EVALUASI INTEGRITAS LANSKAP TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas) SAHLAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI INTEGRITAS LANSKAP TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas) SAHLAN"

Transkripsi

1 EVALUASI INTEGRITAS LANSKAP TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas) SAHLAN DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN SAHLAN, Evaluasi Integritas Lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (studi kasus: Jalur Pendakian Cibodas). Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR. Keberadaan taman nasional saat ini sangat mengkhawatirkan. Intensitas penggunaan baik legal maupun ilegal di kawasan taman nasional semakin meningkat. Kegiatan ilegal di dalam kawasan taman nasional diantaranya pencurian kayu bakar, penebangan pohon, pengambilan tanaman khas/endemik, dan pendakian gunung secara ilegal, sedangkan kegiatan yang legal diantaranya pengelolaan kawasan dan besarnya tekanan pengunjung sehingga melebihi daya dukung kawasan. Jika hal ini tidak diperhatikan maka eksistensi atau karakter dari taman nasional dan kekayaan alam bangsa ini akan hilang. Untuk itu perlu adanya kajian dari pengelola menanggapi permasalahan ini. Salah satu kegiatan manajemen lanskap ialah mengevaluasi atau mengkaji suatu kawasan/lanskap. Melalui evaluasi atau kajian ini, dapat diketahui apakah lanskap tersebut masih terjaga karakter aslinya ataukah tidak. Semua aspek tersebut selanjutnya akan menjadi evaluasi pengelolaan lanskap yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kondisi eksisting, kualitas estetika, karakter kualitas ekologi, dan pengelolaan lanskap Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) khususnya Jalur Pendakian Cibodas. Merumuskan solusi permasalahan, sintesis, sehingga fungsi dan karakter dari taman nasional dapat terwujud secara optimal dan berkelanjutan. Penelitian ini dibatasi pada pengamatan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango khususnya jalur pendakian Cibodas-puncak Gede. Penelitian ini menggunakan metode survei untuk pengumpulan data ekologis, estetika dan karakter, persepsi dan preferensi pengunjung. Pengolahan data kualitas estetika, karakter ekologi dan evaluasi pengelolaan dengan menggunakan metode Semantic Differential (SD). Dari hasil pengolahan data karakter ekologi dan kualitas ekologi dihasilkan evaluasi sehingga didapatkan gagasan/rekomendasi agar karakter lanskap taman nasional tetap utuh dan terjaga. Secara umum penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data dan tahap pengolahan data. TNGGP terletak diantara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dengan ketinggian mdpl dan terletak di titik ' ' BT dan 64 1'-65 1' LS. Luas kawasan TNGGP saat ini sekitar ,782 ha. Topografi kawasan ini bervariasi, terdiri dari lahan datar, dataran tinggi, dan bukit sedang sampai terjal. Jenis tanah di TNGGP ialah tanah Regosol dan Litosol, tanah asosiasi Andosol dan Regosol, dan tanah Latosol coklat. Iklim di kawasan ini berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk tipe iklim A, dengan nilai Q berkisar antara 11.30%-33.30%. Suhu udara berkisar antara 10º-18º C. Kelembaban relative sepanjang tahun berkisar dari 80%-90%. Daerah ini termasuk daerah terbasah di pulau Jawa dengan rata-rata curah hujan tahunan mm. Secara umum jenis vegetasi di TNGGP dapat dibagi dalam tiga zona hutan (Haris, 2001). Urutan ketinggian dari ketiga zona hutan tersebut adalah zona hutan Perum Perhutani, zona hutan Montana, dan zona hutan Sub

3 Alpin. Menurut Riatmo (1989) vegetasi di TNGGP yaitu hutan Sub Montana, Hutan Montana dan hutan Sub Alpin. TNGGP memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Diantara satwa yang hampir punah antara lain, satwa primata dan terdapat di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Jenis satwa langka antara lain: jenis primata seperti Gibbon Jawa (Hylobates moloch) dan Surili Jawa (Dresbytis aygula), jenis mamalia seperti macan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpinus), dan trenggiling (Manis javanica), jenis burung seperti alapalap (Accipiter soloensis), betet (Lanios scaeh), kutilang (Pycnonotus aurigaster), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Burung hantu (Otus angelinae). Hasil evaluasi terhadap kualitas estetika, karakter kualitas ekologi dan pengelolaan lanskap di tiap lanskap dinilai baik/tinggi. Namun dalam beberapa kriteria misalnya banyaknya satwa liar dan pengelolaan fasilitas masih dinilai kurang. Masih terdapat kegiatan vandalisme yang dilakukan oleh pengunjung seperti membuang sampah, merusak/mencoret-coret fasilitas dan memetik tanaman. Permasalahan lain yang ada di tiap lanskap antara lain fasilitas yang rusak dan kurang memadai serta tidak terdapat tempat pembuangan sampah. Untuk itu disusun beberapa rekomendasi untuk mempertahankan karakter lanskap TNGGP dan juga untuk mencapai tujuan awal pembentukan taman nasional. Rekomendasi tersebut antara lain, pengadaan pelatihan atau penyuluhan singkat tentang pendidikan konservasi, penanganan khusus terhadap kegiatan vandalisme, pengadaan tempat sampah di setiap obyek wisata/tempat pemberhentian pengunjung, pemeliharaan terhadap habitat satwa dan vegetasi, peningkatan fasilitas-fasilitas, pembatasan pengunjung dan larangan berkemah, pengalihan jumlah kuota pengunjung, pengkajian ulang terhadap zonasi taman nasional dan pengkajian ulang terhadap aturan-aturan yang sudah dibuat.

4 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, peyusunan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

5 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Integritas Lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas) adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Sumber informasi yang digunakan berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini Bogor, Juni 2011 Sahlan A

6 EVALUASI INTEGRITAS LANSKAP TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas) SAHLAN A Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

7 LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NRP Departemen : Evaluasi Integritas Lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Sudi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas) : Sahlan : A : Arsitektur Lanskap Disetujui: Dosen Pembimbing Dr. Ir. Aris Munandar, MS NIP Diketahui: Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP Tanggal Lulus:

8 RIWAYAT HIDUP Sahlan lahir di Jakarta pada tanggal 16 Juni Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara pasangan Bapak H. Syafi i Ridwan dan Ibu Hj. Maswanih. Penulis menamatkan pendidikan di SMA Negeri 47 Jakarta pada tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), kemudian diterima di Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian pada tingkat dua. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan kepanitiaan di lingkungan IPB dan kegiatan organisasi di Departemen Arsitektur Lanskap. Penulis tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) selama dua periode yaitu sebagai staf Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dan tahun sebagai Ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM). Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Bola Basket dan Ikatan Alumni SMAN 47 Jakarta IPB. Pada tahun 2010 penulis ikut serta dalam kepanitiaan Simposium Nasional IALI (Ikatan Arsitektur Lanskap Indonesia). Selain itu penulis juga menjadi asisten Mata Kuliah Lanskap Kota dan Wilayah pada tahun 2010 dan Mata Kuliah Dasardasar Arsitektur Lanskap pada tahun akademik 2010/2011. Beberapa projek yang pernah diikuti diantaranya, Tim Perencanaan Ecovillage di Pesantren Pertanian Darul Falah, Bogor bersama dosen Arsitektur Lanskap, Tim Survei Desain Pencetakan Sawah di Kelurahan Gaung Baru, Kalimantan Tengah dengan Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W).

9 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi ALLAH SWT atas rahmat dan karunia yang tiada hentinya mengalir kepada penulis, serta sholawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada junjungan Nabi besar MUHAMMAD SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang selalu istiqomah sampai akhir zaman sehingga penelitian yang berjudul Evaluasi Integritas Lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas) ini dapat diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terimakasih ditujukan kepada: 1. Kedua orang tua, H. Syafei Ridwan dan Hj. Maswanih, kakak dan adikku tersayang Hj. Misliati, H. Zul Akmal, Hj. Lutfiah, Hj. Siti Buraidah dan Farid Syafei, yang doanya tidak pernah berhenti mengalir kepada penulis, serta atas kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materil yang tidak tergantikan. 2. Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, waktu dan ilmu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MS selaku dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan dorongan dan nasehat selama penulis menjalani masa perkuliahan. 4. Dr. Ir. Afra DN Makalew, MSc dan Dr. Ir. Tati Budiarti, MS selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini. 5. Kepala Balai dan Mba Yani serta seluruh pihak Balai Besar Penelitian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 6. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Arsitektur Lanskap yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang bermanfaat kepada penulis.

10 7. Keluarga, sahabat dan teman-teman ARL 43 atas kebersamaannya selama 4 tahun di ARL. 8. Cindy Aliffia atas dukungan moril maupun materil selama penyusunan skripsi. 9. Keluarga besar Hikari atas canda, tawa, suka maupun duka. 10. HIMASKAP, HIMAKOVA, KAREMATA dan AGRIC. 11. Keluarga besar Arsitektur Lanskap seluruh angkatan atas kebersamaannya di Bengkel tercinta. 12. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuannya. Terimakasih. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan yang berharga bagi pihak yang memerlukan. Bogor, Juni 2011 Sahlan

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi Lanskap Integritas Lanskap Rencana Pengelolaan Taman Nasional Taman Nasional Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Interpretasi Pengertian Interpretasi Tujuan Interpretasi Prinsip Interpretasi Tipe-tipe Interpretasi Persepsi dan Preferensi Semantic Differential III. METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Batasan Penelitian Metode Penelitian Tahap Persiapan Tahap Pengumpulan Data Tahap Pengolahan Data Alur Pelaksanaan Studi... 22

12 IV. KONDISI UMUM KAWASAN Letak dan Luas Kawasan Topografi dan Geologi Tanah Iklim Hidrologi Vegetasi Satwa Objek Penelitian Objek Pariwisata Legenda Rakyat Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar TNGGP Aksesibilitas Kondisi Supply Kawasan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Aturan yang Cukup Lengkap dan Akurat V. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung Evaluasi Kualitas Estetika Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede Evaluasi Karakter Kualitas Ekologi Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede Evaluasi Pengelolaan Rekomendasi VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran... 90

13 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 93

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kriteria penetapan zonasi (Siswanto, 1998) Jenis, bentuk dan sumber data Tabel Kuisioner Semantic Differential Penggunaan lahan setiap kabupaten di sekitar TNGGP Mata Pencaharian Penduduk Sekitar TNGGP Hasil Kuisioner Identitas, Persepsi dan Preferensi Pengunjung Kawasan TNGGP... 51

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta lokasi penelitian Titik pengamatan di Jalur Pendakian Cibodas Bagan alur pelaksanaan studi Peta geologi TNGGP Peta iklim TNGGP Peta penyebaran pemanfaatan sumber air TNGGP Peta zona tipe vegetasi TNGGP Peta penyebaran flora TNGGP Peta penyebaran flora berdasarkan ketinggian TNGGP Obyek wisata TNGGP Peta lokasi obyek wisata TNGGP Peta aksesibilitas TNGGP Kegiatan vandalisme Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru View Pintu Masuk Cibodas (kiri) dan Telaga Biru (kanan) Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas View Air Panas (kiri) dan Air Terjun Cibeureum (kanan) Grafik Semantic Differential Puncak Gunung Gede dengan Perkemahan Kandang Badak View Perkemahan Kandang Badak View Puncak Gunung Gede Air terjun kecil Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru Vegetasi Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru Habitat Lutung (Kiri) dan pohon Rasamala (kanan) Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas Lanskap Air Terjun Cibereum (kiri) dan Air Panas (kanan) Air Terjun Cibeureum (kiri) dan Air Panas (kanan) Rawa gayonggong Grafik Semantic Differential Puncak Gunung Gede dengan Perkemahan

16 Kandang Badak Vegetasi Puncak Gunung Gede (kiri) dan Kandang Badak (kanan) Grafik Semantic Differential Lanskap terbangun dan tidak terbangun Contoh Vandalisme Aksesibilitas Pintu Masuk Cibodas dan Pekemahan Kandang Badak Akses menuju Telaga Biru dan Air Terjun Cibeureum Akses menuju Air Panas dan Puncak Gunung Gede (Tanjakan Setan) Papan/sarana Interpretasi Papan/sarana Interpretasi Rusak Fasilitas di Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak Fasilitas di Telaga Biru Fasilitas di Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Permasalahan di Lanskap Kandang Badak dan Pintu masuk Cibodas Permasalahan di Kelompok Lanskap Tidak Terbangun Contoh Fasilitas Taman Nasional di Dunia (Bell, 2008)... 86

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peraturan Pendakian Lembar Kuisioner Penilaian Integritas Lanskap TNGGP Lembar Kuisioner, Identitas, Persepsi, dan Preferensi Pengunjung Kawasan TNGGP... 94

18 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi di seluruh Indonesia yang memiliki potensi sebagai industri wisata alam sangat bervariasi, tersebar dalam 535 unit dengan luas total mencapai lebih dari 28 juta hektar. Kawasan ini meliputi cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman buru. Salah satu kawasan konservasi yang memiliki potensi sebagai industri wisata alam, namun juga memiliki fungsi ekologi ialah taman nasional. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam (Widada et al. 2008). Suatu kawasan dapat dikategorikan sebagai taman nasional jika memiliki syarat-syarat dan kriteria tertentu. Kriteria tersebut antara lain kawasan yang ditetapkan mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami dan memiliki sumberdaya alam yang khas (endemik) dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami. Salah satu kawasan yang memiliki kriteria tersebut ialah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Keberadaan taman nasional saat ini sangat mengkhawatirkan. Semakin banyaknya intensitas penggunaan baik legal maupun ilegal di kawasan taman nasional. Kegiatan ilegal di dalam kawasan taman nasional diantaranya pencurian kayu bakar, penebangan pohon, pengambilan tanaman khas/endemik, dan pendakian gunung secara ilegal. Kegiatan yang legal diantaranya pengelolaan kawasan dan besarnya tekanan pengunjung untuk berkunjung ke taman nasional sehingga kawasan ini melebihi daya dukungnya. Jika hal ini tidak diperhatikan maka eksistensi atau karakter dari taman nasional dan kekayaan alam bangsa ini akan hilang. Untuk itu perlu adanya kajian dari pengelola menanggapi permasalahan ini. Lanskap terdiri dari lanskap alami (nature landscape) dan lanskap buatan (man made) yang memiliki elemen soft material dan hard material. Taman

19 2 nasional termasuk ke dalam lanskap alami. Penataan lanskap yang kreatif dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk menghasilkan suatu karya lanskap yang indah, selaras, nyaman, menarik dan memuaskan. Penataan lanskap erat kaitannya dengan pembagian ruang sebab ilmu Arsitektur Lanskap juga mempelajari penataan fisik ruang luar (alam). Penataan ruang luar, baik alam maupun buatan harus mempertimbangkan kualitas manusia dan kehidupan manusia serta manfaatnya terhadap keberlanjutan ekologis. Oleh sebab itu, kegiatan penataan (perencanaan, perancangan, dan pengelolaan) tapak (open spaces) tidak saja hanya berorientasi dan memperhitungkan pada aspek fisik, visual dan estetika saja tetapi juga harus memperhitungkan aspek ekologis dan sosial budaya areal yang ditata dan juga hendaknya memperhitungkan kapasitas dan daya dukung lanskap dan sumberdaya. Salah satu kegiatan manajemen lanskap ialah mengevaluasi atau mengkaji suatu kawasan/lanskap. Melalui evaluasi atau kajian ini, dapat diketahui apakah lanskap tersebut masih terjaga karakter aslinya ataukah tidak. Semua aspek tersebut selanjutnya akan menjadi evaluasi pengelolaan lanskap yang berkelanjutan Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kondisi eksisting, kualitas estetika, karakter kualitas ekologi, dan pengelolaan lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) khususnya Jalur Pendakian Cibodas dan merumuskan solusi pengelolaan sehingga fungsi dan karakter dari taman nasional dapat terwujud secara optimal dan berkelanjutan Manfaat Manfaat dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Memberikan informasi tentang kondisi eksisting lanskap TNGGP. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi perencana, pengelola dan Pemerintah Daerah terkait dalam mengembangkan kawasan TNGGP. 3. Sebagai masukan bagi pihak pengelola TNGGP untuk meningkatkan fungsi dan estetika lanskap TNGGP. 4. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya keberadaan taman nasional.

20 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Evaluasi Lanskap Evaluasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menelaah atau menduga hal-hal yang sudah diputuskan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan suatu keputusan. Selanjutnya ditentukan langkah-langkah alternatif bagi kelemahan tersebut. Porteus (1983), menyatakan bahwa evaluasi lanskap merupakan salah satu metode statistika lanskap kuantitatif yang menyertakan tenaga ahli. Dasar pemikiran evaluasi adalah bahwa seseorang dapat melakukan penilaian estetika lanskap yang berharga, fungsional, dan dapat diterima oleh umum. Evaluasi melibatkan penjelasan sejumlah faktor yang mungkin mempengaruhi variasi kualitas lanskap, skala untuk mengukur faktor tersebut dan mengembangkan suatu sistem pembobotan untuk menentukan bermacam-macam penekanan pada faktor yang berbeda-beda. Rossi dan Howard (1993) menyatakan bahwa evaluasi merupakan suatu aplikasi penilaian yang sistematis terhadap konsep, desain, implementasi, dan manfaat aktivitas dan program dari suatu instansi pemerintah. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan untuk menilai dan meningkatkan cara-cara dan kemampuan berinteraksi instansi pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerjanya. Dalam berbagai hal, evaluasi dilakukan melalui monitoring terhadap sistem yang ada. Tanggung jawab pelaksanaan evaluasi bukan pada apakah informasi yang disediakan itu benar atau salah, atau sesuai tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, tetapi lebih diarahkan pada perbaikan implementasi kegiatan untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Arifin, Munandar, Arifin, Pramukanto dan Damayanti (2008) menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menaksir kinerja dan keluaran yang dihasilkan oleh suatu program. Evaluasi dilakukan untuk menentukan keputusan apakah akan melanjutkan suatu program yang dinilai sukses atau apakah akan menghentikannya. Tujuan evaluasi adalah untuk mengkoreksi dan menampilkan informasi yang diperlukan dalam mendukung pengambilan kesimpulan dan keputusan tentang suatu program serta nilainya.

21 4 Lanskap yang berbeda akan menimbulkan efek visual yang berbeda pula. Evaluasi visual suatu lanskap didasarkan pada standar-standar estetika yang merupakan fungsi dari nilai-nilai sosial, moral, dan ekologi dari kelompok pembuat evaluasi tersebut. Evaluasi kualitas estetik dapat menggunakan tiga kriteria estetika yaitu kesatuan, variasi, dan kontras. Kesatuan adalah kualitas total elemen yang terlihat menyatu dan harmonis yang merupakan ekspresi dari tipe komposisi lanskap. Salah satu tipe komposisi lanskap adalah pemandangan yang dominan. Variasi adalah banyaknya jenis elemen dalam tapak dan hubungan antar elemen yang berbeda. Kontras adalah perbedaan antar elemen yang terlihat menonjol tetapi tetap harmonis. Kontras dapat berupa perbedaan warna, tekstur, atau bentuk elemen Integritas Lanskap Menurut Simond (1983) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia dengan karakter yang menyatu secara alami dan harmonis untuk memperkuat karakter lanskap tersebut. Dalam hal ini manusia memegang peranan penting dalam merasakan suatu lanskap. Lanskap sebagai wajah karakter lahan atau tapak dan bagian dari muka bumi ini dengan segala sesuatu dan apa saja yang ada didalamnya, baik bersifat alami maupun buatan manusia yang merupakan total dari bagian hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat menangkap dan membayangkan (Rachman, 1984). Integritas lanskap pada hakekatnya adalah kejujuran dan kepolosan karakter dan sifat lanskap, satu-kesatuan lanskap yang menampilkan karakter asli dari lanskap tersebut. Menurut Simonds (1983) integritas lanskap adalah keutuhan dan sifat (nature) lanskap. Dalam hal ini ada tiga elemen penyusun lanskap tersebut, yaitu form, forces dan features. Bentukan (forms) merupakan elemen mayor bentuk gunung, lembah, bukit, sungai, mata air, pantai; maupun elemen minor. Daya (forces): musim, udara dan iklim atau cuaca, angin, dinamika (fisik dan sosial) dan fitur (features) adalah nilai pemandangan (view, vista),

22 5 experience. Satu-kesatuan lanskap ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya Rencana Pengelolaan Taman Nasional Arifin dan Arifin (2005) menyatakan bahwa pengelolaan merupakan upaya manusia untuk mendayagunakan, memelihara, dan melestarikan lanskap/lingkungan agar memperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas kelestariannya. Pengelolaan lanskap adalah upaya terpadu dalam penataan dan pemanfaatan, pemeliharaan, pelestarian, pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup sehingga tercipta lanskap yang bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Menurut Sternloff dan Warren (1984), pemeliharaan lanskap dimaksudkan untuk menjaga dan merawat areal lanskap dengan segala fasilitas yang ada di dalamnya agar kondisinya tetap baik atau sedapat mungkin mempertahankan pada keadaan yang sesuai dengan rancangan atau desain semula. Perencanaan yang baik merupakan titik tolak bagi keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi, tetapi hanya merupakan alat bagi pengelolaan. Perencanaan merupakan suatu proses yang berjalan terus, meliputi perumusan, penyerahan dan persetujuan dari tujuan pengelolaan, bagaimana hal ini dapat dicapai dan standar pembanding untuk mengukur keberhasilan. Perencanaan yang baik mengarah pada keberhasilan yang baik, perencanaan yang buruk menghalangi keberhasilan. Bagaimanapun bagusnya penyajian suatu perencanaan, tidak akan berarti bila perencanaan tersebut tidak praktis atau tidak menghasilkan suatu tindakan yang efektif (MacKinnon et al. 1993). Setiap kawasan konservasi perlu memiliki suatu rencana pengelolaan sebagai prinsip dasar pengelolaan. Rencana pengelolaan membimbing dan mengendalikan pengelolaan sumberdaya kawasan konservasi, pemanfaatan kawasan serta pengembangan fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatannya. Pokok dari rencana adalah suatu pernyataan mengenai sasaran dan tujuan yang dapat diukur, yang memandu pengelolaan kawasan tersebut. Sasaran dan tujuan ini membentuk kerangka untuk menentukan

23 6 tindakan yang diambil, kapan tindakan tersebut dilakukan serta dana dan tenaga yang diperlukan untuk mencapainya. Suatu rencana pengelolaan merupakan alat yang berguna untuk mengidentifikasi kebutuhan pengelolaan, menetapkan prioritas dan mengorganisasikan pendekatan itu ke masa mendatang. Rencana pengelolaan juga dapat berfungsi sebagai alat komunikasi untuk memperoleh dukungan dari masyarakat umum maupun pejabat pemerintah yang relevan. Rencana pengelolaan adalah dokumen yang mengemukakan pendekatan dan tujuan, bersama dengan kerangka kerja bagi pembuatan keputusan, untuk diaplikasikan dalam kawasan konservasi selama periode waktu yang diberikan (Thomas and Middleton, 2003). Rencana pengelolaan harus berupa dokumen ringkas yang mengidentifikasikan fitur kunci atau nilai dari kawasan konservasi, secara jelas menetapkan tujuan pengelolaan yang ingin dicapai dan mengindikasikan tindakan yang akan dilaksanakan. Rencana juga harus cukup fleksibel untuk memenuhi kejadian yang tidak terduga yang mungkin timbul selama rencana berlaku. Bagaimanapun rencana pengelolaan merupakan dokumen utama darimana rencana lainnya berjalan, dan biasanya harus diutamakan apabila terjadi pertentangan. Baik rencana sederhana maupun kompleks, prinsip perencanaan yang logis harus dipakai untuk memandu proses perencanaan dan memastikan bahwa rencana pengelolaan yang sempurna adalah dokumen yang cermat dan berguna. Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) merupakan rencana unit pengelolaan yang bersifat indikatif perspektif dan kualitatif-kuantitatif yang meliputi suatu unit pengelolaan kawasan taman nasional untuk jangka waktu 25 tahun. Oleh karena itu sifatnya yang komprehensif dan menyeluruh, RPTN merupakan rencana jangka panjang yang menjadi rencana dasar pengembangan taman nasional dan menjadi acuan bagi Rencana Karya Lima Tahun (RKL), Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam (RPPA), dan rencana-rencana operasional lainnya. RPTN memuat rencana dan arahan program baik yang akan dilaksanakan di dalam kawasan taman nasional maupun di luar kawasan taman nasional yang menjadi tanggung jawab dan wewenang pengelola taman nasional (Departemen Kehutanan, 1993).

24 Taman Nasional Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam (Widada, 2008). Taman nasional merupakan tanah yang dilindungi, biasanya oleh pemerintah pusat, dari perkembangan manusia dan polusi. Taman nasional merupakan kawasan yang dilindungi (protected area) oleh World Conservation Union Kategori II. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zona taman nasional terdiri dari: 1. Zona inti, memiliki kriteria antara lain: - mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya - mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya - mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau tidak atau belum diganggu manusia - mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami - mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi - mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. 2. Zona rimba/zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, memiliki kriteria antara lain: - kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi - memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan - merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. 3. Zona pemanfaatan, memiliki kriteria antara lain:

25 8 - mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik - mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam - kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. 4. Zona lain, antara lain: zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, dan zona khusus. Menurut Soewardi dalam Samsudin (2006), kawasan taman nasional dibagi atas dasar zona-zona sesuai dengan fungsi zona itu sendiri. Atas dasar itu taman nasional dapat diartikan sebagai kawasan areal yang cukup luas yang tersusun atas: (1) Daerah yang mutlak harus dilindungi (Strict nature reserves = preservation zone), dimana pengunjung dilarang sama sekali memasukinya. (2) Daerah berimba yang luas (wilderness areas = Conservation zone), dimana tidak diperkenankan adanya bangunan-bangunan atau kegiatan pengembangan dan hanya dapat dimasuki oleh pengunjung dengan jalan kaki (hiking) atau dengan alat-alat angkut yang sederhana misalnya berkuda, bersampan, dan berperahu dengan tenaga motor. (3) Daerah yang dapat dipergunakan secara intensif (intensive use area = Natural environment zone), misalnya untuk camping ground dan fasilitasfasilitas lainnya yang tidak cocok apabila dibangun dibuat di luar jalur kawasan taman nasional. Daerah ini diperuntukkan bagi para pengunjung yang untuk beberapa hari ingin dekat dengan keadaan alami. (4) Daerah yang terbuka untuk umum (Mass tourism areas = Outdoor recreation zone), dimana para pengunjung dapat mencapainya dengan mempergunakan kendaraan umum (bus dan lain-lain) dan juga dengan mobil pribadi. Pada beberapa lokasi yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk biasanya dibentuk zona penyangga yang berfungsi sebagai pelindung kawasan taman nasional dari berbagai gangguan yang disebabkan oleh manusia

26 9 dan juga sebagai pelindung kehidupan manusia dari berbagai macam gangguan oleh satwa yang berasal dari kawasan taman nasional. Batasan definisi taman nasional menurut Sumardja (1980) dalam Wiratno et al. (2004) adalah satu atau beberapa ekosistem yang secara fisik belum berubah oleh kegiatan dan okupasi manusia, dimana tumbuhan, spesies hewan, dan habitatnya juga tempat-tempat yang secara gemorfologis secara khusus memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan daya tarik rekreasi/yang memiliki lanskap alami yang demikian indah. Secara simultan taman nasional tetap dituntut selalu memberikan manfaat sosial-ekonomi yang kongkrit dan lestari, minimal manfaat itu dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat sekitar secara legal (Wiratno, 2004). Secara umum kriteria suatu kawasan ditetapkan menjadi taman nasional adalah kawasannya luas yang relatif tidak terganggu, mempunyai nilai lain yang menonjol dengan kepentingan yang tinggi, potensi rekreasi yang besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (MacKinnon, 1993). Menurut MacKinnon et al., (1993), seleksi kawasan yang perlu dilindungi bagi pelestarian fungsi hidrologi bergantung pada empat pertimbangan utama, yaitu: a. Kepekaan kawasan tangkapan terhadap erosi b. Kepekaan sungai terhadap banjir c. Ketersediaan air musiman d. Kepentingan sosial-ekonomi aliran sungai tertentu. Taman nasional berfungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan pengelolaannya adalah terjaminnya keutuhan kawasan taman nasional, potensi, keragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta optimalnya manfaat taman nasional untuk penelitian, pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan yang menunjang budaya, budaya dan wisata alam bagi kesejahteraan masyarakat (Direktorat Jenderal PHPA, 1996).

27 10 Menurut Siswanto (1998) zonasi Taman Nasional dibagi menjadi 7 zonasi antara lain: 1. Zona inti, adalah bagian dari kawasan yang mutlak dilindungi, tanpa aktivitas manusia. Pada zona inti terletak keaslian, keunikan, dan kelangkaan wilayah taman nasional. 2. Zona rimba, berada di antara zona inti dengan zona pemanfaatan dan/atau zona lainnya dan berfungsi sebagai zona peralihan. Dalam zona rimba, proses alami tetap menjadi prioritas namun aktivitas manusia diperkenankan secara terbatas. 3. Zona pemanfaatan (intensif/wisata), adalah kawasan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Kegiatan dan perubahan di zona ini relatif paling longgar walaupun kegiatan yang bersifat ekstraktif tetap dilarang. 4. Zona pemanfaatan tradisional, adalah kawasan kegiatan traditional penduduk setempat untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati untuk pemenuhan kebutuhannya sehari-hari dan bersifat non-komersial. 5. Zona pemanfaatan khusus, adalah kawasan yang karena kondisi lingkungan dan potensinya oleh masyarakat telah dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang bersifat khusus dengan pengaturan yang bersifat khusus pula. 6. Zona situs budaya, adalah kawasan lokasi kegiatan manusia di masa lalu dan meninggalkan karya budaya yang mempunyai nilai sejarah. Lokasi dimaksud termasuk yang masih sering dikunjungi oleh masyarakat. 7. Zona rehabilitasi adalah kawasan yang mengalami kerusakan dan perlu direhabilitasi dengan jenis tanaman setempat. Zona rehabilitasi yang telah dipulihkan dapat diubah menjadi zona rimba atau zona lainnya sesuai dengan perkembangan kondisinya. Kriteria penetapan zonasi taman nasional menurut Siswanto (1998) terbagi menjadi 13 kriteria. Kriteria tersebut antara lain, keperwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumber daya/kawasan, luasan, keindahan alam, kenyamanan, kemudahan pencapaian, nilai sejarah, dan ancaman manusia (Tabel 1).

28 11 Tabel 1. Kriteria penetapan zonasi (Siswanto, 1998) No Kriteria Zona * 1 Keperwakilan (representation) 2 Keaslian (originality) dan kealamian (naturalness) 3 Keunikan (uniqueness) 4 Kelangkaan (rarity) Laju kepunahan (rate of exhaustion) 6 Keutuhan ekosistem (ecosystem integrity) 7 Keutuhan sumber daya/kawasan (intactness) 8 Luasan (area/size) 9 Keindahan alam (natural beauty) 10 Kenyamanan (amenity) 11 Kemudahan pencapaian (accessibility) 12 Nilai sejarah (historical value) 13 Ancaman manusia (threat of human interference). *Keterangan zona: (1) inti, (2) rimba, (3) pemanfaatan (intensif/wisata), (4) pemanfaatan tradisional, (5) pemanfaatan khusus, (6) situs budaya, dan (7) rehabilitasi Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tahun 1980 dengan luas ± Ha (Sumardjo, 1997 dalam Wiratno et al., 2004). Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango mencakup tiga wilayah pemerintahan daerah yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur. Pada tahun 2003, TNGGP diperluas menjadi ,782 ha sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-11/2003.

29 12 Total lahan kritis pada areal perluasan kawasan TNGGP 928,50 ha, terdiri dari areal tanah kosong, eks perambahan, eks PHBM, dan eks hutan produksi yang perlu di rehabilitasi. Adapun areal perluasan yang termasuk dalam program RHLP (Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif) di Resort Gunung Putri seluas 50 ha (BTNGGP, 2004). Fungsi Taman Nasional Gunung Gede-Pagrango adalah (1) perlindungan terhadap sistem pendukung kehidupan/ekosistem, (2) pengawetan keanekaragaman jenis plasma nutfah dan tata lingkungan, (3) pelestarain dan pemanfaatan jenis serta tata lingkungan, (4) wadah kegiatan penelitian dan pendidikan, (5) objek wisata dan pelestarian budaya bangsa Interpretasi Pengertian Interpretasi Interpretasi adalah suatu proses komunikasi yang dirancang untuk mengungkapkan makna dan hubungan dari kebudayaan dan warisan alam dengan melihat langsung obyek, artifak, lanskap dan tapaknya. Menurut Sharpe (1982), interpretasi adalah suatu rantai komunikasi antara pengunjung dan sumberdaya yang ada. Istilah interpretasi bermula dari pemikiran para pengelola kawasan yang dilindungi sebagai konsep dan ekosistemnya dengan maksud agar lebih memahami dan menghargai lingkungan alam. Berdasarkan pemahaman tersebut diharapkan pengunjung dapat mengambil bagian dalam usaha-usaha perlindungan dan pelestarian lingkungan alam kawasannya. Menurut Tilden (1957), dalam Interpreting Our Heritage menyatakan bahwa interpretasi merupakan suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan mengungkapkan arti dan hubungan melalui pemanfaatan obyek asli, melalui pengalaman langsung dan media ilustrasi, bukan hanya sekedar mengkomunikasikan informasi faktual. Menurut Muntasib (2003), interpretasi merupakan suatu upaya untuk menjelaskan misteri alam, seni dan budaya kepada pengunjung baik secara langsung (melalui interpreter) maupun tidak langsung (melalui poster, slide, film, foto ataupun alat peraga lainnya), berupa seni yang menarik dan merupakan penggabungan berbagai pengetahuan yang terkait (flora, fauna, sejarah, geologi dan sebagainya). Jadi interpretasi merupakan media komunikasi antara suatu objek dengan pengunjung melalui perantara interpreter.

30 13 Selain itu interpretasi bukan sekedar informasi, bukan mengenai umur, objek wisata, interpreter dan sebagainya, tetapi interpretasi merupakan suatu seni yang menggabungkan berbagai potongan informasi dan menghubungkannya dengan suatu setting atau pengalaman sedemikian rupa sehingga hal tersebut lebih berarti dan menyenangkan. Interpretasi yang baik tidak hanya memperkaya pengalaman pengunjung, tetapi juga mendukung tujuan lain, misalnya meminimalkan dampak kegiatan manusia terhadap sumberdaya dan meningkatakan persepsi publik Tujuan Interpretasi Tujuan interpretasi secara umum yaitu untuk memenuhi kebutuhan pengunjung akan pengetahuan, pembelajaran, dan pengalaman baru, juga sebagai proses unutk menumbuhkan pengertian, pemahaman dan penghargaan pengunjung terhadap nilai-nilai substansif sumber-sumber suatu kawasan dan pada akhirnya ikut melindungi kawasan tersebut. Menurut Sharpe (1982), tujuan pokok interpretasi yaitu: 1. Membantu pengunjung membangun kesadaran, penghargaan dan pengertian tentang kawasan yang dikunjungi agar kunjungan kaya akan pengalaman dan kenyamanan. 2. Membantu pihak pengelola untuk mencapai tujuan pengelolaan karena interpretasi dapat mendorong pengunjung menggunakan sumberdaya dengan baik serta memperkecil dampak manusia yang merusak lingkungan. 3. Meningkatkan pengertian masyarakat umum terhadap sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu instansi/institusi, dengan jalan memasukkan perasaan-perasaan dalam program interpretasinya Prinsip Interpretasi Menurut Tilden (1957) ada 6 prinsip interpretasi yaitu: 1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara apa yang diperagakan atau diuraikan dengan apa yang dialami atau kepribadian personalitas para pengunjung akan merupakan hal yang sia-sia. 2. Informasi, penerangan atau materi yang sejenis dengan itu saja bukanlah interpretasi.

31 14 3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni, baik bersifat ilmiah atau arsitektur, atau seni yang pada suatu tingkatan dapat diajarkan kepada orang lain. 4. Cara mengutarakan interpretasi bukanlah dengan suatu perintah melainkan dengan pancingan atau persuasif/dorongan). 5. Interpretasi bermaksud mempertunjukkan secara jelas dan bukan sebagiansebagian. 6. Interpretasi yang ditujukan pada anak-anak tidak dapat dipakai untuk orang dewasa karena masing-masing mempunyai pendekatan yang berbeda Tipe-tipe Interpretasi Tipe interpretasi berdasarkan obyek yang diinterpretasikan (Aldridge, 1972 dalam Muntasib, 1999): 1. Interpretasi tempat sejarah Interpretasi ini adalah seni dalam menjelaskan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan sejarah masa lampau atau berhubungan dengan keadaan budaya suatu masyarakat yang sudah turun-menurun. Kegiatan ini dilakukan dengan membuat suatu program yanng mempertunjukkan gambar-gambar, slide, film dan media lainnya di sentral pengunjung dan bisa berbentuk cerita dengan tema tertentu. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran pengunjung akan sejarah tempat yang dikunjunginya sehingga dapat memahami atau lebih lanjut dapat ikut serta melestarikan tempat tersebut. 2. Interpretasi tempat alami Interpretasi ini adalah seni dalam menjelaskan atau mengungkapkan karakteristik suatu daerah dengan mengembangkan kondisi tanah atau batuan yang ada dengan tanaman yang tumbuh ataupun dengan binatang yang hidup di dalamnya juga dengan kehidupan manusia pada kondisi aslinya. Kegiatan ini bisa dilakukan kepada pengunjung dengan menunjukkan tempat-tempat sebenarnya, bisa didahului dengan suatu cerita atau tema yang menarik. 3. Interpretasi lingkungan hidup Interpretasi ini adalah seni dalam mengungkapkan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Kegiatan ini tidak harus menunjukkan tempat-tempat

32 15 sebenarnya tetapi dapat berupa cerita yang berdasarkan pengalamanpengalaman yang kemudian disusun menjadi suatu cerita atau tema tertentu dengan menggunakan media slide, film, video, foto atau contoh-contoh hasil pengaruh manusia terhadap lingkungan. Dapat dilakukan pada ruang tertutup, di kelas, dalam diskusi atau juga pada tempat aslinya. Tujuan dari tipe interpretasi ini adalah untuk meyakinkan masyarakat betapa pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannnya dan sedapat mungkin membangkitkan keinginan untuk ikut melestarikan hubungan tersebut. 4. Pendidikan pelestarian Pendidikan pelestarian merupakan suatu seni dalam memberikan pelajaran atau menciptakan situasi belajar yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Sasaran dari pendidikan pelestarian ini adalah bukan hanya pelajar, tetapi orang-orang yang dianggap harus mengetahui dan ikut melestarikan lingkungan hidup. Bentuk kegiatannya dapat berupa kursus, penyuluhanpenyuluhan dan pelatihan-pelatihan. Tujuannya adalah untuk memberikan kesadaran, memberikan pengertian tentang lingkungan hidup dan lebih jauh lagi ikut serta melestarikan dan menyelamatkan lingkungan hidup Persepsi dan Preferensi Persepsi merupakan pengertian serta interpretasi seseorang terhadap suatu objek terutama bagaimana orang menghubungkan informasi yang diperolehnya dengan diri sendiri dan lingkungan dimana dia berada (Eckbo, 1964). Penilaian kita terhadap suatu ruang ditentukan oleh kualitas fisik ruang yang bersangkutan dan kualitas psikologis dari pengalaman-pengalaman yang pernah dialami oleh seseorang (Laurie, 1975). Persepsi dan penilaian seseorang akan mempengaruhi preferensi seseorang. Porteous (1977) mendefinisikan persepsi sebagai suatu respon berbentuk tindakan yang dihasilkan dari kombinasi faktor eksternal dan internal manusia. Persepsi yang berulang-ulang akan membentuk preferensi, yaitu suatu bentuk keputusan mental untuk lebih menyenangi, tertarik dan memilih sesuatu dibandingkan dengan yang lainnya.

33 16 Persepsi dan preferensi diukur dengan metode semantik diferensial. Semantik diferensial merupakan metode untuk memberikan penilaian karakter dalam bentuk pasangan kata sifat suatu lanskap berdasarkan persepsi pengamat. Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan kuisioner (Heise, 1970). Skala differensial yaitu skala untuk mengukur sikap, tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak dibagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak dibagian kiri garis atau sebaliknya. Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala semantik differensial adalah data interval. Biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang Semantic Differential (SD) SD merupakan metode untuk memberikan penilaian karakter suatu lanskap berdasarkan persepsi pengamat. Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan kuisioner (Heise, 1970). Skala diferensial yaitu skala untuk mengukur sikap yang tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak di bagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak di bagian kiri garis atau sebaliknya. Biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang. SD dibagi menjadi 2 kriteria diantaranya membandingkan sikap dan evaluasi kinerja. Dalam membandingkan sikap, semantik diferensial diaplikasikan dalam analisis perilaku user untuk membandingkan sikap atau persepsi terhadap kualitas lanskap tertentu, dan ditunjukkan dalam bentuk gambar atau peta, sedangkan kinerja atau kualitas lanskap dicerminkan dengan melihat kinerja sekelompok atribut, kemudian atribut tersebut dibandingkan dengan lanskap lain karena dalam bentuk gambar, dan ditarik kesimpulan. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah per atribut dan tidak bisa disimpulkan secara umum.

34 17 III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Studi evaluasi ini dilakukan di Jalur Pendakian Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat. TNGGP terletak di 3 kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi (Gambar 1). Penelitian ini dimulai pada bulan Juni Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 3.2. Alat dan Bahan Pengambilan data Pengolahan data : GPS, kompas, kamera digital : peta kawasan TNGGP, Microsoft (Excel, Word), XL Stat, Adobe Photoshop CS Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada pengamatan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango khususnya jalur pendakian Cibodas-puncak Gede ditinjau dari segi form, forces dan features termasuk didalamnya camping ground serta fasilitas

35 18 dan utilitas yang ada pada kawasan. Tahapan terakhir dari penelitian ini hanya pada tahap penilaian dan evaluasi terhadap lanskap kemudian disusun suatu rekomendasi Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei untuk pengumpulan data ekologis, estetika dan karakter, persepsi dan preferensi pengunjung pada obyekobyek rekreasi dan dalam jalur pendakian Cibodas. Penilaian terhadap kualitas ekologi, estetika dan pengelolaan lanskap dilakukan oleh responden pada saat responden berada di titik-tittik pengamatan lanskap. Pengolahan data kualitas estetika, karakter ekologi dan evaluasi pengelolaan dengan menggunakan metode Semantic Differential (SD). Dari hasil pengolahan data karakter ekologi dan kualitas ekologi dihasilkan evaluasi sehingga didapatkan gagasan/rekomendasi agar karakter lanskap taman nasional tetap utuh dan terjaga. Secara umum penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data dan tahap pengolahan data Tahap Persiapan Tahap persiapan mencakup kegiatan pengumpulan informasi melalui studi pustaka yang diperlukan untuk memulai penelitian. Hasil studi pustaka berupa informasi tentang kondisi lokasi penelitian dan identifikasi karakter kualitas ekologi dan estetika pada tapak. Menurut Thompson dan Stainer (1997) karakter kualitas ekologi berupa variabel-variabel ekologi yaitu, (1) keanekaragaman hayati, (2) kerapatan vegetasi, (3) tingkat penutupan, (4) tingkat kesuburan, (5) kepekaan terhadap erosi, (6) tingkat kelembaban, dan (6) intensitas cahaya. Karakter kualitas ekologi yang dinilai dalam penelitin ini yaitu, (1) keanekaragaman vegetasi, (2) kerapatan vegetasi, (3) tingkat erosi, (4) kecuraman dan (5) tingkat biodiversitas. Analisis kualitas ekologi juga didukung dengan data sekunder dari masing-masing karakter ekologi. Pengamatan karakter kualitas ekologi dan estetika dilakukan pada titik lanskap tertentu di sepanjang jalur wisata alam. Titik lanskap yang dipilih adalah pos-pos perhentian sementara pengunjung saat melakukan pendakian dan obyekobyek wisata tertentu yang ada di sepanjang jalur pendakian Cibodas. Pos

36 19 perhentian dan obyek wisata merupakan peluang pengunjung untuk menikmati pemandangan dan kondisi lingkungan sangat intensif. Titik-titik yang diamati ada 6 lanskap yang tersebar pada jalur utama pendakian yaitu jalur Cibodas. Titik-titik lanskap tersebut antara lain Pintu masuk Cibodas, Telaga Biru, Air Terjun Cibeureum, Air Panas, Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede (Gambar 2). Gambar 2. Titik pengamatan di Jalur Pendakian Cibodas Tahap Pengumpulan Data Kegiatan pada tahap pengumpulan data adalah pengamatan karakter kualitas ekologi dan estetika lanskap, pengambilan foto, pengisian kuisioner, serta pengumpulan data sekunder tapak. Pengamatan karakter ekologi dilakukan secara kualitatif dengan membandingkan kondisi relatif karakter ekologi antar lanskap. Penilaian terhadap kualitas ekologi, estetika dan pengelolaan lanskap dilakukan oleh responden pada saat responden berada di titik-tittik pengamatan lanskap. Kegiatan selanjutnya ialah pengambilan foto lanskap di tiap lanskap dengan kamera digital. Pemotretan diarahkan pada view yang mewakili karakter tiap-tiap lanskap.

37 20 Data sekunder kualitas karakter ekologi dan estetika berasal dari literatur pustaka di TNGGP, perpustakaan IPB dan Arsitektur Lanskap. Literatur pustaka berupa hasil penelitian di kawasan TNGGP yang sudah dilakukan sebelumnya dan buku-buku yang terkait dengan TNGGP. Data karakter ekologi berupa data iklim, hidrologi, geologi, topografi, vegetasi, dan satwa (Tabel 2). Data kondisi umum lokasi berupa letak dan luas kawasan, aksesibilitas, status kawasan dan lainnya. Tabel 2. Jenis, bentuk dan sumber data Aspek Jenis Data Bentuk Data Tipe Data Fisik dan Biofisik Iklim Topografi Peruntukan lahan/land cover Vegetasi Satwa Site Furniture (fasilitas) Curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif udara Bentuk dan topografi kawasan Pola penggunaan lahan Jenis dan penyebarannya Jenis dan penyebarannya Jumlah, bentuk dan karakternya Primer dan sekunder Primer dan sekunder Primer dan sekunder Primer dan sekunder Primer dan sekunder Primer dan sekunder Cara Pengambilan Survei Data instansi terkait Data instansi terkait Survei dan data instansi terkait Survei dan studi pustaka Survei dan studi pustaka Survei dan studi pustaka Sumber Lapangan dan Sekunder Lapangan dan Sekunder Lapangan dan sekunder Lapangan dan sekunder Lapangan dan sekunder Lapangan dan sekunder Kualitas Visual Persepsi Good view dan bad view Tanggapan dan persepsi Pengguna/user Primer Survei Lapangan Primer Survei Lapangan Sosial Kondisi Sosial Tingkat Pendidikan dari mayoritas pengguna tapak Primer dan sekunder Survei dan data instansi terkait Lapangan dan sekunder Aktifitas Sosial Tujuan dan alasan penggunaan tapak, ketercapaian tujuan penggunaan tapak, local wisdom. Primer dan sekunder Survei Lapangan dan sekunder

38 Tahap Pengolahan Data Tahap pengolahan data merupakan tahap penilaian kualitas karakter ekologi, penilaian kualitas estetika, penilaian pengelolaan kawasan dan analisis karakter, persepsi dan preferensi pengunjung. Pengolahan kualitas karakter ekologi, penilaian kualitas estetika dan penilaian pengelolaan kawasan menggunakan Semantic Differential (SD). Kata sifat yang saling berlawanan yang digunakan untuk menggambarkan karakter kualitas ekologi meliputi (landaiberlereng, datar-curam, tidak mudah erosi-mudah erosi), sedangkan kualitas estetika meliputi (luas-sempit, view terbuka-view tertutup, estetika indah-estetika kurang, monoton-bervariasi) di setiap lanskap. Metode ini menggunakan penilaian dengan skala 0 (netral jika kualitasnya sedang) sampai 4 (karakter tinggi /rendah jika karakternya sangat kuat). Hasil penilaian responden dikelompokkan sesuai karakter ekologinya lalu ditabulasikan dalam satuan persen untuk pengukuran keragamannya. Selanjutnya skor penilaian diberi bobot nilai 1-9 dari kiri ke kanan. Setelah pembobotan nilai dari seluruh responden dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah responden, sehingga didapatkan nilai rataan untuk setiap karakter ekologi. Rataan bobot nilai yang diperoleh diplotkan dalam grafik sehingga diketahui persepsi terhadap masing-masing karakter ekologi. Nilai rataan tersebut juga menjadi dasar pengelompokan karakter ekologi yang berpengaruh kuat terhadap lanskap. Dari hasil analis dan evaluasi yang sudah dilakukan kemudian dikembangkan rekomendasi untuk mempertahankan karakter lanskap TNGGP dan untuk mencapai tujuan awal pembentukan taman nasional. Tabel 3. Tabel Kuisioner Semantic Differential

39 Alur Pelaksanaan Studi Studi dilaksanakan dalam beberapa tahap kegiatan. Rangkaian tahap kegiatan tersebut disusun dalam bentuk alur pelaksanaan studi. Bagan alur pelaksanaannya dapat dilihat pada Gambar 3. Studi Pustaka Karakter kualitas Ekologi TNGGP Pengelolaan TNGGP Kualitas estetika TNGGP Penentuan lokasi penelitaian (Jalur Pendakian Cibodas) Survei lapang Kuisioner karakter ekologi Kuisioner kualitas estetika Kuisioner karakter, persepsi dan preferensi pengunjung Penilaian karakter Penilaian kualitas kualitas ekologi Gambar 3. Bagan estetika alur pelaksanaan studi Evaluasi karakter kualitas ekologi Evaluasi kualitas estetika Evaluasi pengelolaan Rekomendasi Gambar 3. Bagan alur pelaksanaan studi

40 23 IV. Kondisi Umum Kawasan 4.1. Letak dan Luas Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun Terletak diantara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dengan ketinggian mdpl dan terletak di titik ' ' BT dan 64 1'-65 1' LS. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu taman nasional tertua di Indonesia yang pembentukannya berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 yang kemudian ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982 meliputi kawasan seluas ha, kemudian diperluas menjadi ,782 ha. Kawasan taman nasional dibagi menjadi 7 zona yaitu : Zona Inti (9.564,545 ha), Zona Rimba (6.913,535 ha), Zona Pemanfaatan (958,245 ha), Zona Rehabilitasi (4.956,075 ha), Zona Tradisional (406,349 ha), Zona Khusus (2,988 ha) dan Zona Konservasi Owa Jawa (50 ha) (gedepangrango.org). Sebelumnya kawasan ini terdiri dari kawasan Cagar Alam Cimungkat (56 ha), Cagar Alam Cibodas (1.040) dan Taman Wisata Situ Gunung (100 ha). Kawasan TNGGP merupakan perwakilan hutan kota hujan tropis dataran tinggi dengan ketinggian s/d m dpl. Disamping itu taman nasional ini termasuk salah satu Cagar Biosfer yang ditetapkan UNESCO sejak tahun 1977 dengan nama Cagar Biosfer Taman Nasional Gunung Gunung Gede Pangrango. Seluruh areal perluasan TNGGP ini berasal dari pengelolaan hutan Perum Perhutani KPH Bogor, Cianjur dan Sukabumi Kawasan TNGP berbatasan langsung dengan hutan produksi perum Perhutani, PT Perkebunan Nusantara XII, dan tanah milik masyarakat. Aksesibilitas ke dalam kawasan ini mudah, karena kawasan ini dikelilingi jalan raya propinsi penghubung kota Bogor-Cianjur dan kota Bogor Sukabumi-Cianjur. Kawasan TNGP berbatasan langsung dengan: Sebelah Utara : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor Sebelah Timur : Wilayah Kabupaten Cianjur Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Sukabumi Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor

41 Topografi dan Geologi Menurut Haris (2001) topografi kawasan ini bervariasi, terdiri dari lahan datar, dataran tinggi, dan bukit sedang sampai terjal. Ketinggian kawasan ini berada pada mdpl dan puncaknya merupakan daerah tertinggi di Propinsi Jawa Barat. Gunung Gede Pangrango termasuk dalam rangkaian jalur gunung berapi dari pulau Sumatera sampai Nusa Tenggara. Topografi di TNGGP sangat bervariasi dari landai hingga bergunung, dengan kisaran ketinggian antara 700 m dan m diatas permukaan laut. Jurang dengan kedalaman sekitar 70 m banyak dijumpai di dalam kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum, yaitu Rawa Gayonggong. Pada bagian selatan kawasan, yaitu daerah Situgunung, memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapatnya bukit-bukit (seperti bukit Masigit) yang memiliki kemiringan lereng sekitar 20-80%. Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan dengan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda, sepanjang ±2.500 meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Di bawah puncak Gunung Pangrango ke arah barat laut terdapat kawah mati yang berupa alun-alun seluas lima hektar dengan diameter ± 250 m, sedangkan di Gunung Gede masih ditemukan kawah yang masih aktif. Ke arah Timur Gunung Gede sejajar dengan punggung gunung terdapat Gunung Gemuruh yang merupakan dinding kawah pegunungan tua yang terpisahkan oleh Alun-alun Suryakencana pada ketinggian sekitar m. Alun-alun ini memilki panjang ± 2 km dengan lebar ± 200 meter membujur ke arah Timur Laut-Barat Daya. Indonesia memiliki rangkaian gunung berapi yang membujur dari Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara. Salah satu dari rangkaian gunung berapi tersebut ialah Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang terbentuk sebagai akibat pergerakan lapisan kulit bumi secara terus-menerus selama periode kegiatan geologi yang tidak stabil. Kedua gunung ini terbentuk selama periode kurter, sekitar tiga juta tahun lalu, dan dalam skala waktu geologi keduanya termasuk ke dalam golongan gunung muda. Gunung Gede adalah salah satu dari 35 gunung

42 25 berapi aktif di wilayah Indonesia, sedangkan Gunung Pangrango merupakan gunung berapi yang tidak aktif. Menurut catatan vulkanologi, letusan Gunung Gede pertama kali terjadi pada tahun 1747, kemudian berturut-turut terjadi letusan pada tahun 1840, 1885, 1886, 1947, dan Kawasan TNGGP terdiri atas batuan vulkanik kerter Gunung Pangrango dan batuan vulkanik tersier Gunung Gede yang terbentuk akibat letusan-letusan. Batuan vulkanik Gunung pangrango yaitu: (a) formasi Qvpo (endapan quartier, lahar dan lava, basal andesit dengan oligoklas-andesin, labradoritm olivin, piroksen, dan horenblenda) yang menyebar pada bagian Utara, Barat laut, Barat Daya; dan (b) formasi Ovpy (endapan muda, lahar dan bersusun endsesit) pada bagian Barat formasi batuan ini umumnya memilki tingkat fermeabilitas yang cukup tinggi sehingga kawasan tersebut berfungsi sebagai daerah resapan air yang baik. Batuan vulkanik Gunung gede sebagian besar terdiri atas formasi breksi tufaan (Qvg) dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesin. Formasi batuan ini umumnya memilki tingkat permeabilitas yang cukup tinggi sehingga kawasan tersebut berfungsi sebagai daerah resapan air yang baik, formasi aliran lava termuda (Qvgy) dari puncak Gunung Gede ke arah Utara sepanjang kurang lebih 2,75 km, dan formasi aliran lava bersusunan andesit basal (Qvgl). Patahan dan sesar (fault) tidak dijumpai dalam kawasan TNGGP, tetapi daerah yang rawan bencana geologi karena terjadinya sesar (pergeseran batuan/formasi) dan patahan terdapat di sebelah Selatan Sukabumi dan Cibadak. Peta Geologi TNGGP dapat dilihat pada Gambar 4.

43 Lava Gede 26

44 Tanah Jenis-jenis tanah yang mendominasi kawasan TNGGP berdasarkan Peta Tanah Tinjau skala 1 : , adalah sebagai berikut: Latosol coklat pada lereng-lereng paling bawah Gunung Gede Pangrango, biasanya terdapat di bagian dataran rendah. Jenis tanah ini mengandung liat dan tidak lekat serta lapisan sub-soilnya gembur yang mudah ditembus akar dan lapisan di bawahnya tidak lapuk, juga merupakan tanah subur dan dominan. Tanah latosol mempunyai perkembangan profil dengan solum tebal (2 m), berwarna coklat hingga merah dengan perbedaan antara horizon A dan B tidak jelas tingkat keasamannya berkisar agak masam (PH 5,5-6,5). Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat pada lereng-lereng pegunungan yang lebih tinggi dan tanahnya mengalami pelapukan lebih lanjut. Kompleks regosol kelabu dan litosol terdapat di kawasan Gunung Gede- Gunung Pangrango, yang berasal dari lava dan batuan hasil kegiatankegiatan gunung berapi. Jenis tanah ini mempunyai warna gelap, porositas tinggi, struktur lepas-lepas, dan berkapasitas menyimpan air tinggi. Pada kawah Gunung Gede yang masih memilki kegiatan vulkanik hanya ditemukan jenis litosol yang belum melapuk, juga pada punggung Gunung Gumuruh bagian tenggara tempat pencucian pada permukaan tanah telah menghasilkan tanah regosol berpasir Iklim Iklim di kawasan ini berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk tipe iklim A, dengan nilai Q berkisar antara 11.30%-33.30%. Suhu udara berkisar antara 10º-18º C. Kelembaban relative sepanjang tahun berkisar dari 80%-90%. Daerah ini termasuk daerah terbasah di pulau Jawa dengan ratarata curah hujan tahunan mm. Bulan basah terjadi pada bulan Oktober Mei, dengan rata-rata curah hujan bulanan 200 mm. Bulan kering biasanya terjadi pada bulan Juni-September dengan rata-rata curah hujan bulanan kurang dari 100 mm (Haris, 2001). Peta iklim TNGGP berdasarkan perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dengan bulan basah dapat dilihat pada Gambar 5.

45 28 Ada dua iklim yaitu musim kemarau dari bulan Mei sampai Oktober dan musim penghujan dari bulan Nopember ke April. Selama bulan Januari sampai Februari, hujan turun disertai angin yang kencang dan terjadi cukup sering, sehingga berbahaya untuk pendakian. Rata-rata suhu di Cibodas 23 C, sedangkan suhu rata-rata di puncak gunung Gede 18 C dan di malam hari suhu bisa mencapai 5 C.

46 29

47 Hidrologi Kawasan Gunung Gede Pangrango memiliki banyak sumber air. Sumber air tersebut mengalir dan bersatu membentuk sungai-sungai besar di sekitar kawasan tersebut. Terdapat 60 aliran sungai besar dan kecil, yang berhulu di Gunung Gede dan Pangrango. Dua puluh sungai mengalir ke Kabupaten Cianjur, 23 sungai mengalir ke Kabupaten Sukabumi, dan 17 sungai mengalir ke Kabupaten Bogor. Pada lereng Utara Gunung Gede beberapa aliran sungai kecil bersatu membentuk air terjun besar Cibeureum. Aliran dari air terjun besar Cibeureum mengalir ke rawa Gayonggong dan ke Telaga Biru. Disamping Cibeureum, terdapat juga beberapa air terjun lain yang pada akhirnya bersatu dalam aliran sungai Cipanas dan sungai Citarum yang mengalir ke arah Utara menuju laut Jawa. Di lereng Selatan Gunung Gede Pangrango aliran-aliran sungai bersatu membentuk sungai Cimandiri di Sukabumi yang bermuara di Pelabuhan Ratu. Aliran-aliran air di lereng Barat laut Gunung Pangrango mengalir ke sungai Cisarua dan Cinegara yang merupakan sumber air bagi sungai Ciliwung dan Kali Angke yang bermuara di teluk Jakarta (Haris, 2001). Merujuk Peta Hidro-Geologi Indonesia Skala 1: (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 1986), kawasan TNGGP terdiri dari akuifer daerah air tanah langka, sampai dengan akuifer produktif kelas sedang dengan sebaran yang luas. Akuifer produktif ini memiliki keterusaan yang sangat beragam. Air tanah umumnya tidak tertekan dengan debit air ± 5 liter/detik. Daerah paling produktif kandungan sumber air tanahnya adalah daerah kaki Gunung Gede, yaitu daerah Cibadak-Sukabumi dengan mutu yang memenuhi persyaratan untuk air minum. Aliran ini juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan industri. Akuifer terpenting di daerah ini adalah bahan lepas hasil produk gunung berapi seperti tufa pasiran, lahar maupun lava vesikuler. Keadaan sungai-sungai yang berada di dalam kawasan TNGGP secara umum berbentuk pola radial. Sebagaimana halnya di daerah rangkaian pegunungan, sungai-sungai tersebut memisahkan punggung-punggung bukit dan membentuk sungai yang lebih lebar di daerah bawah. Dikaitkan dengan curah hujan tahunan yang tinggi, maka sebagian besar sungai-sungai di dalam kawasan

48 31 ini merupakan sungai abadi dengan mata air yang mempunyai debit rata-rata lebih kecil dari 10 liter/detik. Hanya sungai-sungai di lereng Selatan Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang bersatu didekat Sukabumi ke dalam aliran sungai Cimandiri memiliki debit air sekitar liter/detik. Pada bagian bawah Gunung Gede terdapat dua lubang kecil yang hanya terisi air bila hujan lebat. Air tersebut terkumpul di bawah permukaan abu dan batuan vulkanik dan selanjutnya mengalir melalui celah-celah dinding gunung sebelah Utara sebagai sumber air panas pada ketinggian m dpl dengan temperatur sekitar 75 C. Sungai-sungai kecil di lereng utara dan barat Gunung Pangrango mengalir ke sungai Cisarua, Cijambe, Cinagara, dan Cimande. Beberapa sungai tersebut merupakan sumber utama dari sungai Ciliwung yang bermuara di Teluk Jakarta, dan sungai Cisadane yang bermuara di tanjung Pasir-Tangerang. Pola aliran sungai yang berakhir di sungai Cimandiri-Sukabumi, yaitu Cipamutih, Cigunung, dan Cimahi. Dari bagian Barat Daya Gunung Gede-Gunung Pangrango mengalir sungai-sungai antara lain sungai Cikahuripan, Cigunung, Cileuleuy, Cimunjul, dan Ciheulang, yang membentuk sungai Cicatih yang bermuara di Pelabuhan Ratu. Sebagian besar sumber air yang ada di TNGGP dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan air minum dan pemerintah daerah terkait sebagai sumber air minum (Gambar 6).

49 32

50 Vegetasi Jenis vegetasi di kawasan taman nasional sangat beranekaragam. Secara umum jenis vegetasi tersebut dapat di bagi dalam tiga zona hutan (Haris, 2001). Urutan ketinggian dari ketiga zona hutan tersebut adalah zona hutan Perum Perhutani, zona hutan Montana, dan zona hutan Sub Alpin (Gambar 7 dan 10). Menurut Riatmo (1989) karakteristik masing-masing zona adalah: 1. Hutan Sub Montana Zona ini dapat dikategorikan ke dalam hutan sub montana. Zona ini merupakan batas terluar taman nasional. Hutan di kawasan ini berupa hutan produksi monokultur dari jenis Rasamala (Altingia excelsa). Pengelolaan hutan ini dilakukan oleh Perum Perhutani. Hutan ini ditandai dengan tiga lapisan tajuk. Lapisan tajuk teratas didominasi oleh jenis Rasamala (Altingia excelsa). Tinggi tajuk teratas jenis tumbuhan ini dapat mencapai 60 m. Jenis lainnya yang menonjol berturut-turut adalah Saninten (Castanopsis argentea), dan Antidesma tentandrum. Lapisan tajuk kedua berupa jenis perdu dan semak diantaranya Ardisia fulginosa, Dichera febrifuga, randanus laizrox, Pinanga sp dan Lapotea stimulans. Pada lapisan tajuk ketiga terdapat berbagai jenis tumbuhan bawah, epifit, dan lumut antara lain Begonia, paku-pakuan, anggrek dan Lumut Merah (Sphagnum gedeanum). 2. Hutan Montana Zona ini dicirikan oleh adanya dominasi pohon bertajuk besar. Pohon pada lapisan atas mempunyai pertumbuhan yang jarang. Sedangkan lapisan tajuk tumbuhan bawah mempunyai pertumbuhan yang rapat. Lapisan tajuk tumbuhan bawah ini berupa semak rendah, sedang dan tinggi. Jenis tumbuhan yang mudah dikenal yaitu Puspa (Schima walichii), tumbuhan berdaun jarum (Dacrycarpus imbricatus dan Podocarpus neriifolius), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Rasamala (Altingia excelsa), dan Kiracun (Macropanax dispernum). Untuk jenis tumbuhan bawah berupa paku-pakuan, epifit, seperti Dendrobium sp, Arundina sp, Cymbiddum- spp dan Calanthe spp. 3. Hutan Sub Alpin Zona ini merupakan zona hutan teratas pada taman nasional. Ciri yang menonjol adalah keanekaragaman tumbuhannya semakin berkurang seiring

51 34 dengan bertambahnya ketinggian tempat. Kerapatan tumbuhan pada zona ini sangat tinggi. Lapisan tajuk pada zona ini terdiri dari satu lapis dan didominasi oleh pohon-pohon pendek, antara lain Cantigi Gunung (Vaccinium varingiaefolium), Rhododendron resutum, dan Myrsine avenis. Jenis tumbuhan lain yang mudah ditemukan adalah lumut. Tumbuhan lumut banyak terdapat pada batang pohon, permukaan batuan, dan di tanah. Jenis lumut yang hidup pada batang pohon adalah lumut janggut. Di daerah puncak terdapat jenis tumbuhan yang khas, yaitu Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) yang sangat terkenal di kalangan pecinta alam, karena bunganya terlihat tidak pernah layu. Taman nasional TNGGP memiliki beberapa flora endemik yang langka dan beberapa tanaman introduksi. Jenis tumbuhan endemik dan langka antara lain anggrek Liparis bilobulata, Malaxis sagittata, Pachicentria varingiaefolia, dan Corrybas mucronatus, Cantingi Gunung, Rasamala, Edelweiss Jawa (Gambar 8), sedangkan tanaman yang diintroduksi antara lain Dendrobium jecobsoni, Agathis loranthifolia, Pinus merkusii dan Maesopsis emini. Tanaman introduksi tersebut sengaja dimasukkan oleh para peneliti ke dalam kawasan hutan Sub Alpin (Riatmo, 1989). Jenis tumbuhan endemik dan langka ini masih dapat dilihat di beberapa tempat misalnya Cantingi Gunung dan Edelweiss Jawa dapat ditemui di Puncak Gunung Gede dan alun-alun Surya Kencana dan pohon Rasamala dapat ditemui di sekitar lanskap Telaga Biru.

52 35

53 36

54 37

55 Satwa TNGGP memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selain vegetasi yang beragam jenisnya, ada juga beberapa jenis satwa liar yang dilindungi pemerintah dan hampir punah keberadaannya. Diantara satwa yang hampir punah antara lain, satwa primata yang terancam punah dan terdapat di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango yaitu owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata comata), dan lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus); dan satwa langka lainnya seperti macan tutul (Panthera pardus melas), landak Jawa (Hystrix brachyura brachyura), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), dan musang tenggorokan kuning (Martes flavigula). Selain itu TNGGP terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis diantaranya burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan burung hantu (Otus angelinae). Menurut Riatmo (1989), kawasan TNGGP mempunyai beberapa jenis satwa, baik dari jenis primata, mamalia, burung, dan bermacam satwa kecil. Beberapa jenis satwa di kawasan TNGGP sudah tergolong langka. Jenis satwa langka antara lain: 1. Jenis primata seperti Gibbon Jawa (Hylobates moloch) dan Surili Jawa (Dresbytis aygula), 2. Jenis mamalia seperti macan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpinus), dan trenggiling (Manis javanica), 3. Jenis burung seperti alap-alap (Accipiter soloensis), betet (Lanios scaeh), dan kutilang (Pycnonotus aurigaster). Jenis satwa yang populasinya masih banyak antara lain: 1. Jenis primata seperi kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Lutung (Presbytis cristata), 2. Jenis mamalia besar seperti kancil (Tragulus javanicus), babi hutan (Sus schrofa), dan muncak (Muntiacus muntjak), 3. Jenis mamalia kecil seperti sigung (Mydaus javanensis), kucing hutan (Felix bengalensis), tikus hutan (Rattus lepturus), dan bajing terbang (Galeopterus varegatus).

56 Objek Penelitian Gunung Gede mempunyai keadaan alam yang khas dan unik, hal ini menjadikan Gunung Gede sebgai salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama. Gunung Gede terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis di antranya burung langka yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Burung hantu (Otus angelinae). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun Objek Pariwisata Gunung Gede maupun kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango juga merupakan objek wisata alam yang menarik dan banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara/internasional. Beberapa lokasi /objek yang menarik untuk dikunjungi pada jalur pendakian Cibodas (Gambar 10 dan 11): 1. Telaga Biru: danau kecil berukuran lima hektar (1.575 meter dpl) terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Danau ini selalu tampak biru diterpa sinar matahari, karena ditutupi oleh ganggang biru. 2. Air terjun Cibereum: air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter terletak sekitar 2,8 km dari Ciodas. Di sekitar air terjun tersebut dapat terlihat sejenis lumut merah yang endemik di Jawa Barat. 3. Air panas: terletak sekitar 5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas. 4. Kandang Badak: untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa, berada pada ketinggian mdpl dengan jarak 7,8 km atau 3,5 jam perjalanan dari Cibodas. 5. Puncak dan Kawah Gunung Gede: panorama berupa pemandangan matahari terbit/terbenam, hamparan kota Cianjur, Sukabumi dan Bogor terlihat dengan jelas, atraksi geologi yang menarik dan pengamatan tumbuhan khas sekitar kawah. Di puncak ini terdapat tiga kawah yang masih aktif dalam satu kompleks yaitu kawah Lanang, kawah Ratu dan kawah Wadon, berada pada ketinggian mdpl dengan jarak 9,7 km atau 5 jam perjalanan dari Cibodas.

57 40 6. Alun-alun Suryakencana: dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss, berada pada ketinggian mdpl dengan jarak 11,8 km atau 6 jam perjalanan dari Cibodas. Beberapa objek wisata lain yang ada di TNGGP: 1. Bumi perkemahan Mandalawangi, Bobojong, Barubolang, dan Pondok Halimun. 2. Rawa Gayonggong dan Rawa Denok. 3. Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB). 4. Batu Dongdang, Batu Kukus, Batu Kursi, Leuit Salawejajar, Lawang Sakateng. 5. Alun-alun Pangrango. 6. Danau Situgunung Gambar 10. Obyek wisata TNGGP: (1) kawah Gunung Gede, (2) Air Terjun Cibeureum, (3) Air Panas, (4) Telaga Biru.

58 41

59 Legenda Rakyat Sejarah dan legenda yang merupakan kepercayaan masyarakat setempat yaitu tentan keberadaan Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi di Gunung Gede. Masyarakat percaya bahwa roh Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi akan tetap menjaga Gunung Gede agar tidak meletus. Pada saat tertentu, banyak orang yang masuk ke goa-goa sekitar Gunung Gede untuk semedi atau bertapa maupun melakukan upacara religius. Pendaki yang berada di kawasan alun-alun Surayakencana akan mendengar suara kaki kuda yang berlarian, tapi kuda tersebut tidak terlihat wujudnya. Konon, kejadian ini pertanda Pangeran Suryakencana datang ke alunalun dengan dikawal oleh prajurit. Selain itu pendaki terkadang akan melihat suatu bangunan istana. Suryakencana adalah nama seorang putra Pangeran Aria Wiratanudatar (pendiri kota Cianjur) yang beristrikan seorang putri jin. Pangeran Suryakencana memiliki dua putra yaitu Prabu Sakti dan Prabu Siliwangi. Kawasan Gunung Gede merupakan tempat bersemayam Pangeran Suryakencana. Beliau bersama rakyat jin menjadikan alun-alun sebagai lumbung padi yang disebut Leuit Salawe, Salawe Jajar, dan kebun kelapa Salawe Tangkal, Salawe Manggar. Petilasan singgasana Pangeran Suryakencan berupa sebuah batu besar berbentuk pelana. Hingga kini petilasan tersebut masih berada di tengah alun-alun, dahulu merupakan jamban untuk keperluan minum dan mandi. Di dalam hutan yang mengitari alun-alun Suryakencana ini ada sebuah situs kuburan kuno tempat bersemayam Prabu Siliwangi yang menguasai Jawa Barat, terjadi peperangan melawan Majapahit. Selain itu, Prabu Siliwangi juga harus berperang melawan Kerajaan Kesultanan Banten. Setelah menderita kekalahan yang sangat hebat, Prabu Siliwangi melarikan diri bersama para pengikutnya ke Gunung Gede. Sekitar Gunung Gede banyak terdapat petilasan peninggalan bersejarah yang dianggap sakral oleh sebagian peziarah, seperti petilasan Pangeran Suraykencana, putri jin dan Prabu Siliwangi. Kawah Gunung Gede yang terdiri dari, Kawah Ratu, Kawah Lanang, dan Kawah Ladon, dijaga oleh Embah Kalijaga. Embah Serah adalah penjaga Lawang Seketeng (pintu jaga) yang terdiri atas dua buah batu besar. Pintu jaga tersebut berada di Batu Kukus, sebelum lokasi air terjun panas yang menuju ke arah puncak.

60 43 Eyang Jayakusumah adalah penjaga Gunung Sela yang berada disebelah utara puncak Gununga Gede. Sedangkan Eyang Jayarahmatan dan Embah Kadok menjaga dua buah batu di halaman parkir kendaraan wisatawan kawasam Cibodas. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor mesin tidak mampu menghancurkannya. Dalam kawasan Kebun Raya Cibodas, terdapat petilasan atau makam Eyang Haji Mintarasa. Pangeran Suryakencana menyimpan hartanya dalam sebuah gua lawa/walet yang berada di sekitar air terjun Cibeureum. Gua tersebut dijaga oleh Embah Dalem Cikundul. Tepat berada di tengah-tengah air tejun Cibeureum ini terdapat sebuah batu besar yang konon adalah perwujudan seorang pertapa sakti yang karena bertapa sangat lama dan tekun sehingga berubah menjadi batu. Pada hari kiamat nanti barulah ia akan kembali berubah manjadi manusia Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar TNGGP Jumlah wilayah kecamatan dan desa yang terletak disekitar kawasan adalah 7 kecamatan dan 22 desa di Kabupaten Bogor, 8 Kecamatan dan 25 desa di Kabupaten Sukabumi serta 3 kecamatan dan 18 desa di Kabupaten Cianjur. Luas wilayah disekitar taman nasional yang termasuk dalam Kabupaten Bogor adalah 129,40 km², dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, dengan kepadatan penduduk 754 jiwa per km². Sedangkan luas wilayah sekitar taman nasional yang termasuk wilayah Sukabumi adalah 201,54 km² dengan jumlah penduduk jiwa, terdiri atas dan perempuan dengan kepadatan penduduk 692 jiwa per km². Sementara itu luas wilayah di sekitar taman nasional di Kabupaten Cianjur adalah 92,42 km² dengan jumlah penduduk jiwa, terdiri atas laki-laki dan perempuan, dengan kepadatan penduduk jiwa per km². Penduduk sekitar TNGGP sebagian besar memiliki pola usaha dari bertani, sedangkan bidang usaha lainnya seperti pegawai negeri/abri, pedagang, dan tukang kayu persentasenya cukup kecil yaitu masing-masing 1,3%, 6,7% dan 2,1%. Dari kenyataan tersebut menunjukkan bahwa lahan merupakan sumber daya yang sangat penting untuk memnuhi kebutuhan hidup. Sementara luas pemilikan lahan di wilayah sekitar kawasan taman nasional tersebut relatif sempit

61 44 yaitu di bawah 0,25 Ha per KK. Ditambah dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, sedangkan luas lahan garapan relatif tetap bahkan cenderung berkurang, maka kesempatan kerja di bidang pertanian akan semakin berkurang. Apabila hal tersebut terus berlanjut maka akan dapat berpengaruh terhadap pendapatan perkapita penduduk di wilayah tersebut. Tipe pengunaan lahan dibagi menjadi beberapa peruntukan lahan terdiri dari pemukiman/pekarangan, sawah, ladang, perkebunan/perikanan, padang gebala/hutan negara dan infrastruktur/sungai. Tabel 4 menyajikan penggunaan lahan berikut luasannya untuk setiap kabupaten di sekitar TNGGP. Tabel 4. Penggunaan lahan setiap kabupaten di sekitar TNGGP No Penggunaan Lahan Luas (ha) Bogor Cianjur Sukabumi Jumlah % 1 Pemukiman/pekarangan 753, , , ,00 6,97 2 Sawah 4.377, , , ,30 24,18 3 Ladang 3.668, , , ,40 27,70 4 Perkebunan/Perikanan 1.813, , , ,10 13,92 5 Hutan Negara 1.364, , , ,20 24,78 6 Infrastruktur 980,80 647,00 413, ,70 4,94 Jumlah , , , ,30 100,00 Mata pencaharian penduduk di sekitar kawasan TNGGP sebagian besar (75%) bekerja di bidang pertanian dan tidak intensif sehingga memerlukan lahan yang cukup luas. Namun sekita 40% diantaranya adalah buruh tani yang tidak memiliki lahan garapan dan tergantung pada lahan orang lain. Tingkat kepemilikan lahan rata-rata perkeluarga relatif kecil (<0,25 Ha) mengakibatkan tingkat intensitas garapan menjadi sangat tinggi. Sedangkan tingkat pengetahuan intensifikasi pertanian masih rendah dan tingkat pendidikan sebagian besar penduduk (± 70 %) hanya sampai tingakat sekoah dasar (SD dan SLTP) (Balai TNGGP, 1999). Tabel 5 menunjukkan mata pencaharian penduduk sekitar TNGGP.

62 45 Tabel 5. Mata Pencaharian Penduduk Sekitar TNGGP No Mata Pencaharian Kabupaten Bogor Cianjur Sukabumi 1 Pegawai Negeri Sipil (PNS) ABRI Petani Pedagang Perikanan/Peternakan/Perkebunan Buruh Tani Wiraswasta Lain-lain Jumlah Sebagian besar penduduk yang berada di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi berasal dari etnik Sunda. Sedangkan agama yang mendominasi di ketiga kabupaten tersebut adalah agama Islam. Saat ini upacara-upacara adat sudah semakin jarang dijumpai. Upacara adat seperti upacara benih desa yang dahulu sering dilaksanakan setiap selesai panen sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi. Perayaan-perayaan yang biasa dilaksanakan adalah perayaan hari-hari besar keagamaan dan hari besar nasional. Ekosistem hutan taman nasional yang sangat kompleks dan terdiri dari berbagai macam flora, fauna dan ekosistemnya, termasuk berbagai macam kondisi fisiknya yang sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan manusia. Kehidupan masyarakat sekitar hutan yang sudah merupakan hubungan ketergantungan (interaksi) secara tradisional terhadap sumberdaya alam sekitarnya telah membudaya sejak dulu dan berlangsung hingga sekarang, dan dirasakan semakin meningkat seiring peningkatan laju pertumbuhan penduduk sekitar Aksesibilitas Ada 6 pintu masuk menuju kawasan TNGGP yaitu: Cibodas, Gunung Putri, Bodogol, Cisarua, Selabintana dan Situgunung (Gambar 13). Kantor Balai TNGGP, pusat informasi (visitor center) dan tempat pendaftaran pendakian berlokasi di Cibodas. Pintu masuk Cibodas, Gunung Putri dan Selabintana merupakan akses utama menuju puncak Gunung Gede dan Pangrango. Pintu masuk Situgunung merupakan pintu menuju Danau Situgunung yang sangat

63 46 sesuai untuk rekreasi keluarga, sedangkan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol dengan kanopi trail sepanjang 4 km memiliki daya tarik bagi pengunjung dan masyarakat umum yang ingin berekreasi dengan merasakan keindahan hutan hujan tropis. Cisarua juga pintu masuk yang dekat dari Jakarta, mempunyai fasilitas untuk kemping yang cocok bagi keluarga, anak sekolah dan kelompokkelompok pecinta alam. Pintu masuk dengan kendaraan pribadi dan dengan transportasi umum: Cibodas Pintu masuk Cibodas berjarak 100 km dari Jakarta. Dapat ditempuh melalui Jalan Tol Jagorawi dan keluar di Tol Ciawi mengambil jurusan Puncak- Bandung. Setelah 7,6 km dari Puncak Pass Hotel, setelah Outlet DSE, ambil kanan tepat pada pertigaan di Paragajen (Papan nama TNGGP ada disebelah kiri jalan). Jalan lurus kira-kira 3 km dan sampai pada portal pintu Gerbang Wisata Cibodas, dan disini ada restribusi (mobil dan kendaraan roda dua Rp.3000,- dan setiap penumpang Rp. 1000,-/orang). Setelah portal langsung menemukan kantor TNGGP disebelah kanan. Dengan bis umum dari Bogor-Bandung, Jakarta- Bandung melewati Puncak kemudian turun di Pertigaan di Paragajen, dekat Outlet DSE. Setelah pertigaan menggunakan angkot warna kuning (Cibodas, Rarahan) dengan ongkos Rp per orang sampai di pintu gerbang TNGGP Gunung Putri Pintu masuk Gunung Putri terletak 15 km dari Cibodas. Pengunjung dapat menuju lokasi ini dari Cipanas dengan jarak ± 7 km. Lokasi Kemping Bobojong di Gunung Putri berjarak 1 km jalan kaki dari terminal angkot di Gunung Putri. Pengunjung harus naik angkot dari terminal Cipanas ke Gunung Putri dengan ongkos Rp. 3000,- /orang. Selabintana Selabintana Berjarak 10 km atau 30 menit dari Sukabumi, melewati jalan perkebunan teh dan kebun sayur. Pintu masuk Selabintana yaitu di Pondok Halimun berada di Cipelang. Dari terminal bis Sukabumi dengan minibus menuju

64 47 pusat kota dan kemudian ganti kendaraan dengan minibus yang menuju Pondok Halimun. Situgunung Pintu masuk Situgunung terletak kira-kira 70 km atau 1,5 jam dari Bogor. Dari Bogor mengambil jurusan Sukabumi dan kemudian berbelok di Cisaat menuju Situgunung. Situgunung terletak di sebelah selatan kawasan taman nasional dan akses cukup bagus. Dari Jakarta atau Bogor mengambil bis jurusan Jakarta Sukabumi Cisaat. Jika dari terminal Sukabumi, naik minibus yang menuju Cisaat setelah di Cisaat mengambil minibus menuju Situgunung yang berjarak 10 km. Bodogol Aksesibilitas dari Bogor ke pintu masuk Bodogol mengambil jurusan Sukabumi dan turun di Lido (± 25 km). Dari Lido menuju desa Bodogol ± 4 km, dan dari desa Bodogol menuju PPKAB ± 3 km melalui jalan berbatu, dan disarankan menggunakan kendaraan roda 4 dengan gardan ganda. Dengan menggunakan bis atau mini bus dari Bogor dengan ongkos Rp. 5,000-/orang, sedangkan dari Lido dapat menggunakan ojek menuju resort Bodogol dengan ongkos Rp. 5,000-/orang dan dari resort Bodogol dapat mengunakan ojek sampai PPKAB. Cisarua Pintu gerbang Cisarua berjarak ± 14 km atau 20 menit dari Ciawi dengan mobil. Menuju pintu gerbang akses cukup bagus dengan jalan aspal. Dari Ciawi menggunakan minibus menuju terminal Pasir Muncang dan dari terminal ini sewa ojek menuju pintu masuk Cisarua. ( Untuk mencapai lokasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango bisa ditempuh melalui rute Jakarta-Bogor-Cibodas dengan waktu sekitar 2,5 jam (± 100 km) menggunakan mobil atau Bandung-Cipanas-Cibodas dengan waktu 2 jam (± 89 km) dan Bogor-Salabintana dengan waktu 2 jam (± 52 km).

65 48

66 Kondisi Supply Kawasan Kegiatan yang ditawarkan dan sering dilakukan di TNGGP diantaranya: penelitian, pendidikan, pendidikan konservasi, rekreasi dan pariwisata alam dan pengamatan burung (Bird Watching). TNGGP juga menyediakan fasilitas outbond bagi anak-anak maupun dewasa yang berada tidak jauh dari kantor balai TNGGP. Fasilitas yang tersedia di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yaitu kantor, wisma tamu, pondok kerja, bumi perkemahan, shelter, dermaga, pusat informasi, wisma cinta alam, canopy trail (sedang dibangun), pemandu wisata dan lain-lain. TNGGP sangat cocok bagi pemula untuk mencoba melakukan pendakian pertamanya. Kondisi trek cukup moderat, tidak terlalu berat juga tidak terlalu ringan. Gunung Gede memiliki karakter jalur yang berbeda-beda dan lengkap. Paling tidak ada beberapa trek dengan karakter yang berbeda-beda dalam jalur pendakian Gunung Putri hingga puncak yaitu: 1. Trek tanah liat dan berbatu Trek ini mengawali perjalan mulai dari villa tempat bermalam di Gunung Putri. Jalur ini merupakan jalur tanah liat dengan kiri dan kanan adalah kebun sayursayuran. Setelah lewat dari kebun sayur, pengunjung akan disambut jalur berbatu tajam. Pada awal perjalanan jalur ini tidak terasa berat, tetapi pada saat pulang jalur ini akan terasa sangat berat dan menyakiti kaki. 2. Trek tangga berundak-undak Kebijakan Pengelolaan Kawasan Aturan baru bagi para pendaki Gunung Gede pangrango Dengan dibukanya kembali pendakian ke Gunung Gede Pangrango mulai 1 September 2009, pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) sebagai pengelola kawasan telah merilis juknis pendakian yang wajib diikuti oleh para pendaki khususnya dan semua wisatawan secara umum yang melaksanakan kegiatan wisata di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Adapun aturan baru tersebut diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Pendakian wajib pendampingan dari TNGGP 2. Wajib tes tertulis sebagai kunci perijinan pendakian

67 50 3. Pemeriksaan barang bawaan saat pergi dan pemeriksaan sampah bawaan saat pulang 4. Wajib menerima blanko temuan satwa saat pergi dan menyerahkan blanko temuan satwa saat pulang Aturan yang Cukup lengkap dan akurat Gunung Gede-Pangrango adalah satu-satunya gunung yang paling sering di kunjungi pendaki di Indonesia. Kurang lebih pendaki per tahunnya, meskipun peraturan dibuat seketat mungkin, bisa jadi jadi karena lokasinya yang berdekatan dengan Jakarta dan Bandung. Untuk mengembalikan habitatnya biasanya tiap bulan Agustus ditutup untuk pendaki, juga antara bulan Desember hingga Maret. Untuk mengurangi kerusakan alam maka dibuatlah beberapa jalur pendakian, namun jalur pendakian yang populer adalah melalui pintu masuk Cibodas. Mulai 1 April 2002 untuk mengunjungi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diberlakukan sistem booking, 3-30 hari sebelum pendakian pendaki harus booking terlebih dahulu. Jumlah pendaki dibatasi hanya 600 orang per malam, 300 melalui Cibodas, 100 melalui Salabintana, 200 melalui Gunung Putri. Pendaftaran pendaki hanya dilayani di Wisama Cinta Alam kantor Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada hari kerja (Senin-Jumat) pada jam kantor. Pos Cibodas, Gunung Putri dan Salabintana sudah tidak melayani ijin pendakian. Pos ini hanya sebagai pos kontrol.

68 51 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung Karakteristik, persepsi dan preferensi pengunjung didapat dari hasil survei lapang melalui kuisioner kepada 30 responden yang telah melakukan kunjungan ke TNGGP, maka informasi dari responden ini dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik, persepsi dan preferensi yang diinginkan pengunjung. Sebaran data tersebut dapat dilihat secara rinci pada Tabel 6 yang menunjukkan frekuensi relatif (%), yang diperoleh dari masing-masing variabel, seperti: daerah asal, jenis kelamin, usia, pekerjaan, frekuensi kunjungan, aktivitas, persepsi dan preferensi pengunjung. Tabel 6. Hasil Kuisioner Identitas, Persepsi dan Preferensi Pengunjung Kawasan TNGGP No. Variabel Frekuensi Relatif (%) Daerah asal : a. Bogor b. Luar Bogor Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan Usia : a. < 16 tahun b tahun c. > 30 tahun Pekerjaan : a. Pelajar b. PNS c. Pegawai swasta d. Wirausaha e. Lainnya Pendidikan : a. SD b. SMP c. SMA d. S1 e. S2 f. S3 1. Frekuensi berkunjung ke kawasan a. Satu kali b. Dua kali c. Tiga kali 46,67 53,33 76,67 23, ,67 3,33 96,67 0 3, ,33 96,

69 52 d. Lebih dari tiga kali Sumber informasi TNGGP a. Teman 62,79 b. Media publikasi (poster, Koran, dll) 16,28 c. Media elektronik (TV, internet, dll) 18,60 d. Lainnya 2,33 3. Jalur yang sering dikunjungi di TNGGP a. Cibodas b. Gunung Putri c. Bodogol (PPKAB) d. Salabintana 4. Objek wisata apa yang paling menarik di TNGGP a. Air terjun b. Telaga Biru c. Air panas d. Kawah Gede (Puncak Gunung Gede) e. Alun-alun Suryakencana f. Lainnya 5. Jenis vandalism seperti apa yang sering ditemui a. Coret-coret b. Penebangan pohon c. Memetik bunga/tanaman d. Membuang sampah sembarangan e. Membuat bakaran/api unggun f. Lainnya 6. Aktivitas yang dilakukan di dalam kawasan a. Trekking b. Camping c. Foto hunting d. Interpretasi satwa e. Interpretasi vegetasi f. Interpretasi ekosistem g. Climbing h. Mandi i. Outbond j. Lainnya Sumber : Hasil Kuisioner, November ,54 17,95 15,38 5,13 18,87 3,77 7,55 39,62 26,42 3,77 31,46 4,49 20,22 28,09 14,61 1,12 96,67 93,33 83,33 66,67 56,67 53, ,33 36,67 26,67 Karakteristik pengunjung Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango didominasi oleh pengunjung yang berasal dari luar Bogor yaitu sebanyak 53,33%, sedangkan dari Bogor sebanyak 46,73%. Untuk jenis kelamin yang mendominasi laki-laki dengan persentase 76,67% dan wanita sebanyak 23,33%, dengan umur tahun (96,67%) dan diatas 30 tahun (3,33%). Sebagian besar pengunjung bekerja sebagai pelajar/mahasiswa sebanyak 96,67%, dengan

70 53 pendidikan S1 sebanyak 96,67% (sebagian masih menjalankan pendidikan S1) dan pendidikan SMA sebanyak 3,33%. Rata-rata pengunjung kawasan ini sudah lebih dari tiga kali mengunjungi kawasan ini (60%), sebanyak satu kali sebanyak 20% dan sisanya sebanyak dua kali dan tiga kali masing-masing sebanyak 10%. Aktivitas yang dilakukan pengunjung (>70%) diantaranya ialah trekking, camping, istirahat dan foto hunting. Aktivitas lainnya tidak terlalu sering dilakukan oleh pengunjung (<70%) yaitu interpretasi satwa, interpretasi tumbuhan, interpretasi ekosistem, mandi, outbond dan lainnya. Aktivitas lainnya yang dilakukan responden diantaranya rekreasi dan memasak (26,67%). Sumber informasi tentang TNGGP didapat responden melalui teman (62,79%), melalui media elektronik (TV, internet, dll) sebanyak 18,60%, media pubikasi (poster, koran dll) sebanyak 16,28% dan lainnya sebanyak 2,33%. Jalur trekking yang sering dikunjungi responden ialah Cibodas (61,54 %), Gunung Putri (17,5 %), Bodogol/PPKAB (15,38 %) dan melalui jalur Selabintana (5,13 %). Obyek wisata yang paling menarik menurut responden adalah Kawah gede (39,62%), kemudian Alun-alun Suryakencana (26,42%), Air terjun (18,8%), air panas (7,55%), Telaga Biru (3,77%), serta beberapa obyek lain diantaranya Taman Kupu-kupu (1,89%) dan Mandalawangi (1,89%). Jalur pendakian Cibodas banyak dipilih pengunjung karena banyak terdapat obyek wisata, jalur trekking cukup mudah ditempuh dan jarak yang tidak terlalu jauh. Kegiatan vandalisme di kawasan TNGGP banyak dijumpai disetiap lanskap dan fasilitas-fasilitas (Gambar 13). Seluruh responden mengatakan bahwa kegiatan vandalisme terjadi di kawasan TNGGP. Kegiatan vandalisme yang terjadi diantaranya coret-coret (31,46%), membuang sampah sembarangan (28,09%), memetik bunga/tanaman (20,22%), membuat bakaran/api unggun (14,61%), penebangan pohon (4,49%) dan kegiatan vandalisme menurut responden selain pada pilihan jawaban sebanyak 1,12% yaitu pencemaran air.

71 54 Gambar 13. Kegiatan vandalisme Aksi vandalisme mencoret-coret fasilitas ataupun tanaman yang dilakukan oleh pengunjung dikarenakan kurang adanya pengawasan yang ketat dari pihak pengelola taman nasional. Selain itu beberapa fasilitas yang tersedia terletak di tempat-tempat yang cukup sepi sehingga sangat memudahkan bagi pengunjung untuk melakukan aksi vandalisme. Aksi vandalisme membuang sampah tidak pada tempatnya terjadi akibat selain kurangnya kesadaran pengunjung akan menjaga lingkungan juga karena kurang tersedianya tempat sampah. Hampir disetiap obyek wisata tidak terdapat tempat sampah. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Permatasari (2011) yang mengatakan bahwa faktor yang mendorong pelaku vandalisme menulis atau menggambar pada fasilitas pada taman sakura adalah karena terdorong oleh adanya fasilitas yang terletak pada lokasi yang sepi dan karena sebelumnya sudah didapati adanya tulisan ataupun gambar pada fasilitas tersebut. Sedangkan faktor yang mendorong pelaku vandalisme menulis atau menggambar pada fasilitas pada lawn adalah karena sebelumnya sudah didapati adanya tulisan ataupun gambar pada fasilitas tersebut. Aksi vandalisme membuang sampah tidak pada tempatnya pada setting

72 55 taman sakura, dilakukan karena dorongan dari minimnya ketersediaan tempat sampah pada setting ini. Aksi vandalisme membuang sampah tidak pada tempatnya pada setting taman sakura, dilakukan karena dorongan dari minimnya ketersediaan tempat sampah pada setting ini dan karena sudah terdapat sampah yang dibuang pada lokasi tersebut. Kegiatan vandalisme dapat merusak estetika kawasan. Selain merusak estetika kawasan, vandalisme juga dapat merusak ekologi dan juga habitat/ekosistem. Adanya kegiatan ini menjadikan karakter, tujuan dan fungsi TNGGP hilang dan tidak berfungsi sebagaimana tujuan dibentuknya taman nasional. Untuk mengatasi permasalahan vandalisme ini hendaknya dilakukan suatu sistem pengelolaan kawasan yang memperhatikan function (fungsi), form (bentukan), dan organization (kelembagaan) (Permatasari, 2011). Untuk itu pengelola TNGGP harus serius menangani masalah ini dengan cara memberikan hukuman yang tegas kepada pelaku vandalisme atau meningkatkan kesadaran kepada pengunjung dengan memberikan materi-materi/pembekalan tentang menjaga kelestarian suatu kawasan.

73 Evaluasi Kualitas Estetika Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru Evaluasi kualitas estetika pada lanskap Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 14). Perbedaan penilaian responden terhadap kedua lanskap ini terlihat cukup signifikan, tetapi ada beberapa karakter dari lanskap yang memiliki perbedaan tidak signifikan. Persamaan karakter terdapat pada kriteria monoton-bervariasi, luas-sempit dan view terbuka-tertutup. Gambar 14. Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru Untuk kriteria monoton-bervariasi cenderung ke arah netral karena pada lanskap telaga biru masih terdapat objek wisata berupa danau kecil yang indah, sedangkan pada lanskap pintu masuk Cibodas hanya terdapat pepohonan dan lebih banyak terdapat fasilitas-fasilitas pendukung. Penilaian responden pada kriteria luas-sempit dan view terbuka cenderung ke arah netral. Hal ini disebabkan pada kedua lanskap tidak memiliki area yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu terbuka. Pada lanskap telaga biru area dibatasi oleh tegakan pepohonan hutan

74 57 sehingga luas dan view terbatas, sedangkan pada lanskap pintu masuk Cibodas didominasi oleh fasilitas-fasilitas sehigga terkesan kaku dan terbatas. Perbedaan penilaian terdapat pada kriteria obyek interpretasi, estetika, focal poin, dan view. Untuk kriteria obyek interpretasi dan estetika pada lanskap Telaga Biru memiliki obyek interpretasi menarik dan estetika indah sedangkan lanskap pintu masuk Cibodas obyek interpretasi tidak ada/tidak menarik dan estetika kurang (Gambar 15). Hal ini dapat dilihat pada lanskap Telaga Biru terdapat obyek berupa danau alami yang terlihat berwarna kebiru-biruan apabila terkena sinar matahari sehingga estetikanya indah. Berbeda dengan lanskap pintu masuk Cibodas, hanya terdapat fasilitas-fasilitas dan tegakan pohon, tidak terdapat obyek yang menarik. Berkaitan dengan kriteria focal poin dan view, lanskap Telaga Biru focal poin nyata dan view terbingkai, sedangkan lanskap Pintu Masuk Cibodas focal poin tidak nyata dan view tidak terbingkai. Gambar 15. View Pintu Masuk Cibodas (kiri) dan Telaga Biru (kanan)

75 Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Evaluasi kualitas estetika pada lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 16). Dari grafik semantic differential tidak menunjukaan perbedaan karakter yang tidak terlalu mencolok antara lanskap Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas atau relatif sama untuk kedua lanskap tersebut. Kedua lanskap ini memiliki persamaan karakter obyek interpretasi menarik-obyek interpretasi tidak menarik, focal poin nyata-focal poin tidak nyata, monoton-bervariasi, view terbingkai-view tidak terbingkai, estetika indah-estetika kurang dan view terbuka-view tertutup. Akan tetapi memiliki perbedaan pada karakter luas-sempit. Gambar 16. Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas Untuk kriteria obyek interpretasi, lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas memiliki obyek interpretasi menarik karena pada kedua lanskap ini menampilkan atraksi permainan elemen air. Pada lanskap Air Terjun Cibeureum terdapat atraksi air terjun yang sangat menarik, sedangkan pada lanskap air panas menampilkan fenomena alam yang cukup menarik berupa sumber air panas yang jarang dijumpai ditempat lain (Gambar 17). Penilaian responden untuk kriteria

76 59 focal poin nyata cukup tinggi, karena pada kedua lanskap ini memiliki satu obyek wisata yang menarik, sehingga pengunjung yang berkunjung ke tempat ini hanya fokus kepada satu obyek wisata saja yaitu air terjun dan air panas. Untuk kriteria monoton-bervariasi dan view terbingkai-tertutup, responden menilai lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas cenderung ke arah netral. Karakter kedua lanskap diarahkan oleh pepohonan hutan sehingga sedikit pemandangan yang dapat terbingkai. Perbedaan penilaian yang cukup signifikan terlihat pada karakter luassempit. Lanskap Air Panas cenderung ke arah sempit sebab lokasi Air Panas terletak di jalur pendakian/jalur trekking dengan lebar jalur 2-3 meter. Hal ini bebanding terbalik dengan lanskap Air Terjun Cibereum yang cukup luas dapat menampung banyak pengunjung dengan berbagai macam aktivitas. Gambar 17. View Air Panas (kiri) dan Air Terjun Cibeureum (kanan) Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede Evaluasi kualitas estetika pada lanskap Puncak Gunung Gede dan Perkemahan Kandang Badak dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 18). Lanskap Puncak Gunung Gede dan Perkemahan Kandang Badak memiliki perbedaan penilaian yang cukup signifikan tetapi pada beberapa kriteria hampir memiliki penilaian yang sama. Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada kriteria obyek interpretasi menarik-obyek interpretasi kurang menarik, monoton-bervariasi, estetika indah-estetika kurang dan view terbuka-tertutup. Persamaan penilaian terlihat pada kriteria focal poin nyata-tidak nyata, view terbingkai-tidak terbingkai, dan luas-sempit.

77 60 Gambar 18. Grafik Semantic Differential Puncak Gunung Gede dengan Perkemahan Kandang Badak Penilaian responden pada kriteria obyek interpretasi dan estetika terjadi perbedaan yang cukup signifikan. Pada lanskap Puncak Gunung Gede obyek interpretasi menarik dan estetika indah karena memiliki karakteristik berupa pemandangan dari puncak berupa kawah, hamparan pegunungan, dataran luas yang disebut Alun-Alun Surya Kencana. Pemandangan ke arah kawah berupa dinding jurang yang terjal dengan warna batuan putih kecoklatan dan warna merah kecoklatan pada bibir kawah. View ke arah Alun-Alun Surya Kencana terlihat dataran luas dengan warna putih kecoklatan dan terang, dan disekitarnya terdapat hamparan pemandangan tumbuhan Cantigi Gunung (Vaccinium varingiaefolium), Edelweis Jawa (Anaphalis javanica), dan jenis rumput pegunungan. Hamparan tumbuhan Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) itu berubah warnanya dari hijau ke putih pada bulan Agustus-September, dimana perubahan warna ini disebabkan oleh warna bunga putih yang muncul pada bulanbulan tersebut (Yulianto, 2006). Pada lanskap Perkemahan Kandang Badak obyek interpretasi cenderung tidak ada/kurang menarik dan estetika kurang karena pada

78 61 lanskap ini merupakan tempat berkemah bagi pengunjung yang ingin beristirahat dan bermalam sehingga hanya terdapat tegakan pohon yang jarang-jarang dan beberapa shelter yang kondisinya sudah rusak namun masih digunakan oleh beberapa pengunjung untuk beristirahat/bermalam. Selain itu di lanskap ini banyak sampah berserakan hasil dari aktivitas pengunjung yang tidak bertanggung jawab sehingga estetika dari lanskap ini kurang/tidak nyaman untuk dipandang. Hal ini berbanding terbalik dengan penyataan Yulianto (2006). Menurut Yulianto (2006), Kandang Badak mempunyai karakteristik elemen visual berupa dominasi bentuk pohon yang ramping, tinggi, dan seragam. Pohon tersebut tumbuh dengan jarak yang teratur dan tidak terlalu rapat, sehingga memberikan kesan ruang yang lega dan terbuka. Selain itu, variasi pemandangan berupa tumbuhan paku-pakuan dan beberapa jenis semak dengan bentuk, warna, serta tekstur yang berbeda semakin menambah nilai keindahan tapak. Perbedaan penilaian ini terjadi karena pada penelitian yulianto hanya menggunakan elemen visual saja, sedangkan aspek kebersihan dan perilaku pengunjung tidak diteliti. Untuk kriteria monoton-bervariasi dan view terbuka-tertutup penilaian terhadap lanskap Puncak Gunung Gede cenderung ke arah bervariasi dan view terbuka sebab karakter dari lanskap Puncak Gunung Gede tidak terdapat tegakan pohon besar hanya semak sehingga pemandangan ke arah manapun dapat terlihat. Pada lanskap Perkemahan Kandang Badak terdapat tegakan pohon yang cukup rapat sehingga pemandangan sangat terbatas dan terkesan monoton hanya terdapat tegakan pohon, semak dan perdu (Gambar 19). Gambar 19. View Perkemahan Kandang Badak Persamaan penilaian terlihat pada kriteria focal poin nyata-tidak nyata, view terbingkai-tidak terbingkai, dan luas-sempit. Untuk kriteria focal poin dan

79 62 view terbingkai-tertutup kedua lanskap cenderung ke arah netral. Hal ini disebabkan karena pada kedua lanskap tidak memiliki fokus obyek pemandangan. Lanskap Puncak Gunung Gede memiliki banyak view yang menarik (Gambar 20), sedangkann Perkemahan Kandang Badak hanya memiliki view tegakan-tegakan pohon. Penilaian terhadap kriteria luas-sempit, kedua lanskap memiliki kriteria luas sebab lanskap Perkemahan Kandang Badak berupa dataran luas untuk berkemah sedangkann Puncak Gunung Gede merupakan tempat tinggi, tidak terdapat tegakan pohon besar sehingga terkesan luas. Gambar 20. View Puncak Gunung Gede Sebelum mencapai lanskap Perkemahan Kandang Badak, terdapat sebuah air terjun/ /curug yang sangat indah dengann ketinggiann ± 6 meter. Air terjun ini tidak kalah menarik dengan air terjun Cibeurem (Gambar 21). Aktivitas yang dilakukan pengunjungg di tempat ini ialah oto-foto dan beristirahat. Gambar 21. Air terjun kecil

80 Evaluasi Karakter Kualitas Ekologi Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 22). Dari grafik Semantic Differential diatas tidak menunjukkan perbedaan karakter yang terlalu signifikan antara lanskap Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru. Kedua lanskap memiliki persamaan karakter pada kriteria satwa liar, vegetasi indigeneusintroduksi, kerapatan tumbuhan dan biodiversitas tumbuhan. Akan tetapi memiliki perbedaan pada karakter alami-buatan, datar-curam, dan landai-berlereng. Gambar 22. Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru Untuk kriteria banyak satwa liar-sedikit satwa liar responden menilai kedua lanskap ini memiliki satwa liar netral. Hal ini karena satwa liar pada kedua lanskap ini sedikit ditemukan. Hanya beberapa satwa liar saja yang dapat ditemui diantaranya kadal, burung, serangga, dan lainnya. Penilaian responden terhadap kriteria vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi, lanskap pintu masuk Cibodas dan

81 64 Telaga Biru memiliki vegetasi introduksi, namun tidak terlalu tinggi diantaranya Agathis loranthifolia, Pinus merkusii dan Maesopsis emini. Hal ini dikarenakan pada kedua lanskap masih terdapat vegetasi indigeneus seperti pohon Rasamala (Gambar 23). Untuk kriteria biodiversitas dan kerapatan tumbuhan, lanskap pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru memiliki biodiversitas dan kerapatan tumbuhan cenderung ke arah netral, tetapi untuk lanskap Telaga Biru biodiversitas dan kerapatan tumbuhan tinggi. Hal ini dikarenakan pada lanskap pintu masuk Cibodas banyak terdapat area terbangun berupa fasilitas-fasilitas dan tidak terlalu sedikit vegetasi, sedangkan pada lanskap Telaga Biru sedikit fasilitas dan terdapat vegetasi yang tidak sedikit. Gambar 23. Vegetasi Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru Kondisi lanskap Pintu Masuk Cibodas relatif datar/tidak curam dan landai sehingga tidak mudah terjadi erosi. Lanskap Telaga Biru relatif datar, namun penilaian terhadap kriteria landai lebih cenderung ke arah netral. Hal ini mengakibatkan di lanskap tersebut tidak mudah terjadi erosi. Perbedaan penilaian yang cukup signifikan antara lanskap Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru terdapat pada kriteria alami-buatan. Responden menilai lanskap Pintu Masuk Cibodas memiliki kriteria buatan karena pada lanskap ini banyak terdapat fasilitas-fasilitas pendukung seperti pos jaga, kantin, mushalla, toilet dan lainnya sehingga kesan alami tidak muncul, sedangkan pada lanskap Telaga Biru sangat terkesan alami dengan adanya danau alami dan tegakan pepohonan khas hutan hujan tropis. Sebelum memasuki kawasan telaga biru, terdapat habitat owa jawa dan juga lutung. Apabila beruntung pengunjung dapat melihat satwa yang populasinya saat ini tergolong langka dan sangat sulit untuk ditemui. Selain itu di sepanjang

82 65 jalan menuju telaga biru terdapat pohon rasamala (Altingia excelsa) raksasa yang tingginya bisa mencapai 60 meter (Gambar 24). Gambar 24. Habitat Lutung (Kiri) dan pohon Rasamala (kanan)

83 Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 25). Perbedaaan penilaian responden terhadap kedua lanskap ini tidak terlalu jauh, tetapi ada beberapa karakter dari lanskap tersebut yang memiliki perbedaan cukup signifikan. Kedua lanskap ini memiliki persamaan karakter satwa liar, vegetasi, kerapatan tumbuhan, biodiversitas tumbuhan, dan karakter alami-buatan. Perbedaan karakter yang cukup signifikan terdapat pada kriteria tingkat erosi, datar-curam dan landai-berlereng. Gambar 25. Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas Untuk kriteria banyak satwa liar-sedikit satwa liar, responden menilai lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air panas cenderung ke netral. Hal ini disebabkan karena pada kedua lanskap ini masih terdapat beberapa satwa liar, tetapi tidak terlalu banyak terlihat. Penilaian ktiteria vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi, responden menilai kedua lanskap tersebut ke arah netral. Penilaian responden ke arah netral karena pada kedua lanskap ini memiliki perbandingan

84 67 vegetasi yang relatif sama antara vegetasi idigeneus dan introduksi tetapi lebih cenderung lebih banyak vegetasi introduksi. Vegetasi introduksi diantaranya Agathis loranthifolia, Pinus merkusii dan Maesopsis emini. Untuk karakter biodiversitas dan kerapatan tumbuhan, responden menilai lanskap Air terjun Cibeureum dan Air Panas memiliki biodiversitas tinggi. Hal ini disebabkan karena pada kedua lanskap ini terdapat bermacam-macam tumbuhan diantaranya, saninten (Castanopsis argentea), Rasamala (Altingia excelsa), Antidesma tentandru, pakis ekor monyet dan sebagainya, sedangkan kerapatan tumbuhan di kedua lanskap cenderung ke arah netral. Penilaian karakter alami-buatan pada kedua lanskap ke arah alami sebab tidak ada modifikasi dan fasilitas-fasilitas pada lanskap yang cukup signifikan (Gambar 26). Fasilitas hanya seadanya sebagai penunjang aktivitas pengunjung. Gambar 26. Lanskap Air Terjun Cibereum (kiri) dan Air Panas (kanan) Perbedaan penilaian karakter untuk kriteria datar-curam dan landaiberlereng, responden menilai pada lanskap Air Terjun Cibeureum relatif ke arah datar dan landai hal ini dapat dilihat pada kondisi lanskapnya yang berbatu tetapi disusun rapi dan teratur sehingga Air Terjun Cibeurem lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan umum seperti untuk rekreasi keluarga dan kegiatan keagamaan (Gambar 27), sedangkan pada lanskap Air Panas lebih cenderung ke arah curam dan berlereng. Dilihat dari kondisi lanskapnya yang berbatu, hanya terdapat jalan setapak dan juga tepat berada di pinggir jurang sehingga lanskap Air Panas lebih mudah terjadi erosi. Untuk itu pengelola memberikan fasilitas berupa tali besi/wire namun kondisinya sudah rusak dan berbahaya bagi pengguna (Gambar 27). Tidak semua pengunjung dapat menuju lokasi ini, hanya pengunjung tertentu saja yang dapat mencapai ke lokasi ini.

85 68 Gambar 27. Air Terjun Cibeureum (kiri) dan Air Panas (kanan) Sebelum menuju kawasan air terjun Cibeureum terdapat rawa yang terbentuk dari bekas kawah mati yang kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah telah menyebabkan sedimentasi lumpur untuk tumbuhnya berbagai rumput-rumputan, terutama rumput Gayonggong yang mendominasi rawa ini sehingga rawa ini dinamakan Rawa Gayonggong. Kawasan Rawa Gayonggong merupakan daerah jelajah Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). Namun dikarenakan pada kawasan ini dibangun trail yang cukup panjang yang terbuat dari bahan kayu dan sebagian terbuat dari semen yang dibuat menyerupai kayu sehingga sering dilalui oleh pengunjung yang mengkibatkan Macan Tutul Jawa tersebut sudah tidak dapat diamati lagi karena habitat atau teritori dari Macan Tutul Jawa tersebut terganggu (Gambar 28). Gambar 28. Rawa Gayonggong Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Puncak Gunung Gede dan Perkemahan Kandang Badak dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 29). Pada kedua lanskap ini terjadi perbedaan nilai yang cukup

86 69 signifikan, tetapi pada beberapa kriteria hampir memiliki penilaian yang sama. Perbedaan yang signifikan terlihat pada karakter vegetasi indigeneus-introduksi, biodiversitas tumbuhan, tingkat erosi, datar-curam dan landai-berlereng. Persamaan penilaian terlihat pada karakter satwa liar, kerapatan tumbuhan dan kriteria alami-buatan. Gambar 29. Grafik Semantic Differential Puncak Gunung Gede dengan Perkemahan Kandang Badak Untuk kriteria biodiversitas tumbuhan dan vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi lanskap Puncak Gunung Gede cenderung ke arah biodiversitas tumbuhan netral dan vegetasi indigeneus, sedangkan untuk lanskap Perkemahan Kandang Badak biodiversitas tumbuhan tinggi dan vegetasi cenderung ke arah netral. Perbedaan yang cukup signifikan ini disebabkan karena pada lanskap Puncak Gunung Gede tidak terdapat banyak vegetasi. Vegetasi yang mendominasi pada Puncak Gunung Gede antara lain bunga Edelweiss Jawa (Anaphalis javanica) dan Cantigi Gunung (Vaccinium varingiafolium), sedangkan pada lanskap Perkemahan Kandang Badak lebih banyak terdapat tegakan pohon besar

87 70 diantaranya Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima walichii), Pinus (Pinus merkusii) dan lain-lain (Gambar 30). Penilaian responden untuk kriteria tingkat erosi, landai-berlereng dan kriteria datar-curam penilaian terhadap lanskap Puncak Gunung Gede cenderung ke arah curam, berlereng dan mudah erosi. Pada lanskap Puncak Gunung Gede terlihat sangat curam dan berlereng hanya terdapat jalan setapak dikelilingi jurang dan didominasi oleh pohon pendek dan semak sehingga sehingga mudah terjadi erosi. Pada lanskap Perkemahan Kandang Badak cenderung ke arah datar, landai dan tidak mudah erosi karena lanskap Perkemahan Kandang Badak merupakan tempat berkemah yang relatif datar dan terdiri dari tegakan-tegakan pohon besar sehingga bahaya erosi dapat diminimalisir. Gambar 30. Vegetasi Puncak Gunung Gede (kiri) dan Kandang Badak (kanan) Sebelum mencapai Perkemahan Kandang Badak, terdapat satu lagi tempat berkemah yang disebut Kandang Batu, namun tempat perkemahan ini jarang digunakan oleh para pendaki dikarenakan sangat sepi dan jarang digunakan. Dataran yang sangat sedikit membuat pendaki sulit untuk mendirikan tenda. Luas dari perkemahan ini lebih kecil dari Perkemahan Kandang Badak. Hasil kuisioner mengenai keberadaan fasilitas di dalam kawasan menurut responden tidak mengganggu ekosistem, namun 27,59% dari responden menilai bahwa fasilitas yang ada mengganggu keadaan ekosistem TNGGP karena tidak sesuai penempatannya, dan merusak kondisi alaminya dengan membuka ekosistem, serta tidak sesuai dengan konsep TNGGP itu sendiri. Dengan adanya bangunan yang tidak terawat juga akan merusak alam, serta adanya fasilitas ini mengakibatkan banyak sampah di dalam kawasan.

88 71 Vegetasi dan satwa endemik/khas masih terdapat dibeberapa lokasi di TNGGP. Menurut responden masih ada satwa/tumbuhan yang khas dari TNGGP (72,41%) ini yaitu Edelweiss Jawa, katak merah, elang jawa, owa jawa, lutung, elang bondol, macan tutul, pohon Rasamala, macan dahan, anggrek, katak hijau, Papilio paris (kupu-kupu). Namun keberadaan dan eksistensi dari vegetasi/satwa endemik ini mengalami gangguan. Banyaknya pengunjung dan aktivitas yang dilakukan sangat mengganggu keberadaan vegetsi/satwa endemik tersebut. Tindakan vandalisme pengunjung dan pembangunan fasilitas yang tidak pada tempatnya juga menjadi faktor terganggunya habitat/ekosistem dari vegetasi/satwa endemik. Hal inilah yang menjadi penyebab satwa/vegetasi endemik TNGGP jarang terlihat di alam bebas.

89 Evaluasi Pengelolaan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terdapat dalam dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) yang merupakan rencana unit pengelolaan yang bersifat indikatif perspektif dan kualitatifkuantitatif yang meliputi suatu unit pengelolaan kawasan taman nasional untuk jangka waktu 25 tahun. Rencana lain yang termasuk ke dalam RPTN diantaranya Rencana Karya Lima Tahun (RKL), Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam (RPPA), dan rencana-rencana operasional lainnya. Salah satu bentuk pengelolaan taman nasional ialah pembagian taman nasional menjadi beberapa zonasi. Berdasarkan revisi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2010, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terbagi atas 7 zonasi yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona konservasi owa jawa, dan zona khusus. Zona pemanfaatan kawasan taman nasional merupakan daerah yang mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik dan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. Jalur pendakian Cibodas termasuk ke dalam zona pemanfaatan taman nasional karena pada jalur ini terdapat berbagai macam obyek wisata yang menarik, memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa, formasi ekosistem tertentu dan atraksi geologi. Obyek wisata tersebut diantaranya telaga biru, air terjun Cibeureum, air panas, kawah Gunung Gede dan formasi ekosistem alun-alun Surya Kencana berupa dataran luas yang ditumbuhi tanaman Edelweiss Jawa. Menurut Soewardi dalam Samsudin (2006), kawasan taman nasional dibagi atas dasar zona-zona sesuai dengan fungsi zona itu sendiri, tersusun atas: daerah yang mutlak harus dilindungi (Strict nature reserves = Preservation zone), daerah berimba yang luas (Wilderness areas = Conservation zone), daerah yang dapat dipergunakan secara intensif (Intensive use area = Natural environment zone) dan daerah yang terbuka untuk umum (Mass tourism areas = Outdoor recreation zone). Jalur pendakian Cibodas merupakan daerah yang dapat

90 73 dipergunakan secara intensif ((Intensive use area = Natural environment zone) karena kawasan ini merupakan jalur rekreasi alam. Penggunaan kawasan ini cukup intensif misalnya untuk camping ground, rekreasi keluarga, dan penempatan fasilitas-fasilitas pendukung. Beberapa fasilitas pendukung terdapat dibeberapa obyek wisata dan pintu masuk kawasan taman nasional. Beberapa fasilitas yang terdapat di jalur pendakian Cibodas diantaranya pusat informasi, pos jaga, kantin, WC/toilet, mushalla, shelter, bangku taman, papan/sarana interpretasi (sign), tali besi/wire, gazebo dan trail. Evaluasi pengelolaan pada lanskap TNGGP khususnya jalur pendakian Cibodas dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 31). Penilaian terhadap lanskap TNGGP khususnya jalur pendakian Cibodas dilakukan di enam titik lanskap yang dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun (alami). Lanskap terbangun terdiri dari lanskap Pintu masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak, sedangkan lanskap tidak terbangun (alami) terdiri dari lanskap Telaga Biru, Air Terjun Cibeureum, Air Panas dan Lanskap Puncak Gunung Gede. Penilaian terhadap lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun (alami) relatif sama untuk setiap kriteria, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok. Gambar 31. Grafik Semantic Differential lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun

91 74 Responden menilai untuk kriteria peletakan tanaman dan kondisi vegetasi untuk lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun peletakan tanaman cenderung ke arah netral dan kondisi vegetasi baik. Peletakan tanaman ke arah netral karena di setiap lanskap tanaman dibiarkan tumbuh secara alami dan beberapa tanaman diintroduksi dari luar kawasan taman nasional. Kondisi vegetasi di tiap lanskap baik karena tidak membutuhkan pengelolaan yang lebih sebab vegetasi tumbuh secara alami. Namun pada beberapa lanskap misalnya lanskap Telaga Biru, Puncak Gunung Gede (lanskap tidak terbangun) dan Perkemahan kandang Badak masih terdapat tindakan vandalisme mencoret-coret, merusak tanaman, menebang dan memetik bunga (Gambar 32). Gambar 32. Contoh Vandalisme Untuk kriteria aksesibilitas, terjangkau dan kenyamanan kedua kelompok lanskap memiliki akses yang mudah, terjangkau dan nyaman. Lanskap Pintu Masuk Cibodas (lanskap terbangun) merupakan pos pertama yang terletak tepat di sebelah Kebun Raya Cibodas, sedangkan aksesibilitas menuju Perkemahan Kandang Badak dengan kemiringan jalan mencapai sudut 60, jalan yang berbatu diselingi akar-akaran dari tumbuhan (Gambar 33). Kenyaman di kedua lanskap ini cukup nyaman dikarenakan suhu rata-rata di tempat ini ± 20-24º C, bahkan pada musim-musim tertentu suhu bisa dibawah 20º C. Selain itu pada kedua lanskap banyak pepohan yang menaungi sehingga menjadi nyaman.

92 75 Gambar 33. Aksesibilitas Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak Lanskap Telaga Biru (lanskap tidak terbangun) terletak pada ketinggian meter dpl. Akses menuju telaga biru cukup mudah dan terjangkau terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas atau dapat ditempuh selama ± 0,75 jam dengan kondisi jalan yang relatif datar dan terbuat dari susunan bebatuan yang cukup rapi sehingga memudahkan pengunjung untuk melakukan trekking atau jalan kaki (Gambar 34). Lokasi Air Terjun Cibeureum tidak terlalu jauh sekitar ± 2,8 km atau 1 ¼ jam dari Cibodas dan akses jalan yang tidak terlalu sulit atau relatif datar, sedangkan Air Panas terletak sekitar 5,9 km atau 4 jam perjalanan dari Cibodas. Jalur trekking menuju Air Terjun Cibeureum berupa trail panjang yang terbuat dari kayu dan sebagian terbuat dari semen yang dibentuk menyerupai kayu (Gambar 35). Sebagian kondisi trail ini sudah rusak, bolong-bolong dan pagar pembatasnya sudah rusak sehingga membahayakan pengunjung yang akan melintasi trail ini.

93 76 Gambar 34. Akses menuju Telaga Biru dan Air Terjun Cibeureum Air panas merupakan jalur pendakian menuju puncak Gunung Gede. Setiap pendaki yang akan mendaki ataupun turun pasti melewati kawasan ini. Akses menuju lokasi yang cukup jauh dan juga medannya yang cukup berat untuk ditempuh (Gambar 35). Namun karena responden merupakan pecinta alam sehingga akses menuju Air Panas tidak terlalu sulit dan terjangkau. Aksesibilitas menuju Puncak Gunung Gede jalan yang ditempuh cukup terjal dan berbatu. Sebelum menuju puncak kawah Gunung Gede, pengunjung harus melewati tebing dengan kemiringan mendekati sudut 80 (Gambar 35). Pendaki gunung sering menyebut tebing ini dengan sebutan tanjakan setan karena tebing ini cukup sulit untuk dilewati. Namun bagi pendaki tebing ini sangat menarik, bukan sebagai suatu hambatan, melainkan sebagai suatu tantangan. Harus menggunakan alat khusus apabila ingin melewati tebing ini. Selain itu tepat sebelum mencapai puncak, akan ditemui jalan setapak yang tidak terlalu lebar dengan batas sebelah kanan jurang dan sebelah kiri dengan kawah Gunung Gede. Pada kedua lanskap ini pengelola menyediakan fasilitas berupa tali besi (Wyre) dan tali tambang untuk membantu pengunjung melewati tebing ini, namun keadaannya sudah tidak layak pakai karena tali putus dan serat dari besi tersebut keluar sehingga membahayakan pendaki saat memegang tali. Kenyamanan di lanskap Air Panas dikarenakan suhu rata-rata di tempat ini ± 22º C, namun pada saat melewati Air Panas suhu berubah bisa mencapai ºC karena uap panas yang ditimbulkan oleh air panas yang mengalir. Kenyamanan

94 77 di lanskap Puncak Gunung Gede dikarenakan suhu rata-rata ± 18-20º C. Namun pada waktu-waktu tertentu di puncak gunung suhu bisa mencapai dibawah 10º C yang mengakibatkan tidak nyaman lagi. Gambar 35. Akses menuju Air Panas dan Puncak Gunung Gede (Tanjakan Setan) Fasilitas berupa papan/sarana interpretasi di kedua kelompok lanskap (lanskap terbangun dan tidak tebangun) tersedia cukup lengkap. Mulai dari peta kawasan, informasi satwa, informasi obyek wisata dan papan penunjuk arah (Gambar 36). Gambar 36. Papan/sarana interpretasi Keadaan papan/sarana interpretasi yang tersedia sebagian sudah rusak/tidak terawat lagi akibat penempatan fasilitas yang tidak pada tempatnya, desain fasilitas yang tidak sesuai dengan karakter dan keadaan taman nasional,

95 78 penggunaan bahan yang tidak tepat dan kegiatan vandalisme pengunjung (Gambar 37). Faktor-faktor tersebut mengakibatkan fasilitas yang ada dapat mengganggu habitat dari flora dan fauna, fasilitas menjadi rusak sehingga informasi kepada pengunjung tidak tersampaikan dengan baik. Kegiatan vandalisme pengunjung kawasan yang banyak ditemui ialah coretan fasilitas. Gambar 37. Papan/sarana interpretasi rusak Fasilitas pendukung lainnya yang ada di TNGGP cukup lengkap dan memadai. Fasilitas yang terdapat di lanskap Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak (lanskap terbangun) diantaranya, pos jaga, mushalla, toilet umum, kantin, pusat informasi, rumah kaca, bangku taman, shelter besar untuk menampung 5-8 tenda, jembatan penghubung jalan yang tidak terlalu panjang dan terdapat sumber air yang tidak pernah kering. Selain itu terdapat koleksi tanaman hias berbagai jenis anggrek dan tanaman hutan lainnya. Pengunjung yang ingin bermalam atau beristirahat dapat menggunakan sekretariat sukarelawan Montana yang terdapat di belakang pos jaga (Gambar 38).

96 79 Pos jaga Sekretariat Sukarelawan Montana Rumah Kaca Shelter Kandang Badak Gambar 38. Fasilitas di Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak Fasilitas lain yang ada di lanskap Telaga Biru dan Puncak Gunung Gede (lanskap tidak terbangun) diantaranya bangku taman untuk melakukan aktivitas viewing ke arah telaga dan gazebo atau pendopo tempat beristirahat (Gambar 39). Pada lanskap Puncak Gunung Gede terdapat tali besi/wyre sebagai alat bantu pengunjung untuk trekking menuju puncak gunung. Gambar 39. Fasilitas di Telaga Biru Fasilitas yang terdapat pada lanskap Air Terjun Cibeureum dan dapat ditemui di sepanjang jalan menuju air panas (lanskap tidak terbangun) antara lain MCK/toilet umum, gazebo, shelter dan beberapa bangku taman. Selain itu

97 80 terdapat tali besi (wire) disepanjang jalan pada saat pengunjung melewati air panas (Gambar 40). WC/Toilet umum Shelter Gazebo Tali besi/wyre Gambar 40. Fasilitas di Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Sebagian besar lanskap di TNGGP memiliki permasalahan yang hampir sama. Permasalahan yang terdapat pada lanskap Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak (lanskap terbangun) ialah terdapat sampah berserakan dibuang tidak pada tempatnya. Hal ini disebabkan karena kawasan Pintu Masuk Cibodas ini dijadikan tempat pembuangan sementara bagi pengunjung yang telah melaksanakan pendakian. Di pintu masuk ini pengunjung yang akan meninggalkan kawasan TNGGP wajib melapor ke pos jaga dan wajib membawa sampah yang merupakan sisa dari aktivitas pengunjung tersebut, sedangkan lanskap Perkemahan Kandang Badak kondisinya sangat mengkhawatirkan. Banyak sampah sisa dari aktivitas pengunjung karena tidak terdapat tempat pembuangan sampah. Selain permasalahan sampah, kendala lain yang terdapat pada area ini ialah banyaknya fasilitas yang tidak terawat sehingga menjadi rusak dan tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya serta penggunaan fasilitas yang tidak pada tempatnya (Gambar 43). Misalnya, toilet umum tidak

98 81 terawat sehingga jarang pengunjung yang menggunakan fasilitas tersebut, rumah kaca yang harusnya digunakan sebagai tempat pemeliharaan tanaman digunakan untuk menjemur pakaian, kondisi fasilitas berupa shelter yang sudah rusak dan sangat bau karena tidak ada fasilitas berupa toilet/wc sehingga pengunjung biasa melakukan buang air kecil/besar di sembarang tempat sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap dan pagar pembatas yang sudah rusak (Gambar 41). Shelter yang rusak Sampah sisa aktivitas pengunjung Tempat pembuangan sampah sementara Rumah kaca tempat menjemur pakaian Gambar 41. Permasalahan di Lanskap Kandang Badak dan Pintu masuk Cibodas Permasalahan yang terdapat pada lanskap Telaga biru, Air terjun Cibeureum, Air Panas dan Puncak Gede (lanskap tidak terbangun) ialah banyaknya fasilitas yang kurang pengelolaan sehingga banyak fasilitas yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Misalkan, shelter dan gazebo yang sudah tidak memiliki atap, bangku taman yang berlumut, trail kayu yang sudah bolong, WC/toilet yang tidak terpakai sehingga terbengkalai, tali besi/wyre berkarat dan putus (Gambar 42).

99 82 WC/Toilet umum tidak terpakai Shelter Tali besi/wyre Bangku taman dan toilet Gambar 42. Permasalahan di kelompok lanskap tidak terbangun Berdasarkan hasil kuisioner yang dibagikan kepada 30 orang responden dapat dikatakan pengelolaan TNGGP sudah cukup baik. Namun sebagian besar responden (40%) mengatakan bahwa pengelolaan TNGGP masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya kegiatan vandalisme yang ada didalam kawasan seperti mencoret-coret, membuang sampah sembarangan, memetik bunga/tanaman, membuat bakaran/api unggun, penebangan pohon dan lain sebagainya. Fasilitas yang diketahui responden di dalam kawasan antara lain toilet (38,33%), tempat ibadah/mushalla (28,33%), cottage/penginapan (20%) dain lainnya shelter, bangku taman, tempat sampah, tempat parkir, warung, dan pusat informasi (13,33%). Selain itu responden juga menilai bahwa fasilitas di TNGGP belum memadai (46,67%) karena kondisi fasilitasnya tidak terawat dan banyak yang rusak (kurang pengelolaan yang intensif). Hal ini dapat dilihat dari keadaan fasilitas yang rusak dan tidak layak pakai padahal keberadaan dari fasilitas tersebut sebenarnya sangat vital didalam kawasan. Namun dari pihak pengelola belum ada upaya untuk memperbaiki ataupun mengganti fasilitas-faslitas tersebut.

100 83 Tingginya minat pengunjung untuk aktifitas pendakian, ternyata memberikan dampak negatif yang nyata terhadap ekosistem kawasan TNGGP. Dampak negatif tersebut terjadi di sepanjang jalur pendakian, alun-alun Mandalawangi dan Kandang Badak. Contoh dari dampak tersebut adalah sampah pengunjung dan vandalisme terhadap fasilitas-fasilitas rekreasi dan wisata alam. Data menunjukkan sampah per minggu yang dihasilkan dari aktifitas pengunjung di pintu masuk Cibodas adalah gram dan di Perkemahan Kandang Badak mencapai gram (Priatna, 2004). Dampak negatif lainnya adalah erosi dan pengerasan tanah terutama di jalur pendakian, serta pencemaran sumber air tanah (gedepangrango.org). Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Partomo (2004), permasalahan yang diakibatkan oleh rendahnya kepedulian pengunjung adalah timbulnya sampah di dalam kawasan, vandalisme, gangguan terhadap satwa dan tumbuhan, pencemaran air dan erosi. Permasalahan dari internal adalah lemahnya pemeliharaan sarana dan prasarana serta belum optimalnya program interpretasi kepada pengunjung yang diakibatkan oleh terbatasnya jumlah dan kualitas sumberdaya manusia. Faktor ancaman yang paling berpengaruh adalah adanya gangguan potensi sumberdaya alam oleh aktivitas masyarakat, penegakan hukum belum maksimal, pada musim kemarau rawan kebakaran hutan, serta rendahnya kepedulian pengunjung terhadap lingkungan. Permasalahan utama yang ada di TNGGP ialah banyaknya sampah akibat dari banyaknya pengunjung dan kegiatan vandalisme pengunjung. Untuk itu perlu penanganan khusus untuk menyelesaikan permasalahan ini. Selain permasalahan sampah, permasalahan yang ada antara lain, kurangnya pengelolaan terhadap fasilitas sehingga fasilitas yang ada menjadi rusak dan tidak layak pakai. Peran serta pengelola dan pengunjung kawasan TNGGP sangat dibutuhkan agar tercipta kawasan yang lestari dan berkelanjutan. Pihak pengelola TNGGP sudah berupaya untuk mengatasi permasalahan yang ada di dalam kawasan TNGGP yaitu dengan membuat kebijakan pengelolaan kawasan. Pengelolaan yang responden ketahui yang ada di dalam kawasan TNGGP antara lain penutupan sementara kawasan pada bulan-bulan tertentu (45,61%), membuat papan pengumuman berupa larangan (28,07%), kerja

101 84 bakti membersihkan kawasan oleh para relawan (22,81%), dan lainnya yaitu pemanfaatan hasil hutan secara lestari dan kerjasama dengan pihak lain (3,51%). Namun sebagian dari peraturan yang sudah dibuat belum sepenuhnya diterapkan baik oleh pengunjung maupun oleh pengelola itu sendiri. Hal ini menjadi kendala dari pihak pengelola itu sendiri, sehingga perlu adanya peningkatan kesadaran baik bagi pengunjung maupun bagi pengelola TNGGP Rekomendasi Berdasarkan hasil analisis persepsi dan preferensi pengunjung, evaluasi kualitas estetika dan ekologi serta evaluasi pengelolaan yang telah dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango disusun dan dikembangkan beberapa rekomendasi pengelolaan lanskap. Rekomendasi-rekomendasi yang disusun bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan karakter asli dari lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango agar memiliki keberlanjutan baik dari segi estetika, ekologi maupun pengelolaan. Bentuk rekomendasi yang telah disusun diantaranya: 1. Penanganan khusus terhadap kegiatan vandalisme. Kegiatan vandalisme yang banyak terjadi ialah membuang sampah di sembarang tempat, mencoret-coret (fasilitas dan tanaman) dan perusakan tanaman dan fasilitas. Penangan khusus untuk masalah sampah ialah dengan menerapkan sistem pemberian penghargaan terhadap pengunjung yang benar-benar menjaga kawasan taman nasional. Misalnya apabila pengunjung dapat membawa sampah lebih banyak dari bawaannya akan mendapatkan penghargaan (dapat berupa sertifikat atau piagam penghargaan), sebaliknya apabila pengunjung membawa sampah lebih sedikit dari bawaannya akan mendapatkan sanksi berupa teguran moral, tertulis atau hukuman lainnya. 2. Pengadaan pelatihan atau penyuluhan singkat tentang pendidikan konservasi. Pelatihan atau penyuluhan singkat ini dilakukan sebelum pengunjung akan memasuki kawasan TNGGP. Pelatihan atau penyuluhan ini dapat berupa pendidikan konservasi, sosialisasi mengenai peraturan-peraturan yang ada di TNGGP, dan bagaimana pentingnya menjaga kelestarian taman nasional.

102 85 3. Pengadaan tempat sampah di setiap obyek wisata/tempat pemberhentian pengunjung. Masalah utama yang ada di TNGGP ialah banyaknya sampah hasil dari kegiatan pengunjung TNGGP. Faktor yang menyebabkan pengunjung membuang sampah sembarangan salah satunya ialah karena tidak adanya tempat sampah. Walaupun peraturan yang ada di TNGGP mengharuskan pengunjung membawa sampah ke luar taman nasional, namun pengadaan tempat sampah sangat penting agar pengunjung tidak membuang sampah di sembarang tempat khususnya di dalam kawasan TNGGP. 4. Pemeliharan terhadap habitat satwa dan vegetasi. Kegiatan pemeliharaan habitat satwa dan vegetasi dilakukan agar menjaga dan dapat melestarikan satwa dan vegetasi tersebut sebab tujuan semula taman nasional adalah menjamin keberlangsungan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kegiatan ini sangat penting dilakukan, sebab pada saat pengambilan data dilapang jarang ditemui satwa liar. Salah satu cara menjaga habitat atau ekosistem satwa dan tumbuhan ialah dengan tidak mengganggu jalur atau sirkulasi dari satwa tersebut, tidak membuat atau membangun fasilitas yang dapat mengganggu ekosistem dari satwa/vegetasi yang sudah ada dan juga pembatasan pengunjung. 5. Peningkatan pengelolaan fasilitas-fasilitas. Berdasarkan hasil analisis dan penilaian terhadap karakter ekologi dan estetika lanskap, pengelolaan terhadap fasilitas-fasilitas yang ada di dalam kawasan taman nasional kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari kondisi fasilitasfasilitas yang sudah rusak dan tidak layak pakai. Untuk itu perlu peningkatan pengelolaan secara intensif, rutin dan berkala, penggantian fasilitas yang sudah tidak layak pakai dengan bahan-bahan yang tidak memerlukan pengelolaan yang intensif dan memperbaiki fasilitas yang masih layak pakai, penempatan fasilitas yang tidak mengganggu ekosistem/habitat satwa ataupun vegetasi, penggunaan desain yang sesuai dengan karakter dan kondisi dari TNGGP. Berikut beberapa contoh fasilitas yang ada di taman nasional/nature park yang ada di dunia (Gambar 43).

103 86 Pintu masuk (Tervete Nature Park, Latvia) Trail (Pacific Rim National Park, British Columbia, Canada. Sign (Tervete Nature Park, Latvia) Sign, Slovakia Gambar 43. Contoh fasilitas taman nasional di dunia (Bell, 2008). 6. Pembatasan pengunjung dan larangan berkemah. Aturan pembatasan pengunjung sudah ada dalam peraturan yang dibuat oleh pihak TNGGP tetapi pemantauan terhadap jumlah pengunjung masih sangat sulit untuk dikendalikan. Larangan berkemah di tempat-tempat tertentu belum diterapkan oleh pihak pengelola TNGGP. Larangan berkemah harus diterapkan di beberapa tempat yang rentan terhadap tindak vandalisme misalnya di Puncak Gunung Gede. Selain berbahaya bagi pengunjung pada saat cuaca ekstrim, larangan berkemah ini juga dapat menjaga kelestarian kawasan ini karena aktivitas berkemah pengunjung dapat merusak ekosistem dan juga estetika kawasan. Dengan larangan berkemah di kawasan ini permasalahan sampah dan masalah lainnya yang ada di Puncak Gunung Gede dapat teratasi. Hal ini dimaksudkan agar kualitas estetika dan ekologi kawasan ini dapat terjaga

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Evaluasi Lanskap

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Evaluasi Lanskap 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Evaluasi Lanskap Evaluasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menelaah atau menduga hal-hal yang sudah diputuskan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan suatu keputusan.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peraturan Pendakian

Lampiran 1. Peraturan Pendakian 93 Lampiran 1. Peraturan Pendakian 1. Semua pengunjung wajib membayar tiket masuk taman dan asuransi. Para wisatawan dapat membelinya di ke empat pintu masuk. Ijin khusus diberlakukan bagi pendaki gunung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO Oleh DIDIK YULIANTO A34202008 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTIT UT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI

PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Judul Nama NRP : Pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kebun Raya Objek Wisata

TINJAUAN PUSTAKA Kebun Raya Objek Wisata 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebun Raya Menurut LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Kebun Raya merupakan suatu kawasan yang mengkoleksi berbagai jenis tumbuhan. Tumbuhan yang dikoleksi kebun raya memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016).

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pariwisata saat ini semakin menjadi sorotan bagi masyarakat di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sektor pariwisata berpeluang menjadi andalan Indonesia untuk mendulang

Lebih terperinci

METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian Kebun Raya Cibodas

METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian Kebun Raya Cibodas 10 METODE Waktu dan Tempat penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Juli 2010. Penelitian dilakukan di Kebun Raya Cibodas, Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A34203015 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERENCANAAN

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI

KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN INDAH CAHYA IRIANTI. A44050251.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Gambar 12. Lokasi Penelitian

Gambar 12. Lokasi Penelitian III. METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di jalur wisata Puncak, terletak di Kabupaten Bogor. Jalur yang diamati adalah jalur pemasangan reklame yang berdasarkan data

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA

KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN ARSYAD KHRISNA A44052252. Kajian Pencahayaan

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A34204040 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

EVALUASI ASPEK FUNGSI DAN KUALITAS ESTETIKA TANAMAN LANSKAP KEBUN RAYA BOGOR (Kasus : Pohon dan Perdu) IPAH NAPISAH A

EVALUASI ASPEK FUNGSI DAN KUALITAS ESTETIKA TANAMAN LANSKAP KEBUN RAYA BOGOR (Kasus : Pohon dan Perdu) IPAH NAPISAH A EVALUASI ASPEK FUNGSI DAN KUALITAS ESTETIKA TANAMAN LANSKAP KEBUN RAYA BOGOR (Kasus : Pohon dan Perdu) IPAH NAPISAH A34204014 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK

II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Siti Nurul Rofiqo Irwan, SP., MAgr, PhD. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Tujuan: Memahami dasar pemikiran merencana

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA OLEH: MOCH SAEPULLOH A44052066 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap dan Lanskap Kota Lanskap adalah suatu bagian dari muka bumi dengan berbagai karakter lahan/tapak dan dengan segala sesuatu yang ada di atasnya baik bersifat alami maupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang,

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP JALUR PENCAPAIAN KAWASAN AGROWISATA PADA AGROPOLITAN CIPANAS, CIANJUR. Oleh : Annisa Budi Erawati A

PERENCANAAN LANSKAP JALUR PENCAPAIAN KAWASAN AGROWISATA PADA AGROPOLITAN CIPANAS, CIANJUR. Oleh : Annisa Budi Erawati A PERENCANAAN LANSKAP JALUR PENCAPAIAN KAWASAN AGROWISATA PADA AGROPOLITAN CIPANAS, CIANJUR Oleh : Annisa Budi Erawati A34201035 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR Oleh: Nadya Tanaya Ardianti A07400018 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada Agustus Oktober 2010, mencakup pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A

PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A34203058 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Dengan ini

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alami maupun buatan manusia, yang merupakan total dari bagian hidup manusia

II. TINJAUAN PUSTAKA. alami maupun buatan manusia, yang merupakan total dari bagian hidup manusia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap dan Lanskap Kota Lanskap merupakan suatu bagian dari muka bumi dengan berbagai karakter lahan/tapak dan dengan segala sesuatu yang ada di atasnya baik bersifat alami maupun

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA. Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A

PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA. Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A34201037 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung 51 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung Karakteristik, persepsi dan preferensi pengunjung didapat dari hasil survei lapang melalui kuisioner kepada 30 responden

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interpretasi 2.1.1 Definisi dan Tujuan Interpretasi Tilden (1957) menyatakan bahwa interpretasi merupakan kegiatan edukatif yang sasarannya mengungkapkan pertalian makna,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Keberadaan primata di seluruh dunia akhir-akhir ini sangat memprihatinkan akibat berkurangnya habitat mereka dan penangkapan liar untuk diperdagangkan. Degradasi dan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 55 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Ekologis Kawasan Gambut Karakter ekologis kawasan gambut Baning yang diperhatikan adalah kondisi fisik dan vegetasi dalam kawasan. Karakter ekologis terdiri dari ketebalan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 33 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Secara administrasi pemerintahan Kota Padang Panjang terletak di Provinsi Sumatera

Lebih terperinci