BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori Desentralisasi dan Teori Federalisme Fiskal Secara umum, desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada beberapa tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003 dalam Khusaini, 2006). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah: 1) Kesinambungan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks ekonomi makro. 2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu mereduksi ketimpangan antara keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah. 3) Mengoreksi horizontal imbalance, yaitu memperkecil disparitas antar daerah dengan mekanisme block grant/transfer dan memperbesar kewenangan daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang dimiliki. 4) Mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. 5) Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja daerah.

2 6) Meningkatkan kualitas pelayanan publik. 7) Memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik. Teori federalisme fiskal merupakan teori yang menjelaskan tentang bagaimana hubungan desentralisasi dengan perekonomian, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam berbagai kajian tentang federalisme fiskal (fiscal federalism), terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan dampak ekonomi dari desentralisasi, yaitu teori tradisonal (first generation theories) dan new perspective theories (second generation theories). Traditional theories menyatakan terdapat dua keuntungan dari desentralisasi, yaitu: 1) Dikemukakan oleh Hayek (1945) dalam Khusaini (2006), tentang penggunaan knowledge in society, di mana menurut Hayek pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya. Diungkapkan oleh Tiebout (1956) dalam Khusaini (2006), terdapat dimensi persaingan dalam pemerintah daerah dan ia berpandangan bahwa kompetisi antar pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Hal ini tidak akan terjadi dalam pemerintahan sentralistik jika pemerintah pusat menyediakan barang dan jasa publik secara seragam.

3 2.1.2 Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan adalah teori yang menjelaskan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih (prinsipal) menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Hal serupa dikemukakan oleh Halim dan Abdullah (2006) yang menjelaskan Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi dimana salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Teori keagenan adalah teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen yang berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Lane dalam Halim dan Abdullah (2006) mengemukakan bahwa teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi sektor publik. Lane menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen. Antara prinsipal dan agen sering terjadi masalah keagenan karena adanya konflik kepentingan yang dimiliki oleh principal dan agen. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan. Adiwiyana (2011) menyatakan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten/kota sering mempraktikkan agency theory dalam

4 penyusunan rancangan APBD. Pada sektor publik, masyarakat yang diproksikan oleh DPRD adalah principal dan pemerintah daerah adalah agennya. Pada pemerintahan daerah (agen) seharusnya bertindak sesuai dengan kehendak prinsipalnya (masyarakat). Namun terkadang pada kenyataannya pemerintah daerah berperilaku opportunis dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan publik (Gunantara, 2013). Hal ini sesuai dengan teori keagenan yaitu antara prinsipal dan agennya tidak selalu memiliki kepetingan yang sama (konflik kepentingan) dan agen cenderung melakukan suatu tindakan yang memaksimalkan utilitasnya. Sependapat dengan Lane, Yudhaningsih (2010) juga mengatakan bahwa teori keagenan dapat diterapkan pada sektor publik. Yudhaningsih (2010) menyatakan adanya desentralisasi fiskal, berarti ada delegasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Delegasi dalam hal ini merupakan situasi dimana pemerintah daerah bertindak sebagai agen pemerintah pusat dalam mengeksekusi fungsi-fungsi pemerintah pusat yang telah didelegasikan kepada pemerintah daerah. Ini berarti pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur proporsi pelayanan publik, tapi juga harus mengukuti aturan dan permintaan pemerintah pusat. Namun pada kenyataannya pemerintah daerah terkadang berperilaku tidak sesuai dengan yang diinginkan pemerintah pusat sehingga menimbulkan konflik kepentingan Pendekatan Kontinjensi Teori kontinjensi merupakan teori yang membahas berbagai aspek kepemimpinan diterapkan pada situasi tertentu saja tidak untuk situasi lain. Teori

5 kontinjensi ada deskriptif atau preskriptif. Teori kontinjensi yang deskriptif membahas tentang mengapa suatu pemimpin, antara satu situasi dengan situasi lain berperilaku berbeda. Sementara teori kontinjensi yang preskriptif membahas prilaku yang paling efektif pada setiap jenis situasi (Yukl, 2010:277). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang saling bertentangan mengenai hubungan PAD, DAU, dan DAK pada IPM. Penelitian Setyowati dan Suparwati (2012) menunjukkan hasil bahwa PAD, DAU, dan DAK terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia melalui pengalokasian Anggaran Belanja Modal, sedangkan hasil studi Lugastoro (2013) menunjukkan bahwa PAD dan DAK berpengaruh positif signifikan terhadap IPM sedangkan DAU berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM. Di sisi lain Harahap (2010) dengan penelitiannya yang serupa menunjukkan secara parsial DAU dan DAK tidak berpengaruh terhadap IPM. Hasil penelitian yang tidak konsisten antara satu peneliti dengan peneliti lainnya dapat terjadi karena beberapa faktor lain yang diduga juga memiliki pengaruh antara PAD, DAU, dan DAK pada IPM. Terjadinya kontradiksi atau perbedaan pada hasil penelitian sebelumnya memungkinkan adanya pengaruh variabel moderating dalam mengidentifikasi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Sugiarthi, 2013). Pengaruh dari variabel moderating tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Veriabel moderating ini digunakan untuk menyelesaikan perbedaan dari penelitian tersebut, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontinjensi. Pendekatan ini secara sistematis mengevaluasi berbagai kondisi atau variabel yang

6 dapat mempengaruhi hubungan antara PAD, DAU, DAK dan SiLPA dengan IPM. Teori kontinjensi dalam hal ini dapat digunakan untuk menganalisis variabel moderating yang dapat memperkuat ataupun memperlemah hubungan antara PAD, DAU, DAK dan SiLPA dengan IPM Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU Nomor 33 Tahun 2004). PAD memiliki tujuan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daearah sesuai dengan potensi daerah. Hal ini berarti pemerintah daerah berhak untuk menggali potensi yang terdapat pada daerahnya yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan dan memenuhi kebutuhan publik, agar perekonomian daerah serta kesejahteraan masyarakat dapat berjalan dengan baik. Penggunaan PAD untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah merupakan perwujudan desentralisasi. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatakan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), bersumber dari: 1) Pajak Daerah Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

7 dan digunakan untuk keperlukan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU Nomor 28 Tahun 2009) 2) Retribusi Daerah Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (UU Nomor 28 Tahun 2009). Jasa tersebut yaitu kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menghasilkan barang, fasilitas dan manfaat lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. 3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Selain dari pajak dan retribusi daerah, pemerintah daerah juga mendapatkan pendapatan lain dari laba Badan Usaha Milik Daerah BUMD yang dimilki. Bagian laba Badan Usaha Milik Daerah adalah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atas badan lain yang merupakan badan usaha milik daerah. Sedangkan perusahaan daerah merupakan perusahaan yang modalnya sebagian atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan (Wertianti, 2013). Tujuan dari didirikannya BUMD adalah dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi daerah dan menciptakan lapangan kerja (Yovita, 2011). Disamping itu, BUMD dapat memberikan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah.

8 4) Lain-lain PAD yang sah Pendapatan ini merupakan pendapatan yang bersumber dari pendapatan daerah selain Pajak Daerah, Restribusi Daerah, dan BUMD. Bati (2009) mengatakan sumber sumber dari Lain lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah yaitu : (1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan (2) Jasa giro (3) Pendapatan bunga (4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah (5) Penerimaan konsumsi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah (6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan (8) Pendapatan denda pajak (9) Pendapatan denda retribusi (10) Pendapatan eksekusi atas jaminan (11) Pendapatan dari pengembalian (12) Fasilitas sosial dan umum (13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

9 2.1.5 Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004). Setyowati dan Suparwati (2012) mengatakan bahwa DAU bersifat Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU berperan menggantikan subsidi daerah otonom dan dana inpres (Lugastoro, 2013). Wertianti (2013) mengatakan bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengalokasian DAU untuk suatu daerah didasarkan atas celah fiskal dan alokasi dasar, dimana celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. Diberlakukannya desentralisasi berarti pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan kemampuan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sehinga

10 tidak hanya mengandalkan DAU (Ardhani, 2011). Diterimanya DAU dari pemerintah pusat maka daerah bisa fokus menggunakan PAD untuk membiayai belanja modal yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat Dana Bagi Hasil DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1, PP No. 55 thn 2005). DBH merupakan Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005). DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21(pasal 4, PP No. 55 thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi (pasal 15, PP No. 55 thn 2005). Apabila setiap daerah mampu mengelola elemen-elemen dari DBH tersebut maka akan mampu meningkatkan daya saing daerahnya sendiri Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan

11 penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan bahwa SiLPA tahun sebelumnya adalah penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Hal tersebut sejalan dengan Mahmudi (2010:122) menjelaskan apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode maka sisa anggaran dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan maupun belanja untuk tahun anggaran berikutnya. SiLPA merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. Namun di sisi lain SiLPA bisa menjadi suatu indikator inefisiensi jika SiLPA tersebut berasal atau terbentuk dari komponen sisa kas (misalnya ada program atau kegiatan dari penggunaan anggaran yang tidak terealisasi) dan Sisa UUDP tahun-tahun sebelumnya (Balitbangda NTT, 2008). SiLPA yang berasal atau terbentuk dari pelampauan target penerimaan daerah (indikator efisiensi) sangat diharapkan sedangkan SiLPA yang berasal atau terbentuk

12 dari ditiadakan program atau kegiatan pembangunan apalagi dalam jumlah tidak wajar sangat merugikan masyarakat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk hidup layak. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Selain itu, IPM juga sebagai alat pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya (BPS, 2012a:19). Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand dan Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan sarana utama dalam pembangunan. Ranis et al. (2005) mengatakan ada 12 kategori dalam pembangunan manusia meliputi: IPM itu sendiri, kesejahteraan mental, pemberdayaan, kebebasan berpolitik,

13 hubungan sosial, kesejahteraan masyarakat, ketimpangan, kondisi kerja, kondisi rekreasi, politik dan keamanan, keamanan ekonomi, kondisi lingkungan. Keberhasilan suatu pembangunan manusia dapat dilihat dari seberapa besar permasalahan yang mendasar di masyarakat dapat teratasi (Setyowati dan Suparwati, 2012). Agar dapat melihat perkembangan tingkatan dan status IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dibedakan menjadi 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua seperti dibawah ini (Sumiyati, 2011): 1. Rendah dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kurang dari Menengah bawah dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada diantara 50 samapi kurang dari Menengah atas dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada antara 66 sampai kurang dari Tinggi dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80. Sumiyati (2011) menyatakan jika status pembangunan manusia masih berada pada kriteria rendah hal ini berarti kinerja pembangunan manusia harus ditingkatkan atau masih memerlukan perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula jika status pembangunan manusia berada pada kriteria menengah berarti masih perlu ditingkatkan atau dioptimalkan. Jika daerah memiliki status pembangunan manusia berada pada kriteria tinggi berarti kinerja pembangunan manusia sudah baik atau optimal dan perlu dipertahankan supaya kualitas sumber daya manusia tersebut produktif sehingga memiliki produktivitas yang tinggi sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

14 Sebelum menghitung IPM, setiap komponen IPM harus dihitung indeksnya (BPS, 2012b:71). Formula yang digunakan dalam perhitungan indeks komponen IPM adalah sebagai berikut: Indeks X (i) = X (i) X (min) X (maks) X (min) Keterangan: X (i) = Komponen IPM ke-i X (min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-i X (maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i Unuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas maksimum dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Nilai Maksimum dan Minimum dari setiap komponen IPM Komponen IPM (1) Maksimum Minimum (3) Keterangan (4) (2) 1. Angka Harapan Hidup (Tahun) Standar UNDP 2. Angka Melek Huruf (Persen) Standar UNDP 3. Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Daya Beli (Rupiah PPP) a (1996) b (1999,dst) Sumber: BPS, 2012b Keterangan: a) Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018 b) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut: Keterangan: Indeks X (i, j) i j IPM j = Pengeluaran per Kapita Rill Disesuaikan = Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah kej = 1, 2, 3 (urutan komponen IPM) = 1, 2.k (wilayah)

15 2.1.9 Daya Saing Daerah Para ahli ekonomi pada umumnya mengartikan daya saing sebagai hasil gabungan dari keunggulan komparatif (market distortion), baik yang terjadi karena kebijakan (intervensi) pemerintah maupun karena ketidaksempurnaan pasar (Sharples, 1990). Oleh karena itu, dapat terjadi suatu produk memiliki keunggulan kompetitif di pasar internasional akibat adanya dukungan kebijakan proteksi (distortif) pemerintah, walaupun sebenarnya produk tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif.sebaliknya dapat pula terjadi, suatu produk memiliki keunggulan komparatif, namun karena tingginya distorsi pasar (tingginya biaya transaksi) menyebabkan produk tersebut menjadi tidak memiliki daya saing (Gonarsyah, 2001). Selanjutnya, Word Economi Forum (WEF) yakni suatu lembaga secara rutin (setiap tahun) menerbitkan the global competitiveness Report, mengartikan daya saing nasional sebagai kemampuan perekonomian nasional yang mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan (WEF, 2013). Sesuai amanah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008, bahwa dalam rangka memaksimalkan aspek daya saing daerah maka, fokus kemampuan ekonomi daerah yang telah ditetapkan adalah: 1) Angka konsumsi RT per kapita adalah rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita. Angka ini dihitung berdasarkan pengeluaran penduduk untuk makanan dan bukan makanan per jumlah penduduk. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan

16 makanan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, sekolah, dan sebagainya. 2) Perbandingan faktor produksi dengan produk yang menggambarkan nilai tukar petani adalah perban dingan antara indeks yang diterima (It) petani dan dibayar (Ib) petani. Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator yang berguna untuk mengukur dngkat kesejahteraan petani, karena mengukur kemampuan tukar produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga. Jika NTP lebih besar dari 100 maka periode tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan periode tahun dasar, sebaliknya jika NTP lebih kecil dari 100 berarti terjadi penurunan daya beli petani. 3) Persentase konsumsi RT untuk non pangan adalah proporsi total pengeluaran rumah tangga untuk non pangan terhadap total pengeluaran. Produktivitas daerah per sektor (9 sektor) merupakan jumlah PDRB dari setiap sektor dibagi dengan jumlah angkatan kerja dalam sektor yang bersangkutan. 2.2 Rumusan Hipotesis Pengaruh PAD pada Daya Saing Daerah Keberhasilan desentralisasi fiskal salah satunya dapat dilihat dari tingginya penerimaan dan pengeluaran pembangunan pemerintah daerah demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi. Dari sisi penerimaan daerah, desentralisasi fiskal dapat diukur melalui rasio

17 PAD terhadap total penerimaan daerah atau sering disebut juga dengan rasio kemandirian. Jika rasio tersebut semakin tinggi artinya pemerintah daerah semakin mandiri untuk membiayai program-program kerja yang ada di daerah. Peningkatan rasio tersebut tentu dicapai melalui peningkatan PAD yang diterima daerah. Tingginya PAD suatu daerah tentu juga akan berperan serta dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah serta ototmatis akan berpengaruh pada daya saing daerah tiap-tiap daerah tersebut. Berkaitan dengan paparan di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah Ha.1 : PAD berpengaruh positif pada daya saing daerah Pengaruh DAU pada Daya Saing Daerah DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004). Setyowati dan Suparwati (2012) mengatakan bahwa DAU bersifat Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU berperan menggantikan subsidi daerah otonom dan dana inpres (Lugastoro, 2013). Wertianti (2013) mengatakan bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri

18 Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengalokasian DAU untuk suatu daerah didasarkan atas celah fiskal dan alokasi dasar, dimana celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. Diberlakukannya desentralisasi berarti pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan kemampuan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sehinga tidak hanya mengandalkan DAU (Ardhani, 2011). Diterimanya DAU dari pemerintah pusat maka daerah bisa fokus menggunakan PAD untuk membiayai belanja modal yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat. Ha.2 : DAU berpengaruh positif pada daya saing daerah Pengaruh DBH Pada Daya Saing Daerah DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1, PP No. 55 thn 2005). DBH merupakan Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005).

19 DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21(pasal 4, PP No. 55 thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi (pasal 15, PP No. 55 thn 2005). Apabila setiap daerah mampu mengelola elemenelemen dari DBH tersebut maka akan mampu meningkatkan daya saing daerahnya sendiri. Ha.3 : DBH berpengaruh positif pada daya saing daerah Pengaruh SiLPA Pada Daya Saing Daerah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan bahwa SiLPA tahun sebelumnya adalah penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Hal tersebut sejalan dengan

20 Mahmudi (2010:122) menjelaskan apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode maka sisa anggaran dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan maupun belanja untuk tahun anggaran berikutnya. SiLPA merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. Namun di sisi lain SiLPA bisa menjadi suatu indikator inefisiensi jika SiLPA tersebut berasal atau terbentuk dari komponen sisa kas (misalnya ada program atau kegiatan dari penggunaan anggaran yang tidak terealisasi) dan Sisa UUDP tahun-tahun sebelumnya (Balitbangda NTT, 2008). SiLPA yang berasal atau terbentuk dari pelampauan target penerimaan daerah (indikator efisiensi) sangat diharapkan sedangkan SiLPA yang berasal atau terbentuk dari ditiadakan program atau kegiatan pembangunan apalagi dalam jumlah tidak wajar sangat merugikan masyarakat. Ha.4 : SiLPA berpengaruh positif pada daya saing daerah Pengaruh IPM Pada Daya Saing Daerah IPM merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk hidup layak.

21 IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Selain itu, IPM juga sebagai alat pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya (BPS, 2012a:19). Agar dapat melihat perkembangan tingkatan dan status IPM dibedakan menjadi 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua seperti dibawah ini (Sumiyati, 2011): 1) Rendah dengan nilai IPM kurang dari 50. 2) Menengah bawah dengan nilai IPM berada diantara 50 samapi kurang dari 66. 3) Menengah atas dengan nilai IPM berada antara 66 sampai kurang dari 80. 4) Tinggi dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80. Sebelum menghitung IPM, setiap komponen IPM harus dihitung indeksnya (BPS, 2012b:71). Formula yang digunakan dalam perhitungan indeks komponen IPM adalah sebagai berikut:

22 Indeks X (i) = X (i) X (min) X (maks) X (min) Keterangan: X (i) = Komponen IPM ke-i X (min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-i X (maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i Untuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas maksimum dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Nilai Maksimum dan Minimum dari setiap komponen IPM Komponen IPM (1) Maksimum (2) Minimum (3) Keterangan (4) 1) Angka Harapan Standar UNDP Hidup (Tahun) 2) Angka Melek Standar UNDP Huruf (Persen) 3) Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 4) Daya Beli (Rupiah PPP) Sumber: BPS, 2012b a (1996) b (1999,dst) Pengeluaran per Kapita Rill Disesuaikan Keterangan: c) Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018 d) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut: IPMj =

23 Keterangan: Indeks X (i, j) i j = Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah kej = 1, 2, 3 (urutan komponen IPM) = 1, 2.k (wilayah) Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand dan Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan sarana utama dalam pembangunan. Ranis et al. (2005) mengatakan ada 12 kategori dalam pembangunan manusia meliputi: IPM itu sendiri, kesejahteraan mental, pemberdayaan, kebebasan berpolitik, hubungan sosial, kesejahteraan masyarakat, ketimpangan, kondisi kerja, kondisi rekreasi, politik dan keamanan, keamanan ekonomi, kondisi lingkungan. Keberhasilan suatu pembangunan manusia dapat dilihat dari seberapa besar permasalahan yang mendasar di masyarakat dapat teratasi (Setyowati dan Suparwati, 2012). Sumiyati (2011) menyatakan jika status pembangunan manusia masih berada pada kriteria rendah hal ini berarti kinerja pembangunan manusia harus ditingkatkan atau masih memerlukan perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula jika status pembangunan manusia berada pada kriteria menengah berarti masih perlu ditingkatkan atau dioptimalkan. Jika daerah memiliki status pembangunan manusia berada pada kriteria tinggi berarti kinerja pembangunan manusia sudah baik atau optimal dan perlu dipertahankan supaya kualitas sumber daya manusia tersebut produktif sehingga memiliki produktivitas yang tinggi sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

24 Michael Porter (1990) menyatakan bahwa ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu: 1) Strategi, struktur, dan tingkat persaingan perusahaan, yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya, 2) Sumber daya di suatu negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal, 3) Permintaan domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen, 4) Keberadaan industri terkait dan pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Ini berarti bahwa sumber daya manusia dan atau IPM merupakan salah satu dari empat faktor yang mempengaruhi daya saing. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.5: IPM berpengaruh positif pada daya saing daerah

25 2.2.6 Kemampuan IPM memoderasi pengaruh PAD Pada Daya saing daerah Impelementasi desentralisasi fiskal dimana pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur keuangannya sendiri terlihat dari meningkatnya PAD di setiap daerah tersebut. Namun apabila tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusianya maka akan menghambat jalannya kinerja keuangan daerah dimana tujuannya adalah untuk terus meningkatkan PAD daerahnya sendiri serta untuk mengukur daya saing dengan daerah lainnya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.6: IPM meningkatkan pengaruh positif PAD pada daya saing daerah Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh DAU Pada Daya Saing Daerah Penerapan desentralisasi fiskal memberikan konsekuensi-konsekuensi, yaitu di setiap daerah dituntut untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah, namun tidak semua daerah mampu membiayai pengeluaran pemerintah daerah menggunakan Pendapatan asli daerah (PAD), dikarenakan kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2006). Hal tersebut mengakibatkan tidak meratanya pembangunan di setiap daerah. Untuk mengatasi adanya ketimpangan infrastruktur yang terdapat di setiap daerah, Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Perimbangan yang bersumber dari

26 APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana alokasi umum (DAU). Sumber daya manusia disetiap daerah harus mampu mengalokasikan dana tersebut dengan baik agar tersebar secara merata ke daerah-daerah yang sangat membutuhkan dan pertumbuhan ekonomi di daerah lain meningkat secara merata Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.7: IPM meningkatkan pengaruh positif DAU pada daya saing daerah Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh DBH Pada Daya Saing Daerah Dana Bagi Hasil, selanjutnya disebut DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1, PP No. 55 thn 2005). DBH merupakan Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005). DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 (pasal 4, PP No. 55 thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi (pasal 15, PP No. 55 thn 2005). Daerah dituntut memiliki sumber daya manusia yang handal dan mampu memanage sumber-sumber dari DBH tersebut dengan baik guna meningkatkan

27 pendapatan daerah, dan nantinya terlihat daerah mana yang lebih baik dalam pengelolaan DBH tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.8: IPM meningkatkan pengaruh positif DBH pada daya saing daerah Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh SiLPA Pada Daya Saing Daerah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. Oleh karena itu sumber daya manusia yang ada di setiap daerah harus mampu meminimalisir pengeluaran-pengeluaran daerah yang tidak terlalu penting serta lebih efisien dalam menggunakan anggaran daerah. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan SiLPA dan meningkatkan pendapatan daerah. Karena secara normatif, semakin meningkatnya kinerja kapasitas fiskal daerahdan SiLPA maka pemda memiliki dana yang cukup untuk merealisasikan program-program kerjanya dan sudah tentu termasuk program kerja dalam rangka meningkatkan daya saing daerah.

28 Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.9: IPM meningkatkan pengaruh positif SiLPA pada daya saing daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Menurut Halim dan Abdullah (2006) Teori Keagenan yakni teori yang mengaitkan hubungan prinsipal dengan agen yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya,

BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan tahunan The Global Competitiveness Report 2012 2013.Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, laporan tahunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menganalisis hubungan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism) Federalisme fiskal adalah studi yang membahas mengenai hubungan keuangan antar tingkatan pemerintah dimana pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal) BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori keagenan Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan dalam teori keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan dalam dunia bisnis dapat dideskripsikan sebagai hubungan antara pemegang saham

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Scott (2000) dalam Bangun (2009)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Scott (2000) dalam Bangun (2009) BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Keagenan Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah persetujuan (kontrak) di antara dua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa Lebih Perhitungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) dalam Wirawan 2014 menjelaskan bahwa teori keagenan melukiskan hubungan antara kepentingan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan pemerintahan sendiri sedangkan daerah adalah suatu wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Otonomi Daerah a. Pengertian Otonomi Daerah Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah"

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat dengan orang lain (agent) untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat dengan orang lain (agent) untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Landasan Teori 1. Teori Agensi Jensen et al (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dana Alokasi Umum (DAU) Diera otonomi daerah ini ternyata juga membawa perubahan pada pengelolaan keuangan daerah. Diantaranya dalam hal sumber-sumber penerimaan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah dilaksanakan secara efekif. Hal ini merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

Kata Kunci: PAD, Belanja Modal, DAU, IPM

Kata Kunci: PAD, Belanja Modal, DAU, IPM Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal pada Indeks Pembangunan Manusia dengan Dana Alokasi Umum sebagai Variabel Pemoderasi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Putu Milan Pradnyantari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat menjadi APBD adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jawa Tengah pada tahun 2013 sampai 2015 membutuhkan kajian sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jawa Tengah pada tahun 2013 sampai 2015 membutuhkan kajian sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Penelitian mengenai pengaruh pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum dan disparitas pendapatan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013 sampai 2015

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ekonomi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan dan peranan yang sangat krusial. Berbagai macam teori maupun kebijakan ekonomi di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalampelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebutanggaran Pendapatan dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan dana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen organisasi. Oleh karena itu, anggaran memiliki posisi yang penting sebagai tindakan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) sejak tahun 1990 dalam seri laporan tahunan yang diberi judul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka daerah diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri hal ini telah diamanatkan dalam Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Belanja Modal Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua BAB II LANDASAN TEORI A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka daerah diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri hal ini telah diamanatkan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Menurut Bahl (2008), desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai proses pelimpahan wewenang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kinerja Pelayanan Publik Otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia sampai saat ini merupakan wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Fiscal Federalism dan Otonomi Daerah Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa Otonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Teori yang relevan 1. Teori Keagenan (agency theory) Dalam teori keagenan (Jensen dan Meckling, 1976) menyatakan hubungan keagenan merupakan sebuah

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, penelitianpenelitian tersebut adalah : Darwanto dan Yustikasari (2014) yang meneliti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia pada tahun 1999 menjadi titik tolak tumbuh kembangnya desentralisasi fiskal yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 1.1 Tinjauan Teoretis 1.1.1 Otonomi Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah.berdasarkan UU No.32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah Suparmoko (2002: 18) Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Akuntansi Pemerintahan Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap BAB I PENDHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek yang mendapat perhatian sampai saat ini adalah persoalan kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap hubungan

Lebih terperinci