EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (STUDI KASUS DESA CIBEUREUM, KECAMATAN SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (STUDI KASUS DESA CIBEUREUM, KECAMATAN SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT)"

Transkripsi

1 EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (STUDI KASUS DESA CIBEUREUM, KECAMATAN SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT) OLEH : MEDINA RACHMA A PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 Katakanlah, Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis Kalimatkalimat Tuhan-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) Kalimatkalimat Tuhan-ku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (Q.S. Maryam: 109) Kupersembahkan karya ini untuk Keluargaku tercinta, Mama, Bapak, Ade-adeQu, Ma Nini, Pak Aki, dan AangQu terimakasih atas segala cinta dan kasih yang telah kalian beri

3 RINGKASAN MEDINA RACHMA, Efisiensi Tataniaga Cabai Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat) di bawah bimbingan FEBRIANTINA DEWI. Komoditas cabai merah saat ini merupakan salah satu komoditas andalan petani sayuran di Indonesia karena dapat ditanam pada berbagai lahan, tidak mengenal musim tanam, dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan, serta mempunyai nilai sosial ekonomi yang tinggi (Sugiarti, 2003). Seiring dengan berkembangnya industri pangan nasional, cabai merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Cabai merah merupakan bahan pangan yang dikonsumsi setiap saat dan tidak dapat disubstitusi, maka cabai merah akan terus dibutuhkan dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian nasional. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil tanaman hortikultura terbesar di Indonesia, diantaranya cabai merah. Kabupaten Ciamis bagian utara termasuk dalam daerah andalan pertanian hortikultura di Jawa Barat, terutama untuk komoditas cabai merah. Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis bagian dari Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi cabai merah di Kabupaten Ciamis. Selain itu, Desa Cibeureum merupakan daerah yang dibidik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat untuk dijadikan kawasan agropolitan serta proyek pembangunan pasar agro. Selama ini petani cabai merah di Desa Cibeureum menyalurkan hasil panennya kepada pedagang pengumpul dan hanya terdapat satu pedagang pengumpul sehingga petani tidak mempunyai alternatif lain untuk dapat meningkatkan posisi tawarnya. Kondisi seperti ini menyebabkan petani berada pada posisi yang lemah. Lemahnya posisi petani juga ditunjang dengan sistem jual beli kepada pedagang pengumpul menggunakan sistem nota penjualan, sehingga menyebabkan adanya lag waktu antara penjualan dengan pembayarannya. Sistem nota penjualan ini terjadi pula di tingkat pedagang pengumpul dengan pedagang grosir. Pendekatan yang dilakukan untuk menjawab permasalahan efisiensi tataniaga cabai merah dilakukan melalui analisis deskriptif terhadap analisis saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga, analisis struktur dan perilaku pasar. Selain itu, analisis secara kuantitatif juga dilakukan melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, rasio keuntungan dan biaya serta analisis harga untuk mengetahui tingkat keterpaduan pasar. Berdasarkan semua pendekatan tersebut dapat diketahui alternatif tataniaga yang paling efisien sehingga pasar dapat terintegrasi secara sempurna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang gosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul,

4 pedagang grosir, dan pedagang pengecer II. Sedangkan saluran tataniaga IV terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran V terdiri dari pedagang pengumpul dan pedagang pengecer I. Berdasarkan kelima saluran tataniaga tersebut, terlihat bahwa 100 persen cabai merah dijual petani kepada pedagang pengumpul. Setiap lembaga tataniaga terlibat memiliki fungsi tataniaga masingmasing. Fungsi tataniaga bertujuan untuk memperlancar penyaluran hasil panen dari petani ke konsumen akhir. Struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum adalah monopsoni karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang menampung langsung keseluruhan hasil pertanian cabai merah dari petani di Desa Cibeureum dan beberapa penjual di setiap tingkat lembaga tataniaga lainnya. Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa terjadi transaksi dengan nota penjualan antara petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir. Sedangkan transaksi antara pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II adalah secara tunai. Lembaga penentu harga cabai merah adalah pedagang grosir. Hasil analisis marjin tataniaga menunjukkan marjin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV, sedangkan marjin terkecil terdapat pada saluran I dan V. Secara operasional dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada, saluran V merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Hal ini terlihat dari marjin tataniaga yang rendah, farmer s share serta rasio keuntungan dan biaya yang paling tinggi. Pada intinya analisis efisiensi tataniaga cabai merah ini adalah ingin memberikan alternatif bagi petani dalam memilih saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar, sehingga dapat meningkatkan bagian harga yang diterima oleh petani. Tetapi berdasarkan hasil penelitian, saluran tataniaga di tingkat petani cabai merah hanya ada satu yaitu kepada pedagang pengumpul. Karena itu, untuk memberikan alternatif saluran yang memberikan keuntungan bagi petani maka perlu dilakukan skenario saluran tataniaga yang belum dilakukan oleh petani dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan dan biaya. Berdasarkan analisis skenario alternatif saluran tataniaga dengan pendekatan marjin tataniaga, saluran tataniaga cabai merah yang paling efisien adalah saluran X dan XI yang memberikan marjin tataniaga paling kecil. Walaupun melayani pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II bukan berarti petani tidak menyalurkan kepada pedagang grosir. Hal ini dikarenakan volume pembelian dari kedua jenis pedagang pengecer tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang grosir. Pedagang grosir harus tetap dijadikan tujuan distribusi utama petani karena volume pembelian yang dilakukannya relatif besar sehingga semua hasil panen petani dapat disalurkan. Analisis keterpaduan pasar menunjukkan nilai IMC > 1, yaitu sebesar 2,205 artinya tidak ada keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien b 2 memiliki nilai < 1, yaitu sebesar 0,275 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna. Persaingan yang tidak sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.

5 EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (STUDI KASUS DESA CIBEUREUM, KECAMATAN SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT) OLEH : MEDINA RACHMA A SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Program Sarjana Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

6 Judul Nama NRP : EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat) : Medina Rachma : A Menyetujui, Dosen Pembimbing Febriantina Dewi, SE, M.Sc. NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP Tanggal Lulus:

7 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (STUDI KASUS DESA CIBEUREUM, KECAMATAN SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN BOGOR, MEI 2008 MEDINA RACHMA NRP A

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 24 Juni Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Nanang Rohayat dan Ibu Maesaroh. Penulis memulai sekolah tahun 1991 pada tingkat Taman Kanak-Kanak di TK Mawar, Ciamis selesai pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Sukakerta, Ciamis pada tahun 1992 dan lulus tahun Pendidikan Sekolah Menengah Pertama dapat diselesaikan pada tahun 2001 di SMP Negeri I Panumbangan, Ciamis. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Cihaurbeuti, Ciamis. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cihaurbeuti dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi S1 di Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan. Penulis menjabat sebagai staf usaha bagian keuangan unit usaha GREENCO periode di KOPMA IPB dan anggota Biro Pengabdian Masyarakat Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi (MISETA) periode Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa Tanoto Foundation dari semester 5 hingga semester 8. Disamping kegiatan perkuliahan, penulis tergabung sebagai staf pengajar kimia tingkat SMA di Lembaga Pendidikan Sentral Edukatif, Bogor mulai Desember 2006 hingga Februari Prsetasi yang pernah dimiliki oleh penulis, yaitu Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Bidang Seni Tingkat Nasional dengan judul Strategi Melestarikan Seni Karawitan Sunda pada Pelajar SMA di Kota Bogor dan Finalis Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa Tingkat Nasional dengan judul Analisis Permasalahan Banjir Dengan Konsep Megapolitan Sebagai Alternatif Solusi (Studi Kasus Kota Bogor).

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Efisiensi Tataniaga Cabai Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi tataniaga dan memberikan alternatif skenario saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani yang dilihat dari nilai marjin tataniaga, farmer s share, rasio keuntungan dan biaya, serta tingkat keterpaduan pasar dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis dan seluruh pihak yang berkepentingan. Penulis berharap penelitian yang dilakukan dapat diterima dan bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain yang berkepentingan. Bogor, Mei 2008 Penulis

10 UCAPAN TERIMA KASIH Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah mendapatkan sumbangan pikiran, bimbingan, dukungan serta dorongan dari berbagai pihak. Karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Febriantina Dewi, SE, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan membimbing penulis dengan sabar sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan koreksi dan saran bagi penulis. 3. Etriya, SP, M.M. selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas masukan dan kesediaan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis. 4. Ibu Maesaroh dan Bapak Nanang Rohayat selaku orang tua tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa dan dukungannya serta adikadiku tersayang Aliefiya dan Raihan yang telah memberikan semangat selama ini. 5. Dede Iim Setiawan, S.T. sebagai sumber inspirasi yang telah berbagi kesabaran, kesetiaan, motivasi serta memberikan curahan kasih sayangnya. 6. Bapak Pipin selaku ketua Kelompok Tani Karang Sari atas kerjasamanya. 7. Bapak Iya Sugiya selaku Kabid Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Jawa Barat yang telah berbaik hati untuk menjadi mitra diskusi. 8. Bapak Yasin selaku Kabid Hortikultura Dinas Pertanian Tanaman Pangan atas informasi serta kesediaannya untuk berdiskusi. 9. Mba Dewi dan Mba Dian yang telah memberikan kemudahan dalam administrasi. 10. Sahabat-sahabatku R.Irsan, Sri Maryati, Sri W.L, Melly, Nia, Kak Feryanto, Taufik, Doni yang telah berbagi keceriaan, kebersamaan, dukungan, dan masukannya kepada penulis.

11 11. Teman-teman Harmony I Widya, Mita, Brigtha, Pungki, Nisa, Niken, Prima, Roisah, Alda, Resti, Endah, Ninon, Zissalwa, Enti, Vera atas kebersamaannya. 12. Dinna Sabriani yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar saya. 13. Teman-teman seperjuangan, Wahid, Dini, Biblio yang telah berbagi semangat, suka, dan duka serta atas kebersamaannya selama penyusunan karya tulis. 14. Teman-teman seperjuangan KKP Jalancagak, Subang (Yuddy, Imadh, Yuli, Risa, Sita, Agus) atas kekompakan serta pengertiannya. 15. Dita, Dhania dan Klory atas kepedulian dan kebersamaannya. 16. Dian Kristiyani atas masukan dan motivasinya. 17. AGEBER S 41 atas kebersamaannya selama ini dan memberikan banyak kenagan yang tak kan terlupakan.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 7 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Cabai Merah Hasil Penelitian Terdahulu... 9 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Tataniaga Konsep Saluran Tataniaga Konsep Lembaga dan Fungsi Tataniaga Konsep Struktur Pasar Konsep Perilaku Pasar Konsep Efisiensi Tataniaga Konsep Marjin Tataniaga Konsep Farmer s Share Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya Konsep Keterpaduan Pasar Kerangka Pemikiran Operasional IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Penarikan Sampel Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis Saluran Tataniaga Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Analisis Struktur Pasar Analisis Perilaku Pasar Analisis Efisiensi Tataniaga Analisis Marjin Tataniaga Analisis Farmer s Share Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Analisis Keterpaduan Pasar Pengujian Hipotesis Keterpaduan Pasar Jangka Pendek... 39

13 Pengujian Hipotesis Keterpaduan Pasar Jangka Panjang Definisi Operasional V GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Wilayah Desa Cibeureum Karakteristik Petani Responden Karakteristik Pedagang Responden Gambaran Umum Usahatani Cabai Merah di Lokasi Penelitian Penyiapan Lahan Penyemaian Benih dan Pembibitan Pemasangan Mulsa Penanaman Pemeliharaan Pemanenan VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Saluran dan Lembaga Tataniaga Cabai Merah Fungsi Tataniaga Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Grosir Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer Besar Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer Kecil Struktur Pasar Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Grosir Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer Besar dan Pedagang Pengecer Kecil Perilaku Pasar Praktek Pembelian dan Penjualan Praktek Penjualan di Tingkat Petani Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengumpul Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Grosir Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengecer Besar dan Pedagang Pengecer Kecil Sistem Penentuan Harga Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Efisiensi Tataniaga Analisis Marjin Tataniaga Analisis Marjin Tataniaga Saluran I Analisis Marjin Tataniaga Saluran II Analisis Marjin Tataniaga Saluran III Analisis Marjin Tataniaga Saluran IV Analisis Marjin Tataniaga Saluran V Analisis Farmer s Share... 82

14 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Skenario Saluran Tataniaga, Marjin Tataniaga, Farmer s Share serta Rasio Keuntungan dan Biaya Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VI Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VII Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VIII Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran IX Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran X Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran XI Keterpaduan Pasar VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

15 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Produksi Nasional Komoditas Cabai Merah Besar (Ton) Karakteristik Struktur Pasar Tingkat Pendidikan Petani Responden Pengalaman Berdagang dan Bentuk Usaha dari Masing-Masing Jenis Pedagang yang Terlibat dalam Tataniaga Cabai Merah Desa Cibeureum Luas Lahan Cabai Merah di Tingkat Petani Responden Biaya Produksi Cabai Merah per m 2 (1.000 Kg) Selama Satu Masa Tanam (MST) di Desa Cibeureum Fungsi-Fungsi Tataniaga pada Setiap Saluran tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum Analisis Marjin Tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga (π/c) Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Bulan Maret Skenario Marjin Tataniaga Cabai Merah pada Setiap Alternatif Saluran Tataniaga Bagi Petani Skenario Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga (π/c) Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Bulan Maret Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Pasar di Tingkat Petani dengan Pasar Induk Caringin di Bandung untuk Komoditi Cabai Merah Hasil Analisis Keterpaduan Pasar antara Petani Cabai Merah Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin Bandung pada Maret

16 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Produksi Cabai Merah Provinsi Jawa Barat Periode Contoh Saluran Tataniaga dengan Beberapa Tingkat Proses Terjadinya Marjin dan Nilai Marjin Tataniaga Kerangka Pemikiran Operasional Efisiensi dan Keterpaduan Pasar Tataniaga Cabai Merah Skema Saluran Tataniaga Cabai Merah dari Produsen Hingga Konsumen Akhir... 51

17 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Peta Lokasi Penelitian Biaya Rata-Rata Tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Setiap Lembaga Tataniaga yang Terlibat Skenario Biaya Rata-Rata Tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Setiap Lembaga Tataniaga yang Terlibat Harga Rata-rata Mingguan Cabai Merah di Pasar Lokal (Tingkat Petani) dan Pasar Acuan (Tingkat Pedagang Grosir) Persamaan Regresi Keterpaduan Pasar Tingkat Petani Cabai Merah di Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin di Bandung Pengujian Keterpaduan Pasar Jangka Pendek dan Jangka Panjang antara Tingkat Petani di Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin di Bandung Kuisioner Penelitian untuk Responden Petani Kuisioner Penelitian untuk Responden Pedagang

18 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003). Produksi hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan menyumbang pertumbuhan sektor pertanian nasional masing-masing sebanyak 3,1 juta ton dan 2,6 juta ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2006). Hortikultura merupakan komoditas pertanian khas tropis yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan memiliki prospek yang cerah di masa mendatang sekaligus sebagai sumber perolehan devisa bagi Indonesia. Nilai ekspor hortikultura pada bulan Februari 2007 mengalami peningkatan sebesar 34,46 persen dari bulan Januari 2007 (Departemen Pertanian, 2007). Hal ini didukung oleh pendapat Rachman, Supriyati, dan Saptana (2001) bahwa permintaan pasar domestik maupun pasar internasional terhadap komoditas hortikultura di masa mendatang diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil tanaman hortikultura terbesar di Indonesia, diantaranya cabai merah. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian Tahun 2007, produksi cabai merah Provinsi Jawa Barat dari tahun 2003 hingga 2006 memberikan kontribusi yang paling besar terhadap produksi cabai merah nasional (Tabel 1). Produksinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat

19 Jawa Barat, selebihnya luar Jawa Barat, terutama DKI Jakarta (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat, 2006). Tabel 1 Produksi Nasional Komoditas Cabai Merah Besar Lokasi Produksi (Ton) Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Riau Kepulauan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sumber: Departemen Pertanian, 2007.

20 Produksi cabai merah Jawa Barat tahun 2003 menyumbang 25,64 persen terhadap produksi cabai merah nasional. Tahun 2004 produksi cabai merah Provinsi Jawa Barat menurun hingga 18,91 persen dibandingkan tahun 2003 sehingga hanya menyumbang sebesar 22,35 persen terhadap produksi cabai merah nasional. Tetapi pada tahun 2005 produksinya naik sekitar 24,49 persen dibandingkan tahun 2004 dan menyumbang sebesar 30,07 persen terhadap produksi cabai merah nasional. Penurunan produksi cabai merah Provinsi Jawa Barat terjadi kembali pada tahun 2006, yaitu sebesar 8,56 persen dibandingkan tahun 2005 dan menyumbang terhadap produksi nasional sebesar 24,81 persen. Walaupun mengalami penurunan, tetapi Provinsi Jawa Barat tetap memberikan kontribusi yang paling besar terhadap produksi cabai merah nasional. Naik turunnya produksi cabai merah Provinsi Jawa Barat ditunjukkan oleh Gambar 1. Produksi Cabai Merah di Provinsi Jawa Barat Tahun Produksi Periode Gambar 1 Produksi Cabai Merah Provinsi Jawa Barat Periode Komoditas cabai merah saat ini merupakan salah satu komoditas andalan petani sayuran di Indonesia karena dapat ditanam pada berbagai lahan, tidak mengenal musim tanam, dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan, serta mempunyai nilai sosial ekonomi yang tinggi (Sugiarti, 2003). Sebagian besar hasil

21 produksi yang ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar merupakan salah satu indikator bahwa cabai merah dapat dikategorikan sebagai komoditas komersial. Seiring dengan berkembangnya industri pangan nasional, cabai merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan secara berkesinambungan (Adiyoga, 1996). Cabai merah merupakan bahan pangan yang dikonsumsi setiap saat dan tidak dapat disubstitusi, maka cabai merah akan terus dibutuhkan dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian nasional 1. Menurut catatan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat Tahun 2006, permintaan kebutuhan cabai merah dari konsumen rumah tangga di Jawa Barat mencapai 2.502,24 ton (97,76 persen) dengan nilai sebesar Rp , sedangkan permintaan dari industri besar dan sedang mencapai 28,61 ton (2,24 persen) dengan nilai sebesar Rp Ditinjau dari segi pengembangan produk, cabai merah dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan seperti tepung cabai, pasta acar, atau sambal. Dengan demikian pengusahaan komoditi cabai merah ini memiliki peluang pasar yang cukup luas, yaitu untuk memenuhi permintaan konsumen rumah tangga dan industri pengolahan. Kabupaten Ciamis bagian utara termasuk dalam daerah andalan pertanian hortikultura di Jawa Barat, terutama untuk komoditas cabai merah. Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis bagian dari Provinsi Jawa Barat merupakan salah sentra produksi cabai merah di Kabupaten Ciamis dan merupakan daerah yang dibidik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro 1 Pemda Tasikmalaya Cabai Merah. diakses tanggal 19 Februari 2008.

22 Provinsi Jawa Barat untuk dijadikan kawasan agropolitan serta proyek pembangunan pasar agro. Semakin besar potensi cabai merah yang dihasilkan dari Desa Cibeureum, semakin besar pula tantangan yang dihadapi. Tantangan tersebut diantaranya adalah bagaimana mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar dengan lebih meningkatkan kinerja petani cabai merah, peranan organisasi tataniaga, dan meningkatkan kualitas cabai merah, sehingga dapat berkontribusi secara lebih signifikan bagi peningkatan kesejahteraan petani cabai merah. Salah satu cara untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan meningkatkan kinerja para petani cabai merah, yaitu melalui pemberian insentif dan penghargaan yang lebih tinggi kepada petani cabai merah. Hal ini dapat diwujudkan dengan meningkatkan bagian yang diperoleh petani (farmer s share), menurunkan marjin tataniaga serta memfasilitasi petani dalam memperoleh informasi pasar. 1.2 Perumusan Masalah Desa Cibeureum sebagai salah satu sentra produksi di Jawa Barat dengan rata-rata nilai produksi mencapai 900 ton per tahun 2. Selama ini petani cabai merah di Desa Cibeureum menyalurkan hasil panennya kepada pedagang pengumpul dan hanya terdapat satu pedagang pengumpul sehingga petani tidak mempunyai alternatif lain untuk dapat meningkatkan posisi tawarnya. Kondisi seperti ini menyebabkan petani berada pada posisi yang lemah. Hal tersebut mengakibatkan sistem tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum memiliki kesenjangan harga dan marjin tataniaga yang cukup besar. Lemahnya posisi petani juga ditunjang dengan sistem jual beli kepada pedagang pengumpul menggunakan 2 Monografi Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Tahun 2006 (diolah).

23 sistem nota penjualan, sehingga menyebabkan adanya lag waktu antara penjualan dengan pembayarannya. Sistem nota penjualan ini terjadi pula di tingkat pedagang pengumpul dengan pedagang grosir. Daya tawar petani yang lemah menyebabkan bagian yang diterima petani (farmer s share) sedikit sedangkan marjin tataniaga semakin besar. Hal ini menunjukkan belum tercapainya efisiensi dalam tataniaga cabai merah. Keberadaan pedagang pengumpul yang hanya ada satu orang membuat petani tidak mempunyai alternatif lain untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Penciptaan skenario alternatif tataniaga cabai merah perlu dibuat untuk memberikan alternatif yang paling baik bagi petani cabai merah dalam menyalurkan hasil panennya sehingga dapat meningkatkan bagian harga yang diterima petani dan memperkecil marjin tataniaga. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, serta struktur dan perilaku pasar tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis? 2. Bagaimana efisiensi tataniaga cabai merah pada setiap saluran tataniaga di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, rasio keuntungan dan biaya serta tingkat keterpaduan pasar antara pasar lokal (di tingkat petani) dengan pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung)? 3. Bagaimana alternatif saluran tataniaga cabai merah yang dapat memberikan keuntungan yang paling besar bagi petani?

24 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, serta menganalisis struktur dan perilaku pasar tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis. 2. Menganalisis efisiensi tataniaga cabai merah pada setiap saluran tataniaga di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, rasio keuntungan dan biaya serta tingkat keterpaduan pasar antara pasar lokal (di tingkat petani) dengan pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung). 3. Menganalisis alternatif saluran tataniaga cabai merah yang dapat memberikan keuntungan yang paling besar bagi petani 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan (decision maker) dalam menentukan kebijakan tataniaga cabai merah sehingga tidak merugikan petani karena harganya yang rendah. Selain itu, diharapkan dapat memotivasi petani untuk terus menanam dan meningkatkan produktivitas cabai merah. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi tambahan untuk penelitian selanjutnya.

25 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Cabai Merah Cabai merah (Capsicum annuum L) merupakan salah satu jenis cabai yang mempunyai daya adaptasi tinggi. Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, di lahan sawah maupun lahan tegalan. Sifat inilah yang menyebabkan tanaman cabai dapat dijumpai hampir di semua daerah. Cabai merah berasal dari Mexico, sebelum abad ke-15 spesies ini lebih banyak dikenal di Amerika Tengah dan Selatan. Sekitar tahun 1513 Columbus membawa dan menyebarkan cabai merah dan diperkirakan masuk ke Indonesia melalui pedagang dari Persia ketika singgah di Aceh (Kusandriani, 1996). Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran (hortikultura) yang banyak digemari masyarakat Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sesuai dengan namanya, cabai merah memiliki warna kulit buah yang merah sewaktu buah sudah tua dan masak. Bentuk buahnya silindris dan mengecil ke arah ujung buah. Ciri dari jenis sayuran ini rasanya pedas dan aromanya khas dimasak atau dikonsumsi mentah, sehingga sayuran bagi orang-orang tertentu dapat membangkitkan selera makan. Selain itu, cabai merah mengandung vitamin, khususnya vitamin C (Santika, 2001). Cabai merah dapat digunakan sebagai bumbu masakan baik dalam bentuk segar maupun sudah dikeringkan atau diolah. Produk olahan cabai merah dapat berupa saus, pasta cabai (cabai segar giling), dan cabai kering yang biasanya digunakan sebagai bumbu pelengkap mie instan. Produk olahan cabai merah

26 tersebut mempunyai keuntungan, diantaranya penggunaan yang praktis, awet, serta mudah dalam mengangkut dan menyimpannya. Cabai merah yang diusahakan petani di Desa Cibeureum adalah cabai merah jenis TW. Karakteristik cabai merah ini adalah memiliki warna merah mengkilat, bentuknya panjang dan memiliki ukuran yang relatif besar. Cabai merah ini terlihat lebih segar dibandingkan cabai merah jenis lainnya. Sebagian besar petani di desa ini bercocok tanam cabai merah di daerah lereng gunung dengan jenis lahan tegalan. Petani dan pedagang pengumpul yang ada di Desa Cibeureum hanya melakukan penjualan cabai merah dalam bentuk segar tanpa diberi perlakuan pasca panen. 2.2 Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian Efisiensi Tataniaga Cabai Merah ini merujuk pada beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai tataniaga pertanian. Menurut penelitian Gonarsyah (1992) mengenai Peranan Pasar Induk Kramat Jati sebagai Barometer Harga Sayur Mayur di Wilayah DKI Jakarta bahwa yang menerima marjin keuntungan terbesar dalam tataniaga hortikultura dari pusat produksi ke pusat konsumsi DKI Jakarta adalah pedagang grosir. Hasil penelitian ini juga menunjukkan marjin keuntungan pemasaran yang diterima pedagang yang memasarkan sayurannya ke Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) lebih rendah dari pedagang yang memasarkan langsung sayurannya ke pasar-pasar eceran. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa dengan mengggunakan data harga siang, PIKJ relatif masih berperan dalam pembentukan harga sayur-mayur di pasar-pasar eceran di wilayah DKI Jakarta. Besar kecilnya peran ini tergantung

27 pada seberapa jauh PIKJ dapat berfungsi sebagai pasar penampung dan sekaligus pendistribusi sayur-mayur ke pasar-pasar eceran di wilayah DKI Jakarta. Mukhlis (2000) melakukan penelitian tentang Sistem Tataniaga Cabai Rawit Merah (Capsicum fruiescens) di DKI Jakarta dengan studi kasus di Pasar Induk Kramat Jati, Jatinegara dan Tanah Abang. Analisis deskriptif yang dilakukan menggunakan sistem tabulasi data. Alat analisis kuantitatif program komputer Minitab 13 for Windows serta program komputer The SAS System for Windows v612. Hasil penelitiannya menunjukkan struktur pasar cabai rawit merah di Pasar Induk Kramat Jati cenderung berbentuk tidak bersaing sempurna (oligopoli). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah penjual, kemudahan memasuki pasar dan tidak adanya pembedaan harga cabai rawit merah. Berdasarkan analisis struktur, perilaku, dan keragaan pasar cabai rawit merah, maka disimpulkan bahwa sistem tataniaga cabai rawit merah di daerah konsumen DKI Jakarta belum efisien. Selain itu, hasil analisis marjin tataniaga dapat diketahui bahwa sebaran marjin kurang merata. Hal ini menunjukkan tataniaga cabai rawit merah belum efisien. Tataniaga cabai rawit merah dari daerah sentra produksi Pare, Kediri ke Pasar Jatinegara lebih efisien daripada ke Pasar Tanah Abang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai farmer s share di Pasar Jatinegara (21,15 persen) lebih besar dibandingkan nilai farmer s share Pasar Tanah Abang (20,68 persen). Hasil keterpaduan pasar diperoleh dari nilai b 2 sebesar 0,453 dan 0,522 yang menunjukkan bahwa perubahan harga di PIKJ tidak diteruskan secara penuh ke kedua pasar pengecer. Keadaan ini menunjukkan integrasi pasar jangka panjang pada tingkat pedagang pengecer di PIKJ belum sempurna atau terjadi

28 tawar-menawar, posisi pengecer berada pada pada pihak yang lemah. Sedangkan integrasi jangka pendek antara Pasar Tanah Abang dengan PIKJ secara relatif lebih mendekati efisien dan terpadu dibanding dengan Pasar Jatinegara dan PIKJ. Analisis Efisiensi Pemasaran Komoditas Alpukat di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dilakukan oleh Parwitasari (2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga saluran pemasaran alpukat. Saluran pemasaran satu terdiri dari petani-pedagang pengumpulpedagang grosir-pedagang eceran-konsumen. Saluran pemasaran dua terdiri dari petani-pedagang pengumpul-pedagang eceran-konsumen. Saluran pemasaran tiga terdiri dari petani-pedagang eceran-konsumen. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani mengarah pada pasar oligopsoni. Keadaan ini terjadi karena jumlah penjual yang lebih banyak daripada jumlah pembeli. Sifat produk yang homogen semakin memperkuat struktur pasar oligopsoni pada sistem pemasaran alpukat. Berdasarkan hasil analisis perilaku pasar diketahui bahwa penentuan harga dilakukan oleh pihak pedagang sedangkan petani alpukat sebagai penerima harga. Perhitungan marjin pemasaran komoditas alpukat menunjukkan bahwa saluran pemasaran dua adalah paling efisien. Keadaan ini ditunjukkan melalui rendahnya marjin pemasaran yang dihasilkan yaitu sebesar Rp 72,50 per kilogram. Disamping itu, rasio keuntungan dan biaya pemasaran alpukat tertinggi terdapat pada saluran pemasaran tiga yaitu sebesar 5,22. Sedangkan bagian terbesar yang diterima petani alpukat juga berada pada saluran tiga yaitu sebesar 42,86 persen. Secara umum saluran pemasaran tiga merupakan pemasaran yang paling menguntungkan petani.

29 Lestari (2006) melakukan Analisis Tataniaga Bengkuang (Pchyrrhizus erosus) dengan mengambil studi kasus di Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kecamatan Prembun terdapat enam jalur pemasaran bengkuang. Marjin pemasaran terbesar dan nilai farmer s share terkecil terdapat pada jalur VI karena mempunyai konsumen yang sedang bepergian dan bukan penduduk lokal sehingga pedagang menjual komoditasnya dengan harga yang tinggi. Pada jalur pemasaran II, terdapat marjin pemasaran terkecil, tetapi nilai farmer s share terbesar. Hal ini disebabkan daerah pemasarannya yaitu Yogyakarta dianggap cukup dekat dengan Kecamatan Prembun. Struktur pasar yang terjadi adalah tidak bersaing sempurna. Lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran tidak terlalu banyak. Hal ini terjadi karena dibutuhkannya pengalaman, relasi pemasaran dan biaya. Selain itu, izin berjualan cukup sulit diperoleh pedagang grosir. Penjual dan pembeli tidak mudah keluar masuk pasar, sedangkan informasi pasar cukup sulit didapat karena lebih disukai oleh pedagang antar kota (PAK). Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pasar di tingkat petani dengan pasar acuan tidak terpadu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak terpadunya pasar dalam jangka pendek ditunjukkan oleh Index of Market Connection (IMC) > 1, sedangkan dalam jangka panjang ditunjukkan oleh koefisien b 2 < 1. Hal ini menunjukkan sistem tataniaga bengkuang di Kecamatan Prembun belum efisien. Pembeda penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini berusaha mengkaji efisiensi melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer share

30 dan rasio keuntungan dan biaya serta keterpaduan pasar tataniaga cabai merah melalui pendekatan analisis harga (Rp/Kg) cabai merah. Adanya analisis mengenai efisiensi tataniaga cabai merah, dapat diketahui saluran tataniaga cabai merah yang memberikan keuntungan bagi petani dan konsumen, karena pada umumnya petani menerima harga yang rendah (tidak adanya bargaining position) dan konsumen mendapat harga yang lebih tinggi (panjangnya rantai tataniaga). Penelitian ini memberikan alternatif saluran tataniaga yang sebaiknya dijalankan oleh petani melalui pembentukan skenario-skenario saluran tataniaga yang belum pernah dijalankan oleh petani. Analisis yang dilakukan selanjutnya yaitu analisis harga untuk melihat tingkat keterpaduan pasar tataniaga yang bertujuan untuk melihat perubahan harga cabai merah di tingkat pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung) sampai ke pasar lokal di tingkat petani. Analisis keterpaduan pasar ini diolah menggunakan software Minitab 14 sehingga diperoleh besarnya koefisien dari masing-masing variabel dependen dan independennya serta nilai t-hitung dan F-hitung. Pada akhirnya dari kedua analisis ini dapat diambil alternatif tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat yang paling efisien dan menguntungkan bagi semua lembaga tataniaga yang terlibat. Selain itu, diharapkan dapat meningkatkan bagian yang diterima petani (farmer s share), sehingga petani cabai merah akan lebih termotivasi untuk meningkatkan produktivitasnya.

31 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Tataniaga Tataniaga merupakan rangkaian tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau membentuk input atau produk mulai dari titik produsen sampai konsumen akhir (Dahl dan Hammond, 1977). Sedangkan menurut Kohls dan Uhls (2002), tataniaga merupakan suatu peragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Ada dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam memandang tataniaga. Konsumen ingin mendapatkan harga yang rendah dan produsen ingin memperoleh penerimaan yang besar atas penjualan produk. Menurut Limbong dan Sitorus (1987) tataniaga adalah serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen. Dalam proses distribusi dapat terjadi kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk mempermudah penyalurannya, meningkatkan nilai dan meningkatkan kepuasan konsumen Konsep Saluran Tataniaga Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen

32 ke konsumen. Saluran pemasaran merupakan rangkaian lembaga-lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Limbong dan Sitorus (1987) berpendapat bahwa saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjangnya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Pada Gambar 2 ditunjukkan beberapa saluran tataniaga yang panjangnya berbeda-beda. Saluran nol tingkat (zero level channel) atau dinamakan juga sebagai saluran tataniaga langsung, adalah saluran yang memperlihatkan produsen atau pabrikan secara langsung menjual produknya kepada konsumen. Saluran Tingkat Nol Produsen Konsumen Saluran Tingkat Satu Produsen Pengecer Konsumen Saluran Tingkat Dua Produsen Grosir Pengecer Konsumen Saluran Tingkat Tiga Produsen Grosir Jobber Pengecer Konsumen Gambar 2 Contoh Saluran Tataniaga dengan Beberapa Tingkat. Saluran satu tingkat (one level channel), adalah saluran yang menggunakan perantara. Dalam pasar konsumsi, perantara ini adalah pengecer sedangkan dalam pasar industrial perantara tersebut adalah agen penjualan atau pialang. Pada saluran dua tingkat (two level channel) mencakup dua perantara.

33 Dalam pasar konsumsi mereka ini adalah grosir dan pengecer, sedangkan dalam pasar industrial perantara tersebut adalah distributor dan dealer industrial. Pada saluran tiga tingkat (three level channel) didapati tiga perantara. Dalam hal ini, selain grosir dan pengecer ditemui pedagang pemborong atau jobber. Pemborong tersebut membeli barang dari pedagang grosir dan menjualnya ke pedagang pengecer, yang pada umumnya tidak dapat dilayani oleh pedagang grosir Konsep Lembaga dan Fungsi Tataniaga Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa proses penyampaian barang dari produsen ke konsumen memerlukan berbagai tindakan atau kegiatan. Kegiatan tersebut dinamakan sebagai fungsi-fungsi tataniaga. Pendekatan fungsi tataniaga yang sering dilakukan oleh pelaku tataniaga mencakup: Fungsi pertukaran, merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang atau jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri atas fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi fisik, adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang atau jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, waktu dan bentuk. Fungsi ini dibagi menjadi fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan dan fungsi pengolahan. Fungsi fasilitas, merupakan semua tindakan yang berhubungan dengan tindakan yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri atas fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, fungsi standarisasi dan grading serta fungsi informasi pasar.

34 Dalam menyampaikan suatu barang atau jasa terlibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen. Karena jarak antara produsen yang menghasilkan barang atau jasa sering berjauhan dengan konsumen, maka fungsi badan perantara sangat diharapkan kehadirannya untuk menggerakan barang-barang dan jasa-jasa tersebut dari titik produsen ke titik konsumsi. Lembaga-lembaga ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan maupun perseroan yang akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga, baik fungsi pertukaran, fungsi fisik maupun fungsi fasilitas. Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987), didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta berdasarkan bentuk usahanya, yaitu: 1. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan, yaitu: Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer, grosir, dan lembaga perantara lainnya. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik, seperti badan pengangkutan/transportasi, pengolahan, dan penyimpanan. Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga, seperti informasi pasar dan kredit desa. Lembaga ini dapat berupa KUD (Kantor Unit Desa), Bank Unit Desa, dan yang lainnya. 2. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang, yaitu: Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul, dan tengkulak.

35 Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang dipasarkan, seperti agen, makelar atau broker, dan lembaga pelelangan. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan, dan perkreditan. 3. Penggolongan tataniaga berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar, yaitu: Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras dan pengecer rokok. Lembaga tataniaga monopolistis, seperti pedagang bibit dan pedagang benih. Lembaga tataniaga oligopolis, seperti importir cengkeh dan perusahaan semen. Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api serta perusahaan pos dan giro. 4. Penggolongan lembaga tataniaga juga dilakukan berdasarkan bentuk usahanya, yaitu: Berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma, dan koperasi. Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer, dan tengkulak. Selain melakukan pengangkutan barang dari produsen dan dibawa ke konsumen, lembaga perantara juga berfungsi sebagai penghubung informasi mengenai suatu barang dan jasa. Lembaga perantara berusaha meningkatkan nilai guna dari suatu barang atau jasa baik nilai guna bentuk, tempat, waktu, maupun kepemilikan melalui pengolahan hasil-hasil pertanian.

36 3.1.4 Konsep Struktur Pasar Struktur pasar adalah dimensi yang menjelaskan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syaratsyarat masuk pasar. Struktur pasar harus dapat diketahui oleh produsen dan konsumen. Ada tiga hal yang perlu diketahui agar produsen dan konsumen dapat melakukan sistem tataniaga yang efisien, yaitu: (1) konsentrasi pasar dan jumlah produsen, (2) sistem keluar masuk barang yang terjadi di pasar, dan diferensiasi produk (Limbong dan Sitorus, 1987). Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan. Pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu produsen dan konsumen. Dilihat dari sisi produsen terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopoli, duopoli, dan oligopoli, sedangkan dari sisi pembeli (konsumen) terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan oligopsoni (Dahl dan Hammond, 1977). Karakteristik masing-masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.

37 Tabel 2 Karakteristik Struktur Pasar Karakteristik Struktur Pasar No Jumlah Pembeli Jumlah Penjual Sifat Produk Pengetahuan Informasi Pasar Hambatan Keluar Masuk Pasar Sisi Pembeli Sisi Penjual 1 Banyak Banyak Homogen Sedikit Rendah Persaingan Persaingan murni murni 2 Banyak Banyak Diferensiasi Sedikit Tinggi Persaingan Persaingan monopolistik monopolistik 3 Sedikit Sedikit Homogen Banyak Tinggi Oligopsoni Oligopoli murni murni 4 Sedikit Sedikit Diferensiasi Banyak Tinggi Oligopsoni Oligopoli diferensiasi diferensiasi 5 Satu Satu Unik Banyak Tinggi Monopsoni Monopoli Sumber: Dahl dan Hammond, Berdasarkan struktur pasarnya, pasar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna (Kotler, 2002). Ciri-ciri pasar yang harus dipenuhi agar dapat digolongkan kedalam struktur pasar bersaing sempurna, yaitu: Terdapat banyak penjual dan pembeli Harga ditentukan melalui mekanisme pasar Penjual dan pembeli bertindak sebagai price taker Produk homogen Penjual dan pembeli bebas keluar masuk pasar Struktur pasar sangat diperlukan dalam analisis sistem tataniaga karena melalui analisis struktur pasar, secara otomatis akan dapat dijelaskan bagaimana perilaku partisipan yang terlibat (market conduct) dan akan menunjukkan keragaan yang terjadi akibat dari struktur dan perilaku pasar yang ada dalam sistem tataniaga tersebut (market performance).

38 3.1.5 Konsep Perilaku Pasar Dahl dan Hammond (1997) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar, lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien dan terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya Konsep Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond (1977), efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan dan pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik, serta fasilitas. Menurut Kohls dan Uhls (2002), salah satu cara meningkatkan efisiensi operasional adalah dengan penerapan teknologi baru termasuk subtitusi modal kerja. Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui marjin tataniaga, farmer s share dan biaya tataniaga.

39 Konsep Marjin Tataniaga Insentif ekonomi merupakan salah satu faktor yang mampu memotivasi petani dalam melakukan kegiatan produksi. Insentif ekonomi tersebut dapat diketahui melalui besarnya keragaan dan perkembangan marjin tataniaga. Kohls dan Uhls (2002) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Marjin tataniaga ini terdiri dari dua komponen yaitu besarnya biaya pemasaran (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing profit). Sedangkan Limbong dan Sitorus (1987) menambahkan definisi marjin tataniaga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan atau imbalan dari pengorbanan yang diberikan. Artinya, dengan pengorbanan tertentu yang disumbangkan, akan diusahakan untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan maksimal atau dengan keuntungan tertentu akan diusahakan meminimumkan pengorbanannya. Perbedaan harga jual dari lembaga yang satu dengan lembaga lain sampai ke tingkat konsumen akhir disebabkan karena adanya perbedaan kegiatan dari setiap lembaga. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai ke titik konsumen, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di titik produsen dibandingkan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen. Perbedaan harga yang terjadi antara lembaga tataniaga satu dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran tataniaga suatu komoditas yang sama

40 disebut sebagai marjin tataniaga. Definisi marjin tataniaga juga digambarkan oleh kurva marjin tataniaga (Gambar 3). P S r P r S f (Pr-Pf)Qr,f D r P f D f Q r, f Q Gambar 3 Proses Terjadinya Marjin dan Nilai Marjin Tataniaga. Sumber: Dahl dan Hammond, Keterangan: P f P r D f D r S f S r Q r,f = Harga di tingkat produsen = Harga di tingkat konsumen = Kurva permintaan produsen = Kurva permintaan konsumen = Kurva penawaran produsen = Kurva penawaran konsumen = Jumlah keseimbangan di tingkat produsen dan konsumen (P r - P f ) = Marjin tataniaga (P r - P f ) Q r,f = Nilai marketing marjin yang merupakan hasil kali antara jumlah yang terjual dengan selisih harga di tingkat konsumen dan harga di tingkat produsen. Selama barang bergerak dari petani sampai ke konsumen terjadi pertambahan nilai pada barang yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga sehingga tingkat kepuasan konsumen dapat ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga tataniaga diharapkan balas jasa yang memadai bagi setiap pelakunya dan hal ini akan menambah nilai produk. Perlakuan yang diberikan

41 oleh lembaga-lembaga tataniaga terdiri dari beberapa komponen antara lain tenaga kerja, modal, dan manajemen yang masing-masing memberikan komponen proporsi tertentu. Jumlah dari komponen ini jika ditambah dengan keuntungan dari lembaga tataniaga disebut marjin tataniaga bagi lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian, marjin tataniaga secara keseluruhan dari produsen ke konsumen adalah jumlah saluran marjin tataniaga dari lembaga tataniaga Konsep Farmer s Share Farmer s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Kohls dan Uhls (2002) mendefinisikan farmer s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Menurut Kohls dan Uhls (2002), farmer s share dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya transportasi. Nilai farmer s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (P f ) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (P r ). Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut: Keterangan: F s = Farmer share F s = P P f r x 100% P f = Harga di tingkat petani P r = Harga di tingkat konsumen Saluran tataniaga yang tidak efisien akan memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan kepada petani

42 melalui harga beli, sehingga harga yang diterima petani lebih rendah. Biaya tataniaga yang tinggi menyebabkan besarnya perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen sehingga akan menurunkan nilai farmer s share. Sebaliknya pada saluran tataniaga yang efektif dan efisien, marjin dan biaya tataniaga menjadi lebih rendah sehingga perbedaan harga petani dengan konsumen lebih kecil dan nilai farmer s share akan meningkat Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya Besarnya rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga. Semakin menyebarnya rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien. Secara matematik, rasio keuntungan dan biaya dalam setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio keuntungan π i dan biaya = C i Keterangan: π i C i = Keuntungan lembaga tataniaga = Biaya tataniaga Konsep Keterpaduan Pasar Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan sinyal kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumberdaya produksi dari sisi produksi dan tataniaga (Dahl dan Hammond, 1977). Sedangkan menurut Kohls dan Uhls (2002), efisiensi harga mengukur seberapa kuat harga pasar menggambarkan sistem produksi dan biaya tataniaga. Efisiensi harga sering digunakan untuk menentukan tipe struktur pasar dan menjelaskan seberapa kuat biaya produksi dan biaya tataniaga dapat

43 menjelaskan harga konsumen. Efisiensi harga dapat dilihat dari tingkat keterpaduan atau integrasi pasar antara pasar acuan sebagai penentu harga dengan pasar lokal sebagai pengikut harga. Menurut Azzaino (1982), keterpaduan pasar menekankan pada keterkaitan harga antar berbagai tingkat lembaga tataniaga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen yang disebabkan karena adanya perubahan tempat, waktu maupun bentuk komoditas. Efisiensi harga dapat dicerminkan oleh besarnya koefisien korelasi harga. Kunci dari keadaan efisiensi tersebut adalah adanya sebaran dan ketersediaan informasi pasar yang lancar serta akurat. Hubungan harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir dapat didekati dengan pendekatan korelasi harga dan model keterpaduan pasar yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan dilanjutkan oleh Heytens (1986). Model keterpaduan pasar dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar referensi (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang dipasarkan akan berubah apabila terjadi perubahan harga di pasar lain (Ravallion, 1986). Menurut Heytens (1986), dalam suatu pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar yang berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lain. Keterpaduan pasar dapat terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu

44 pasar ke pasar lainnya. Semakin cepat laju penyalurannya, semakin terpadu kedua pasar tersebut. Pendekatan korelasi harga dalam melihat integrasi pasar suatu komoditas terkadang kurang memuaskan karena adanya anggapan bahwa perubahan harga di tingkat produsen dan konsumen bergerak bersamaan. Dengan adanya anggapan tersebut, Ravallion (1986) dan dilanjutkan oleh Heytens (1986) mengembangkan suatu model integrasi yang disebut model Autoregressive Distributed Lag. Model autoregresi dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Index of Market Connection (IMC) untuk mengukur keterpaduan pasar. Model keterpaduan pasar ini dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar produsen dipengaruhi oleh harga di pasar konsumen dengan mempertimbangkan harga pada waktu sebelumnya dan harga saat ini. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Dasar penelitian ini diawali dengan melihat fakta bahwa seiring dengan berkembangnya industri pangan nasional, cabai merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Cabai merah merupakan bahan pangan yang dikonsumsi setiap saat dan tidak dapat disubstitusi, maka cabai merah akan terus dibutuhkan dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian nasional.

45 Permintaan cabai merah meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian nasional - Perbedaan marjin harga yang relatif besar - Hanya terdapat satu pedagang pengumpul sehingga tidak ada alternatif bagi petani - Sistem nota penjualan menyebabkan adanya lag waktu antara penjualan dengan pembayaran yang diterima petani Efisiensi dan Keterpaduan Pasar Tataniaga Cabai Merah Petani Produsen Cabai Merah Analisis Saluran, Lembaga dan Fungsi Tataniaga Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Analisis Marjin Tataniaga, Farmer s Share serta Rasio Keuntungan dan Biaya Analisis Harga (Rp/Kg) Cabai Merah Mengetahui Keterpaduan Pasar Efisiensi Tataniaga Alternatif Tataniaga Cabai Merah yang Paling Efisien dan Pasar yang Terintegrasi Sempurna Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional Efisiensi Tataniaga Cabai Merah. Salah satu sentra produksi cabai merah adalah Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri. Dalam proses tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini, petani tidak mempunyai alternatif saluran tataniaga lain yang dapat memberikan keuntungan lebih besar bagi petani karena hanya ada satu pedagang

46 pengumpul. Sistem nota penjualan yang dilakukan setiap transaksi antara petani dengan pedagang pengumpul menambah lemahnya posisi petani. Sistem nota penjualan ini menyebabkan adanya lag waktu antara penjualan dengan pembayaran yang diterima petani dan harga pada saat transaksi jual beli dilakukan belum terbentuk. Petani hanya mengetahui harga cabai akan rendah pada musim panen raya dan akan tinggi pada musim panceklik dan menjelang hari raya, padahal harga cabai merah cenderung berfluktuasi setiap harinya. Berdasarkan fakta di atas perlu dilakukan analisis efisiensi dan keterpaduan pasar tataniaga cabai merah untuk sehingga dapat memberikan alternatif bagi petani dalam menentukan alternatif tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar. Pendekatan yang dilakukan untuk menjawab efisiensi dan keterpaduan pasar tataniaga cabai merah dilakukan melalui analisis deskriptif terhadap analisis saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga, analisis struktur dan perilaku pasar. Selain itu, analisis secara kuantitatif juga dilakukan melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, rasio keuntungan dan biaya serta analisis harga untuk mengetahui tingkat keterpaduan pasar. Berdasarkan semua pendekatan tersebut dapat diketahui alternatif tataniaga yang paling efisien sehingga pasar dapat terintegrasi secara sempurna.

47 IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Cibeureum Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) karena Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri merupakan sentra pertanian khususnya komoditas sayuran (cabai merah) yang berada di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Selain itu, Desa Cibeureum merupakan daerah yang dibidik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat untuk dijadikan kawasan agropolitan serta proyek pembangunan pasar agro. Waktu pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan pembagian daftar pertanyaan yang telah disiapkan dengan teknik wawancara langsung kepada petani dan lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Data-data ini kemudian diolah untuk kepentingan analisa lebih lanjut. Data sekunder pendukung data-data primer di atas diperoleh dari instansiinstansi terkait seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat, Departemen Pertanian, Pasar Induk Caringin, Pasar Lokal di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum, Monografi Desa Cibeureum dan instansi-instansi terkait lainnya.

48 Data-data sekunder juga diperoleh melalui beberapa literatur berupa hasil-hasil pertanian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini. 4.3 Teknik Penentuan Sampel Penentuan responden dilakukan secara sensus untuk responden petani dan purposive untuk responden pedagang berdasarkan alur distribusi cabai merah yang diperoleh berdasarkan informasi dari lembaga tataniaga sebelumnya. Penelusuran awal dilakukan di petani ditelusuri ke pedagang responden yang telah membeli cabai merah dari petani. Dilanjutkan dengan penelusuran arus distribusi barang dari pedagang pertama yang membeli cabai merah dari petani hingga pedagang yang menyampaikan langsung cabai merah kepada konsumen untuk mengetahui lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran cabai merah. Pengambilan petani responden berdasarkan jumlah populasi petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari, Desa Cibeureum yang berjumlah 25 orang. Pemilihan Kelompok Tani Karang Sari atas dasar pertimbangan bahwa Kelompok Tani Karang Sari merupakan kelompok tani yang paling produktif diantara delapan kelompok tani lainnya yang berada di Desa Cibeureum. Selain itu, Kelompok Tani Karang Sari memberikan kontribusi paling besar terhadap produksi cabai merah Desa Cibeureum yaitu sekitar 75 persen dan memproduksi cabai merah secara berkesinambungan. Sementara itu, pemilihan pedagang responden dilakukan berdasarkan informasi sebelumnya yang diperoleh dari petani responden karena tidak diketahui kerangka sampelnya (sampling frame). Pedagang responden terdiri dari satu orang pedagang pengumpul, tiga orang pedagang grosir, dan 18 orang pedagang pengecer.

49 Pedagang responden pengumpul berada di Desa Cibeureum sedangkan pedagang responden grosir berada di Pasar Induk Caringin Bandung. Dipilih pedagang grosir di Pasar Induk Caringin karena 70 persen pedagang pengumpul memasarkan cabai merah melalui Pasar Induk Caringin. Pedagang pengecer terdiri sari pengecer I dan pengecer II. Pedagang pengecer I berada di Tasikmalaya yaitu Pasar Cikurubuk sedangkan pedagang pengecer II yang berada di Ciamis terdiri dari sembilan orang berada di Pasar Panumbangan, tiga orang di Pasar Banjar, dua orang berada di Pasar Kawali, serta dua orang di Pasar Sadang Serang Bandung. 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif, kemudian dilakukan langkah pengolahan dan analisis data. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk analisis marjin tataniaga, framer s share, rasio keuntungan dan biaya, serta keterpaduan pasar Analisis Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan terlibat dalam proses menyampaikan produk dari produsen kepada konsumen. Analisis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini dapat dilakukan dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang membentuk saluran tataniaga tersebut. Pengamatan dan analisis dilakukan mulai dari petani produsen sampai ke pedagang pengecer. Perbedaan saluran tataniaga yang dilalui oleh jenis barang akan berpengaruh pada pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya. Semakin panjang rantai saluran

50 tataniaga, maka saluran tersebut akan semakin tidak efisien karena marjin yang tercipta antara produsen dan konsumen akan semakin besar Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Analisis ini dilakukan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga, baik fungsi pertukaran, fungsi fisik maupun fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi pasar. Analisis fungsi-fungsi tataniaga diperlukan antara lain untuk mengetahui fungsi-fungsi atau kegiatan yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat serta mengetahui kebutuhan biaya dan fasilitas yang dibutuhkan. Lebih lanjut, dari analisis lembaga dan fungsi tataniaga ini akan dapat dihitung besarnya marjin tataniaga Analisis Struktur Pasar Analisis ini diperlukan untuk mengetahui struktur pasar yang cenderung mendekati persaingan sempurna atau persaingan tidak sempurna. Struktur pasar dapat diketahui dengan melihat jumlah pembeli dan penjual, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi atau keadaan produk, mudah tidaknya keluar masuk pasar serta informasi perubahan harga pasar. Semakin banyak jumlah penjual dan pembeli dan semakin kecilnya jumlah yang diperjualbelikan oleh setiap lembaga tataniaga, maka struktur pasar tersebut semakin mendekati kesempurnaan dalam persaingan. Adanya kesepakatan dalam sesama pelaku tataniaga menunjukkan struktur pasar yang cenderung tidak bersaing sempurna.

51 4.4.4 Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar diasumsikan bagaimana pelaku pasar, yaitu petani, lembaga tataniaga dan konsumen menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Tingkah laku pasar dapat dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pelaku pasar, sistem penentuan dan pembayaran harga, serta kerjasama diantara lembaga tataniaga Analisis Efisiensi Tataniaga Analisis Marjin Tataniaga Tingkat efisiensi suatu tataniaga dapat dilihat dari penyebaran marjin tataniaga, farmer s share serta rasio terhadap keuntungan dan biaya. Melalui marjin tataniaga dapat diketahui besarnya biaya dan keuntungan dalam tataniaga tersebut. Bersamaan dengan penelusuran saluran tataniaga diharapkan dapat diperoleh informasi tentang marjin tataniaga pada tiap lembaga tataniaga. Perhitungan marjin tataniaga diperoleh dari selisih harga di satu titik rantai tataniaga dengan harga di titik lainnya. Selain itu, besarnya nilai marjin tataniaga juga dapat diperoleh penjumlahan biaya dan keuntungan pada masing-masing lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), secara matematik akan diperoleh perhitungan sebagai berikut: M i = P i P i-1... (1) M i = B i + π i... (2) Dengan demikian, P i P i-1 = B i + π i

52 Maka besarnya marjin tataniaga dengan menggunakan (1) dan (2) adalah sebagai berikut: m i = M i... (3) Dengan demikian keuntungan lembaga tataniaga pada tingkat ke-i adalah: π i = P i P i-1 + B i... (4) Keterangan: M i P i P i-1 B i π i m i = Marjin pada lembaga tataniaga ke-i = Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i = Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i atau harga pembelian pada lembaga tataniaga ke-i = Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i = Keuntungan yang diperoleh pada lembaga tataniaga ke-i = Total marjin tataniaga Dalam pasar persaingan sempurna, perjalanan suatu produk selalu melibatkan banyak lembaga tataniaga sehingga marjin tataniaga total yang terjadi merupakan penjumlahan marjin tataniaga dari setiap lembaga tataniaga Analisis Farmer s Share Indikator lain untuk menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas adalah melalui perhitungan farmer s share. Farmer s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Farmer s share dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya produksi. Nilai farmer s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (P f ) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (P r ).

53 Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut: F s = P P f r x 100% Keterangan: F s = farmer share P f = harga di tingkat petani P r = harga di tingkat konsumen Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Tingkat efisiensi sebuah sistem tataniaga juga dapat dilihat dari rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Dengan semakin meratanya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga tersebut semakin efisien. Untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: π i Rasio keuntungan dan biaya = C i Keterangan: π i = Keuntungan lembaga tataniaga C i = Biaya tataniaga Analisis Keterpaduan Pasar Analisis ini dapat diketahui dari analisis struktur dan perilaku pasar, tetapi analisis ini lebih bersifat kuantitaif. Dengan kata lain analisis keterpaduan pasar ini merupakan gamabaran secara kuantitatif dari analisis struktur dan perilaku pasar. Tingkat keterpaduan pasar cabai merah diukur antara pasar lokal di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum dengan pasar acuan yaitu Pasar Induk

54 Caringin di Bandung. Analisis dilakukan secara statistik dengan menggunakan model Indeks of Market Connection (IMC) melalui pendekatan model Autoregressive Distributed Lag (Ravallion, 1986). Model ekonometrika Autoregressive Distributed Lag diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square, OLS) sebagai berikut: P + e it = b1 Pit + b2 ( Pjt Pjt 1) + b3 Pjt 1 t Keterangan: P it = Harga cabai merah di pasar lokal pada minggu ke-t (Rp/Kg) P it 1 = Lag harga cabai merah di pasar lokal pada minggu ke-t (Rp/Kg) P jt = Harga cabai merah di pasar acuan pada minggu ke-t (Rp/Kg) P jt 1 = Lag harga cabai merah di pasar acuan pada minggu ke-t (Rp/Kg) b i e t = Parameter estimasi ( b i = 1,2,3,.) = Random error (galat) Koefisien b 2 mengukur sejauh mana perubahan harga di tingkat pasar acuan, yaitu Pasar Induk Caringin Bandung diteruskan terhadap harga di pasar lokal (harga di tingkat petani). Keterpaduan pasar jangka panjang dicapai apabila koefisien b 2 = 1, artinya perubahan harga yang terjadi adalah netral dan proporsional jika dihitung dalam persentase. Jika b 2 lebih besar dari 1, maka perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (harga di tingkat pasar induk) akan sangat berpengaruh terhadap harga di tingkat pasar lokal. Jika b 2 = 0 yang menunjukkan tidak adanya perubahan harga di tingkat pasar induk setiap bulannya dan tidak memberikan pengaruh terhadap pasar petani, maka koefisien b 2 dapat dikeluarkan dari persamaan. Dengan demikian, harga di tingkat

55 pedagang pengumpul hanya dipengaruhi oleh harga di tingkat pedagang grosir, dengan koefisien b 1 dan b 3. Apabila kedua koefisien terbsebut telah diketahui, maka dapat diperoleh indeks keterpaduan pasar (IMC) yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut (Heytens, 1986): IMC = b b 1 3 Nilai IMC menggambarkan sejauh mana keterpaduan pasar jangka pendek antara pasar ke-1 dengan pasar acuan bagi pasar ke-i yang bersangkutan. Sedangkan keterpaduan jangka panjang, yang diwakili oleh nilai b 2 melihat bagaimana perubahan jangka panjang di pasar ke-i dipengaruhi oleh perubahan jangka pendek yang terjadi diantara pasar ke-i dengan pasar acuan ke-j. Perubahan harga di pasar ke-i juga dipengaruhi oleh perubahan marjin pada waktu sebelumnya (time lag) antara pasar ke-i dengan pasar acuan. Apabila nilai IMC < I, maka derajat integrasi pasar jangka pendek antara harga di tingkat pasar ke-i dengan harga di tingkat pasar acuan relatif tinggi. Artinya harga yang terjadi di pasar acuan pada waktu sebelumnya (t-1) merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat pasar ke-i pada waktu t. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pasar terhubungkan dengan baik karena informasi permintaan dan penawaran di pasar acuan diteruskan ke pasar ke-i (pasar lokal) serta mempengaruhi harga yang terjadi di pasar ke-i (Heytens, 1986). Harga di tingkat pasar lokal pada bulan sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga yang diterima di pasar lokal sekarang ditunjukkan dengan nilai IMC = 0 dan b 1 = 0. Jika nilai IMC > 1 dan nyata, maka dalam jangka pendek antara pasar lokal dan pasar acuan tidak terpadu.

56 Pengujian Hipotesis Keterpaduan Pasar Jangka Pendek Pengujian hipotesis untuk masing-masing koefisien pada analisa keterpaduan pasar jangka pendek dilakukan dengan uji t-student. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah: H 0 : b 1 = 0 H 1 : b 1 0 Perhitungan t-hitung diperoleh dari: t-hitung = b S 1 e 0 ( b ) 1 S e ( b 1 ) adalah standard error parameter dugaan b 1. Apabila nilai t-hitung t-tabel maka hipotesis nol diterima secara statistik atau dengan kata lain kedua pasar terpadu dalam jangka pendek. Sebaliknya, apabila nilai t-hitung t-tabel maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima secara statistik. Artinya, kedua pasar tidak terpadu dalam jangka pendek Pengujian Hipotesis Keterpaduan Pasar Jangka Panjang H 0 : b 2 = 1 Hipotesis untuk keterpaduan jangka panjang adalah: H 1 : b 2 1 Pengujian hipotesis terhadap keterpaduan pasar jangka panjang ini dilakukan dengan menggunakan rumus t-hitung sebagai berikut: t-hitung = b S e 2 1 ( b ) 2 S e ( b 2 ) adalah standard error parameter dugaan b 2.

57 Apabila nilai t-hitung < dari t-tabel, maka hipotesis nol diterima secara statistik. Artinya, kedua pasar terpadu dalam jangka panjang. Sebaliknya jika t-hitung > t-tabel, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima secara statistik. Artinya kedua pasar tidak terpadu dalam jangka panjang. Pengujian terhadap hipotesis jangka pendek dan jangka panjang dilakukan untuk melihat apakah suatu pengamatan atau penentuan cukup dekat dengan nilai yang dihipotesiskan, sehingga membawa kita untuk menerima yang dinyatakan yaitu dalam hal ini hipotesis nol (Ravallion, 1986). 4.5 Definisi Operasional 1. Harga cabai merah di tingkat petani produsen pada waktu t adalah harga cabai merah yang diterima petani pada saat menjual cabai merah pada periode ke-t. Peubah ini diukur dalam rupiah per kilogram. 2. Harga cabai merah di tingkat pedagang pada waktu t adalah harga cabai merah yang diterima pedagang pada saat menjual cabai merah pada periode ke-t. Peubah ini diukur dalam rupiah per kilogram. 3. Pedagang pengumpul adalah pedagang yang memperoleh cabai merah sebagai barang niaga langsung dari petani produsen dan biasanya bertempat tinggal dekat dengan daerah produksi. 4. Pedagang grosir adalah pedagang yang memperoleh cabai merah dari pedagang pengumpul yang menyalurkannya kepada pedagang pengecer. 5. Pedagang pengecer I adalah pedagang yang melakukan pembelian dari pedagang grosir atau pedagang pengumpul dengan jumlah pembelian lebih dari lima kilogram serta menyalurkannya kepada pedagang pengecer II atau konsumen akhir dan melakukan fungsi sortasi.

58 6. Pedagang pengecer II adalah pedagang yang melakukan pembelian dari pedagang grosir atau pedagang pengecer I dengan jumlah pembelian tidak lebih dari lima kilogram serta menyalurkannya kepada konsumen akhir tanpa melakukan fungsi sortasi. 7. Marjin tataniaga adalah perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani yang dinyatakan dalam Rp/Kg atau persentase. 8. Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan dalam mendistribusikan produk dari sentra produksi sampai ke konsumen akhir dinyatakan dalam Rp/Kg. 9. Analisis harga keterpaduan pasar adalah harga rata-rata mingguan cabai merah di tingkat petani Desa Cibeureum dan tingkat harga di Pasar Induk Caringin Bandung Januari 2007 hingga minggu pertama Maret 2008.

59 V GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Wilayah Desa Cibeureum Desa Cibeureum merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut dan merupakan daerah sekitar hutan, tepatnya di daerah kaki Gunung Sawal. Desa Cibeureum terletak di sebelah utara Kabupaten Ciamis, tepatnya berada di Kecamatan Sukamantri. Berdasarkan data dari Monografi Desa Cibeuruem tahun 2006, luas wilayah Desa Cibeureum sekitar ,226 m 2, yang terdiri dari 70 persen lahan pertanian. Penduduk Desa Cibeureum berjumlah jiwa. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh tani (66 persen). Wilayah Desa Cibeureum mempunyai batas administrasi sebagai berikut: - sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka - sebelah timur berbatasan dengan Desa Sindanglaya - sebelah selatan berbatasan dengan Desa Maparah dan Desa Bahara - sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamantri Keadaan topografi daerah ini adalah daerah berbukit dan lereng gunung. Suhu rata-rata hariannya sekitar ºC. Curah hujan rata-rata daerah ini adalah mm dengan jumlah bulan hujan rata-rata enam bulan per tahun. Sebagian besar tanah di daerah ini berwarna hitam dengan tekstur pasiran dan berkedalaman sekitar dua meter. Keadaan iklim seperti ini membuat wilayah Desa Cibeureum ini sesuai untuk pengembangan budidaya sayuran, seperti cabai merah.

60 5.2 Karakteristik Responden Petani Responden petani dalam penelitian ini adalah petani cabai merah di Desa Cibeureum yang merupakan anggota Kelompok Tani Karang Sari, yaitu sebanyak 25 orang. Kelompok Tani Karang Sari didirikan pada tahun 2002 dengan fokus kegiatan pada masalah budidaya pertanian. Cara bercocok tanam yang digunakan oleh petani responden adalah dengan menggunakan sistem monokultur, yakni hanya menanam cabai merah saja. Petani responden memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi, karena ada beberapa petani yang sudah menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi. Persentase pendidikan petani responden tertinggi adalah tingkat sekolah dasar sebesar 28 persen, sedangkan persentase terendah adalah tingkat perguruan tinggi, yaitu 8 persen (Tabel 3). Tabel 3 Tingkat Pendidikan Petani Responden Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) SD 7 28 SMP SMA 6 24 S1 2 8 Jumlah Sebagian besar petani responden merupakan petani kecil dengan pengalaman bertani cabai merah rata-rata selama delapan tahun. Luas lahan ratarata petani responden adalah sebesar m 2 (0,42 hektar) dengan luas lahan terkecil adalah 980 m 2 (0,098 hektar) dan luas terbesar adalah m 2 (1,5 hektar). Data luas lahan petani responden untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 4.

61 Tabel 4 Luas Lahan Cabai Merah di Tingkat Petani Responden Luas Lahan (m 2 ) Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah Status kepemilikan lahan petani responden sebagian besar (92 persen) merupakan lahan sewa. Hanya sebagian kecil dari luas lahan petani responden yang merupakan milik sendiri. Umumnya petani responden yang mempunyai luas lahan yang cukup besar, sebagian lahannya merupakan lahan milik sendiri dan yang lainnya merupakan lahan sewa. 5.3 Karakteristik Responden Pedagang Pedagang yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebanyak 22 orang yang terlibat dalam saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum melalui Pasar Induk Caringin. Pedagang responden terdiri dari satu orang pedagang pengumpul, tiga orang pedagang grosir, dua orang pedagang pengecer I, dan 16 orang pedagang pengecer II. Pedagang pengumpul ini berada di Desa Cibeureum, sedangkan tiga orang pedagang grosir berada di Pasar Induk Caringin Bandung. Dipilih pedagang grosir di Pasar Induk Caringin, karena 70 persen pedagang pengumpul mendistribusikan cabai merah melalui Pasar Induk Caringin. Sedangkan sisanya, yaitu 20 persen dipasarkan ke Pasar Senen dan 10 persen disalurkan ke Pasar Induk Kramat Jati

62 Jakarta. Pedagang pengecer I berada di daerah Tasikmalaya yaitu Pasar Cikurubuk sedangkan pedagang pengecer II berada di Kabupaten Ciamis yang terdiri dari sembilan orang pedagang pengecer II berada di Pasar Panumbangan, tiga orang di Pasar Banjar, dua orang pedagang pengecer kecil berada di Pasar Kawali, dan dua orang di Pasar Sadang Serang Bandung. Tabel 5 Pengalaman Berdagang dan Bentuk Usaha dari Masing-Masing Jenis Pedagang yang Terlibat dalam Tataniaga Cabai Merah Desa Cibeureum Jenis Pedagang Pengalaman Berdagang (Tahun) Bentuk Usaha Pedagang Pengumpul 9 Perorangan Pedagang Grosir 12 Perorangan Pedagang Pengecer I 10 Perorangan Pedagang Pengecer II 7 Perorangan Pengalaman berdagang rata-rata dari pedagang responden berbeda-beda, tetapi bentuk usaha dari masing-masing jenis pedagang adalah sama yaitu perorangan (Tabel 5). Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa masing-masing jenis pedagang cenderung memiliki pengalaman berdagang yang relatif cukup lama sehingga sudah terbentuk kepercayaan dari masing-masing lembaga atau pihak yang berhubungan langsung dengannya. 5.4 Gambaran Umum Usahatani Cabai Merah di Lokasi Penelitian Usahatani cabai merah terdiri dari enam kegiatan, mulai dari penyiapan lahan, penyemaian benih dan pembibitan, pemasangan mulsa, penanaman, pemeliharaan termasuk penyemprotan, hingga pemanenan. Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani ini adalah lahan, benih, pupuk kimia, pupuk kandang, obat-obatan dan tenaga kerja. Lahan yang digunakan oleh petani

63 sebagian besar lahan sewa dengan biaya sewa sebesar Rp per hektar untuk satu tahun. Pupuk kandang dan pupuk kimia juga diperoleh dengan membeli di toko pertanian. Pupuk kandang biasanya menggunakan kotoran kambing, sedangkan pupuk kimia yang digunakan adalan pupuk NPK. Sebagian besar petani menggunakan tenaga kerja keluarga atau tetangga sekitar rumah mereka. Hal ini mereka lakukan dengan alasan kemudahan memperolehnya serta menghemat dalam pengeluaran biaya produksi Penyiapan Lahan Kegiatan pengolahan atau penyiapan lahan biasanya dilakukan oleh tenaga kerja pria sebanyak empat orang selama dua bulan sampai lahan siap untuk ditanami. Kegiatan ini bertujuan memperbaiki struktur tanah. Kegiatan pengolahan lahan berupa pencangkulan untuk membuang sisa-sisa tanaman dan gulma serta menggemburkan tanah sehingga terbentuk lahan-lahan yang siap ditanami. Setelah lahan siap untuk ditanami, kemudian dilakukan pemberian pupuk dasar sebelum dilakukan penanaman benih cabai merah Penyemaian Benih dan Pembibitan Kegiatan selanjutnya adalah penyemaian benih dan pembibitan. Benih cabai merah yang telah dipilih dimasukkan ke dalam polybag. Media semai yang digunakan adalah tanah dan pupuk kandang serta serbuk gergaji untuk menutupi benih yang telah dimasukkan ke dalam polybag. Setelah 21 hari benih cabai merah tersebut kemudian dipindahkan ke lapangan Pemasangan Mulsa Sebelum dilakukan penanaman, kegiatan selanjunya adalah pemasangan mulsa plastik. Pemasangan mulsa plastik ini bertujuan untuk mempertahankan

64 struktur tanah supaya tetap gembur, memelihara kelembaban dan suhu tanah, mengurangi kehilangan unsur hara, dan menghambat pertumbuhan gulma Penanaman Penanaman dilakukan setelah pemasangan mulsa selesai dan bibit cabai merah telah berumur 21 hari setelah tanam di persemaian. Sebelum penanaman dilakukan penyemprotan insektisida ke dalam lubang tanam untuk membunuh hama yang ada pada lubang tanam tersebut. Kemudian dilakukan penyemprotan pestisida pada bibit cabai merah pada saat ditanam Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan selama proses produksi cabai merah. Kegiatan pemeliharaan ini merupakan hal yang penting agar cabai merah dapat tumbuh optimal dan menghasilkan buah cabai yang baik. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pemeliharaan ini meliputi penyiraman, penyulaman, pemetikan tunas daun yang masih muda, pemasangan ajir, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit. Kegiatan pemeliharaan kecuali pemasangan ajir dan penyemprotan umumnya dilakukan oleh tenaga kerja wanita sebanyak 2-3 kali sampai panen tiba. Penyiangan ini dilakukan setelah umur tanaman 2-3 MST (minggu setelah tanam). Upah pemeliharaan diluar pemasangan ajir dan penyemprotan yang dilakukan oleh tenaga kerja luar rata-rata Rp per HOK. Biaya pemasangan ajir adalah Rp per HOK. Penyemprotan dilakukan seminggu dua kali untuk menghindari munculnya serangan hama. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja pria sebanyak empat orang dengan upah Rp HOK.

65 5.4.6 Pemanenan Cabai merah dapat dipanen setiap minggunya setelah berumur 3 bulan dari masa tanam. Panen dapat dilakukan sebanyak kali selama masa tanam cabai merah. Produksi cabai merah setiap panen hasilnya tidak selalu sama. Pada awal panen hingga panen ke enam hasilnya belum optimal atau masih sedikit. Hasil yang diperoleh pada panen-panen awal rata-rata hanya mencapai 291,5 kilogram setiap panennya untuk m 2. Panen maksimum/puncak dapat diperoleh pada panen minggu ke tujuh sampai sembilan yang mencapai 437,2 kilogram setiap panennya untuk m 2. Kegiatan panen biasanya dilakukan pada pagi hari untuk menghindari kelayuan pada cabai merah. Menjelang akhir umur produktif dari cabai merah ini, produksi cabai merah setiap panennya mengalami penurunan, yaitu hanya mencapai 271,3 kilogram setiap panen untuk m 2. Penurunan produksi ini terjadi pada minggu ke 10 sampai habis masa produksinya. Dalam satu kali musim tanam petani cabai merah dapat mengeluarkan biaya produksi rata-rata sebesar Rp per m 2. Distribusi biaya produksi yang dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 6. Permasalahan yang dihadapi oleh petani cabai merah mengenai tataniaga cabai merah adalah harga jual dari petani yang rendah sedangkan harga beli yang diterima oleh konsumen sangat tinggi. Marjin tataniaga cabai merah sangat tinggi sementara bagian yang diterima oleh petani rendah.

66 Tabel 6 Biaya Produksi Cabai Merah per m 2 (1.000 Kg) Selama Satu Masa Tanam (MST) di Desa Cibeureum No Jenis Biaya Jumlah (Satuan) Harga/Satuan (Rp) Biaya (Rp) 1 Lahan Sewa m Upah tenaga kerja mencangkul 58 HOK Bibit 1,5 Bungkus Mulsa plastic 2 Roll Pupuk kandang 120 Karung Pupuk kimia 143 Kg Obat-obatan Liter Ajir 778 buah Pemasangan ajir 2 HOK Pemeliharaan I 4 HOK Pemeliharaan II 4 HOK Pemeliharaan III 4 HOK Penyemprotan 42 HOK Panen 56 HOK Jumlah

67 VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran dan Lembaga Tataniaga Cabai Merah Saluran tataniaga menunjukkan banyaknya lembaga tataniaga yang saling tergantung dan terlibat dalam proses untuk menjadikan produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen. Saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum terkait dengan beberapa lembaga tataniaga, meliputi pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini terdiri atas lima saluran tataniaga yang cenderung bersifat homogen. Pedagang pengumpul cabai merah di Desa Cibeureum hanya ada satu orang, dan semua petani responden cabai merah menyalurkan hasilnya kepada pedagang pengumpul. Dengan kata lain seratus persen petani memanfaatkan pedagang pengumpul dalam memasarkan hasil panennya. Alasan petani memilih pedagang pengumpul sebagai tujuan pemasarannya dikarenakan adanya akses kemudahan serta menghemat biaya. Dikatakan menghemat biaya, karena semua biaya pengangkutan (transportasi dan tenaga kerja) ditanggung oleh pedagang pengumpul. Selain itu, pertimbangan petani adalah tidak menanggung risiko kerusakan produk di jalan akibat jauhnya tujuan pemasaran dan kurangnya akses petani terhadap pedagang grosir maupun pedagang pengecer. Saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum pada waktu panen dan penjualan yang sama dapat dilihat pada Gambar 5.

68 Petani Kg Pedagang Pengumpul Kg Pedagang Grosir Kg Pedagang Pengecer I Kg Pedagang Pengecer II Kg Konsumen Kg Gambar 5 Skema Saluran Tataniaga Cabai Merah dari Produsen Hingga Konsumen Akhir. Keterangan: : menunjukkan saluran tataniaga I (0,5 persen) : menunjukkan saluran tataniaga II (75,33 persen) : menunjukkan saluran tataniaga III (19,17 persen) : menunjukkan saluran tataniaga IV (4,43 persen) : menunjukkan saluran tataniaga V (0,57 persen) Saluran tataniaga I terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang gosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II.

69 Sedangkan saluran tataniaga IV terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran V terdiri atas pedagang pengumpul dan pedagang pengecer I. Berdasarkan kelima saluran tataniaga tersebut, terlihat bahwa 100 persen cabai merah dijual petani kepada pedagang pengumpul. Jumlah cabai merah yang dipasarkan oleh pedagang pengumpul rata-rata setiap harinya melalui pedagang grosir yang terdapat pada saluran I adalah sebanyak 15 kilogram (0,50 persen), saluran II sebanyak kilogram (75,33 persen), dan saluran III sebanyak 575 kilogram (19,17 persen). Sedangkan saluran tataniaga melalui pedagang pengecer I yang terdapat pada saluran IV sebanyak 133 kilogram (4,43 persen) dan saluran V sebanyak 17 kilogram (0,57 persen). Dari hasil tersebut terlihat bahwa pedagang pengumpul menjual cabai merah sebesar 95 persen kepada pedagang grosir oleh dan 5 persen dijual kepada pedagang pengecer I. Pedagang grosir yang terlibat dalam tataniaga cabai merah ini yaitu sebanyak tiga orang yang berada di Pasar Induk Caringin di Bandung, satu orang di Pasar Senen Jakarta, dan satu orang di Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta. Responden pedagang grosir dalam penelitian ini adalah pedagang grosir di Pasar Induk Caringin di Bandung karena sebanyak 70 persen cabai merah disalurkan pedagang pengumpul di Desa Cibeureum ke pedagang grosir di Pasar Induk Caringin yang dilakukan secara rutin. Selain itu, hanya kepada pedagang grosir di Pasar Induk Caringin pedagang pengumpul menyalurkan cabai merah secara langsung, artinya biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Sedangkan untuk pedagang grosir di Pasar Senen dan Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta, biaya pengangkutannya ditanggung oleh masing-masing pedagang grosir.

70 Artinya, masing-masing pedagang grosir ini mengambil sendiri cabai merah ke tempat pedagang pengumpul. Transaksi ini tidak rutin dilakukan karena cukup jauhnya jarak tempuh serta volume pembelian dan penjualan relatif sedikit. Pedagang pengecer I yang menjadi responden dalam penelitian ini berada di daerah Tasikmalaya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ciamis. Pedagang pengecer I ini adalah yang melakukan pembelian responden pedagang pengumpul dan pedagang grosir yang terlibat dalam tataniaga cabai merah ini. Selanjutnya, perpanjangan dari rantai tataniaga cabai merah ini adalah adanya pedagang pengecer II yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Responden pedagang pengecer II sebanyak 14 orang berada di daerah Pasar Lokal Panumbangan, Pasar Lokal Banjar, dan Pasar Lokal Kawali yang semuanya berada di Kabupaten Ciamis serta dua orang berada di Pasar Sadang Serang Bandung. Dapat disimpulkan bahwa dalam saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini, petani berada pada posisi yang lemah karena tidak mempunyai alternatif lain untuk menyalurkan hasil panennya. Banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga cabai merah akan mempengaruhi panjang pendeknya rantai tataniaga dan besarnya biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen. 6.2 Fungsi Tataniaga Dalam menyalurkan hasil panen dari petani ke tangan konsumen akhir, umumnya petani melibatkan lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga tersebut

71 memiliki fungsi tataniaga masing-masing. Fungsi tataniaga bertujuan untuk memperlancar penyaluran hasil panen dari petani ke konsumen akhir. Tabel 7 Fungsi-Fungsi Tataniaga pada Setiap Saluran Tataniaga Cabai Merah Di Desa Cibeureum Saluran dan Lembaga Tataniaga Saluran I Petani Pedagang pengumpul Pedagang grosir Pedagang pengecer I Saluran II Petani Pedagang pengumpul Pedagang grosir Pedagang pengecer I Pedagang pengecer II Fungsi-Fungsi Tataniaga Pertukaran Fisik Fasilitas Angkut Jual Beli Simpan dan Sortasi Risiko Biaya Kemas * - * * Informasi Pasar Saluran III Petani Pedagang pengumpul Pedagang grosir Pedagang pengecer II * * Saluran IV Petani Pedagang pengumpul Pedagang pengecer I Pedagang pengecer II * Saluran V Petani Pedagang pengumpul Pedagang pengecer I - Keterangan: : dijalankan - : tidak dijalankan *: sebagian dijalankan - - * Pada dasarnya fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Umumnya lembaga-lembaga tataniaga di Desa Cibeureum menggunakan fungsi-fungsi tataniaga seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis antara lain

72 petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir di Pasar Induk Caringin, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani Petani melakukan kegiatan yang sama pada semua saluran tataniaga cabai merah, baik saluran tataniaga I, II, III, IV maupun V karena semua petani hanya melakukan transaksi dengan pedagang pengumpul. Petani cabai merah di Desa Cibeureum melakukan fungsi pertukaran yaitu kegiatan penjualan pada semua saluran tataniaga. Petani responden menjual hasil pertaniannya kepada pedagang pengumpul setiap hari. Penjualan yang dilakukan oleh petani kepada pedagang pengumpul menggunakan sistem nota penjualan yakni pembayaran dilakukan pada hari berikutnya, yaitu saat penjualan produk selanjutnya. Pada awal produksi atau masa tanam, petani umumnya meminjam modal awal dari pedagang pengumpul, sehingga pada saat pembayaran dilakukan petani hanya menerima selisih total penjualan dengan besarnya pinjaman petani pada awal musim tanam. Semua hasil panen petani langsung diangkut oleh pedagang pengumpul, sehingga pada semua saluran tataniaga cabai merah, fungsi fisik berupa penyimpanan dan pengangkutan tidak dilakukan oleh petani, tetapi pengemasan dilakukan oleh petani walupun sederhana yaitu memakai karung plastik yang dapat menampung cabai merah sekitar 50 kilogram untuk memudahkan pengangkutan. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh petani adalah penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi penanggungan risiko berupa pembayaran yang tertunda dari pedagang pengumpul. Informasi pasar berupa informasi harga dan kualitas cabai merah yang diinginkan konsumen dapat diketahui langsung dari pedagang pengumpul yang berhubungan langsung baik dengan pasar induk

73 (pedagang grosir) maupun pedagang pengecer I. Tetapi informasi harga sifatnya tidak transparan, terkadang perubahan harga tidak langsung sampai ke tingkat petani. Fungsi fasilitas berupa sortasi tidak dilakukan oleh petani karena semua hasil panennya langsung diserahkan kepada pedagang pengumpul sehingga petani dapat memfokuskan diri pada kegiatan budidayanya Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul hampir melakukan kegiatan yang sama dalam setiap saluran tataniaga cabai merah, karena pedagang pengumpul hanya menjual hasil pembeliannya kepada pedagang grosir dan pedagang pengecer I. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu fungsi tataniaga yang dilakukan kepada pedagang grosir dan fungsi tataniaga yang dilakukan kepada pedagang pengecer I. Pada saluran tataniaga I, II, dan III fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah sama, karena pada saluran I, II, dan III pedagang pengumpul berhubungan langsung dengan pedagang grosir. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul di Desa Cibeureum berupa fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi pembelian yang dilakukan dengan mendatangi langsung di lahan petani dan melakukan sistem pembelian dengan menggunakan nota penjualan. Pedagang pengumpul menaggung sendiri biaya pengangkutan atau transportasi serta risiko biaya penyusutan selama perjalanan. Fungsi penjualan dilakukan dengan mengirim sendiri produk yang telah dibeli dari petani kepada pedagang grosir, sedangkan pedagang pengecer I datang sendiri ke tempat pedagang pengumpul. Sistem

74 penjualan kepada pedagang grosir dilakukan dengan nota penjualan, hasil penjualan hari ini dibayar keesokan harinya. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengumpul pada saluran tataniaga I, II dan, III yaitu berupa fungsi pengangkutan hasil panen dari petani untuk disalurkan kepada pedagang grosir, sedangkan pedagang pengecer I mengangkut sendiri dari tempat pedagang pengumpul. Selain itu, fungsi pengemasan juga dilakukan oleh pedagang pengumpul. Fungsi pengemasan dilakukan bertujuan untuk mengurangi kerusakan cabai merah akibat benturan, memudahkan pengangkutan, mempermudah penyusunan selama pengangkutan, mempermudah penghitungan dan penimbangan, serta merapikan penampilan. Pengemasan untuk pengangkutan ke pedagang grosir dengan menggunakan kardus berukuran 35 x 40 x 50 cm yang berkapasitas 40 kilogram per kardus, keenam sisinya berlubang dengan diameter satu cm untuk mengurangi pembusukan. Fungsi penyimpanan tidak dilakukan oleh pedagang pengumpul karena semua hasil pertanian yang diperoleh dari petani langsung disalurkan ke lembaga tataniaga berikutnya. Pada saluran tataniaga I, II, dan III pedagang pengumpul melakukan fungsi fasilitas berupa fungsi sortasi, biaya, penanggungan risiko, dan fungsi informasi pasar. Sortasi hanya dilakukan untuk memisahkan produk yang mengalami kerusakan akibat pengangkutan atau perjalanan dari tempat petani tanpa disertai dengan grading, yaitu pengelompokkan produk berdasarkan kualitasnya. Fungsi biaya yang ditanggung oleh pedagang pengumpul adalah biaya pengangkutan atau transportasi, sortir, pengemasan, retribusi, bongkar muat,

75 dan biaya penyusutan dari petani maupun menyalurkannya kepada pedagang grosir yang berada di Bandung dan Jakarta. Fungsi penanggungan risiko berupa kerusakan barang selama pengangkutan di perjalanan dan risiko pembayaran yang tertunda dari pedagang grosir. Informasi pasar diperoleh dari tempat penjualan, yaitu Pasar Induk Caringin selaku pasar grosir berupa informasi harga dan kualitas cabai merah yang diinginkan oleh konsumen. Saluran tataniaga IV dan V merupakan saluran dari pedagang pengumpul terhadap pedagang pengecer I. Pada saluran IV dan V ini, kegiatan atau fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah sama. Fungsi tataniaga yang dilakukan adalah fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan berupa kegiatan pembelian dari petani dan penjualan kepada pedagang pengecer I. Fungsi pengangkutan yang merupakan bagian dari fungsi fisik dilakukan pedagang pengumpul ketika membeli hasil panen petani. Sedangkan pengangkutan produk untuk disalurkan kepada pedagang pengecer I tidak dilakukan, karena pedagang pengecer I tersebut yang datang sendiri kepada pedagang pengumpul, sehingga biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengecer I. Fungsi fisik lainnya berupa fungsi penyimpanan tidak dilakukan oleh pedagang pengumpul, karena hasil produksi dari petani yang diperoleh hari tersebut langsung disalurkan pada hari itu juga kepada pedagang grosir maupun pedagang pengecer. Hal ini dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan mempertimbangkan karakteristik cabai merah yang merupakan jenis hortikultura yaitu mudah rusak atau tidak tahan lama. Selain itu, pedagang pengumpul tidak

76 mempunyai fasilitas yang dapat membuat cabai merah lebih tahan lama atau mengurangi kebusukan, seperti alat pendingin (cool storage). Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengumpul pada saluran tataniaga IV dan V berupa fungsi sortasi, biaya, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi sortasi, penaggungan risiko, dan informasi pasar sama dengan yang terdapat pada saluran tataniaga I, II, dan III terhadap pedagang grosir. Pembeda antara saluran tataniaga I, II, dan III dengan saluran tataniaga IV dan V adalah dalam fungsi biaya dan pengangkutan. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul pada saluran tataniaga IV dan V yaitu hanya berupa biaya pengangkutan barang dari petani, biaya sortasi, biaya tenaga kerja, biaya penyusutan, dan biaya pengemasan sedangkan pada saluran tataniaga I, II, dan III biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul lebih besar yakni selain biaya pengangkutan dari tempat petani, biaya sortasi, biaya tenaga kerja, biaya penyusutan dan biaya pengemasan, pedagang pengumpul juga menanggung biaya pengangkutan kepada pedagang grosir. Pedagang pengumpul tidak membayar secara khusus untuk mengakses informasi pasar karena informasi yang diperoleh sumbernya relatif beragam dan bukan informasi komersial. Informasi harga diperoleh dari pedagang grosir, sedangkan informasi mengenai keinginan konsumen selain diperoleh dari pedagang grosir juga diperoleh dari pedagang pengecer I Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Grosir Keterlibatan pedagang grosir dalam saluran tataniaga cabai merah terdapat pada saluran tataniaga I, II, dan III. Pedagang grosir yang terlibat dalam rantai tataniaga ini meliputi pedagang grosir di Pasar Induk Caringin Bandung.

77 Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang grosir pada saluran tataniaga I, II, dan III ini meliputi fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran berupa pembelian dari pedagang pengumpul dan penjualan kepada pedagang pengecer I maupun pengecer kecil. Fungsi pembelian ini dilakukan dengan sistem nota penjualan kepada pedagang pengumpul. Pembayaran dilakukan pada keesokan harinya dengan melihat seberapa banyak persediaan cabai merah yang masih ada (belum terjual) untuk penentuan harga kepada pedagang pengumpul. Jadi pada dasarnya harga beli ditentukan oleh pedagang grosir walaupun melalui mekanisme tawar-menawar harga. Harga yang telah ditetapkan pedagang grosir dapat berubah setiap harinya tergantung pada kondisi cabai merah di tingkat pedagang grosir. Harga yang diterima pedagang pengumpul akan berpengaruh terhadap pembentukan harga jual di tingkat petani. Pedagang pengumpul juga akan melakukan penyesuaian pembayaran kepada petani berdasarkan harga yang diperolehnya dari pedagang grosir. Fungsi pertukaran berupa penjualan kepada pedagang pengecer I maupun kecil dilakukan secara tunai pada saat transaksi berlangsung. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang grosir berupa fungsi penyimpanan, dan pengemasan. Fungsi penyimpanan dilakukan ketika produk dari petani tidak langsung terjual semua pada saat itu. Walaupun produk cabai merah masih ada atau belum terjual semua, tetapi pedagang grosir tidak melakukan penyimpanan secara khusus misal penyimpanan di tempat pendingin (cool storage) yang berfungsi menjaga kesegaran cabai merah agar tidak mudah layu. Alasan pedagang grosir ini karena biasanya jumlah cabai merah yang tersisa hanya sedikit (sekitar satu ton) sehingga hanya disimpan di tempat mereka

78 berjualan. Berbeda halnya ketika cabai merah masih banyak yang menumpuk atau belum laku terjual, pedagang grosir melakukan penyimpanan melalui sistem pendingin dengan cara menyewa. Pengemasan dapat dilakukan dengan menggunakan kantong plastik biasa, karung plastik atau kardus tergantung volume pembelian serta jauhnya jarak yang ditempuh oleh pembeli. Kegiatan sortasi, pembebanan biaya, penanggungan risiko, dan informasi pasar merupakan bagian dari fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang grosir. Fungsi sortasi yang dilakukan oleh pedagang grosir berupa pemisahan produk yang layak jual dengan yang tidak layak jual dikarenakan kerusakan selama perjalanan dari pedagang pengumpul. Selain itu, kegiatan sortasi bertujuan untuk memisahkan cabai merah berdasarkan kualitasnya (grading). Pedagang grosir melakukan grading atau pengelompokkan untuk jenis cabai merah yang sama dengan maksud pembedaan dalam penentuan harga cabai merah berdasarkan keseragaman ukuran. Ukuran cabai merah yang paling besar dikenai harga yang paling tinggi. Fungsi biaya dilakukan untuk memperlancar proses penjualan yang meliputi biaya penyimpanan apabila diperlukan, biaya pengemasan, penyusutan, sewa, retribusi, bongkar muat, sortir dan grading, serta biaya tenaga kerja untuk melayani pembeli. Fungsi penanggungan risiko berupa kelebihan produk dan kekurangan produk sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumen yang sebenarnya ada. Selain itu, pedagang grosir menanggung risiko ketidaksesuaian kualitas produk seperti yang diinginkan konsumen melalui pedagang pengecer. Fungsi informasi pasar diperoleh berupa perkembangan harga cabai merah yang

79 sangat berfluktuasi serta kualitas cabai merah yang diinginkan oleh konsumen. Dalam hal ini pedagang grosir berperan sebagai pemegang informasi pasar Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer I Pedagang pengecer I adalah pedagang yang membeli dari pedagang pengumpul maupun pedagang grosir dengan jumlah pembelian lebih dari lima kilogram setiap transaksi dan melakukan fungsi sortasi yang langsung berhubungan dengan pedagang pengecer II maupun konsumen yang dapat ditunjukkan oleh saluran tataniaga I, II, IV, dan V. Produk yang dijual oleh pedagang pengecer I diperoleh dari pedagang pengumpul yang ditunjukkan dalam saluran tataniaga IV dan V serta dari pedagang grosir yang terdapat dalam saluran tataniaga I dan II. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer I pada saluran tataniaga I, II, IV, dan V adalah sama. Fungsi tataniaga tersebut meliputi fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran meliputi pembelian dari pedagang grosir dan pedagang pengumpul serta penjualan baik kepada pedagang pengecer II maupun konsumen. Sistem pembelian dan penjualan dilakukan secara tunai pada saat transaksi dilakukan. Fungsi fisik berupa penyimpanan, pengangkutan, dan pengemasan dilakukan oleh pedagang pengecer I. Fungsi penyimpanan kadang-kadang dilakukan, apabila terjadi kelebihan produk atau produk tidak terjual pada hari yang sama ketika membeli. Penyimpanan yang dilakukan tidak diberi perlakuan khusus seperti disimpan di tempat pendingin karena jumlah produknya hanya sedikit. Fungsi pengangkutan dilakukan oleh pedagang pengecer I ketika membeli dari pedagang grosir. Pengemasan dilakukan sesuai dengan volume pembelian,

80 tetapi pada umumnya pengemasan hanya menggunakan kantong plastik atau karung plastik untuk memudahkan pembeli dalam pengangkutannya. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer I meliputi fungsi biaya, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi sortasi tidak dilakukan karena jumlah yang dibeli dari pedagang grosir pun tidak begitu banyak. Fungsi biaya meliputi biaya pengangkutan dari tempat pedagang grosir, biaya sewa, retribusi, bongkar muat, dan biaya penyusutan, sedangkan fungsi penanggungan risiko berupa risiko tidak laku terjual. Fungsi informasi pasar diperoleh dari pedagang grosir berupa informasi harga cabai merah dan karakteristik cabai merah yang diinginkan konsumen Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer II Pedagang pengecer II merupakan perpanjangan saluran tataniaga cabai merah dari pedagang grosir maupun pedagang pengecer I. Dikatakan pedagang pengecer II karena kuantitas produk yang dibelinya pun sedikit, yaitu tidak lebih dari lima kilogram setiap transaksi dan tidak melakukan fungsi sortasi. Pedagang pengecer II dapat memperoleh produk baik dari pedagang grosir seperti yang terdapat dalam saluran tataniaga III maupun dari pedagang pengecer I yang terdapat dalam saluran tataniaga II dan IV. Harga yang diperoleh pedagang pengecer II dari kedua pedagang tersebut tentunya berbeda. Harga di tingkat pedagang pengecer I lebih mahal daripada harga yang diterimanya dari pedagang grosir. Namun, perbedaan harga tersebut sebanding dengan biaya untuk memperolehnya. Jauhnya jarak menuju pasar grosir menjadi pertimbangan pedagang pengecer II untuk lebih memilih pedagang pengecer I sebagai sumber pembeliannya.

81 Fungsi tataniaga yang melibatkan pedagang pengecer II, baik dalam saluran tataniaga II, III, maupun IV adalah sama. Fungsi tataniaga tersebut meliputi fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan langsung kepada konsumen. Kegiatan pembelian dan penjualan dilakukan secara tunai saat transaksi dilakukan. Fungsi fisik berupa fungsi penyimpanan, pengangkutan, dan pengemasan dilakukan oleh pedagang pengecer II. Fungsi penyimpanan kadang-kadang dilakukan, apabila produk tidak laku terjual. Penyimpanan yang dilakukan oleh pedagang ini biasa saja tanpa ada perlakuan khusus seperti menyimpan di tempat pendingin, karena jumlah cabai merahnya pun sedikit. Fungsi pengangkutan dilakukan ketika membeli barang baik dari pedagang grosir maupun pedagang pengecer I. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan kantong plastik untuk memudahkan pembeli dalam membawanya. Fungsi fasilitas yang dilakukan adalah fungsi biaya, penanggungan risiko, dan fungsi informasi pasar. Biaya yang dikeluarkan berupa biaya pengangkutan ketika melakukan pembelian baik dari pedagang pengecer I maupun pedagang grosir, biaya penyusutan, biaya retribusi, dan biaya sewa. Pedagang pengecer II menanggung risiko tidak laku terjual, serta memperoleh informasi pasar dari pedagang grosir maupun pedagang pengecer I berupa informasi harga cabai merah dan karakteristik cabai merah yang diinginkan konsumen. 6.3 Struktur Pasar Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat-syarat masuk pasar. Struktur

82 pasar akan direfleksikan oleh kondisi dan perilaku pasar yang dihadapi oleh petani. Perilaku pasar pada tingkat yang paling bawah ini pada hakekatnya merupakan turunan secara akumulatif dari sistem perilaku pelaku tataniaga di atasnya. Pemahaman kondisi pasar di tingkat petani yang mencakup proses pembentukan harga, bagian harga yang diterima petani, dan marjin tataniaga serta faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan informasi penting dalam rangka peningkatkan efisiensi dan kompetisi pasar yang lebih baik. Secara umum struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum adalah persaingan tidak sempurna karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang menampung langsung keseluruhan hasil pertanian cabai merah dari petani di Desa Cibeureum dan sedikit penjual di setiap tingkat lembaga tataniaga lainnya Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani cabai merah di Desa Cibeureum cenderung mendekati pasar persaingan tidak sempurna, yaitu pasar monopsoni karena hanya terdapat satu pembeli yaitu satu pedagang pengumpul dan beberapa penjual yaitu para petani. Walaupun produknya bersifat homogen antar petani, yakni para petani tidak memberikan sentuhan yang berbeda terhadap hasil poduksinya, tetapi karena pembeli yang dituju oleh semua petani adalah sama yaitu pedagang pengumpul yang hanya terdiri atas satu orang pedagang pengumpul, maka struktur pasar di tingkat petani cenderung bersifat monopsoni. Hambatan keluar masuk pasar apabila dilihat dari sisi petani adalah rendah. Tetapi, apabila dilihat dari sisi pedagang pengumpul, hambatan keluar masuk pasar cukup tinggi. Hal ini dikarenakan para petani sudah mempercayai kepada pedagang pengumpul yang ada di Desa Cibeureum tersebut. Selain itu,

83 petani merasa tidak menanggung risiko atas biaya pengangkutan dan risiko tidak laku terjual, karena semua hasil panennya akan dibeli oleh pedagang pengumpul yang mengambil langsung hasil panen tersebut ke tempat petani. Petani juga dapat memperoleh informasi pasar mengenai harga cabai merah dari pedagang pengumpul Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul cenderung bersifat pasar persaingan tidak sempurna. Apabila dikaitkan dengan petani, yakni pedagang pengumpul berlaku sebagai pembeli tunggal, maka struktur pasar yang terjadi cenderung bersifat monopsoni. Hal ini dapat disimpulkan karena jumlah petani selaku penjual cukup banyak, sedangkan jumlah pedagang pengumpul sebagai orang yang membeli hasil panen para petani hanya satu. Kondisi seperti ini, ditunjang pula oleh sulitnya hambatan untuk keluar masuk pasar bagi pedagang pengumpul, karena para petani sudah mempercayai pedagang pengumpul sebagai tujuan tataniaga hasil pertaniannya. Sedangkan apabila dilihat dari hubungannya terhadap pedagang grosir maupun pedagang pengecer I dalam saluran tataniaga cabai merah, maka struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengumpul adalah cenderung bersifat oligopoli murni. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan jumlah penjual lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pembeli. Produk yang diperdagangkan oleh pedagang pengumpul ini cenderung homogen dengan teknik pengemasan yang masih sangat sederhana, yaitu hanya diberi kardus atau karung biasa yang berfungsi untuk memudahkan pengangkutan ke pedagang grosir.

84 6.3.3 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Grosir Pedagang grosir menghadapi struktur pasar yang cenderung oligopoli murni ketika berhadapan dengan pedagang pengumpul (selaku pembeli) dan oligopoli murni ketika berhadapan dengan pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II (selaku penjual). Hal ini ditunjukkan dengan jumlah pembeli yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penjual. Hambatan masuk bagi pedagang grosir cukup tinggi, karena cukup sulitnya memperoleh ijin dari pengelola pasar grosir untuk berjualan disana. Disamping itu, sulitnya mendapatkan kios kosong yang dapat digunakan untuk berjualan. Namun demikian, pendatang baru masih mungkin untuk masuk ke pasar grosir, terutama apabila mempunyai modal yang cukup dan kemampuan mengakses pasar. Pedagang grosir ini tidak hanya menjual cabai merah saja, tetapi juga menjual cabai hijau. Namun proporsinya lebih besar menjual cabai merah. Jadi pedagang grosir dalam tataniaga cabai merah ini dapat dikatakan sebagai pedagang grosir cabai Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer I dan Pedagang Pengecer II Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer I dan II adalah sama. Apabila dilihat dari sisi pembeli adalah oligopsoni murni sedangkan dilihat dari sisi penjual adalah oligopoli murni karena tidak adanya diferensiasi produk yang diperdagangkan. Hambatan keluar masuk pasar cenderung rendah karena tidak adanya peraturan atau ikatan khusus.

85 6.4 Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah suatu pola atau tingkah laku dari lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar tempat lembaga tataniaga melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan pembayaran serta kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga Praktek Pembelian dan Penjualan Praktek Penjualan di Tingkat Petani Petani cabai merah di Desa Cibeureum yang menjadi responden dalam penelitian ini menjual seluruh hasil panennya kepada pedagang pengumpul. Panen cabai merah dapat dilakukan setiap minggu setelah 3 bulan MST (Masa Setelah Tanam). Produksi rata-rata cabai merah petani sebanyak 59,52 kilogram per m 2 setiap kali panen. Dengan adanya perbedaan masa tanam cabai merah setiap petani, cabai merah dapat dihasilkan setiap hari. Berdasarkan data yang diperoleh dari pedagang pengumpul, petani cabai merah di Desa Cibeureum mampu menghasilkan cabai merah sebanyak kilogram per hari. Sistem penjualan yang dilakukan oleh petani tersebut adalah dengan menggunakan nota penjualan. Pedagang pengumpul mengambil sendiri hasil panen petani di lahan petani sehingga petani hanya menanggung biaya panen, sedangkan biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Petani hanya menyalurkan hasil panennya kepada pedagang pengumpul, karena petani merasa risiko yang ditanggungnya lebih rendah, seperti risiko tidak laku terjual dan risiko pembebanan biaya pengangkutan menjadi tidak ada.

86 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengumpul Sistem pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul sama dengan sistem penjualan yang dilakukan oleh petani. Pedagang pengumpul mendatangi lahan petani untuk mengambil hasil panen yang telah dilakukan oleh petani. Selain dari petani cabai merah yang ada di Desa Cibeureum, pedagang pengumpul juga melakukan pembelian dengan pedagang pengumpul lainnya yang membawa cabai merah dari luar Desa Cibeureum. Proporsi pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dari petani lebih banyak dibandingkan dengan pedagang pengumpul lainnya. Sumber pembelian dari petani rata-rata sebanyak kilogram per hari (85,71 persen), sedangkan sumber pembelian dari pedagang pengumpul lainnya hanya sebanyak 500 kilogram per hari (14,29 persen). Dalam analisis tataniaga cabai merah ini yag dilihat adalah sumber pembelian dari petani karena proporsinya relatif lebih besar dan dilakukan secara berkesinambungan. Sebagian besar penjualan langsung dilakukan kepada pedagang grosir, yaitu Pasar Induk Caringin Bandung (70 persen), Pasar Senen (20 persen), dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta (10 persen). Pedagang pengumpul mengirim cabai merah ke Pasar Induk Caringin, sehingga biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Sebaliknya, Pasar Senen dan Pasar Induk Kramat Jati mengambil sendiri cabai merah ke tempat pedagang pengumpul, sehingga biaya angkutan ditanggung oleh pedagang grosir. Hal ini dilakukan pedagang pengumpul dengan pertimbangan cabai merah yang diperdagangkan ke pasar grosir di Jakarta hanya sedikit, berbeda dengan pasar grosir di Bandung. Selain itu, jauhnya jarak tempuh ke Jakarta bila dibandingkan dengan Bandung menjadi pertimbangan pedagang pengumpul dalam mengambil pilihan ini. Dalam

87 penelitian ini, pedagang grosir yang menjadi responden adalah pedagang grosir di Pasar Induk Caringin Bandung, karena proporsi penjualan dari pedagang pengumpul paling besar,yaitu mencapai 70 persen. Penjualan yang dilakukan kepada pedagang grosir sebanyak kilogram (95 persen) Selain pedagang grosir, pedagang pengumpul juga melakukan penjualan kepada pedagang pengecer I, yaitu sebanyak 150 kilogram (5 persen) dengan cara pedagang pengecer I datang sendiri ke tempat pedagang pengumpul. Hal ini tidak menjadi prioritas utama pedagang pengumpul, karena jumlah yang dibeli pedagang pengecer I sedikit Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Grosir Pedagang grosir (responden) melakukan pembelian cabai merah dari pedagang pengumpul Desa Cibeureum dengan transaksi setiap hari rata-rata mencapai kilogram (95 persen). Sistem pembelian dari pedagang pengumpul tidak dilakukan secara tunai, tetapi dengan menggunakan nota penjualan. Pembayaran dengan nota penjualan yakni pembayaran dilakukan tidak langsung saat transaksi, tetapi saat transaksi berikutnya. Sistem pembayaran dilakukan seperti ini karena harga cabai merah belum terbentuk. Pedagang grosir merupakan penentu harga cabai merah. Penentuan harga cabai merah berdasarkan kondisi terhadap permintaan cabai merah di pasar induk, sehingga harga cabai merah dapat berfluktuasi setiap hari. Harga yang diterima pedagang pengumpul berimplikasi pada harga yang akan diterima oleh petani, karena pembelian di tingkat pedagang pengumpul terhadap petani juga menggunakan sistem nota penjualan.

88 Kegiatan penjualan yang dilakukan kepada pedagang pengecer I sebanyak kilogram (79,82 persen) dan pedagang pengecer II sebanyak 575 kilogram (20,18 persen). Sistem penjualan yang dilakukan bagi kedua jenis pedagang pengecer ini adalah dengan sistem tunai, yaitu penjualan dilakukan saat transaksi jual beli dilaksanakan Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengecer I dan Pedagang Pengecer II Sumber pembelian pedagang pengecer I adalah pedagang gosir dan pedagang pengumpul. Pedagang pengecer I di daerah Tasikmalaya umumnya melakukan pembelian dari kedua sumber tersebut. Responden pedagang pengecer I dalam penelitian ini adalah pedagang pengecer I yang berada di daerah Tasikmalaya (Pasar Cikurubuk). Alasan pemilihan responden ini karena pedagang pengecer I di daerah Tasikmalaya dapat mengakses cabai merah secara dari pedagang pengumpul di sentra produksi dan pedagang grosir. Pembelian yang dilakukan pedagang pengecer I Pasar Cikurubuk adalah secara tunai baik kepada pedagang grosir maupun pedagang pengumpul, yakni dengan mendatangi sendiri sumber pembelian. Cabai merah yang dibeli oleh pedagang pengecer I dari pedagang grosir rata-rata sebanyak kilogram (93,81 persen), sedangkan pembelian dari pedagang pengumpul rata-rata sebanyak 150 kilogram (6,19 persen) setiap transaksi. Kegiatan penjualan dilakukan ke pedagang pengecer II dan langsung ke konsumen. Penjualan ke pedagang pengecer II rata-rata sebanyak kilogram (98,68 persen), sedangkan penjualan yang langsung ke konsumen rata-rata sebanyak 32 kilogram (1,32 persen) setiap kali transaksi. Pedagang pengecer II merupakan perpanjangan saluran tataniaga cabai merah untuk disalurkan langsung

89 kepada konsumen. Keberadaan pedagang pengecer II memberikan kemudahan kepada konsumen untuk memperoleh cabai merah. Pedagang pengecer II melakukan pembelian cabai merah dari pedagang pengecer I sebanyak kilogram (80,62 persen) dan pedagang grosir sebanyak 575 kilogram (19,38 persen). Masing-masing pembelian tersebut dilakukan secara tunai saat transaksi jual beli berlangsung. Tujuan penjualan pedagang pengecer II adalah langsung kepada konsumen. Penjualan kepada konsumen dilakukan secara tunai saat transaksi jual beli berlangsung Sistem Penentuan Harga Terbentuknya harga akibat adanya pertemuan antara penawaran dan permintaan. Umumnya harga terbentuk melalui proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Harga suatu komoditi pertanian daerah tertentu akan berbeda dengan daerah lainnya. Produsen harus melindungi harga agar menguntungkan, sebaliknya konsumen harus melindungi harga agar tidak dirugikan. Apabila telah terjadi kesesuaian harga antara yang ditawarkan penjual dengan yang diterima pembeli, maka pada saat itulah terbentuk harga pasar dan transaksi baru dilakukan. Sistem penentuan harga cabai merah di Desa cibeureum dilakukan dengan tawar-menawar. Namun demikian, keputusan terakhir ditentukan oleh lembaga tataniaga yang lebih tinggi. Pada petani harga lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul. Hal ini terjadi karena pedagang pengumpul lebih menguasai informasi harga dari pedagang grosir. Begitu pula pada pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II yang melakukan pembelian dari pedagang grosir, harga lebih ditentukan oleh pedagang grosir. Namun bagi pedagang pengecer I yang

90 melakukan pembelian dari pedagang pengumpul, harga yang diterimanya ditentukan oleh pedagang pengumpul. Dengan demikian, harga pada tingkat konsumen lebih ditentukan oleh pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II yang langsung berhubungan dengan konsumen. Pada umumnya, petani cabai merah di Desa Cibeureum tidak mampu mempengaruhi penetapan harga, karena struktur pasar cenderung bersifat tidak bersaing sempurna, yaitu monopsoni. Penetapan harga di tingkat petani disesuaikan dengan harga pasar yang sedang berlaku, dan biasanya berdasarkan nota penjualan dari pedagang pengumpul. Petani akan tetap melakukan penanaman walaupun harga di pasar rendah Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Pentingnya kerjasama antara lembaga tataniaga adalah untuk memperlancar proses tataniaga. Kerjasama yang dilakukan antara petani cabai merah dan pedagang pengumpul cabai merah sudah terjalin cukup lama dan atas dasar saling percaya. Dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, pedagang pengumpul bebas memilih untuk bekerja sama dengan para petani, karena jumlah pedagang pengumpul di desa ini hanya satu orang sedangkan jumlah petani banyak. Kerjasama yang biasa dilakukan hanya dalam masalah jual beli. Dalam hal permodalan, kerjasama tidak selalu dilakukan. Kadang-kadang pedagang pengumpul memberi bantuan untuk pembelian bibit apabila diminta oleh petani. Kerjasama juga terjalin antara pedagang pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang pengecer I dalam hal jual beli cabai merah. Umumnya pedagang grosir dan pedagang pengecer I akan membeli cabai merah dari para pedagang pengumpul yang sudah dikenalnya. Kerjasama ini bertujuan agar

91 kontinuitas cabai merah tetap terpenuhi. Tujuan akhir saluran tataniaga cabai merah adalah cabai merah dapat diterima oleh konsumen. Untuk mencapai tujuan tersebut, pedagang pengecer I bekerjasama dengan pedagang pengecer II, sehingga cabai merah dapat dengan mudah didapat oleh konsumen. 6.5 Efisiensi Tataniaga Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayarkan konsumen. Marjin tataniaga juga diartikan sebagai perbedaan antara harga beli dan harga jual pada setiap lembaga tataniaga. Marjin tataniaga meliputi seluruh biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh lembaga tataniaga selama proses penyaluran komoditas dari satu lembaga tataniaga ke lembaga tataniaga lainnya. Analisis marjin tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum digunakan untuk melihat tingkat efisiensi operasionalnya. Dalam tataniaga cabai merah ini, marjin tataniaga dihitung berdasarkan kelima pola tataniaga. Perhitungan marjin meliputi biaya tataniaga dan keuntungan lembaga tataniaga yang terlibat. Besarnya marjin pada setiap saluran dapat dilihat pada hasil analisis marjin tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum (Tabel 8). Berdasarkan pada Tabel 8 dapat dilihat komponen dari tataniaga yaitu biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga merupakan segala biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam memasarkan cabai merah dari tingkat desa sampai konsumen akhir. Rincian biaya dalam setiap lembaga tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum dapat dilihat dalam Lampiran 2.

92 Tabel 8 Analisis Marjin Tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum Uraian Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Saluran V Harga (Rp) Harga (Rp) Harga (Rp) Harga (Rp) Harga (Rp) Petani Biaya Produksi 4.592, , , , ,75 Keuntungan 2.407, , , , ,25 Harga jual Pedagang Pengumpul Harga beli Biaya Tataniaga Keuntungan Tataniaga Marjin tataniaga Harga jual Pedagang grosir Harga beli Biaya Keuntungan Marjin tataniaga Harga jual Pedagang pengecer I Harga beli Biaya Keuntungan Marjin tataniaga Harga jual Pedagang pengecer II Harga beli Biaya Keuntungan Marjin tataniaga Harga jual Total Biaya Total Keuntungan , , , , ,25 Marjin Tataniaga Biaya yang dikeluarkan dalam setiap lembaga tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum berbeda. Biaya tataniaga di tingkat petani tidak ada, yang ada adalah biaya produksi (termasuk biaya panen) karena petani sendiri yang melaksanakannya. Tidak adanya biaya tataniaga di tingkat petani karena tidak ada biaya yang dikeluarkan petani ketika proses penyaluran barang ke tingkat lembaga tataniaga selanjutnya. Pedagang pengumpul selaku lembaga tataniaga yang berhubungan langsung dengan petani mengambil sendiri cabai merah yang sudah di panen ke tempat petani. Sedangkan biaya di tingkat pedagang pengumpul

93 meliputi biaya pengangkutan, sortasi dan pengemasan, penyusutan, retribusi dan tenaga kerja. Di tingkat pedagang grosir, biaya yang dikeluarkan terdiri atas biaya tenaga kerja, penyusutan, sewa, retribusi, serta sortasi dan grading. Pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II menanggung biaya pengangkutan, sewa, retribusi dan penyusutan Analisis Marjin Tataniaga Saluran I Marjin tataniaga pada saluran I merupakan salah satu marjin tataniaga terkecil dari kelima pola saluran tataniaga cabai merah, yaitu sebesar Rp per kilogram cabai merah. Hal ini terjadi karena konsumen memperoleh cabai merah langsung dari pedagang pengecer I. Tujuan tataniaga saluran I adalah daerah Tasikmalaya dan Ciamis. Marjin tataniaga terbesar diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengecer I. Hal ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer I dalam saluran I ini adalah yang paling besar sehingga pedagang pengecer I mengambil keuntungan yang relatif besar untuk menutupi biaya tersebut dibandingkan dengan tingkat lembaga tataniaga lainnya. Biaya dan keuntungan yang diambil cukup besar ini menimbulkan marjin tataniaga yang besar pula. Besarnya marjin pada saluran I ini terjadi akibat jauhnya jarak tempuh yang harus dilalui oleh pedagang pengecer I untuk memperoleh cabai merah dari pedagang grosir yaitu Tasikmalaya-Bandung, sedangkan volume pembelian yang dilakukan oleh konsumen akhir adalah relatif sedikit yakni rata-rata kurang dari satu kilogram setiap transaksinya sehingga marjin yang diambil untuk setiap satu kilogram cabai merah cukup besar.

94 Marjin tataniaga terkecil diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengumpul karena volume pembelian dan penjualan relatif banyak, yakni rata-rata mencapai kilogram sehingga biaya yang dibebankan untuk setiap satu kilogram cabai merah relatif sedikit. Selain sedikitnya biaya yang dibebankan untuk setiap satu kilogram cabai merah, keuntungan yang diambil per kilogram cabai merah juga relatif sedikit karena diimbangi dengan besarnya volume transaksi jual beli Analisis Marjin Tataniaga Saluran II Saluran II merupakan saluran terpanjang dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Panjangnya saluran tataniaga menyebabkan marjin total tataniaga relatif besar. Marjin tataniaga pada saluran II merupakan salah satu marjin tataniaga terbesar dari kelima pola saluran tataniaga cabai merah, yaitu sebesar Rp per kilogram cabai merah. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam upaya mendistribusikan cabai merah ke konsumen sehingga semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan serta keuntungan yang diambil untuk mengimbangi biaya pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Marjin tataniaga terbesar diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengecer I. Hal ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer I dalam saluran II ini adalah yang paling besar sehingga pedagang pengecer I mengambil keuntungan yang relatif besar untuk menutupi biaya tersebut. Biaya dan keuntungan yang diambil cukup besar ini menimbulkan marjin tataniaga yang besar pula. Besarnya marjin pada saluran II ini terjadi akibat

95 jauhnya jarak tempuh yang harus dilalui oleh pedagang pengecer I untuk memperoleh cabai merah dari pedagang grosir yaitu Tasikmalaya-Bandung. Marjin tataniaga terkecil diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengumpul karena volume pembelian dan penjualan relatif banyak sehingga biaya yang dibebankan untuk setiap satu kilogram cabai merah relatif sedikit. Selain sedikitnya biaya yang dibebankan untuk setiap satu kilogram cabai merah, keuntungan yang diambil per kilogram cabai merah juga relatif sedikit karena diimbangi dengan besarnya volume transaksi jual beli. Tujuan distribusi akhir pada saluran II ini adalah daerah Ciamis Analisis Marjin Tataniaga Saluran III Saluran III merupakan salah satu saluran tataniaga cabai merah yang memberikan marjin tataniaga terbesar dari kelima pola saluran tataniaga terbesar, yaitu Rp per kilogram cabai merah. Marjin tataniaga terbesar untuk setiap tingkat lembaga tataniaga diambil oleh pedagang grosir. Pengambilan marjin yang cukup besar oleh pedagang grosir didasarkan pada pertimbangan bahwa pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengecer II relatif sedikit dibandingkan pedagang pengecer I yakni rata-rata kurang dari lima kilogram setiap transaksi sehingga pengambilan keuntungan untuk setiap satu kilogram cabai merah relatif besar. Sedangkan marjin tataniaga terkecil diambil oleh pedagang pengumpul. Tujuan tataniaga saluran III ini adalah daerah Bandung Analisis Marjin Tataniaga Saluran IV Saluran IV merupakan salah satu saluran tataniaga yang memberikan marjin tataniaga paling besar, yaitu Rp per kilogram cabai merah. Marjin terkecil diambil oleh pedagang pengumpul, sedangkan marjin terbesar berada

96 pada tingkat pedagang pengecer I. Hal ini terjadi karena pedagang pengecer I mengambil keuntungan yang relatif besar sehingga marjin tataniaga menjadi besar pula. Dalam saluran tataniaga IV ini, pedagang pengecer I dapat memotong saluran tataniaga dengan meniadakan keberadaan pedagang grosir. Pedagang pengecer I langsung memperoleh cabai merah dari pedagang pengumpul sehingga mendapatkan harga yang lebih rendah. Walaupun mendapatkan harga yang lebih rendah, tetapi pedagang pengecer I menjual cabai merah dengan harga yang sama kepada pembelinya sehingga pedagang pengecer I dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar. Pengambilan keuntungan yang relatif besar atas pertimbangan besarnya biaya yang dikeluarkan. Biaya yang relatif besar yang harus ditanggung oleh pedagang pengecer I terjadi karena pedagang pengecer I hanya membeli cabai merah dari pedagang pengumpul walaupun jarak yang ditempuh relatif lebih dekat daripada ke pedagang grosir. Sedangkan apabila membeli dari pedagang grosir tidak hanya melakukan pembelian cabai merah saja tetapi bahan makanan lainnya, seperti sayuran dan buah-buahan. Pembelian yang relatif beragam dari pedagang grosir menyebabkan biaya untuk masing-masing jenis setiap satu kilogramnya relatif rendah apabila dibandingkan dengan jauhnya jarak tempuh. Tujuan tataniaga saluran I adalah daerah Tasikmalaya dan Ciamis Analisis Marjin Tataniaga Saluran V Saluran V merupakan saluran tataniaga terpendek dengan jumlah lembaga tataniaga yang terlibat relatif sedikit. Sedikitnya jumlah lembaga tataniaga yang terlibat, yakni pedagang pengumpul dan pedagang pengecer I menyebabkan marjin yang terjadi relatif kecil, yaitu sebesar Rp per kilogram cabai

97 merah. Dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada di Desa Cibeureum, saluran V merupakan salah satu saluran yang memberikan marjin terkecil. Lembaga tataniaga yang mengambil marjin terbesar adalah pedagang pengecer I. Hal ini terjadi karena pada saluran V pedagang pengecer I langsung melayani konsumen sehingga mengambil keuntungan yang relatif besar karena jumlah pembelian yang dilakukan oleh konsumen akhir relatif sedikit. Keuntungan yang diambil oleh pedagang pengecer I semakin bertambah besar karena pembelian cabai merah langsung dari pedagang pengumpul. Sedangkan marjin tataniaga terkecil diambil oleh pedagang pengumpul. Saluran ini bertujuan untuk memenuhi konsumen daerah Tasikmalaya dan Ciamis. Dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada di Desa Cibeureum, masing-masing saluran memiliki kelebihan dan kelemahan. Saluran I memiliki marjin paling kecil dibandingkan saluran lainnya dan biaya yang relatif kecil dibandingkan saluran II dan IV, yaitu sebesar Rp 2.400, tetapi total keuntungannya juga paling kecil, yaitu sebesar Rp ,25. Saluran II cenderung menunjukkan kelemahannya, yaitu memiliki total marjin yang paling besar dan biaya tataniaga yang dikeluarkan juga paling besar, yaitu Rp dibandingkan saluran lainnya, tetapi total keuntungan yang diperoleh relatif sedikit dibandingkan saluran III dan IV, yaitu Rp ,25. Saluran III memiliki marjin paling besar (sama dengan saluran II dan IV), tetapi total keuntungan yang diperoleh juga relatif paling besar dibandingkan keempat saluran tataniaga lainnya, yaitu sebesar Rp ,25 dengan biaya yang relatif sedikit dibandingkan saluran II dan IV, yaitu sebesar Rp Marjin tataniaga pada saluran IV sama dengan saluran II dan III yang memiliki marjin

98 paling besar. Walaupun marjinnya paling besar, tetapi diimbangi dengan total keuntungan yang cukup besar apabila dibandingkan dengan saluran I, II, dan V, yaitu Rp ,25 serta biaya yang lebih kecil dari saluran II, yaitu Rp Saluran V menunjukkan marjin tataniaga paling kecil dibandingkan saluran II, III, dan IV atau sama dengan saluran I, yaitu sebesar Rp Kecilnya marjin juga diimbangi dengan paling sedikitnya biaya tataniaga yang dikeluarkan, yaitu sebesar Rp Tetapi keuntungan yang diperoleh relatif kecil bila dibandingkan dengan saluran II, III, dan IV, yaitu sebesar Rp ,25. Biaya tataniaga terbesar ditanggung oleh saluran tataniaga II. Hal ini terjadi karena lembaga tataniaga yang terlibat dalam menyalurkan cabai merah ini lebih banyak dibandingkan saluran tataniaga lainnya, yaitu pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat menyebabkan biaya tataniaga akan semakin besar, karena dalam setiap lembaga tataniaga mengeluarkan biaya untuk melaksanakan kegiatannya. Selain itu, jarak distribusi regional yang ditempuh oleh pedagang pengecer antara Tasikmalaya-Bandung (sumber pembelian pedagang grosir) cukup jauh apabila dibandingkan dengan distribusi lokal yaitu antar daerah di Ciamis (sumber pembelian pedagang pengumpul). Sedangkan biaya tataniaga terkecil terdapat pada saluran tataniaga V, karena saluran tataniaga V merupakan salah satu saluran tataniaga terpendek. Selain itu, jarak distribusi relatif dekat sehingga biaya pengangkutan dapat diminimalkan. Pada kelima saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, keuntungan tataniaga terbesar terdapat pada saluran tataniaga III. Hal ini terjadi karena pedagang grosir dan pedagang pengecer II mengambil keuntungan yang

99 cukup tinggi. Pengambilan keuntungan yang cukup tinggi di tingkat pedagang grosir karena volume pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengecer II relatif sedikit. Keuntungan terkecil terdapat pada saluran tataniaga I, karena saluran tataniaga satu merupakan salah satu saluran tataniaga terpendek sehingga lembaga tataniaga yang terlibat tidak terlalu banyak. Banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam setiap saluran tataniaga, mempengaruhi terhadap keuntungan tataniaga karena setiap lembaga tataniaga mengambil keuntungan untuk mengimbangi biaya yang dikeluarkannya. Berdasarkan analisis marjin tataniaga cabai merah, saluran tataniaga cabai merah yang paling efisien adalah saluran I dan V yang memberikan marjin tataniaga paling kecil Analisis Farmer s Share Analisis farmer s share merupakan salah satu indikator untuk menentukan efesiensi operasional tataniaga suatu komoditas. Farmer s share merupakan bagian harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayarkan konsumen. Farmer s share ini berbanding terbalik dengan nilai marjin tataniaganya. Hasil analisis farmer s share menunjukkan bahwa bagian terbesar yang diterima petani cabai merah di Desa Cibeureum adalah saluran tataniaga I dan V, yaitu sebesar 38,89 persen. Hal ini terjadi karena saluran tataniaga I dan II memiliki marjin tataniaga terkecil. Sedangkan farmer s share terendah sebesar 36,84 terdapat pada saluran tataniaga II, III, dan IV karena marjin tataniaga pada saluran tataniaga II, III, dan IV merupakan marjin terbesar. Gambaran yang lebih jelas disajikan dalam persentase biaya tataniaga, keuntungan, marjin tataniaga dan rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing saluran tataniaga (Tabel 9).

100 Tabel 9 Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga (π/c) Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Bulan Maret 2008 Uraian Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Saluran V Biaya (c) Keuntungan (π) , , , , ,25 Marjin Tataniaga Rasio π/c 4,59 3,97 5,00 4,80 5,70 Farmer s share 38,89 36,84 36,84 36,84 38,89 Berdasarkan Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kelima saluran tataniaga cabai merah, maka secara operasional saluran tataniaga I dan V adalah saluran yang paling efisien. Pada kedua saluran tataniaga ini memberikan nilai marjin tataniaga terendah yaitu sebesar Rp dan farmer s share tertinggi, yaitu sebesar 38,89 persen. Hal ini terjadi karena komoditas yang diperjualbelikan tidak mengalami perubahan bentuk maupun rasa. Nilai marjin tataniaga ini berarti selisih harga yang diterima petani dengan yang dibayar oleh konsumen setiap kilogram cabai merah adalah Rp Sedangkan farmer s share 38,89 persen berarti setiap Rp 100 yang dibayar oleh konsumen akan didistribusikan ke petani sebesar Rp 38, Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Indikator lain untuk menentukan efisiensi operasional tataniaga suatu komoditas adalah dengan menghitung rasio keuntungan dan biaya. Rasio keuntungan dan biaya komoditi cabai merah di Desa Cibeureum dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 9, maka saluran tataniaga V memberikan keuntungan terbesar yaitu sebesar 5,70 artinya satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya tataniaga cabai merah akan diperoleh hasil sebesar Rp 5,70. Kemudian dilanjutkan oleh saluran tataniaga III, IV, I, dan II. Artinya

101 semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dan semakin jauh jarak yang dilalui untuk mendistribusikan cabai merah akan semakin kecil rasio keuntungan dan biayanya, apabila tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya (ceteris paribus). Pada intinya analisis efisiensi tataniaga cabai merah ini adalah ingin memberikan alternatif bagi petani dalam memilih saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar, sehingga dapat meningkatkan bagian harga yang diterima oleh petani. Tetapi berdasarkan hasil penelitian, saluran tataniaga di tingkat petani cabai merah hanya ada satu yaitu kepada pedagang pengumpul. Karena itu, untuk memberikan alternatif saluran yang memberikan keuntungan bagi petani maka perlu dilakukan skenario saluran tataniaga yang belum dilakukan oleh petani dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan dan biaya. Skenario ini dibedakan kedalam tiga jenis lembaga tataniaga yang menjadi tujuan penjualan petani, yaitu pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II Skenario Saluran Tataniaga, Marjin Tataniaga, Farmer s Share serta Rasio Keuntungan dan Biaya bagi Petani Petani cabai merah yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari di Desa Cibeureum memasarkan semua hasil panennya kepada pedagang pengumpul. Walaupun petani ini sudah tergabung dalam suatu kelompok tani, tetapi peran kelompok tani kurang terlihat dalam masalah pemasaran hasil pertanian. Kemudahan, tidak adanya risiko biaya pengangkutan, dan unsur kepercayaan menjadi alasan bagi pengelola kelompok tani untuk menyalurkan kepada pedagang pengumpul. Seharusnya semua petani yang tergabung dalam

102 kelompok tani ini berperan aktif dalam pengelolaan hasil pertanian mereka tidak hanya mengandalkan kepada pengurus kelompok tani saja. Alternatif saluran tataniaga cabai merah dilakukan untuk melihat saluran yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani melalui pembentukan koperasi petani yang lebih memfokuskan pada penanganan pasca panen serta pemberdayaan semua anggota kelompok tani. Alternatif pembentukan koperasi ini berdasarkan teori Nasution (1999) yang menyatakan bahwa kemampuan usaha kecil dapat diberdayakan melalui kegiatan lembaga koperasi. Sesuai dengan azasnya yaitu kebersamaan, mereka secara bersama-sama dapat menjual produk-produk yang dihasilkan, disamping membeli faktor input produksi secara bersama-sama pula. Dalam kebersamaan ini dapat terjadi penguatan kemampuan bersaing, baik dalam hal penawaran maupun permintaan. Dengan kebersamaan seperti itu akan dapat diwujudkan economic of scale serta economic of scope yang menekan besarnya komponen biaya: biaya transpor, handling fee, atau biaya-biaya lainnya, sehingga dapat dicapai efisiensi teknis dan ekonomis dalam kegiatan usaha anggota. Skenario saluran tataniaga dan marjin tataniaga ini dilakukan terhadap lembaga tataniaga yang belum pernah dijadikan sasaran penyaluran cabai merah oleh petani, yaitu pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II (Tabel 10). Dengan kata lain, skenario saluran tataniaga ini memberikan alternatif kepada petani untuk menyalurkan selain kepada pedagang pengumpul dengan mengadopsi fungsi dan keberadaan pedagang pengumpul. Skenario alternatif saluran tataniaga ini dapat diupayakan dengan mengoptimalkan peran anggota kelompok tani melalui pembentukan koperasi yang dikelola oleh anggota

103 kelompok tani sendiri yang disertai dengan dukungan dari pemerintah baik berupa penyuluhan, pelatihan maupun penyampaian informasi pasar. Dengan mengoptimalkan sumberdaya petani ini diharapkan petani dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar karena biaya yang ditanggung bersama menjadi lebih ringan. Jadi, Kelompok Tani Karang Sari ini tidak hanya memfokuskan pada masalah budidaya saja, tetapi juga terhadap masalah penanganan pasca panen agar memberikan nilai tambah bagi anggotanya sendiri. Biaya setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah ini diasumsikan berdasarkan biaya yang sama ketika lembaga tataniaga tersebut melakukan transaksi yang sebenarnya. Perbedaan biaya hanya terjadi pada petani. Dalam hal ini biaya tataniaga pada individu petani sama dengan biaya koperasi petani karena koperasi juga dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan petani sendiri. Pada skenario alternatif saluran tataniaga ini, petani (koperasi petani) menanggung biaya yang biasanya dikeluarkan oleh pedagang pengumpul. Namun, biaya yang dikeluarkan oleh petani ini akan diimbangi dengan harga yang diterima petani lebih tinggi, yaitu sama dengan harga yang diterima pedagang pengumpul dari pedagang grosir. Penentuan harga juga diasumsikan sama dengan harga yang berlaku dari hasil penelitian serta wawancara dengan petani. Perbedaan harga terjadi pada level petani yaitu berupa harga jual sehingga mempengaruhi harga beli pada setiap lembaga tataniaga yang berhubungan langsung dengan petani. Perbedaan juga akan terlihat dari keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniaga. Berdasarkan Tabel 10, skenario alternatif saluran tataniaga dari petani kepada pedagang grosir dan marjin yang diberikannya ditunjukkan oleh alternatif

104 saluran tataniaga VI, VII, dan VIII. Sedangkan skenario alternatif saluran tataniaga dari petani ke pedagang pengecer I ditunjukkan oleh saluran tataniaga IX dan X, serta saluran tataniaga dari petani kepada pedagang pengecer II ditunjukkan oleh saluran tataniaga XI. Pada tingkat petani tidak ada marjin tataniaga karena petani hanya melakukan kegiatan penjualan cabai merah tanpa melakukan pembelian cabai merah yang sudah dapat dikonsumsi baik secara segar maupun olahan. Tabel 10 Skenario Marjin Tataniaga Cabai Merah pada Setiap Alternatif Saluran Tataniaga Bagi Petani Saluran Saluran Saluran VI Uraian VII VIII Saluran IX Saluran X Saluran XI Harga (Rp) Harga (Rp) Harga (Rp) Harga (Rp) Harga (Rp) Harga (Rp) Petani Biaya produksi 4.592, , , , , ,75 Biaya tataniaga Keuntungan 3.407, , , , , ,25 Harga jual Pedagang grosir Harga beli Biaya Keuntungan Marjin tataniaga Harga jual Pedagang pengecer I Harga beli Biaya Keuntungan Marjin tataniaga Harga jual Pedagang pengecer II Harga beli Biaya Keuntungan Marjin tataniaga Harga jual Total Biaya Total Keuntungan , , , , , ,25 Total Marjin Tataniaga Marjin tataniaga terkecil ditunjukkan oleh saluran tataniaga XI, karena merupakan rantai tataniaga terpendek dan pedagang pengecer II langsung

105 membeli dari petani sehingga mendapatkan harga yang lebih murah, tetapi harga jual yang ditetapkan pedagang pengecer II tetap mengikuti harga pasar. Sedangkan saluran tataniaga yang memberikan marjin tataniaga terbesar terdapat pada saluran tataniaga VII dan VIII. Saluran tataniaga VII merupakan rantai tataniaga terpanjang dan pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat mengambil marjin masing-masing. Pada saluran tataniaga VIII, pedagang pengecer II membeli langsung dari pedagang grosir dan mengeluarkan biaya lebih banyak karena jarak yang ditempuh cukup jauh, tetapi memperoleh harga beli yang lebih murah dibandingkan membeli dari pedagang pengecer I sehingga pedagang pengecer II dapat mengambil keuntungan yang lebih besar, karena biaya yang dikeluarkan bisa diimbangi dengan harga jual yang berlaku di pasar Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VI Skenario alternatif marjin tataniaga saluran VI merupakan salah satu alternatif distribusi cabai merah dari petani kepada pedagang grosir. Dalam hal ini petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari mengadopsi fungsi pedagang pengumpul sehingga petani mengeluarkan biaya tataniaga. Fungsi petani bertambah dengan adanya proses pengangkutan baik dari tempat panen maupun pengangkutan ke tempat pedagang grosir dan sortasi yang biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul. Marjin tataniaga pada skenario alternatif saluran VI lebih kecil 15,79 persen dari kondisi sebenarnya pada saluran tataniaga I atau turun sebesar Rp per kilogram cabai merah. Sedangkan untuk besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan serta keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat selain petani adalah sama dengan kondisi yang sebenarnya.

106 Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VII Skenario alternatif saluran VII merupakan saluran terpanjang dalam tataniaga skenario saluran cabai merah di Desa Cibeureum. Panjangnya saluran tataniaga menyebabkan marjin total tataniaga relatif besar dibandingkan dengan kelima skenario lainnya. Namun besarnya marjin pada skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah ini tidak sebesar pada kondisi sebenarnya. Marjin tataniaga pada skenario saluran VII lebih kecil 14,29 persen dari marjin tataniaga saluran II pada kondisi sebenarnya dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh sama. Apabila dibandingkan dengan kelima skenario alternatif lainnya, skenario alternatif saluran VII merupakan salah satu saluran yang memberikan marjin tataniaga terbesar. Hal ini terjadi karena banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dan pada setiap lembaga tataniaga mengeluarkan biaya dan mengambil keuntungan masing-masing Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VIII Marjin tataniaga pada skenario saluran VIII lebih kecil 14,29 persen dari marjin tataniaga saluran III pada kondisi sebenarnya dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh sama. Apabila dibandingkan dengan kelima skenario alternatif lainnya, skenario alternatif saluran VIII merupakan salah satu saluran yang memberikan marjin tataniaga terbesar. Hal ini terjadi karena banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dan pada setiap lembaga tataniaga mengeluarkan biaya dan mengambil keuntungan masing-masing dan pedagang grosir cenderung mengambil keuntungan yang relatif besar untuk setiap kilogram cabai merah karena volume pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengecer II relatif sedikit.

107 Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran IX Pada skenario alternatif saluran tataniaga IX, distribusi cabai merah dari tingkat petani adalah ke tingkat pedagang pengecer I. Petani mengadopsi fungsi pedagang pengumpul berupa pengangkutan dari tempat panen dan sortasi, sedangkan pengangkutan kepada pedagang pengecer I tidak dilakukan karena pedagang pengecer I yang biasanya datang sendiri ke sentra produksi seperti yang terjadi pada kondisi sebenarnya. Marjin tataniaga pada skenario saluran IX lebih kecil 20 persen dari marjin tataniaga saluran IV pada kondisi sebenarnya dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh sama Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran X Skenario alternatif saluran tataniaga X sama dengan skenario saluran IX, yakni penyaluran cabai merah tujuan distribusi petani adalah pedagang pengecer I. Pembeda saluran IX dan X adalah penyaluran dari tingkat pedagang pengecer I ke lembaga selanjutnya. Pada saluran IX, pedagang pengecer I melayani pembelian dari pedagang pengumpul, sedangkan pada saluran X melayani pembelian dari konsumen akhir sehingga keuntungan yang diambil pedagang pengecer I pada kedua saluran berberda. Walaupun demikian, keuntungan total pada kedua saluran tetap sama. Marjin tataniaga pada skenario saluran X lebih kecil 22,22 persen dari marjin tataniaga saluran V pada kondisi sebenarnya dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh sama Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran XI Skenario alternatif saluran ini merupakan saluran baru yang direkomendasikan yaitu penyaluran barang kepada pedagang pengecer II. Hal ini dikatakan baru karena pada kondisi sebenarnya, pedagang pengumpul tidak

108 melakukan distribusi ini. Pada saluran ini petani dapat mengambil keuntungan yang cukup besar karena penetapan harga yang diberlakukan bagi pedagang pengecer II akan berbeda dengan harga yang diberlakukan bagi pedagang grosir maupun pedagang pengecer I. Pembedaan harga ini didasarkan pada volume pembelian konsumen akhir yang relatif sedikit. Marjin tataniaga yang diberikan pada skenario saluran XI ini merupakan marjin tataniaga terkecil apabila dibandingkan dengan kelima skenario alternatif saluran tataniaga yang direkomendasikan sebelumnya. Marjin tataniaga yang ada pada saluran ini lebih kecil 12,5 persen dari skenario alternatif saluran X yang memberikan marjin tataniaga yang relatif kecil juga. Nilai marjin yang relatif kecil lembaga tataniaga yang terlibat relatif sedikit. Skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, memiliki kelebihan dan kelemahan pada masing-masing saluran tataniaga. Skenario saluran VI memiliki marjin lebih kecil dibandingkan skenario saluran VII, VIII, dan IX, yaitu sebesar Rp serta biaya yang relatif kecil dibandingkan saluran VII dan IX, yaitu sebesar Rp 2.400, tetapi total keuntungannya juga paling kecil, yaitu sebesar Rp ,25. Saluran VII cenderung menunjukkan kelemahannya, yaitu memiliki total marjin yang paling besar, yaitu sebesar Rp dan biaya tataniaga yang dikeluarkan juga paling besar, yaitu Rp dibandingkan saluran lainnya, tetapi total keuntungan yang diperoleh relatif sedikit dibandingkan saluran VIII, IX, dan XI yaitu Rp ,25. Skenario saluran VIII memiliki marjin paling besar yaitu sama dengan skenario saluran VII sebesar Rp , tetapi total keuntungan yang diperoleh

109 juga relatif paling besar dibandingkan skenario saluran VI, VII, IX, dan X, yaitu sebesar Rp ,25 dengan biaya yang relatif sedikit dibandingkan saluran VII dan IX, yaitu sebesar Rp Marjin tataniaga pada skenario saluran IX lebih besar dibandingkan skenario VI, X, dan XI, yaitu sebesar Rp Walaupun marjinnya cukup besar, tetapi diimbangi dengan total keuntungan yang cukup besar apabila dibandingkan dengan saluran VI, VII, dan X, yaitu Rp ,25 serta biaya yang lebih kecil dari saluran VII, yaitu Rp Skenario saluran X menunjukkan marjin tataniaga paling kecil dibandingkan skenario saluran VI, VII, VIII, dan IX, yaitu sebesar Rp Kecilnya marjin juga diimbangi dengan sedikitnya biaya tataniaga yang dikeluarkan, yaitu sebesar Rp Tetapi keuntungan yang diperoleh relatif kecil bila dibandingkan dengan saluran VII, VIII, IX, dan XI yaitu sebesar Rp ,25. Marjin terkecil dari keenam skenario saluran tataniaga cabai merah berada pada skenario saluran XI, yaitu sebesar Rp dan memiliki keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp ,25. Kelemahan dari skenario saluran XI ini adalah permintaan konsumen atau masyarakat lokal relatif sedikit karena hanya digunakan untuk keperluan konsumsi sehari-hari tanpa adanya pengolahan yang dapat meningkatkan nilai tambah sehingga hasil panen petani tidak dapat didistribusikan semuanya. Oleh sebab itu, petani harus mempertimbangkan saluran lainnya yang memberikan keuntungan yang paling besar sehigga hasil panen petani dapat didistribusikan semuanya. Berdasarkan analisis skenario alternatif saluran tataniaga dengan pendekatan marjin tataniaga, saluran tataniaga cabai merah yang paling efisien adalah saluran X dan XI yang memberikan marjin tataniaga paling kecil.

110 Walaupun melayani pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II bukan berarti petani tidak menyalurkan kepada pedagang grosir. Hal ini dikarenakan volume pembelian dari kedua jenis pedagang pengecer tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang grosir. Pedagang grosir harus tetap dijadikan tujuan distribusi utama petani karena volume pembelian yang dilakukannya relatif besar sehingga semua hasil panen petani dapat disalurkan. Skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah bagi petani di Desa Cibeureum tidak hanya memberikan perubahan terhadap besarnya marjin tataniaga, tetapi juga terhadap bagian harga yang diterima oleh petani (farmer s share), dan rasio keuntungan dan biaya (Tabel 11). Tabel 11 Skenario Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga (π/c) Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Bulan Maret 2008 Uraian Saluran VI Saluran VII Saluran VIII Saluran IX Saluran X Saluran XI Biaya (c) Keuntungan , , , , , ,25 Marjin Rasio π/c 4,59 3,97 5,00 4,80 5,70 7,00 Farmer s 41,67 39,47 39,47 47,37 50,00 57,89 Bagian harga terkecil yang diterima oleh petani terdapat pada skenario alternatif tataniaga VII dan VIII. Sedangkan bagian harga terbesar yang diterima oleh petani terdapat pada skenario alternatif tataniaga XI.. Sedangkan rasio keuntungan dan biaya pada skenario alternatif saluran tataniaga ini memberikan nilai yang sama dengan rasio keuntungan dan biaya pada perhitungan pertama, kecuali pada saluran tataniaga XI yang merupakan saluran tataniaga baru memberikan rasio keuntungan dan biaya yang paling besar.

111 Berdasarkan skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, sebaiknya Kelompok Tani Karang Sari melalui koperasi petani mencoba memasarkan hasil pertaniannya tidak hanya kepada pedagang pengumpul, tetapi kepada pedagang grosir dan pedagang pengecer I dan kecil. Koperasi petani sebaiknya melayani pembelian dari pedagang pengecer II, walaupun jumlahnya relatif sedikit, disertai dengan penyaluran kepada pedagang pengecer I. Alternatif lain adalah penyaluran kepada pedagang grosir untuk jumlah yang relatif banyak. Koperasi petani atas dukungan pemerintah diharapkan dapat menjalin kerjasama dengan pedagang grosir karena biasanya kerjasama yang terjalin berupa sistem kontrak. Dukungan pemerintah diperlukan agar pedagang grosir mau bekerjasama dengan koperasi petani ini. Petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari ini sebaiknya mencoba untuk berani mengambil risiko berupa risiko biaya pengangkutan yang biasa diambil alih oleh pedagang pengumpul. Kelompok Tani Karang Sari harus lebih memfokuskan pada penanganan pasca panen, yaitu berupa sortasi dan grading serta proses pendistribusian barang hingga sampai ke konsumen akhir. Selain itu, untuk mengatasi masalah biaya tataniaga, kelompok tani ini dapat mengadaptasi peran koperasi. Kelompok tani tidak hanya fokus pada masalah budidaya tetapi juga dalam pembiayaan pertanian serta penanganan pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah. Latar belakang pendidikan petani yang relatif cukup tinggi dan ada sebagian petani yang memiliki pekerjaan lain di luar bertani merupakan salah satu modal untuk meningkatkan fungsi dari Kelompok Tani Karang Sari ini.

112 6.5.5 Keterpaduan Pasar Indikator untuk mengetahui tingkat efsiensi harga dalam suatu tataniaga dapat diukur dengan analisis keterpaduan pasar. Keterpaduan pasar dapat melihat pengaruh pembentukan harga pada suatu pasar dengan pasar lainnya dapat diketahui melalui analisis keterpaduan pasar. Selain itu, melalui analisis ini dapat diketahui apakah suatu sistem pasar telah bekerja secara efisien atau pasar yang telah terintegrasi secara sempurna. Pada penelitian ini akan dibahas keterpaduan pasar antara tingkat petani di Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin di Bandung. Pemilihan Pasar Induk Caringin sebagai pasar acuan didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagian besar tataniaga cabai merah disalurkan melalui Pasar Induk Caringin Bandung oleh pedagang pengumpul yang langsung memperoleh cabai merah dari petani, yaitu sebesar 70 persen. Pasar Induk Caringin merupakan penentu harga cabai merah dalam tataniaga cabai merah ini. Harga yang diperoleh pedagang pengumpul dari pedagang grosir akan dilanjutkan ke tingkat petani setelah disesuaikan dengan marjin yang diambil oleh pedagang pengumpul. Data yang digunakan adalah data harga rata-rata mingguan cabai merah di tingkat petani Desa Cibeureum dan tingkat harga di Pasar Induk Caringin Bandung Januari 2007 hingga minggu pertama Maret Harga rata-rata mingguan cabai merah dari kedua pasar tersebut dapat dilihat dalam Lampiran 4. Pengolahan data dianalisis dengan menggunakan model Indeks of Market Connection (IMC) melalui pendekatan model Autoregressive Distributed Lag yang diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square, OLS). Hasil estimasi persamaan regresi keterpaduan pasar pada tingkat petani di

113 Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin Bandung dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan hasil analisis regresi integrasi pasar dapat dilihat pada tabel koefisien regresi integrasi pasar antara pasar di tingkat petani dengan Pasar Induk Caringin di Bandung untuk komoditi cabai merah (Tabel 12). Tabel 12 Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Pasar di Tingkat Petani dengan Pasar Induk Caringin di Bandung untuk Komoditi Cabai Merah Pasar Lokal Petani Pasar Variabel Bebas Acuan Konstanta Pt - 1 Pjt - Pjt-1 Pjt - 1 Pasar Induk Caringin Bandung Keterangan: b 1 = Pt 1 b 2 = Pjt Pjt-1 b 3 = Pjt-1 ( ) = t-hitung 967 (2,36) 0,527 (6,80) 0,275 (6,63) 0,239 (4,30) R 2 82,1 % Hasil estimasi parameter koefisien b 1 adalah sebesar 0,527, artinya peningkatan harga di tingkat petani pada minggu sebelumnya sebesar Rp 100 per kilogram, ceteris paribus, akan meningkatkan harga di tingkat petani pada bulan tertentu sebesar Rp 52,7 per kilogram. Nilai tersebut menunjukkan bahwa harga pada minggu lalu di pasar lokal berpengaruh terhadap penentuan harga pada minggu ini di pasar lokal sebesar 52,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang juga melakukan perkiraan terhadap harga yang akan terjadi selanjutnya dengan melihat harga pada minggu lalu. Nilai koefisien b 2 sebesar 0,275 yang menunjukkan bahwa peningkatan perubahan harga di pasar acuan, Pasar Caringin di Bandung sebesar 100 persen,

114 ceteris paribus, akan meningkatkan harga di pasar lokal sebesar 27,5 persen. Hal ini berarti dalam jangka panjang kondisi harga pada saat ini di pasar lokal lebih banyak dipengaruhi oleh harga di pasar lokal sendiri pada minggu lalu. Nilai b 2 yang relatif kecil menunjukkan bahwa perubahan harga yang ditransmisikan pada harga di pasar lokal juga relatif kecil, sedangkan keseimbangan jangka panjang sempurna ditunjukkan oleh nilai b 2 = 1. Semakin dekat nilai parameter dugaan b 2 dengan satu, maka keterpaduan jangka panjang akan semakin baik. Nilai b 2 = 1 juga dapat diartikan bahwa pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna, sedangkan apabila nilai b 2 kurang dari satu menunjukkan pasar dalam kondisi tidak bersaing sempurna. Namun, apabila nilai b 2 lebih besar dari satu maka perubahan harga pada pasar acuan akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga di pasar lokal. Dengan kata lain, akan terjadi keterpaduan jangka panjang antara harga di pasar acuan dengan harga di pasar lokal. Pasar cabai merah di Desa Cibeureum berada pada kondisi tidak bersaing sempurna karena memiliki nilai b 2 yang relatif kecil. Parameter dugaan untuk nilai koefisien b 3 sebesar 0,239 lebih kecil dibandingkan dengan nilai b 1. Nilai koefisien b 3 tersebut menunjukkan bahwa setiap perubahan harga minggu lalu di tingkat konsumen sebesar Rp 100, hanya akan diteruskan ke petani sebesar Rp 23,9. Dengan kata lain, harga minggu lalu di pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung) akan berpengaruh sebesar 23,9 persen terhadap pasar lokal (pasar di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jarak pasar acuan dengan pasar lokal memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya perubahan harga minggu lalu di

115 pasar acuan terhadap minggu ini di pasar lokal. Perbedaan jarak ini akan menimbulkan biaya transportasi bagi pedagang sehingga pedagang tidak meneruskan perubahan harga tersebut kepada petani secara penuh. Berdasarkan hipotesis uji-t, maka dapat diukur tingkat keterpaduan jangka pendek dan jangka panjang. Hipotesis uji-t untuk koefisien b 1 memiliki t-hitung lebih besar dari t-tabel, sehingga hipotesis nol ditolak pada taraf lima persen. Artinya tidak terdapat keterpaduan jangka pendek antar perubahan harga di pasar acuan, yaitu Pasar Induk Caringin Bandung dengan perubahan harga di pasar lokal, yaitu di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum. Indikator keterpaduan jangka pendek dapat dilihat dari nilai IMC. Berdasarkan hasil analisis keterpaduan pasar dalam Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai IMC sebesar 2,205, artinya bahwa tidak terjadinya keterpaduan pasar karena nilai IMC lebih besar dari satu. Keterpaduan jangka pendek akan terjadi apabila memiliki nilai IMC lebih kecil dari satu. Berdasarkan uji-t untuk melihat keterpaduan jangka panjang dengan melihat indikator dari variabel bebas b 2 menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak karena nilai t -hitung lebih besar dari t -tabel pada taraf lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga di pasar lokal tidak terpadu dengan harga di pasar acuan dalam jangka panjang. Selain itu, indikator tidak adanya keterpaduan jangka panjang dapat dilihat dari nilai koefisien b 2 yang lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0,275. Keterpaduan jangka panjang akan terjadi apabila nilai koefisien b 2 lebih besar dari satu. Uji F-hitung digunakan untuk uji hipotesis secara bersama-sama yang menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada satu dari peubah bebas pada

116 persamaan berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebasnya pada taraf lima persen. Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value yang lebih kecil dari 0,05. Pengujian autokorelasi hasil uji Durbin-Watson menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat autokorelasi (error yang berpola) pada pengujian tingkat pertama. Uji multikolinearitas yang dilakukan terhadap model yang diduga dengan melihat Varian Inflation Factor (VIF). Hasil VIF menunjukkan bahwa semua variabel yang memiliki nilai VIF < 10, menunjukkan tidak adanya gejala multikolinearitas antar masing-masing variabel bebas. Tabel 13 Hasil Analisis Keterpaduan Pasar antara Petani Cabai Merah Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin Bandung pada Maret 2008 Pasar Lokal Petani Pasar Acuan Pasar Induk Caringin Bandung IMC F- hitung Dw t-hitung (jangka pendek) t-hitung (jangka panjang) t-tabel VIF 2,205 87,26 1, ,80* 17,48* 1,645 < 10 Keterangan: * signifikan pada taraf lima persen. Berdasarkan hasil analisis keterpaduan pasar melalui pendekatan analisis harga di tingkat petani yang berperan sebagai pasar lokal selaku pengikut harga dan tingkat pedagang grosir yang berperan sebagai pasar acuan selaku penentu harga, dapat diketahui bahwa pasar di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin di Bandung tidak terpadu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya perubahan harga di Pasar Induk Caringin sebagai pasar acuan tidak sampai kepada pasar di tingkat petani. Hal ini menunjukkan sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.

117 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Pendistribusian cabai merah di Desa Cibeureum melibatkan pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Terdapat lima saluran tataniaga cabai merah dengan daerah tujuan pemasaran Ciamis, Tasikmalaya, dan Bandung. Namun, semua saluran tataniaga tujuan petani adalah pedagang pengumpul. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat cenderung sama pada setiap saluran. Struktur pasar yang adalah monopsoni karena hanya terdapat satu pedagang pengumpul selaku pembeli tunggal. Perilaku pasar di tingkat petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir cenderung sama. Praktek jual beli diantara mereka menggunakan sistem nota penjualan, sedangkan bagi di tingkat pedagang pengecer I dan II berlaku sistem jual beli secara tunai. Dalam tataniaga cabai merah ini pedagang grosir bertindak sebagai penentu harga. 2. Hasil analisis marjin tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan dan biaya menunjukkan bahwa saluran tataniaga V merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Hal ini terlihat dari marjin tataniaga yang rendah, farmer s share serta rasio keuntungan dan biaya yang paling tinggi. Berdasarkan analisis harga, pasar tidak terpadu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdasarkan keterpaduan harga rata-rata mingguan cabai merah periode Januari 2007-minggu pertama Maret 2008.

118 3. Berdasarkan analisis skenario alternatif saluran tataniaga dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan dan biaya, saluran tataniaga cabai merah yang paling efisien adalah saluran V dan VI yang memberikan marjin tataniaga paling kecil dan bagian harga yang diterima petani paling besar Saran 1. Kelompok Tani Karang Sari menyalurkan hasil panennya tidak hanya kepada pedagang pengumpul saja, agar dapat memilih alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar. 2. Untuk seknario alternatif saluran tataniaga sebaiknya petani memilih saluran VI yaitu dengan melayani pengecer lokal. Namun disamping itu, jangan mengabaikan lembaga tataniaga lainnya agar semua hasil petani dapat disalurkan. 3. Ketidakpaduan pasar mengharuskan petani untuk mengatur jadwal produksi dan panennya sehingga tidak terjadi over supply maupun kekurangan pasokan dan cabai merah dapat tersedia secara berkesinambungan. 4. Intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk mengkoordinir terbentuknya kemitraan petani dengan pedagang grosir dan lembaga permodalan sebagai wujud pembukaan akses pasar, kegiatan penyuluhan, dan pelatihan kewirausahaan. 5. Penelitian lanjutan dapat memfokuskan pada kegiatan pasca panen pada Kelompok Tani Karang Sari dengan alternatif pembentukan kelembagaan petani yaitu koperasi tataniaga.

119 DAFTAR PUSTAKA Adiyoga Produksi dan Konsumsi Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. Azzaino, Zulkifli Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dahl, D. C. dan I. Hammond Market and Price Analysis The Agricultural Industries. McGraw-Hill Company. New York. Departemen Pertanian, diakses pada tanggal 5 Januari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat Neraca Perdagangan Agro Jawa Barat. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat. Bandung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Database Tanaman Hortikultura di Provinsi Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Database Tanaman Hortikultura di Provinsi Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Gonarsyah, Isang Peranan Pasar Induk Kramat Jati sebagai Barometer Harga Sayur Mayur di Wilayah DKI Jakarta. Mimbar Sosek, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Vol. (5): Heytens, P. J Testing Market Integration. Food Research Institute Studies. Vol. XX No. 1. Kohls, R. L. dan J. N. Uhl Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. McMillan Publishing Company. New York. Kotler, P Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium. Prehallindo. Jakarta. Kusandriani, Botani Tanaman Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. Lestari, Muji Analisis Tataniaga Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) (Kasus: Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

120 Limbong, W. H. dan P. Sitorus Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mukhlis Analisis Sistem Tataniaga Cabai Rawit Merah (Capsicum fruiescens) di DKI Jakarta (Studi kasus di Pasar Induk Kramat Jati, Jatinegara dan Tanah Abang). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nasution, M Koperasi: Konsepsi, Pemikiran dan Peluang Pembangunan Masa Depan Bangsa. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. Jakarta. Parwitasari Analisis Efisiensi Pemasaran Komoditas Alpukat di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ravallion, M Testing Market Integration. American Journal of Agriculture Economics. American Agriculture Economics Association. Februari 1986, 68 (1). Rachman, Supriyati dan Saptana Efisiensi dan Daya Saing Usahatani Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. diakses tanggal 19 Februari Santika Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. Sugiarti, S Usahatani dan Pemasaran Cabai Merah di Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal Akta Agrosia, Vol. 6 No.1 hlm Januari-Juni. Yogyakarta. diakses tanggal 19 Februari 2008.

121 Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian BAHARA SUKAMANTRI MAPARAH SINDANGLAYA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan atau berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Berdasarkan

Lebih terperinci

gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat. Produksi hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan menyumbang pertumbuhan

gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat. Produksi hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan menyumbang pertumbuhan PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat. Produksi hortikultura yaitu

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), istilah tataniaga dan pemasaran merupakan terjemahan dari marketing, selanjutnya tataniaga

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini menggunakan teori sistem pemasaran dengan mengkaji saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, marjin pemasaran,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol Karo (2010) melakukan penelitian mengenai analisis usahatani dan pemasaran kembang kol di Kelompok Tani Suka Tani, Desa Tugu Utara,

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A14105608 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Nilai Tambah Nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA DAN KETERPADUAN PASAR KUBIS (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)

ANALISIS TATANIAGA DAN KETERPADUAN PASAR KUBIS (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) ANALISIS TATANIAGA DAN KETERPADUAN PASAR KUBIS (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) Oleh LUSIANA AGUSTINA A14304052 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Pada perekonomian saat ini, hubungan produsen dan konsumen dalam melakukan proses tataniaga jarang sekali berinteraksi secara

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A 14105605 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

VII ANALISIS PEMASARAN KEMBANG KOL 7.1 Analisis Pemasaran Kembang Kol Penelaahan tentang pemasaran kembang kol pada penelitian ini diawali dari petani sebagai produsen, tengkulak atau pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H34076035 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR 7.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar nenas diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan

Lebih terperinci

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Oleh: DAVID ERICK HASIAN A 14105524 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT 55 VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT Bab ini membahas sistem pemasaran rumput laut dengan menggunakan pendekatan structure, conduct, dan performance (SCP). Struktur pasar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk 28 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasiona Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Tataniaga atau pemasaran memiliki banyak definisi. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) istilah tataniaga dan pemasaran

Lebih terperinci

Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung, Jawa bawah bimbingan ARIF IMAM SUROSO).

Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung, Jawa bawah bimbingan ARIF IMAM SUROSO). HERU SURAWlAT WIDIA. Analisis Saluran Pemasaran Paprika Hidroponik di Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat @i bawah bimbingan ARIF IMAM SUROSO). Pengembangan agribisnis

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) Skripsi AHMAD MUNAWAR H 34066007 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (costless) karena pembeli (costumer) memiliki informasi yang sempurna dan

BAB 1 PENDAHULUAN. (costless) karena pembeli (costumer) memiliki informasi yang sempurna dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Biaya transaksi muncul akibat kegagalan pasar (Yeager, 1999: 29-30). Menurut Stone et al. (1996: 97), pasar yang selalu berjalan tanpa biaya apapun (costless) karena

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini 33 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini menggunakan metode sensus. Pengertian sensus dalam penelitian

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

SISTEM TATANIAGA KOMODITI SALAK PONDOH DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH OLEH: ZAKY ADNANY A

SISTEM TATANIAGA KOMODITI SALAK PONDOH DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH OLEH: ZAKY ADNANY A SISTEM TATANIAGA KOMODITI SALAK PONDOH DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH OLEH: ZAKY ADNANY A14105719 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon. Penekanan hutan sebagai suatu

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug terbagi dua yaitu cabai rawit merah yang dijual ke pasar (petani non mitra) dan cabai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang 46 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sektor ini memiliki share sebesar 14,9 % pada

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN *

I. PENDAHULUAN * I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pengembangan hortikultura yang ditetapkan oleh pemerintah diarahkan untuk pelestarian lingkungan; penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan; peningkatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis Secara umum sistem pemasaran komoditas pertanian termasuk hortikultura masih menjadi bagian yang lemah dari aliran komoditas. Masih lemahnya pemasaran komoditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah bawang merah ( Allium ascalonicum ). Banyaknya manfaat yang dapat diambil dari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tiga desa di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur yaitu Desa Ciherang, Cipendawa, dan Sukatani. Pemilihan lokasi dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan hortikuktura diharapkan mampu menambah pangsa pasar serta berdaya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA BERAS

ANALISIS TATANIAGA BERAS VI ANALISIS TATANIAGA BERAS Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi

Lebih terperinci

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN PEMASARAN NENAS BOGOR Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor SKRIPSI ERIK LAKSAMANA SIREGAR H 34076059 DEPARTEMEN AGRIBIS SNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT OLEH: ARYANI PRAMESTI A 14301019 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto). Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret April 2012 di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk memperoleh data dan melakukan analisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR) ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR) Oleh PRIMA GANDHI A14104052 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT Oleh NORA MERYANI A 14105693 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat) Oleh : MUHAMMAD UBAYDILLAH

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Gapoktan Bunga Wortel Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penetuan lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran merupakan konsep dalam mencari kebenaran deduktif atau secara umum ke khusus. Pada kerangka pemikiran teoritis penelitian ini

Lebih terperinci

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN TATANIAGA PERTANIAN Tataniaga Pertanian atau Pemasaran Produk-Produk Pertanian (Marketing of Agricultural), pengertiannya berbeda

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK GORENG TERHADAP USAHA PENGGORENGAN KERUPUK DI KOTA BEKASI. Oleh : ANGGUN WAHYUNINGSIH A

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK GORENG TERHADAP USAHA PENGGORENGAN KERUPUK DI KOTA BEKASI. Oleh : ANGGUN WAHYUNINGSIH A ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK GORENG TERHADAP USAHA PENGGORENGAN KERUPUK DI KOTA BEKASI Oleh : ANGGUN WAHYUNINGSIH A14103125 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan tujuan

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS (Kasus : Kecamatan Sipahutar, Kababupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara) Oleh : IRWAN PURMONO A14303081 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Tataniaga Saluran tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir dari petani hingga konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa negara Indonesia adalah negara agraris yang harus melibatkan

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A14104038 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

: NUSRAT NADHWATUNNAJA A

: NUSRAT NADHWATUNNAJA A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PAPRIKA HIDROPONIK DI DESA PASIR LANGU, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BANDUNG Oleh : NUSRAT NADHWATUNNAJA A14105586 PROGRAM SARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peran penting yaitu sebagai makanan manusia dan ternak. Indonesia merupakan salah satu penghasil

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 8

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 8 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI... ii ABSTRACT... iii ABSTRAK... iv RINGKASAN... v HALAMAN PERSETUJUAN... ix HALAMAN PENGESAHAN... x RIWAYAT HIDUP... xi KATA PENGANTAR...

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2017 sampai April 2017.

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Pada dasarnya tataniaga memiliki pengertian yang sama dengan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Pada dasarnya tataniaga memiliki pengertian yang sama dengan 20 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Pada dasarnya tataniaga memiliki pengertian yang sama dengan pemasaran. Para ahli telah mendefinisikan pemasaran atau

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING

PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING (Capsicum annum L) DENGAN ANALISIS HARGA KOMODITAS DI SENTRA PRODUKSI DAN PASAR INDUK (Suatu Kasus pada Sentra produksi Cabai Merah Keriting di Kecamatan Cikajang,

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM PENGADAAN DAN PEMASARAN BENIH PADI DI KABUPATEN BATANG HARI, PROVINSI JAMBI. Oleh Sazili Musaqa A

ANALISIS SISTEM PENGADAAN DAN PEMASARAN BENIH PADI DI KABUPATEN BATANG HARI, PROVINSI JAMBI. Oleh Sazili Musaqa A ANALISIS SISTEM PENGADAAN DAN PEMASARAN BENIH PADI DI KABUPATEN BATANG HARI, PROVINSI JAMBI Oleh Sazili Musaqa A07400548 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana. produksi danpendapatanyang diinginkan pada waktu tertentu.

III. METODE PENELITIAN. Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana. produksi danpendapatanyang diinginkan pada waktu tertentu. 37 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang petani mengalokasikan sumberdaya yang ada, baik lahan, tenaga

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Produk Hasil Perikanan Tangkap Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dibudidayakan dengan alat atau cara apapun. Produk hasil perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya penduduk dan tenaga

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A14104105 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor

Lebih terperinci

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L)

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L) Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L) Benidzar M. Andrie 105009041 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi BenizarMA@yahoo.co.id Tedi Hartoyo, Ir., MSc.,

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN TOMAT BANDUNG DI SUPERMARKET SUPER INDO MUARA KARANG JAKARTA UTARA SKRIPSI

ANALISIS PERENCANAAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN TOMAT BANDUNG DI SUPERMARKET SUPER INDO MUARA KARANG JAKARTA UTARA SKRIPSI ANALISIS PERENCANAAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN TOMAT BANDUNG DI SUPERMARKET SUPER INDO MUARA KARANG JAKARTA UTARA SKRIPSI Oleh: ARIEF FERRY YANTO A14105515 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kelompok tani Suka Tani di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN LOBSTER AIR TAWAR (Kasus K BLAT S Farm, Kec. Gunung Guruh, Kab. Sukabumi, Jawa Barat) Oleh: KAMMALA AFNI A

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN LOBSTER AIR TAWAR (Kasus K BLAT S Farm, Kec. Gunung Guruh, Kab. Sukabumi, Jawa Barat) Oleh: KAMMALA AFNI A 1 ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN LOBSTER AIR TAWAR (Kasus K BLAT S Farm, Kec. Gunung Guruh, Kab. Sukabumi, Jawa Barat) Oleh: KAMMALA AFNI A14104104 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agribisnis, agroindustri adalah salah satu subsistem yang bersama-sama dengan

I. PENDAHULUAN. agribisnis, agroindustri adalah salah satu subsistem yang bersama-sama dengan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya tanaman obat adalah salah satu cara penglolaan tanaman obat untuk mendatangkan keuntungan. Pembangunan ekonomi Indonesia bertumpu pada bidang pertanian dan

Lebih terperinci

PERDAGANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015

PERDAGANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015 BPS PROVINSI SUMATRA SELATAN No. 13/02/16/Th.XVIII, 05 Februari 2016 PERDAGANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015 DI SUMATRA SELATAN, MARJIN PERDAGANGAN DAN PENGANGKUTAN BERAS 15,24 PERSEN, CABAI MERAH 24,48 PERSEN,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pasar Definisi yang tertua dan paling sederhana bahwa pasar adalah sebagai suatu lokasi secara fisik dimana terjadi jual beli atau suatu

Lebih terperinci

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK 56 TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA Agus Trias Budi, Pujiharto, dan Watemin Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapupaten Brebes merupakan sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark mengingat posisinya sebagai

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada lokasi yang ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah atau lokasi yang terpilih merupakan salah satu sentra

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani Soeharjo dan Patong (1973), mengemukakan definisi dari pendapatan adalah keuntungan yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A14302003 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN DATARAN TINGGI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN DATARAN TINGGI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA Evi Naria ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN DATARAN TINGGI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA Efendi H. Silitonga Staf Pengajar Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara Medan Abstract North

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Sistem Tataniaga Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga erat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PEMASARAN CPO PRODUKSI P.T. PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) (Kasus Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta)

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PEMASARAN CPO PRODUKSI P.T. PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) (Kasus Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta) ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PEMASARAN CPO PRODUKSI P.T. PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) (Kasus Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta) OLEH HENGKY GAMES JS H14053064 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Konsep Pemasaran Definisi tentang pemasaran telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi, pada hakekatnya bahwa pemasaran merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari peranan sektor perkebunan kopi terhadap penyediaan lapangan

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci