 secara optimal sebagai sumber penghidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan Ancaman Terhadap Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang saat ini telah mendapat tekanan akibat berbagai kegiatan manusia. Burke et al. (2002) melaporkan bahwa penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara termasuk di Indonesia adalah : (a) pembangunan di wilayah pesisir yang menyebabkan sedimentasi dan pencemaran laut, seperti pengerukan, reklamasi, penambangan pasir, pembuangan limbah padat dan cair; (b) pencemaran laut akibat aktivitas di laut, seperti pencemaran dari pelabuhan, tumpahan minyak, pembuangan sampah dari atas kapal, dan akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal; (c) sedimentasi dan pencemaran dari daratan, seperti penebangan hutan, perubahan tataguna lahan dan praktek pertanian yang tidak konservatif; (d) penangkapan ikan secara berlebihan; (e) penangkapan ikan dengan cara merusak, seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun dan alat tangkap lainnya; dan (f) pemutihan karang akibat perubahan iklim global. Selanjutnya Supriharyono (2007) mengatakan bahwa kesehatan terumbu karang sangat ditentukan oleh baik buruknya aktivitas di daratan. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah pantai akan dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan, intensifikasi pertanian, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang kurang baik pada umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang. Kekeruhan dapat menurunkan penetrasi cahaya matahari, sehingga menurunkan efisiensi fotosintesis alga, zooxanthellae yang hidup bersimbiose dengan karang, sedangkan sedimentasi dapat langsung mengganggu kehidupan karang bahkan dapat menyebabkan kematian karang. Intensifikasi pertanian umumnya dapat meningkatkan run off pupuk dan pestisida ke perairan terumbu karang, walaupun kemungkinan dampak bahan-bahan kimia tersebut terhadap terumbu karang belum banyak diketahui. Disamping itu, ekosistem terumbu karang juga menerima dampak dari aktivitas daratan, yaitu berupa limbah penduduk dan limbah industri.

47 20 Sedimentasi yang terjadi di ekosistem terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Tomascik (1991), beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan pengerukan, pertambangan dan pembangunan konstruksi. Pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti, terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen ; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang di substrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen (Fabricius, 2005). Dari sekian banyak komponen limbah antara lain surfaktan, logam berat, bahan organik beracun dan bahan kimia, unsur hara nitrogen dan fosfor merupakan faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu karang (Tomascik, 1991). Peningkatan konsentrasi unsur hara akan memacu produktivitas fitoplankton dan alga bentik. Hal ini diindikasikan dengan peningkatan klorofil a dan kekeruhan, pada akhirnya memacu populasi hewan filter dan detritus feeder. Pengaruh peningkatan populasi fitoplankton dan kekeruhan, kompetisi alga bentik serta toksisitas fosfat secara bersamaan dapat menurunkan jumlah karang (Connel dan Hawker, 1992). Wilayah pesisir yang mempunyai pantai pasir putih dan ekosistem terumbu karang merupakan salah satu obyek wisata bahari yang sangat menarik. Menurut Mardani (1995), selama dua dekade perkembangan pariwisata di wilayah Asia-Pasifik, khususnya perkembangan pariwisata pesisir dan wisata bahari menunjukkan pertumbuhan yang cukup hebat. Hal ini mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata ini. Peningkatan fasilitas dan aksesibilitas di sekitar kawasan pariwisata ikut pula mempercepat pertumbuhan industri pariwisata di wilayah pesisir. Menurut De Silva (1985), perkembangan pariwisata juga mendorong kerusakan terumbu karang. Misalnya kerusakan terumbu karang di Malaysia terutama di Pulau Paya, Pulau Lembu, Pulau Songsong dan Pulau Telor telah mengalami rusak berat karena seringnya perahu-perahu wisata menancapkan

48 21 jangkarnya. Selanjutnya Salm dan Clark (1989) merinci lebih lanjut dampak aktivitas pariwisata komersil terhadap terumbu karang sebagai berikut : 1. Pembangunan fasilitas wisata, dampaknya dapat merubah aliran air sekitar terumbu karang dan akhirnya merubah faktor ekologi utama terumbu karang, dapat menimbulkan kekeruhan sehingga mengurangi fotosintesis, dapat menjadi sumber pencemaran tetap. 2. Kerusakan oleh jangkar, dampaknya memecah dan merusak karang. 3. Kerusakan oleh penyelam, sering kali aktivitas penyelaman (diving) secara tidak sengaja dapat menimbulkan kerusakan pada karang dan biota lainnya. 4. Kerusakan oleh perahu kecil, seringkali dasar perahu dan kapal pesiar dapat menambrak terumbu dan menimbulkan kerusakan fisik pada daerah yang dangkal, terutama pada saat surut. 5. Berjalan pada terumbu, seringkali para wisatawan berjalan-jalan pada terumbu karang saat air surut, dan cara ini sangat potensial menimbulkan kerusakan fisik karang karena terinjak Nilai Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem pesisir mempunyai nilai guna yang sangat penting, baik ditinjau dari aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut kurang lebih 10-15% dari total produksi. Hasil penelitian Husni (2001) tentang nilai ekonomi terumbu karang untuk perikanan di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat NTB adalah sekitar 611,34 kg/ha/tahun dengan nilai Rp /ha/tahun, sedangkan nilai ekonomi pariwisata bahari sekitar Rp ,36. Selanjutnya Wawo (2000) melaporkan bahwa nilai ekonomi total terumbu karang di Pulau Nusa Laut Maluku adalah Rp /ha/tahun. Selanjutnya Dahuri (1999) melaporkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang di Kawasan Barelang dan Bintan mencapai Rp ,-/ha/tahun. Fringing reef juga merupakan pelindung pantai yang sangat penting dari terpaan gelombang, sehingga stabilitas pantai bisa tetap terjaga. Hiew dan Lim (1998) dalam Kusumastanto (2000), menyatakan bahwa nilai manfaat terumbu karang per hektar per tahun sebagai pencegah erosi pantai adalah sebesar US$ ,75 atau dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp ,- maka nilai fungsi

49 22 tidak langsung terumbu karang sebagai pencegah erosi adalah sebesar Rp /ha/tahun. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem pesisir yang sangat penting dari berbagai aspek (Garces, 1992). Sementara itu, Ruitenbeek (2001), menyatakan bahwa nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai penyedia biodiversity adalah sebesar US$ 15/ha/tahun atau sekitar Rp ,-. Terumbu karang juga berperan dalam proses transpor nutrien baik organik maupun anorganik diantara ekosistem mangrove dan padang lamun (Dahuri et al. 1996). Menurut Baker dan Kaeoniam (1986) fungsi fisik terumbu karang antara lain adalah sebagai filter air untuk menjaga kualitas air di kawasan pantai. Selain itu juga sebagai peredam gelombang, pelindung alamiah terhadap daratan yang berhadapan dengannya, meminimalkan abrasi, serta penghasil pasir putih bagi kawasan pantai yang berhadapan. Pemanfaatan terumbu karang dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu a) pemanfaatan ekstraktif meliputi kegunaan konsumtif, seperti penangkapan biota laut yang dijadikan konsumsi pangan maupun kegunaan ornamental, seperti penangkapan ikan hias, kerang dan sebagainya, dan b) pemanfaatan non ekstraktif meliputi pendayagunaan ekosistem terumbu karang untuk tujuan pariwisata, penelitian, pendidikan, dan sebagainya (Baker dan Kaeoniam, 1986). Nilai ekonomi pemanfaatan ekstraktif dan non ekstraktif pada terumbu karang di Selat Lembeh dilaporkan oleh Parwinia (2007), yaitu nilai ekonomi ekstraktif di kawasan Selat Lembeh dengan indikator total revenue dari perikanan berkisar antara Rp. 27 juta per vessel per tahun (Kelurahan Aertembaga) sampai Rp. 238 juta per vessel per tahun (Kelurahan Makawidey). Nilai ekonomi non ekstraktif merupakan nilai wisata dan ekosistem, meliputi kegiatan diving, transportasi taxi air. Kegiatan diving memberikan manfaat ekonomi tertinggi sekitar Rp. 300 juta per tahun, taxi air Rp. 90 juta per tahun dan nilai ekonomi dari sewa kapal sebesar Rp. 25 juta per tahun.

50 Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada beberapa dekade terakhir, semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun internasional. Saat ini keberlanjutan (sustainability) telah menjadi elemen inti (core element) bagi banyak kebijakan pemerintah di negara-negara di dunia dan lembaga-lembaga strategis lainnya (Ekins dan Simon, 2001). Konsep pertama pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa: Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka (WCED, 1987). Selain berorientasi masa depan, secara etis definisi ini juga memberi jaminan pemenuhan kebutuhan hidup antar generasi. Menurut Khanna et al. (1999), pembangunan berkelanjutan berimplikasi pada keseimbangan dinamis antara fungsi maintenance (sustainability) dan transformasi (Development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, yang diterima secara luas ialah yang bertumpu pada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet), atau pilar Triple-P. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk terpeliharanya stabilitas sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem sosial yang tidak stabil akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara ancaman kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (misalnya

51 24 kelangkaan tanah dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial (Suryana, 2005). Bond et al. (2001) menyatakan bahwa istilah keberlanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Selanjutnya Roderic et al. (1997) menyatakan bahwa keberlanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang dan adil, serta efisien dalam pengalokasian sumberdaya. Menurut Supriharyono (2007) bahwa dalam mengelola sumberdaya pesisir, termasuk ekosistem terumbu karang perlu melakukan beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut mencakup aspek ekonomis, ekologis dan aspek sosial budaya. Menurut Cincin-Sain dan Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga aspek utama, yaitu: (1) pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup manusia, yaitu pembangunan yang menekankan manusia sebagai pusat perhatian; (2) pembangunan yang memperhatikan lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya, perlindungan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati; (3) pembangunan sosial secara adil dalam distribusi keuntungan pembangunan yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi, antar negara. Ketiga ide utama ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan oleh pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yaitu: Bagaimana pembangunan tersebut akan memperbaiki kualitas hidup manusia? Bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi sumberdaya alam dan lingkungannya? Adakah keadilan sosial dalam distribusi keuntungan dari pembangunan? Perencanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan informasi yang tepat tentang opsi penggunaan sumberdaya, pilihan teknologi yang digunakan, perubahan struktur sistem, pola konsumsi, tingkat kualitas hidup yang diinginkan dan status lingkungan yang menjamin tereduksinya tekanan ekologis oleh berbagai proses ekonomi. Pada level wilayah, operasionalisasi skema tersebut membutuhkan proses identifikasi keterkaitan antara kapasitas sumberdaya,

52 25 aktivitas pembangunan, kapasitas asimilasi, status lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas hidup yang diinginkan. Chang et al. (2008) mengatakan bahwa sebagai analisis skenario untuk mengambil kebijakan dalam pemecahan permasalahan wilayah pesisir yang kompleks dapat dibangun model sistem dinamik didasarkan DSS (decision suport system). Selanjutnya dikatakan bahwa strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan yang dibangun berdasarkan DSS ini diharapkan dapat diimplementasikan dimasa depan di wilayah pesisir Kenting Taiwan Daya Dukung Menurut Rogers et al. (2008) konsep pembangunan berkelanjutan didasari oleh konsep ekologi yaitu menyangkut tentang daya dukung. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Kanna et al. (1999) bahwa daya dukung merupakan basis dalam pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Inglis et al. (2000) menjelaskan bahwa konsep secara mendasar tentang daya dukung ialah hubungan antara populasi dengan perubahan sumberdaya alam yang menopangnya. Asumsinya ialah ukuran populasi optimal adalah yang dapat ditopang oleh sumberdaya alamnya. Artinya jika populasi tidak lagi dapat ditopang oleh sumberdaya alamnya maka telah melampaui daya dukungnya. Scone (1993) membedakan daya dukung mencakup dua jenis yaitu; (1) daya dukung ekologis ialah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena kepadatan dan kerusakan lingkungan permanen; (2) daya dukung ekonomi ialah tingkat produksi skala usaha yang memberikan keuntungan maksimum yang ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Krom (1986) menyatakan daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Selanjutnya menurut UNEP (1993) daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran. Sedangkan Pearce dan Kirk (1986) mendefinisikan daya dukung sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Undang-Undang No. 32

53 26 Tahun 2009 mendefinisikan daya dukung ialah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung kelangsungan hidup manusia, mahluk hidup lainnya dan keseimbangan diantara keduanya Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa terdapat enam variabel atau himpunan variabel kontekstual yang memberi pengaruh pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan, termasuk sumberdaya ikan di terumbu karang yaitu : 1. Sifat biofisik/ekologi sumberdaya serta teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. 2. Atribut pasar terutama komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang tersedia serta komoditas barang dan jasa yang digunakan dalam proses pemanfaatan sumberdaya. 3. Atribu pemegang kepentingan, yaitu nelayan serta kelompok masyarakat lainnya yang menempatkan sumberdaya sebagai panggung atau arena (stake) yang bersangkutan dengan mengekspresikan eksistensinya. 4. Atribut kelembagaan dan organisasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, serta organisasi yang visi dan misinya tidak berkaitan sama sekali dengan pemanfatan sumberdaya pesisir dan laut, namun hadir di tengah masyarakat. 5. Atribut kelembagaan dan organisasi ekternal yang terdapat di luar masyarakat atau di luar area pengelolaan sumberdaya perikanan. 6. Atribut eksogen yaitu kekuatan eksternal yang terjadi di luar sistem pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi pada kenyataannya sangat berpengaruh atau berdampak pada sumberdaya perikanan Dimensi Ekologi Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi

54 27 ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan juga. Tingkat eksploitasi atau tekanan eksploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Aziz et al. 1998). Tingkat eksploitasi yang melebihi MSY (maximum sustainable yield) atau terjadinya penangkapan berlebih (overfishing) akan membahayakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Gulland, 1983). Keanekaragaman spesies telah lama digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies itu sendiri penting karena fungsi bertindak di dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al., 2003). Keanekaragaman spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al. 2002). Jumlah spesies dan kombinasi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr, 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt, 2001) Dimensi Sosial Ekonomi Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi (Arifin, 2008). Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resource based activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (marked based activity). Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan

55 28 terumbu karang patut pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut Dimensi Kelembagaan Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, serta aturan dibuat atau dirumuskan. Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan, yaitu: 1. Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. 2. Kecocokan (relevanse) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi. 3. Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakkan. Christie et al. (2003) mengatakan bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi di antara konstituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk terumbu karang, baik secara individu atau secara bersama-sama cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian pengelolaan sumberdaya pesisir dengan kondisi

56 29 lokal tampak lebih berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat sendiri setelah proyek selesai Dimensi Teknologi Aspek teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur serta ditentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antara pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjsama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada saat pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga pada saat perencanaan, perumusan cara-cara pemanfaatan, dan pengelolaan. Oakerson (1992), mengajukan dua alasan penting melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturanbenturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya. Faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola. (2) Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu sesorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara

57 30 pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka Kawasan Konservasi Laut Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah suatu daerah di laut yang ditetapkan untuk melestarikan sumberdaya laut. Di daerah tersebut diatur zonazona untuk mengatur kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut lain dan ekologinya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik (National Research Council, 2001). Sedangkan menurut IUCN (1994) kawasan konservasi perairan adalah suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa KKL bukanlah jawaban universal untuk mengatasi masalah-masalah pelestarian perikanan, tetapi telah disepakati bahwa pengelolaan perikanan karang sangat sesuai dilakukan melalui penetapan KKL. Ekosistem laut wilayahnya bisa didefinisikan secara spatial, seperti terumbu karang dan baik untuk perlindungan sumber daya perikanan (Williams, 1998). Pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan yang kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti pada produktivitas perikanan di sekitarnya (Williamson et al. 2004; Francini-Filho dan Moura, 2008). White (1988) melaporkan bahwa sebelum ada KKL di Pulau Sumilon Philipina hasil produksi perikanan sebesar mt/km 2 /tahun, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km 2 /tahun. Produksi KKL kembali menurun menjadi 20 mt/km 2 /tahun ketika pengelolaan KKL mengalami masalah. Selanjutnya dikatakaan bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan di luar KKL. Kawasan konservasi laut bisa digunakan sebagai alat yang efektif sebagai bagian untuk pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (National

58 31 Research Council, 2001). Selanjutnya Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa di seluruh dunia luasan daerah perairan laut dilindungi sangat kecil. Saat ini seluruh wilayah KKL hanya meliputi kurang dari setengah persen lautan di dunia, sedikit yang sangat dilindungi dan 71% tidak ada pengelolaan yang aktif. Li (2000) merinci manfaat kawasan konservasi laut sebagai berikut, yaitu manfaat biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemik dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan-ikan juvenile (juvenile by catch), dan peningkatan produktivitas perairan (productivity enchancement). Selanjutnya Roberts & Hawkins (2000) mengatakan bahwa terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi daerah dari penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa dari jenis organisme yang dieksploitasi. Wilayah penyimpanan dan perlindungan laut sering dikatakan hanya berlaku untuk lingkungan terumbu karang. Kenyataannya, metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat di daerah tropis dan sub-tropis. Penyimpanan dan perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global. Kebijakan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area (MPA) mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 90-an. Sampai saat ini telah terbangun kawasan KKL lebih kurang seluas 6,87 juta ha. Diharapkan sampai dengan tahun 2010 dapat terbangun 10 juta ha dan tahun 2020 sekitar 20 juta ha di seluruh Indonesia. Sifat pengelolaannya yang lebih kepada perlindungan (konservasi) dirasa cukup tepat pada kondisi beberapa perairan pesisir di Indonesia yang mengalami kerusakan cukup parah akibat adanya praktek penangkapan ikan yang merusak seperti pengunaan bahan peledak, racun, dan lain-lain, yang akan mengancam keberlanjutan kehidupan ekosistem laut kedepan (Hutabarat et al. 2009) Sistem, Pendekatan Sistem Sistem Sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen yang saling berinteraksi, interrelasi atau interdependensi dalam rangka mencapai tujuan yang

59 32 telah ditetapkan (Anderson dan Johnson, 1997). Menurut Kirkwood (1998) komponen sebuah sistem dapat berupa obyek fisik yang dapat disentuh dengan indera, dan dapat juga bersifat intangible seperti aliran informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi state of minds dalam diri seseorang seperti feeling, values, dan belief. Anderson dan Johnson (1997) mengatakan, bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik; bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; serta memiliki mekanisme umpan balik (feedback mechanism). Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah (1) holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) Sibernitik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan tetapi akan lebih baik lagi apabila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. (Marimin, 2004). Menurut Eriyatno (1998) dalam Marimin (2004), karena disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antarbagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

60 33 sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang hasilnya terkait adalah sebagai berikut : Maryunani (1999) melakukan penelitian tentang Model Pemberdayaan Penduduk Lokal Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan (Studi Kasus Kawasan Pesisir Barat Pulau Lombok, Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat). Penelitian mempunyai tujuan utama untuk memperoleh pemahaman faktor-faktor sistem internal penduduk lokal yang dominan berpengaruh terhadap kondisi wilayah berdasarkan kerusakan terumbu karang, sebagai dasar untuk menyusun model pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Penelitian dengan menggunakan model empirik peubah ganda (multivariate análysis) dan model kuantifikasi Hayashi I menyimpulkan bahwa operasionalisasi Model Pemberdayaan Penduduk Lokal (MPPL) dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang tidak dapat diperlakukan secara seragam (homogen), tergantung keragaan spasial karakteristik sosial ekonomi penduduk lokal, serta pola dan intensitas pemanfaatan terumbu karang yang berbeda di setiap wilayah. Kemampuan institusi lokal dalam mengendalikan pengelolaan ekosistem terumbu karang di

61 34 setiap wilayah studi sangat diutamakan, dan sangat tergantung pada pengalaman dan kemampuan penduduk lokal menjadi penggerak dalam mengendalikan (diri dan pihak lain) eksploitasi ekosistem terumbu karang secara besar-besaran. Pekuwali (2000) melakukan kajian Analisis Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang Pulau Kera Taman Wisata Alam Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur. Penelitian bertujuan untuk menganalisis skenario pemanfaatan yang optimal di dalam pengelolaan terumbu karang Pulau Kera dan memperkirakan daya dukung fisik Pulau Kera dalam menunjang kegiatan pariwisata bahari. Kajian ini menggunakan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Proces). Hasil kajian menyimpulkan bahwa prioritas kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Kera adalah pengelolaan kawasan wisata yang memperhatikan konservasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemasalahan yang paling dominan adalah kurangnya koordinasi dengan sektor terkait, pelestarian fungsi lingkungan, masalah ekonomi, sosial dan budaya. Selanjutnya Priyono (2004) melakukan penelitian dengan judul Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan terumbu karang di perairan Kelurahan Pulau Panggang serta menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Penelitian menggunakan metode A WOT, yaitu penggabungan antara AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesess, Opportunities, and Threats) menyimpulkan bahwa komponen kekuatan (S) menempati urutan teratas dalam menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Panggang, kemudian berturut-turut diikuti oleh komponen kelemahan (W), peluang (O) dan ancaman (T). Adapun prioritas kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Panggang berturut-turut adalah konservasi, wisata bahari, dan budidaya perikanan. Husni (2001) melakukan penelitian dengan judul Kajian Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus di Kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat), bertujuan menganalisis nilai ekonomi total dari manfaat ekosistem terumbu karang mengkaji alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang yang optimal dan berkelanjutan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa nilai ekonomi total

62 35 terumbu karang seluas 448,76 ha adalah Rp ,-/tahun atau Rp ,65,-/ha/tahun. Pengelolaan ekosistem terumbu karang harus memperhatikan aspek biofisik dan lingkungan, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan. Manengkey (2003) melakukan penelitian dengan judul Tingkat Sedimentasi dan Pengaruhnya pada Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya Provinsi Sulawesi Utara, bertujuan mengukur dan menganalisis banyaknya material sedimen pada kawasan terumbu karang. Penelitian dengan menggunakan sediment traps yang dipasang di ekosistem terumbu karang selama 20 hari. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat sedimentasi di daerah studi cukup tinggi, yaitu mencapai mg/l terutama di muara sungai dan diduga berasal dari daratan. Di daerah terumbu karang ditemukan sedimentasi yang tinggi yaitu mencapai mg/l. Kandungan bahan organik dalam sedimen diduga berasal dari limbah rumah tangga dan bahan organik dari daratan. Kerusakan terumbu karang di lokasi studi disebabkan karena adanya sedimentasi, dan pengeboman. Selanjutnya Partini (2009) dengan judul penelitian Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur Kabupaten Bintan. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dan menganalisis hubungan dan pengaruh laju sedimentasi terhadap komunitas terumbu karang. Penelitian dengan menggunakan sediment traps yang dipasang di ekosistem terumbu karang selama 20 hari, menyimpulkan bahwa laju sedimentasi di lokasi penelitian kategori ringan berat (4,00 78,24 mg/cm 2 /hari). Laju sedimentasi berkorelasi negatif terhadap tutupan karang dan berkorelasi positif terhadap indeks mortalitas. Arifin (2008) dengan judul penelitian Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolalaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung, bertujuan menelaah akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Penelitian menggunakan pendekatan Rap Insus COREMAG (Rapid Appraisal-Index Sustainability of Coral Reef Management). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penyebab degradasi terumbu karang di Selat Lembeh diduga disebabkan oleh menurunnya kondisi perairan setempat akibat aktivitas industri, pelabuhan dan aktivitas manusia. Berdasarkan penilaian terhadap 4 dimensi akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang (ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan), diperoleh bahwa dimensi kelembagaan dan

63 36 teknologi merupakan dimensi yang paling rendah indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh. Selanjutnya dikatakan bahwa indeks akuntabilitas terbukti dapat mempengaruhi perubahan pada sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang saat ini di lokasi penelitian akan mengalami penurunan pada 5 tahun ke depan, karena itu diperlukan upaya perbaikan. Febrizal (2009) melakukan penelitian dengan judul Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya. Penelitian dengan menggunakan metode transek kuadrat dan dianalisis dengan software Image-J serta untuk melihat hubungan antara parameter lingkungan perairan dengan penutupan substrat menggunakan PCA, menyimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di kawasan yang dekat dengan permukiman nelayan dan daratan memiliki tutupan karang hidup relatif rendah dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan yang jauh dari aktivitas daratan. Aktivitas di daratan mengakibatkan buruknya kualitas perairan yang berdampak pada terumbu karang. Dari penelitian-penelitian tersebut di atas belum ada penelitian yang dilakukan secara spesifik dan komprehensif dalam membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Dengan demikian topik yang diambil sejauh ini masih dapat dianggap asli.

64 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur Kepulauan Riau. Secara administrasi lokasi penelitian mencakup dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir. Lokasi pengamatan ditetapkan 11 stasiun, yaitu Karang Masiran, Pulau Manjin, Muara, Penyerap, Pulau Beralas Bakau, Pulau Busung Bujur (Nikoi), Pulau Penyusuk, Pulau Cengom, Pulau Kelong, Pulau Gin Besar dan Pulau Gin Kecil (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 hingga September 2011, terhitung sejak penyusunan proposal sampai penyusunan disertasi Pendekatan Penelitian Penelitian dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari survei lapangan. Lingkup penelitian yang ditelaah meliputi aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan. Pelaksanaan penelitian dibagi dalam beberapa tahapan (Gambar 3) antara lain sebagai berikut: a. Melakukan studi kepustakaan (desk study) dengan melakukan pengumpulan beberapa informasi mengenai ekosistem terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. b. Penentuan atribut-atribut utama pada setiap aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang. c. Melakukan survei lapangan untuk mengumpulkan data komponen biofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya d. Melakukan analisis data, yaitu analisis tutupan karang, analisis kualitas air, analisis kebutuhan stakeholders, analisis keberlanjutan dan analisis prospektif. e. Menyusun alternatif skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil analisis tahap sebelumnya. f. Menyusun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.

65 38 KKLD Bintan Timur Gambar 2. Peta lokasi penelitian di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau

66 39 Mulai (Persiapan) Studi Kepustakaan (desk study) Tahap I Penentuan dimensi, atribut atau faktor-faktor berpengaruh pada keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang Tahap II Survei lapangan Tahap III Analisis Pengelolaan Eksisting Analisis Data Tahap IV Analisis Biofisik, Sosial, Ekonomi Terumbu Karang Analisis Keberlanjutan (MDS) Analisis Kebutuhan Stakeholder Tahap V Alternatif Strategi Pengelolaan MDS, Laverage, Prospektif Tahap VI Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepri Tahap VII Gambar 3. Tahapan penelitian yang dilakukan 3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan metode survei dengan teknik wawancara mendalam, pengamatan lapangan dan pengukuran. Wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden menggunakan kuisioner

67 40 terstruktur atau semi terstruktur. Sedangkan pendapat para pakar dihimpun melalui wawancara atau focus group discussion (FGD). Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti: BPS, jurnal penelitian ilmiah, laporan hasil penelitian, prosiding, laporan dinas/instansi terkait, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Secara rinci, jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian. No Jenis data Sumber data Data Primer : 1. Kualitas air (suhu, salinitas, kecerahan, In situ dan Laboratorium TSS, kedalaman, kecepatan arus, DO, BOD, nitrat, dan fosfat) 2. Kondisi terumbu karang Modifikasi metode transek kuadrat (in situ) 3 Sedimentasi In situ dan laboratorium 4. Analisis kebutuhan stakeholders Responden (stakeholders) 5. Identifikasi faktor strategis (prospektif) Responden (expert/pakar) 6. Perbandingan antar faktor (prospektif) Responden (expert/pakar) Data Sekunder 1. Luas terumbu karang Dinas Perikanan dan Kelautan 2. Kondisi terumbu karang Dinas Perikanan dan kelautan dan LIPI 3. Jenis ikan karang Dinas Perikanan dan Kelautan 4. Tingkat eksploitasi ikan karang Dinas Perikanan dan Kelautan 5. Jumlah nelayan Dinas Perikanan dan Kelautan 6. Jumlah penduduk BPS 7. Kepadatan penduduk BPS 8. Mata pencaharian BPS 9. Frekuensi konflik Dinas Perikanan dan Kelautan 10. Peraturan perundang-undangan Dinas Perikanan dan Kelautan 11. Struktur kelembagaan Dinas Perikanan dan Kelautan 12 Jumlah hotel Dinas Pariwisata dan BPS 13 Jumlah pengunjung hotel Dinas Pariwisata dan BPS 14 Jumlah restoran Dinas Pariwisata dan BPS 3.4 Teknik Penentuan Responden Penentuan responden dari masyarakat dilakukan secara purposive random sampling (Walpole, 1995). Masyarakat yang menjadi responden adalah terutama masyarakat nelayan dan masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan wilayah pesisir di Bintan Timur yang berjumlah 90 orang. Disamping itu, juga dilakukan

68 41 wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh informal maupun formal sebagai responden kunci. Penentuan responden untuk survei pakar dilakukan dengan teknik secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih memiliki kepakaran terhadap bidang yang dikaji. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang dijadikan responden adalah: (a) mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; (b) memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji; dan (c) memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji (Marimin, 2004). Jumlah responden pakar ialah sembilan responden terdiri atas unsur pemerintah, akademisi/peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Kondisi Terumbu Karang Pengumpulan data untuk penentuan kondisi terumbu karang di daerah penelitian dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) berdasarkan data sekunder dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, terutama dari hasil penelitian CRITC- COREMAP II-LIPI (2007); Cappenberg dan Salatalohi (2009) dan penelitian pihak lainnya, dan (2) melakukan pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan modifikasi dari metode transek kuadrat (English et al., 1997). Dalam metode ini terdapat tiga tahapan yang dilakukan, yaitu pembentangan roll meter, pemasangan pasak, dan pengambilan foto transek. Pemasangan roll meter dilakukan untuk menetapkan transek garis, dimana transek garis ini berfungsi dalam penentuan arah dan jarak yang konstan dari pemasangan transek kuadrat. Roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai, kemudian pemasangan transek kuadrat dilakukan setiap selang 10 meter. Sebelum pengambilan foto transek, terlebih dahulu dilakukan pemasangan pasak besi di setiap sudut transek kuadrat dengan tujuan sebagai tanda untuk pengamatan berikutnya. Selanjutnya pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air.

69 Kualitas air Data kualitas air diperoleh dari data primer dan data sekunder. Pengukuran data primer kualitas air bertujuan untuk mengetahui status kini kondisi perairan di lokasi penelitian. Oleh karena itu sampel air dikoleksi pada beberapa titik pengamatan yang telah ditetapkan baik di laut maupun di sungai. Pengukuran dilakukan pada dua musim (musim penghujan dan musim kemarau). Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia perairan. Metode pengambilan dan metode analisis kualitas air ini mengacu pada APHA (1989). Parameter-parameter yang diukur langsung (in situ) meliputi: suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan oksigen terlarut. Sedangkan parameter yang diukur di laboratorium adalah TSS, BOD, nitrat (NO 3 ), dan fosfat (PO 4 ). Untuk keperluan analisis beban pencemaran dari kegiatan di daratan (faktor eksternal) maka dipilih parameter BOD, TSS, nitrat (NO 3 ), dan fosfat (PO 4 ) Sedimentasi Untuk mengetahui jumlah sedimen yang berasal daratan masuk ke perairan pesisir melalui sungai dilakukan pengukuran dengan menghitung beban sedimen melayang (suspended load). Di lokasi penelitian terdapat dua sungai, yaitu Sungai Kawal dan Sungai Batang Galang. Kandungan sedimen yang terbawa aliran air sungai disamping dipengaruhi oleh besarnya beban sedimen, juga dipengaruhi oleh debit aliran. Dugaan kandungan sedimen yang terangkut di sungai didasarkan atas kandungan padatan tersuspensi hasil analisis laboratorium (Suyono, 1995). Beban sedimen melayang (suspended load) dalam suatu aliran (sungai) dapat diduga dengan pendekatan menurut Suyono (1995) sebagai berikut: QS =86, 4Cs Keterangan : QS Cs Q x Q = beban suspensi(ton/hari) pada debit Q = konsentrasi suspensi (kg/m 3 ) pada debit Q = debit aliran sungai (m 3 /detik).

70 43 Debit aliran sungai dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Q = A xv Keterangan : Q = debit sungai (m 3 /detik) A = luas penampang alur sungai (m 2 ) V = kecepatan aliran (m/detik). Untuk menentukan laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dilakukan pengukuran dengan alat sediment trap. Tabung sedimen trap yang digunakan adalah pipa PVC dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 11,5 cm, pada bagian atas memiliki sekat-sekat penutup. Tabung sediment trap dipasang pada tiang besi berdiameter 12 mm pada ketinggian 20 cm dari dasar perairan (Garder, 1980 dalam English et al. 1997). Tiap stasiun dipasang tiga buah sediment trap, jarak antar sediment trap berkisar 1 sampai 5 m tergantung pada keberadaan terumbu karang untuk menghindari kerusakan akibat pemasangan sediment trap. Sediment trap dipasang selama 20 hari, sedimen yang terkumpul kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 o C selama 24 jam (English et al. 1997). Selanjutnya dilakukan pengukuran berat kering sedimen dalam satuan miligram dengan timbangan analitik. Laju sedimentasi dinyatakan dalam satuan mg/cm 2 /hari (Roger et al. 1994). Perhitungan laju sedimentasi dilakukan melalui persamaan berikut: LS = BS Jumlah hari xπ r 2 Keterangan : LS = laju sedimentasi (mg/cm 2 /hari) BS = berat kering sedimen (mg) = konstanta (3,14) r = jari-jari lingkaran sediment trap (cm) Sumber dan Beban Pencemaran Pengumpulan data untuk mengidentifikasi sumber-sumber limbah yang masuk ke perairan pesisir di lokasi penelitian dilakukan melalui wawancara dan dari data sekunder. Data beban limbah yang masuk ke perairan pesisir melalui sungai diperoleh melalui pengukuran konsentrasi parameter beban limbah pada setiap stasiun atau sungai yang mengalir ke perairan pesisir. Sedangkan

71 44 pengumpulan data beban limbah domestik, hotel dan pertanian diperoleh melalui wawancara dan data sekunder. Penghitungan beban pencemaran yang berasal di luar ekosistem perairan pesisir dilakukan dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang menuju perairan pesisir Bintan Timur. Cara perhitungan beban pencemaran ini didasarkan atas pengukuran debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai berdasarkan persamaan (Mitsch and Goesselink, 1993). BP = Q x C Keterangan: BP = beban pencemaran (ton/tahun) Q = debit sungai (m 3 /detik) C = konsentrasi limbah (mg/liter). Total beban pencemaran dari seluruh sungai yang bermuara di perairan pesisir Bintan Timur dihitung dengan persamaan: TBP = n i= 1 BP Keterangan : TBP = Total beban pencemaran (ton/tahun) n = Jumlah sungai i = Beban limbah sungai ke-i (ton/tahun) Untuk mengkonversi beban limbah ke dalam ton/tahun dikalikan dengan x 24 x 360. Untuk estimasi besarnya beban pencemaran yang berasal dari aktivitas penduduk di sekitar perairan pesisir dilakukan berdasarkan pendekatan Rapid Assessment (Kositranata et al., 1989; Djajadiningrat dan Amir, 1993) dengan persamaan: BP = a x f Keterangan: BP = beban pencemaran dinyatakan dalam ton/tahun a = jumlah unit penghasil limbah f = faktor konstanta beban limbah organik. x

72 45 Tabel 2. Faktor konstanta beban limbah organik Aktivitas Konversi BOD Total Fosfat Total Nitrat Permukiman 53 22,7 3,8 Hotel dan restoran 12 5,4 0,9 Peternakan - 0,04 1, Metode Analisis Data Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Kondisi Terumbu Karang Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase penutupan karang hidup sebagaimana yang dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988). Adapun kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang (Gomez and Yap, 1988) Penutupan (%) Kriteria Penilaian 0 24,9 Buruk 25 49,9 Sedang 50 74,9 Baik Sangat baik Kualitas Air Data kualitas air yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Untuk melihat keterkaitan antara karakteristik lingkungan biofisik-kimia perairan dengan masing-masing lokasi digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel PCA (Principal Component Analysis) dengan software XLSTAT Analisis Komponen Utama (PCA) merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk mempresentasikan analisis dalam bentuk grafik hasil informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data tersebut terdiri dari lokasi pengamatan sebagai individu (baris) dan karakteristik lingkungan perairan sebagai

73 46 variabel (kolom). Data parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama, karena itu perlu untuk dinormalisasi melalui pemusatan dan pereduksian. Untuk menentukan hubungan antara kedua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik. Korelasi linear antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya adalah ragam dari kedua parameter tersebut yang telah dinormalisasikan (Legendre dan Legendre, 1983) Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang dilakukan dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu pendekatan dengan Rap-Insus-COREMAG (Rapid Appraisal Indeks Sustainability of Coral Reef Management) yang telah dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assessment Technique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh, 2001; Pitcher and Preikshot, 2001; Fauzi dan Anna, 2002). Metode MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak SPSS, yang melakukan transformasi terhadap setiap dimensi dan multidimensi keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang ini melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) tahap penentuan atribut pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan untuk masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, hukum dan kelembagaan), 2) tahap penilaian atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode Multidimensional Scaling (MDS), dan 3) tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Penentuan atribut pada masing-masing dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan mengacu pada indikator dari Rapfish (Kavanagh, 2001); Tesfamichael dan Pitcher (2006); Charles (2000); Nikijuluw (2002) dan Arifin (2008) yang dimodifikasi. Untuk setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan

74 47 kondisi keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapangan dan data sekunder. Rentang skor berkisar 0 3, tergantung pada keadaan masingmasing atribut, yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Adapun dimensi dan atribut pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Dimensi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur No Atribut Atribut dan Dimensi Ekologi Skor Baik Buruk 1 Persentase penutupan karang 0; 1; 2; Kenakeragaman ikan karang 0; 1; Substrat perairan 0; 1; 2; Keterangan 0-24,9% (0); 25 49,9% (1); 50-74,9% (2); % (3); (Gomez dan Yap, 1988) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) Sedimen (0); Pasir dan sedimen (1); Pasir halus (2); Pasir kasar (3) (Sukarno et al., 1981) 4 Memiliki spesies yang dilindungi 0; Tidak ada (0); ada (1) (Arifin, 2008) 5 Sedimentasi 0; 1; Ringan hingga sedang (0); Sedang hingga berat (1); Sangat berat hingga catastrophic (2) (Pastorok dan Bilyard, 1985 di acu dalam Supriharyono, 2007) 6 Kondisi perairan 0; Persentase luas area yang dilindungi 8 Keragaman ekosistem 0; 1; > Baku mutu (0); < Baku mutu (1) (KEPMEN LH N0. 51 Tahun 2004) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Charles, 2000) 0; 1; Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Charles, 2000) 9 Tingkat eksploitasi ikan karang 0; 1; 2; Collapsed (0) Lebih tangkap (2) Tinggi (1); Kurang (3); (Kavanagh, 2001; Pitcher dan Preikshot. 2001)

75 48 No Atribut 1 Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah 2 Serapan tenaga kerja lokal di sektor pariwisata 3 Usaha penangkapan, berdasarkan intensitas penangkapan 4 Tingkat pendapatan nelayan: Didasarkan angka garis kemiskinan Kab. Bintan 5 Pemasaran hasil perikanan Atribut dan Dimensi Ekonomi Skor Baik Buruk 0; 1; ; 1; ; 1; 2; ; 1; ; 1; Kunjungan wisatawan 0; 1; Jumlah objek wisata 0; 1; Keterangan Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006) Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2) Penuh waktu (0); Musiman (1); Paruh waktu (2); Sambilan (3) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006) Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2) Pasar internasional (0); Pasar nasional(1); Pasar lokal (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006) Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2) (Arifin, 2008) Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Arifin, 2008) 8 Ketersediaan modal nelayan 0; 1; 2; Rata-rata tidak memiliki modal (0); Rata-rata kekurangan modal (1); Ratarata cukup modal (2); Cukup modal (3) No Atribut Atribut dan Dimensi Sosial Budaya Skor Baik Buruk 1 Tingkat pendidikan 0; 1; 2; Pengetahuan lingkungan 3 Potensi konflik pemanfaatan 0; 1; 2; ; 1; 2; Keterangan Tidak tamat SD (0); Tamat SD-SMP (1); Tamat SMA (2); S0-S1 (3) (Tesfamichael dan Pritcher, 2006) Tidak ada (0); Sedikit (1); Cukup (2) Banyak (3) (Rapfish, Tesfamichael dan Pitcher, 2006) Tinggi (0); sedang (1); rendah (2) Hampir tidak ada (3) (Tesfamichael dan Pitcher, 2006; Nikijuluw, 2002) 4 Memiliki estetika 0; 1; Rendah (0); sedang (1); Tinggi (2) (Arifin, 2008)

76 49 5 Pemberdayaan masyarakat 0; 1; Tidak ada (0); ada, belum optimal (1); optimal (3) 6 Pertumbuhan jumlah nelayan 7 Mata pencaharian alternatif non perikanan 8 Kekompakan nelayan (social networking) 9 Jumlah rumah tangga perikanan 0; 1; 2; ; 1; ; 1; ; 1; Sangat tinggi (0); Tinggi (1); Sedang (2) Rendah (3) (Rapfish) Rendah (0); Sedang (1); Banyak (2) Rendah (0); sedang (1); Tinggi (2) Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006) No Atribut Atribut dan Dimensi Teknologi dan Infrastruktur Skor Baik Buruk Keterangan 1 Jenis alat tangkap 2 Selektivitas alat tangkap 0; 1; Mayoritas aktif (0); seimbang (1); mayoritas pasif (2) (Rapfish) 0; 1; Kurang selektif (0); agak selektif(1); sangat selektif (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006) 3 Transplantasi karang 0; Tida ada (0); ada (1) (Dahuri, 1996) 4 Sarana dan prasarana pengawasan 5 Perubahan kemampuan alat dan armada tangkap 6 Efek samping alat tangkap terhadap karang 7 Penggunaan alat terlarang 8 Pengolahan limbah hotel, restoran 9 Pengolahan limbah penduduk 0; 1; Tidak ada (0); ada, belum optimal (1); Optimal (2); 0; 1; 2; Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2); Sangat sedikit (3) (Rapfish ; Tesfamichael dan Pitcher, 2006) 0; 1; 2; Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2); Tidaka ada (3) (Rapfish ; Tesfamichael dan Pitcher, 2006) 0; 1; 2; Banyak (0); Sedang (1); Sedikit/jarang (2); Tidak ada (3) 0; Tidak ada (0); ada (1) 0; Tidak ada (0); ada (1)

77 50 No Atribut Atribut dan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Skor Baik Buruk Keterangan 1 Ketersediaan peraturan formal pengelolaan 0; 1; Tidak ada (0); Ada, belum optimal berjalan; (1) Optimal (2) (Nikijuluw, 2002) 2 Tingkat kepatuhan masyarakat 0; 1; Tidak patuh (0); sedang (1); patuh (2) (Nikijuluw, 2002) 3 4 Lembaga konservasi 0; 1; Koordinasi antar stakeholders 5 Partisipasi masyarakat 0; 1; ; 1; Tokoh panutan 0; 1; Pelaksanaan pemantauan, pengawasan 8 Penyuluhan hukum lingkungan 0; 1; Tidak ada (0); Ada, belum optimal berjalan; (1) Optimal (2) Buruk (0); Sedang (1); Baik (2) Rendah (0); Sedang (1); Baik (2) (Rapfish; Nikijuluw, 2002) Tidak ada (0); Sedikit (1); Cukup(2) (Nikijuluw, 2002) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Nikijuluw, 2002) 0; 1; Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2) (Nikijuluw, 2002) Selanjutnya, nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Proses ordinasi Rap-Insus-COREMAG menggunakan software Rapfish (Kavanagh, 2001). Proses algoritma Rap-Insus-COREMAG juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma Rapfish. Dalam implementasinya, Rapfish menggunakan teknik yang disebut Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis Multi Dimensional Scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young, 2001). Sickle (1997) menyatakan bahwa MDS dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Objek atau titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain.

78 51 Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Alder et al. (2001) menyatakan bahwa titik ordinasi dengan mengkonfigurasikan jarak antar titik dalam t- dimensi yang mengacu pada jarak euclidien antar titik. Dalam ruang dua dimensi jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut: d 2 1 x2 + y1 y2 2 = x..(1) Sedangkan dalam n-dimensi jarak Euclidien dirumuskan sebagai berikut: d = x x + y y + z z...) (2) Dalam menilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang, masing-masing kategori yang terdiri atas beberapa atribut di skor. Skor secara umum dirangking antara 0 sampai 4. Hasil skor dimasukkan ke dalam tabel matrik dengan i baris yang mempresentasikan kategori pengelolaan ekosistem terumbu karang dan j kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data dalam matrik adalah data interval yang menunjukkan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay, 1991). Salah satu pendekatan untuk menormalkan data adalah dengan nilai Z (Alder et al., 2001). Z = (x- µ)/σ...(3) Kruskal dalam Johnson dan Wichern (1992) mengajukan sebuah ukuran luas secara geometris yang mempresentasikan kecocokan. Ukuran tersebut diistilahkan dengan stress. Stress didefinisikan sebagai : ( q) ( q) 2 ( d ik dik ) i< k ( q) [ ] dik Stress ( q) = 2 (4) i< k Software Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat dalam software SPSS, untuk proses rotasi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu software. Melalui MDS ini, posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu

79 52 horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrim buruk yang diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim yang baik diberi nilai skor 100%. Posisi status keberlanjutan yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim tersebut. Nilai ini merupakan indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau saat ini. Skala indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang mempunyai selang Jika sistem yang dikaji mempunyai indeks >50 maka sistem tersebut dikategorikan berkelanjutan, dan sebaliknya jika nilainya <50, maka sistem tersebut dikategorikan belum berkelanjutan. Dalam studi ini disusun empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar (0 100) seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kategori status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-COREMAG Indeks Kategori 24,9 Buruk 25 49,9 Kurang 50 74,9 Cukup > 75 Baik Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap Insus-COREMAG di lokasi studi. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau pada skala accountability. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut di dalam pembentukan nilai Insus-COREMAG pada skala keberlanjutan, atau semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi pengelolaan ekosistem terumbu karang digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh (2001), analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal sebagai berikut: 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.

80 53 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda. 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi). 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 5. Tingginya nilai stress hasil analisis Rap-Insus-COREMAG (nilai stress dapat diterima jika < 25%). Secara lengkap, tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan metode MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish disajikan pada Gambar 4. Mulai Kondisi pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini Penentuan atribut sebagai kriteria penilaian MDS (ordinasi setiap atribut) Penilaian (skor) setiap atribut Analisis Monte Carlo Analisis sensitivitas Analisis Keberlanjutan Gambar 4. Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish Analisis Faktor Penentu Pengelolaan EkosistemTerumbu Karang Untuk memperoleh faktor-faktor penentu (faktor dominan) dalam penentuan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau digunakan Analisis Prospektif. Analisis prospektif digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena analisis prospektif dapat diprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi dimasa yang akan datang baik bersifat positif (diinginkan) ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk: (1) mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan (2) melihat apakah perubahan

81 54 dibutuhkan dimasa depan. Analisis prospektif tepat digunakan untuk perancangan strategi kebijakan (Bourgoise, 2007). Dari analisis prospektif diketahui informasi mengenai faktor kunci (key factors) dan skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur sesuai kebutuhan stakeholders. Analisis kebutuhan stakeholders dilakukan untuk memperoleh komponenkomponen yang berpengaruh dan berperan penting dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dari seluruh stakeholders yang terlibat. Setelah mendapatkan data pendukung untuk penetapan kebutuhan dasar yang diperoleh berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders, selanjutnya ditentukan kebutuhan masing-masing stakeholders. Menurut Hardjomidjodjo (2004), tahapan dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut: 1) Definisi dari tujuan sistem yang dikaji. Tujuan sistem yang dikaji perlu spesifik dan dimengerti oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. Hal ini dilakukan agar pakar mengerti ruang lingkup dan kajian penyamaan pandangan tentang sistem yang dikaji. 2) Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut, yang biasanya merupakan kebutuhan stakeholders sistem yang dikaji. Berdasarkan tujuan studi yang ingin dicapai, pakar diminta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut. Pakar diharapkan dapat mewakili stakeholders sistem yang dikaji sehingga semua kepentingan elemen sistem dapat terwakili. Pada tahapan ini definisi tiap dari tiap faktor harus jelas dan spesifik. Intergrasi pendapat pakar dilaksanakan dengan mengambil nilai modus. 3) Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Semua faktor yang teridentifikasi akan dinilai pengaruh langsung antar faktor sebagaimana disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Dalam penelitian ini, analisis prospektif digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dominan (faktor kunci) dengan melihat pengaruh langsung antar faktor terhadap sistem atau obyek penelitian. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap pertama, penetuan faktor-faktor kunci pada kondisi saat ini (existing condition) dari hasil MDS; tahap kedua, penentuan

82 55 faktor-faktor kunci hasil analisis kebutuhan (need analysis) dari stakeholders; tahap ketiga; penentuan faktor kunci dari hasil analisis gabungan antara hasil tahap pertama dan tahap kedua atau gabungan antara existing condition dan need analysis. Tabel 6. Pedoman penilaian analisis prospektif Skor Keterangan 0 Tidak ada pengaruh 1 Berpengaruh kecil 2 Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh sangat kuat Tabel 7. Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan A B C D E F G A B C D E F G Sumber : Godet (1999) dalam Marhayudi (2006) Mekanisme pengisian Tabel 7 di atas adalah dengan memberi skor 3 jika pengaruh langsung antar faktor sangat kuat; skor 2 jika pengaruh langsung antar faktor sedang; skor 1 jika pengaruh langsung antar faktor kecil, dan skor 0 jika tidak ada pengaruh langsung antar faktor. Setelah diperoleh faktor-faktor kunci dari Tabel 7, selanjutnya dilakukan analisis matrik pengaruh dan ketergantungan untuk melihat posisi setiap faktor dalam sistem menggunakan software analisis prospektif, dengan tampilan seperti pada Gambar 5.

83 56 Gambar 5. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem (Bourgeois dan Jesus, 2004) Masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda (Bourgeois and Jesus, 2004), sebagai berikut: (1) Kuadran pertama faktor penentu atau penggerak (driving variables): memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Faktor-faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak yang termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam sistem yang dikaji. (2) Kuadran dua faktor penghubung (leverage variables): menunjukkan faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antar faktor, faktor-faktor dalam kuadran ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. (3) Kuadran tiga faktor terikat (output variables): mewakili faktor output, dimana pengaruhnya kecil tetapi ketergantungannya tinggi. (4) Kuadran empat faktor bebas (marginal variables): merupakan faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungannya juga rendah, sehingga faktor ini bersifat bebas dalam sistem. Lebih lanjut Bourgeois (2007) menyatakan bahwa terdapat dua tipe sebaran variabel dalam grafik pengaruh dan kergantungan, yaitu: (1) tipe sebaran yang cenderung mengumpul pada diagonal kuadran empat ke kuadran dua. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel yang dihasilkan termasuk variabel marginal atau levarage variable. Hal

84 57 ini menyulitkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang, dan (2) tipe sebaran yang mengumpul di kuadran satu ke kuadran tiga, sebagai indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan kuat, dimana variabel penggerak mengatur variabel output dengan kuat. Selain tipe dengan tipe ini maka skenario strategis bisa dibangun lebih mudah dan efisien. Tahapan berikutnya dari analisis prospektif adalah analisis morfologis dengan tujuan untuk memperoleh domain kemungkinan masa depan agar skenario strategis yang diperoleh konsisten, relevan dan kredibel. Tahapan ini dilakukan dengan mendefinisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang dari semua faktor kunci yang terpilih. Faktor-faktor kunci dengan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa depan kemudian dicantumkan dalam sebuah tabel (Tabel 8). Tabel 8. Faktor-faktor kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang Faktor Keadaan yang mungkin terjadi 1 1A 1B 1C 2 2A 2B 2C 3 3A 3B 3C n na nb nc Analisis morfologis dilanjutkan dengan analisis konsistensi untuk mengurangi dimensi kombinasi faktor-faktor kunci dalam merumuskan skenario di masa yang datang melalui identifikasi saling tidak kesesuaian diantara keadaankeadaan faktor kunci (incompatibility identification). Pelaksanaan tahapan ini dengan mencantumkan keadaan-keadaan yang tidak dapat atau sangat tidak mungkin terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan pasangan yang tidak sesuai. Tahapan akhir dari analisis prospektif adalah membangun skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Skenario ini merupakan kombinasi dari beberapa keadaan faktor-faktor kunci yang mungkin terjadi di masa mendatang dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Secara umum skenario yang dipilih terdiri dari

85 58 3 (tiga) skenario yaitu mengelompokkan skenario yang mirip ke dalam satu kelompok skenario. Berdasarkan peluang terjadinya keadaan di masa datang, maka skenario dikelompokkan ke dalam cluster skenario pesimis (I), cluster skenario moderat (II), dan skenario optimis (III), seperti tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Skenario Uraian Urutan Faktor 1 Melakukan perbaikan minimal pada atribut yang kurang berkelanjutan... 2 Melakukan perbaikan pada seluruh atribut dan dilakukan secara optimal... 3 Melakukan perbaikan maksimal pada seluruh atribut secara menyeluruh dan terintegrasi Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Strategi pengelolaan yang dihasilkan berupa instrumen sarana penunjang keputusan yang dapat digunakan oleh berbagai pihak, terutama para perencana dan pengambil kebijakan untuk menentukan prioritas kebijakan yang tepat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Untuk membangun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau dilakukan dengan melakukan penggabungan hasil analisis MDS, Laverage dan Prospektif. Hubungan antara tujuan, peubah yang digunakan, metode analisis data dan output penelitian, secara ringkas disajikan pada Tabel 10.

86 59 Tabel 10. Tujuan, peubah, metode analisis data dan output yang diharapkan Tujuan Peubah Analisis Data (1) Analisis kondisi terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Tutupan karang hidup, kualitas air dan sedimentasi. Persentase karang hidup (Gomez dan Yap 1988), PCA ((Legendre dan Legendre, 1983). Output yang diharapkan Kondisi terumbu karang dan faktorfaktor yang mempengaruhi terumbu karang (2) Analisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang (3) Mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun alternatif skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan (4) Penyusunan strategi pengelolaan ekosistem terumbu secara berkelanjutan Data atau skor setiap atribut/faktor dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dimensi teknologiinfrastruktur, dan data hukum-kelembagaan Kebijakan Pemda, dan atribut sensitif multidimensi dari MDS dan kebutuhan stakeholders Faktor-faktor kunci hasil analisis prospektif Analisis ordinasi Rapfish yang dimodifikasi dengan metode Multidimentional Scaling (MDS) (Fauzi dan Anna, 2005) Deskriptif, dan analisis prospektif (Bourgeois and Jesus, 2004) Dibangun berdadasarkan gabungan hasil analisis MDS, Laverage dan Prospektif Nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi (existing condition) Atribut sensitif multidimensi Faktor-faktor kunci (driving dan leverage factors) Strategi dan program implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan

87 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis dan Administrasi Kondisi Geografis Pulau Bintan merupakan salah satu bagian gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah administrasi gugus Pulau Bintan terdiri dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Kota Tanjung Pinang yang terletak di Pulau Bintan dan sangat berdekatan dengan Negara Singapura yang merupakan transit dan lintas perdagangan dunia dan juga Malaysia dengan pelabuhan Tanjung Pelepas. Selain itu Pulau Bintan dan sekitarnya mempunyai potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan (bauksit), perikanan dan pariwisata. Pulau Bintan mempunyai luas ,75 km 2 atau sekitar 11,4% dari total luas seluruh pulau di Provinsi Kepulauan Riau. Secara geografis gugus Pulau Bintan terletak pada BT BT dan 0 40 LU LU. Pulau Bintan merupakan pulau yang langsung berbatasan dengan negara Singapura dan Malaysia. Adapun batas tersebut adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura/Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Jambi, sebelah barat dengan Provinsi Riau, dan sebelah timur dengan Selat Karimata, laut Cina Selatan. Jika dilihat dari letak geografisnya, Pulau Bintan memiliki nilai strategis dan berada dekat dengan jalur pelayaran dunia yang merupakan salah satu simpul dari pusat distribusi barang dunia. Kedekatan ini merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bintan dalam menghadapi pasar bebas. Pulau Bintan dapat dijangkau dengan pesawat udara dari kota-kota besar Indonesia maupun seluruh dunia, melalui bandara udara Hang Nadim Batam dan dilanjutkan dengan kapal ferry menuju ke Pulau Bintan. Dari Singapura dan Johor, Pulau Bintan dapat ditempuh dengan waktu 2 jam menggunakan kapal ferry ke Pelabuhan Bintan Telani Lagoi ataupun Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang Wilayah Administrasi Secara administrasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan

88 61 Bintan Pesisir. Luas KKLD tersebut adalah ha. Adapun luas dua kecamatan tersebut disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Luas wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur No Kecamatan Desa/Kelurahan Luas (km 2 ) Darat Laut Total 1 Bintan Pesisir 4 234, , ,00 2 Gunung Kijang 4 376, , ,60 Jumlah 8 610, , ,60 Sumber: BPS Kabupaten Bintan Tahun 2009 Dari Tabel 11 di atas terlihat bahwa luas wilayah perairan laut kedua kecamatan tersebut adalah 6.366,61 km 2 ( ha) atau 91% dari total luas wilayah. Dengan demikian perbandingan antara luas KKLD dengan perairan laut adalah 1 : 5 atau 20 % dari luas perairan laut di kedua kecamatan tersebut adalah menjadi wilayah konservasi. Hal ini tentu sangat membantu dalam pelestarian sumberdaya hayati laut termasuk terumbu karang yang terkandung di dalamnya Topografi dan Iklim Topografi Gugus Pulau Bintan pada umumnya merupakan daerah dengan dataran landai di bagian pantai. Pulau Bintan memiliki topografi yang bervariatif dan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar dari 0-3 % hingga diatas 40 % pada wilayah pegunungan. Sedangkan ketinggian wilayah pada Pulau Bintan dan pulau-pulau lainnya berkisar antara 0 50 meter diatas permukaan laut hingga mencapai ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Secara keseluruhan kemiringan lereng di Pulau Bintan relatif datar, umumnya didominasi oleh kemiringan lereng yang berkisar antara 0% - 15% dengan luas mencapai 55,98 % (untuk wilayah dengan kemiringan 0 3% mencapai 37,83% dan wilayah dengan kemiringan 3 15% mencapai 18,15%). Sedangkan luas wilayah dengan kemiringan 15 40% mencapai 36,09% dan wilayah dengan kemiringan > 40% mencapai 7,92%.

89 Iklim Cuaca di wilayah Kabupaten Bintan dipengaruhi oleh angin musim yang berubah arah sesuai dengan posisi matahari terhadap bumi dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya daerah Kabupaten Bintan beriklim tropis basah dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi antar bulan Maret sampai dengan bulan Agustus. Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 24,8 C sampai dengan 26,6 C dengan temperatur udara maksimum antara 29,0 C - 31,3 C, sedangkan temperatur udara minimum berkisar antara 22,2 C - 23,3 C. Gugusan Kabupaten Bintan mempunyai curah hujan cukup dengan iklim basah, berkisar antara mm/tahun. Rata-rata curah hujan per tahun ± milimeter, dengan hari hujan sebanyak 110 hari. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Desember (347 mm), sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (101 mm). Temperatur rata-rata terendah 22,5 C dengan kelembaban udara 83%-89%. Kabupaten Bintan mempunyai 4 macam perubahan arah angin yaitu : Bulan Desember-Februari : angin utara Bulan Maret-Mei : angin timur Bulan Juni-Agustus : angin selatan Bulan September-November : angin barat Kecepatan angin terbesar adalah 9 knot pada bulan Desember-Januari, sedangkan kecepatan angin terendah pada bulan Maret - Mei. Kondisi angin pada umumnya dalam satu tahun terjadi empat kali perubahan angin; bulan Desember - Februari bertiup angin utara, bulan Maret Mei bertiup angin timur, bulan Juni Agustus bertiup angin selatan dan bulan September Nopember bertiup angin barat. Angin dari arah utara dan selatan yang sangat berpengaruh terhadap gelombang laut menjadi besar. Sedangkan angin timur dan barat terhadap gelombang laut yang timbul relatif kecil.

90 63 Kondisi tiupan angin di atas perairan Pulau Bintan yang menyebabkan gelombang dan arus adalah angin utara dan barat laut dimana angin tersebut umumnya bertiup pada bulan Juni hingga Agustus. Gelombang di perairan Bintan Timur sebelah utara pada musim angin utara bisa mencapai ketinggian 2 meter. (Bappeda Kabupaten Bintan, 2007) 4.3. Hidrooseanografi Sungai dan Laut Sungai-sungai di Pulau Bintan pada umumnya kecil dan dangkal, hampir semua tidak digunakan untuk lalu lintas pelayaran. Pada umumnya hanya digunakan untuk saluran pembuangan air dari daerah rawa-rawa. Sungai yang agak besar terdapat di Pulau Bintan terdiri dari beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), dua diantaranya DAS besar yaitu DAS Jago seluas 135,8 km² dan DAS Kawal seluas 93,0 km² dan hanya digunakan sebagai sumber air minum, (BP DAS Kepulauan Riau, 2010) Arus Laut Arus di perairan Kabupaten Bintan termasuk arus yang cukup kompleks sebagai hasil interaksi berbagai arus yang terdiri dari arus tetap musiman, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi arus seperti topografi perairan, situasi garis pantai dan sebagainya. Arus utama perairan Bintan dipengaruhi dan mengikuti pola arus Laut Natuna secara umum, yang sangat tergantung dari angin musim. Pergerakan pasang surut suatu daerah memegang peranan sangat penting dalam mempertahankan sumberdaya alam seperti terumbu karang, magrove, lamun, daerah estuaria dan sebagainya. Selain arus dan kecepatan arus serta pasang surut juga mempengaruhi pergerakan berbagai polutan kimia, pencemaran, minyak dan lain-lain. Posisi geografis Kabupaten Bintan yang terletak pada pertemuan perambatan pasang surut Samudera Hindia melalui Selat Malaka dan dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan menyebabkan perairan Kepulauan Riau memiliki arus pasang surut dengan pola bolak-balik. Secara umum tidak terlihat adanya perbedaan mencolok kecepatan arus antara stasiun pengamatan. Hasil pengkuran kecepatan arus permukaan pada saat penelitian berkisar 0,12 0,22 m/detik. Nilai rata-rata kecepatan arus terendah ditemukan di perairan Pulau Manjin, Muara Kawal, Pulau Beralas Bakau dan

91 64 sekitar perairan Pulau Nikoi yaitu 0,12 m/detik, sedangkan kecepatan arus tertinggi ditemukan di sekitar perairan Pulau Gin, yaitu, 0,22 m/detik. Pola arus laut utama di sekitar Pulau Bintan sangat dipengaruhi oleh angin musim. Pada dasarnya sepanjang tahun arus utama lewat perairan Bintan menuju Selat Malaka yang selanjutnya ke luar ke Luat Andaman. Namun pada musim utara arus datang dari arah Laut Cina Selatan, sedangkan pada musim Selatan arus utama datang dari arah Selat Karimata antara Sumatera dan Kalimantan. Kecepatan arus permukaan di perairan Pulau Bintan pada bulan-bulan tertentu lebih kuat terutama pada musim barat (Nopember- Februari). Kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,15-1,5 knot atau sekitar 0,15 0,75 m/detik Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Kependudukan Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Bintan tercatat sebanyak jiwa, dengan rincian jiwa laki-laki dan jiwa perempuan. Kepadatan penduduk Kabupaten Bintan adalah 64 jiwa/km² dengan pertumbuhan sebesar 2,63% per tahun. Sementara itu jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir adalah jiwa yang terdiri dari laki-laki jiwa dan perempuan jiwa. Jumlah rumah tangga sebanyak kepala keluarga (KK) dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 jiwa Mata Pencaharian Penduduk Ditinjau dari mata pencaharian penduduk Kabupatan Bintan hingga saat ini masih didominasi oleh sektor pertanian secara umum (pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan). Jumlah penduduk yang bergerak di sektor pertanian ini mencapai 29,10%, kemudian disusul oleh sektor industri 17,51%, sektor jasa 16,90%, perdagangan 12,93%, konstruksi 8,28%, angkutan dan komunikasi 8,18% dan sisanya bergerak di sektor pertambangan dan keuangan (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Sektor perikanan merupakan mata pencaharian dominan bagi penduduk yang bermukim di daerah pesisir Kabupaten Bintan. Khusus di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir yang menjadi lokasi penelitian

92 65 mata pencaharian sebagai nelayan merupakan pekerjaan utama bagi sebagian besar penduduk. Di Kecamatan Bintan Pesisir lebih dari 20% (Desa Kelong, Mapur dan Air Glubi) penduduknya berprofesi sebagai nelayan tangkap, sedangkan di Kecamatan Gunung Kijang terutama di Desa Malang Rapat 40,96% dan Desa Gunung Kijang sekitar 20,03%. Pendapatan nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir sangat dipengaruhi oleh musim angin, yaitu musim angin utara (gelombang kuat: bulan Desember, Januari dan Februari), musim angin timur (gelombang lemah: bulan Maret, April dan Mei) dan musim angin selatan dan barat (musim pancaroba: bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan Nopember). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui pendapatan rata-rata responden sebulan sekitar Rp ,- atau sebesar Rp ,- /kapita/bulan. Adapun statistik pendapatan responden berdasarkan musim disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Kelompok Musim Pendapatan Ombak Kuat Pancaroba Ombak Tenang Rata-rata Median Minimum Maksimum N Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan nelayan tertinggi terjadi pada musim ombak tenang dan terendah pada musim ombak kuat. Pada musim ombak tenang nelayan dapat melaut setiap hari dengan menggunakan semua jenis alat tangkap yang dimiliki. Sebaliknya pada musim ombak kuat umumnya nelayan tidak dapat melaut. Kegiatan melaut hanya dilakukan oleh nelayan yang memiliki perahu motor dengan kapasitas mesin yang cukup besar. Pendapatan rumah tangga nelayan pada umumnya masih tergolong rendah. Gambar 6 memperlihatkan distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan dan musim.

93 66 % Rumah Tangga , , ,3 13,5 47, > ,9 2,5 17,8 7,9 9,4 > ,6 13,3 6,7 1,3 > Ombak Kuat Pancaroba Ombak tenang Rata-rata Gambar 6. Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Dari Gambar 6 terlihat bahwa terjadi perbedaan pendapatan yang sangat menonjol antara tiga musim angin. Pada musim angin kuat, sebagian besar (85,9%) rumah tangga nelayan berada pada kategori pendapatan terbawah (< Rp ,). Kondisi ini mengindikasikan bahwa musim angin kencang dan laut berombak besar merupakan masa sulit bagi nelayan. Sebaliknya pada musim ombak tenang terjadi peningkatan pendapatan sebagian besar rumah tangga nelayan (47,8%), yaitu dengan pendapatan > Rp Rp ,-. Selanjutnya juga terlihat bahwa ada sekitar 60% rumah tangga nelayan responden mempunyai pendapatan rata-rata < Rp ,-. Adapun angka garis kemiskinan di Kabupaten Bintan pada tahun 2010 adalah sebesar Rp ,- /kapita/bulan. Menurut BPS Kabupaten Bintan (2009) jumlah anggota rumah tangga rata-rata empat orang, maka pendapatan rumah tangga kategori miskin adalah sebesar Rp ,-. Dengan demikian sebagian besar nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir tergolong nelayan miskin Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Bintan secara umum tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah penduduk yang tidak pernah

94 67 sekolah dan atau yang tidak atau hanya tamat SD sederajat. Adapun persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi ditamatkan disajikan pada Tabel 13. Tabel. 13. Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2008 Jenis Kelamin No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Rata-rata...%... 1 Tidak/belum pernah sekolah 5,89 9,02 7,46 2 Tidak/belum tamat SD/MI 27,49 25,06 26,27 3 SD/MI/ sederajat 22,15 22,36 22,26 4 SLTP/MTs/sederajat 17,54 19,71 18,62 5 SMU/MA/sederajat 21,03 18,60 19,82 6 Akademi/Diploma 2,14 2,89 2,52 7 Universitas 3,76 2,36 3,05 Jumlah 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Bintan, 2009 Dari Tabel 13 terlihat bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bintan yang tidak pernah sekolah hingga tamat SD/MI/sederajat mencapai 55,99%. Jumlah penduduk yang berpendidikan SLTP dan SLTA sekitar 38,44% dan hanya 5,57% yang berpendidikan tinggi. Dari hasil wawancara terhadap terhadap 90 orang responden di wilayah studi terungkap bahwa 44,4% responden tidak tamat SD, 40% tamat SD, 11,1% tamat SLTP dan 4,4% tamat SLTA. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Bintan ini, khususnya penduduk Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan kedasaran mereka dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga keutuhan ekosistem terumbu karang. Hal ini akan menjadi kendala dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Faktor sosial ekonomi merupakan penyebab utama rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Selain itu, faktor geografis dan transportasi juga menjadi penghambat aksesibilitas untuk menjangkau sarana pendidikan yang memadai, terutama bagi penduduk yang berdomisili di luar pulau Bintan.

95 68 Walaupun tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah, namun pengetahuan lingkungan mereka cukup baik terutama tentang keberadaan terumbu karang. Dari 90 orang responden yang diwawancarai 89 orang (98,6%) setuju adanya daerah perlindungan laut untuk melindungi terumbu karang dan biota laut yang hidup di dalamnya. Disamping itu 77 orang responden (85%) mengatakan bahwa keberadaan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan mereka. Dari hasil wawancara juga terungkap bahwa sikap masyarakat bila mengetahui ada orang yang mengambil atau merusak terumbu karang mereka akan melarang (58 orang responden atau 64,4%), 19 orang responden (21,1%) akan melapor ke Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan 8 orang (8,9%) akan melapor ke Kepala Desa. Pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem terumbu karang ini tidak terlepas dari adanya Program Coremap II di wilayah studi. Program Coremap II ini telah dimulai sejak tahun 2004 dan berakhir pada tahun LIPI (2009) melaporkan bahwa pengetahuan dan partisipasi masyarakat di daerah studi tentang kegiatan Coremap menunjukkan adanya peningkatan terutama pengetahuan terkait dengan penyelamatan sumberdaya laut. Pada tahun 2007 hanya ada sebanyak 49% responden yang mengetahui bahwa program Coremap untuk menyelamatkan sumberdaya laut, sedangkan pada tahun 2009 sudah diketahui oleh sebanyak 81,8%. Peningkatan persentase responden yang mengetahui implementasi Coremap dalam upaya penyelamatan terumbu karang juga diikuti pengetahuan tentang berbagai manfaat dari kegiatan Coremap antara lain peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu karang, dan pentingnya kegiatan perlindungan, pengawasan pesisir dan laut Sosial Budaya Struktur sosial budaya masyarakat Kabupaten Bintan merupakan hasil perjalanan sejarah sejak Kerajaan Melayu hingga masa setelah kemerdekaan. Saat ini penduduk yang mendiami Kabupaten Bintan terdiri dari berbagai latar belakang suku, kebudayaan, dan strata sosial yang berbeda.

96 69 Wilayah Kabupaten Bintan sebagian besar adalah wilayah laut, oleh karena itu sebagian besar penduduk di wilayah Kabupaten Bintan bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat di Kabupaten Bintan didominasi oleh suku Melayu yang masih kental dalam menjalankan adat istiadatnya sehari-hari dengan memegang teguh ajaran agama Islam. Selain itu, etnis keturunan Cina, Jawa, Batak, Minang, Bugis, Banjar dan suku lainnya juga banyak mendiami Kabupaten Bintan. Kabupaten Bintan juga memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, seperti di Desa Kawal terdapat Situs Pra Sejarah yang dikenal dengan sebutan Bukit Kerang. Situs ini merupakan gundukan tinggi pecahan cangkang karang. Hal ini diyakini merupakan sisa-sisa kehidupan purba dan sekarang masih dalam tahap penelitian Potensi Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak jarang terjadi konflik antar stakeholders. Sumberdaya wilayah pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang bersifat open access dan common property, sehingga setiap orang atau stakeholders berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh nilai atau keuntungan ekonomi (Tarigan, 2008). Berdasarkan hasil kajian LIPI (2009) bahwa terdapat potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kecamatan Gunung Kijang Bintan terutama di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang. Potensi konflik tersebut antara lain bersumber dari pembuangan limbah tailing penggalian pasir darat yang marak dilakukan sebelum tahun Saat ini kegiatan penambangan pasir tersebut sudah berhenti, namun dampaknya masih terasa ditandai dengan terjadinya kekeruhan dan warna air laut yang belum kembali jernih seperti semula. Kondisi ini meyebabkan nelayan mengalami kesulitan untuk mendapatkan ikan dan ketam di wilayah sekitar pantai, sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang lain adalah pengembangan pariwisata pantai dan bahari. Berdasarkan hasil kajian LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) terungkap bahwa kehadiran perusahaan pariwisata di

97 70 sepanjang Pantai Trikora dan kawasan wisata di Kecamatan Teluk Sebong oleh masyarakat terutama nelayan kerap dianggap penyebab menurunnya hasil tangkap ikan. Masyarakat berpendapat bahwa kegiatan wisata seperti lalu lalangnya kapal speed, permainan banana boat, jetsky dan sebagainya menyebabkan perairan menjadi keruh sehingga ikan-ikan menjadi terganggu, lalu pergi meninggalkan daerah penangkapan. Masyarakat Desa Sebong Lagoi mengeluhkan kegiatan penimbunan dan pembangunan insfrastruktur yang dilakukan perusahaan wisata di Kawasan Resor Wisata, Lagoi Bay, menimbulkan kekeruhan perairan pantai sehingga nelayan yang biasa beroperasi di tepi pantai tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan seperti biasanya. Namun demikian potensi konflik ini yang terdapat saat ini tergolong sedang, tetapi perlu dicarikan solusi yang terbaik 4.5. Sarana dan Prasarana Pariwisata Pulau Bintan sebagai salah tujuan wisata nasional telah banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik setiap tahunnya. Pada tahun 2008 tercatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Pulau Bintan sebanyak orang. Untuk mendukung kepariwisataan tersebut sejumlah sarana dan prasarana telah dibangun di beberapa lokasi yang menjadi pusat wisata seperti di kawasan wisata Lagoi dan Pantai Trikora. Di kawasan wisata Lagoi terdapat 9 hotel berbintang dengan jumlah kamar sebanyak buah. Sedangkan di kawasan wisata Pantai Trikora terdapat 6 buah hotel berbintang 3 dengan jumlah kamar sebanyak 207 buah. Selain hotel, juga terdapat sejumlah restoran dan rumah makan yang tersebar di setiap lokasi wisata. Pada tahun 2008 terdapat 134 restoran dan rumah makan dengan jumlah tempat duduk buah (BPS Kabupaten Bintan, 2009) Potensi Kelautan dan Perikanan Potensi Perikanan Tangkap dan Budidaya - Perikanan tangkap Gugus Pulau Bintan memiliki potensi perikanan yang sangat besar untuk kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Kondisi ini ditunjang dengan posisi

98 71 geografis yang berada di pertemuan antara Laut Cina Selatan dan Laut Pedalaman Indonesia (Laut Jawa dan Selat Malaka). Selat Malaka merupakan salah satu lautan yang memiliki nilai produktivitas primer yang tinggi. Wilayah perairan gugus pulau Bintan sebagian besar terletak pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 4 (WPP 4), yaitu wilayah Laut Cina Selatan yang memiliki potensi sumberdaya ikan paling besar diantara 11 WPP yang ada. Estimasi potensi perikanan tangkap di perairan Kabupaten Bintan mencapai 106,018 ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan ton (DKP Kabupaten Bintan, 2009). Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Bintan Tahun 2008 tercatat sebanyak RTP dan pada tahun 2007 berjumlah RTP. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 661 RTP (7,98%). Rumah tangga perikanan tangkap merupakan yang paling dominan, yaitu RTP (945%), budidaya laut 297 RTP, budidaya payau 45 RTP dan budidaya perairan tawar 147 RTP. Adapun alat tangkap yang digunakan oleh nelayan antara lain; gillnet, pancing ulur, bubu, pancing tonda, pukat bilis dan lain-lain (DKP Kabupaten Bintan, 2009). Alat tangkap jaring yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan pada umumnya mempunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang tidak rapat sesuai dengan sasaran ikan yang akan ditangkap. Umumnya ukuran mata jaring yang digunakan berkisar 5-12,5 cm, kecuali jaring yang digunakan untuk menangkap ikan bilis mempunyai ukuran mata jaring yang sangat rapat. Kegiatan perikanan yang menggunakan alat tangkap jaring mempunyai tujuan untuk menangkap ikan pelagis seperti ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii), ikan kembung (Rastrelliger spp) dan lain sebagainya. Jaring apollo (trammel net) banyak digunakan untuk menangkap lobster. Bubu juga merupakan alat tangkap yang sangat dominan digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan. Termasuk di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir. Alat tangkap bubu ini terbuat dari kawat dengan ukuran mata kawat sekitar 2,5 cm yang banyak dipasang di sekitar terumbu karang. Satu orang nelayan dapat memiliki 50 unit bubu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan cukup selektif.

99 72 Armada perikanan tangkap di Kabupaten Bintan terdiri dari Kapal Motor (KM), Motor Tempel (MT) dan Perahu Tanpa Motor (PTM). Kapal Motor (KM) diidentifikasi berdasarkan tonase-nya, yaitu 1-5 GT, 6-10 GT, dan >10 GT. Jumlah armada perikanan tangkap tahun 2008 yakni berjumlah unit, jika dibandingkan tahun 2007 mengalami peningkatan sebanyak 95 unit (2,40 %), dimana tahun 2007 tercatat unit. Adapun rincian jumlah masing-masing armada adalah motor tempel (MT) sebanyak 631 unit dan perahu tanpa motor (PTM) berjumlah unit, sedangkan jumlah kapal motor 1-5 GT (1.849 unit), 6-10 GT (354 unit), dan >10 GT (53 unit). Nelayan yang menggunakan kapal motor dan motor tempel (16-28 PK) dapat mencapai daerah penangkapan yang relatif jauh dari pantai, mulai 7 mil sampai 18 mil dari pantai. Sebaliknya nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor daerah penangkapan mereka hanya terbatas di sekitar pantai. Kondisi ini menyebabkan hasil tangkapan yang mereka peroleh lebih sedikit dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan kapal motor dan perahu motor. Produksi perikanan yang berasal dari usaha penangkapan di Kabupaten Bintan pada tahun 2008 tercatat sebesar ,10 ton dengan nilai produksi Rp ,- dan pada tahun 2007 tercatat sebesar ,38 ton dengan nilai produksi Rp , atau mengalami peningkatan sebesar 2,17%. Pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan terbagai atas tiga kelompok, yaitu lokal, antar pulau dan ekspor. Adapun rincian volume dan nilai pemasaran disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan tahun 2008 No Pemarasan Volume (ton) Nilai (Rp.) Persentase (%) 1 Lokal , ,00 2 Antar Pulau 176, ,00 3 Ekspor 1.365, ,00 Jumlah , ,00 Sumber : DKP Kabupaten Bintan, 2009 Dari Tabel 14 terlihat bahwa pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan sebagian besar (92%) untuk pasar lokal, kemudian diikuti ekspor dan antar

100 73 pulau. Hal ini disebabkan tingginya permintaan lokal terhadap produksi perikanan, dimana konsumsi ikan dari masyarakat Kabupaten Bintan pada tahun 2008 adalah 115,65 kg/kapita/tahun. Disamping itu juga disebabkan pertumbuhan penduduk Kabupaten Bintan yang cukup tinggi, yaitu 2,63% (DKP Kabupaten Bintan, 2009). - Perikanan Budidaya Untuk potensi sumberdaya budidaya laut, Gugus Pulau Bintan mempunyai areal potensial seluas ha, yang dapat dikembangkan untuk budidaya ikan, rumput laut dan kerang-kerangan. Pengembangan kegiatan perikanan masih mempunyai peluang yang sangat luas, mengingat tingkat pemanfaatan laut tersebar di Kecamatan Bintan Timur, Teluk Bintan dan Bintan Utara masih rendah. Disamping kegiatan budidaya laut, Kabupaten Bintan juga potensial untuk pengembangan budidaya air payau (tambak) dan budidaya air tawar. Saat ini kegiatan budidaya laut sudah mulai berkembang di Kabupaten Bintan, terutama di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir. Tercatat kantong keramba jaring apung (KJA) dan 571 kantong keramba jaring tancap (KJT). Kegiatan budidaya laut tersebut tersebar di semua kecamatan yang mempunyai perairan laut. dengan melibatkan 297 RTP. Jenis-jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan kerapu, kakap, bawal dan jenis lainnya. Adapun produksi dan nilai produksi budidaya laut di Kabupaten Bintan pada tahun 2008 adalah 182,36 ton dengan nilai produksi Rp , Pariwisata Gugus Pulau Bintan memiliki potensi wisata yang meliputi wisata alam, wisata budaya dan minat khusus yang tersebar di berbagai kecamatan yang terdapat pada Kabupaten Bintan terutama di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Utara. Secara keseluruhan terdapat 12 lokasi potensial sebagai obyek wisata baik yang sudah dikembangkan maupun yang sedang dikembangkan. Adapun lokasi-lokasi wisata tersebut dapat di lihat pada Tabel 15.

101 74 Tabel 15. Sebaran lokasi dan jenis obyek wisata yang dapat dikembangkan di Gugus Pulau Bintan No Kecamatan Lokasi/Nama Obyek Wisata Jenis Obyek Wisata 1 Bintan Utara Kawasan wisata terpadu Lagoi Pantai Tanjung Berakit Wisata alam Wisata alam Desa wisata Sebong Perah Wisata alam Makam Hang Nadim dan budaya Wisata sejarah 2 Gunung Kijang Pantai kawal Pulau Beralas Bakau dan Pulau Beralas Pasir Gunung Kijang Wisata Agro-perkebunan nenas Pantai Trikora dan perkampungan nelayan kawal Wisata alam Wisata alam Wisata alam Wisata alam 3 Teluk Bintan Makam bukit batu Makam panjang di Pulau Pengujan Air terjun Gunung Bintan Makam Sultan Muhayatsyah Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2008 Wisata sejarah Wisata sejarah Wisata alam Wisata sejarah Salah satu tempat tujuan wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara adalah daerah Lagoi yang terdapat di Kecamatan Bintan Utara. Saat ini Kawasan Wisata Terpadu Lagoi telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan sebagai salah satu kawasan (SEZ) Kabupaten Bintan dengan luas areal ha yang terdapat pada Kecamatan Telok Sebong. Selain kawasan Lagoi, daerah lainya yang juga memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata bahari adalah Pantai Trikora yang terdapat di sepanjang pesisir Kecamatan Gunung Kijang, dan Pulau Mapur. Pantai Trikora memiliki potensi untuk pengembagan wisata mancing dan wisata pantai. Sementara itu, perairan Pulau Mapur memiliki potensi untuk pengembangan jenis pariwisata diving, mancing dan snorkling. Sepanjang tahun 2008, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan sebanyak 316,215 orang. Negara pangsa pasar utama wisatawan mancanegara tahun 2008 adalah Singapura 34,96%. Kemudian diikuti oleh Korea Selatan dan Jepang masing-masing sebesar 12,35% dan 9,76%. Lima negara lain secara berturut-turut antara lain, Inggris (5,12%), Malaysia (4,93%), Australia (4,21%), India (3,66%), dan China (3,34%) (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2008).

102 75 Berkaitan dengan kontribusi wilayah pesisir dan laut Kabupaten Bintan oleh pengguna terhadap PAD, sektor pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar. Berdasarkan nilai PDRB tahun 2008 atas dasar harga yang berlaku tahun 2000 menurut lapangan usaha, kontribusi sektor pariwisata yang diperoleh dari sektor-sektor perdagangan, hotel dan restoran saja telah mencapai Rp. 540,08 milyar atau sebesar 19,76% dengan laju pertumbuhan 6,67% (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Selanjutnya LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) melaporkan bahwa potensi nilai ekonomi ekowisata dari wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan pada tahun 2009 lebih dari Rp. 109,741 milyar. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan (2008) melaporkan bahwa pada tahun 2007 serapan tenaga kerja di sektor pariwisata hanya 5,02% dari angkatan kerja yang berjumlah jiwa. Hal ini masih tergolong rendah dibanding sektor pertanian dan industri pengolahan Ekosistem Pesisir Ekosistem utama di wilayah pesisir Kabupaten Bintan meliputi ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan magrove, padang lamun, dan rumput laut yang tersebar di beberapa lokasi perairan pulau-pulau kecil pada gugus Pulau Bintan (Gambar 7).

103 76 PETA POTENSI EKOSISTEM UTAMA PESISIR GUGUS P. BINTAN Ibukota Kecamatan Garis Pantai Batas Kecamatan Jalan Sungai Waduk Rumput Laut Mangrove Pdang Lamun Terumnu Karang Daratan Gugus P. Bintan Gambar 7. Peta potensi ekosistem utama pesisir di Kabupaten Bintan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU (Sustainability Analysis of Coral Reef Ecosystem Management in Regional Marine

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI Muhammad Yunan Fahmi 1, Andik Dwi Muttaqin 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO

Lebih terperinci

LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA

LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA Lamun adalah tumbuhan berbunga (Spermato phyta) yang telah menyesuaikan diri untuk hidup sepenuhnya terbenam di dalam laut. Seperti tumbuhan darat umumnya,

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut yang mempunyai peran penting dalam mempertahankan fungsi pesisir dan laut. Terumbu karang berperan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Pombo merupakan salah satu Pulau di Provinsi Maluku yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dengan kategori Kawasan Suaka Alam, dengan status

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pengelolaan, Terumbu karang, Berkelanjutan, KKLD, Pulau Biawak

Kata Kunci : Pengelolaan, Terumbu karang, Berkelanjutan, KKLD, Pulau Biawak Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN: 2541-0849 e-issn: 2548-1398 Vol. 2, No 8 Agustus 2017 STRATEGI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) PULAU BIAWAK

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DISAMPAIKAN OLEH Ir. Agus Dermawan, M.Si DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur Kepulauan Riau. Secara administrasi lokasi penelitian mencakup dua

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci