BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN Bab ini terbagi menjadi beberapa sub-bab yang telah menjadi batasan masalah dalam penelitian ini, diantaranya : 1. Pengamatan Visual Terhadap Kayu yang Terbakar. 2. Analisa Pola Penyebaran Api ( Flame Spread ) 3. Analisa Laju Pelepasan Kalor ( Heat Release Rate ) dan Analisa Konsentrasi Oksigen 4. Analisa Laju Penurunan Massa ( Mass Loss Rate ) IV.1 PENGAMATAN VISUAL (A) (B) (C) (D) (E) (F) (G) (H) (I) Gambar 4.1. Pengamatan visual pembakaran kayu (A)penerimaan radiasi dan penguapan moisture; (B)ignition; (C)kayu terbakar serta terjadi crack; (D)kayu terbakar; (E)permukaan terbakar penuh; (F)permukaan terbentuk char; (G)api mulai menuju permukaan belakang (H)api menyebar kebelakang; (I)pembakaran selesai dan terbentuk char. 34

2 Sampel kayu pada awalnya menerima sejumlah panas radiasi dari heater yang telah disetting dengan temperatur tertentu. Setelah beberapa saat, sampel kayu akan mulai mengeluarkan uap air (moisture) yang dikandungnya. Pada proses pengeluaran uap air ini, sampel tidak dapat terbakar meskipun telah dipicu dengan igniter selama beberapa kali dan laju penurunan massanya bersifat stabil serta cenderung rendah. Pada saat yang sama, permukaan sampel bagian depan mulai mengalami keretakan. Kemudian setelah tahap penguapan uap air, sampel mulai mengeluarkan volatile matter-nya. Pada tahap ini, proses pembakaran sampel dengan menggunakan igniter dilakukan dan sampel menyala. Pembakaran sampel kayu ini membentuk char pada bagian permukaan yang berangsur-angsur akan menebal serta membuat retakanretakan pada tahap sebelumnya menjadi semakin dalam. Semakin dalamnya retakan ini memudahkan volatile matter yang lain keluar dari sampel kayu tersebut. Karena perbedaan kandungan kelembaban di setiap bagian pada kayu sampel maka bagian sisi-sisi yang bersentuhan langsung dengan oksidiser cenderung melengkung ke depan (mendekati heater ), karena moisture-nya telah terlebih dahulu menguap dibandingkan dengan bagian tengah. Hal ini sesuai dengan hubungan kelembaban dengan penyusutan dan defleksi pada kayu [Simpson, 1999]. Akan tetapi seiring dengan penebalan lapisan char, moisture dan volatile matter akan semakin sulit menembus char dan keluar dari kayu, sehingga keduanya mencari jalan termudah dengan keluar melalui arah urat kayu. Pernyataan ini ditunjukkan oleh fenomena pada saat pembakaran berupa semburan (jetting), baik berupa moisture (tanpa nyala api), maupun berupa volatile (dengan nyala api), pada arah urat kayu. Hal ini berlangsung secara bergantian di sisi samping sampel kayu. Proses semburan dari volatile ini menjadikan nyala api pembakaran besar kembali setelah nyalanya mengecil untuk beberapa saat sejak penyalaan pertama. Pembakaran dari sebagian besar permukaan dan sisi-sisi sampel kayu akan membuat char terbentuk di hampir semua bagian kayu. Akibatnya sisa moisture dan volatile matter hanya bisa keluar dengan leluasa melalui bagian belakang sampel yang belum terbakar, dan hal ini menyebabkan sampel mulai melengkung ke depan. Volatile matter yang keluar dari bagian belakang tersebut pada akhirnya akan menyala apabila konsentrasi yang keluar tersebut cukup dan terpicu oleh radiasi panas akibat pembakaran bagian lainnya. Pembakaran sampel kayu ini berlangsung sampai volatile matter menguap seluruhnya yang ditandai dengan mengecilnya nyala api, serta semua bagian dari sampel telah menjadi char. 35

3 Hasil pengamatan visual yang diperoleh untuk setiap jenis sampel pada umumnya sama, perbedaannya terletak dari waktu serta tempat terjadinya fenomenafenomena tersebut pada kayu sampel. Hasil pengamatan visual ini sejalan dengan teori serta pengamatan lain yang telah dilakukan sebelumnya. Selama proses eksperimen terdapat beberapa fenomena menarik yang terjadi. Dimana fenomena yang terjadi berupa pergerakan api yang seolah olah terdorong olah suatu gaya yang ditimbulkan oleh kalor dari heater, sehingga selama heater menyala api tidak bergerak lurus vertikal, melainkan membentuk sebuah sudut, seperti terlihat dari gambar berikut : Gambar 4.2 Fenomena api terdorong oleh kalor dari hetaer Dari gambar dapat dilihat bahwa panah berwarna putih menunjukkan api terlihat terdorong oleh suatu gaya. Dimana gaya tersebut bearsal dari kalor yang dihasilkan oleh heater, untuk membuktikan gaya dorong tersebut berasal dari kalor yang dihasilkan heater maka dilakukan seimulasi dengan FDS, yaitu heater dimatikan ditengah tengah eksperimen, seperti terlihat dalam gambar berikut ini : 36

4 (a) (b) Gambar 4.3 (a) heater menyala sampai selesai ; (b) heater sudah dimatikan ditengah tengah eksperimen. Dari gambar diatas terlihat bahwa setelah heater dimatikan ( gambar b ) ternyata nyala api bergerak vertikal lurus dan gaya dorong mulai tidak terlihat, hal ini membuktikan bahwa pada saat heater menyala akan memberi pengaruh terhadap gerakan api yang timbul. Fenomena lain yang terjadi adalah pada saat eksperimen dengan arah vertikal dan arah miring ternyata kalor konveksi yang keluar pada lubang belakang heater mempunyai intensitas yang berbeda, dimana pada arah vertikal kalor konveksi yang keluar lewat lubang belakang heater lebih sedikit dibanding dengan arah miring. Hal ini sudah penulis uji dengan memasang termokopel dilubang tersebut, hasilnya pada arah vertikal temperature yang keluar lewat lubang gelakang heater sebesar ± 68 o C, sedangkan pada arah miring temperaturenya sebesar ± 90 o C. Untuk membuktikan lebih lanjut fenomena tersebut juga telah dilakukan simulasi dengan FDS sebagai berikut : 37

5 (a) Gambar 4.4 (a) arah vertikal; (b) arah miring. (b) Berdasarkan data tersebut, dengan semakin besar kalor konveksi yang keluar lewat lubang belakang heater, maka besarnya akumulasi kalor radiasi dan kalor konveksi yang mengenai permukaan sampel akan semakin kecil. Sehingga fenomena tersebut akan mempengaruhi waktu nyala pada arh vertikal dan arah miring. IV.2 ANALISA POLA PENYEBARAN API ( FIRE SPREAD ) Pola penyebaran api merupakan sesuatu hal yang penting dan menarik untuk dipelajari terutama proses nyala api pada benda padat. Tidak seperti kolam api, orientasi permukaan benda padat bisa diubah-ubah, yang tentunya dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap perilaku api. Secara umum, permukaan padat dapat terbakar dengan sudut orientasi berapapun, namun penyebaran api akan sangat cepat bila terbakar pada permukaan benda padat yang vertikal [Drysdale, 2003]. Dalam penelitian ini dilakukan eksperimen dengan membakar sampel kayu lapis dengan ketebalan 10 cm dengan tiga variasi, yaitu : variasi fluks kalor, variasi jarak sampel dengan heater, dan variasi arah orientasi heater terhadap kayu. Dalam percobaan fluks kalor yang digunakan ada dua variasi, yaitu fluks kalor sebesar 27 kw/m2 yang diperoleh dengan memberikan kalor radiasi dan konveksi dengan menggunakan heater yang disetting pada temperature 600 o C dan fluks kalor sebesar 16,4 kw/m2 yang diperoleh dengan memberikan kalor radiasi dan konveksi dari heater dengan mensettingnya pada temperature 500 o C. Penulis memilih kedua fluks 38

6 tersebut karena fluks kalor 27 kw/m2 merupakan fluks kalor maksimal yang dpat diberikan olej h alat uji kalorimeter api yang ada dilaboratorium sehingga dengan memberikan fluks yang maksimal akan memudahkan proses ignition dan pengambilan data. Variasi juga dilakukan terhadap jarak sampel terhadap heater, dimana dalam eksperimen variasi terhadap jarak juga dilakukan dengan dua variasi, yaitu jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm dan jarak heater dengan sampel sejauh 5 cm. Pemilihan variasi jarak tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan untuk mempermudah mempercepat terjadinya ignition serta memudahkan pengambilan data, karena variasi jarak yang semakin jauh akan memperpanjang waktu ignition dan kecepatan proses pembakaran. Selain itu jarak 3 cm dan 5 cm dipilih untuk memudahkan pemasangan termokopel dan pemasangan sampel. Kemudian variasi yang terakhir dilakukan terhadap arah orientasi sampel terhadap heater, dimana dalam eksperimen ini variasi terhadap orientasi sampel terhadap heater dibedakan menjadi tiga arah, yaitu arah vertikal, arah miring (45 o ), dan arah horizontal dengan arah radiasi dari bawah. Pemilihan terhadap ketiga orientasi tersebut berdasarkan belum adanya eksperimen yang dilakukan terhadap sampel kayu dengan menggunakan ketiga variasi tersebut. Selama ini eksperimen yang sering dilakukan adalah dengan arah horizontal dengan arah radiasi dari bawah, sehingga hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan eksperimen dengan ketiga variasi orientasi tersebut. IV.2.1 Analisa Pola Penyebaran Api ( Flame Spread ) yang Dipengaruhi oleh Jarak Grafik dibawah ini menunjukkan penyebaran temperature yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan arah orientasi vertikal yang diberi fluks kalor sebesar 27 kw/m 2 dengan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm dan 5cm.. 39

7 q Gambar 4.5 Perbandingan penyebaran temperature pada arah vertikal dengan variasi jarak 3cm dan 5cm dengan fluks kalor sebesar 27 kw/m 2 Pada gambar 4.5 diatas sumbu menunjukkan perbandingan antara temperature dengan waktu, dimana sumbu horizontal merupakan waktu dalam satuan detik dengan skala 100 detik, sedangkan pada sumbu vertikal menunjukkan temperature yang terjadi dengan satuan derajat celcius dan skala 50 o C. Grafik diatas menunjukkan perbandingan penyebaran temperature yang terjadi pada arah vertikal dengan temperature 600 o C ( fluks 27 kw/m 2 ) dengan jarak sampel 3cm dan 5 cm dari heater. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa dengan jarak sampel 3 cm mempunyai waktu nyala ( time ignition ) yang lebih cepat dibandikan dengan jarak sampel 5cm. Dimana pada pembakaran dengan jarak sampel 3cm waktu nyala yang terjadi pada detik ke 45 sedangkan pada pembakaran dengan menggunakan jarak sampel 5 cm waktu nyala ( time ignition ) lebih lama yaitu 100 detik. pada proses pembakarn dengan jarak sampel 3 cm fluks yang diterima oleh permukaan sampel lebih besar dibandingkan dengan sampel dengan jarak 5cm. Sehingga untuk mencapai nilai kalor kritis ( critical heat flux ) yang merupakan nilai fluks kalor terkecil yang diterima oleh sampel untuk dapat terbakar pada jarak sampel 3 cm lebih cepat dibandingkan dengan jarak sampel 5cm. Oleh karena itu, waktu nyala ( time ignition ) pada jarak yang lebih dekat dengan fluks yang sama akan lebih cepat. 40

8 Gambar 4.6 Pengamatan visual kondisi nyala api Dilihat dari grafik, pada permukaan atas dengan kedua variasi jarak diatas menunjukkan temperature lebih tinggi atau meningkat lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan temperature pada permukaan bawah. Sehingga dapat diketahui bahwa untuk orientasi vertikal, penyebaran api dimulai dari permukaan sebelah ujung atas yang ditandai dengan kenaikan temperature lebih awal kemudian diikuti dengan kenaikan temperature pada permukaan sebelah bawah. Maka sesuai dengan teori bahwa penyebaran api keatas ( councurrent ) lebih cepat daripada penyebaran api kebawah (counter current ). Hal ini terjadi karena pada concurrent lidah api dan udara panas mengalir ke arah yang sama, memberikan kontribusi panas ke daerah yang belum terbakar dan menyebabkan api mudah menjalar ke daerah tersebut [ Drysdale, 2004 ]. Ketika bahan bakar ( volatille matters ) yang terdapat pada bagian atas habis, maka api akan menyebar kebagian bawah untuk mencari bahan bakar yang tersedia. 41

9 IV.2.2 Analisa Pola Penyebaran Api ( Flame Spread ) yang Dipengaruhi oleh Fluks Kalor Grafik dibawah ini menunjukkan penyebaran temperature yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan arah orientasi vertikal yang diberi fluks kalor sebesar 27 kw/m 2 ( 600 o C ) dan fluks kalor sebesar 14,6 kw/m 2 ( 500 o C )dengan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm. Gambar 4.7 Perbandingan penyebaran temperature pada arah vertikal dengan variasi fluks kalor sebesar 27kW/m2 dan 14,6 kw/m2 dengan jaeak sampel 3cm Dari grafik diatas dapat diliat bahwa perbedaan yang paling jelas diantar kedua variasi diatas adalah waktu dicapainya fluks kalor kritis yang berhubungan dengan waktu nyala ( time ignition ). Dimana untuk fluks kalor sebesar 27 kw/m2 ( 600 o C ) waktu nyala yang dibutuhkan adalah selama 45 detik, sedangkan untuk fluks kalor sebesar 16,4 kw/m2 ( 500 o C ) waktu yang dibutuhkan untuk nyala adalah selama 130 detik. Dengan besaran fluks kalor yang diberikan oleh heater terhadap sampel yang berbeda besarnya walaupun jarak sampel sama, maka fluks yang diterima oleh 42

10 sampel pun akan berbeda besarnya sehingga akan mempengaruhi pencapaian critical heat flux yang berpengaruh pada waktu nyala. Dilihat dari grafik diatas, temperature yang terdapat pada permukaan ujung atas mempunyai nilai yang lebih tinggi dan meningkat lebih awal dibandingkan dengan temperature yang terdapat pada permukaan sebelah bawah. Sehingga dari grafik dapat dilihat bahwa api menyala pada permukaan sampel sebelah atas yang kemudian nyala api menyebar kepermukaan sebelah bawah. Fenomena penyebaran ini hampir sama dengan pembahasan penyebaran api dengan variasi jarak sampel. Namun yang membedakan dari grafik variasi flukd diatas adalah rate of flme spread dimana pada fluks kalor yang lebih besar akan mempunyai laju penyebaran api yang lebih besar dibandingkan dengan fluks kalor yang lebih kecil, jadi ada fluks kalor yang lebih besar akan menyebabkan material lebih cepat habis. Hal ini sesuai dengan teori, dimana dengan memberikan fluks kalor radiasi akan meningkatkan laju penyebaran api [Drysdale, 2003]. Hal ini juga diperkuat dengan hasil eksperimen dengan memberikan fluks kalor yang lebih besar, maka akan meningkatkan laju penyebaran api, apalagi jika fluks kalor diberikan dalam waktu yang lama [ Drysdale, 2003 ]. IV.2.3 Analisa Pola Penyebaran Api ( Flame Spread ) yang Dipengaruhi oleh Arah Orientasi Kayu Grafik dibawah ini menunjukkan penyebaran temperature yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan fluks kalor sebesar 16,4 kw/m 2 ( 500 o C ) dan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm. Dalam grafik dibawah ini variasi dilakukan terhadap arah orientasi sampel terhadap heater, yaitu arah vertikal, arah miring, dan arah horizontal. 43

11 Gambar 4.8 Perbandingan penyebaran api dengan variasi arah sampel terhadap heater Grafik diatas merupakan perbandingan penyebaran api dalam berbagai orientasi sampel terhadap heater. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa pada arah sampel vertikal dan arah sampel miring kenaikan temperature terlebih dahulu terjadi pada permukaan sebelah atas. Kemudian pada pertengahan proses pembakaran temperature permukaan bawah pada arah vertikal dan miring memotong temperature permukaan sebelah atas. Dengan demikian pada arah vertikal dan arah miring pola penyebaran api mempunyai kemiripan, yaitu pada awal pembakaran api menyala pada bagian permukaan atas. Pada arah vertikal dan arah miring api cenderung menyala pada bagian ujung, hal ini diakibatkan oleh faktor kalor konveksi. Dimana udara yang terkena kalor konveksi mempunyai densitas yang lebih rendah dibanding udara dingin, sehingga selalu bergerak keatas. Oleh karena itu, pada arah vertikal dan miring, kalor koveksi yang bergerak keatas hanya mengenai bagian permukaan sampel ujung atas sehingga kalor yang terkonsentrasi lebih dominan pada bagian ujung atas yang menyebabkan nyala api pertama kali timbul pada permukaan atas. Kemudian ketika bahan bakar ( volatille matters ) pada bagian atas habis, api menyebar kebagian bawah yang masih tersedia bahan bakar ( volatille matters ). Sedangkan pada orientasi sampel horizontal dengan arah radiasi dari bawah fenomena 44

12 penyebaran api berbeda dengan arah vertikal dan arah horizontal, dimana pada arah horizontal seperti yang ditunjukkan pada grafik, temperature permukaan satu dan permukaan mempunyai nilai yang sama dan naik hampir bersamaan pula. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada arah horizontal api menyala pada permukaan bagian tengah, kemudian menyebar secara bersama sama kebagian pinggir. Pada arah horizontal api menyala pertama kali pada bagian tengah permukaan sampel karena kalor radiasi dan seluruh kalor konveksi bergerak keatas dan mengenai permukaan sampel dan terpuasar pada bagian tengah, sehingga akumulasi kalor terjadi pada bagian permukaan tengah sampel. Setelah menyebar kebagian tepi, pada arah horizontal api mulai membakar permukaan sampel sebelah atas yang tidak terkena radiasi langsung. Dari grafik, perbedaan yang mencolok pada ketiga arah orientasi sampel diatas adalah waktu nyala ( time ignition ). Dimana dari grafik dapat dilihat bahwa pada arah horizontal mempunyai waktu nyala ( time ignition ) paling cepat yaitu selama ± 100 detik, kemudian arah vertikal dengan waktu ± 130 detik dan paling lama arah miring selama ± 220 detik. 45

13 (a) (b) (c) Gambar 4.9 (a) Pengamatan visual arah miring, (b) Pengamatan visual arah vertikal, (c) Pengamatan visual arah horizontal 46

14 Pada arah horizontal dengan arah radiasi dari bawah mempunyai waktu nyala yang lebih cepat, hal ini dikarenakan pada arah radiasi dari bawah, maka komponen kalor yang mengenai permukaan sampel adalah kalor radiasi dan seluruh kalor konveksi yang bergerak ketas akibat densitas udara panas yan gterkena kalor konveksi lebih ringan dibanding udara yang lebih dingin. Sehingga akumulasi kalor yang diterima oleh permukaan sampel sangat besar, sehingga untuk mencapai fluks kalor kritis ( critical heat flux ) memerlukan waktu lebih cepat, sehingga nyala api juga terjadi paling cepat dibanding arah orientasi yang lainnya. Pada arah orientasi vertikal dan miring waktu nyala terjadi lebih lama karena faktor kalor konveksi. Dimana pada arah vertikal dan miring kalor konveksi yang terjadi banyak yang hilang atau tidak mengenai permukaan sampel sehingga akumulasi kalor yang diterima sampel tidak sebanyak yang terjadi pada arah horizontal. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa kalor konveksi selalu bergerak keatas karena mempunyai densitas yang ringan sehingga pada saat keluar dari heater, kalor konveksi hanya mengenai permukaan sampel sebelah atas dan tidak terlalu besar, sehingga akumulasi yang kalor juga tidak terlalu besar. Pada arah vertikal lebih cepat nyala karena pada arah vertikal fluks kalor yang diterima permukaan sampel lebih besar dibanding arah miring sehingga untuk mencapai critical heat flux lebih cepat. Sedangkan pada arah miring fluks kalor yang diterima permukaan sampel lebih kecil karena kalor konveksi yang timbul banyak yang keluar lewat lubang belakang heater. Sebagai perbandingan penulis telah mengambil data mengenai temperature yang keluar lewat lubang belakang heater untuk kedua orientasi tersebut, dimana untuk arah miring temperature yang keluar lewat lubang belakang heater sebesar ± 90 o C sedangkan untuk arah vertikal temperature yang keluar lewat lubang belakang heater adalah sebesar ± 68 o C ( lihat gambar 4.4 ). Dengan demikian kalor konveksi yang permukaan sampel pada arah miring lebih kecil dibandingkan arah vertikal, sehingga untuk mencapai critical heat flux juga lebih lama yang menyebabkan waktu nyala ( time ignition ) pada arah miring juga lebih lama. Oleh sebab itu, makin besar fluks yang diterima sampel maka laju penyebaran api lebih cepat, sesuai denga teori bahwa kecepatan penyebaran api pada arah vertikal sebesar mm/s jauh lebih cepat dibandingkan dengan arah miring yang hanya 11,2 mm/s [ Drysdale, 2003 ]. 47

15 Berkut ini data kecepatan penyebaran api pada beberapa variasi jarak sampel, arah orientasi, dan fluks kalor. Tabel 4.1 Kecepatan penyebaran api Heater ( o C) Jarak sampel-heater (cm) Orientasi Kecepatan penyebaran api (mm/s) o 8 90 o o o 5 90 o 6, o o o o 8 45 o o o 5 Dari data di atas dapat dilihat bahwa pada temperatur dan jarak sampel yang sama, sampel dengan arah orientasi horizontal memiliki kecepatan penyebaran api paling cepat. Hal ini dapat terjadi karena penyebaran api pada sampel untuk orientasi horizontal dipengaruhi oleh faktor konveksi dan radiasi. Sedangkan untuk orientasi lainnya pengaruh konveksi sangat kecil sehingga penyebaran apinya lebih dipengaruhi oleh faktor radiasinya saja. 48

16 IV.3 ANALISA LAJU PELEPASAN KALOR ( HEAT RELEASE RATE ) Laju pelepasan kalor (Heat Release Rate) adalah sejumlah energi yang dilepaskan oleh suatu benda ke lingkungan dengan satuan yang digunakan adalah kw/m 2. Metode pengukuran Heat Release Rate (HRR) yang dilakukan dengan menggunakan kalorimeter api adalah melalui metode konsumsi oksigen pada proses pembakaran. Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai HRR berdasarkan laju konsumsi oksigen adalah dengan menggunakan persamaan yang telah dituliskan dalam bab dasar teori. Berikut disajikan lagi persamaan untuk menghitung nilai HRR berdasarkan konsumsi oksigen yang digunakan pada pengujian dengan menggunakan kalorimeter api [24]. q 13, ,10 C P Te 0,2095 X O 1,105-1,5 X O dimana : q = heat release rate (kw) C = calibration constant for O 2 consumption analysis (m 1/2 kg 1/2 k 1/2 ) P = pressure drop across the orifice plate (Pa) Te = gas temperature at orifice plate (K) X O 2 = measured mole fraction of O 2 in the exhaust air 2 2 IV.3.1 Analisa Laju Pelepasan Kalor ( Heat Release Rate ) dengan Variasi Jarak Sampel Grafik dibawah ini menunjukkan laju pelepasan kalor ( heat release rate ) yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan arah orientasi vertikal yang diberi fluks kalor sebesar 27 kw/m 2 dengan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm dan 5cm. Untuk menunjukkan hubungan laju pelepasan kalor dengan konsentrasi oksigen, maka dibawah ini juga disajikan grafik mengenai konsentrasi oksigen untuk variasi yang sama. 49

17 q Gambar 4.10 Laju pelepasan kalor arah vertikal dengan jarak 3cm dan 5cm untuk fluks kalor 27 kw/m2 Gambar 4.11 Konsentrasi oksigen arah vertikal dengan jarak 3cm dan 5cm untuk fluks kalor 27 kw/m2 50

18 Sumbu horizontal pada Gambar 4.10 menunjukkan waktu (dalam satuan detik) dengan skala per 100 detik. Sumbu vertikal menyatakan laju produksi kalor/heat release rate (dalam satuan kw/m 2 ). Sedangkan gambar 4.11 menunjukkan grafik konsentrasi oksigen dengan sumbu horizontal menunjukkan waktu (dalam satuan detik) dengan skala per 100 detik, sumbu vertikal menunjukkan konsentrasi oksigen yang sebenarnya. Bentuk grafik konsentrasi oksigen yang diperoleh merupakan hasil pengukuran dalam pembakaran kayu lapis ( plywood ) dengan menggunakan gas analyzer yang tercatat secara otomatis setiap 10 detik, sedangkan grafik laju produksi kalor merupakan hasil perhitungan berdasarkan data konsentrasi oksigen, tekanan orifice, dan temperature gas buang dengan menggunakan persamaan yang telah disebutkan diatas. Pada grafik laju pelepasan kalor diatas dapat dilihat bahwa untuk jarak 3 cm dengan jarak 5 cm mempunyai perbedaan terutama pada besarnya nilai laju produksi kalor tertinggi ( peak heat release rate ) serta waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tersebut. Akan tetapi pada grafik diatas keduanya diawali dengan pola mendatar yang menggambarkan laju produksi kalor pada saat awal proses pembakaran cenderung stabil dan nilainya rendah. Pada kondisi tersebut sampel hanya mengeluarkan moisture berupa asap putih, pada jarak 3 cm garis mendatar terjadi selama ± 70 detik, sedangkan pada jarak 5 cm waktu yang dibutuhkan lebih lama, yaitu ± 100 detik. Setelah melewati garis mendatar, kurva langsung naik tajam mencapai peak heat release rate sebesar 45 kw/m2 untuk jarak 3 cm dan sebesar 35 kw/m2 untuk jarak 5 cm. dengan demikian perbedaan jarak dapat mengakibatkan perbedaan nilai peak heat release rate yang dicapai oleh suatu material saat dibakar. Pada grafik laju pelepasan kalor diatas, setelah mencapai puncak tertinggi kurva langsung turun. Pada jarak 3 cm kurva sempat mengalami kestabilan pada tengah tengah pembakaran, kemudian kembali naik ± 380, hal ini terjadi karena pada waktu tersebut api kembali membesar dengan membakar bgian kayu yang belum terbakar, yaitu pada bagian kayu sebelah belakang walaupun kalor yang dilepaskan tidak sebesar puncak yang pertama. Sedangkan pada jarak 5 cm, kurva kembali naik pada detik walapun tidak setinggi pada jarak 3 cm. 51

19 Pada grafik 4.11 menunjukkan konsentrasi oksigen untuk variasi yang sama dengan grafik laju pelepasan kalor yang berada diatasnya. Apabila dicermati grafik konsentrasi oksigen tersebut mempunyai korelasi yang berbanding terbalik dengan laju pelepasan kalor, hal ini sesuai dengan pernyataan Putri Dwithasari [ 2004 ]. Pada saat laju pelepasan kalor mencapai maksimum, kosentrasi oksigen yang terjadi ternyata turun drastis sampai konsentrasi 20,2% untuk jarak 3 cm dan 20,3% untuk jarak 5 cm, dimana pada kondisi tersebut nyala api mulai membesar. Sehingga semakin besar api menyala, makin besar pula laju pelepasan kaor yang terjadi, akan tetapi konsentrasi oksigen akan turun drastis. Seiring dengan turunnya laju pelepasan kalor, konsentrasi oksigen juga mulai stabil dan mendekati ke konsentrasi normalnya yaitu 20,7% untuk jarak 3 cm dan 20, 8% untuk jarak 5 cm.walaupun pada detik konsentrasi oksigen keduanya sempat turun lagi mencapai 20,3% dan 20,5%, seiring membesarnya kembali nyala api. Disaat akhir proses pembakaran laju pelepasan kalor dan konsentrasi oksigen untuk kedua jarak tersebut cenderung stabil pada nilai 12 kw/m2 dan konsentrasi oksigen 20,7% karena pada sampel telah terbentuk lapisan char yang cukup tebal dan kandungan karbon pada sampel mulai habis.dengan demikian, perbedaan jarak sampel akan mempengaruhi waktu tercapainya konsentrasi oksigen paling minimum serta besarnya konsentrasi oksigen terkecil dalam pembakaran. IV.3.2 Analisa Laju Pelepasan Kalor ( Heat Release Rate ) dengan Variasi Temperature Grafik dibawah ini menunjukkan laju pelepasan kalor ( heat release rate ) yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan arah orientasi vertikal yang diberi fluks kalor sebesar 27 kw/m 2 dan 14,6 kw/m2 dengan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm. Untuk menunjukkan hubungan laju pelepasan kalor dengan konsentrasi oksigen, maka dibawah ini juga disajikan grafik mengenai konsentrasi oksigen untuk variasi yang sama. 52

20 q Gambar 4.12 Laju pelepasan kalor arah vertikal dengan jarak 3cm dengan fluks kalor 27 kw/m2 dan 14,6 kw/m2 Gambar 4.13 Konsentrasi oksigen arah vertikal dengan jarak 3cm dengan fluks kalor 27 kw/m2 dan 14,6 kw/m2 53

21 Sumbu horizontal pada Gambar 4.12 menunjukkan waktu (dalam satuan detik) dengan skala per 100 detik. Sumbu vertikal menyatakan laju produksi kalor/heat release rate (dalam satuan kw/m 2 ). Sedangkan gambar 4.13 menunjukkan grafik konsentrasi oksigen dengan sumbu horizontal menunjukkan waktu (dalam satuan detik) dengan skala per 100 detik, sumbu vertikal menunjukkan konsentrasi oksigen yang sebenarnya. Bentuk grafik konsentrasi oksigen yang diperoleh merupakan hasil pengukuran dalam pembakaran kayu lapis ( plywood ) dengan menggunakan gas analyzer yang tercatat secara otomatis setiap 10 detik, sedangkan grafik laju produksi kalor merupakan hasil perhitungan berdasarkan data konsentrasi oksigen, tekanan orifice, dan temperature gas buang dengan menggunakan persamaan yang telah disebutkan diatas. Dari grafik 4.12 diatas, laju pelepasan kalor untuk fluks kalor 27 kw/m2 dan fluks kalor 16,4 kw/m2 mempunyai beberapa perbedaan. Perbedaan yang paling jelas adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai laju produksi kalor tertinggi ( peak heat release rate ). Dimana pada fluks kalor 27 kw/m2 mempunyai waktu untuk mencapai kondisi tersebut selama ± 70 detik, sedangkan pada fluks kalor 16,4 kw/m2 waktu yang dibutuhkan untuk mencapai peak heat release rate adalah sebesar ± 150 detik. Dari grafik 4.6 diatas juga dapat dilihat bahwa pada fluks kalor 27 kw/m2 cenderung lebih lama dipuncak, sedangkan pada fluks kalor 16,4 kw/m2 kurva hanya sebentar berada dipuncak dan langsung stabil. Pada fluks kalor 27 kw/m2 kurva juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi pada , sedangkan pada fluks kalor 16,4 kw/m2 hanya kurva sedikit naik pada detik Hal ini berarti, pada fluks kalor yang lebih besar, nyala api akan cenderung lebih besar dalam waktu lebih lama. Perbedaan lainnya diantara kedua fluks diatas adalah bentuk panjang grafik. Bentuk panjang grafik yang seperti ini tergantung dari besarnya fluks kalor yang diterima oleh sampel. Semakin besar fluks kalor, maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk pembakaran. Terlepas dari perbedan yang ada, pada grafik laju pelepasan kalor untuk kedua fluks kalor tersebut mempunyai persamaan pada awal proses pembakaran, yaitu terbentuknya grafik mendatar yang merupakan tahapan pelepasan moisture yang berupa asap putih, walaupun keduanya mempunyai waktu yang berbeda untuk melepaskan semua moisture yang terkandung dalam sampel. 54

22 Dari gambar 4.13 yang merupakan grafik konsentrasi oksigen menunjukkan korelasi yang berbanding terbalik dengan laju pelepasan kalor. Dimana perbedaan keduanya juga terjadi dalam lamaya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik minimum konsentrasi oksigen, dimana dalam kondisi tersebut nyala api terjadi paling besar. Dimana untuk fluks kalor 27 kw/m2 waktu yang dibutuhkan selama ± 70 detik dan pada fluks kalor 16,4 kw/m2 membutuhkan waktu selama ± 150 detik. Pada fluks kalor yang lebih besar juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai konsentrasi oksigen yang stabil pada konsentrasi yang mendekati normal dibanding fluks kalor yang lebih kecil, karena nyala api besar cenderung lebih lama, sehingga konsentrasi oksigen yang dibutuhkan pun juga besar. pada grafik konsentrasi oksigen perbedaan juga terlihat pada panjangnya grafik diantara kedua fluks diatas. Dimana fluks kalor yang lebih besar mempunyai grafik yang lebih pendek sehingga lebih cepat mencapai konsentrasi normal, karena proses pembakaran juga berlangsung lebih cepat. IV.3.3 Analisa Laju Pelepasan Kalor ( Heat Release Rate ) dengan Variasi Arah Orientasi Sampel Terhadap Heater Grafik dibawah ini menunjukkan laju pelepasan kalor ( heat release rate ) yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan arah orientasi vertikal yang diberi fluks kalor sebesar 14,6 kw/m2 dengan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm. Untuk menunjukkan hubungan laju pelepasan kalor dengan konsentrasi oksigen, maka dibawah ini juga disajikan grafik mengenai konsentrasi oksigen untuk variasi yang sama. 55

23 Gambar 4.14 Laju pelepasan kalor jarak 3cm dengan fluks kalor 14,6 kw/m2 dalam berbagai orientasi arah sampel Gambar 4.15 Konsentrasi oksigen jarak 3cm dengan fluks kalor 14,6 kw/m2 dalam berbagai orientasi arah sampel 56

24 Sumbu horizontal pada Gambar 4.14 menunjukkan waktu (dalam satuan detik) dengan skala per 100 detik. Sumbu vertikal menyatakan laju produksi kalor/heat release rate (dalam satuan kw/m 2 ). Sedangkan gambar 4.15 menunjukkan grafik konsentrasi oksigen dengan sumbu horizontal menunjukkan waktu (dalam satuan detik) dengan skala per 100 detik, sumbu vertikal menunjukkan konsentrasi oksigen yang sebenarnya. Bentuk grafik konsentrasi oksigen yang diperoleh merupakan hasil pengukuran dalam pembakaran kayu lapis ( plywood ) dengan menggunakan gas analyzer yang tercatat secara otomatis setiap 10 detik, sedangkan grafik laju produksi kalor merupakan hasil perhitungan berdasarkan data konsentrasi oksigen, tekanan orifice, dan temperature gas buang dengan menggunakan persamaan yang telah disebutkan diatas. Dari gambar 4.14 dapat dilihat ketiga grafik secara keseluruhan mempunyai pola yang mirip, yaitu grafik diawali dengan kurva mendatar, kemudian langsung naik tajam untuk mencapai peak heat release rate yang dilanjutkan dengan penurunan kurva menuju pergerakan yang relatif stabil dengan laju pelepasan kalor yang tidak terlalu tinggi. Kurva mendatar mempunyai panjang yang bervariasi, dimana kurva tersebut menandakan pelepasan moisture yang berupa asap putih. Dimana perbedaan panjang kurva mendatar tersebut didasarkan atas waktu nyala api ( time ignition ). Pada arah horizontal kurva mendatar paling pendek, menandakan time ignition pada arah horizontal paling cepat, yaitu selama ± 100 detik, diurutan kedua arah vertikal dengan waktu ± 120 detik, dan paling lama arah miring dengan waktu ± 230 detik. Disamping perbedaan panjang pendeknya kurva mendatar diawal pembakaran, pada grafik laju pelapasan kalor juga terlihat beberapa perbedaan. Waktu untuk mencapai nilai laju produksi kalor tertinggi ( peak heat release rate ) diantara ketiga orientasi diatas juga menunjukkan perbedan. Dimana sesuai dengan kecepatan waktu nyala, waktu yang diperlukan untuk mencapai peak heat release rate paling cepat juga terjadi pada arah horizontal yaitu sekitar ± 120 detik, diikuti arah orientasi vertikal selama ± 150 detik, dan waktu paling lama diperlukan oleh arah miring, yaitu selama ± 240 detik. Dengan demikian pada arah horizontal nyala api paling cepat membesar. Dari ketiga variasi diatas juga menunjukkan nilai peak heat release rate dimana arah horizontal yang mempunyai waktu nyala paling cepat mempunyai nilai terbesar, yaitu sebesar 45 kw/m2, diikuti arah vertikal sebesar 40 kw/m2, dan nilai paling kecil pada arah miring sebesar 35 kw/m2. Perbedaan besarnya nilai peak heat release rate tersebut dipengaruhi oleh besarnya akumulasi kalor yang diterima sampel. Dimana 57

25 pada arah horizontal kalor yang diterima sampel paling besar yang merupakan gabungan kalor radiasi dan seluruh kalor konveksi. Sedangkan pada arah vertikal akumulasi kalor tidak sebanyak arah horizontal karena sebagian kalor konveksi keluar lewat lubang belakan heater sehingga fluks kalor yang diterima sampel berasal kalor radiasi dan sebagian kalor konveksi. Pada arah miring fluks kalor yang diterima sampel paling kecil karena kalor konveksi sebagian besar keluar lewat lubang belakang heater sehigga fluks kalor yang diterima sampel hanya kalor radiasi dan sebagian kecil kalor konveksi. Panjang keseluruhan dari grafik laju pelepasan kalor diantara ketiga orientasi tersebut juga berbeda, dimana arah horizontal yang menerima fluks kalor terbesar mempunyai kurva paling pendek, yaitu sekitar 510 detik. Dengan demikian semakin pendek kurva, maka makin cepat habisnya material dalam proses pembakaran. Grafik konsentrasi oksigen juga menunjukkan situasi yang tidak jauh berbeda, hanya memiliki korelasi yang berlawanan dengan laju pelepasan kalor. Dimana secara keseluruhan grafik konsentrasi oksigen diawali dengan kurva mendatar, dimana pada kondisi tersebut belum terjadi nyala api dan sampel hanya mengeluarkan asap putih ( moisture ). Kemudian pada saat laju pelepasan kalor mencapai maksimum yang berarti api sudah menyala dan membesar, konsentrasi oksigen menjadi minimum mencapai 20,1 % pada arah horizontal. Kemudian konsentrasi oksigen mulai stabil pada nilai 20,7 % setelah melalui puncak. Dimana pada saat kondisi konsentrasi oksigen relatif stabil, berarti nyala api relatif kecil dan konstan, kecuali pada arah horizontal yang sempat naik setelah mengalami penurunan. Hal ini berarti pada arah horizontal api sempat mengecil dan membesar lagi pada saat api mulai menyebar ke permukaan sampel sebelah atas yang tidak terkena radiasi langsung. Perbedaan lainnya ketiganya mempunyai panjang kurva yang tidak sama, dimana pada arah horizontal mempunyai kurva paling pendek yang berarti proses pembakaran selesai paling cepat dan konsentrasi oksigen paling cepat menuju pada konsentrasi normalnya, yaitu 20,9%. 58

26 IV.4 ANALISA LAJU PENURUNAN MASSA Laju penurunan massa atau mass loss rate dapat didefinisikan sebagai kecepatan penurunan massa akibat pembakaran dalam suatu luasan dan dalam interval waktu tertentu. Besarnya dinyatakan dalam satuan g/m 2 s. Perhitungan laju penurunan massa untuk pengujian dengan menggunakan kalorimeter api mengacu kepada perhitungan yang digunakan dalam standar ASTM E-1354, yaitu dengan menggunakan penurunan massa (-dm/dt) pada setiap interval waktu tertentu dengan penurunan numerik lima titik (five point differentiation). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Untuk penurunan pertama (i=0) dm 25m0 48m1 36m2 16m3 3m4 - dt i 0 12 t Untuk penurunan kedua (i=1) dm 3m0 10m1 18m2 6m3 m4 - dt i 1 12 t Untuk penurunan 1<i<n-1 dimana (n adalah jumlah penurunan yang dilakukan) dm - dt i m i 2 8mi 1 8mi 1 mi 2 12 t Untuk penurunan satu sebelum terakhir (i = n-1) dm 3m0 10m1 18m2 6m3 m4 - dt i n 1 12 t Untuk penurunan terakhir (i=n) dm 25mn 48mn 1 36mn 2 16mn 3 3mn 4 - dt i n 12 t 59

27 IV.4.1 Analisa Laju Penurunan Massa dengan Variasi Jarak Grafik dibawah ini menunjukkan laju Penurunan massa dan laju penurunan massa yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan arah orientasi vertikal yang diberi fluks kalor sebesar 27 kw/m2 dengan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm dan 5 cm. q Gambar 4.16 Penurunan massa vertikal dengan fluks 27 kw/m2 pada jarak 3 cm dan 5 cm 60

28 Gambar 4.17 Laju penurunan massa dengan fluks 27 kw/m2 pada jarak 3 cm dan 5 cm Pada Gambar 4.16 menunjukkan penurunan massa, dimana sumbu horizontal menunjukkan waktu (dalam satuan detik) dengan skala per 100 detik. Sumbu vertikal menyatakan massa (dalam satuan gram). Sedangkan pada gambar 4.17 menunjukkan grafik laju penurunan massa, dimana sumbu horizontal menunjukkan waktu (dalam satuan detik) dengan skala per 100 detik. Sumbu vertikal menyatakan laju penurunan massa (gram/m2 s). Bentuk grafik yang diperoleh merupakan hasil pengamatan pola umum yang terjadi dalam pengujian kayu lapis menggunakan kalorimeter api. Pengambilan data dilakukan dengan interval 10 detik sekali, dimulai dari pemasukan sampel ke dalam kalorimeter api hingga padamnya nyala api pada sampel Pada grafik penurunan massa, terlihat kedua kurva diawali dengan garis mendatar, dimana pada kondisi tersebut sampel hanya mengeluarkan moisture berupa asap putih. Kondisi tersebut menandakan laju penurunan massa juga mendatar dalam arti stabil yang dapat dilihat pada gambar Pada detik ke 50 pada jarak 3 cm dan detik ke 100 pada jarak 5 cm, grafik massa mulai turun tajam, dimana pada kondisi tersebut api mulai menyala dan membesar. Dengan turunnya massa tersebut, maka grafik laju penurunan massa akan menunjukkan lonjakan yang tajam pula, dimana pada jarak 3 cm laju penurunan massa mencapai 20 gram/m2 s. Sedangkan pada jarak 5 cm mencapai 13 gram/m2 s. Ketika penurunan massa mulai stabil dan tidak 61

29 mengalami penurunan yang signifikan yamg berarti kondisi nyala api stabil dan tidak terlalu besar, pada grafik laju penutunan massa menunjukkan pola naik turun yang fluktuatif, karena perbedaan penurunan massa pada kondisi tersebut tidak terlalu jauh. Secara garis besar perbedaan pola penurunan massa dan laju penurunan massa pada sampel dengan variasi jarak terdapat pada waktu pencapaian puncak laju penurunan massa yang merupakan pengurangan massa paling banyak yang dipengaruhi oleh waktu nyala api. Pada kedua grafik, panjang kurva juga berbeda dimana pada jarak 3 cm mempunjai kurna yang lebih pendek sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan char lebih cepat. IV.4.2 Analisa Laju Penurunan Massa dengan Variasi Fluks Kalor Grafik dibawah ini menunjukkan laju Penurunan massa dan laju penurunan massa yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan arah orientasi vertikal yang diberi fluks kalor sebesar 27 kw/m2 dan 16,4 kw/m2 dengan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm. Gambar 4.18 Penurunan massa vertikal dengan fluks 27 kw/m2 dan 16,4 kw/m2 pada jarak 3 cm 62

30 Gambar 4.19 Laju penurunan massa dengan fluks 27 kw/m2 dan 16,4 kw/m2 pada jarak 3 cm Dari grafik penurunan massa dan laju penurunan massa diatas menunjukkan perbedaan fluks kalor yang diterima oleh sampel akan menghasilkan pola penurunan massa dan laju penurunan massa yang berbeda pula. Dimana pada fluks kalor yang lebih besar pola penurunan massa akan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan fluks kalor yang lebih rendah, sehingga pola laju penurunan massa yang terjadi juga akan berbeda. Pada fluks kalor 27 kw/m2 puncak laju penurunan massa yang besarnya mencapai 20 gram/m2 s akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat, yaitu selama ± 70 detik dan cenderung lebih lama berada diatas. Sedangkan pada fluks kalor 16,4 kw/m2 puncak laju penurunan massa yang besarnnya mencapai 19 gram/m2 s lebih lama dicapai, yaitu selama ± 250 detik dan tidak lama bertahan langsung turun menuju laju penurunan massa yang stabil. Dengan demikian, semakin cepat puncak laju penurunan massa dicapai, maka proses nyala api yang terjadi lebih cepat dan proses pembakaran akan berlangsung lebih cepat. Sehingga perbedaan fluks kalor yang diberikan akan menghasilkan perbedaan pada penurunan massa. 63

31 IV.4.3 Analisa Laju Penurunan Massa dengan Variasi Arah Orientasi Sampel Grafik dibawah ini menunjukkan laju Penurunan massa dan laju penurunan massa yang merupakan hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis dengan ketebalan 10cm dengan arah orientasi vertikal, miring,dan horizontal yang diberi fluks kalor sebesar 16,4 kw/m2 dengan jarak sampel dengan heater sejauh 3 cm. Gambar 4.20 Penurunan massa vertikal dengan fluks 16,4 kw/m2 pada jarak 3 cm dalam berbagai orientasi 64

32 Gambar 4.21 Laju penurunan massa dengan fluks 16,4 kw/m2 pada jarak 3 cm dala berbagai orientasi Dari grafik penurunan massa dan laju penurunan massa diatas, terlihat bahwa dengan orientasi yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda pula. Dimana perbedaan yang paling jelas adalah panjang pendeknya kurva mendatar yang merupakan kondisi dimana sampel belum terjadi nyala api dan hanya mengeluarkan asap putih ( moisture ). Dimana dari grafik terlihat bahwa waktu paling cepat untuk mencapai kondisi tersebut terjadi pada orientasi horizontal dengan waktu ± 100 detik serta waktu paling lama terjadi pada orientasi miring dengan waktu selama ± 250 detik. Pada grafik penurunan massa diatas terlihat jelas bahwa penurunan massa pada arah horizontal lebih cepat dibandingkan dengan orientasi yang lainnya. Sedangkan pada arah vertikal dan arah miring penurunan massa sedikit lebih cepat terjadi pada arah vertikal dimana dapat dilihat dengan massa awal yang lebih besar, grafik penurunan massa pada arah vertikal semakin mendekati grafik penurunan massa arah miring, bahkan pada akhir proses pembakaran grafik penurunan massa pada arah vertikal memotong grafik penurunan massa pada arah miring. Hal ini berarti pada arah vertikal penurunan massa lebih besar dibandingkan dengan penurunan massa pada arah orientasi miring. 65

33 perbandingan. Berikut ini tabel perbandingan diantara ketiga orientasi tersebut diatas sebagai Tabel 4.2 Perbandingan waktu nyala api pada berbagai orientasi Orientasi Jarak cm Heater o C flux kw t ig detik vertikal miring horizontal 3cm 5cm 3cm 5cm 3cm 5cm , , , , , ,4 150 Untuk mempermudah perbandingan waktu penyalaan antara orientasi horizontal, vertikal, dan miring, maka dibuat grafik radar yang juga merupakan gambaran pemetaan waktu penyalaan antara ketiga arah orientasi yang berbeda tersebut. 66

34 Waktu Nyala Horizontal Waktu Nyala Miring Vertikal (a) Waktu Nyala Horizontal Waktu Nyala Miring Vertikal (b) Gambar 4.22 (a) Grafik radar waktu nyala pada jarak 3 cm 600 o C; (b) Grafik radar wakyu nyala pada jarak 5 cm 600 o C. 67

35 IV.5 ANALISA HASIL REPETISI ( PENGULANGAN ) EKSPERIMEN Dalam melakukan eksperimen, data yang didapatkan tidak selalu menunjukkan hasil yang bagus, selain itu untuk menjamin keakuratan data yang diperoleh dalam suatu eksperimen diperlukan pengulangan pengambilan data ( repetisi ) baik untuk memperkuat data yang didapat sebelumnya, maupun untuk memperbaiki data sebelumnya yang belum akurat. Oleh karena itu, dalam eksperimen penulis telah melakukan pengulangan eksperimen untuk memperoleh data yang lebih akurat yang dilakukan terhadap sampel kayu lapis ( plywood ) pada orientasi horizontal dengan radiasi dari bawah pada jarak 3 cm dengan fluks kalor sebesar 27 kw/m2. pengulangan data dilakukan dua minggu setelah data pertama dengan sampel yang sama. Berikut hasil perbandingan kedua data yang diperoleh. (a) 68

36 a) (b) (c) Gambar 4.23 (a) Temperature; (b) HRR; (c) Konsebtrasi oksigen. 69

37 Dari ketiga grafik diatas menunjukkan perbandingan data eksperimen pertama dengan dat hasil eksperimen perulangan yang mana hasilnya menunjukkan pada ketiga grafik diatas mempunyai pola dan nilai yang tidak berbeda jauh. Pada grafik temperature memperlihatkan pergerakan api mempunyai pola yang mirip dan nilainya juga tidak berbeda jauh. Akan tetapi perbedaannya terdapat pada waktu nyala ( time ignition ) diman pada data pertama waktu nyalanya 50 detik, sedangkan pada data ulangan waktu nyala yang diperoleh lebih cepat, yaitu pada detik ke 33. Pada grafik laju pelepasan kalor derta konsentrasi oksigen, pola dari kedua data yang diperoleh juga menunjukkan pola yang mirip dimana, laju pelepasan kalor mencapai puncak kemudian menuju stabil dan mencapai puncak kedua dengan ketinggian yang hampir sama. Perbedaan diantara kedua data pada grafik laju pelepasan kalor dan konsentrasi oksigen terdapat pada waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak laju pelepasan kalor dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi oksigen minimum. Dimana pada data kedua waktu yang diperlukan untuk mencapai kedua kondisi tersebut lebih cepat dibandingkan dengan data pertama. IV.6 ANALISA PERBANDINGAN DENGAN SIMULASI SOFTWARE FDS Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perbedaan arah orientasi terhadap nyala api, laju pelepasan kalor, dan laju penurunan massa, penulis melakukan pengambilan data dengan melakukan eksperimen secara langsung. Akan tetapi untuk membandingkan sejauh mana hasil yang diperoleh, maka dilakukan simulasi yang sama dengan menggunakan sofware Fire Dynamic Simulation ( FDS ) yang dilakukan oleh rekan saya Gatot Rangga Gumilang. Dibawah ini beberapa perbandingan hasil eksperimen dengan hasil simulai software FDS. 70

38 IV.6.1. Analisa Perbandingan dengan Simulasi Software FDS terhadap Penyebaran Api Perbandingan yang akan dibahas adalah perbandingan mengenai variasi jarak dan variasi fluks kalor, serta variasi orientasi. Dimana ketiga grafik tersebut akan ditampilkan secara bersama sama, karena ketiganya mempunyai perbandingan yang sama. Perbandingan ketiga grafik tersebut adalah sebagai berikut : (a) (b) 71

39 (c) Gambar 4.24 (a) perbandingan eksperimen dan fds dengan variasi jarak, (b) Perbandingan eksperimen dan fds dengan variasi fluks, (c) Perbandingan eksperimen dan fds variasi orientasi Dari gambar 4.24 diatas ternyata hasil eksperimen dengan hasil simulasi software FDS mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan. Dimana pada grafik, diawal kurva diawali dengan garis mendatar yang menandakan api belum menyala dan hanya mengeluarkan asap putih ( moisture ), akan tetapi panjang dari kurva mendatar hasil eksperimen dan hasil FDS tidak sama, dimana hasil eksperimen lebih cepat dibanding hasil FDS yang berarti nyala api dalam eksperimen lebih cepat. Kondisi tersebut dapat terjadi karena dalam eksperimen penutup haeater mengalami sedikit kebocoran yang berakibat sampel menerima fluks lebih besar sebelum heater dibuka sehingga volatille lebih cepat keluar dan nyala api lebih cepat. Dari grafik juga terlihat bahwa hasil eksperimen dan hasil FDS menunjukkan jarak mempengaruhi waktu nyala sampel, yaitu pada jarak 3 cm nyala api lebih cepat dibandingkan dengan jarak sampel 5 cm. Kemudian keduanya juga menunjukkan variasi arah orientasi juga mempengaruhi nyala api dimana arah horizontal paling cepat menyala, diikuti arah vertikal, dan arah miring. 72

40 IV.6.2. Analisa Perbandingan dengan Simulasi Software FDS terhadap Laju Pelepasan Kalor ( Heat Release Rate ) Perbandingan yang akan dibahas adalah perbandingan mengenai variasi jarak dan variasi fluks kalor, serta variasi orientasi. Dimana ketiga grafik tersebut akan ditampilkan secara bersama sama, karena ketiganya mempunyai perbandingan yang sama. Perbandingan ketiga grafik tersebut adalah sebagai berikut : (a) (b) 73

41 (c) Gambar 4.25 (a) Perbandingan HRR variasi jarak; (b) Perbandingan HRR variasi fluks; (c) Perbandingan HRR variasi orientasi Dari gambar 4.25 diatas menunjukkan perbandingan laju produksi kalor antara hasil eksperimen dengan hasil simulasi FDS. Dari grafik dapat dilihat bahwa keduanya mempunyai kesamaan, yaitu diawali dengan kurva mendatar dimana kondisi tersebut sampel hanya mengeluarkan asap putih ( moisture ). Kurva mendatar pada kedua grafik untuk variasi jarak sampel ( gambar 4.25 (a)) menunjukkan pada jarak 3 cm mempunyai kurva mendatar yang lebih pendek serta waktu untuk mencapai peak heat release rate yang lebih cepat dibandingkan dengan kurva pada jarak 5 cm. Hal ini berarti hasil simulasi dan eksperimen menunjukkan hasil yang sama, yaitu variasi jarak mempengaruhi waktu yang yang diperlukan untuk mencapai nilai laju produksi kalor tertinggi ( peak heat release rate ). Kemudian pada grafik dengan variasi fluks kalor ( gambar 4.25 (b)) juga menunjukkan hasil yang hampir sama, dimana kedua grafik menunjukkan pada fluks kalor yang lebih besar akan mempunyai kurva mendatar yang lebih pendek serta waktu untuk mencapai peak heat release rate juga lebih cepat dibandingkan dengan fluks kalor yang lebih kecil. Pada grafik dengan variasi arah orientasi ( gambar 4.25 (c)) keduanya juga menunjukkan hasil yang sama dimana waktu yang dibutuhkan untuk mencapai peak heat release rate serta waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan seluruh moisture ( kurva 74

42 mendatar ) yang paling cepat terjadi pada arah orientasi horizontal yang diikuti dengan arah orientasi vertikal, dan paling lama terjadi pada arah orientasi miring. Terlepas dari persamaan persamaan yang ada, grafik hasil simulasi FDS dan grafik hasil eksperimen juga mempunyai perbedaan, yaitu pada besarnya nilai laju produksi kalor ( heat release rate ), dimana pada eksperimen nilai laju produksi kalor paling besar sekitar 40 kw/m2 sedangkan pada simulasi FDS nilai laju produksi kalor jauh lebih besar bisa mencapai 350 kw/m2. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan temperature ( subbab ) antara hasil eksperimen dan hasil simulasi FDS juga menunjukkan hasil yang cukup jauh, sehingga berpengaruh pada laju produksi kalor yang dihasilkan. Selain itu perbedaan antara grafik eksperimen dan simulasi FDS juga dapat dilihat dari bentuk atau polanya, diman pada grafik hasil simualsi FDS setelah mengalami peak heat release rate, kurva langsung turub dan tabil pada nilai yang rendah, sedangkan pada grafik hasil eksperimen menunjukkan setelah mencapai peak heat release rate yang pertama kurva turun dan naik lagi. Hal ini menunjukkan adanya proses ignition yang kedua, yaitu kondisi dimana api mulai membesar kembali karena menyebar kedaerah yang belum terbakar yang masih mempunyai cukup bahan bakar yang dikarenakan oleh kalor atau api yang membakar bagian sampel yang lain. Dalam kaitannya dengan laju pelepasan kalor ( heat release rate ), salah satu faktor penting dalam menentukan besar kecilnya nilai heat release rate tersebut adalah konsumsi oksigen selama proses pembakaran berlangsung. Berikut ini merupakan grafik perbandingan konsentrasi oksigen selama proses pembakaran antara hasil simulasi FDs dengan hasil pengukuran dalam eksperimen. 75

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP PENELITIAN SIFAT BAKAR DENGAN KALORIMETER API : STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH ORIENTASI DAN FLUKS KALOR TERHADAP PENYALAAN DAN PENYEBARAN API PADA KAYU TROPIS SKRIPSI Oleh TRI HARTANTO 04 04 02 708 2 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL & ANALISIS

BAB 4 HASIL & ANALISIS BAB 4 HASIL & ANALISIS 4.1 PENGUJIAN KARAKTERISTIK WATER MIST UNTUK PEMADAMAN DARI SISI SAMPING BAWAH (CO-FLOW) Untuk mengetahui kemampuan pemadaman api menggunakan sistem water mist terlebih dahulu perlu

Lebih terperinci

BAB III EKSPERIMENTAL

BAB III EKSPERIMENTAL BAB III EKSPERIMENTAL III.1. PERALATAN EKSPERIMENTAL Pada penelitian ini penulis menggunakan alat yang bernama kalorimeter api ( cone calorimeter ). Alat ini merupakan alat uji berskala laboratorium yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENGUJIAN

BAB III METODOLOGI PENGUJIAN BAB III METODOLOGI PENGUJIAN Dalam melakukan penelitian dan pengujian, maka dibutuhkan tahapantahapan yang harus dijalani agar percobaan dan pengujian yang dilakukan sesuai dengan standar yang ada. Dengan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN

BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN Setiap melakukan penelitian dan pengujian harus melalui beberapa tahapan-tahapan yang ditujukan agar hasil penelitian dan pengujian tersebut sesuai dengan standar yang ada. Caranya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Nilai densitas pada briket arang Ampas Tebu. Nilai Densitas Pada Masing-masing Variasi Tekanan Pembriketan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Nilai densitas pada briket arang Ampas Tebu. Nilai Densitas Pada Masing-masing Variasi Tekanan Pembriketan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Densitas Densitas atau kerapatan merupakan perbandingan antara berat dengan volume briket. Besar kecilnya kerapatan dipengaruhi oleh ukuran dan kehomogenan penyusun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai langkah untuk memenuhi kebutuhan energi menjadi topik penting seiring dengan semakin berkurangnya sumber energi fosil yang ada. Sistem energi yang ada sekarang

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1.Analisa Diameter Rata-rata Dari hasil simulasi yang telah dilakukan menghasilkan proses atomisasi yang terjadi menunjukan perbandingan ukuran diameter droplet rata-rata

Lebih terperinci

II.1. TEORI PEMBAKARAN II.1.1.

II.1. TEORI PEMBAKARAN II.1.1. BAB II DASAR TEORI Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang mendasari dan yang dijadikan acuan penelitian pengaruh kemiringan posisi terhadap karakteristik pembakaran material kayu dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kalibrasi Kalibrasi dilakukan untuk termokopel yang berada pada HTF, PCM dan permukaan kolektor. Hasil dari kalibrasi tiap termokopelnya disajikan pada Tabel 4.1,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan untuk mengetahui fenomena yang terjadi pada mesin Otto dengan penggunaan bahan bakar yang ditambahkan aditif dengan variasi komposisi

Lebih terperinci

SPESIFIKASI TEKNIK KOMPOR GAS BAHAN BAKAR LPG SATU TUNGKU DENGAN SISTEM PEMANTIK MEKANIK KHUSUS UNTUK USAHA MIKRO

SPESIFIKASI TEKNIK KOMPOR GAS BAHAN BAKAR LPG SATU TUNGKU DENGAN SISTEM PEMANTIK MEKANIK KHUSUS UNTUK USAHA MIKRO LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI NOMOR : 56/M-IND/PER/5/2009 TANGGAL : 28 Mei 2009 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

Bab IV Data Percobaan dan Analisis Data

Bab IV Data Percobaan dan Analisis Data Bab IV Data Percobaan dan Analisis Data 4.1 Data Percobaan Parameter yang selalu tetap pada tiap percobaan dilakukan adalah: P O = 1 atm Panci tertutup penuh Bukaan gas terbuka penuh Massa air pada panci

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konversi dari energi kimia menjadi energi mekanik saat ini sangat luas digunakan. Salah satunya adalah melalui proses pembakaran. Proses pembakaran ini baik berupa

Lebih terperinci

Frek = 33,5 Hz. Gambar 4.1 Grafik perpindahan massa kecepatan aliran 1.3 m/s 2. Untuk kecepatan aliran 1.5 m/s

Frek = 33,5 Hz. Gambar 4.1 Grafik perpindahan massa kecepatan aliran 1.3 m/s 2. Untuk kecepatan aliran 1.5 m/s BAB IV ANALISA DATA 4.1 ANALISA GRAFIK Setelah melakukan langkah perhitungan sesuai dengan tahapan yang sudah dijelaskan pada bab 3, maka akan didapatkan hasil tentang perbandingan untuk perpindahan massa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Hasil Pengujian Variasi sudut kondensor dalam penelitian ini yaitu : sudut 0 0, 15 0, dan 30 0 serta aliran air dalam kondensor yaitu aliran air searah dengan laju

Lebih terperinci

Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II Oktober 2017 Terbit 64 halaman

Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II Oktober 2017 Terbit 64 halaman Karakteristik Penyebaran Api Ketika Terjadi Kebakaran Berbasis Metode FDS (Fire Dynamics Simulator) pada Parkiran Sepeda Motor Kampus A Universitas Negeri Jakarta Pratomo Setyadi Yola Furqaan Nanda Program

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-192 Studi Numerik Pengaruh Baffle Inclination pada Alat Penukar Kalor Tipe Shell and Tube terhadap Aliran Fluida dan Perpindahan

Lebih terperinci

BAB USAHA DAN ENERGI I. SOAL PILIHAN GANDA

BAB USAHA DAN ENERGI I. SOAL PILIHAN GANDA 1 BAB USAHA DAN ENERGI I. SOAL PILIHAN GANDA 01. Usaha yang dilakukan oleh suatu gaya terhadap benda sama dengan nol apabila arah gaya dengan perpindahan benda membentuk sudut sebesar. A. 0 B. 5 C. 60

Lebih terperinci

EKSPERIMEN 1 FISIKA SIFAT TERMAL ZAT OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2006 Waktu 1,5 jam

EKSPERIMEN 1 FISIKA SIFAT TERMAL ZAT OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2006 Waktu 1,5 jam EKSPERIMEN 1 FISIKA SIFAT TERMAL ZAT OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2006 Waktu 1,5 jam EKSPERIMEN 1A WACANA Setiap hari kita menggunakan berbagai benda dan material untuk keperluan kita seharihari. Bagaimana

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Grafik nilai densitas briket arang ampas tebu

Gambar 4.1 Grafik nilai densitas briket arang ampas tebu Densitas (gr/cmᵌ) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Densitas Briket Densitas merupakan tingkat kerapatan suatu bahan bakar yang telah mengalami tekanan. Densitas didapatkan melalui perbandingan antar berat

Lebih terperinci

OLEH : SHOLEHUL HADI ( ) DOSEN PEMBIMBING : Ir. SUDJUD DARSOPUSPITO, MT.

OLEH : SHOLEHUL HADI ( ) DOSEN PEMBIMBING : Ir. SUDJUD DARSOPUSPITO, MT. PENGARUH VARIASI PERBANDINGAN UDARA- BAHAN BAKAR TERHADAP KUALITAS API PADA GASIFIKASI REAKTOR DOWNDRAFT DENGAN SUPLAI BIOMASSA SERABUT KELAPA SECARA KONTINYU OLEH : SHOLEHUL HADI (2108 100 701) DOSEN

Lebih terperinci

ROOM FIRES (KEBAKARAN DALAM RUANGAN) HENY TRIASBUDI, IR., MSC. FIRE SAFETY SPECIALIST

ROOM FIRES (KEBAKARAN DALAM RUANGAN) HENY TRIASBUDI, IR., MSC. FIRE SAFETY SPECIALIST ROOM FIRES (KEBAKARAN DALAM RUANGAN) HENY TRIASBUDI, IR., MSC. FIRE SAFETY SPECIALIST PENDAHULUAN Pertumbuhan api secara tipikal berlangsung dalam 4 tahap : Incipient (awal nyala api). Growth (api mulai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Bahan/material penyusun briket dilakukan uji proksimat terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat dasar dari bahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL & ANALISIS

BAB IV HASIL & ANALISIS BAB IV HASIL & ANALISIS 4.1 KARAKTERISTIK POOL FIRE Pool fire adalah api yang terbakar secara difusi dari penguapan cairan bahan bakar dengan momentum bahan bakarnya yang sangat rendah. Api yang terbakar

Lebih terperinci

Oleh : Dimas Setiawan ( ) Pembimbing : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT.

Oleh : Dimas Setiawan ( ) Pembimbing : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT. Karakterisasi Proses Gasifikasi Downdraft Berbahan Baku Sekam Padi Dengan Desain Sistem Pemasukan Biomassa Secara Kontinyu Dengan Variasi Air Fuel Ratio Oleh : Dimas Setiawan (2105100096) Pembimbing :

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Plastik LDPE ukuran 5x5 cm

Gambar 3.1. Plastik LDPE ukuran 5x5 cm BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.1.1 Waktu Penelitian Penelitian pirolisis dilakukan pada bulan Juli 2017. 3.1.2 Tempat Penelitian Pengujian pirolisis, viskositas, densitas,

Lebih terperinci

Cara uji jalar api pada permukaan bahan bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung

Cara uji jalar api pada permukaan bahan bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung Standar Nasional Indonesia Cara uji jalar api pada permukaan bahan bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung ICS 13.220.50 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi i Daftar

Lebih terperinci

3. Pernyataan yang benar untuk jumlah kalor yang diserap menyebabkan perubahan suhu suatu benda adalah... a. b. c. d.

3. Pernyataan yang benar untuk jumlah kalor yang diserap menyebabkan perubahan suhu suatu benda adalah... a. b. c. d. ULANGAN UMUM SEMESTER II TAHUN PELAJARAN 2011-2012 SMPK KOLESE SANTO YUSUP 2 MALANG Mata pelajaran : Fisika Hari/tanggal : Rabu, 16 Mei 2012 Kelas : VII Waktu : 07.00 08.30 Pilihlah jawaban yang paling

Lebih terperinci

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun.

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. SELAMAT ATAS PILIHAN ANDA MENGGUNAKAN PEMANAS AIR (WATER HEATER) DOMO Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. Bacalah buku petunjuk pengoperasian

Lebih terperinci

Nama : Nur Arifin NPM : Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing : DR. C. Prapti Mahandari, ST.

Nama : Nur Arifin NPM : Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing : DR. C. Prapti Mahandari, ST. KESEIMBANGAN ENERGI KALOR PADA ALAT PENYULINGAN DAUN CENGKEH MENGGUNAKAN METODE AIR DAN UAP KAPASITAS 1 Kg Nama : Nur Arifin NPM : 25411289 Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing

Lebih terperinci

III.1 FIRE DYNAMIC SIMULATOR

III.1 FIRE DYNAMIC SIMULATOR BAB III PEMODELAN III.1 FIRE DYNAMIC SIMULATOR Fire Dynamic Simulator (selanjutnya disingkat menjadi FDS) merupakan program komputer yang menyelesaikan persamaan atur yang menggambarkan mengenai perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan kebutuhan energi yang sangat besar. Data dari British Petroleum (BP) dalam Statistical Review of World Energy pada Juni

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Proksimat Analisis proksimat adalah salah satu teknik analisis yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik biobriket. Analisis proksimat adalah analisis bahan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Pembahasan pada sisi gasifikasi (pada kompor) dan energi kalor input dari gasifikasi biomassa tersebut.

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Pembahasan pada sisi gasifikasi (pada kompor) dan energi kalor input dari gasifikasi biomassa tersebut. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan pada sisi gasifikasi (pada kompor) Telah disebutkan pada bab 5 diatas bahwa untuk analisa pada bagian energi kalor input (pada kompor gasifikasi), adalah meliputi karakteristik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Pengeringan adalah proses mengurangi kadar air dari suatu bahan [1]. Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan

Lebih terperinci

V. HASIL UJI UNJUK KERJA

V. HASIL UJI UNJUK KERJA V. HASIL UJI UNJUK KERJA A. KAPASITAS ALAT PEMBAKAR SAMPAH (INCINERATOR) Pada uji unjuk kerja dilakukan 4 percobaan untuk melihat kinerja dari alat pembakar sampah yang telah didesain. Dalam percobaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 16 lokasi rawan bencana yang tersebar di 4 kecamatan (BPBD, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. 16 lokasi rawan bencana yang tersebar di 4 kecamatan (BPBD, 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Denpasar sebagaimana kota - kota besar di Indonesia juga mempunyai masalah yang sama di bidang kebencanaan. Bencana yang kerap timbul di kota besar Indonesia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Tanpa Beban Untuk mengetahui profil sebaran suhu dalam mesin pengering ERK hibrid tipe bak yang diuji dilakukan dua kali percobaan tanpa beban yang dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kalibrasi Termokopel Penelitian dilakukan dengan memasang termokopel pada HTF dan PCM. Kalibrasi bertujuan untuk mendapatkan harga riil dari temperatur yang dibaca oleh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Suhu Udara Hasil pengukuran suhu udara di dalam rumah tanaman pada beberapa titik dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik suhu udara di dalam rumah tanaman menyerupai bentuk parabola

Lebih terperinci

Revisi SNI Daftar isi

Revisi SNI Daftar isi Revisi SNI 03-1739-1989 isi isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan definisi...1 4 Peralatan uji...2 5 Ukuran dan jumlah benda uji...2 6 Prosedur pengujian...4 7 Hasil

Lebih terperinci

Aditya Kurniawan ( ) Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Aditya Kurniawan ( ) Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ANALISA KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BRIKET LIMBAH INDUSTRI KELAPA SAWIT DENGAN VARIASI PEREKAT DAN TEMPERATUR DINDING TUNGKU 300 0 C, 0 C, DAN 500 0 C MENGGUNAKAN METODE HEAT FLUX CONSTANT (HFC) Aditya Kurniawan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pembakaran spontan batubara dapat terjadi pada hampir semua tipe batubara tergantung dari kondisi lingkungan dan karakteristik dari batubara itu sendiri. Kedua hal ini akan saling

Lebih terperinci

SISTEM PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK PEMANAS AIR DENGAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR PALUNGAN. Fatmawati, Maksi Ginting, Walfred Tambunan

SISTEM PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK PEMANAS AIR DENGAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR PALUNGAN. Fatmawati, Maksi Ginting, Walfred Tambunan SISTEM PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK PEMANAS AIR DENGAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR PALUNGAN Fatmawati, Maksi Ginting, Walfred Tambunan Mahasiswa Program S1 Fisika Bidang Fisika Energi Jurusan Fisika Fakultas

Lebih terperinci

BAB MOMENTUM DAN IMPULS

BAB MOMENTUM DAN IMPULS BAB MOMENTUM DAN IMPULS I. SOAL PILIHAN GANDA 0. Dalam sistem SI, satuan momentum adalah..... A. N s - B. J s - C. W s - D. N s E. J s 02. Momentum adalah.... A. Besaran vektor dengan satuan kg m B. Besaran

Lebih terperinci

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor. 7 Gambar Sistem kalibrasi dengan satu sensor. Besarnya debit aliran diukur dengan menggunakan wadah ukur. Wadah ukur tersebut di tempatkan pada tempat keluarnya aliran yang kemudian diukur volumenya terhadap

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD

IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD Simulasi distribusi pola aliran udara dan suhu dilakukan pada saat ayam produksi sehingga dalam simulasi terdapat inisialisasi

Lebih terperinci

IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Data input simulasi. Shear friction factor 0.2. Coeficient Convection Coulomb 0.2

IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Data input simulasi. Shear friction factor 0.2. Coeficient Convection Coulomb 0.2 47 IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Data Hasil Tabel 6. Data input simulasi Kecepatan putar Gerak makan 433 rpm 635 rpm 970 rpm 0.10 mm/rev 0.18 mm/rev 0.24 mm/rev Shear friction factor 0.2 Coeficient Convection

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Randemen Arang Tempurung Kelapa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Randemen Arang Tempurung Kelapa 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rendemen Arang Briket Tempurung Kelapa Nilai rata-rata rendemen arang bertujuan untuk mengetahui jumlah arang yang dihasilkan setelah proses pirolisis. Banyaknya arang

Lebih terperinci

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah Standar Nasional Indonesia Cara uji kepadatan ringan untuk tanah ICS 93.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Hasil Pengujian Variasi sudut kondensor dalam penelitian ini yaitu : 0 0, 15 0, dan 30 0 serta aliran air dalam kondensor yaitu aliran air searah dengan laju uap (parallel

Lebih terperinci

USAHA, ENERGI & DAYA

USAHA, ENERGI & DAYA USAHA, ENERGI & DAYA (Rumus) Gaya dan Usaha F = gaya s = perpindahan W = usaha Θ = sudut Total Gaya yang Berlawanan Arah Total Gaya yang Searah Energi Kinetik Energi Potensial Energi Mekanik Daya Effisiensi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5 BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini, hasil pengolahan data untuk analisis jaringan pipa bawah laut yang terkena korosi internal akan dibahas lebih lanjut. Pengaruh operasional pipa terhadap laju korosi dari

Lebih terperinci

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK 112 MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK Dalam bidang pertanian dan perkebunan selain persiapan lahan dan

Lebih terperinci

PENGARUH MATERIAL RING PADA FENOMENA NYALA API LIFT-UP

PENGARUH MATERIAL RING PADA FENOMENA NYALA API LIFT-UP Seminar Nasional - VII Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 28-29 Oktober 2008 ISSN 1693-3168 Teknik MESIN PENGARUH MATERIAL RING PADA FENOMENA NYALA API LIFT-UP I Made

Lebih terperinci

2. Pengantar Pengetahuan Tentang Api SUBSTANSI MATERI

2. Pengantar Pengetahuan Tentang Api SUBSTANSI MATERI 2. Pengantar Pengetahuan Tentang Api Modul Diklat Basic PKP-PK 2.1 Pengertian tentang api 2.1.1 Reaksi terjadinya api Api merupakan hasil peristiwa/reaksi kimia antara bahan bakar, oksigen dan sumber panas/sumber

Lebih terperinci

LABORATORIUM TERMODINAMIKA DAN PINDAH PANAS PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012

LABORATORIUM TERMODINAMIKA DAN PINDAH PANAS PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012 i KONDUKTIVITAS TERMAL LAPORAN Oleh: LESTARI ANDALURI 100308066 I LABORATORIUM TERMODINAMIKA DAN PINDAH PANAS PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012 ii KONDUKTIVITAS

Lebih terperinci

PERBANDINGAN BIDANG API ISOTHERMAL KOMPOR ENGKEL DINDING API TUNGGAL DAN DINDING API GANDA BERBAHAN BAKAR BIOETHANOL

PERBANDINGAN BIDANG API ISOTHERMAL KOMPOR ENGKEL DINDING API TUNGGAL DAN DINDING API GANDA BERBAHAN BAKAR BIOETHANOL PERBANDINGAN BIDANG API ISOTHERMAL KOMPOR ENGKEL DINDING API TUNGGAL DAN DINDING API GANDA BERBAHAN BAKAR BIOETHANOL Yusufa Anis Silmi (2108 100 022) Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. H. Djoko Sungkono

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alur Penelitian Metodologi penelitian yang penulis lakukan dalam penelitian ini menggunakan metode Eksperimen di Laboratorium PT. Beton Elemenindo Perkasa dan Laboratorium

Lebih terperinci

Sistem Pencegahan dan. Kebakaran. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA

Sistem Pencegahan dan. Kebakaran. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA Sistem Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA Kecelakaan kerja Frank Bird Jr : kejadian yang tidak diinginkan yang terjadi

Lebih terperinci

Bab IV Analisis dan Pengujian

Bab IV Analisis dan Pengujian Bab IV Analisis dan Pengujian 4.1 Analisis Simulasi Aliran pada Profil Airfoil Simulasi aliran pada profil airfoil dimaskudkan untuk mencari nilai rasio lift/drag terhadap sudut pitch. Simulasi ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pendinginan merupakan hal yang sangat penting dalam dunia industri. Proses pendinginan yang baik akan membuat proses dalam industri berjalan lebih efisien.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas 1. Jumlah Air yang Harus Diuapkan = = = 180 = 72.4 Air yang harus diuapkan (w v ) = 180 72.4 = 107.6 kg Laju penguapan (Ẇ v ) = 107.6 / (32 x 3600) =

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENGUJIAN CIGARETTE SMOKE FILTER

BAB IV METODE PENGUJIAN CIGARETTE SMOKE FILTER BAB IV METODE PENGUJIAN CIGARETTE SMOKE FILTER 4.1 TUJUAN PENGUJIAN Tujuan dari pengujian Cigarette Smoke Filter ialah untuk mengetahui seberapa besar kinerja penyaringan yang dihasilkan dengan membandingkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang akan dilakukan selama 4 bulan, bertempat di Laboratorium Kimia Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV INTERPRETASI KUANTITATIF ANOMALI SP MODEL LEMPENGAN. Bagian terpenting dalam eksplorasi yaitu pengidentifikasian atau

BAB IV INTERPRETASI KUANTITATIF ANOMALI SP MODEL LEMPENGAN. Bagian terpenting dalam eksplorasi yaitu pengidentifikasian atau BAB IV INTERPRETASI KUANTITATIF ANOMALI SP MODEL LEMPENGAN Bagian terpenting dalam eksplorasi yaitu pengidentifikasian atau pengasumsian bentuk dan kedalaman benda yang tertimbun. Berbagai macam metode

Lebih terperinci

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab PSIKROMETRI Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab 1 1. Atmospheric air Udara yang ada di atmosfir merupakan campuran dari udara kering dan uap air. Psikrometri

Lebih terperinci

SIMAK UI 2013 Fisika. Kode Soal 01.

SIMAK UI 2013 Fisika. Kode Soal 01. SIMAK UI 203 Fisika Kode Soal Doc. Name: SIMAKUI203FIS999 Version: 205- halaman 0. Pada gambar di atas, massa m dan m 2 berturut-turut adalah 6 kg dan 4 kg. Tidak ada gesekan yang bekerja dan massa katrol

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. Spesifikasi. Secara Wajib. Kompor Gas. Usaha Mikro. Pemberlakuan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. Spesifikasi. Secara Wajib. Kompor Gas. Usaha Mikro. Pemberlakuan. No.125, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. Spesifikasi. Secara Wajib. Kompor Gas. Usaha Mikro. Pemberlakuan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 56/M-IND/PER/5/2009

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desember 2011 di bengkel Mekanisasi Pertanian Jurusan Teknik Pertanian

III. METODE PENELITIAN. Desember 2011 di bengkel Mekanisasi Pertanian Jurusan Teknik Pertanian III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan bulan Desember 2011 di bengkel Mekanisasi Pertanian Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) Karakteristik termal menunjukkan pengaruh perlakuan suhu pada bahan (Welty,1950). Dengan mengetahui karakteristik termal

Lebih terperinci

Laju Pendidihan. Grafik kecepatan Pendidihan. M.Sumbu 18. M.Sumbu 24. Temperatur ( C) E.Sebaris 3 inch. E.Susun 3 inch. E.Sususn 2 inch.

Laju Pendidihan. Grafik kecepatan Pendidihan. M.Sumbu 18. M.Sumbu 24. Temperatur ( C) E.Sebaris 3 inch. E.Susun 3 inch. E.Sususn 2 inch. Temperatur ( C) Laju Pendidihan Grafik kecepatan Pendidihan 120 100 80 60 40 M.Sumbu 18 M.Sumbu 24 E.Sebaris 3 inch E.Susun 3 inch 20 0 0 20 40 60 80 E.Sususn 2 inch Waktu (menit) Kesimpulan 1. Penggunaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Setelah melakukan pengujian maka diperoleh beberapa data, diantaranya adalah data pengujian penghembusan udara bertekanan, pengujian kekerasan Micro Vickers dan pengujian

Lebih terperinci

Bab II Ruang Bakar. Bab II Ruang Bakar

Bab II Ruang Bakar. Bab II Ruang Bakar Bab II Ruang Bakar Sebelum berangkat menuju pelaksanaan eksperimen dalam laboratorium, perlu dilakukan sejumlah persiapan pra-eksperimen yang secara langsung maupun tidak langsung dapat dijadikan pedoman

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 11 FISIKA

Antiremed Kelas 11 FISIKA ntiremed Kelas 11 FISIK Usaha dan Energi - Latihan Soal Doc Name: R11FIS0501 Version : 2012-07 halaman 1 01. Grafik berikut adalah gaya yang diberikan pada suatu benda terhadap jarak yang ditempuh benda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Produksi Minyak Bintaro Kasar (Crude) Buah bintaro memiliki bentuk bulat dan berwarna hijau (Gambar 17a) dan ketika tua akan berwarna merah (Gambar 17b). Buah bintaro

Lebih terperinci

BIDANG STUDI : FISIKA

BIDANG STUDI : FISIKA BERKAS SOAL BIDANG STUDI : MADRASAH ALIYAH SELEKSI TINGKAT PROVINSI KOMPETISI SAINS MADRASAH NASIONAL 013 Petunjuk Umum 1. Silakan berdoa sebelum mengerjakan soal, semua alat komunikasi dimatikan.. Tuliskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perancangan 4.1.1 Gambar Rakitan (Assembly) Dari perancangan yang dilakukan dengan menggunakan software Autodesk Inventor 2016, didapat sebuah prototipe alat praktikum

Lebih terperinci

MARDIANA LADAYNA TAWALANI M.K.

MARDIANA LADAYNA TAWALANI M.K. KALOR Dosen : Syafa at Ariful Huda, M.Pd MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat pemenuhan nilai tugas OLEH : MARDIANA 20148300573 LADAYNA TAWALANI M.K. 20148300575 Program Studi Pendidikan Matematika

Lebih terperinci

OLEH : NANDANA DWI PRABOWO ( ) DOSEN PEMBIMBING : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT.

OLEH : NANDANA DWI PRABOWO ( ) DOSEN PEMBIMBING : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT. OLEH : NANDANA DWI PRABOWO (2109 105 019) DOSEN PEMBIMBING : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT. JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2011 Krisis bahan

Lebih terperinci

PEMBUATAN ALAT UKUR KONDUKTIVITAS PANAS BAHAN PADAT UNTUK MEDIA PRAKTEK PEMBELAJARAN KEILMUAN FISIKA

PEMBUATAN ALAT UKUR KONDUKTIVITAS PANAS BAHAN PADAT UNTUK MEDIA PRAKTEK PEMBELAJARAN KEILMUAN FISIKA Edu Physic Vol. 3, Tahun 2012 PEMBUATAN ALAT UKUR KONDUKTIVITAS PANAS BAHAN PADAT UNTUK MEDIA PRAKTEK PEMBELAJARAN KEILMUAN FISIKA Vandri Ahmad Isnaini, S.Si., M.Si Program Studi Pendidikan Fisika IAIN

Lebih terperinci

PENENTUAN BESAR PENGANGKATAN MAKSIMUM PADA SUDUT ELEVASI TERTENTU DENGAN MENGGUNAKAN PEMODELAN AIRFOIL SAYAP PESAWAT

PENENTUAN BESAR PENGANGKATAN MAKSIMUM PADA SUDUT ELEVASI TERTENTU DENGAN MENGGUNAKAN PEMODELAN AIRFOIL SAYAP PESAWAT Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 6 Mei 009 PENENTUAN BESAR PENGANGKATAN MAKSIMUM PADA SUDUT ELEVASI TERTENTU DENGAN MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penentuan parameter. perancangan. Perancangan fungsional dan struktural. Pembuatan Alat. pengujian. Pengujian unjuk kerja alat

METODE PENELITIAN. Penentuan parameter. perancangan. Perancangan fungsional dan struktural. Pembuatan Alat. pengujian. Pengujian unjuk kerja alat III. METODE PENELITIAN A. TAHAPAN PENELITIAN Pada penelitian kali ini akan dilakukan perancangan dengan sistem tetap (batch). Kemudian akan dialukan perancangan fungsional dan struktural sebelum dibuat

Lebih terperinci

PEGAS DAUN DENGAN METODE HOT STRETCH FORMING.

PEGAS DAUN DENGAN METODE HOT STRETCH FORMING. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kendaraan roda empat merupakan salah satu alat transportasi yang banyak digunakan masyarakat. Salah satu komponen alat transportasi tersebut adalah pegas daun yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. KARAKTERISTIK BATUBARA Sampel batubara yang digunakan dalam eksperimen adalah batubara subbituminus. Dengan pengujian proksimasi dan ultimasi yang telah dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Nilai Kecepatan Minimun Fluidisasi (U mf ), Kecepatan Terminal (U t ) dan Kecepatan Operasi (U o ) pada Temperatur 25 o C

BAB IV PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Nilai Kecepatan Minimun Fluidisasi (U mf ), Kecepatan Terminal (U t ) dan Kecepatan Operasi (U o ) pada Temperatur 25 o C BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Percobaan Fluidisasi Penelitian gasifikasi fluidized bed yang dilakukan menggunakan batubara sebagai bahan baku dan pasir silika sebagai material inert. Pada proses gasifikasinya,

Lebih terperinci

FISIKA 2014 TIPE A. 30 o. t (s)

FISIKA 2014 TIPE A. 30 o. t (s) No FISIKA 2014 TIPE A SOAL 1 Sebuah benda titik dipengaruhi empat vektor gaya masing-masing 20 3 N mengapit sudut 30 o di atas sumbu X positif, 20 N mnegapit sudut 60 o di atas sumbu X negatif, 5 N pada

Lebih terperinci

BAB V Pengujian dan Analisis Mesin Turbojet Olympus

BAB V Pengujian dan Analisis Mesin Turbojet Olympus BAB V Pengujian dan Analisis Mesin Turbojet Olympus Pada bab ini akan dibahas mengenai pengujian serta analisis hasil pengujian yang dilakukan. Validasi dilakukan dengan membandingkan hasil pengujian terhadap

Lebih terperinci

PENERUSAN PANAS PADA DINDING GLAS BLOK LOKAL

PENERUSAN PANAS PADA DINDING GLAS BLOK LOKAL PENERUSAN PANAS PADA DINDING GLAS BLOK LOKAL Frans Soehartono 1, Anik Juniwati 2, Agus Dwi Hariyanto 3 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui dapat atau tidaknya limbah blotong dibuat menjadi briket. Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Sebelum Perendaman Dengan Minyak Jelantah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Sebelum Perendaman Dengan Minyak Jelantah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Uji proksimat merupakan sifat dasar dari bahan baku yang akan digunakan sebelum membuat briket. Sebagaimana dalam penelitian ini bahan

Lebih terperinci

LATIHAN SOAL MENJELANG UJIAN TENGAH SEMESTER STAF PENGAJAR FISIKA TPB

LATIHAN SOAL MENJELANG UJIAN TENGAH SEMESTER STAF PENGAJAR FISIKA TPB LATIHAN SOAL MENJELANG UJIAN TENGAH SEMESTER STAF PENGAJAR FISIKA TPB Soal No. 1 Seorang berjalan santai dengan kelajuan 2,5 km/jam, berapakah waktu yang dibutuhkan agar ia sampai ke suatu tempat yang

Lebih terperinci

9/17/ KALOR 1

9/17/ KALOR 1 9. KALOR 1 1 KALOR SEBAGAI TRANSFER ENERGI Satuan kalor adalah kalori (kal) Definisi kalori: Kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur 1 gram air sebesar 1 derajat Celcius. Satuan yang lebih sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, energi tidak hanya dievaluasi dalam perspektif ekonomi, tetapi menjadi lebih kompleks karena munculnya tantangan global, seperti

Lebih terperinci

A. Lampiran 1 Data Hasil Pengujian Tabel 1. Hasil Uji Proksimat Bahan Baku

A. Lampiran 1 Data Hasil Pengujian Tabel 1. Hasil Uji Proksimat Bahan Baku A. Lampiran 1 Data Hasil Pengujian Tabel 1. Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Uji 1 Uji 2 Uji 3 Uji 1 Uji 2 Uji 3 1. Kadar Air (%) 4,5091 4,7212 4,4773 5,3393 5,4291 5,2376 4,9523 2. Parameter Pengujian Kadar

Lebih terperinci

Soal :Stabilitas Benda Terapung

Soal :Stabilitas Benda Terapung TUGAS 3 Soal :Stabilitas Benda Terapung 1. Batu di udara mempunyai berat 500 N, sedang beratnya di dalam air adalah 300 N. Hitung volume dan rapat relatif batu itu. 2. Balok segi empat dengan ukuran 75

Lebih terperinci

PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK MEMANASKAN AIR MENGGUNAKAN KOLEKTOR PARABOLA MEMAKAI CERMIN SEBAGAI REFLEKTOR

PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK MEMANASKAN AIR MENGGUNAKAN KOLEKTOR PARABOLA MEMAKAI CERMIN SEBAGAI REFLEKTOR PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK MEMANASKAN AIR MENGGUNAKAN KOLEKTOR PARABOLA MEMAKAI CERMIN SEBAGAI REFLEKTOR Nafisha Amelya Razak 1, Maksi Ginting 2, Riad Syech 2 1 Mahasiswa Program S1 Fisika 2 Dosen

Lebih terperinci