BAB I PENDAHULUAN. ALAM SAKTI KERINCI menjadi jargon utama dataran tinggi. Kabupaten Kerinci Jambi. Di mana-mana kita akan melihat jargon tersebut
|
|
- Sri Hartono
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ALAM SAKTI KERINCI menjadi jargon utama dataran tinggi Kabupaten Kerinci Jambi. Di mana-mana kita akan melihat jargon tersebut sebagai identitas pengenal sebuah kabupaten yang memang dikenal akan kesaktian alamnya. Desa Lempur yang menjadi lokasi penelitian saya dianggap sebagai desa tertua di Kerinci, kesaktian alam ini sangat dipercaya oleh seluruh masyarakat di Desa Lempur, karenanya mereka adalah masyarakat animisme yang mempercayai Dewi hutan bernama Mandari Kuning. Dewi tersebut sebagai tokoh mitologi masyarakat Desa Lempur yang menjaga hutan dari kerusakan akibat tangan-tangan manusia. Ia merupakan tokoh perempuan yang memberikan kehidupan kepada masyarakat desa dari hasil hutan, dan sangat disegani oleh masyarakat sekitar. Mata pencaharian masyarakat desa bergantung dari hasil hutan, mayoritas mereka bermata pencaharian sebagai petani dan penghasil kayu manis. Karena desa ini dikelilingi oleh hutan TNKS, maka tidak heran jika kehidupan mereka sangat dekat dengan alam. Karena alasan tersebut, Desa Lempur menjadi salah satu desa yang sedang dalam proses disiapkan untuk menghadapi program REDD+ di Jambi, oleh LSM Warsi.
2 Program REDD+ 1 yang merupakan program konservasi hutan ini melibatkan masyarakat adat untuk mengurangi degradasi dan emisi karbon dengan membentuk Hutan Tanaman Rakyat. HTR merupakan Salah satu skema/model dari PHBM (Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat). Skema PHBM sendiri meliputi Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Adat 2. Hal ini selain untuk meningkatkan hak-hak pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat setempat, juga memberikan kontribusi pada program REDD+ yang mengedepankan konservasi, yaitu memproteksi hutan dari kerusakan. Sayangnya, ketika LSM Warsi datang bersama perwakilan dari Dinas Kehutanan melakukan sosialisasi REDD+ dengan tema Program Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), masyarakat Desa Lempur Tengah tidak menanggapi dengan antusias. Hanya beberapa tokoh adat yang datang, sedangkan tidak satupun perempuan menghadiri acara tersebut, karena merasa urusan sawah dan ladang lebih penting. Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan dalam pengelolaan hutan sangat dibutuhkan, karena perempuan lebih bergantung pada sumber daya hutan untuk pemenuhan sebagian besar kebutuhan pangan, bahan bakar dan penghidupan, dan karenanya cenderung mengambil peran aktif dalam perlindungan hutan. Ketika perempuan diikutsertakan dalam pengelolaan hutan, mereka akan memberikan dampak positif bagi pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Pernyataan bahwa perempuan lebih peduli terhadap lingkungan 1 REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan 2 Rahmani, dkk. Tata Cara dan Prosedur Pengembangan Program Hutan Berbasis Masyarakat (CIFOR, 2011)
3 dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan karena perempuan terbiasa peduli memelihara keluarga dan peduli dengan kehidupan 3. Adapun kerugian yang akan terjadi pada masyarakat miskin pedesaan terutama perempuan akibat perubahan iklim, sehingga partisipasi dan pemberdayaan perempuan harus dilakukan oleh para LSM yang bergerak dalam pemasalahan Climate Change dan Konservasi. Menurut kontribusi Kelompok Kerja II (Working Group II) pada laporan IPCC tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa dampak terbesar perubahan iklim dalam jangka dekat akan diderita oleh masyarakat miskin pedesaan, termasuk keluarga yang dikepalai perempuan, yang hampir tidak memiliki akses kepada tanah, kepada sarana pertanian, infrastruktur dan pendidikan. (Tiwon dalam Candraningrum, 2014: 57) Perempuan di Desa Lempur Tengah, selain bekerja di sawah dan ladang, mereka juga bekerja di area domestik. Seluruh kebutuhan keluarga telah menjadi tanggung jawab perempuan, karena itu mereka tidak banyak waktu luang seperti laki-laki yang setelah pulang berkebun masih dapat duduk-duduk di warung kopi. Setelah pulang dari ladang, perempuan akan segera berbenah, mengambil kayu bakar dan memasak untuk makan malam. Karena alasan kedekatan perempuan terhadap lingkungan tersebut, maka pemberdayaan perempuan terus di sosialisasikan oleh hampir seluruh LSM di Jambi, yang turut andil dalam program REDD+. LSM Warsi, Gita Buana, AMAN, dan ZSL merupakan LSM yang sudah cukup lama berkecimpung mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi REDD+. Seperti sosialisasi REDD+ yang dilakukan di DA (Area Demonstrasi) 3
4 Berbak Jambi oleh Warsi, Gita Buana dan ZSL yang salah satu programnya ialah dengan memberdayakan perempuan, melibatkan mereka dalam mengelola sumber daya hutan non-kayu, seperti memanfaatkan rotan dan madu. Selain itu juga mereka mengikutsertakan perempuan dalam rapat desa, dengan tujuan untuk dapat menyumbangkan aspirasinya. Namun hal tersebut bukan perkara mudah, karena perempuan lebih banyak bertindak pasif dan hanya menurut saja. Lain halnya dengan masyarakat Kerinci, Kerinci dikenal sebagai masyarakat yang mengadopsi sistem Matrilineal dari Minangkabau jika dilihat berdasarkan sistem pembagian warisnya, begitu pula Desa Lempur. Jika dilihat dari lokasi geografisnya, Kerinci berada di sebelah Selatan Sumatera Barat, lebih dekat dengan Minangkabau dibandingkan dengan Jambi sebagai Provinsi. LSM Jambi seperti Warsi, AMAN, dan Gita Buana menyatakan bahwa di dataran tinggi Jambi - Kerinci, keadaan masyarakatnya memiliki hak yang setara antara laki-laki dan perempuan. Hal itu dikarenakan, perempuan mempunyai hak waris yang sama besar dengan laki-laki, mereka mempunyai tanah, sawah dan ladang yang sama besarnya. Perempuan Kerinci di Desa Lempur hanya terlibat dalam pengambilan keputusan rapat desa ketika acara adat saja. Di luar acara adat, mereka enggan untuk berpartisipasi karena lebih mementingkan urusan ladang dan sawah. Sehingga rapat desa pada umumnya hanya dihadiri oleh laki-laki. Selain itu, hanya perempuan yang dapat menentukan pemimpin dan anggota adat dalam pemerintahan desa, dan gelar yang digunakan oleh anggota adat adalah gelar dari garis keturunan perempuan.
5 Sistem kekerabatan Matrilineal tersebut, telah membawa pandangan mengenai kesetaraan menurut para LSM di Jambi. Seperti yang dikatakan Randle dalam Frank (1992), bahwa citra matrilineal dari keperempuanan menunjukkan kekuatan ketimbang kelemahan, dan posisi ekonomi perempuan biasanya kuat, memberikan otonomi bukan ketergantungan. Sehingga bagi para anggota LSM Jambi, bukanlah hal yang sulit untuk mensosialisasikan keterlibatan perempuan dalam kegiatan program REDD+ di Kerinci. Posisi kaum perempuan dalam masyarakat Minangkabau memiliki hubungan yang cukup sulit antara sistem kekerabatan matrilineal dengan karakter Islam yang patriarkat. Matrilineal berarti anak keturunan dan harta warisan diatur menurut garis ibu atau pihak perempuan dalam keluarga. Pada masa lampau, pola seperti ini sering secara keliru disebut dengan matriarkat, sebuah istilah yang hendak menunjukkan posisi dominan kaum perempuan. Fakta bahwa di sana ada sistem kekerabatan matrilineal dan bahwa mereka menduduki posisi dominan dalam semua bidang kehidupan sosial (Davidson, 2010: 226). Masyarakat matrilineal pada masyarakat Minangkabau, memiliki sistem keturunan menurut garis Ibu. Anak mengikuti marga dari ibunya. Begitu juga tentang harta pusaka menurut hukum kewarisan matrilineal itu bukan dari ayah ke anak, tetapi dari mamak ke kemanakan. Fungsi laki-laki lebih sebagai mamak dari pada sebagai ayah, karena menurut sistem Minangkabau, apabila terjadi perkawinan, maka pihak perempuanlah yang meminang, bukan laki-laki. Jika sudah menikah, laki-lakilah yang dibawa ke rumah pihak perempuan, bukan lakilaki yang membawa istrinya ke rumahnya. Zed, dkk (1992 : 95).
6 Sedangkan menurut penelitian Beckmann (2000), Matrilineal sangat berkaitan erat dengan pola hak waris yang berada dalam garis keturunan Ibu, sehingga laki-laki bekerja dan tinggal di tanah dan properti milik perempuan (istrinya). Di dalam masyarakat Matrilineal Minangkabau, sekalipun perempuan mempunyai hak waris secara penuh, namun mereka tidak mempunyai porsi kedudukan dalam lembaga adat. Di dalam lingkungan keluarga, perempuan bekerja di sawah dan ladang yang dekat dengan rumah Ibunya, atau rumah keluarga kecilnya jika sudah memiliki tempat tinggal sendiri. Anak-anak mereka dididik dan dihidupi oleh mamak dari keluarga Ibu. Sedangkan Ayah tidak memiliki wewenang terhadap anaknya. Secara konseptual, perempuan mempunyai status yang baik di dalam Matrilineal, karena mereka memiliki hak waris lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Namun di dalam penelitian ini, saya tidak melihat bentuk kesetaraan seperti anggapan beberapa LSM Jambi yang telah dikemukakan sebelumnya. Sehingga saya sebagai peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana hak waris dan bagaimana perempuan Kerinci di desa Lempur mempunyai kuasa atas hak warisnya tersebut. B. Permasalahan Dalam pra-observasi ini, saya melihat bentuk kesetaraan atas kepemilikan hak waris tidak semulus seperti apa yang dikatakan LSM Warsi, AMAN, dan Gita Buana. Dalam konteks REDD+, pelibatan masyarakat adat dalam menjaga hutan seringkali melupakan berbagai bentuk ketidakadilan gender
7 dalam pengelolaan hutan 4, terutama siapa yang memiliki kekuasaan dalam mengakses dan mengontrol sumber daya hutan. Beberapa LSM di Jambi berada dalam perspektif Matrilineal dengan menganggap perempuan mempunyai otoritas yang kuat di dalam desa, dan karenanya menganggap tidak sulit untuk memberdayakan perempuan di Desa Lempur. Karena itu kita perlu melihat bagaimana sebenarnya gagasan matrilineal terhadap pewarisan pada anak perempuan itu diwujudkan dalam kehidupan sosial. Selain itu perlu dilihat bagaimana gagasan dan praktik pewarisan itu berubah dari waktu ke waktu. Maka pertanyaan besar dalam tesis ini untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem matrilineal dan prakteknya. 1. Bagaimana Sistem pewarisan menurut garis keturunan masyarakat matrilineal Desa Lempur? 2. Bagaimana akses dan kontrol atas properti waris bagi perempuan dan lakilaki di Desa Lempur? C. Tinjauan Pustaka Studi ini membahas mengenai bagaimana sistem kekerabatan matrilineal di Desa Lempur Tengah telah membawa isu kesetaraan di tingkat LSM Jambi dan masyarakat desa yang bersangkutan. Juga bagaimana bentuk adaptasi masyarakat matrilineal dalam menghadapi perubahan dan pengaruh dari luar, yang justru membawa pada ketimpangan dan bukan kesetaraan dalam mengakses 4 Komentar Solidaritas Perempuan- AKSI-Ulu Foundation, yang disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2012 (versi 26 September 2012)
8 sumber daya alam yang berupa ladang, sawah, dan tanah. Terkait dengan studi tersebut, ada beberapa tulisan yang menurut saya dapat menjadi titik tolak dalam penulisan tesis ini. Di bawah ini Franke (1992), menyajikan penelitian pada masyarakat Hopi yang mengadopsi sistem kekerabatan Matrilineal. ia menekankan bahwa tidak semua masyarakat yang mengadopsi sistem Matrilineal dalam kekerabatannya, mempunyai pola sikap dan perilaku yang sama. Penelitiannya tidak hanya melihat perempuan dalam matrilineal, tetapi juga melihat maskulinitas dalam sistem matrilineal tersebut. Pria matrilineal dalam masyarakat Hopi adalah pria yang didefinisikan oleh perempuan. Sebagai contoh, menjadi seorang ayah dalam komunitas Hopi sangat dihargai, dan salah satu cara di mana seorang pria Hopi memenuhi kewajibannya dalam lingkungan desa ialah dengan menjadi ayah yang baik. Seorang ayah pada masyarakat Hopi harus melindungi dan menafkahi anak-anak mereka. Pria yang dipanggil ayah, adalah suatu "Peran dan tugasnya adalah untuk menggendong anak dalam pelukannya dan membantu (Ibu) dalam merawat dan menggendongnya. (Franke, 1992: ). Penelitian di atas memperlihatkan bahwa konsep matrilineal tidak disikapi sama oleh seluruh kehidupan masyarakat yang mengadopsi sistem matrilineal. Seperti masyarakat Hopi, bahwa perempuan yang mendefinisikan bagaimana bentuk idealnya seorang laki-laki. Karena itu, penelitian saya akan mendeskripsikan Matrilineal dari sisi lain, di mana masyarakat Kerinci Desa
9 Lempur yang telah membentuk kebudayaannya sendiri, telah mengadopsi sistem matrilineal dari daerah Minangkabau Sumatra Barat. Ada pun penelitian yang dilakukan oleh Beckmann (2000), yang telah dilakukan di Minangkabau, bahwa sistem matrilineal telah membawa perempuan terlibat dalam organisasi sosial masyarakat, bukan hanya pelibatan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga saja. Selain itu Matrilineal dalam Minangkabau sangat berkaitan erat dengan pola hak waris yang berada dalam garis keturunan Ibu, dan peran ayah tidak terlalu sentral seperti peran mamak (paman) atau saudara laki-laki dari pihak Ibu. Adapun kekuasaan dalam sistem matrilineal tidak hanya pada perempuan, tetapi juga laki-laki memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu lebih ditekankan pada peran mamak, dan bukan ayah. Kondisi masyarakat Minangkabau saat ini telah mengalami perubahan, seperti merubah pola warisan dari ayah kepada anaknya, yang sebelumnya tidak boleh dilakukan. Hal ini merupakan salah satu pola adaptasi masyarakat Minangkabau dalam menerima perubahan, terutama masalah perekonomian, dan berpindahnya tempat tinggal perempuan dari rumah gadang, ke rumah yang hanya dapat ditinggali oleh keluarga kecilnya saja. Masih penelitian pada masyarakat Minangkabau, Blackwood (2001) menganalisis kebudayaan masyarakat Minangkabau yang salah satunya dari tokoh Mitologi Bundo Kanduang. Di dalam penelitiannya, perempuan muncul sebagai orang-orang yang menghasilkan ahli waris untuk mengabadikan garis keturunan, sementara paman dari pihak Ibu mengelola garis keturunan dan anggotanya. Perempuan mempunyai banyak hak dan kewajiban di dalam sistem matrilineal.
10 Secara struktural laki-laki berada dalam posisi marginal di dalam rumah adat yang di kontrol oleh perempuan. Laki-laki Minangkabau tidak ada yang memiliki rumah atau tempat tinggal yang bisa dikatakan milik mereka. Rumah adalah milik ibu dan saudara perempuan. Perempuan yang dituakan memiliki suara paling didengar dalam diskusi keluarga ketika kaum (kelompok keluarga matrilokal) memutuskan tindakan apapun yang akan menjadi kepentingan keluarganya. Pada masyarakat Minangkabau, Bundo Kanduang merupakan tokoh mitologi masyarakat. Bundo Kanduang digambarkan sebagai Ibu sejati yang memiliki sikap keibuan dan kualitas kepemimpinan. Negara melihat Bundo Kanduang sebagai ibu dari anak-anaknya, sedangkan pehamaman lokal, Bundo Kanduang mempunyai arti yang lebih luas, perempuan sebagai pemimpin di kelompok kekerabatannya. Beberapa hal prinsipil yang berkaitan dengan Bundo Kanduang ialah warisan mengikuti garis keturunan Ibu, yang kedua bahwa perempuan penerima utama dari warisan, juga pemilik rumah dan tanah. Seorang ayah wajib membangun rumah untuk anak perempuannya, bukan anak lelakinya. Namun hal ini bukan berarti laki-laki tidak mendapatkan perhatian dalam hukum adat, melainkan karena alam telah memberikan kekuatan lebih besar daripada perempuan. Perempuan menurut Islam dan adat, tidak boleh tinggal di mana saja seperti laki-laki, mereka harus memiliki tempat tinggal yang jelas. Jika tidak seperti itu, sesuatu mungkin akan terjadi yang akan mencoreng nama baik
11 perempuan. Sesuai dengan sifat perempuan yang dianggap lemah, sehingga adat Minang memberikan kelebihan dalam memproteksi perempuan. Hal tersebut jika dilihat dalam studi ecofeminism menurut Vandana Shiva (2005), menjadi sangat berkaitan. Terutama karena melihat perempuan secara alamiah lemah, erat kaitannya dengan kehidupan dan penghidupan, karena itu perempuan cenderung lebih dekat dengan alam. Alam telah membentuk perempuan mempunyai potensi besar dalam kepeduliannya kepada lingkungan, dibandingkan dengan laki-laki yang mempunyai kecenderungan merusak lingkungan. Perempuan juga secara naluriah mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kehidupan, sedangkan laki-laki tidak. Praktik-praktik lokal dalam kehidupannya berinteraksi dengan hutan dapat menjadi faktor yang sangat mendukung untuk memperlihatkan bagaimana mereka melihat masa depan, dan mempersiapkan generasi berikutnya. Masa depan hutan tidak akan luput dari pembangunan dan kerusakan jika teknologi terus masuk dan mempengaruhi cara fikir masyarakat untuk kehidupan yang lebih moderen. Karena itu peran perempuan sangat penting dalam menentukan keberlangsungan hidupnya dan generasi penerusnya ketika menghadapi sebuah pembangunan yang masuk dari luar desanya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dimana perempuan matrilineal yang secara alamiah dianggap lemah, sehinnga butuh perlakuan khusus dan perhatian lebih. Penelitian oleh Lewellen (2003), pada masyarakat Indian Iroquois lebih menekankan kekuasaan ekonomi berada di tangan perempuan. Tidak semua
12 masyarakat yang mengadopsi sistem matrilineal dalam sistem kekerabatannya mempunyai relasi kuasa yang sama antara laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menjadi fondasi penelitian saya melihat peran gender yang tidak lepas dari konstruksi lingkungan atas peran perempuan dan laki-laki, bahwa Ibu matrilineal diposisikan sebagai kekuatan ekonomi. Laki-laki Matrilineal berinteraksi dengan ibu yang memiliki otonomi dan kekuasaan pengambilan keputusan. Perempuan Iroquois, menghasilkan sumber daya utama pangan dan mengendalikan semua makanan, termasuk hewan buruan yang dibawa oleh pemburu laki-laki, serta makanan untuk acara seremonial. Mereka juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi aksi militer dengan menahan persediaan makanan bagi para prajurit. Ibu sebagai satu-satunya pusat dan kekuatan dalam kehidupan. Perempuan meskipun kurang berperan dalam jabatan formal, namun mereka memiliki kekuatan politik informal yang besar. Kelayakan turun-temurun dalam sebuah jabatan, harus dengan persetujuan perempuan. Perempuan Iroquois bisa meningkatkan atau melengserkan para tetua penguasa, bisa menghadiri Dewan Tinggi, dan bisa mempengaruhi keputusan dewan. Mereka memiliki kekuatan sesekali atas perilaku perang dan negosiasi perjanjian. Ketika kepala suku meninggal, perempuan mengadakan pertemuan untuk memilih calon baru. Meskipun dalam masyarakat Iroquois, laki-laki memegang semua urusan formal, namun kekuatan perempuan secara tegas dilembagakan. (Lawellen, 2003: ). Citra matrilineal dari keperempuanan menunjukkan kekuatan ketimbang kelemahan, dan posisi ekonomi perempuan biasanya kuat, memberikan otonomi
13 bukan ketergantungan. Dari penelitian ini, ide mengenai matrilineal yang identik dengan kekuasaan di tangan perempuan, mempengaruhi konsep kesetaraan pada masyarakat matrilineal Kerinci yang diakui oleh NGO. Sedangkan matrilineal tidak dapat disama ratakan disetiap daerah, dan tergantung dengan kultur yang berlaku di daerah tersebut. Menurut penelitian Ward (2009), suku Minangkabau di Sumatera Barat ketika dalam pengaruh pemerintah kolonial Belanda, hanya laki-laki saja yang dapat berpartisipasi dalam politik formal dan nasional. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan pengaturan ini dimulai pada abad kedelapan belas. Sistem pendidikan Indonesia, agama, dan media mempromosikan ideologi gender perempuan sebagai ibu rumah tangga, mengandalkan suami mereka untuk memberikan pendapatan yang berkelanjutan bagi keluarga. Paparan pengaruh ini tercermin dalam cara wanita muda sudah mulai menekankan pentingnya tinggal di rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang ideal, sebagian besar termasuk bekerja keluar rumah, di sawah, sebagai bagian dari menjadi seorang ibu rumah tangga. Dengan demikian, mereka mendamaikan wacana negara dan Islam dengan realitas lokal dan nilai-nilai. Bahkan, mereka mendefinisikan kembali istilah "ibu rumah tangga". Demikian pula, dengan meningkatnya peluang upah buruh, perempuan memiliki sumber pendapatan lain selain dari suami mereka. Hal ini membuat anak-anak perempuan kurang bergantung pada ibu mereka untuk sumber daya lahan. Meskipun demikian, praktik matrilineal masih tetap berlangsung. Mereka masih mengandalkan warisan mereka dari tanah leluhur dan mempertahankan
14 kepemilikan tanah dan rumah mereka sendiri. Suami tetap tokoh bawahan di bidang ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan keturunan. Rata-rata, wanita mengontrol lima kali lebih banyak tanah dari suaminya. Pria tidak dapat meng-klaim wilayah lahan matrilineal istri mereka atau bahkan untuk tanah dan rumah yang diperoleh bersama-sama. Tanah dan kepemilikan rumah bersama, dibarengi dengan kepatuhan terhadap adat lokal, tetap memberikan dasar untuk kekuatan perempuan, meskipun sudah banyak pengaruh kolonial, nasional dan Islam. Prinsip matrilineal belum hancur. Dalam Agarwal (2003), terdapat kasus yang kurang lebih menyerupai tesis dalam penelitian saya, yaitu akses dan kontrol atas warisan tanah. Di mana perempuan India harus diperjuangkan hak atas tanahnya karena kepemilikan tanah akan mengurangi kebergantungan mereka kepada suami dan anak laki-laki mereka. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa perempuan harus diperjuangkan atas kepemilikan tanah atas mereka. Beberapa diantaranya mengurangi risiko mereka diusir oleh anak-anaknya, meningkatkan kebebasan mereka untuk mengambil keputusan independen atas penggunaan lahan tanpa menunggu keputusan suami, memungkinkan mereka untuk memperoleh kredit produksi, memberikan mereka kontrol yang lebih besar atas pendapatan pertanian untuk digunakan di rumah, memungkinkan mereka untuk menawarkan keamanan bagi anak perempuan, dan juga anak-anak perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya. Hak atas tanah dapat membuat perbedaan penting untuk daya tawar perempuan dalam rumah dan masyarakat, meningkatkan kepercayaan diri mereka
15 dan rasa harga diri, memungkinkan mereka untuk bernegosiasi melakukan penawaran yang lebih baik di pasar upah tenaga kerja, memfasilitasi partisipasi mereka di desa badan pengambil keputusan, dan sebagainya. Tanah juga dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi perempuan India. Keuntungan langsung dapat berasal dari tanaman yang tumbuh atau pakan ternak atau pohon. Keuntungan tidak langsung dapat mengambil berbagai bentuk, seperti tanah milik dapat berfungsi sebagai jaminan kredit atau sebagai aset untuk dijual selama krisis. Tanah (baik yang dimiliki atau dikendalikan) dapat meningkatkan pekerjaan upah tambahan. Dengan kata lain, hak atas tanah yang aman untuk perempuan pedesaan saat ini bisa meningkatkan kesejahteraan anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Hal ini dikarenakan masyarakat India lebih mengutamakan warisan kepada anak laki-laki mereka, sedangkan perempuan dibiarkan bergantung kepada suami dan ayahnya ketika belum menikah. Setelah menikah mereka akan bergantung kepada suaminya. Perempuan tidak mempunyai hak atas tanah karena laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga, dan yang bertugas menafkahi mereka. kepemilikan perempuan atas tanah dianggap dapat mengancam keutuhan rumah tangga. D. Kerangka Konseptual/Teori Adakalanya hukum adat lebih berlaku dalam penggunaannya sebagai aturan dalam suatu masyarakat dibandingkan dengan hukum negara. Hukum adat juga memiliki cakupan yang lebih banyak dan terperinci karena memahami
16 kebutuhan hidup suatu masyarakat. Di Kerinci misalnya, hukum adat dan adat istiadat mengatur masyarakat desa dalam pembagian hak waris. Selain itu, kedua aturan tersebut juga mengatur bagaimana perempuan dan laki-laki mengakses tanah sawah dan ladang yang sebagian besar merupakan harta yang akan diwariskan, termasuk dalam tata cara memperlakukan tanah waris. Berangkat dari kondisi itulah selanjutnya penelitian ini akan melihat dinamika yang terjadi dalam masyarakat Kerinci. Penelitian ini akan melihat berbagai bentuk ketimpangan yang terjadi pada masyarakat Kerinci mengenai akses properti hak waris yang dimiliki oleh perempuan. Kondisi yang terjadi dalam masyarakat Kerinci mengingatkan saya akan konsep kesetaraan perempuan dan hak perempuan sebagaimana terdapat dalam teori ekofeminisme. Saya menggunakan pendekatan Ekofeminisme Spiritual dalam tesis ini untuk melihat bagaimana kedekatan hubungan antara masyarakat desa dengan alam sekitarnya. Kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur Dewi yang disinyalir adalah roh perempuan yang menguasai hutan menyiratkan adanya hubungan yang dekat antara perempuan dan alam. Alam di sini adalah area hutan yang mengalami pergeseran hak ulayat 5 semenjak masuknya Taman Nasional ke dalam kawasan tersebut. Seiring dengan terus bergulirnya penerbitan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan Taman Nasioanal, selanjutnya masyarakat desa yang pada awalnya sangat bergantung pada hasil sawah dan 5 Hak berarti hak, kekuasaan, wewenang. Ulayat berarti penjagaan, perwalian (Westenenk 1918a: 15). Dalam pemakaian masa kini di Minangkabau dan di Indonesia pada umumnya kosakata ulayat atau wilayat mengandung makna ruang: area, daerah, distrik. Sejak penjajahan Belanda, kontrol sosio-politik atas properti komunal dinyatakan sebagai ulayat atau hak ulayat. Beberapa orang berpendapat bahwa hak ulayat berlaku meliputi seluruh wilayah nagari (Van Vollenhoven 1918: 263; Westenenk 1918a: 16), dalam laporanlaporan lain dikatakan ia hanya meliputi tanah-tanah yang tidak ditanami dan hutan yang berada di dalam wilayah nagari (Risumi 1872: 15; Kroesen 1874: 7, 9; AB 11: 77; AB 11: 115 ff, 122, 124).
17 kebun, dipaksa untuk meninggalkan aktifitasnya yang berkaitan dengan hutan tersebut. Bagi sebagian orang, spiritualitas adalah sejenis agama namun tidak didasarkan pada kontinuitas dari agama patriarkal yang monoteistik sebagaimana Kekristenan, Yudaisme atau Islam, semua agama dianggap bermusuhan terhadap perempuan dan terhadap alam. Oleh karena itulah kemudian sebagian orang berusaha menghidupkan kembali atau menciptakan suatu agama berbasiskan dewi. Kendati spirit adalah perempuan, ia tidaklah terpisah dari dunia materiil. Spiritualitas dalam artian yang lebih material ini lebih dekat dengan magis, bukan dengan keagamaan seperti yang lazim dihayati. Spiritualis sebagian besar diidentikan dengan sensualitas perempuan, energi seksual mereka, daya hidup mereka yang paling berharga, yang menghubungkan mereka pada bentuk kehidupan dan unsur-unsur yang lain. (Shiva, 1993: 18-19). Masyarakat Desa Lempur baik laki-laki maupun perempuan sangat dekat dengan alam, lewat aturan adatnya mereka mengatur pola perilaku dalam mengeksploitasi hutan, seperti membuka lahan hutan menjadi ladang dan sawah yang diatur dalam aturan adat. Dari sikap ini terlihat bahwa mereka mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap lingkungan. Meskipun mereka berada dalam tekanan ekonomi dan memiliki keinginan untuk memanfaatkan hutan yang ada, mereka yakin akan ke-sakti-an 6 alam di sekitarnya. Dalam pemahaman mereka, roh leluhur dan dewi hutan akan murka kepada mereka dalam bentuk 6 Masyarakat Kerinci selalu menggunakan kata sakti untuk menggambarkan kemagisan alam disekitarnya jika ada orang yang berniat merusak alam tersebut.
18 bencana alam jika sebagai generasi penerus desa, mereka tidak menjaga wilayahnya dengan baik. Kepercayaan masyarakat setempat dengan sosok Dewi ini juga berpengaruh pada perilaku mereka kepada perempuan. Para lelaki di desa tersebut pernah bercerita kepada saya bahwa mereka tidak berani menduakan istri mereka karena yakin hukum alam itu ada, dan mereka memberikan contoh kasus salah satu penduduk yang ibarat pepatah hidup segan, mati tak mau (mati takut, hidup juga tidak berguna), dan ternyata hal tersebut ditujukan kepada lelaki yang terkena penyakit strooke, sehingga tidak bisa beraktifitas seperti sedia kala. Penduduk sangat yakin bahwa hal tersebut dikarenakan ia menduakan istrinya. Ekofeminis spiritual cenderung untuk memfokuskan pada penyembahan terhadap dewi-dewi kuno dan ritual penduduk asli Amerika yang berorientasi pada bumi. Mereka seringkali menarik analogi antara peran perempuan dalam produksi biologis dan peran tipikal Ibu Pertiwi atau Ibu Kelahiran sebagai pemberi kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada (Tong, 1998: 381). Begitu juga dengan masyarakat Desa Lempur yang dengan upacara adatnya Kenduri Seko, mereka mengundang dewi-dewi dan roh leluhur ketika masa panen untuk berpesta adat, dalam rangka bersyukur dan berterima kasih atas sumber daya alam berlimpah yang telah mereka berikan kepada mayarakat di Desa Lempur. Seperti cerita yang sangat dikenal oleh masyarakat desa, mengenai leluhur mereka yang bernama Dewi Mandari Kuning yang melarang suaminya untuk membuka tutup panci nasi ketika ia pergi ke sawah dan ladang, jika sampai
19 membuka tutup panci tersebut, maka sang dewi akan meminta cerai dan kembali ke Gunung Kunyit. Mitos dewi ini menjadi simbol dari kedekatan perempuan dengan alam, bahwa perempuan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya dengan bekerja di sawah dan ladang, juga memasak makanan untuk keluarganya. Selain itu, cerita ini juga tampak turut membentuk peran perempuan yang terdomestifikasi dengan pekerjaan rumahnya sehingga pekerjaan-pekerjaan rumah menjadi tabu untuk dilakukan oleh laki-laki. Mitos ini membentuk perilaku masyarakat agar menjaga hutan dari kerusakan yang datang dari luar juga dari dalam. Praktek penjagaan ini diwujudkan lewat bentuk sanksi adatnya. Penghormatan terhadap roh leluhur ini lantas juga membentuk penghormatan terhadap perempuan seperti diberikan hak yang sama untuk pendidikan dan wewenang atas pengambilan keputusan dalam memilih anggota lembaga adat desa. Seperti pada saat pemilihan Depati 7 sebagai pemimpin adat desa, hak memilih hanya diputuskan oleh perempuan, laki-laki tidak diperkenankan untuk memilih para calon Depati. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa sebagaimana dikatakan Tiwon bahwa mitos dapat berubah ke arah yang transformatif, seringkali dimobilisasi untuk berbagai keperluan politik dan ideologis yang bersifat regresif. Mitos tidak hidup dalam ruang hampa, kedap terhadap dinamika wacana dan politik kekuasaan. (Tiwon dalam Candraningrum, 2014: 60). Dalam pendekatan Environment Feminism, meskipun hubungan perempuan dan motivasi mereka untuk melindungi lingkungan memang bisa 7 Depati adalah para pemimpin-pemimpin adat yang menentukan aturan-aturan adat, serta yang memiliki wewenang dalam mengatur dan memberikan hukuman ketika masyarakat melanggar hukum adat.
20 diidentifikasi seperti yang dipahami oleh ekofeminisme, namun hubungan ini lebih didasarkan pada realitas material. Terdapat perbedaan pengalaman dan pengetahuan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan lingkungan mereka. Hubungan mereka dengan hutan di mana mereka bergantung ditandai oleh kepentingan yang kompleks dan bervariasi terutama berdasarkan jenis kelamin dan kelas (Agarwal, 2009). Banyak perempuan India yang menjadi penanggung-jawab atas kebutuhan pangan dan bahan bakar dari keluarga mereka, yang mengharuskan mereka memelihara tanah dan mengumpulkan produk dari hutan. Kegiatan ini memberikan pengetahuan yang mendalam tentang ekosistem dan kebutuhan yang kuat untuk memastikan bahwa sumber daya digunakan secara berkelanjutan. Kegagalan menghasilkan sumber daya berkelanjutan akan meningkatkan beban kerja bagi perempuan (Agarwal, 1994). Fokus ini memperlihatkan pentingnya praktek material, khususnya praktek kerja laki-laki dan praktek kerja perempuan. Peran budaya secara spesifik membentuk jenis kelamin dan hubungannya dengan lingkungan. Dengan mendasarkan klaim ini pada praktek-praktek material, Agarwal memberikan dasar empiris bagi gagasan bahwa perempuan memiliki pengetahuan lingkungan yang unik, dan secara signifikan membawa analisis ekonomi politik ke dalam perdebatan seputar gender dan lingkungan. Perempuan Desa Lempur memiliki hak waris tanah sawah dan ladang yang sama besar dengan saudara laki-lakinya. Namun kepemilikan tersebut tidak dapat di akses secara leluasa oleh perempuan dikarenakan adat dan agama
21 mengatur peran suami sebagai kepala keluarga, yang memberi nafkah dan istri harus mengikuti aturan yang dibuat oleh suaminya tersebut. Akses pada tanah milik pribadi seorang istri, ketika menikah tidak dapat secara bebas di akses oleh mereka karena suaminya telah menjadi bagian dari keluarga, sebagai kepala keluarga sehingga ikut mengatur penggunaan sawah dan ladang tersebut. Dalam hal ini, terdapat kepentingan material pada masing-masing jenis kelamin ketika dihadapkan dengan sumber mata pencaharian mereka. Perempuan lebih mengedepankan kebutuhan rumah tangga, seperti bahan bakar, dan makanan pokok mereka sehari-hari. Sedangkan laki-laki lebih mengedepankan sumber pemasukan yang dapat menguntungkan perekonomian mereka. Menurut Agarwal (1992), pengetahuan tentang alam dan pengalamannya, pembagian kerja, properti, kekuasaan, dan pengalaman juga membentuk pengetahuan berdasarkan pengalaman itu. Sebagaimana diuraikan Agarwal (1994), pentingnya hak atas tanah dapat membuat perbedaan yang signifikan terhadap daya tawar perempuan dalam rumah dan masyarakat. hak atas tanah dapat meningkatkan kepercayaan diri perempuan dan harga diri, memungkinkan mereka untuk bernegosiasi melakukan penawaran yang lebih baik di pasar upah tenaga kerja, meningkatkan rasa hormat perintah terhadap mereka dalam masyarakat, memfasilitasi partisipasi mereka di desa dalam pengambil keputusan, dan sebagainya. Untuk melihat bagaimana perempuan Desa Lempur kehilangan akses pada tanah miliknya sendiri, saya akan menggunakan pendekatan akses dan kontrol milik Nancy Peluso. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya akses
22 perempuan pada tanahnya sendiri, dan hal tersebut tidak lepas dari harapan kebudayaan masyarakat setempat kepada perempuan di dalam desa. Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari sesuatu, termasuk objek material, individu, institusi dan simbol-simbol. Formulasi akses ini akan memberikan ruang yang lebih luas bagi hubungan sosial yang dapat membuat orang bisa mendapatkan keuntungan dari sumber daya tanpa memfokuskan pada properti. Seperti pada perempuan di Desa Lempur, sekalipun perempuan yang memiliki properti waris tanah sawah dan ladang, namun laki-laki di desa tetap mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan atas kepemilikannya. Dengan memfokuskan pada sumber daya alam, Ribot dan Peluso mengeksplorasi pembahasan mereka lebih luas tentang kekuasaan. Kekuasaan melekat pada upaya-upaya melalui mekanisme, proses dan relasi sosial. Kekuasaan dilandasi oleh materi, budaya, dan politik ekonomi yang terjalin dalam lingkaran dan jaringan kekuasaan yang membentuk sumber akses. Beberapa orang dan institusi bisa mengontrol sumber daya sementara yang lain mempertahankan akses mereka melalui siapa yang mengontrol sumber daya. Analisa akses juga akan membantu dalam memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya, dengan ada atau tidak adanya kepemilikan barang pada mereka. Perempuan Desa Lempur memiliki sumber daya lewat kepemilikannya dari hak waris, sedangkan laki-laki mempertahankan akses mereka melalui istriistri mereka yang dimediasi oleh aturan adat dan agama untuk mendapatkan
23 keuntungan dari sumber daya. Pada bagian lain Ribot dan Peluso juga memperluas diskusi dengan tentang bagaimana teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial dan relasi sosial bisa membentuk atau mempengaruhi akses. Penguasaan teknologi dan pengetahuan yang dimiliki oleh laki-laki karena peluang mereka dalam menerima informasi, dan kewenangan yang didapat dari pengaruh islam dan adat, mempengaruhi atau membentuk akses yang dimiliki oleh laki-laki desa. E. Metode Pengumpulan Data 1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian yang saya pilih adalah Desa Lempur Tengah, yang berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia. Kerapatan Adat Lekuk 50 Tumbi 8 terdiri dari 5 desa, yaitu Desa Lempur Mudik, Lempur Tengah, Lempur Hilir, Dusun Baru Lempur, dan Desa Manjuto. Saya telah melakukan pemetaan dan pengamatan di seluruh desa, namun hanya fokus pada satu desa yaitu Lempur Tengah. Hal ini karena posisi Lempur Tengah berada di tengahtengah Kerapatan adat Lekuk 50 Tumbi, dan menjadi lokasi hilir mudik penduduk. Terutama ketika diadakan pasar Rabu dan Jumat disetiap minggu yang berada di Lempur Tengah. Desa Lempur bukan sebagai daerah pilot project REDD+, namun ia menjadi salah satu desa yang sudah memiliki hutan adat sebelum REDD+ hadir dan membentuk PHBM sebagai program untuk menyiapkan masyarakat dalam 8 Nama Hutan Adat yang dimiliki oleh kelima desa di atas
24 menghadapi REDD+. Selama saya melakukan penelitian di desa Lempur, baru sekali saja LSM Warsi melakukan sosialisasi di Desa Lempur Tengah, itupun tidak ditanggapi dengan baik oleh masyarakat adat di desa ini. Sosialisasi tidak menjelaskan hutan adat lagi, melainkan hutan kemasyarakatan (HKM). Hal ini dikarenakan masyarakat desa Lempur sudah mempunyai hutan adat Lekuk 50 Tumbi dengan luas 580 Hektar. Sosialisasi HKM adalah program untuk masyarakat desa yang terlanjur memiliki kebun yang berada di wilayah Taman Nasional saja. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan. Sejak awal Februari hingga Juli Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini saya melakukan pengumpulan data kualitatif yang bersifat primer dan sekunder. Pengumpulan data primer saya lakukan dengan wawancara dan observasi partisipasi pada beberapa kegiatan perempuan dan lakilaki. Namun saya mendapatkan keterbatasan akses ketika mengikuti kegiatan lakilaki di desa karena aturan adat yang melarang perempuan untuk terlalu dekat dengan laki-laki, sehingga saya meminta pertolongan rekan peneliti dari WANADRI untuk membantu saya observasi partisipasi kegiatan laki-laki di dalam desa disertai dengan foto-foto kegiatannya. Sedangkan pengumpulan data sekunder saya lakukan dengan mengumpulkan data dari perpustakan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat, untuk melihat bagaimana proses terbentuknya hutan adat pertama kali di Kerinci sebelum masuknya REDD+. Dan dinamika hadirnya Taman Nasional Kerinci
25 Seblat pada masyarakat Desa Lempur. catatan-catatan itu dibuat oleh penduduk lokal yang ketika itu bekerja sebagai anggota WWF yang terlibat dalam pembentukan hutan adat tersebut. Informan yang saya pilih adalah anggota masyarakat desa, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah, maupun belum menikah. Juga orangorang adat yang mempunyai peran dominan di dalam desa. Penelitian dilakukan dengan terlibat langsung dengan kegiatan perempuan dalam kehidupan seharihari. Acara pernikahan, Upacara tegak tiang (membangun rumah), pengajian, arisan, dan berkebun. Mengikuti kegiatan pemudi yang belum menikah, operasi bersih masuk ke dalam hutan, berbincang-bincang di warung kopi bersama orangorang adat dan pemuda. Alat pengumpulan data yang saya gunakan adalah alat rekam, dan kamera. Kegiatan sehari-hari saya tulis ke dalam buku catatan untuk memastikan saya tidak kehilangan informasi apapun ketika akan melakukan penulisan tesis. 3. Analisis Data dan Metode Analisis Metode analisis yang saya gunakan ialah hasil pengumpulan data yang sedari awal sudah ditujukan ke dalam beberapa pendekatan teori, kemudian di analisis secara lebih tajam dengan menggunakan metode analisis Harvard untuk melihat ketimpangan akses dan kontrol dalam hubungan gender. Data yang disajikan dengan menggunakan metode penulisan etnografi, sehingga diharapkan data yang sudah didapat, dapat menghasilkan analisis dan tulisan yang matang dan fokus dengan menggunakan teori-teori tersebut.
BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan
BAB V KESIMPULAN Matrilineal seperti yang telah banyak kita fahami, membawa kepada pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan memiliki posisi tawar yang baik dalam pengambilan keputusan,
Lebih terperinciAdat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah (Konstruksi Adat dan Agama Dalam Hak Waris Masyarakat Matrilineal)
Vol. 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017 ISSN: 2527-8096 (p); 2527-810x (e) LP2M IAIN Surakarta Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah (Konstruksi Adat dan Agama Dalam Hak Waris Masyarakat Matrilineal)
Lebih terperinciLampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
LAMPIRAN 143 144 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian 145 146 Lampiran 3 Pengukuran Variabel Penelitian untuk Jawaban Pengetahuan No. Pernyataan Betul Salah Pengetahuan tentang keluarga sistem matrilineal
Lebih terperinciDAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR ISTILAH... viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENGANTAR... 1
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi
1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pelanggaran kawin sasuku pada masyarakat Minangkabau dianggap sebagai perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga
7 Definisi Keluarga TINJAUAN PUSTAKA Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG MASALAH
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian
Lebih terperinciTanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya
Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Gender Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan biologis, melainkan oleh
Lebih terperinciDahulu bangso nan baharago kini pitih nan paguno (Dahulu bangsa yang berharga, kini uang yang berguna)
BAB V KESIMPULAN Kehidupan sehari-hari Minangkabau modern di kampung dan perkotaan pada tahun 1900-1940-an diwarnai oleh nilai-nilai keislaman dan nilai-nilai Barat. Islam hadir sebagai bagian yang integral
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara agraris. Sebagai negara agraris, salah satu peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian besar penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlawanan budaya merupakan perjuangan hak yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada
BAB IV KESIMPULAN Mansfield Park dan Kalau Tak Untung merupakan novel yang mengandung unsur sosial historis yang kuat, terutama menyangkut kedudukan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dan posisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) 1 seluas 140,4 juta hektar terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat
Lebih terperinciRumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA
Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian
BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan selama orde baru yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sangat bernuansa top-down karena
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan selama orde baru yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sangat bernuansa top-down karena ditunjang oleh sistem pemerintahan yang desentralisasi.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdahulu, dan harta ini berada dibawah pengelolahan mamak kepala waris (lelaki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah pusako adalah tanah hak milik bersama dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Perempuan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Hutan memiliki kedekatan hubungan dengan masyarakat disekitarnya terkait dengan faktor ekonomi, budaya dan lingkungan. Hutan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Forest People Program (FPP) menemukan bahwa di negara dunia ketiga,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Forest People Program (FPP) menemukan bahwa di negara dunia ketiga, banyak kebijakan dan program pembangunan yang mengarah pada diskriminasi terhadap masyarakat adat.
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah
Lebih terperinciHUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN
HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Erupsi Merapi yang terjadi dua tahun lalu masih terngiang di telinga masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan kehilangan mata
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai alam dan mengolahnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kampar Kabupaten Kampar. Desa Koto Tuo Barat adalah salah satu desa dari 13
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Demografis Desa Koto Tuo Barat adalah Desa yang terletak di Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar. Desa Koto Tuo Barat adalah salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka
Lebih terperinciSOSIALISASI KEMANDIRIAN KERJA ANAK PETANI MISKIN ( STUDI KASUS: KELUARGA PETANI MISKIN DI NAGARI TALU KECAMATAN TALAMAU KABUPATEN PASAMAN BARAT )
SOSIALISASI KEMANDIRIAN KERJA ANAK PETANI MISKIN ( STUDI KASUS: KELUARGA PETANI MISKIN DI NAGARI TALU KECAMATAN TALAMAU KABUPATEN PASAMAN BARAT ) Dewifebrina 1 Dra. Fachrina,M.Si 2 Erningsih,S.Sos 3 Program
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
1. PENDAHULUAN Perubahan lingkungan berimplikasi terhadap berbagai dimensi kehidupan termasuk pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini tentu saja sangat dirasakan oleh perempuan Kamoro yang secara budaya diberi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam proses produksi masyarakat pantai dimana keterlibatan tersebut dapat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Eksistensi Matriproduksi di Wilayah Pantai Penelitian tentang Eksistensi Matriproduksi di Wilayah Pantai ini dilakukan oleh Hendry Sitorus (2003). Dalam penelitian ini dijelaskan
Lebih terperinciKOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA
KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA Disusun Oleh : ANDRE RISPANDITA HIRNANTO D 1114001 SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Adanya perbedaan ini menyebabkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan telah ada sejak lama. Adanya perbedaan ini menyebabkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, terutama bagi
Lebih terperinciBAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong
Lebih terperinciPEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY
PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY Rike Anggun Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada rikeanggunartisa@gmail.com
Lebih terperinciBAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK. dibahas dengan menggunakan perspektif teori pengambilan keputusan.
BAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK Bab ini akan membahas tentang temuan data yang telah dipaparkan sebelumnya dengan analisis teori pengambilan keputusan.
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A.
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian
Lebih terperinciBAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.
42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan
BAB V PENUTUP Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan melakukan kesimpulan dan mengusulkan saran, sebagai berikut: A. KESIMPULAN Indonesia adalah sebuah kata yang dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pertumbuhan industri modern mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial di masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat tentu saja tidak lepas dari pengaruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia. Diperkirakan 20-30 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia
Lebih terperinciBAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK
BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK A. Gambaran Tentang Desa Kepuh Teluk 1. Letak Geografis Desa Kepuh Teluk Desa atau Kelurahan
Lebih terperinciPEREMPUAN DALAM BUDAYA PATRIARKHI
PEREMPUAN DALAM BUDAYA PATRIARKHI Napsiah Judul Asli : Ketertindasan Perempuan dalam Tradisi Kawin Anom. Subaltern Perempuan pada Suku Banjar dalam Perspektif Poskolonial Pengarang : Rosramadhana Nasution.
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Keluarga adalah institusi pertama yang dibangun, ditetapkan dan diberkati Allah. Di dalam institusi keluarga itulah ada suatu persekutuan yang hidup yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan perempuan dan
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ).
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI 2.1. Masyarakat Agraris Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meski belum ada SMP dan SMA tidak mematahkan semangat anak-anak yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Nek Sawak terdapat satu sekolah dasar bernama SD N 11 Nek Sawak, meski belum ada SMP dan SMA tidak mematahkan semangat anak-anak yang ingin melanjutkan ke
Lebih terperinciLaki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Apakah Gender itu? Pengertian awal: Pembedaan ketata-bahasaan (gramatical) penggolongan kata benda menjadi feminin,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum masalah utama yang sedang dihadapi secara nasional adalah sedikitnya peluang kerja, padahal peluang kerja yang besar dalam aneka jenis pekerjaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya tergantung pada keunggulan teknologi, sarana dan prasarana, melainkan juga tergantung pada kualitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Elfa Michellia Karima, 2013 Kehidupan Nyai Di Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perekonomian Pribumi sangat tergantung pada politik yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Sebagai negara jajahan yang berfungsi sebagai daerah eksploitasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Nan Tigo (wilayah yang tiga). Pertama adalah Luhak Agam yang sekarang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Suku bangsa Minangkabau mendiami daratan tengah Pulau Sumatera bagian barat yang sekarang menjadi Propinsi Sumatera Barat. Daerah asli orang Minangkabau ada tiga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Nasional telah memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu dalam penerimaan siswa,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Menurut Reber (dalam Fatimah, 2008,h.143) kemandirian adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya manusia dalam menjalani kehidupannya tidak dapat menjalani hidup sendiri sebab kehidupan harus ditempuh melalui proses secara bertahap dan setiap manusia
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. Pada dasarnya hal-hal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Emplek-emplek menir ketepu, wong lanang goleke kayu wong wadon sing adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki carilah kayu
Lebih terperinciPerempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women
Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women Stand Alone Goal Prinsip Stand Alone Goal: 1. Kesetaraan Gender 2. Hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. 3. Pemberdayaan
Lebih terperinci1 Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia hingga saat ini belum mampu mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih belum merasakan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka pada bagian ini peneliti akan menarik beberapa kesimpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain dalam satu negara. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk secara permanen dari pulau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejak manusia lahir hingga
Lebih terperinciKajian Pakaian penghulu Minangkabau
Kajian Pakaian penghulu Minangkabau Oleh : Diskadya Program Studi Kriya Tekstil dan Mode, Universitas Telkom. Abstrak Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku dan bangsa, dimana didalamnya terdapat berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10
BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1 LATAR BELAKANG MASALAH Orang Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sudah menjadi kodratnya manusia diciptakan berpasang-pasangan antara lakilaki
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia mengakui setiap perbedaan yang ada pada diri manusia, baik itu perbedaan jenis kelamin, asal ras atau etnis, dan agama, yang pada dasarnya semua perbedaan itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing
Lebih terperinciBAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.1 Kesimpulan Krisis ekonomi tahun 1998 memberikan dampak yang positif bagi kegiatan usaha rajutan di Binongjati. Pangsa pasar rajutan yang berorientasi ekspor menjadikan
Lebih terperinciBAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI
BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitan ini maka dibuat kesimpulan dari fokus kajian mengenai, perubahan ruang hunian, gaya hidup dan gender,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup. Upaya pemenuhan kebutuhan ini, pada dasarnya tak pernah berakhir, karena sifat kebutuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengrajin bambu merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengrajin bambu merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat perempuan di Desa Timbang Lawan, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Kreatifitas pengrajin bambu
Lebih terperinci2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden A. Umur Kisaran umur responden yakni perempuan pada Kasus LMDH Jati Agung III ini adalah 25-64 tahun dengan rata-rata umur 35,5 tahun. Distribusi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu permasalahan pembangunan yang dihadapi Negara Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan pembangunan yang dihadapi Negara Indonesia adalah masalah kependudukan, Indonesia memiliki penduduk yang begitu besar dari tahun ke tahun, begitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Masalah Emansipasi wanita telah memberikan semangat dan dorongan bagi kaum perempuan untuk tampil secara mandiri dalam mencapai segala impian, cita-cita dan memenuhi kebutuhan
Lebih terperinciBAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya
BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun
Lebih terperinci