BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada perempuan. Diperkirakan jutaan perempuan di seluruh dunia terkena karsinoma payudara tiap tahunnya. Karsinoma ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting dan menjadi penyebab kematian terbanyak pada perempuan. Angka kematian dapat diturunkan apabila deteksi dini, diagnosis, dan penatalaksanaan karsinoma ini dilakukan secara tepat dan cepat. Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak kedua di dunia, dengan perkiraan 1,67 juta kasus karsinoma baru yang didiagnosis pada tahun (Globocan, 2012). Angka kejadian pada negara berkembang mencapai 6%, di mana angka kejadiannya mencapai dua kali lipat pada daerah lain (Muhammad et al., 2012). Sekitar kasus baru terdiagnosis dan sekitar pasien meninggal akibat karsinoma ini di Amerika Serikat setiap tahunnya. Sedangkan di Inggris sekitar kasus baru dan kematian terjadi setiap tahunnya (Tanwani and Majeed, 2009). Di Indonesia berdasarkan data dari Badan Registrasi Kanker Ikatan Dokter Ahli Patologi Indonesia (IAPI) pada tahun 2011, karsinoma payudara di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 28,99%. Sementara itu di Bali pada tahun 2011 merupakan kejadian karsinoma peringkat pertama sebesar 23,33% dari 1

2 2 keseluruhan karsinoma primer pada wanita, di mana terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2006 sebesar 21,45% (DitYanMed, 2006, 2011). Karsinoma payudara di dunia lebih sering terjadi pada wanita dengan usia yang lebih tua dengan puncak insiden pada usia tahun. Karsinoma payudara sangat jarang terjadi sebelum usia 25 tahun (Lester, 2015). Di Indonesia dan Bali, sebagian besar kasus karsinoma payudara terdiagnosis pada rentang usia tahun (DitYanMed, 2006, 2011). Perjalanan akhir dari karsinoma payudara ini tergantung dari gambaran biologis karsinoma yaitu tipe histologis atau molekular serta perluasan dan penyebaran karsinoma tersebut. Faktor prognosis dari karsinoma ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor prognosis yang berhubungan dengan perluasan karsinoma (stadium) dan yang berhubungan dengan biologis karsinoma. Faktor prognosis yang berhubungan dengan perluasan karsinoma adalah adanya ukuran tumor, invasi limfovaskular, metastasis kelenjar getah bening, dan metastasis jauh. Tipe histologis khusus, derajat histologis, tingkat proliferasi, reseptor estrogen, reseptor progesteron, reseptor HER-2, dan subtipe molekular merupakan faktor prognosis yang berhubungan dengan biologis karsinoma (Lester, 2015). Derajat histologis pada karsinoma invasif tipe tidak spesifik dinilai berdasarkan penggabungan skor penilaian tiga karakteristik yaitu formasi tubular (kelenjar), pleomorfia inti sel, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar. Penilaian derajat histologis ini mengacu pada Nottingham Grading System atau disebut juga Nottingham Combined Histologic Grade/Patey & Scarff and Bloom & Richardson modified by Elston & Ellis (Colditz dan Chia, 2012).

3 3 Pada dekade terakhir, penelitian tentang tumor microenvironment (TME) berkembang dengan pesat dan mulai turut dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prognosis (Scully et al., 2012). Tumor microenvironment terdiri dari sel stromal, sel sistem imun dan inflamasi, faktor pertumbuhan, pembuluh darah dan limfe, serta matriks ekstraseluler (ECM). Pada keadaan normal jaringan stroma memiliki kemampuan sebagai pertahanan terhadap keganasan melalui mekanisme supresi respon imun dan menekan proses karsinogenesis. Akan tetapi sel karsinoma dapat merubah dan memodulasi lingkungan mikro di sekitar tumor untuk mendukung pertumbuhan dan sifat progresivitas tumor (Li et al., 2007; Rohan et al., 2014). Sel-sel epitelial dapat juga berkonversi menjadi sel-sel mesenkimal melalui proses yang dikenal sebagai epithelial-mesenchymal transition (EMT). Hal ini akan meningkatkan kapasitas migrasinya (Lee and Nelson, 2012). Perubahan karakteristik morfologi sel pada EMT berhubungan dengan beberapa perubahan ekspresi molekul. Molekul ini sering digunakan sebagai penanda untuk mendeteksi EMT. Salah satunya adalah peningkatan ekspresi protein matrix metalloproteinases yaitu MMP-2, MMP-3, dan MMP-9 (Lee dan Nelson, 2012). Matriks metalloproteinase merupakan suatu kelompok endopeptidase yang tergantung pada zinc dan terlibat dalam degradasi matriks ekstraselular baik pada proses fisiologis maupun patologis. Pada keadaan fisiologis MMP ini membantu proses morfogenesis, angiogenesis, dan perbaikan jaringan. Sementara pada

4 4 proses patologis, MMP terlibat pada terjadinya sirosis, artritis, dan kanker (Farina and Mackay, 2014). MMP-9 atau gelatinase B lebih banyak mendapat perhatian oleh karena aktivitas dan regulasinya lebih kompleks dibandingkan semua kelompok MMP yang lain (Loffek et al., 2011). Pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik MMP-9 mengalami regulasi melalui interaksi antara sel tumor dengan lingkungan mikro di sekitarnya, yaitu sel stroma, sel endotel, dan sel radang. Sudah sangat diakui peranan sel radang seperti makrofag, neutrofil, sel mast sel dendritik, dan sel T pada inisiasi dan progresi tumor. Sel tumor ini mampu menghasilkan faktor-faktor proinflamasi dan MMP berperan pada progresivitas tumor (Deryugina dan Quigley, 2006). Matriks metalloproteinase-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik terlibat pada semua tahap progresivitas sel kanker mulai dari proliferasi, angiogenesis, apoptosis, epithelial-mesenchymal transition (EMT), dan metastasis. Proses metastasis dimudahkan oleh kemampuan sel tumor untuk berubah dari bentuk sel epitel yang tidak mampu bergerak menjadi sel mesenkimal yang mampu bergerak (Farina dan Mackay, 2014). MMP-9 ini dikatakan berpartisipasi dalam invasi tumor dan metastasis dengan menurunkan matriks ekstraselular pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik (Mahmood et al., 2015) (Benson et al., 2013). Beberapa penelitian yang menghubungkan ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara sudah pernah dilakukan. Pada penelitian yang

5 5 dilakukan oleh Irianiwati et al. terhadap 50 kasus karsinoma payudara, dilakukan pulasan MMP-9 untuk menilai perburukan derajat histologisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi MMP-9 berbeda bermakna pada derajat tinggi dibandingkan derajat rendah (Irianiwati et al, 2012). Penelitian oleh Yousef et al. ekspresi tinggi MMP-9 ditemukan pada karsinoma payudara dengan derajat keganasan yang tinggi. Sedangkan pada jaringan payudara normal tidak ditemukan adanya ekspresi dari MMP-9 (Yousef et al., 2014). Penelitian oleh Mahmood dan kawan-kawan di Irak menghubungkan antara ekspresi MMP-2 dan MMP-9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada karsinoma payudara stadium II dan III. Didapatkan korelasi yang signifikan antara ekspresi MMP-9 dengan beberapa variabel klinikopatologis, yaitu: stadium tumor, derajat histologis, tipe histologis, dan status metastasis limfonodi (Mahmood et al., 2015). Vasaturo et al. di Italia melakukan penelitian ekspresi MMP-2 dan MMP-9 pada pasien karsinoma payudara. Dengan hasil penelitian menunjukkan tampak perbedaan yang bermakna pada pasien-pasien karsinoma payudara bila ditinjau dari sudut pandang variabel derajat histologis (Vasaturo et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Benson et al. di India terhadap 39 sampel kanker payudara dan 16 jaringan payudara yang normal, menunjukkan adanya peningkatan MMP-9 secara berbeda pada jaringan kanker payudara (Benson et al., 2013).

6 6 Di Finlandia ekspresi MMP-2 dan MMP-9 dianalisis oleh Pellikainen et al. secara imunohistokimia dalam prospektif seri besar dari 421 pasien kanker payudara. MMP-9 terekspresi dalam sitoplasma sel-sel ganas dan stroma. Ekspresi tinggi MMP-9 dalam sel karsinoma terkait stadium tumor, sedangkan ekspresi positif pada stroma dikaitkan dengan faktor-faktor agresif. Evaluasi ekspresi MMP-9 juga memberikan informasi tentang prognosis kanker payudara (Pellikainen et al., 2014). Hasil kontradiktif didapatkan oleh Wu dan kawan-kawan melalui penelitiannya di Cina berusaha mencari signifikansi antara ekspresi MMP-9 dengan berbagai variabel klinikopatologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara ekspresi MMP-9 dengan semua variabel penelitian yang dievaluasi termasuk derajat histologis (Wu et al., 2014). Meskipun penelitian yang menghubungkan ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara sudah pernah dilakukan akan tetapi masih terdapat hasil yang kontradiktif. Di samping itu, penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh antara ekspresi MMP-9 dengan karakteristik derajat histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik sampai saat ini belum pernah dilakukan di Bali, sehingga sangat menarik untuk dilakukan penelitian tersebut agar dapat memahami keterlibatan MMP-9 pada progresivitas karsinoma tersebut. Pada penelitian ini dilakukan pulasan imunohistokimia MMP-9 untuk melihat apakah ada hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik.

7 7 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas yaitu masih ditemukannya ketidaksesuaian pendapat di antara para peneliti mengenai hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Apakah terdapat hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik? 2. Apakah ekspresi MMP-9 mempengaruhi faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik? 1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Membuktikan adanya hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. 2. Membuktikan bahwa ekspresi MMP-9 mempengaruhi faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan. 1.4.Manfaat Penelitian Manfaat Akademik 1. Memberikan informasi data molekular tentang ekspresi MMP-9 yang dihubungkan dengan derajat histologis karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik.

8 8 2. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai ekspresi MMP-9 yang dapat mempengaruhi faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan, serta pengetahuan yang mendukung MMP-9 dan derajat histologis sebagai faktor prognostik dalam diagnosis karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik Manfaat Praktis Memberikan informasi tambahan kepada klinisi bahwa ekspresi MMP-9 yang tinggi berkaitan dengan derajat histologis yang lebih tinggi pula dan memiliki prognosis yang lebih buruk, sehingga penanganan karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dapat dilakukan lebih baik.

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Payudara Klasifikasi Karsinoma Payudara Karsinoma payudara merupakan kelompok lesi yang heterogen. Pada tahap pertumbuhannya dibagi menjadi karsinoma in situ dan karsinoma invasif. Karsinoma duktal dan lobular merupakan tumor yang paling sering didapat meliputi 70-80% dari keseluruhan karsinoma invasif pada payudara (Ellis et al., 2012). Karsinoma insitu merupakan proliferasi sel-sel neoplastik yang belum menembus membran basal duktus maupun lobulus, sedangkan apabila sel-sel neoplastik tersebut telah menembus membran basal dan menginfiltrasi stroma disebut sebagai karsinoma invasif. Sel-sel tersebut kemudian mampu menginvasi pembuluh limfe maupun pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan metastasis pada kelenjar getah bening maupun dapat bermetastasis jauh (Lester, 2010). Berikut ini adalah klasifikasi karsinoma payudara invasif menurut klasifikasi World Health Organization (WHO) (Ellis et al., 2012): 1. Invasive carcinoma of no special type (NST) 2. Invasive lobular carcinoma 3. Tubular carcinoma 4. Cribriform carcinoma 5. Mucinous carcinoma 6. Carcinoma with medullary features 9

10 7. Metaplastic carcinoma 8. Carcinoma with apocrine differentiation 9. Salivary gland / skin adnexal type tumours 10. Adenoid cystic carcinoma 11. Mucoepidermoid carcinoma 12. Polymorphous carcinoma 13. Carcinoma with signet-ring cell differentiation 14. Carcinoma with neuroendocrine features 15. Invasive papillary carcinoma 16. Invasive micropapillary carcinoma 17. Inflammatory carcinoma Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik yang sebelumnya disebut juga karsinoma duktal invasif tipe tidak spesifik adalah keganasan yang terjadi pada sel-sel epitel duktuli payudara, terutama sel-sel dari terminal duct lobular unit (TDLU) yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor ini tidak membentuk suatu pola tipe histologis tertentu (Ellis et al., 2012). Diklasifikasikan sebagai karsinoma invasif tipe tidak spesifik apabila komponen gambaran tidak spesifiknya lebih dari 50% massa tumor dengan pemeriksaan dari potongan yang representatif. Jika gambaran tidak spesifik kurang dari 50% atau sekitar 10% - 49% dari massa tumor dan sisanya adalah tipe spesifik maka disebut kelompok campuran yaitu campuran karsinoma invasif tipe tidak spesifik dan tipe spesifik (Ellis et al., 2012). 10

11 Epidemiologi Karsinoma Payudara Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak kedua di dunia, dengan perkiraan 1,67 juta kasus karsinoma baru yang didiagnosis pada tahun 2012 (25% dari semua jenis karsinoma) (Globocan, 2012). Di mana merupakan keganasan yang paling sering dan penyebab kematian terbanyak pada wanita baik di negara maju maupun negara berkembang. Angka kejadian pada negara berkembang mencapai 6%, di mana angka kejadiannya mencapai dua kali lipat pada daerah lain (Muhammad et al., 2012). Setiap tahun di Amerika Serikat sekitar kasus baru terdiagnosis dan sekitar pasien meninggal akibat karsinoma ini. Sedangkan di Inggris sekitar kasus baru dan kematian terjadi setiap tahunnya (Tanwani and Majeed, 2009). Di Indonesia berdasarkan data dari Badan Registrasi Kanker Ikatan Dokter Ahli Patologi Indonesia (IAPI) pada tahun 2006 karsinoma payudara menempati peringkat kedua dari seluruh kasus karsinoma sebesar 22,8%. Karsinoma payudara merupakan karsinoma ke-2 tersering pada wanita setelah karsinoma leher rahim. Pada tahun 2011, karsinoma payudara di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 28,99%. Sementara itu di Bali pada tahun 2006, karsinoma payudara merupakan karsinoma kedua yaitu sebesar 21,45%. Pada tahun 2011 kejadian karsinoma payudara di Bali menempati peringkat pertama sebesar 23,33% dari keseluruhan karsinoma primer pada wanita (DitYanMed, 2006, 2011). Karsinoma payudara lebih sering terjadi pada wanita dengan usia yang lebih tua dengan puncak insiden pada usia tahun. Usia rata-rata saat diagnosis

12 12 adalah 61 tahun pada wanita kulit putih, 56 tahun pada Hispanik, dan 46 tahun pada wanita Afrika-Amerika. Karsinoma payudara sangat jarang terjadi sebelum usia 25 tahun (Lester et al., 2015). Di Indonesia dan Bali, sebagian besar kasus karsinoma payudara terdiagnosis pada rentang usia tahun (DitYanMed, 2006; DitYanMed, 2011) Derajat Histologis Karsinoma Payudara Diagnosis pada karsinoma payudara berdasarkan tipe histologis saja tidak cukup untuk menentukan terapi akhir. Oleh karena itu, dibuatlah sistem derajat histologis, oleh karena baik dalam menentukan diagnostik dan terapeutik. Karsinoma payudara dengan derajat histologis baik umumnya memiliki prognosis yang baik, sedangkan tumor-tumor derajat histologis buruk akan berkembang cepat dan memiliki prognosis yang kurang baik. Derajat histologis karsinoma payudara ini dinilai berdasarkan sistem Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff- Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham Grading System. Sistem ini menilai karsinoma payudara berdasarkan tiga karakteristik tumor yaitu formasi tubular (kelenjar), pleomorfisme inti sel, dan hitung mitosis. Sistem ini menggunakan skor 1 sampai skor 3 yang dinilai secara individual pada tiap faktor (Tabel 2.1) (Ellis et al., 2012). Formasi tubular dinilai dari jumlah persentase struktur gambaran glanduler atau kelenjar yang jelas menunjukkan adanya lumen di tengahnya. (Ellis et al., 2012). Seluruh bagian tumor ditinjau dengan lapangan pandang kecil. Ambang

13 13 batas yang dipakai adalah 10% dan 75%. Skor 1 apabila mayoritas tumor memiliki struktur tubular dan kelenjar sebanyak > 75%, skor 2 bila tumor mengandung struktur tubular dan kelenjar sebanyak 10-75%, sedangkan skor 3 bila tumor mengandung struktur tubular sebanyak < 10% disajikan dalam gambar 2.1 (Anonim, 2005; Hoda et al., 2014). Gambar 2.1 Gambaran derajat histologis dari karsinoma payudara invasif. A. Derajat histologis rendah dengan bentukan kelenjar yang terbentuk dengan baik. B. Derajat histologis sedang dengan pola pertumbuhan kelenjar yang kompleks. C.Derajat histologis buruk dengan pola pertumbuhan solid, arsitektur nonglanduler. (Hoda et al., 2014). Pleomorfisme inti sel dinilai dari regularitas ukuran inti dan bentuk sel epitel, dimana peningkatan iregularitas membran inti dan rasio inti/sitoplasma menjadi tanda bertambahnya skor pleomorfisme inti sel (Ellis et al., 2012). Dimulai dari nilai skor 1 sampai 3. Skor 1 bila inti hampir serupa ukurannya (<1,5 kali dari sel-

14 14 sel epitelial payudara normal), batasnya regular, kromatin inti uniform, beberapa kasar, sedikit variasi bentuk dan ukurannya (pleomorfia inti yang minimal), dan anak inti tidak tampak jelas. Dikatakan skor 2 apabila sel lebih besar daripada sel normal, inti membesar (1,5-2 kali ukuran inti sel-sel epitelial normal) terdapat variasi yang sedang dalam ukuran dan bentuknya (pleomorfia inti ringan sampai sedang), inti open vesikular, dan anak inti terlihat namun kecil dan tidak nyata. Dan skor 3 bila inti semakin membesar (>2 kali ukuran inti sel epitel normal), ukuran dan bentuknya sangat bervariasi (pleomorfia inti berat), biasanya dengan bentuk bizarre dan sangat besar, kromatin inti vesikular, sering dengan anak inti yang sangat jelas terlihat disajikan dalam gambar 2.2 (Anonim, 2005; Hoda et al., 2014). Gambar 2.2 Gambaran inti dari karsinoma payudara invasif. A. Derajat rendah dengan inti kecil. B. Derajat sedang. C. Derajat tinggi dengan pleomorfik inti yang memiliki nukleolus yang prominen. (Hoda et al., 2014).

15 15 Hitung mitosis dilakukan dimulai dari bagian tepi tumor dan bila terdapat heterogenesitas maka daerah yang dihitung adalah yang paling banyak mengandung mitosis (Ellis et al., 2012). Penghitungan mitosis dinilai dengan menghitung jumlah mitosis per 10 lapang pandang besar mikroskop atau High Power Field (HPF) dengan pembesaran 400x. Cut-off point untuk skor mitosis tergantung dari besarnya area lapang pandang objektif masing-masing mikroskop, sehingga perlu mengkalibrasi mikroskop dengan ukuran diameter dari lapang pandang besar (objektif 40x) disajikan dalam gambar 2.3 (Colditz and Chia, 2012). Gambar 2.3 Hitung skor mitosis berdasarkan luas lapang pandang besar mikroskop (Colditz and Chia, 2012).

16 16 Skor dari ketiga penilaian tersebut dijumlahkan menghasilkan total skor dengan rentang 3-9, kemudian dikatakan derajat histologis 1 atau baik bila skor yang didapat adalah 3-5, derajat histologis 2 atau sedang bila total skor yang didapat adalah 6-7 sedangkan derajat histologis 3 atau buruk bila total skor yang didapat 8-9 (disajikan dalam tabel 2.1 dan gambar 2.4) (Lester et al., 2015; Colditz and Chia, 2012; Hoda et al., 2014). Tabel 2.1 Metode semi-kuantitatif penilaian derajat histologis karsinoma payudara invasif (Ellis et al., 2012). Gambaran Bentukan tubular dan kelenjar Pada mayoritas tumor (> 75%) Derajat sedang (10-75%) Sedikit atau tidak ada (<10%) Pleomorfia inti Sel-sel uniform, kecil, pleomorfia inti ringan Peningkatan sedang dalam bentuk dan ukuran (pleomorfia sedang) Bentuk sangat bervariasi (pleomorfia berat) Hitung mitosis Tergantung dari luas lapang pandang besar mikroskop Derajat akhir Dijumlah semua skor dari bentukan kelenjar, pleomorfia inti sel, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar Derajat histologis I : total skor 3 5 Derajat histologis II : total skor 6 7 Derajat histologis III : total skor 8 9 Skor Lihat nilai pada gambar 2.3

17 17 Gambar 2.4 Derajat histologis karsinoma payudara invasif Modified Bloom- Richardson Histologic Grading (Hoda et al., 2014). Gambar 2.5 Gambaran karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III (Lester, 2010)

18 Stadium Karsinoma Payudara Sistem stadium karsinoma payudara yang dipergunakan adalah sistem TNM dari American Joint Committee on Cancer (AJCC) berdasarkan evaluasi terhadap tumor (T), keterlibatan kelenjar getah bening (N), dan metastasis jauh (M) (Ellis et al.,2012). Kategori T, N, dan M dikombinasikan untuk membuat 5 stadium yaitu stadium 0, I, II, III, dan IV yang memberikan informasi tentang keadaan penyakit ( ukuran tumor, invasi kulit atau dinding dada, dan keterlibatan kelenjar getah bening) serta metastasis jauh. Gambaran ini digunakan untuk mengklasifikasikan penderita karsinoma payudara kedalam kelompok prognosis demi kepentingan pengobatan, konseling, dan uji klinis (Ellis et al.,2012; Moelans and Diest, 2012). Stadium karsinoma payudara berdasarkan AJCC yaitu : Stadium 0 : Ductal carcinoma in situ (DCIS) atau Lobular carcinoma in situ (LCIS); harapan hidup 5 tahun adalah 93%. Stadium I : Karsinoma invasif dengan ukuran 2 cm atau kurang tanpa terkenanya kelenjar getah bening dan tanpa metastasis jauh; harapan hidup 5 tahun adalah 88%. Stadium II : Karsinoma invasif dengan ukuran 5 cm atau kurang disertai metastasis ke kelenjar getah bening aksila yang tidak terfiksasi dan tanpa metastasis jauh atau karsinoma invasif dengan ukuran lebih dari 5 cm tanpa metastasis ke kelenjar getah bening atau tanpa metastasis jauh; harapan hidup 5 tahun adalah 74-81%.

19 19 Stadium III : Karsinoma invasif dengan ukuran lebih dari 5 cm dengan metastasis ke kelenjar getah bening atau karsinoma invasif ukuran berapapun dengan metastasis ke kelenjar getah bening yang terfiksir; atau karsinoma yang menginvasi dinding dada, kulit, edema, serta beradang, jika tidak ditemukan metastasis jauh; harapan hidup 5 tahun adalah 41-67%. Stadium IV : Karsinoma invasif ukuran berapapun dengan metastasis ke tempat jauh (termasuk kelenjar getah bening supraklavikula ipsilateral); harapan hidup 5 tahun adalah 15% (Moelans and Diest, 2013) Karsinogenesis Penyebab karsinoma payudara berhubungan erat dengan faktor genetik dan pengaruh hormonal (Lester et al., 2015). Pada literatur lain dikatakan faktor diet, faktor hormonal dan reproduksi, serta faktor terpapar radiasi juga ikut berpengaruh (Colditz and Chia, 2012). Sebagian besar perubahan genetik berperan dalam pertumbuhan karsinoma payudara di mana riwayat keluarga dengan karsinoma payudara akan lebih berisiko. Faktor hormonal dan reproduksi yang mempengaruhi antara lain meliputi usia pertama kali menstruasi, nulliparitas, usia saat kelahiran anak pertama, tidak menyusui, usia menopause, dan penggunaan kontrasepsi oral. Sedangkan faktor diet berupa peningkatan berat badan pada wanita postmenopause, westernized diet, kurangnya olahraga, kurangnya asupan buah dan sayuran, merokok serta alkohol (Colditz and Chia, 2012).

20 20 Adanya mutasi gen BRCA 1 pada kromosom 17q21.3 dan mutasi gen BRCA 2 pada kromosom 13q12-13 pada beberapa kasus menunjukkan bahwa mutasi ini sangat berpengaruh. Kedua gen ini berperan dalam repair DNA sebagai gen supresor karena inaktif atau defek keduanya germ line mutation dan somatic mutation. Mutasi yang mempengaruhi proto-onkogen dan gen penekan tumor di epitel payudara ikut serta dalam proses transformasi onkogenik. Di antara berbagai mutasi tersebut ekspresi berlebihan proto-onkogen ERBB2 atau HER- 2/neu mengalami amplifikasi pada 30% kanker payudara. Ketidakseimbangan hormon sangat berperan terhadap pertumbuhan karsinoma payudara. Banyak faktor risiko yang telah disebutkan nuliparitas, usia subur yang lama, usia lanjut saat memiliki anak pertama menunjukkan peranan kadar estrogen terhadap risiko karsinoma payudara. Reseptor estrogen dan progesteron secara normal terdapat di epitel payudara berinteraksi dengan promotor pertumbuhan yang dikeluarkan oleh sel kanker payudara untuk menciptakan mekanisme autokrin perkembangan tumor (Lester et al., 2015). Beberapa gen yang terlibat dalam karsinogenesis payudara adalah gen penekan tumor yaitu BRCA1, BRCA2, dan gen P53 serta onkogen yang terdiri dari gen HER2, gen apoptosis, gen reseptor steroid (Estrogen Receptor dan Progesteron Receptor), gen adhesi sel dan invasif, serta gen angiogenesis. Apoptosis diperlukan untuk menghancurkan sel-sel dengan kerusakan DNA atau sel-sel yang telah menjadi sel kanker. Beberapa onkogen seperti Bax dan Bcl2, c- myc dan P53 terlibat dalam pengaturan sinyal proapoptosis dan anti apoptosis yang dikontrol oleh beberapa gen. Bcl2 mengatur pelepasan protein mitokondria

21 21 seperti sitokrom. Sitokrom c berikatan dengan faktor lainnya untuk membentuk kompleks aktivasi disebut apoptosom. Apoptosom yang aktif akan mengaktifkan caspase yang akhirnya akan menyebabkan apoptosis. Hormon-hormon steroid juga dikenal dapat menyebabkan up-regulation atau down-regulation apoptosis dengan jalan mengontrol kematian sel yang dimediasi P53 (Boder, 2013). Perubahan genetik dan epigenetik yang diperlukan untuk karsinogenesis menimbulkan perubahan morfologi yang dikenali sebagai lesi payudara, yang berhubungan dengan meningkatnya risiko perkembangan kanker. Perubahan awal tersebut adalah perubahan proliferatif, yang berasal dari hilangnya sinyal menghambat pertumbuhan, menyimpangan kenaikan sinyal pro-pertumbuhan, atau penurunan apoptosis. Selama perkembangan tumor, klonal ganas menjadi abadi dan memperoleh kemampuan pembentukan neo-angiogenesis. Gambaran morfologi dan biologis karsinoma biasanya terbentuk pada tahap insitu, karena di sebagian besar kasus lesi insitu mirip karsinoma invasif yang menyertai. Langkah akhir dari karsinogenesis adalah perubahan lesi insitu menjadi karsinoma invasif (Lester et al., 2015). Berdasarkan jalur molekular terdapat tiga jalur utama dalam perkembangan kanker payudara (Gambar 2.6). Jalur yang terbanyak adalah terjadinya karsinoma ER positif, HER2 negatif. Terjadi pada penderita dengan mutasi germline BRCA2. Jalur ini berhubungan dengan delesi kromosom 16q dan penambahan kromosom 1q serta aktivasi mutasi PIK3CA. Lesi prekursor yang sering ditemukan adalah flat epithelial atypia dan atypical hyperplasia. Jalur kedua yaitu karsinoma HER2 positif. Ditemukan pada penderita dengan mutasi germline TP53

22 22 dan terjadi amplifikasi gen HER2. Lesi prekursor yang ditemukan adalah atypical apocrine adenosis. Jalur yang paling jarang adalah karsinoma ER dan HER2 negatif. Pada karsinoma ini lesi prekursor tidak jelas, kemungkinan karena perkembangan lesi yang sangat cepat menjadi karsinoma. Sering ditemukan pada penderita dengan mutasi germline BRCA1, sedangkan pada tumor sporadic terjadi mutasi pada TP53 (Tamaki et al., 2013; Lester et al., 2015). Gambar 2.6 Jalur utama perkembangan kanker payudara (Lester, 2015). 2.2 Tumor microenvironment Solid tumor merupakan organ like structure terdiri atas sel tumor dan stromal. Pada dekade terakhir, penelitian tentang tumor microenvironment (TME) berkembang dengan pesat (Scully et al., 2012). Tumor microenvironment terdiri dari sel stromal, sel sistem imun dan inflamasi, faktor pertumbuhan, jaringan pembuluh darah dan limfe, serta matriks ekstraseluler (ECM). Pada keadaan normal jaringan stroma memiliki kemampuan sebagai pertahanan terhadap

23 23 keganasan melalui mekanisme supresi respon imun dan menekan proses karsinogenesis. Akan tetapi sel karsinoma dapat merubah dan memodulasi lingkungan mikro di sekitar tumor untuk mendukung pertumbuhan dan sifat progresivitas tumor melalui sekresi berbagai sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan serta enzim-enzim proteinase. Stroma akan menjadi reaktif terhadap stimulus dari sel-sel karsinoma (Li et al., 2007; Rohan et al., 2014). Sel-sel epitelial dapat juga berkonversi menjadi sel-sel mesenkimal melalui proses yang dikenal sebagai epithelial-mesenchymal transition (EMT). EMT dan proses sebaliknya, mesenchymal-epithelial transition (MET), meregulasi stadium awal pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Reaktivasi EMT pada masa lanjut dianggap sebagai upaya fisiologis untuk mengontrol inflamasi dan memulihkan jaringan yang rusak. EMT juga terlibat dalam proses patologis seperti fibrosis dan karsinoma. Perkembangan dan patologikal EMT dilambangkan oleh berbagai spektrum perubahan morfologi, ekspresi gen, dan jalur-jalur sinyal (Lee and Nelson, 2012) Sel Epitelial dan Mesenkimal Sel-sel epitelial dan mesenkimal dikarakteristikkan oleh keunikan fenotip dan morfologi masing-masing. Gambaran perbedaan antara keduanya disajikan dalam gambar 2.7. Sel epitelium yang tipikal adalah lembaran sel yang dihubungkan dengan kompleks junctional yang spesifik antar selnya, meliputi tight junctions, adherens junctions, desmosomes, dan gap junctions. Lembaran epitelial menunjukkan karakteristik terpolarisasi dengan pola apical-basal dan normalnya

24 24 berhubungan erat dengan sel tetangganya, sehingga menghambat potensi pergerakan dan disosiasinya dari lembaran sel (Lee and Nelson, 2012). Sebaliknya, sel-sel mesenkimal tidak membentuk lembaran sel yang reguler dan tidak memiliki kompleks adesi interseluler spesifik. Sel ini memiliki bentuk yang relatif elongated dibandingkan sel epitelial dan menunjukkan polaritas endto-end dan adesi fokal. Hal ini meningkatkan kapasitas migrasinya. Sel-sel mesenkimal bermigrasi dengan mudah di dalam jaringan secara individual ataupun bersama-sama membentuk untaian (Lee and Nelson, 2012). Gambar 2.7 Gambaran umum sel-sel epitelial dan mesenkimal (Lee and Nelson, 2012) Epithelial-Mesenchymal Transition (EMT) Epithelial-mesenchymal transition dideskripsikan sebagai perubahan cepat serial pada fenotip seluler. Selama EMT, sel-sel epitelial mengubah struktur perlekatan

25 25 sel dan polaritasnya sehingga menjadi terisolir, motil, dan resisten terhadap kematian sel. Istilah EMT sering diaplikasikan pada peristiwa-peristiwa biologis bagaikan sebuah proses yang terlindung, akan tetapi kenyataannya, proses yang berhubungan dengan EMT dapat bervariasi dalam intensitas mulai dari kehilangan polaritas sel yang tersamar sampai pemrograman ulang sel secara total (Klymkowsky and Savagner, 2009). Epithelial-mesenchymal transition dapat diklasifikasikan dalam tiga subtipe (Gambar 2.8). Tipe 1 EMT melibatkan transisi dari sel epitel primordial ke sel motil mesenkimal dan berhubungan dengan generasi bermacam-macam jenis sel selama perkembangan embrio dan organogenesis. Jenis ini tidak menyebabkan fibrosis atau menginduksi invasi, dan dalam banyak kasus, sel-sel mesenkimal yang dihasilkan kemudian menjalani MET yang selanjutnya menimbulkan epitel sekunder. Tipe 2 EMT melibatkan transisi dari sel epitel sekunder untuk jaringan fibroblas dan berhubungan dengan penyembuhan luka, regenerasi jaringan, dan fibrosis organ (Lee and Nelson, 2012). Berbeda dengan tipe 1, tipe 2 EMT diinduksi dalam menanggapi peradangan, tetapi berhenti setelah peradangan dilemahkan, terutama selama penyembuhan luka dan regenerasi jaringan. Selama jaringan fibrosis, tipe 2 EMT terus merespon peradangan secara persisten, yang mengakibatkan kerusakan jaringan (Lee and Nelson, 2012). Tipe 3 EMT terjadi pada sel-sel karsinoma yang telah terbentuk sebagai tumor padat dan berhubungan dengan transisi ke sel-sel tumor metastatik yang memiliki potensi untuk bermigrasi melalui aliran darah, dan dalam beberapa kasus

26 26 membentuk tumor sekunder di tempat lain melalui MET. Selama tipe 3 EMT, beberapa sel tetap mempertahankan sifat epitel sementara memperoleh karakteristik mesenkimal dan sel-sel lainnya melepaskan karakteristik epitelnya dan menjadi sepenuhnya mesenkimal (Lee and Nelson, 2012). Gambar 2.8 Berbagai jenis tipe EMT (Lee and Nelson, 2012). Konversi epitelial menjadi mesenkimal memerlukan perubahan dalam hal morfologi seluler, adesi, dan kapasitas migrasi. Berbagai marka biologis telah dikemukakan untuk mengenali ketiga subtipe EMT (Tabel 2.2). Spektrum perubahan yang terjadi selama EMT tidak selalu identik dan mungkin ditentukan oleh integasi sinyal-sinyal ekstraseluler (Lee and Nelson, 2012).

27 27 Tabel 2.2 Kriteria mayor untuk mendeteksi EMT, termasuk marka-marka yang sudah ditegakkan, fenotip ((Lee and Nelson, 2012). Marka Fenotip EMT - Berbentuk spindel, fenotip fibroblast-like - Peningkatan motilitas dan kapasitas migrasi - Peningkatan resistensi terhadap kematian sel dan apoptosis - Mempertahankan fenotip ini setelah stimuls dihentikan EMT Proteome Protein yang menurun selama EMT - E-cadherin, ZO-1, mucin1, cytokeratin, occludin, desmoplakin, collagen IV, laminin 1, MiR-200 family Protein yang meningkat selama EMT - Faktor transkripsi: Snail (Snai1/Snail1), Slug (Snai2/Snail2), ZEB1 (TCF8/δEF1), ZEB2 (SIP1), E47 (TCF3), E2-2 (TCF4, Twist1, FOXC2 - Matrix metalloproteinases: MMP2, MMP3, MMP9 - Protein permukaan sel: N-cadherin, OB-cadherin, α5β1 integrin, αvβ6 integrin, DDR2 - Marka cytoskeletal: vimentin, fibronectin, αsma, FSP1 - Faktor transkripsi yang bertranslokasi dalam inti: β-catenin, NF-ƙB, Smad 2/3 - mirna: mir 10b, mir-21x - HSP-47 Perubahan Minor - Filamen intermediate dan mikrofilamen yang banyak - Hilangnya kondensasi kromatin berhubungan dengan adanya multipel nukleoli - Granul lisosom yang berlimpah Sinyal-sinyal yang Memicu EMT - Faktor pertumbuhan dan sitokin: TGFβ, EGF, HGF, FGF - Komponen ECM melalui integrin - Protein Wnt, Notch - Hipoksia - ROS - Stres mekanik

28 Matriks Metalloproteinase (MMP) Struktur, Jenis, dan Fungsi Umum MMP Matriks metalloproteinase adalah kelompok endopeptidase yang tergantung pada zinc. Protein ini terlibat dalam degradasi matriks ekstraselular, serta berperan penting pada proses fisiologis maupun patologis. Pada keadaan fisiologis MMP membantu proses morfogenesis, angiogenesis, dan perbaikan jaringan. Sementara pada proses patologis, MMP terlibat pada terjadinya sirosis, arthritis dan karsinoma (Yabluchanskiy et al., 2013; Gong et al., 2014). Jerome Gross dan Charles Lapiere adalah orang yang pertama kali menemukan MMP pada metamorfosis ekor kecebong di tahun Triple helix kolagen didegradasi jika ekor kecebong ditempatkan pada matriks kolagen kecebong yang bermetamorfosis (Loffek et al., 2011; Ansari et al., 2013). Matriks metalloproteinase mengandung beberapa komponen dengan fungsi yang berbeda-beda berupa : 1) Pro-peptida yang berperan menjaga enzim dalam bentuk tidak aktif. Domain ini mengandung Cystein switch yakni residu cystein unik dan selalu terjaga, yang berinteraksi dengan zinc pada bagian aktif. Saat aktivasi enzim, bagian ini akan dipecah secara proteolitik oleh furin secara intraseluler atau MMP lainnya dan protease serin secara ekstraseluler. 2) Domain katalitik yang menjadi penanda struktural corak pengikat zinc. Ion Zn2+, diikat oleh tiga residu histidin membentuk area aktif. Area aktif ini berjalan secara horizontal melewati molekul sebagai celah dangkal dan berikatan dengan substrat.

29 29 3) Bagian penghubung (hinge region) merupakan sebuah jembatan lentur atau bagian penghubung yang terbuat dari 75 rantai asam amino berfungsi untuk menghubungkan domain katalitik dengan domain terminal-c. Bagian ini sangat penting untuk menjaga stabilitas enzim. 4) Domain terminal-c yang menyerupai hemopexin (hemopexin like - domain) merupakan domain yang rangkaiannya menyerupai protein serum hemopexin. Rantai polipeptida domain ini tersusun dalam empat lembaran β yang simetris. Permukaan datar yang disediakan oleh struktur ini dipercaya terlibat dalam interaksi antar protein dan merupakan penentu spesifisitas substrat, contohnya: TIMP berinteraksi pada area ini (Nagase et al., 2005; Ansari et al., 2013). Berdasarkan struktur tersebut, MMP diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu archetypal MMPs, matrilysins, gelatinases dan furin-activatable MMPs. Archetypal MMPs terbagi lagi menjadi tiga kelompok kecil sesuai dengan kandungan subsrat spesifiknya yaitu kolagenase, stromelysin, dan kelompok lainnya. Matrilysins merupakan kelompok MMP yang tidak memiliki hemopexin domain. Sementara gelatinases mengandung struktur fibronectin berulang di dalam catalytic domain-nya dimana MMP-2 (Gelatinase A) dan MMP-9 (Gelatinase B) termasuk didalamnya. Kelompok furin-activatable mengandung furin recognition motif termasuk diantaranya secreted, membrane type dan type II transmembrane (Nagase et al., 2005; Gong et al., 2014). Aktivitas MMP megalami regulasi ketat pada berbagai tingkat sebelum menjadi bentuk aktif. Regulasi ini terjadi baik pada tingkat mrna maupun

30 30 aktivasi protein melalui aktivator dan inhibitornya serta berbagai sel di lingkunagn sekitar tumor. Seperti misalnya MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik mengalami regulasi melalui interaksi antara sel tumor dengan lingkungan mikro di sekitarnya seperti sel stroma, sel endotel, makrofag, maupun sel radang neutrofil. Sudah sangat diakui peranan sel radang seperti makrofag, neutrofil, sel mast sel dendritik, dan sel T pada inisiasi dan progresi tumor. Sel tumor ini mampu menghasilkan faktor-faktor pro-inflamasi dan MMP berperan pada progresivitas tumor (Deryugina dan Quigley, 2006). Co-culture sel tumor dengan sel stroma secara in vitro mampu meningkatkan ekspresi pro-mmp-9 di sel tumor dan menekan regulasi inhibitornya (TIMPs) di sel stroma. Co-culture sel tumor dengan sel endotel juga mampu meningkatkan ekspresi MMP-9 serta meningkatkan kemampuan invasi sel tumor melalui peningkatan sekresi IL-6 oleh sel endotel. Sitokin dan faktor pertumbuhan yang dikeluarkan oleh sel tumor, endotel dan sel radang di lingkungan mikro tumor bersama-sama meregulasi ekspresi MMP-9, baik melalui jalur autokrin maupun parakrin (Gong et al., 2014). Fungsi fisiologis MMP tampak signifikan selama perkembangan embriogenik di mana MMP memegang peranan penting pada proses remodeling ECM yang merupakan bagian penting dalam pertumbuhan dan morfogenesis jaringan. Secara sistematis, beberapa fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal (Gambar 2.9), yaitu: 1) Membantu migrasi sel melalui degradasi molekul ECM 2) Mengubah perangai seluler dengan mengubah lingkungan mikro ECM

31 31 3) Membantu aktivitas molekul aktif secara biologis dengan pemecahan langsung, pelepasan dari simpanan, atau memodulasi aktivitas penghambatnya. Gambar 2.9 Fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal (Ansari et al., 2013). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketidakseimbangan antara aktivasi dan inhibisi mengarahkan MMP pada kondisi patologis seperti misalnya keganasan. Pada kondisi ini MMP dihasilkan langsung oleh sel tumor maupun sel fibroblast pada stroma dan sel makrofag melalui rangsangan sel tumor (Gialeli et al., 2010; Kumar et al., 2015). Selanjutnya MMP akan menyebabkan degradasi komponen ECM pada membran basalis dan jaringan ikat interstisial yang tersusun atas kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan. Proses metastasis suatu karsinoma

32 32 diawali oleh interaksi antara sel tumor dengan ECM. Pertama-tama sel tumor harus menembus membran basalis dibawahnya, kemudian melintasi jaringan ikat, dan secara cepat mencapai sirkulasi dengan cara menembus membran basalis pembuluh darah. Proses ini berulang lagi jika emboli sel tumor mengalami ekstravasasi ke tempat jauh. Invasi melalui ECM mengawali kaskade metastasis dan merupakan proses aktif yang melibatkan beberapa tahap, diantaranya perubahan interaksi sel tumor, degradasi ECM, perlekatan ke komponen ECM, dan migrasi sel tumor (Kumar et al., 2015). Tahap pertama proses invasi yaitu disosiasi sel terjadi karena kelainan molekul adhesi interseluler seperti E-cadherins yang menyebabkan perlekatan antar sel berkurang sehingga sel mudah terlepas dari tumor primer dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tahap kedua berupa proses degradasi lokal membran basalis dan jaringan ikat interstisial. Proses ini melibatkan enzim proteolitik seperti MMP yang dapat disekresikan langsung dari sel tumor atau dari induksi terhadap sel stroma seperti fibroblast dan sel inflamasi. Protease lain yang juga disekresikan yaitu cathepsin D dan urokinase plasminogen activator. Untuk mengatur invasi tumor, MMP bukan hanya mengubah komponen yang tidak larut pada membran basalis dan matriks interstisial, tetapi juga melepaskan growth factor yang disimpan ECM seperti misalnya VEGF (Deryugina and Quigley, 2006; Bouchet et al., 2014; Kumar et al., 2015) Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9) Matriks metalloproteinase-9 dikenal sebagai enzim metallo-multidomain yang mampu mendegradasi matriks ekstraselular selama proses invasi dan metastasis.

33 33 Secara struktural MMP-9 termasuk dalam kelompok gelatinase B dengan catalytic site tersusun atas domain pengikat logam yang dipisahkan dari active site oleh ulangan tiga fibronektin yang memfasilitasi degradasi substrat besar seperti elastin dan penghancuran kolagen (Gambar 2.10) (Patil and Kundu, 2006). Dalam regio ini, asam amino Asp309, Asn319, Asp232, Tyr320 dan Arg3076 penting untuk pengikat gelatin. Catalytic site tetap dipertahankan dalam bentuk tidak aktif oleh amino-terminal pro-peptide PRCGXPD, dengan koordinasi cysteine bersama katalitik Zn2+. Ujung terminal COOH dari MMP-9 mengandung domain hemopexin yang mengatur ikatan dengan substrat, berinteraksi dengan inhibitor dan membantu ikatan ke permukaan sel. Domain O-glycosylated sentral memberikan fleksibilitas molekuler, mengatur spesifisitas substrat MMP-9 invasi yang bergantung MMP-9, interaksi dengan TIMP dan lokalisasi permukaan sel. Domain ini membantu pergerakan MMP-9 sepanjang substrat makromolekuler dan melepaskan ikatan kolagen sebelum dipecahkan oleh enzim lainnya (Loffek et al., 2011; Farina and Mackay, 2014). Gambar 2.10 Struktur MMP-9 (Gelatinase B) (Loffek et al., 2011) Matriks metalloproteinase-9 dihasilkan baik oleh sel tumor maupun sel di sekitar lingkungan tumor seperti sel fibroblast di stroma, sel endotelial, sel

34 34 polimorfonuklear (PMN), keratinosit, makrofag dan beberapa sel epitel (Verma and Hansch, 2006; Loffek et al., 2011). Akibatnya aktivasi dan produksi MMP-9 atau gelatinase B sangat dipengaruhi oleh interaksi komponen tersebut di atas. Selain fungsinya dalam proses metastasis, MMP 9 juga memainkan peran penting pada proses fisiologis seperti penyembuhan luka. Inhibisi terhadap aktivitas enzimatik MMP-9 dilakukan oleh inhibitor protease sistemik α2-makroglobulin, anggota famili TIMP dan antagonis terhadap domain hemopexinnya sendiri (Vempati et al., 2007; Farina and Mackay, 2014; Gong et al, 2014). Mekanisme yang menyebabkan ketidakseimbangan antara MMP-9 dan TIMP terutama TIMP- 1 mengarahkan MMP-9 untuk terlibat dalam proses patologis tumor (Gialeli et al., 2010; Farina and Mackay, 2014). Saat ini diketahui MMP-9 bukan hanya memiliki kemampuan dalam mendegradasi kolagen tipe IV, komponen utama dari membran basalis epitel dan vaskuler; fibronektin dan gelatin yang memegang peranan penting dalam proses invasi dan metastasis, namun juga memiliki potensi pro-onkogenik antara lain transformasi neoplastik, inisiasi tumor dan instabilitas genetik. MMP-9 dapat menempati inti sel, meskipun memiliki sinyal lokalisasi inti klasik yang rendah dan aktivitas gelatinase inti menyatu dengan peningkatan fragmentasi DNA. Gelatinase inti ini mendegradasi matriks protein inti yaitu PARP (poly-adpribose-polymerase) dan menghindarkannya dari proses perbaikan DNA (Gialeli et al., 2010; Farina and Mackay, 2014). Matriks metalloproteinase-9 dan TIMP-1 terekspresi dalam jumlah besar di dalam berbagai tipe sel dan disekresikan dalam bentuk komplek pro-mmp-

35 35 9/TIMP-1. Lingkungan tumor yang mengandung sel tumor, stroma, dan elemen radang memberikan kontribusi dalam menjaga stabilitas kompleks tersebut. Infiltrasi neutrofil pada tumor menyebabkan keluarnya MMP-9 yang tidak terikat TIMP dan memfasilitasi perubahan sifat sel tumor (Gambar 2.11) (Gialeli et al., 2010; Farina and Mackay, 2014; Vandooren et al., 2013). Gambar 2.11 Peranan MMP-9 yang tidak terikat TIMP yang berasal dari sel radang PMN sel tumor dalam inisiasi tumor dan promosi instabilitas genetik. melalui degradasi ECM, pelepasan dan aktivasi kemokin, sitokin, dan growth factor (Farina and Mackay, 2014) Peranan MMP-9 yang berasal dari sel radang neutrofil juga tampak pada inisiasi adenoma intestinal. Ini dibuktikan oleh penurunan lesi adenoma sebanyak 40% pada heterozygous APC (APC-min) knockout mice yang mengalami defisiensi MMP-9. Pada tumor hepar MMP-9 dilaporkan menginisiasi sel tumor melalui pelepasan proteolitik dan aktivasi TGFβ dan VEGF. Sementara pada epitel payudara manusia, MMP-9 meningkatkan ekspresi onkoprotein HER2/Neu,

36 36 menghambat apoptosis, dan menyebabkan transformasi fenotip sel normal di mana ekspansi klonal sel ini merupakan langkah penting proses progresivitas tumor (Farina and Mackay, 2014). Stem cell niche merupakan lokasi spesifik dan unik yang mengatur jumlah, self-renewal dan pembelahan stem cell baik pada sel normal maupun sel tumor. Pada sel tumor stem cell niche ini mempengaruhi heterogenitas tumor, metastasis dan resistensi terapi yang diregulasi oleh kondisi-kondisi di dalam tumor dan didukung oleh stress yang berhubungan dengan tumor seperti misalnya hipoksia. MMP-9 dikatakan berimplikasi terhadap perubahan perilaku stem cell niche dan sumsum tulang. MMP-9 mendegradasi matriks ekstraselular stem cell niche sehingga menyebabkan aktivasi dan mobilisasi stem cell hemopoetik. Hal ini difasilitasi oleh perubahan bentuk stem cell terikat membran menjadi stem cell bebas yang mampu meningkatkan promosi c-kit terkait proliferasi sel. MMP-9 juga melepaskan stem cell prekursor sel endothelial dari sumsum tulang yang berkontribusi dalam angiogenesis. Interaksi antara stroma-derived factor (SDF)-1 dan reseptor kemokin CXCR4 penting dalam fungsi sel progenitor dan induksi ekspresi MMP-9 (Gong et al., 2014 ). Matriks metalloproteinase-9 juga dikenal sebagai gen penting yang berhubungan dengan proses transisi EMT dan sekaligus menjadi penyebab EMT (Gambar 2.12) (Gialeli et al., 2010). Ini merupakan proses perubahan sel epitel yang tidak dapat bergerak menjadi sel mesenkimal yang mampu bergerak. Proses ini penting pada pertumbuhan (tipe 1), penyembuhan luka normal atau fibrosis patologis (tipe 2) dan proses metastasis sel karsinoma (tipe 3). Sel EMT tipe 3

37 37 fundamental untuk progresi tumor menjadi metastasis, dan baik reaktivasinya dalam dehistologis sel karsinoma maupun aktivasi dalam stem cell, mampu menginduksi fenotip dan motilitas sel karsinoma menjadi invasif (Farina and Mackay, 2014). Gambar 2.12 Transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9 (Farina and Mackay, 2014) Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9 / Gelatinase) dan Peranannya pada Karsinoma Payudara Matriks metalloproteinase-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik terlibat pada semua tahap progresivitas sel kanker mulai dari proliferasi, angiogenesis, apoptosis, epithelial-mesenchymal transition (EMT), dan metastasis (Gong et al., 2014). Matriks metalloproteinase-9 ini juga mampu mendegradasi matriks ekstraselular dari stem cell niche yang mengakibatkan terjadinya

38 38 perubahan bentuk stem cell niche menjadi bentuk bebas, dan selanjutnya meningkatkan promosi c-kit yang terkait dengan proliferasi sel. Proses angiogenesis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dipicu melalui mobilisasi dan aktivasi mitogen angiogenik dari matriks penyimpanannya. Proses ini difasilitasi oleh MMP-9 yang tidak terikat TIMP-1 yang sekaligus mampu melepaskan faktor pertumbuhan FGF dan VEGF dari matriks. Proses metastasis dimudahkan oleh kemampuan sel tumor untuk berubah dari bentuk sel epitel yang tidak mampu bergerak menjadi sel mesenkimal yang mampu bergerak (EMT). Matriks metalloproteinase-9 dikatakan juga terlibat pada proses ini (Farina dan Mackay, 2014). Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk meneliti hubungan dan peranan MMP-9 pada karsinoma payudara. Pada penelitian yang dilakukan oleh Irianiwati et al. (2012) terhadap 50 kasus karsinoma payudara, dilakukan pulasan MMP-9 untuk menilai perburukan derajat histologisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi MMP-9 berbeda bermakna pada derajat tinggi dibandingkan derajat rendah, di mana ekspresi tinggi MMP-9 ditemukan pada karsinoma payudara derajat tinggi (Irianiwati et al., 2012). Penelitian serupa dilakukan oleh Yousef et al. terhadap 200 kasus karsinoma payudara yang dibagi menjadi tiga derajat histologis. Penghitungan ekspresi MMP-9 dilakukan secara semi kuantitatif berdasarkan presentase jumlah sel yang terpulas positif dengan intensitas pewarnaan. Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma sel epitel ganas maupun stroma (Gambar 2.12). Pada penelitian ini, sampel dibagi menjadi dua yaitu ekspresi

39 39 MMP-9 dengan tingkat rendah dan tingkat tinggi. Hasil dari penelitian ini didapatkan ekspresi MMP-9 tingkat tinggi pada karsinoma payudara derajat tinggi (Gambar 2.13) (Yousef et al., 2014). Gambar 2.13 Ekspresi MMP-9 pada jaringan payudara normal A. Pulasan positif lemah MMP-9 pada kelenjar payudara normal yang terpulas pada sel epitel luminal dan myoepitel. Sel stromal di sekitarnya tidak terpulas (pada 75% pasien) B. Pulasan positif lemah MMP-9 pada sitoplasma sel epitel luminal, myoepitel, dan sel stroma di antara asinus jaringan payudara normal (Yousef et al.,2014). Penelitian karsinoma payudara di negara Irak tahun 2015 yang dilakukan oleh Mahmood dan kawan-kawan, menghubungkan antara ekspresi MMP-2 dan MMP- 9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada karsinoma payudara stadium II dan III. Penelitian dilakukan dengan jumlah pasien sebanyak 64 orang. Hal ini serupa dengan metode penelitian-penelitian sebelumnya. Didapatkan korelasi yang signifikan antara ekspresi MMP-9 dengan beberapa variabel klinikopatologis, yaitu: stadium tumor, derajat histologis, tipe histologis, dan status metastasis limfonodi (Mahmood et al., 2015). Di Italia, penelitian ekspresi MMP-2 dan MMP-9 pada pasien-pasien dengan karsinoma payudara, dilakukan dengan mengambil level plasmadari MMP

40 40 tersebut. Jadi, penilaian tidak didasarkan pada pewarnaan IHK. Penelitian dilakukan terhadap 50 pasien karsinoma payudara dan 30 pasien fibroadenoma. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna ekspresi MMP- 9 plasma antara pasien-pasien dengan karsinoma dan fibroadenoma. Perbedaan yang bermakna ekspresi MMP-9 plasma didapatkan pada pasien-pasien karsinoma payudara bila ditinjau dari sudut pandang variabel derajat histologis (Vasaturo et al., 2012). Penelitian di India dengan 39 sampel kanker payudara dan 16 jaringan payudara yang normal menunjukkan adanya peningkatan MMP-9 secara berbeda pada jaringan kanker payudara dengan jaringan payudara yang normal. Dimana tampak peningkatan ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara (Benson et al., 2013). Di Finlandia ekspresi MMP-2 dan MMP-9 dianalisis secara imunohistokimia dalam prospektif seri besar dari 421 pasien kanker payudara. MMP-9 terekspresi dalam sitoplasma sel-sel ganas dan stroma. Ekspresi tinggi MMP dalam sel karsinoma terkait stadium tumor, sedangkan ekspresi positif pada stroma dikaitkan dengan faktor-faktor agresif. Evaluasi ekspresi MMP-9 menambahkan informasi tentang prognosis kanker payudara (Pellikainen et al., 2014). Hasil kontradiktif didapatkan oleh Wu dan kawan-kawan melalui penelitiannya di Cina pada tahun 2014, mereka berusaha mencari signifikansi antara ekspresi MMP-9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada 41 spesimen operasi mastektomi tanpa riwayat terapi sebelumnya (radioterapi dan kemoterapi). Kasus-kasus dievaluasi dengan variabel tipe histologis, derajat

41 41 histologis, metastasis limfonodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara ekspresi MMP-9 dengan semua variabel penelitian yang dievaluasi (Wu et al., 2014). Sebagai kesimpulan, data-data yang dikumpulkan mendukung hipotesis bahwa ekspresi MMP-9 berhubungan dengan derajat histologis. Namun tidak dijelaskan apakah ada perbedaan bermakna antara tiap variabel klinikopatologisnya.

42 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Progresivitas sel karsinoma erat kaitannya dengan kemampuan proliferasi, invasi, serta metastasis. Pada karsinoma payudara tipe tidak spesifik, progresivitas sel kanker secara histopatologis ditentukan berdasarkan sistem Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-Bloom-Richardson Grading System). Sistem ini menilai karsinoma payudara berdasarkan tiga karakteristik tumor yaitu formasi tubular (kelenjar), pleomorfisme inti sel, dan jumlah mitosis. Diagnosis pada karsinoma payudara berdasarkan tipe histologis saja tidak cukup untuk menentukan terapi akhir dan memprediksi prognosis pasien. Oleh karena itu, dibuatlah dengan sistem derajat histologis. Karsinoma payudara dengan histologis baik umumnya memiliki prognosis yang baik, sedangkan tumor-tumor derajat histologis buruk akan berkembang cepat dan memiliki prognosis yang kurang baik. Proses invasi serta metastasis melibatkan beberapa tahap salah satunya adalah degradasi komponen matriks ekstraselular (ECM). Proses ini melibatkan suatu protease utama yaitu matriks metalloproteinase (MMP), salah satunya adalah MMP-9. Secara struktural MMP-9 termasuk dalam kelompok gelatinase B dengan catalytic site tersusun atas domain pengikat logam yang dipisahkan dari active site oleh ulangan tiga fibronektin yang memfasilitasi degradasi kolagen tipe IV. 42

43 43 Matriks metalloproteinase-9 dihasilkan baik oleh sel tumor maupun sel di sekitar lingkungan tumor seperti sel fibroblas di stroma, sel endotel pembuluh darah, sel polimorfonuklear, keratinosit, makrofag, dan beberapa sel epitel sehingga aktivasi dan produksinya sangat dipengaruhi oleh interaksi komponen tersebut. Faktor pertumbuhan dan sitokin yang disekresikan oleh sel tumor, stroma, dan sel radang di lingkungan mikro tumor bersama-sama dapat meningkatkan ekspresi MMP-9 melalui jalur autokrin dan parakrin. Selanjutnya MMP-9 yang berasal dari neutrofil meregulasi penarikan perisit, apoptosis, pengambilan dan mobilisasi sumsum tulang yang mengandung prekursor angiogenik ke stroma tumor sehingga meningkatkan proses angiogenik dan vaskulargenik. Pada saat proses angiogenik oleh sel tumor terjadi, MMP-9 juga memicu tombol angiogenik melalui mobilisasi dan aktivasi mitogen angiogenik dari matriks penyimpanannya. Selain itu MMP-9 mampu melepaskan faktor pertumbuhan FGF dan VEGF, urokinase plasminogen activator (upa), serpin protease nexin-1 (PN-1) yang penting pada proses invasi dan angiogenesis. Progresi tumor primer hingga menjadi tumor metastasis merupakan suatu proses yang kompleks. MMP-9 memegang peranan penting pada hampir setiap tahap proses progresivitas tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai penanda penting progresivitas karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. Ekspresi MMP-9 diduga berkaitan dengan derajat karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik berdasarkan sistem Nottingham Grading System yang ditelusuri pada penelitian ini.

44 Konsep Penelitian Bertolak dari kerangka berpikir di atas, maka dibuat konsep penelitian : Karsinoma Payudara Invasif Tipe Tidak Spesifik Derajat Histologis I Derajat Histologis II Derajat Histologis III Skor Formasi Tubular Skor Pleomorfia Inti Skor Hitung Mitosis per 10 lapang pandang MMP-9 Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian Keterangan: : Variabel yang diteliti 3.3 Hipotesis Penelitian 1. Terdapat hubungan antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. 2. Terdapat pengaruh ekspresi MMP-9 dalam menentukan faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan.

45 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan rancangan potong lintang (cross-sectional analytic study). Bagan rancangan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1. Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dari 31 Agustus November Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah gambaran mikroskopis dari bahan biopsi dan operasi mastektomi penderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa secara histopatologi di Bagian/SMF 45

46 46 Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan mikroskopis dari bahan biopsi dan operasi mastektomi penderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa imunohistokimia MMP-9 di Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 4.4 Penentuan Sumber Data Populasi Populasi target Populasi penelitian ini adalah semua sediaan blok parafin dari penderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi dan operasi mastektomi di Bali Populasi terjangkau Populasi penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari penderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi dan operasi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Sampel Penelitian Sampel penelitian ini adalah sediaan blok parafin penderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi dan operasi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK

47 47 UNUD/RSUP Denpasar dari tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Juli 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Kriteria Inklusi 1. Sediaan blok parafin yang berasal dari bahan biopsi atau operasi payudara yang mengandung cukup jaringan tumor karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dan memenuhi kriteria karakteristik bentukan tubular, pleomorfia inti, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar mikroskop. 2. Sediaan blok parafin yang berasal dari bahan biopsi atau operasi karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik yang belum mendapat radioterapi, kemoterapi, dan terapi hormonal Kriteria Eksklusi 1. Sediaan dari sisa frozen section karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. 2. Sediaan yang mengandung infiltrasi padat sel radang PMN neutrofil dan makrofag. 3. Sediaan dari bahan biopsi dengan ukuran yang tidak mencukupi untuk menentukan derajat histologisnya. 4. Blok parafin yang berjamur.

48 Besar Sampel Pada penelitian ini besar sampel dihitung dengan rumus (Araoye, 2003): n = Z α 2 PQ d 2 Keterangan: n P = besar sampel = prevalensi karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik pada penelitian terdahulu Q = 1-P d = deviasi di populasi (15%) α = tingkat kemaknaan 95% (Zα = 1,96) Jumlah sampel (n) dihitung dengan rumus di atas. Di mana Zα 2 yaitu 1,96 x 1,96 dikalikan dengan P sebesar 0,545, kemudian dikalikan oleh Q yaitu 1-P = 0,455. Lalu dibagi dengan d 2 yaitu 0,0225. Dan didapatkan hasil yang paling besar yaitu 42,34. Oleh karena adanya kemungkinan drop out/data blank, maka ditambahkan 10% sehingga sampel menjadi 42,34 + 4,234 = 46,57 dan dibulatkan menjadi 47 sampel. Jadi besar sampel keseluruhan dalam penelitian ini adalah 47 sampel Teknik Pengambilan Sampel Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut : a. Dari populasi sediaan blok parafin diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

49 49 b. Populasi terjangkau yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan, yaitu sebanyak 47 sediaan. 4.5 Variabel Penelitian Klasifikasi Variabel 1. Variabel tergantung : - Ekspresi MMP-9. - Karakteristik derajat histologis. 2. Variabel bebas : Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III Definisi Operasional Variabel 1. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik adalah keganasan yang terjadi pada sel-sel epitel duktuli payudara, terutama sel-sel dari terminal duct lobular unit (TDLU) yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor ini tidak membentuk suatu pola tipe histologis tertentu. Diklasifikasikan sebagai karsinoma invasif tipe tidak spesifik apabila komponen gambaran tidak spesifiknya lebih dari 50% massa tumor dengan pemeriksaan dari potongan yang representatif. Jika gambaran tidak spesifik kurang dari 50% atau sekitar 10-49% dari massa tumor dan sisanya adalah tipe spesifik maka disebut kelompok campuran yaitu campuran karsinoma invasif tipe tidak spesifik dan tipe spesifik. 2. Karakteristik derajat histologis : karakteristik derajat histologis terdiri dari formasi tubular, pleomorfia inti, dan hitung mitosis. Masing-masing

50 50 karakteristik memiliki skor 1 sampai 3. Formasi tubular diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21 dengan pembesaran lemah 40 kali, dilihat seluruh lapang pandang. Skor 1 bila bentukan tubular lebih dari 75%, skor 2 bentukan tubular 10%-75%, skor 3 bila bentukan tubular kurang dari 10%. Penghitungan pleomorfia inti diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21 dengan pembesaran lemah 40 kali sampai pembesaran kuat 400x dilihat seluruh lapang pandang. Skor 1 bila selsel uniform, kecil, pleomorfia inti ringan, skor 2 bila peningkatan inti sedang dalam bentuk dan ukuran dikatakan pleomorfia inti sedang, skor 3 bila bentuk sangat bervariasi dikatakan sebagai pleomorfia inti berat. Penghitungan mitosis diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21 dinilai dengan menghitung jumlah mitosis per 10 lapang pandang besar mikroskop atau High Power Field (HPF) dengan pembesaran 400x. Penghitungan dengan cara mencari massa tumor yang padat dan dinilai secara random meaner. Skor 1 bila hitung mitosis 12 per 10 lapang pandang besar mikroskop, skor 2 bila hitung mitosis per 10 lapang pandang besar mikroskop dan skor 3 bila hitung mitosis 25 per 10 lapang pandang besar mikroskop (Colditz dan Chia, 2012). 3. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I : kelompok keganasan payudara yang terjadi pada sel-sel epitel duktuli payudara yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor tidak membentuk suatu pola tipe histologik tertentu sesuai kriteria WHO tahun 2012 dengan skor total derajat histologis bernilai 3, 4, atau 5 poin berdasarkan Nottingham

51 51 Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-Bloom- Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham Grading System (Colditz dan Chia, 2012). 4. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis II : kelompok keganasan payudara yang terjadi pada sel-sel epitel duktuli payudara yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor tidak membentuk suatu pola tipe histologik tertentu sesuai kriteria WHO tahun 2012 dengan skor total derajat histologis bernilai 6 atau 7 poin berdasarkan Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff- Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham Grading System (Colditz dan Chia, 2012). 5. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis III : kelompok keganasan payudara yang terjadi pada sel-sel epitel duktuli payudara yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor tidak membentuk suatu pola tipe histologik tertentu sesuai kriteria WHO tahun 2012 dengan skor total derajat histologis bernilai 8 atau 9 poin berdasarkan Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff- Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham Grading System (Colditz dan Chia, 2012). 6. Ekspresi MMP-9 adalah penilaian protein MMP-9 secara imunohistokimia menggunakan Monoclonal Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam kemudian secara semikuantitatif diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21 dimulai dari pembesaran lemah 40 kali untuk melihat

52 52 persentase sel tumor yang terpulas positif sampai pembesaran kuat 400 kali untuk menilai intesitas pewarnaan pada sel yang terpulas positif. Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma sel epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat berdasarkan perkalian skor persentase sel yang terpulas positif dan intensitas pewarnaannya. Berdasarkan persentase sel yang terpulas positif oleh MMP-9 maka dibagi menjadi skor 0-4 yaitu : 0 (tidak terwarnai), 1+ (1-10% sel terpulas), 2+ (10-50% sel terpulas), 3+ (50-70% sel terpulas), dan 4+ (70-100%). Berdasarkan intensitas warna coklat pada sel ganas yang menunjukkan pulasan positif MMP-9 maka dibagi menjadi skor 0-3 yaitu : 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang) dan 3 (kuat). Skor persentase dari sel yang terpulas positif kemudian dikalikan dengan skor intensitasnya, sehingga didapatkan hasil perkalian 0-12 dan dibagi menjadi skor 0-4 yaitu tingkat rendah dan skor 5-12 yaitu tingkat tinggi (Yousef et al.,2014). Pemeriksaan imunohistokimia MMP-9 dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Universitas Udayana. Interpretasi ekspresi MMP-9 dilakukan oleh peneliti dan 2 orang dosen pembimbing tanpa mengetahui data kliniko-patologi pasien. 7. Ekspresi MMP-9 adalah imunoskor dari skor presentase sel yang dikalikan dengan intensitas warna dan kemudian akan diuji analisis dengan Chi-square test dan One-way Annova test. 8. Dari ketiga faktor derajat histologis yaitu formasi tubular, pleomorfia inti, dan hitung mitosis akan diuji analisis dengan uji regresi logistik untuk

53 53 menentukan faktor mana yang paling dominan yang dipengaruhi oleh ekspresi MMP Bahan Penelitian 1. Bahan pemeriksaan histopatologi berupa blok parafin dari bahan biopsi dan operasi mastektomi pasien yang menderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III yang diperiksa secara histopatologi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, dan slide dengan pengecatan H&E. 2. Reagen pewarnaan Harris s hematoksilin dan eosin. 3. Phosphate buffer saline (PBS). 4. Monoclonal Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam. 5. DAB (3,3 -diaminobenzidine). 6. Streptavidin Peroxidase. 7. Reagen pewarnaan Harris s hematoksilin. 8. Alkohol 50% hingga alkohol absolut. 9. Xylol. 4.7 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Buku Registrasi Pemeriksaan Histopatologi Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar tahun 2013 hingga 2016 untuk mencari data pasien yang menderita karsinoma payudara invasif tipe

54 54 tidak spesifik derajat histologis I, II, III dari 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Juli Mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21, untuk mengevaluasi sediaan karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, III pulasan H&E, serta menilai ekspresi MMP Ocular micrometer lense model XY Metode pulasan imunohistokimia MMP-9 menggunakan Monoclonal Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam. 5. Mikrotom Leica RM 2125 dan Leica RM Waterbath dan hot plate. 7. Gelas obyek merk Sail dan Sigma dengan ukuran lebar satu inchi, panjang tiga inchi, dan tebal 1,2 mm. 8. Pipet mikro. 9. Staining jar. 10. Inkubator dan aluminium chamber. 11. Rotator. 12. Oven microwave. 4.8 Prosedur Penelitian Cara Pengumpulan Data 1. Peneliti mencari sediaan penderita yang didiagnosis sebagai karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, III dari bahan biopsi dan operasi mastektomi yang diperiksa secara histopatologis dari tanggal 1

55 55 Januari 2013 sampai dengan 31 Juli 2016 di Bagian /SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. 2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin sesuai nomor-nomor di atas, dikumpulkan, dievaluasi, dan dilakukan diagnosis ulang oleh peneliti dan dua orang ahli Patologi Anatomi. 3. Apabila dalam proses penilaian ditemukan preparat yang sulit dievaluasi oleh karena warna yang mulai pudar, maka akan dilakukan proses pewarnaan kembali. Apabila preparat berjamur atau rusak, dilakukan pemotongan ulang blok parafin dan dipulas dengan pulasan rutin menggunakan Harris s Hematoksilin dan Eosin. Prosedur pulasan H&E sesuai dengan prosedur pulasan yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar. 4. Memilih preparat yang digunakan sebagai dasar untuk mencari blok parafin. Preparat yang dipilih untuk pemeriksaan imunohistokimia MMP-9 adalah preparat yang mengandung massa tumor terbanyak. 5. Peneliti mencari blok parafin yang sesuai dengan preparat yang dipilih dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 6. Blok parafin dipotong setebal tiga µm dengan mikrotom untuk pulasan imunohistokimia di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 7. Melakukan pulasan imunohistokimia MMP-9 dengan menggunakan metode streptavidin biotin kompleks Monoclonal Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam.

56 56 8. Pemeriksaan pulasan imunohistokimia MMP-9 dilakukan oleh peneliti dan dua orang ahli Patologi Anatomi. 9. Blok parafin yang sudah selesai diproses, dikembalikan ke Bagian /SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar. 10. Slide preparat H&E yang sudah selesai dinilai rediagnosis, dikembalikan ke Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar. 11. Pencatatan dan pengumpulan data. 12. Analisis data Prosedur Pemeriksaan Bahan 1. Prosedur pemeriksaan makroskopis dan pemilihan sampel menggunakan prosedur yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, yaitu: a. Identifikasi spesimen dan formulir. b. Lakukan pemeriksaan bahan sesuai kaidah keilmuan. c. Catat dan buat ilustrasi hasil pemeriksaan makroskopis tersebut pada form. d. Jika sampel besar, lakukan pemilihan sampel sesuai kaidah keilmuan. Jika sampel kecil, semua jaringan diproses.

57 57 2. Prosedur prosesing jaringan menggunakan prosedur yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, yaitu: a. Masukkan sampel ke dalam kaset-kaset jaringan, selanjutnya fiksasi dengan formalin buffer 10% semalaman. b. Pindahkan kaset-kaset jaringan ke dalam mesin tissue processor otomatis (24 jam). c. Keluar dari tissue processor, jaringan-jaringan tersebut selanjutnya. diembedding dengan parafin cair dan dibiarkan memadat (menjadi blok parafin). d. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica RM 2125 dan Leica RM 2235 dengan ketebalan empat μm. e. Masukkan hasil potongan mikrotom ke dalam waterbath. f. Tempelkan hasil potongan mikrotom di atas gelas obyek merk Sail Brand dengan ukuran lebar satu inchi, panjang tiga inchi dan tebal 1,2 mm; yang sudah diberi nomor lab dengan pensil kaca (menjadi preparat). 3. Prosedur pulasan H&E menggunakan prosedur pulasan yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana /RSUP Sanglah Denpasar, yaitu:

58 58 a. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak empat kali masingmasing celupan selama tiga sampai lima menit. b. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan kosentrasi menurun menggunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, dan alkohol 50%, masing-masing celupan selama tiga sampai lima menit. c. Masukkan ke air selama 10 menit. d. Rendam preparat dalam cat utama yaitu Harris s hematoksilin selama menit. e. Cuci dengan air selama 10 menit. f. Celupkan dalam HCl 0,4% sebanyak satu sampai dua celup. g. Cuci dengan air selama lima sampai 10 menit. h. Celupkan dalam Lithium karbonat 5% sebanyak tiga celup. i. Cuci lagi dengan air selama lima sampai 10 menit. j. Rendam dalam larutan Eosin selama 15 detik sampai dua menit. k. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat mengunakan alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 80%, dan alkohol 95% masing-masing celupan selama tiga sampai lima menit. l. Penjernihan dengan xilol sebanyak empat kali celupan, lama masingmasing celupan selama tiga sampai lima menit. m. Mounting menggunakan entelan dan preparat ditutup dengan kaca penutup. n. Beri label.

59 59 5. Prosedur pulasan imunohistokimia MMP-9 menggunakan prosedur pulasan imunohistokimia yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, yaitu: a. Dipotong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan ketebalan tiga μm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah dilapisi dengan poly-l-lysine, merk Sigma, dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm. b. Diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37 o C selama 1 malam. c. Dideparafinisasi dengan xylol, preparat dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 3 menit. d. Direhidrasi dengan alkohol bertingkat yaitu alkohol absolut 2 kali, alkohol 95%, alkohol 80%, dan alkohol 70%, masing-masing 3 menit. e. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit. f. Diteteskan H 2 O 2 dalam metanol 3% sampai menutupi seluruh permukaan jaringan selama 15 menit. g. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit. h. Dicuci dengan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 2 kali, masingmasing selama 10 menit. i. Direndam dengan buffer sitrat 0,01 M, ph 6,0. Kemudian panaskan di dalam oven microwave selama 15 menit, mula-mula dengan pemanasan tinggi (80 o C) sampai tepat mendidih kemudian dengan pemanasan sedang (50 o C) selama 5 menit. j. Dinginkan pada suhu kamar.

60 60 k. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. l. Teteskan 40 μl antibodi primer menggunakan antibody monoclonal MMP-9 dari Abcam yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama 30 menit pada suhu kamar atau semalam pada suhu 4 0 C. m. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. n. Diteteskan Biotinylated Anti Polyvalent selama 10 menit. o. Dicuci dengan BS sebanyak 2 kali, masing-masing 10 menit. p. Diteteskan Streptavidin Peroxidase selama 10 menit. q. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. r. Diteteskan dengan reagen DAB selama 10 menit. s. Dicuci dengan air mengalir. t. Dipulas dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit. u. Dicuci dengan air mengalir. v. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat yaitu alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95%, dan alkohol absolut 2 kali, masing-masing selama 3 menit. w. Dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing 3 menit. x. Ditutup dengan cover glass. 6. Dibuatkan pula pengecatan IHK untuk kontrol positif dan negatif. 7. Pemeriksaan IHK MMP-9 dikerjakan di laboratorium IHK bagian Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah Mada/RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. 8. Pencatatan dan pengumpulan data. 9. Analisis data

61 Alur Penelitian Skema alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2. Gambar 4.2 Alur Penelitian

62 Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif. 2. Uji korelasi dengan uji chi square berdasarkan uji silang 3x2. 3. Uji korelasi dengan uji one way Annova bila berdistribusi normal atau uji Kruskal-Wallis bila berdistribusi tidak normal. 4. Untuk mengetahui faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan dalam menentukan ekspresi MMP-9 dilakukan uji regresi logistik. 5. Uji kemaknaan ditentukan pada p<0,05. Presisi data ditentukan dengan nilai Confident Interval (CI) 95%.

63 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan rancangan potong lintang (cross-sectional study). Jumlah besar sampel sebanyak 47 sampel karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III. Sampel tersebut terdiri dari 7 sampel derajat histologis I, 18 sampel derajat histologis II, dan 22 sampel derajat histologis III. Subyek penelitian berasal dari blok parafin bahan biopsi dan operasi mastektomi dari penderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik yang diperiksa secara histopatologi di bagian/smf Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari tanggal 1 Januari 2013 sampai 31 Juli 2016 yang kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia dengan MMP-9. Pada penelitian ini, data usia dilakukan analisis deskriptif terlebih dahulu dan hasil analisis deskriptif karakteristik sampel penelitian dan derajat histologis disajikan pada Tabel 5.1, Tabel 5.2 dan Tabel 5.3. Rentang usia pasien pada penelitian ini bervariasi yaitu mulai dari usia 30 tahun sampai 70 tahun dengan jumlah terbanyak pada rentang usia tahun baik pada derajat histologis I, II, maupun III (Tabel 5.1 dan Gambar 5.1). 63

64 64 Tabel 5.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Kelompok Usia dan Derajat Histologis Usia Derajat histologis I Derajat histologis II Derajat histologis III Total Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Jumlah Gambar 5.1. Karakteristik Usia Subyek Penelitian Rerata usia untuk keseluruhan kasus penderita karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dalam penelitian ini adalah 51,45±8,87 tahun, sedangkan rerata usia untuk masing-masing derajat histologis yaitu derajat histologis I adalah 48,14±9,39 tahun dengan rentang usia 38 sampai 62 tahun, derajat histologis II

65 65 adalah 54,89±8,66 tahun dengan rentang usia 39 sampai 70 tahun, derajat histologis III adalah 49,68±8,32 dengan rentang usia 30 sampai 69 tahun. Tabel 5.2 Rerata Usia Sampel Penelitian Derajat Histologis Variabel I II III Seluruh derajat Usia (tahun) 48,14±9,39 54,89±8,66 49,68±8,32 51,45±8,87 Tabel 5.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Derajat Histologis Derajat Histologis Jumlah % I 7 14,9 II 18 38,3 III 22 46,8 Berdasarkan diagnosis didapatkan sampel karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I sebanyak 7 kasus (14,9%), derajat histologis II sebanyak 18 kasus (38,3%), dan derajat histologis III sebanyak 22 kasus (46,8%) seperti yang disajikan pada Gambar 5.2. Gambar 5.2. Karakteristik Derajat Histologis

66 Ekspresi MMP Ekspresi MMP-9 dengan Derajat Histologis Pada penelitian ini didapatkan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Distribusi Kasus berdasarkan Ekspresi MMP-9 Karakteristik Jumlah % Skor Presentase Sel Ekspresi MMP-9 (0) 0% (1) 1-10% (2) 10-50% (3) 50-70% (4) % , ,3 57,4 Skor Intensitas Warna Ekspresi MMP-9 Skor 0 (negatif) Skor 1 (lemah) Skor 2 (sedang) Skor 3 (kuat) ,8 55,3 14,9 Penilaian Hasil Ekspresi MMP-9 Tingkat rendah Tingkat tinggi ,5 57,5 Hasil presentase sel pulasan ekspresi MMP-9 dari 47 sampel didapatkan hasil sebagai berikut: tidak tampak ekspresi MMP-9 (skor 0) sebanyak 0 kasus (0%), ekspresi MMP % (skor 1) sebanyak 2 kasus (4,3%), ekspresi MMP % (skor 2) sebanyak 8 kasus (17%), ekspresi MMP % (skor 3) sebanyak 10 kasus (21,3%), dan ekspresi MMP % (skor 4) sebanyak 27

67 67 kasus (57,4%). Hasil intensitas warna pulasan ekspresi MMP-9 dari 47 sampel didapatkan hasil sebagai berikut: tidak terpulas MMP-9 (skor 0), intensitas lemah (skor 1) sebanyak 14 kasus (29,8%), intensitas sedang (skor 2) sebanyak 26 kasus (55,3%), dan intensitas kuat (skor 3) sebanyak 7 kasus (14,9%). Berdasarkan hasil tersebut maka disimpulkan bahwa ekspresi MMP-9 tingkat rendah (yang bernilai 0 4) sebanyak 20 kasus (42,5%) dan ekspresi MMP-9 tingkat tinggi (yang bernilai 5-12) sebanyak 27 kasus (57,5%). Tabel 5.5 Penilaian Skor Presentase Sel Ekspresi MMP-9 Berdasarkan Derajat Histologis Skor Presentase Sel MMP-9 Derajat Histologis I II III Skor 0 (tidak terwarnai) Skor 1 (1-10%) Skor 2 (10-50%) Skor 3 (50-70%) Skor 4 (70-100%) Jumlah

68 68 Tabel 5.6 Penilaian Skor Intensitas Warna Ekspresi MMP-9 Berdasarkan Derajat Histologis Skor Intensitas Warna MMP-9 Derajat Histologis I II III Skor 0 (negatif) Skor 1 (lemah) Skor 2 (sedang) Skor 3 (kuat) Jumlah Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5.5 dapat dilihat skor presentase sel ekspresi MMP-9 pada derajat histologis I didapatkan skor 0 sebanyak 0 kasus, skor 1 sebanyak 0 kasus, skor 2 sebanyak 5 kasus, skor 3 sebanyak 2 kasus, dan skor 4 sebanyak 0 kasus. Derajat histologis II didapatkan skor 0 sebanyak 0 kasus, skor 1 sebanyak 2 kasus, skor 2 sebanyak 2 kasus, skor 3 sebanyak 3 kasus, dan skor 4 sebanyak 11 kasus. Derajat histologis III didapatkan skor 0 sebanyak 0 kasus, skor 1 sebanyak 0 kasus, skor 2 sebanyak 1 kasus, skor 3 sebanyak 5 kasus, dan skor 4 sebanyak 16 kasus. Sedangkan intensitas warna ekspresi MMP-9 pada derajat histologis I didapatkan skor 0 (negatif) sebanyak 0 kasus, skor 1 (lemah) sebanyak 3 kasus, skor 2 (sedang) sebanyak 4 kasus, dan skor 3 (kuat) sebanyak 0 kasus. Pada derajat histologis II didapatkan skor 0 (negatif) sebanyak 0 kasus, skor 1 (lemah) sebanyak 6 kasus, skor 2 (sedang) sebanyak 9 kasus, dan skor 3

69 69 (kuat) sebanyak 3 kasus. Pada derajat histologis I didapatkan skor 0 (negatif) sebanyak 0 kasus, skor 1 (lemah) sebanyak 5 kasus, skor 2 (sedang) sebanyak 13 kasus, dan skor 3 (kuat) sebanyak 4 kasus. Kemudian skor presentase sel dikalikan dengan skor intensitas warna kemudian didapatkan ekspresi MMP-9 tingkat rendah dengan nilai 0-4 dan nilai 5-12 ekspresi MMP-9 tingkat tinggi. Pada derajat histologis I terdapat 6 kasus ekspresi MMP-9 tingkat rendah dan 1 kasus ekspresi MMP-9 tingkat tinggi. Pada derajat histologis II terdapat 9 kasus ekspresi MMP-9 tingkat rendah dan 9 kasus ekspresi MMP-9 tingkat tinggi. Pada derajat histologis III terdapat 5 kasus ekspresi MMP-9 tingkat rendah dan 17 kasus ekspresi MMP-9 tingkat tinggi. Mengetahui hubungan antara derajat histologis dengan ekspresi MMP-9, maka dilakukan uji korelasi uji chi square berdasarkan uji silang 3x2 seperti disajikan pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Uji Chi square antara Derajat Histologis dengan Ekspresi MMP-9 Derajat histologis Jumlah Kasus Ekspresi MMP-9 Tingkat Rendah Tingkat Tinggi p I 6 1 II 9 9 0,010 III 5 17

70 70 Berdasarkan uji chi square maka terdapat hubungan yang bermakna antara derajat histologis dengan ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik (p=0,010; p<0,05). Pada penelitian ini data ekspresi MMP-9 terlebih dahulu diuji normalitas data. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Shapiro-Wilk didapatkan data MMP-9 tidak berdistribusi normal (p<0,05), sehingga digunakan uji nonparametrik yaitu uji Kruskal-Wallis yang kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil disajikan dalam Tabel 5.8. Tabel 5.8 Hasil Uji Normalitas Data Ekspresi MMP-9 Kelompok Subjek n p Keterangan Derajat Histologis I 7 0,183 Tidak Normal Derajat Histologis II 18 0,001 Tidak Normal Derajat Histologis III 22 0,004 Tidak Normal Data yang tidak berdistribusi normal dapat dilakukan analisis komparabilitas dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis didapatkan hasil yang bermakna (p=0,001). Disajikan pada Tabel 5.9. Tabel 5.9 Perbandingan Ekspresi MMP-9 antar Kelompok Derajat Histologis Kelompok Subyek n p Derajat histologis I 7

71 71 Derajat histologis II 18 0,001 Derajat histologis III 22 Analisis komparabilitas diuji dengan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel 5.10, 5.11, dan Tabel 5.10 Perbandingan Ekspresi MMP-9 antara Derajat Histologis I dan II Kelompok Subjek N Mean MMP-9 U p Derajat Histologis I Derajat Histologis II ,86 68, ,014 Tabel 5.11 Perbandingan Ekspresi MMP-9 antara Derajat Histologis I dan III Kelompok Subjek N Mean MMP-9 U p Derajat Histologis I Derajat Histologis III ,86 81,36 8 0,000 Tabel 5.12 Perbandingan Ekspresi MMP-9 antara Derajat Histologis II dan III Kelompok Subjek N Mean MMP-9 U p Derajat Histologis II Derajat Histologis III ,11 81, ,024 Pada Tabel tampak hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-

72 72 Whitney. Hasil tes perbandingan ekspresi MMP-9 antara derajat histologis I dan II menunjukkan bahwa nilai mean derajat histologis II (68,11%) lebih tinggi dibandingkan nilai mean derajat histologis I (42,86%) dengan perbedaan selisih 25,25%, nilai U=23 dan nilai p=0,014. Hasil tes perbandingan ekspresi MMP-9 antara derajat histologis I dan III menunjukkan bahwa nilai mean derajat histologis III (81,36%) lebih tinggi dibandingkan nilai mean derajat histologis I (42,86%) dengan perbedaan selisih 38,5%, nilai U=8 dan nilai p=0,000. Hasil tes perbandingan ekspresi MMP-9 antara derajat histologis II dan III menunjukkan bahwa mean derajat histologis III (81,36%) lebih tinggi dibandingkan nilai mean derajat histologis II (68,11%) dengan perbedaan selisih 13,25%, nilai U=115 dan nilai p=0,024. Hal ini berarti bahwa ekspresi MMP-9 paling tinggi ditemukan pada kelompok derajat histologis III, lalu derajat histologis II, dan ekspresi MMP- 9 paling rendah pada derajat histologis I karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik (p<0,05). Gambaran ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik derajat histologis I, II, dan III dapat dilihat pada Gambar 5.3, 5.4 dan 5.5.

73 73 Gambar 5.3 Ekspresi MMP-9 pada derajat histologis I dengan intensitas lemah (insert) Gambar 5.4 Ekspresi MMP-9 pada derajat histologis II dengan intensitas sedang (insert)

74 74 Gambar 5.5 Ekspresi MMP-9 pada derajat histologis III dengan intensitas kuat (insert) Pengaruh Faktor Karakteristik Derajat Histologis Terdapat tiga faktor karakteristik derajat histologis yaitu formasi tubular, pleomorfia inti, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar. Mengetahui faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan yang dipengaruhi oleh ekspresi MMP-9 maka dilakukan uji regresi logistik. Uji regresi logistik dilakukan dan didapatkan hasil bahwa hitung mitosis merupakan faktor yang paling dominan. Pada hitung mitosis didapatkan hasil yang bermakna dengan hasil p=0,012 (p<0,05), sedangkan untuk faktor formasi tubular dan pleomorfik inti didapatkan hasil yang tidak bermakna dengan masingmasing nilai p=0,922 dan p=0,594 dimana p>0,05 seperti yang disajikan pada Tabel 5.13.

75 75 Tabel 5.13 Uji Regresi Logistik b Sig (p) Exp(b) Tubular 0,057 0,922 1,059 Pleomorfik 0,312 0,594 1,367 Mitosis 1,204 0,012 3,334 Constant -2,944 0,078 0,053

76 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Ekspresi MMP Hubungan Ekspresi MMP-9 dengan Derajat Histologis Matriks metalloproteinase-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik terlibat pada semua tahap progresivitas sel kanker mulai dari proliferasi, angiogenesis, apoptosis, epithelial-mesenchymal transition (EMT), dan metastasis (Gong et al., 2014). Matriks metalloproteinase-9 ini juga mampu mendegradasi matriks ekstraselular dari stem cell niche yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk stem cell niche menjadi bentuk bebas, dan selanjutnya meningkatkan promosi c-kit yang terkait dengan proliferasi sel. Proses angiogenesis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dipicu melalui mobilisasi dan aktivasi mitogen angiogenik dari matriks penyimpanannya. Proses ini difasilitasi oleh MMP-9 yang tidak terikat TIMP-1 yang sekaligus mampu melepaskan faktor pertumbuhan FGF dan VEGF dari matriks. Proses metastasis dimudahkan oleh kemampuan sel tumor untuk berubah dari bentuk sel epitel yang tidak mampu bergerak menjadi sel mesenkimal yang mampu bergerak (EMT). Matriks metalloproteinase-9 dikatakan juga terlibat pada proses ini (Farina dan Mackay, 2014). Derajat histologis karsinoma payudara duktal invasif tipe tidak spesifik dinilai berdasarkan Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan 76

77 77 Nottingham Grading System. Sistem ini menilai karsinoma payudara berdasarkan tiga karakteristik tumor yaitu formasi tubular, pleomorfia inti sel, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar. Berdasarkan penilaian tersebut derajat histologis dibagi menjadi 3 yaitu derajat histologis I, derajat histologis II, dan derajat histologis III (Lester et al., 2015; Colditz and Chia, 2012; Hoda et al., 2014). Matriks metalloproteinase-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik mengalami regulasi melalui interaksi antara sel tumor dengan lingkungan mikro di sekitarnya seperti sel stroma, sel endotel, makrofag, maupun sel radang neutrofil. Sudah sangat diakui peranan sel radang seperti makrofag, neutrofil, sel mast sel dendritik, dan sel T pada inisiasi dan progresi tumor. Sel tumor ini mampu menghasilkan faktor-faktor pro-inflamasi dan MMP berperan pada progresivitas tumor (Deryugina dan Quigley, 2006). Co-culture sel tumor dengan sel stroma secara in vitro mampu meningkatkan ekspresi pro-mmp-9 di sel tumor dan menekan regulasi inhibitornya (TIMP) di sel stroma. Co-culture sel tumor dengan sel endotel juga mampu meningkatkan ekspresi MMP-9 serta meningkatkan kemampuan invasi sel tumor melalui peningkatan sekresi IL-6 oleh sel endotel. Sitokin dan faktor pertumbuhan yang dikeluarkan oleh sel tumor, endotel dan sel radang di lingkungan mikro tumor bersama-sama meregulasi ekspresi MMP-9, baik melalui jalur autokrin maupun parakrin (Gong et al., 2014). Matriks metalloproteinase-9 tampak terpulas pada sebagian besar sel tumor, sel stroma, endotel, maupun sel radang neutrofil baik pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dengan histologis tinggi maupun rendah. Hal ini

78 78 membuktikan bahwa MMP-9 dihasilkan baik oleh sel tumor itu sendiri maupun melalui interaksi dengan lingkungan mikronya (Farina and Mackay, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Irianiwati et al. terhadap 50 kasus karsinoma payudara, dilakukan pulasan MMP-9 untuk menilai perburukan derajat histologisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi MMP-9 berbeda bermakna pada derajat tinggi dibandingkan derajat rendah, dimana ekspresi tinggi MMP-9 ditemukan pada karsinoma payudara derajat tinggi. Tampak korelasi bermakna dengan nilai r=0,518 dan p=0,0000. Dan dari penelitian ini disimpulkan bahwa MMP-9 berperan penting pada perkembangan, derajat histologis, dan stadium karsinoma payudara (Irianiwati et al., 2012). Penelitian serupa dilakukan oleh Yousef et al. terhadap 200 kasus karsinoma payudara yang dibagi menjadi tiga derajat histologis. Penghitungan ekspresi MMP-9 dilakukan secara semi kuantitatif berdasarkan presentase jumlah sel yang terpulas positif dengan intensitas pewarnaan. Hasil dari penelitian ini didapatkan ekspresi MMP-9 tingkat tinggi pada karsinoma payudara derajat tinggi. Ekspresi MMP-9 dapat membantu memisahkan karsinoma payudara yang agresif seacara klinis. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa MMP-9 adalah calon gen atau protein yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan panel multi-gen untuk memprediksi hasil klinis (Yousef et al., 2014). Penelitian karsinoma payudara oleh Mahmood et al. di negara Irak menghubungkan antara ekspresi MMP-2 dan MMP-9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada karsinoma payudara stadium II dan III. Penelitian dilakukan dengan jumlah pasien sebanyak 64 orang. Hal ini serupa dengan metode

79 79 penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MMP-9 dapat digunakan sebagai biomarker untuk diagnosis karsinoma payudara dalam menentukan stadium tumor, derajat histologis, tipe histologis, dan status metastasis limfonodi (Mahmood et al., 2015). Vasaturo di Italia melakukan penelitian ekspresi MMP-2 dan MMP-9 pada pasien-pasien dengan karsinoma payudara, dilakukan dengan mengambil level plasma dari MMP tersebut. Penelitian dilakukan terhadap 50 pasien karsinoma payudara dan 30 pasien fibroadenoma. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna ekspresi MMP-9 plasma antara pasien-pasien dengan karsinoma dan fibroadenoma. Perbedaan yang bermakna ekspresi MMP-9 plasma didapatkan pada pasien-pasien karsinoma payudara bila ditinjau dari sudut pandang variabel derajat histologis (Vasaturo et al., 2012). Di India, Benson melakukan penelitian dengan 39 sampel kanker payudara dan 16 jaringan payudara yang normal menunjukkan adanya peningkatan MMP-9 secara berbeda pada jaringan kanker payudara dengan jaringan payudara yang normal. Tampak peningkatan ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara. Ekspresi MMP-9 diregulasi di jaringan kanker dibandingkan dengan kontrol dengan nilai p <0,050. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MMP-9 secara berbeda diatur dalam jaringan kanker payudara dan berperan pada derajat histologis, metastasis, dan angiogenesis. Dengan demikian, MMP-9 adalah nilai besar untuk dipelajari sebagai penanda diagnostik dan target terapi (Benson et al., 2013).

80 80 Pellikainen et al. di Finlandia melakukan penelitian terhadap ekspresi MMP-2 dan MMP-9 yang dianalisis secara imunohistokimia dalam prospektif seri besar dari 421 pasien kanker payudara. MMP-9 terekspresi dalam sitoplasma sel-sel ganas dan stroma. Ekspresi tinggi MMP dalam stadium tumor, sedangkan ekspresi positif pada stroma dikaitkan dengan faktor-faktor agresif. Evaluasi ekspresi MMP-9 menambahkan informasi tentang prognosis kanker payudara (Pellikainen et al., 2014). Hasil kontradiktif didapatkan oleh Wu dan kawan-kawan melalui penelitiannya di Cina, mereka berusaha mencari signifikansi antara ekspresi MMP-9 dengan berbagai variabel klinikopatologis pada 41 spesimen operasi mastektomi tanpa riwayat terapi sebelumnya (radioterapi dan kemoterapi). Kasuskasus dievaluasi dengan variabel tipe histologis, derajat histologis, metastasis limfonodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara ekspresi MMP-9 dengan semua variabel penelitian yang dievaluasi (Wu et al., 2014). Pada penelitian yang kami lakukan pada 47 kasus karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. Dengan jumlah sampel masing-masing yaitu derajat histologis I sebanyak 7 kasus (14,9%), derajat histologis II sebanyak 18 kasus (38,3%), dan derajat histologis III sebanyak 18 kasus (46,8%). Hasil presentase sel pulasan ekspresi MMP-9 dari 47 sampel didapatkan hasil sebagai berikut: tidak tampak ekspresi MMP-9 (skor 0) sebanyak 0 kasus (0%), ekspresi MMP % (skor 1) sebanyak 2 kasus (4,3%), ekspresi MMP % (skor 2) sebanyak 8 kasus (17%), ekspresi MMP % (skor 3) sebanyak 10 kasus (21,3%), dan

81 81 ekspresi MMP % (skor 4) sebanyak 27 kasus (57,4%). Hasil intensitas warna pulasan ekspresi MMP-9 dari 47 sampel didapatkan hasil sebagai berikut: tidak terpulas MMP-9 (skor 0), intensitas lemah (skor 1) sebanyak 14 kasus (29,8%), intensitas sedang (skor 2) sebanyak 26 kasus (55,3%), dan intensitas kuat (skor 3) sebanyak 7 kasus (14,9%). Berdasarkan hasil tersebut maka disimpulkan bahwa ekspresi MMP-9 yang bernilai rendah ada 20 kasus (42,5%) dan yang bernilai tinggi ada 27 kasus (57,5%). Interaksi tumor dan lingkungan sekitar juga ikut mempengaruhi ekspresi MMP-9, dimana semakin banyak sel tumor berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya maka akan semakin kuat ekspresi MMP-9. Matriks metalloproteinase-9 pada proses keganasan tidak hanya memiliki kemampuan dalam mendegradasi kolagen tipe IV yang merupakan komponen utama dari membran basalis epitel dan vaskuler, namun juga memiliki kemampuan pro-oncogenic yaitu transformasi keganasan, penempelan tumor, dan instabilitas genetik. Matriks metalloproteinase-9 juga dikenal sebagai gen yang penting dalam proses transisi epitel menjadi mesenkimal atau yang dikenal sebagai epithelial mesenchymal transition (EMT) dan sekaligus menjadi penyebab EMT. Epithelial mesenchymal transition ada 3 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Tipe 3 dari EMT ini berfungsi dalam progresi tumor maupun aktivasi dalam stem cell serta pergerakan sel kanker menjadi invasif (Gialeli et al., 2010; Farina dan Mackay, 2014). Selanjutnya MMP-9 yang berasal dari sel radang neutrofil meregulasi penarikan perisit serta apoptosis yang mengandung prekursor angiogenik ke

82 82 stroma tumor, sehingga dapat meningkatkan proses angiogenik dan vaskulogenik. Proses angiogenik oleh sel tumor terjadi kemudian MMP-9 juga merangsang angiogenik melalui mobilisasi dan aktivasi mitogen angiogenik dari matriks penyimpanannya. Selain itu MMP-9 juga mampu melepaskan faktor pertumbuhan yaitu FGF dan VEGF, serpin protease nexin-1 (PN-1, urokinase plasminogen activator (upa) yang penting pada proses invasi dan angiogenesis pada keganasan (Patil dan Kundu, 2006; Gialeli et al., 2010; Farina dan Mackay, 2014). Tingginya ekspresi MMP-9 yang sejalan dengan peningkatan derajat histologis pada penelitian ini menunjukkan peranan penting MMP-9 pada setiap tahap progresivitas tumor sehingga dapat dijadikan sebagai marka penting agresivitas karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. Namun hingga saat ini belum terdapat kesepakatan tentang nilai cut off point ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik sehingga menyulitkan dalam aplikasi klinis Faktor Karakteristik Derajat Histologis yang Paling Dominan Berpengaruh Terhadap Ekspresi MMP-9 Penilaian derajat histologis dengan Nottingham Combined Histologic Grade (Elston-Ellis Modification of Scarff-Bloom-Richardson Grading System) atau biasa disebut dengan Nottingham Grading System. Sistem ini menilai karsinoma payudara berdasarkan tiga karakteristik yaitu formasi tubular, pleomorfia inti sel, dan hitung mitosis per 10 lapang pandang besar. Selain didapatkannya hubungan bermakna antara derajat histologis dengan ekspresi MMP-9, pada penelitian ini dilakukan pula uji regresi logistik untuk menilai faktor karakteristik derajat

83 83 histologis (formasi tubular, pleomorfia inti sel, atau hitung mitosis) yang paling dominan dipengaruhi oleh ekspresi MMP-9. Pada penelitian ini didapatkan hasil yang bermakna dimana menunjukkan bahwa hitung mitosis merupakan faktor yang paling dominan dengan nilai p=0,012 (p<0,05). Sedangkan untuk faktor formasi tubular dan pleomorfia inti didapatkan hasil yang tidak bermakna dengan masing-masing nilai p=0,922 dan p=0,594 dimana p>0,05. Hal ini sejalan dengan Boder pada tahun 2013 yang menunjukkan bahwa pada analisis multivariate, hitung mitosis merupakan penunjuk faktor prognosis yang lebih baik daripada formasi tubular dan pleomorfia inti. Ekspresi MMP-9 lebih tinggi pada derajat histologis yang tinggi termasuk pada hitung mitosis yang tinggi. Hitung mitosis dapat dipengaruhi oleh laju proliferasi sel, dimana semakin tinggi laju proliferasi maka akan semakin tinggi pula hitung mitosisnya dan hal ini menunjukkan suatu agresivitas karsinoma tersebut. Formasi tubular dan pleomorfia inti tidak berpengaruh dominan oleh karena penilaian dari kedua hal ini sangatlah subyektif, selain itu pada kedua faktor tersebut tidak selalu berjalan seiring dengan laju proliferasi. Hasil yang berbeda dapat disebabkan oleh karena perlakuan jaringan makroskopis sejak awal yang dapat mempengaruhi hasil skor masing-masing kriteria, yaitu seperti lama atau cepatnya suatu jaringan tersebut mendapatkan fiksasi, tipe dari cairan fiksasi yang dipakai, tingkat ph buffer formalin, dan dilusi dari formalin tersebut.

84 84 Meskipun pada penelitian ini hitung mitosis memiliki pengaruh yang dominan, namun semua faktor-faktor karakteristik derajat histologis yaitu formasi tubular, pleomorfia inti, dan hitung mitosis tetap memiliki peranan yang penting dalam penentuan derajat histologis.

85 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tampak hubungan bermakna antara ekspresi MMP-9 dengan derajat histologis pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik. 2. Ekspresi MMP-9 mempengaruhi hitung mitosis sebagai faktor karakteristik derajat histologis yang paling dominan. 7.2 Saran Ekspresi tinggi MMP-9 dapat digunakan sebagai penanda tingkat agresivitas tumor yang didiagnosis berdasarkan derajat histologis, dimana berkaitan dengan faktor prognosis yang lebih buruk, sehingga dapat dipakai untuk petunjuk klinis yang berhubungan dengan diagnosis dan prognosis pasien agar penanganan karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik dapat dilakukan lebih baik lagi. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan cut off point ekspresi MMP-9 pada karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik sehingga didapatkan keseragaman pelaporan untuk kepentingan aplikasi klinis. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan penelitian-penelitian selanjutnya oleh karena masih kurangnya penelitian mengenai faktor karakteristik derajat diferensiasi yang paling dominan yang dipengaruhi oleh ekspresi MMP-9. 85

86 86 DAFTAR PUSTAKA Allison, K.H Molecular Pathology of Breast Cancer: What a Pathologist Needs to Know. America : American Journal Clinical Pathology. p Anonim Pathology Reporting of Breast Disease. London : NHS Cancer Screening Programmes jointly with the Royal College of Pathologist. p Anonim The Pathology Reporting of Breast Cancer, A Guide for Pathologists, surgeons, Radiologists and Oncologists third edition. Australia : National Breast and Ovarian Cancer Centre and Australian Cancer Network. p Ansari, M.A., Shaikh, S., Muteeb, G., Rizvi, D., Shakil, S., Alam, A.,Tripathi, R., Ghazal, F., Rehman, A., Ali, S.Z., Pandey, A.K., Ashraf, G.M Role of Matrix Metalloproteinases in Cancer. In : Ashraf, G.M., Sheikh, I.A., editors. Advanced in Protein Chemistry. USA : OMICS group ebook. p Benson, C.S., Babua, S.D., Radhakrishnab, S., Selvamuruganc, N., Sankara, B. R Expression of matrix metalloproteinases in human breast cancer tissues. Department of Biotechnology, School of Bioengineering, SRM University, Kattankulathur, Chennai, India. Available from : Accessed August 2, Boder, J.M.E Nuclear Morphometry, Apoptotic and Mitotic Indices, and Tubular Differentiation in Lybian Breast Cancer (tesis). Turky : University of Turky. Bouchet, S., Bauvois, B Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL), Pro-Matrix Metalloproteinase-9 (pro-mmp-9) and Their Complex Pro-MMP-9/NGAL in Leukaemias. Cancers. Sixth edition. p Chakrabarti, S., Zee, J.M., Patel, K.D Regulation of matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) in TNF-stimulated neutrophils: novel pathways for tertiary granule release. J. Leukoc. Biol; 79: p Colditz, G., Chia, K.S Invasive Breast Carcinoma: Introduction and General Feature. In: Lakhani, S.R., Ellis, I.O., Schnitt, S.J., Tan, P.H., Vijver, M.J., editors. WHO Classification of Tumours of the Breast

87 87 Fourth Edition. Lyon: International Agency for Research on Cancer. p Deryugina, E.I dan Quigley, P.J Matrix metalloproteinases and tumor metastasis. Cancer Metastasis Rev; 25: p Direktorat Jendral Pelayanan Medik Kanker di Indonesia Tahun Data Histopatologik. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Kanker di Indonesia Tahun Data Histopatologik. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I. Ellis, I.O., Collins, L., Ichihara, S., MacGrogan, S Invasive Carcinoma of No Special Type. In: Lakhani, S.R., Ellis, I.O., Schnitt, S.J., Tan, P.H., Vijver, M.J., editors. WHO Classification of Tumours of the Breast Fourth Edition. Lyon: International Agency for Research on Cancer. p Falck, A.K., Ferno, M., Bendahl, P.O., Ryden, L St Gallen Molecular Subtypes in Primary Breast Cancer and Matched Lymp Node Metastases- Aspect on Distribution and Prognosis for Patients with Luminal A Tumours: Result from a Proapective Randomised Trial. BMC Cancer, 13: 558. Available from: Accessed January 10, Farina, A.R., Mackay, A.R Gelatinase B/MMP-9 in Tumour Pathogenesis and Progression. Cancers, 6: p Gialeli, C., Theocharisand, A.D., Karamanos, N.K Roles of matrix metalloproteinases in cancer progression and their pharmacological targeting. FEBS Journal; 278: p Globocan Global cancer statistics, Available from: Accessed January 15, Gong, Y., Chippada-venkata. U.D., William, K Review : Roles of Matrix Metalloproteinases and their natural Inhibitors in Prostate Cancer Progression. Cancers, 6: p Hoda, S.A., Brogi, E., Koerner, F.C., Rosen, P.P Invasive Ductal Carcinoma: Assessment of Prognosis with Morphologic and Biologic

88 88 Markers. In: Hoda, S.A., editors. Rosen s Breast Pathology Fourth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p Irianawati, Harijadi, Prabawa S., Hermanto Y., Septiana A., Arditya, B The correlation between TAM, MVD, VEGF, and MMP-9 expressions among various histological progression, histological grading and staging of breastcancer.availablefrom: com. Accessed January 7, Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J.C Cellular Responses to Stress and Toxic Insult: Adaptation, Injury, and Death. Robbin and Cotran s Pathology Basic of Diseases. Philadelphia: Saunders Elsevier. p Lee, K., Nelson, C.M New Insights into the Regulation of Epithelial Mesenchymal Transition and Tissue Fibrosis. International Review of Cell and Molecular Biology, Volume 294. Elsevier Inc. p Lester, S.C The Breast. In: Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J.C., editors. Robbin and Cotran s Pathology Basic of Diseases Eighth Edition.Philadelphia: Saunders Elsevier. p Li, H., Fan, X., Houghton, J Tumor microenvironment: The role of the tumor stroma in cancer. Available from: Accessed February 27, Loffek, S., Schilling, O., Franzke, C-W Biological role of matrix metalloproteinases: a critical balance. Eur Respir J, 38: p Mahmood, N.A., Fakhoury, R.M., Yaseen, N.Y., Moustafa, M.E Matrix Metaalloproteinases MMP2 and MMP9 Expression in Stages II-III Breast Cancer in Iraqi Women. AL-Mustansiriya Univ, Baghdad Iran. Availablefrom: Accessed February 27, Moelans, C.B., Diest, P.J Breast: Ductal Carcinoma. Atlas Genet Cytogenet Oncol Haematol, 17(3). Muhammad, E.M.S., Ahmad, A.N., Guirguis, M.N., Ali, A.M Immunohistochemical MMP9 Expression in Breast Carcinoma with

89 89 Correlation to Clinico-Pathological Parameters. Med J Cairo Univ. 80(2): p Nagase, H., Visse, R., Murphy, G Structure and function of matrix metalloproteinases and TIMPs. Cardiovascular Research. 69: Patil, D.P., Kundu, G.C MMP-9 (matriks metallopeptidase 9 (gelatinase B, 92kDa gelatinase, 92kDa type IV collagenase)). Atlas Genet Cytogenet Onco Haematol. 10(3): p Pellikainen, J.M., Ropponen, K.M., Kataja,V.V., Kellokoski, J.K., Eskelinen, M.J., Kosma, V Expression of Matrix Metalloproteinase (MMP)-2 and MMP-9 in Breast Cancer with a Special Reference to Activator Protein- 2, HER2, and Prognosis. Available from : Accessed August 4, Rohan, T.E., Xue, X., Lin, H.M., Alfonso, T.M., Ginter, P.S. Tumor microenvironment of metastasis and risk of distant metastasis of breast cancer.availablefrom: Accessed January 17, Scully.O.J., Bay, B., Yip, G., Yu, Y Breast Cancer Metastasis. Available from: Accessed January 17, Tamaki, M., Kamio, T., Kameoka, S., Kojimahara, N., Nishikawa, T The Relevance of the Intrinsic Subtype to the Clinicopathological Features and biomarkers in Japanese Breast Cancer Patients. World Journal of Surgical Oncology, 11: 293. Available from: Accessed January 27, Tanwani, A.K., Majeed, M Pattern of Invasive Ductal Carcinoma of Breast according to Nottingham Prognostic Index. Ann. Pak. Inst. Med. Sci. 5(4): p Vandooren, J., Van Den Steen, P.E., Opdenakker, G Biochemistry and molecular biology of gelatinase B or matrix metalloproteinase-9 (MMP- 9): the next decade. Crit Rev Biochem Mol Biol; 48(3): p Vasaturo, F., Solai, F., Malacrino, C., Nardo T., Vincenzi, B., Modesti, M., Scarpa S Plasma levels of matrix metalloproteinases 2 and 9 correlate with histological grade in breast cancer patients. University Sapienza Italy. Available from:

90 90 February 27, Accessed Vempati, P., Emmanouil, D., Karagianis., Popel, A.S A Biochemical Model of Matrix Metallopreoteinase 9 Activation and Inhibition. J.Biomol. Chem, 282: p Verma, R.P., Hanch, C Matrix metalloproteinases (MMPs): Chemicalbiological functions and (Q)SARs Bioorganic and Medicinal Chemistry; 15: p Wu, Q., Yang, Q., Huang, Y., She, H., Liang, J., Yang, Q., Zhang, Z Expression and Clinical Significance of Matrix Metalloproteinase-9 in Lymphatic Invasiveness and Metastasis of Breast Cancer. Xiamen University China. Available from: Accessed February 27, Yabluchanskiy, A., Ma, Y., Padmanabhan, R.I., Hall, M.E., Lindsey, M.L Matrix Metalloproteinase-9: Many Shades of Function of Cardivascular Disease. Physiology; 28: p Yousef, E.M., Tahir, M.R., Pierre, Y.S., Gaboury, L.A MMP-9 expression varies according to molecular subtypes of breast cancer. Available from: Accessed January 17, 2016.

91 Lampiran 1. Ethical Clearance 91

92 Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian 92

93 93 Lampiran 3. Data Subyek Penelitian No No. PA USIA GRAD E TUBULA R PLE O MITOSI S TOTAL JUMLA H SKOR 5 PRESENTASE SEL INTENSITA S HASIL PERKALIA N 848PP R 2730PP201 4 R PP T 802PP R 2371PP201 3 R PP R 1922PP201 4 R PP T 2348PP201 7 T PP201 7 T PP201 6 R PP201 7 R PP201 7 R PP T 1533PP201 7 R PP201 6 T R 2344PP PP201 7 T PP201 6 R PP201 7 R PP R 982PP R 1449PP201 6 T PP201 7 T PP201 6 T PP T 739PP T 752PP R 798PP T 860PP R 1421PP T MMP-9

94 PP R PP T PP T PP T PP T 417PP T 592PP T 940PP T 2053PP T PP T PP T PP T PP R PP R 382PP T 603PP T Catatan : a. Skor persentase sel yang terpulas (distribusi) : 0 (tidak terwarnai), 1 (1-10% sel terpulas), 2 (10-50% sel terpulas), 3 (50-70% sel terpulas), dan 4 (70-100%). b. Skor intensitas warna coklat pada sel ganas, sel stroma, sel radang, dan pembuluh darah : 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang), dan 3 (kuat). c. Hasil perkalian skor presentase sel dan skor intensitas warna dibagi menjadi dua kategori yaitu : 0-4 tingkat rendah dan 5-12 tingkat tinggi.

95 95 Lampiran 4. Analisis Statistik 4.a. Hasil Analisis Usia Keseluruhan Derajat Histologis Frequencies Statistics Usia Grade Tubular Pleomorfik Mitosis Kelompok_usia N Valid Missing Mean Median Mode a 5 Std. Deviation Minimum Maximum a. Multiple modes exist. The smallest value is shown Frequency Table Usia Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid

96 Total Grade Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total

97 97 Tubular Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total Pleomorfik Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total Mitosis Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total

98 98 Kelompok_usia Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total Statistics Usia_grade1 Usia_grade2 Usia_grade3 N Valid Missing Mean Median Mode 38 a Std. Deviation Minimum Maximum a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

99 99 Frequencies Statistics Persentase_sel Intensitas Hasil_kali MMP9 MMP_9 N Valid Missing Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum Frequency Table Persentase_sel Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total Intensitas

100 100 Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total Hasil_kali Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total MMP9 Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid R T Total MMP_9

101 101 Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Total b. Hasil Analisis Uji Chi-square Chi square usia terhadap grade Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kelompok_usia * Grade % 0.0% % Count Kelompok_usia * Grade Crosstabulation Grade Total Kelompok_usia Total

102 102 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- sided) Pearson Chi-Square a Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 47 a. 11 cells (73.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is.15. Chi square grade terhadap MMP-9 Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Grade * MMP % 0.0% % Count Grade * MMP9 Crosstabulation MMP9 R T Total Grade Total Chi-Square Tests

103 103 Value df Asymp. Sig. (2- sided) Pearson Chi-Square a Likelihood Ratio N of Valid Cases 47 a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is Penilaian Skor Presentase Sel Ekspresi MMP-9 Berdasarkan Derajat Histologis

104 104 Penilaian Skor Intensitas Warna Ekspresi MMP-9 Berdasarkan Derajat Histologis 4.c. Hasil Uji Normalitas pada berbagai grade

105 4.d. Hasil Analisis Uji Kruskal-Wallis pada berbagai grade 105

106 106 4.e. Hasil Analisis Uji Mann-Whitney pada derajat histologis I dan II Hasil Analisis Uji Mann-Whitney pada derajat histologis I dan III

107 107 Hasil Analisis Uji Mann-Whitney pada derajat histologis II dan III 4.f. Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Logistic Regression

108 108 Block 1: Method = Enter Iteration History a,b,c,d Iteration -2 Log likelihood Coefficients Constant Tubular Pleomorfik Mitosis Step a. Method: Enter b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: d. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than.001. Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step Block Model Model Summary Cox & Snell R Nagelkerke R Step -2 Log likelihood Square Square a

109 109 Model Summary Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square a a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than.001. Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df Sig Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test MMP9 = R MMP9 = T Observed Expected Observed Expected Total Step Classification Table a Predicted MMP9 Percentage Observed R T Correct Step 1 MMP9 R T

110 110 Overall Percentage 70.2 a. The cut value is.500 Variables in the Equation 95.0% C.I.for EXP(B) B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper Step 1 a Tubular Pleomorfik Mitosis Constant a. Variable(s) entered on step 1: Tubular, Pleomorfik, Mitosis. Correlation Matrix Constant Tubular Pleomorfik Mitosis Step 1 Constant Tubular Pleomorfik Mitosis

111 111

112 112

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini insiden kanker sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan kanker tersering pada wanita di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan kanker tersering pada wanita di seluruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan kanker tersering pada wanita di seluruh dunia. Berbeda dengan negara maju dengan insiden kanker payudara yang stagnan atau malah semakin menurun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jutaan wanita di seluruh dunia terkena kanker payudara tiap tahunnya. Walaupun

BAB I PENDAHULUAN. jutaan wanita di seluruh dunia terkena kanker payudara tiap tahunnya. Walaupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara adalah keganasan paling sering pada wanita dan diperkirakan jutaan wanita di seluruh dunia terkena kanker payudara tiap tahunnya. Walaupun terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia, karsinoma payudara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia, karsinoma payudara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia, karsinoma payudara menduduki ranking kedua setelah kanker

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Staging tumor, nodus, metastasis (TNM) Semakin dini semakin baik. di bandingkan dengan karsinoma yang sudah invasif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Staging tumor, nodus, metastasis (TNM) Semakin dini semakin baik. di bandingkan dengan karsinoma yang sudah invasif. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prognosis Kanker Payudara Prognosis dipengaruhi oleh ukuran tumor, metastasis, derajat diferensiasi, dan jenis histopatologi. Menurut Ramli (1994), prognosis kanker payudara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia dan di Bali khususnya insiden karsinoma tiroid sangat tinggi sejalan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia dan di Bali khususnya insiden karsinoma tiroid sangat tinggi sejalan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia dan di Bali khususnya insiden karsinoma tiroid sangat tinggi sejalan dengan tingginya insiden goiter. Goiter merupakan faktor predisposisi karsinoma tiroid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan penyebab kematian terbanyak. Pengobatannya sangat tergantung dari stadium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak. pada wanita di dunia. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak. pada wanita di dunia. Menurut World Health Organization BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak pada wanita di dunia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, kanker payudara menduduki peringkat keempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan merupakan penyebab kematian kedua pada wanita setelah kanker

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering ditemui dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita oleh kaum wanita dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker endometrium adalah kanker paling sering pada saluran genitalia wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia setelah payudara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker serviks uteri merupakan salah satu masalah penting pada wanita di dunia. Karsinoma serviks uteri adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara adalah keganasan pada payudara. yang berasal dari sel epitel kelenjar payudara.

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara adalah keganasan pada payudara. yang berasal dari sel epitel kelenjar payudara. 1 BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Karsinoma payudara adalah keganasan pada payudara yang berasal dari sel epitel kelenjar payudara. Karsinoma merupakan penyakit yang kompleks yang dari segi klinis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,

Lebih terperinci

I. BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

I. BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tumor ovarium dapat berasal dari salah satu dari tiga komponen berikut: epitel permukaan, sel germinal, dan stroma ovarium itu sendiri. Terdapat pula kasus yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Karsinoma Payudara Duktal Invasif Tipe Tidak Spesifik. Karsinoma payudara adalah salah satu keganasan yang sering dijumpai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Karsinoma Payudara Duktal Invasif Tipe Tidak Spesifik. Karsinoma payudara adalah salah satu keganasan yang sering dijumpai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Payudara Duktal Invasif Tipe Tidak Spesifik Karsinoma payudara adalah salah satu keganasan yang sering dijumpai diantara kasus keganasan pada wanita. Sampai saat ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kasus diantaranya menyebabkan kematian (Li et al., 2012; Hamdi and Saleem,

BAB 1 PENDAHULUAN. kasus diantaranya menyebabkan kematian (Li et al., 2012; Hamdi and Saleem, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker ovarium merupakan peringkat keenam keganasan terbanyak di dunia, dan merupakan penyebab kematian ketujuh akibat kanker. Kanker ovarium didiagnosis pada 225.500

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling umum terjadi dan paling banyak menyebabkan. kematian pada perempuan setelah karsinoma paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. paling umum terjadi dan paling banyak menyebabkan. kematian pada perempuan setelah karsinoma paru-paru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan karsinoma yang paling umum terjadi dan paling banyak menyebabkan kematian pada perempuan setelah karsinoma paru-paru di dunia (Alteri et

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker payudara adalah keganasan pada jaringan payudara yang berasal dari epitel duktus atau lobulus. 1 Di Indonesia kanker payudara berada di urutan kedua sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan pertumbuhan yang cepat dan abnormal pada sel, tidak terkontrol, dan tidak terlihat batasan yang jelas dengan jaringan yang sehat serta mempunyai sifat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kanker ovarium adalah kanker ginekologi yang dijumpai hampir 30% dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada perempuan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah penyakit tidak menular yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Pertumbuhan sel tersebut dapat

Lebih terperinci

2.3.2 Faktor Risiko Prognosis...16 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN Kerangka Berpikir

2.3.2 Faktor Risiko Prognosis...16 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN Kerangka Berpikir DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv ABSTRAK...v ABSTRACT... vi RINGKASAN... vii SUMMARY... viii KATA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Pemerintah Dr. Kariadi Semarang yang beralamat di jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah kesehatan perempuan di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini terkait dengan tingginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat dan bentuk berbeda dari sel asalnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara pada wanita masih menjadi masalah kesehatan yang utama

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara pada wanita masih menjadi masalah kesehatan yang utama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karsinoma payudara pada wanita masih menjadi masalah kesehatan yang utama di seluruh dunia dan menempati keganasan terbanyak pada wanita baik di negara maju

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 13% kematian dari 22% kematian akibat penyakit tidak menular utama di dunia (Shibuya et al., 2006).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Karsinoma payudara merupakan suatu kelompok tumor ganas epitelial

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Karsinoma payudara merupakan suatu kelompok tumor ganas epitelial BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Payudara 2.1.1 Epidemiologi Karsinoma payudara merupakan suatu kelompok tumor ganas epitelial dengan karakteristik invasif ke jaringan sekitarnya dan memiliki kecenderungan

Lebih terperinci

Tugas Biologi Reproduksi

Tugas Biologi Reproduksi Tugas Biologi Reproduksi Nama :Anggun Citra Jayanti Nim :09004 Soal : No.01 Mengkritisi tugas dari: Nama :Marina Nim :09035 Soal: No.05 factor yang memepengaruhi pematangan serviks Sebelum persalinan dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan penyebab kematian ketujuh pada wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 239.000 kasus baru kanker ovarium dan 152.000 kasus meninggal dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibanding kasus). Kematian akibat kanker payudara menduduki peringkat

BAB I PENDAHULUAN. dibanding kasus). Kematian akibat kanker payudara menduduki peringkat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan penting di dunia, dimana saat ini merupakan peringkat kedua penyakit kanker setelah kanker paru-paru dan telah

Lebih terperinci

Bagaimana Proses Terjadinya Keganasan

Bagaimana Proses Terjadinya Keganasan Bagaimana Proses Terjadinya Keganasan Kanker adalah suatu penyakit dimana terjadi proleferasi sel yang tidak terkontrol (Devita). Kanker terjadi karena adanya kerusakan gen yang mengatur pertumbuhan dan

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN akibat kanker payudara (WHO, 2011). Sementara itu berdasar hasil penelitian

BAB I PENDAHULUAN akibat kanker payudara (WHO, 2011). Sementara itu berdasar hasil penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan kanker yang sangat banyak dialami perempuan dan juga termasuk penyebab kematian, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keganasan ini dapat menunjukkan pola folikular yang tidak jarang dikelirukan

BAB I PENDAHULUAN. Keganasan ini dapat menunjukkan pola folikular yang tidak jarang dikelirukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma tiroid merupakan keganasan tersering organ endokrin.sebagian besar neoplasma tersebut berasal dari sel epitel folikel dan merupakan tipe papiler. Keganasan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. penyakit dimana sel-sel abnormal membelah tanpa kontrol dan. (adenokarsinoma) (Kumar, 2007 ; American Cancer Society, 2011 ;

BAB II LANDASAN TEORI. penyakit dimana sel-sel abnormal membelah tanpa kontrol dan. (adenokarsinoma) (Kumar, 2007 ; American Cancer Society, 2011 ; 4 BAB II LANDASAN TEORI A. TinjauanPustaka 1. Kanker Payudara a. Definisi Kanker atau neoplasma adalah istilah yang digunakan untuk penyakit dimana sel-sel abnormal membelah tanpa kontrol dan mampu menyerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana terkandung dalam Al Baqarah ayat 233: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,.

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana terkandung dalam Al Baqarah ayat 233: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Payudara merupakan salah satu bagian tubuh wanita yang memiliki kedudukan istimewa baik secara lahir dan batin. Selain memiliki nilai estetika, bagian tubuh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Prostat merupakan organ retroperitoneal yang memiliki berat 30 gram dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Prostat merupakan organ retroperitoneal yang memiliki berat 30 gram dengan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Struktur Normal Prostat 2.1.1 Anatomi Makroskopik Prostat Prostat merupakan organ retroperitoneal yang memiliki berat 30 gram dengan bentuk menyerupai corong dan posisi melingkari

Lebih terperinci

Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengahmerupakan Satuan

Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengahmerupakan Satuan Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang yang beralamat di jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengahmerupakan Satuan Kerja atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. saat ini menjadi permasalahan dunia, tidak hanya di negara berkembang

I. PENDAHULUAN. saat ini menjadi permasalahan dunia, tidak hanya di negara berkembang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini pemerintah disibukkan dengan penyakit kanker payudara yang saat ini menjadi permasalahan dunia, tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang

BAB I PENDAHULUAN. fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pterigium merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang menginvasi bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Karsinoma ovarium adalah keganasan yang berasal. dari jaringan ovarium. Ovarian Cancer Report mencatat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Karsinoma ovarium adalah keganasan yang berasal. dari jaringan ovarium. Ovarian Cancer Report mencatat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma ovarium adalah keganasan yang berasal dari jaringan ovarium. Ovarian Cancer Report mencatat pada tahun 2014 karsinoma ovarium adalah karsinoma peringkat tujuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari Kanker Kepala Leher (KKL) dalam hal epidemiologi, karakteristik klinis, etiologi, dan histopatologi (Ruiz

Lebih terperinci

Bagi pria, kewaspadaan juga harus diterapkan karena kanker payudara bisa menyerang

Bagi pria, kewaspadaan juga harus diterapkan karena kanker payudara bisa menyerang Gejala Kanker Payudara dan Penyebabnya Pada wanita khususnya, payudara adalah salah satu organ paling pribadi. Penting artinya memeriksa kondisi payudara secara berkala. Benjolan, penebalan, dan perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam urat akan didegradasi menjadi alantoin oleh urikase. Kadar serum asam urat diatur melalui sintesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. adanya heterogenitas pada perubahan genetik. Kanker payudara menjadi penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. adanya heterogenitas pada perubahan genetik. Kanker payudara menjadi penyebab BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker payudara merupakan penyakit kompleks yang ditandai dengan adanya heterogenitas pada perubahan genetik. Kanker payudara menjadi penyebab utama kematian di dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Penelitian. Karsinoma payudara merupakan keganasan paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Penelitian. Karsinoma payudara merupakan keganasan paling banyak BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Karsinoma payudara merupakan keganasan paling banyak pada wanita. Karsinoma payudara merupakan penyakit heterogen dengan kemiripan secara histologis namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ginekologi utama di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 70 wanita di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. ginekologi utama di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 70 wanita di Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tumor ganas ovarium tipe epitel adalah penyebab kematian kanker ginekologi utama di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 70 wanita di Amerika Serikat terkena tumor ganas

Lebih terperinci

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA Penyusun : 1. Tiara Fenny Santika (1500023251) 2. Weidia Candra Kirana (1500023253) 3. Ratih Lianadewi (1500023255) 4. Muna Marzuqoh (1500023259) 5. Luay

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tumor odontogenik adalah tumor yang berasal dari jaringan pembentuk gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling sering ditemukan

Lebih terperinci

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657X Hubungan Usia dengan Tipe Histopatologi, Grading, dan Metastasis Kelenjar Getah Bening pada Penderita Karsinoma Payudara di Bagian Patologi Anatomi Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health

BAB 1 PENDAHULUAN. kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health Estimates, WHO 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker Ovarium merupakan penyebab utama kematian dari kanker ginekologi. Selama tahun 2012 terdapat 239.000 kasus baru di seluruh dunia dengan insiden yang bervariasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker kepala dan leher adalah berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas (UADT), meliputi rongga mulut, nasofaring, orofaring, hipofaring dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningioma merupakan tumor otak jinak pada jaringan pembungkus otak atau meningens. Meningioma tumbuh dari sel arachnoid cap yang berasal dari arachnoid villi atau lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif deskriptif untuk melihat pola ekspresi dari Ki- 67 pada pasien KPDluminal A dan luminal B. 3.2 Tempat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv ABSTRAK...v ABSTRACT... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di dunia. Sirosis hati dan penyakit hati kronis penyebab kematian urutan ke 12 di Amerika Serikat pada tahun 2002,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIKOPATOLOGI KARSINOMA PAYUDARA INVASIF TIPE TIDAK SPESIFIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DARI 1 JANUARI 2014 SAMPAI 30 APRIL 2015

GAMBARAN KLINIKOPATOLOGI KARSINOMA PAYUDARA INVASIF TIPE TIDAK SPESIFIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DARI 1 JANUARI 2014 SAMPAI 30 APRIL 2015 1 GAMBARAN KLINIKOPATOLOGI KARSINOMA PAYUDARA INVASIF TIPE TIDAK SPESIFIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DARI 1 JANUARI 2014 SAMPAI 30 APRIL 2015 Diah Widityasari, Luh Dewi Rahayu, I.G.A Sri MahendraDewi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Retinoblastoma merupakan keganasan intraokular paling sering pada anak, yang timbul dari retinoblas immature pada perkembangan retina. Keganasan ini adalah keganasan

Lebih terperinci

I. BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah

I. BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronis merupakan salah satu penyakit tidak menular yang cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah kasusnya terus meningkat.

Lebih terperinci

(PR), serta human epidermal growth factor receptor 2 (HER2) kanker payudara tersebut. (Shenkier, 2004) Keberhasilan dalam penatalaksanaan kanker

(PR), serta human epidermal growth factor receptor 2 (HER2) kanker payudara tersebut. (Shenkier, 2004) Keberhasilan dalam penatalaksanaan kanker BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker payudara masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar. Kanker payudara menjadi penyebab kematian kedua terbanyak bagi wanita Amerika pada tahun 2013

Lebih terperinci

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15 Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kanker Payudara 1. Pengertian a. Payudara Payudara yang dalam bahasa latin disebut mamma adalah organ tubuh bagian atas dada dari spesies mamalia berjenis kelamin betina, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa lima besar karsinoma di dunia adalah karsinoma paru-paru, karsinoma mamae, karsinoma usus besar dan karsinoma lambung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan penting di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan penting di dunia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan penting di dunia, dimana saat ini merupakan peringkat kedua penyakit kanker setelah kanker paru-paru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu golongan penyakit ditandai dengan adanya pembelahan sel yang berlangsung secara tidak terkendali serta berkaitan dengan kemampuan sel sel dalam

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum terjadinya persalinan. KPD merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa. yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa. yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006). Diperkirakan ada 10.000 kasus baru

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Inflamasi merupakan respon fisiologis tubuh terhadap iritasi maupun stimuli yang mengubah homeostasis jaringan. Inflamasi akut dapat mengalami pemulihan sempurna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak terkendali dan penyebaran sel-sel yang abnormal. Jika penyebaran

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak terkendali dan penyebaran sel-sel yang abnormal. Jika penyebaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan yang tidak terkendali dan penyebaran sel-sel yang abnormal. Jika penyebaran kanker tidak terkontrol,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti spinal dan intra orbita, dan meskipun tidak mengivasi jaringan otak, meningioma menyebabkan penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Pada tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Pada tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kanker merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Pada tahun 2012 sebanyak 8,2 juta orang meninggal karena kanker dan 65% di antaranya terjadi di negara miskin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab kematian ketiga yang disebabkan oleh kanker baik secara global maupun di Asia sendiri.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN 20 BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM Jakarta periode tahun 2004. Data yang didapatkan adalah sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci